Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PARASITOLOGI

Entamoeba hystolitica

OLEH:
KELOMPOK 12

NI KADEK CORNELIA AYU TRISNA (1608551014)


NI KADEK NOVI ADI ARI (1608551035)
PUTU AYU RISMAYANI (1608551054)
NI PUTU SINTA MAHASUARI (1608551075)

DOSEN PEMBIMBING: PUTU SANNA YUSTIANTARA,S.Farm.,M.Si.,Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri dan protozoa.
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri dikenal dengan disentri basiler yang disebabkan oleh
bakteri shigella, sedangkan infeksi yang disebabkan oleh protozoa dikenal sebagai disentri
amuba. Disentri amuba adalah penyakit infeksi saluran pencernaan akibat tertelannya kista E.
histolytica yang merupakan mikroorganisme anaerob bersel tunggal dan bersifat patogen
(Muslim, 2009).
Parasit Entamoeba histolytica tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropik dan
subtropik. Manusia adalah hospes dari penyakit yang ditimbulkan oleh Entamoeba
histolytica yang cara penularannya melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi
parasit yang dikonsumsi. Penyakit yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica umumnya
terjadi pada daerah yang memiliki tingkat kebersihan yang rendah. Salah satu penyakit yang
ditimbulkan oleh E. histolytica adalah disentri (Natadisastra dan Ridat, 2009).
Prevalensi Entamoeba histolytica pada adaerah tropik dan subtropik 0,5-50%, di
Indonesia (endemis) 10%-18%, sedangkan di China, Mesir, India, dan Belanda sebesar
10,1%-11,5% di Eropa Utara sebesar 5-20%, di Eropa Selatan 20-51%. Indonesia adalah
salah satu negara dengan endemis kasus amoeba dengan prevalensi lebih tinggi terjadi di
daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Prevalensi parasit E. histolytica di
Indonesia masih tergolong tinggi terutama pada penduduk miskin di lingkungan padat
penghuni dengan sanitasi buruk, tidak mempunyai jamban dan tidak terpenuhinya kebutuhan
air bersih (Muslim, 2009).
Penyebaran parasit E. histolytica selain melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi, juga dapat melalui vektor yaitu lalat. Penyebaran E. histolytica dilaporkan
banyak terjadi di negara berkembang dengan kebersihan dan sanitasi yang buruk serta padat
penduduk seperti di Afrika (Kotpal, 2009).

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Taksonomi
Entamoeba histolytica adalah uniseluler protozoa yang termasuk ke dalam kelas
Rhizopoda (rhiz = akar; podium = kaki). Berikut ini adalah taksonomy dari Entamoeba
histolytica :
Kingdom : Protista
Subkingdom : Protozoa
Filum : Sarcomastigophora
Subfilum : Sarcodina
Kelas : Rhizopoda
Subkelas : Gymnamoebiasina
Ordo : Amoebidorida
Famili : Endamoebidae
Genus : Entamoeba
Spesies : E. histolytica
(Ryan, 2004)
2.2 Morfologi
Entamoeba histolytica memiliki tiga bentuk, yaitu trofozoit, prekista, dan kista. Bentuk
trofozoit merupakan bentuk invasif dan umumnya terdapat di usus besar (dalam jaringan
mukosa atau submukosa), sedangkan kista berada di lumen usus. Entamoeba histolytica
dalam bentuk trofozoit mampu bertahan selama 5 jam dalam suhu 37 oC, 16 jam dalam suhu
25oC, 96 jam dalam suhu 5oC. Sedangkan bentuk kista dapat bertahan selama 2 hari dalam
suhu 37oC, 9 hari dalam suhu 22oC, dan 60 hari dalam suhu 0oC. Selain itu, Entamoeba
histolytica bentuk kista akan mampu bertahan selama 5 menit dalam suhu 37oC, 7 jam dalam
suhu 28oC, dan dalam 15-30 menit pada 4 ppm chlor. Bentuk trofozoit berukuran antara 15-
60 µm dan memiliki ektoplasma, berwarna jernih dan homogen, berfungsi untuk pergerakan,
menangkap makanan dan membuang sisa-sisa makanan, sebagai alat pernapasan, dan alat
proteksi. Endoplasma berwarna keruh, di dalamnya banyak terdapat granula-granula,
vakuola, butir-butir kromatin dan eritrosit, berfungsi mencerna makanan dan meyimpan
makanan. Di dalam nukleus terdapat nukleolus dan kariosom. Selaput inti, merupakan
kromatin granula yang tersusun halus dan rata. Dengan melihat nukleus ini kita dapat
mengidentifikasi genus dan spesies (Muslim, 2009).
2
Gambar 1. Trofozoit Entamoeba histolytica (Department of Health and Human
Services United States, 2016).
Bentuk prekista memiliki ektoplasma yang tidak kelihatan, pseudopodi pendek yang
dibentuk secara perlahan-lahan dan memiliki bentuk trofozoit yang bulat serta merupakan
stadium peralihan pada inkistatik. Stadium ini dalam keadaan pasif. Pada bentuk kista,
nukleusnya mempunyai lensa yang terletak di tepi karena terdesak glikogen vakuola yang
besar yang dikelilingi kromidial berbentuk batang. Dinding dibentuk dari ektoplasma dan
berfungsi sebagai alat pelindung. Kista tidak bergerak dan tidak makan, kista berkembang
biak dengan jalan membelah, mula-mula berinti 1, kemudian berinti 2, selanjutnya berinti 4.
Kista tersebut berfungsi infeksius dan biasanya tidak memiliki glikogen vakuola. Stadium
kista merupakan stadium menular dan berperan sebagai penyebar penyakit disentri amebiasis
(Muslim, 2009).

Gambar 2. Kista Entamoeba histolytica (Department of Health and Human Services


United States, 2016).
2.3 Epidemiologi
Amoebiasis tersebar luas di berbagai negara di seluruh dunia. Pada berbagai survei
menunjukkan frekuensi diantara 0,2–50% dan berhubungan langsung dengan sanitasi
lingkungan sehingga penyakit ini akan banyak dijumpai pada daerah tropik dan subtropik
yang sanitasinya jelek. Prevalensi Entamoeba histolytica di berbagai daerah di Indonesia
berkisar antara 10–18 %. Di RRC, Mesir, India dan negeri Belanda berkisar antara 10,1–
11,5%, di Eropa Utara 5–20%, di Eropa Selatan 20–51% dan di Amerika Serikat 20%. Di
Indonesia, amebiasis intestinal banyak dijumpai secara endemis dengan angka insidens yang

3
cukup tinggi berkisar antara 10-18%, pada beberapa survei yang dilakukan kepada anak
sekolah menunjukkan frekuensi antara 0,2-50%. Berdasarkan hasil pemeriksaan rutin
spesimen tinja pasien yang berkunjung ke rumah sakit dengan gejala diare, diketahui 39,6%
adalah disentri amuba. Dari berbagai survei parasit intestinal, hasil pemeriksaan tinja
diketahui prevalensi amebiasis antara 1-14%. Demikian juga studi serologis di daerah
perkotaan diperoleh angka yang positif sebesar 1,6%-34% (Anorital dan L.Andayasari,
2011).
Frekuensi infeksi Entamoeba histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista.
Sumber infeksi terutama “carrier“ yakni penderita amoebiasis tanpa gejala klinis yang dapat
bertahan lama mengeluarkan kista yang jumlahnya ratusan ribu perhari. Bentuk kista tersebut
dapat bertahan di luar tubuh dalam waktu yang lama. Kista dapat menginfeksi manusia
melalui makanan atau sayuran dan air yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung
kista. Infeksi dapat juga terjadi dengan atau melalui vektor serangga seperti lalat dan kecoa
(lipas) atau tangan orang yang menyajikan makanan (food handler) yang menderita sebagai
“carrier”, sayur-sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia dan selada buah yang ditata atau
disusun dengan tangan manusia. Bukti-bukti tidak langsung tetapi jelas menunjukkan bahwa
air merupakan perantara penularan. Sumber air minum yang terkontaminasi pada tinja yang
berisi kista atau secara tidak sengaja terjadi kebocoran pipa air minum yang berhubungan
dengan tangki kotoran atau parit. Penularan diantara keluarga sering juga terjadi terutama
pada ibu atau pembantu rumah tangga yang merupakan “carrier”, dapat mengkontaminasi
makanan sewaktu menyediakan atau menyajikan makanan tersebut (Rasmaliah, 2001).
2.4 Siklus Hidup di Host
Dalam siklus hidupnya E. histolytica memiliki stadium yang berbentuk trofozoit-
prakista-kista-metakista. Trofozoit berukuran diameter 10-60 µm, ditemukan di bagian bawah
usus halus, namun lebih sering berada di kolon dan rektum yang melekat pada bagian
mukosa. Trofozoit yang ditemukan pada tinja encer penderita disentri berukuran lebih besar
dibandingkan dengan trofozoit yang ditemukan pada tinja padat penderita yang
asimptomatik. Bagi penderita disentri, dalam sitoplasma yang ada pada stadium trofozoit
dapat terlihat sel darah merah, sehingga hal ini menjadikan suatu gambaran khas dalam
mendiagnosis E. histolytica dalam usus trofozoit membelah diri secara aseksual, masuk ke
dalam mukosa usus besar. Di dalam dinding usus besar tersebut, trofozoit terbawa aliran
darah menuju hati, paru, otak dan organ lain. Hati merupakan organ yang kerap diserang
selain usus, sehingga menyebabkan kerusakan hati dikarenakan trofozoit memakan sel

4
parenkhim hati. Trofozoit dalam saluran pencernaan akan melakukan pemadatan dan berubah
bentuk menjadi prakista yang berbentuk bulat (Anorital dan Andayasari, 2011).
Bentuk kista bersifat non-patogen tetapi dapat berubah menjadi infektif bagi manusia.
Hewan mamalia lain seperti anjing dan kucing dapat juga terinfeksi. Kista dihasilkan jika
kondisi sekitamya tidak memungkinkan untuk kehidupan trofozoit. Inti kista dapat membelah
menjadi empat dengan ukuran berkisar 10-20 µm, kondisi ini terjadi jika bentuk kista
menjadi matang. Kista dikeluarkan bersama tinja. Selama dalam saluran pencernaan, dalam
suasana asam tidak terjadi perkembangan, namun dalam pH basa atau netral, kista menjadi
aktif, berkembang menjadi 4 stadium trofozoit metakistik dan selanjutnya menjadi trofozoit
di dalam usus besar. Adanya dinding kista, menyebabkan bentuk kista dapat bertahan
terhadap adanya pengaruh lingkungan yang buruk yang berada di luar tubuh manusia.
Stadium kista sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk dan tetap bertahan di
tanah selama 8 hari pada suhu 28-34°C, 40 hari pada suhu 2-6°C, dan 60 hari pada suhu 0 oC.
Kista sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu namun dapat dihancurkan dalam asam asetat
5-10% dan iodine 200 ppm. Sedangkan dalam air dapat bertahan sampai 1 bulan dan dalam
tinja kering sampai 12 hari. Selain itu kista dapat dihilangkan dengan filtrasi pasir atau
dimatikan dengan direbus, filtrasi dilakukan dengan menggunakan tanah yang mengandung
diatomaceaus. Dalam keadaan anaerob, E. histolytica tumbuh optimal dan memperbanyak
diri. Jika menginvasi dinding usus, trofozoit mencapai ukuran yang paling besar dan sering
ditemukan adanya sel darah merah. Trofozoit mampu menghancurkan sel darah merah ketika
terjadi kontak galur yang patogen biasanya menelan jumlah sel darah merah lebih banyak dan
mempunyai gambaran elektroforetik isoenzim berbeda dari strain yang non-patogen. Prakista
akan terbentuk ketika keadaan metabolik menjadi tidak cocok sehingga dimulai lagi awal dari
siklus hidup (Anorital dan Andayasari, 2011).

Gambar 3. Siklus Hidup Entamoeba hystolitica (Department of Health and Human Services
United States, 2016).
5
2.5 Cara Masuk ke Dalam Host
Diawali dengan kontak antara stadium trofozoit E. histolytica dengan sel epitel kolon,
melalui antigen Gal/GalNac-lectin yang terdapat pada permukaan stadium trofozoit. Antigen
terdiri atas dua kompleks disulfida dengan berat molekul masing-masing 170 kDa dan 35/31
kDa (Cantellano and Palomo, 2000; Stanley and Reed, 2001; Haque et al., 1998). Kedua
rantai tersebut dihubungkan dengan protein 150 kDa (Stanley, 2003).

Gambar 4. Trofozoit E. histolytica yang melekat pada epitel interglandular usus


(Cantellano dan Palomo, 2000).
Sel epitel usus yang berikatan dengan stadium trofozoit E. histolytica akan menjadi
immobile dalam waktu beberapa menit, kemudian granula dan struktur sitoplasma
menghilang yang diikuti dengan hancurnya inti sel. Proses ini diakibatkan oleh amoebapores
yang terdapat pada sitoplasma trofozoit E. histolytica. Amoebapores terdiri atas 3 rangkaian
peptida rantai pendek dan dapat membuat pori-pori pada kedua lapisan lemak (lipid bilayer)
Selanjutnya invasi ameba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistein proteinase yang
dikeluarkan stadium trofozoit parasit. Sistein proteinase E. histolytica yang terdiri atas
amebapain dan histolisin akan melisiskan matriks protein ekstra sel, sehingga mempermudah
invasi trofozoit ke jaringan submukosa (Cantellano and Palomo, 2000; Stanley and Reed,
2001; Haque et al., 1998).

Gambar 5. Trofozoit yang telah menembus kolon (Cantellano dan Palomo, 2000).
2.6 Cara Bertahan di Dalam Host
Setelah stadium trofozoit memasuki submukosa dengan menembus lapisan muskularis
mukosae, bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang lebih luas daripada di

6
mukosa usus, hal ini merupakan cara E. histolytica bertahan hidup dalam host. Akibatnya
terjadi luka yang disebut ulkus ameba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang letaknya
tersebar di mukosa usus. Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang sempit dan dasar
yang lebar, dengan tepi yang tidak teratur agak meninggi dan menggaung. Proses yang terjadi
terutama nekrosis dengan lisis sel jaringan (histolisis). Bila terdapat infeksi sekunder,
terjadilah proses peradangan. Proses ini dapat meluas di submukosa dan melebar ke lateral
sepanjang sumbu usus, maka kerusakan dapat menjadi luas sekali sehingga ulkus saling
berhubungan dan terbentuk sinus-sinus di bawah mukosa. Stadium trofozoit E. histolytica
ditemukan dalam jumlah besar di dasar dan dinding ulkus. Dengan peristaltik usus, stadium
trofozoit dikeluarkan bersama isi ulkus ke rongga usus kemudian menyerang lagi mukosa
usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Tinja itu disebut tinja disentri yaitu tinja yang
bercampur lendir dan darah (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
2.7 Gejala Penyakit
Sebanyak 90% individu yang terinfeksi E. histolytica tidak memperlihatkan gejala
klinis dan hospes dapat mengeliminasi parasit tanpa tanda adanya penyakit. Walaupun
demikian, sebanyak 10% individu yang asimtomatik dapat berkembang menjadi simtomatik
dalam waktu lebih dari 1 tahun, sehingga kelompok ini harus diobati, selain itu kelompok ini
akan menjadi sumber penularan bagi sekelilingnya (Haque et al., 2006).
Bentuk klinis yang dikenal yaitu berupa amebiasis intestinal dan amebiasis ekstra-
intestinal. Amebiasis intestinal (amebiasis usus, amebiasis kolon), terdiri atas:
a. Amebiasis Kolon Akut
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa tinja
cair, tinja berlendir atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 kali perhari.
Demam dapat ditemukan pada sepertiga penderita. Pasien terkadang tidak nafsu makan
sehingga berat badannya dapat menurun. Pada stadium akut, di tinja dapat ditemukan darah
dengan sedikit leukosit serta stadium trofozoit E. histolytica (Tanyuksel and Petri, 2003;
Stanley, 2003).
b. Amebiasis Kolon Menahun
Amebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat
gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak di perut, diare yang diselingi obstipasi
(sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar
penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga kolitis ulserosa
amebik (Tanyuksel and Petri, 2003; Warhurst, 1999).

7
Sedangkan pada amebiasis ekstra-intestinal, memperlihatkan gejala dalam waktu yang
relatif singkat (2-4 minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut
kwadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat
terjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35%
penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah, kejang otot perut,
perut kembung, diare dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali.
Pada fase sub-akut dapat ditemukan penurunan berat badan, demam dan nyeri abdomen yang
difus. Di kulit dan vagina, ameba ini menimbulkan ulkus (Staf Pengajar Departemen
Parasitologi FKUI, 2008).
2.8 Diagnosis
Diagnosis yang akurat merupakn hal yang sangat penting karena 90% penderita
asimtomatik Entamoeba histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008). Diagnosis dapat dilakukan dengan beberapa
pemeriksaan, antara lain:
1. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan pemeriksaan tinja dan pemeriksaan
secara mikroskopik tidak dapat dibedakan E. histolytica dengan E. dispar. Selain itu
pemeriksaan tinja yang hanya dilakukan sekali sangat tidak sensitif dan sebaiknya dilakukan
paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel
darah merah dalam sitoplasma E. histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya
invasive amebiasis yang hanya disebabkan E. histolytica (Staf Pengajar Departemen
Parasitologi FKUI, 2008).
2. Pemeriksaan Serologi Untuk Mendeteksi Antibodi
Pada pemeriksaan serologi dapat dilakukan berbagai macam uji. Uji yang paling
umum digunakan adalah IHA karena uji standar pada pemeriksaan ini. Sedangkan uji lain
seperti ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat, sederhana dan lebih sensitif. Hasil
dari pemeriksaan ini tidak dapat membedakan current infection dari previous infection (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
3. Deteksi Antigen
Antigen ameba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat dideteksi dalam tinja, serum, cairan
abses dan air liur pada penderita. Hal ini dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA.
Deteksi antigen pada tinja merupakan teknik yang praktis, sensitive dan spesifik dalam
mendiagnosis amebiasis intestinalis. Pada pemeriksaan ini harus menggunakan tinja yang
segar (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
8
4. Polymerase chain reaction (PCR)
PCR memiliki sensitivitas yang hampir sama dengan deteksi antigen. Kekurangan dari
metode ini adalah waktu yang diperlukan cukup lama, tekniknya lebih sukar dan biayanya
lebih mahal. Hasil dari diagnosis ini sangat dipengaruhi dari kontaminasi pada tinja (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
2.9 Pencegahan dan Terapi
Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan
kebersihan dari sumber air yang dipakai setiap hari, menjaga kebersihan lingkungan dan diri
kita sendiri, mencuci sayuran dan buah yang ingin dikonsumsi, tidak menggunakan pupuk
dari tinja manusia untuk bercocok tanam, dan mengobati seseorang yang terkena Entamoeba
histolytica agar tidak menyebar kepada orang lain.
Pengobatan yang diberikan pada penderita amebiasis yang invasif berbeda dengan non-
invasif. Pada penderita amebiasis non-invasif dapat diberikan paromomisin. Pada penderita
amebiasis invasif diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FKUI, 2008). Berdasarkan tempat kerja obat amebiasis dapat di
kelompokan menjadi 2, antara lain :
1. Obat yang bekerja pada lumen usus
Obat jenis ini tidak diabsorpsi dengan baik di dalam usus sehingga dapat membunuh
trofozoit dan kista yang berada dalam lumen usus. Obat-obat yang bekerja pada lumen
usus, contohnya paromomisin (antibiotik golongan aminoglikosida untuk
mengeliminasi kista setelah pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol), diloksanid
furoat (untuk mengeliminasi E. histolytica yang berada dalam lumen, contoh obat ini
adalah furamid dan entamizol), dan iodoquinol merupakan obat yang dapat digunakan
untuk stadium kista setelah pemberian nitroimidazol);
2. Obat yang bekerja pada jaringan di bagi menjadi beberapa jenis obat, antara lain yaitu
emetin hidroklorida (berkhasiat terhadap stadium trofozoit E. histolytica, pemberian
obat ini dilakukan secara parenteral karena jika diberikan secara oral efeknya tidak
sempurna), metronidazol (untuk amebiasis koli atau abses hati amoeba karena efektif
terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan), dan klorokuin (untuk
amebiasis jaringan yang efektif terhadap amebiasis hati) (Staf Pengajar Departemen
Parasitologi FKUI, 2008).

9
BAB III
PENUTUP

Entamoeba histolytica merupakan uniseluler rhizopoda yang bersifat patogen. E.


histolytica memiliki tiga bentuk yaitu trofozoit, prekista, dan kista. Siklus hidupnya berupa
trofozoit yang bersifat patogen dan kista yang bersifat infektif dan berkembang biak dengan
cara membelah diri. Cara masuk ke dalam host diawali dengan kontak antara stadium
trofozoit E. histolytica dengan sel epitel kolon, melalui antigen Gal/GalNac-lectin,
Selanjutnya invasi ameba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistein proteinase yang
dikeluarkan stadium trofozoit parasit. Setelah stadium trofozoit memasuki submukosa
bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang lebih luas daripada di mukosa usus.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan. Pengobatan dilakukan sesuai
dengan tingkat amebiasis dan golongannya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Anorital dan L.Andayasari. 2011. Kajian Epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan
yang Disebabkan oleh Amoeba Di Indonesia. Media Litbang Kesehatan. Vol. 21(1):
1-9.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riskesdas Tahun
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI.
Cantellano, M.E. and A.M. Palomo. 2000. Pathogenesis of Intestinal Amebiasis: from
Molecules to Disease. Clin Microbiol Rev. Vol 13(2): 318-331.
Department of Health and Human Services United States. 2016. "Amebiasis".
https://www.cdc.gov/dpdx/amebiasis/index.html. (diakses pada tanggal 18 November
2017).
Haque, R., C.D. Huston, M. Hughes, E. Houpt, and W.A. Petri. 2006. Current Concept
Amebiasis. N Engl J Med. Vol. 348(16): 1565-1573.
Ideham, B. dan S. Pusarawati. 2009. Buku Penuntun Praktis Parasitologi Kedokteran. Edisi
2. Surabaya: Airlangga University Press.
Kotpal, R.L. 2009. Modern Textbook of Zoology Invertebrates. New delhi: rastoge
publications.
Lynnes, S.G. dan D.A. Bruckner. Diagnostic Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Muslim, H.M. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Natadisastra, D. dan A. Ridat. 2009. Parasitologi Kedokteran ditinjau dari Organ Tubuh
yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rasmaliah. 2001. Epidemiologi Amuba dan Upaya Pencegahannya. Sumatera Utara :
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Ryan, K.J. 2004. Spirochetes in Sherris Medical Microbiology, 4th ed. New York: Mcgraw-
Hill Medical Publishing Division.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Stanley, S.L.Jr. 2003. Amoebiasis. Lancet. Vol. 361(9362): 1025-1036.
Stanley, S.L.Jr. and S.L. Reed. 2001. Microbes and Microbial Toxins: Paragdims for
Microbial-Mucosal Interactions: VI. Entamoeba histolytica: Parasite-Host
Interactions. Amer J Physiol. Vol. 280(6): 1049-1054.
11
Tanyuksel, M. dan W.A. Petri. 2003. Laboratory Diagnosis of Amebiasis. Clinical
Microbiology Reviews. Vol. 16(4): 713-729.
Warhurst, D.C. 1999. Protozoal Diseases. Amebiasis. New York: Oxford University Press
Inc.

12

Anda mungkin juga menyukai