Anda di halaman 1dari 33

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH SAINTIFIKASI JAMU

METODOLOGI SAINTIFIKASI JAMU

Kelompok 4:
Herdinik Widi Astutik (142211101025)
Devy Tarius A. (142211101026)
Desinta Sylviana P.D (142211101027)
Heni Septi P. (142211101028)
Chrysnanda Maryska (142211101029)
Eka Ayu M. (142211101030)
Lailatul Qomariah (142211101031)
Novi Prasetyaningrum (142211101032)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan tanaman obat dan ramuan jamu dari berbagai
suku yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jamu merupakan warisan leluhur
bangsa telah dimanfaatkan secara turun temurun untuk pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa
49,53% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan
maupun untuk pengobatan karena sakit. Dari penduduk yang mengkonsumsi jamu,
sebanyak 5,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Hasil Riskesdas tahun
2010 juga menunjukkan bahwa dari masyarakat yang mengkonsumsi jamu, 55,3%
mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan (infusum/ decoct), sementara sisanya
(44,7%) mengkonsumsi jamu dalam bentuk serbuk, rajangan, dan pil/kapsul/ tablet
(Badan Litbang Kesehatanb, 2010).
Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat Tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku
di masyarakat (Permenkes 03,2010). Jamu, sebagai obat tradisional asli Indonesia,
telah digunakan secara turun temurun oleh nenek moyang bangsa Indonesia dari
generasi ke generasi dan dirasakan manfaatnya baik untuk memelihara kesehatan
maupun mengobati penyakit, namun belum mempunyai bukti ilmiah yang kokoh
terkait khasiat dan keamanannya. Sehingga perlu dilakukan suatu pembuktian ilmiah
mengenai manfaatnya dalam pengobatan. Salah satu cara untuk pembuktian manfaat
jamu tersebut adalah dengan metode saintifikasi jamu.
Saintifikasi jamu adalah upaya terobosan dalam rangka mempercepat
penelitian di sisi hilir, yakni pengujian terkait manfaat dan keamanan jamu untuk
upaya promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif, dengan membentuk
jejaring dokter yang mampu melaksanakan penelitian berbasis pelayanan. Saintifikasi
Jamu ini berupaya mengembangkan Body of Knowledge sistem Pengobatan
Tradisional Indonesia (termasuk jamulogi) ke arah kedokteran integratif dengan
pendekatan terapi secara holisti (Siswanto,2012). Saintifikasi jamu ini memiliki
metode tertentu yang digunakan untuk mengetahui manfaat suatau jamu. Pada
makalah ini akan dibahas secara merinci mengenai metode saintifikasi jamu.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah ini yaitu mengenai macam-macam metode
dan tahapan-tahapan pada saintifikasi jamu.

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui macam-macam
metode dan tahapan-tahapan pada saintifikasi jamu.

1.4 Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah media untuk meningkatkan pengetahuan
pembaca mengenai metode saintifikasi jamu.
BAB II. JALUR PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT

2.1 Penggunaan Jamu oleh Bukan Tenaga Kesehatan dan Merupakan


Pelayanan Kesehatan Tradisional
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang
dapat digunakan sebagai obat berbagai macam penyakit. Obat-obatan yang berasal
dari tanaman atau disebut obat herbal sering digunakan karena memiliki efek samping
yang minimal bahkan ada pula yang tidak ditemukan adanya efek samping. Selain itu,
keuntungan lainnya adalah pengolahan obat herbal, misalnya direbus atau dihaluskan
akan memudahkan masyarakat dalam penggunaannya.
Meskipun jamu secara sosial budaya telah diterima oleh masyarakat Indonesia
sebagai cara pengobatan tradisional, namun jamu belum dapat diterima dengan baik
oleh kalangan profesi medis sebagai alternatif terapi. Hal demikian dapat dipahami
karena pada umumnya jamu belum mempunyai bukti ilmiah yang kokoh terkait
khasiat dan keamanannya. Di pihak lain profesi medis (dokter dan dokter gigi)
berkewajiban untuk menjalankan keputusan klinis (pilihan terapi) berbasis bukti
(evidence-based medicine). Hal ini sejalan dengan UU No. 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran.
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memuat pelayanan kesehatan
tradisional dalam bab (bagian) tersendiri, yakni Bagian Ketiga tentang Pelayanan
Kesehatan Tradisional mulai Pasal 59 sampai dengan Pasal 61. Pasal 59 membagi
pelayanan kesehatan tradisional menjadi pelayanan kesehatan tradisional berbasis
keterampilan dan pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan. Pasal 60
mengamanatkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional harus aman dan bermanfaat.
Pasal 61 mengamanatkan bahwa masyarakat diberi kesempatan untuk
mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional.
Tentunya, yang dimaksud pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan dalam
Pasal 59 UU No. 36 tahun 2009 adalah obat tradisional. Definisi obat tradisional ialah
bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia
atau obat asli Indonesia lebih dikenal dengan nama “jamu”. Salah satu arahan
Presiden RI untuk pengembangan Jamu Indonesia pada Gelar Kebangkitan Jamu
Indonesia tahun 2008 adalah melakukan penelitian dan pengembangan jamu dan
mengintegrasikan pelayananan kesehatan komplementer alternatif berbasis jamu
sebagai sistem ganda (dual system) di fasilitas pelayanan kesehatan.
Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan syarat yang ditetapkan;
klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan
tingkat pembuktiannya, yaitu tingkat pembuktian umum dan medium. Jenis klaim
penggunaan harus diawali dengan kata-kata “secara tradisional digunakan untuk…”,
atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.
Selain jamu kemasan yang telah siap diminum dengan menambahkan air ada
pula jamu Konvensional yang digunakan oleh pemberi pelayanan bukan tenaga
kesehatan (penjual jamu gendong atau toko jamu tradisional) :
1.    Pipisan (Mipis)
Cara menyari dengan alat pipisan ini merupakan cara pembuatan obat
tradisional khas Indonesia. Cara ini biasanya digunakan untuk bahan baku segar
(seperti daun, biji, bunga, rimpang) dan jarang digunakan untuk bahan keras
(kayu, klika, dan akar). Bahan yang telah dipilih dan telah dibersihkan kemudian
dihaluskan dengan bantuan sedikit air matang dengan alat pipisan. Cara
menghaluskannya mula-mula ditumbuk kemudian digerus. Masa yang sudah
halus dan mengandung air diperas melalui kalo (saringan dari anyaman bambu)
atau kain kasa, hingga diperoleh 1/4 cangkir jamu. Jika perasan belum mencapai
1/4 cangkir dapat ditambah air matang secukupnya melalui ampasnya kemudian
diperas lagi. Jika diperlukan dapat ditambah garam sedikit, gula aren
secukupnya, dan jeruk nipis. Jika tidak memiliki alat pipisan, cara ini dapat
dilakukan dengan blender.
2.    Seduhan
Menyari bahan baku dengan cara menyeduh mirip dengan menyeduh
teh. Bahan yang sering digunakan antara lain daun, bunga, dan bahan lunak
lainnya. Bahan tersebut dipotong kecil-kecil dengan gunting atau dirajang
dengan pisau. Untuk bahan yang keras dapat juga digunakan cara ini, tetapi harus
diserbuk terlebih dulu. Cara seduhan ini dapat digunakan untuk takaran tunggal
atau takaran sehari. Untuk pemakaian sehari, sisa harus disimpan di tempat
tertutup, jika memungkinkan di tempat sejuk (lemari es). Serbuk yang sudah
berjamur, dimakan serangga, atau sudah menggumpal, tidak boleh digunakan.
Cara pembuatannya yaitu bahan baku yang digunakan dapat berupa bahan baku
segar atau bahan yang sudah dikeringkan. Sebelum diramu, bahan-bahan
dipotong kecil-kecil atau diserbuk. Bahan tersebut kemudian diramu sesuai
dengan formula. Cara penyiapannya yaitu dengan mengambil ramuan seperti
yang tertera pada monografi, kemudian diseduh dengan 1/2 gelas (100 ml) air
panas (air yang diangkat setelah mendidih). Diamkan selama lebih kurang
beberapa saat hingga suhu air tahan dipegang dengan tangan (tidak terlalu panas
lagi), kemudian saring bila perlu. Jika diperlukan pula dapat ditambah garam,
madu, gula aren, dan jeruk nipis.
Dasar pemikirannya penggunaan obat tradisional baik dalam bentuk simplisia
tunggal maupun ramuan sebagian besar penggunaan dan kegunaannya masih
berdasarkan pengalaman. Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping
sebagian besar belum didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunaan obat
traditional baru didasarkan kepada kepercayaan terhadap informasi berdasarkan
pengalaman. Hal inilah yang mendasari pemakaiannya hanya pada pelayanan
kesehatan tradisional.
2.2 Penggunaan Zat Aktif Tanaman Obat Sebagai Bahan Obat Modern yang
Digunakan Pada Pelayanan Kesehatan Modern
Dalam Keputusan Kepala Badan POM yang dimaksud dengan Obat Bahan
Alam Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia. Selanjutnya
disebutkan dalam Keputusan Kepala Badan POM tersebut, berdasarkan cara
pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan
Alam Indonesia dikelompokkan secara berjenjang menjadi: (1)Jamu; (2) Obat Her bal
Terstandar; dan (3) Fitofarmaka.
Untuk kelompok Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria, yaitu
klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik dan telah dilakukan standardisasi
terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi. Jamu dapat dikembangkan
menjadi Obat Herbal terstandar dengan memenuhi persyaratan sebagaimana kriteria
yang berlaku untuk Obat Herbal Terstandar. Untuk kelompok Fitofarmaka, klaim
khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik dan jenis klaim penggunaan sesuai
dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Bahan baku Fitofarmaka dapat berupa simplisia atau sediaan galenik yang
harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra
Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia. Bila pada ketiga buku
persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam
buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain. Penggunaan ketentuan atau
persyaratan lain di luar Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia dan
Materia Medika Indonesia harus mendapat persetujuan pada waktu pendaftaran
Fitofarmaka.
Bentuk sediaan harus dipilih sesuai dengan sifat bahan baku dan tujuan
penggunaannya, sehingga bentuk sediaan tersebut dapat memberikan keamanan,
khasiat, dan mutu yang paling tinggi. Komposisi Fitofarmaka tidak boleh lebih dari 5
(lima) bahan baku, tetapi akan dilakukan penilaian secara khusus pada saat
pendaftaran bila ada penyimpangan terhadap hal tersebut. Penilaian khusus tersebut
meliputi kemampuan Industri Obat Tradisional dalam melakukan pengujian secara
kualitatif dan kuantitatif terhadap Fitofarmaka. Masing-masing bahan baku tersebut
harus diketahui keamanan dan khasiatnya, serta keamanan dan kebenaran khasiat
ramuan tersebut harus dibuktikan dengan uji klinik.
Dalam rangka pengembangan obat tradisional ke arah Fitofarmaka tersebut
perlu adanya suatu pedoman. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 761/ MENKES/SK/IX/1992 tentang Pedoman
Fitofarmaka dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
56/MHNKES/SK/I/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional.
Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional disusun sebagai panduan
pengembangan yang mencakup penyiapan dan pembuatan obat tradisional yang
memenuhi kaidah dan persyaratan ilmiah dan teknologi untuk siap produksi dan uji
agar dapat dimanfaatkan dalam upaya pelayanan kesehatan. Salah satu persyaratan
agar obat tradisional dapat digunakan pada upaya pelayanan kesehatan adalah tingkat
keamanan dan kemanfaatannya telah dapat dibuktikan secara ilmiah serta bersifat
terulangkan (reproducible) baik dalam bentuk sediaan maupun keamanan dan
tnanfaat penggunaan. Untuk mendapatkan kepastian keterulangkan tentang bentuk,
keamanan, serta manfaat maka pembakuan obat tradisional perlu dilakukan agar
tersedia acuan dalam bentuk data baku. Dengan demikian setiap obat tradisional yang
akan digunakan dalam upaya pelayanan kesehatan perlu dibakukan untuk
mendapatkan obat tradisional yang jelas identitasnya. Tatalaksana pengembangan
obat tradisional ke arah penggunaan dalam upaya pelayanan kesehatan berlangsung
dalam suatu mekanisme pengujian yang melibatkan pihak-pihak terkait.
Apabila obat tradisional yang tidak terkena ketentuan wajib daftar
berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan seperti Jamu Racik dan Jamu
Gendong ingin dikembangkan penggunaannya ke jalur pelayanan kesehatan, maka
obat tradisional tersebut terlebih dahulu harus mengalami pengungkapan untuk
memperoleh informasi tentang kemanfaatannya secara empiris, luas jangkauan
masyarakat pengguna, dan informasi menyangkut teknologi kefarmasian (cara
pembuatan dan bentuk sediaan, cara pemakaian, bahan yang digunakan, identitas
serta cara perolehan, ketersediaan bahan sumber simplisia). Hal ini dimaksudkan agar
obat tradisional tersebut dapat terulangkan pada saat pemanfaatan nantinya.
Berdasarkan informasi tersebut selanjutnya dilaku kan persiapan dan pengujian
praklinik dan klinik obat tradisional yang dimaksud. Dari hasil-hasil uji yang
diperoleh ditetapkan langkah lanjut oleh Tim yang berwenang untuk itu.
Bagi obat tradisional yang terkena ketentuan wajib daftar ingin dikembangkan
penggunaannya pada jalur pelayanan kesehatan, maka industri dan produk yang
dihasilkannya pertama-tama harus memenuhi persyaratan seperti tertera pada
Peraturan Menkes nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang izin usaha industri Obat
Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional serta Keputusan Menteri Kesehatan
nomor 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional. Dengan
melampirkan dokumen seperti dipersyaratkan pada peraturan tersebut, maka industri
obat tradisional dapat mengajukan permintaan untuk uji klinik terhadap produk, di
mana protokolnya terlebih dahulu diajukan ke Badan POM untuk memperoleh
persetujuan. Hasil uji klinik obat tradisi onal merupakan syarat pelengkap pendaftaran
obat tradisional yang akan digunakan pada upaya pelayanan kesehatan.
Tatalaksana pengembangan pemanfaatan obat tradisional dilakukan melalui
bebeiapa langkah. Setelah dilakukan observasi dan penilaian pemakaian obat
tradisional di masyarakat dan ternyata obat tradisional tersebut berkhasiat secara
empirik dan tidak memperlihatkan efek samping maka dilakukan:
a. Langkah I : Uji praklinik yang menentukan keamanan melalui uji
toksisitas dan menentukan khasiat melalui uji farmakodinamik;
b. Langkah II : Standardisasi secara sederhana;
c. Langkah III : Teknologi iarmasi yang menentukan identitas secara
seksama sampai dapat dibuat produk yang terstandardisasi;
d. Langkah IV : Uji klinik pada orang sakit dan atau orang sehat.
Setelah langkah IV ini, dan terbukti manfaat dan ke-amanannya, maka obat
tradisional dapat dipakai di dalam pelayanan kesehatan sebagai Fitofarmaka.
2.3 Penggunaan Jamu oleh Tenaga Kesehatan (Dokter) : Saintifikasi Jamu
Jamu merupakan warisan turun temurun kearifan lokal masyarakat Indonesia
untuk memelihara kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Namun demikian, sebagai
pengobatan tradisional, jamu masih dianggap kekurangan bukti ilmiah dalam hal
khasiat dan keamanan. Di pihak lain, terdapat tuntutan yang tinggi untuk
menggunakan jamu dalam pelayanan kesehatan, termasuk arahan Presiden Indonesia
untuk mengangkat jamu sebagai alternatif terapi pada pelayanan kesehatan. Solusi
terhadap hal ini, Kementerian Kesehatan telah meluncurkan program Saintifikasi
Jamu untuk menyediakan bukti ilmiah terkait khasiat dan keamanan jamu melalui
penelitian dan pengembangan. Saintifikasi Jamu dipandang sebagai upaya terobosan
untuk mempercepat penelitian jamu di sisi hilir. Sebagai pengobatan tradisional, jamu
menggunakan pendekatan naturopati, diarahkan pada penyembuhan dari pada
menyingkirkan penyakit sebagaimana kedokteran alopati. Kedokteran konvensional,
menggunakan pendekatan alopati, menerapkan terapi radikal seperti obat dan bedah.
Saintifikasi jamu mencoba mensintesis pendekatan naturopati dan alopati menjadi
kedokteran integratif. Konsekuensinya, evaluasi outcome klinik untuk Saintifikasi
Jamu menggunakan pendekatan holistik, sebagai filosofi kedokteran integratif.
Outcome klinik tidak hanya diukur dengan parameter objektif (pengukuran fisik dan
hasil laboratorium) namun juga parameter subjektif (outcome penilaian sendiri oleh
pasien, kualitas hidup, dan indeks kebugaran). Dengan diperolehnya bukti ilmiah
khasiat dan keamanan jamu, diharapkan dapat dipercepat integrasi jamu dalam
pelayanan kesehatan formal.
Saintifikasi jamu adalah upaya untuk mengangkat jamu agar dapat
mempunyai nilai ilmiah. Pembuktian ilimiah jamu tersebut melalui penelitian
berbasis pelayanan. Hal ini didukung oleh regulasi dari Departemen Kesehatan yaitu
Permenkes Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang saintifikasi jamu dalam penelitian
berbasis pelayanan.
Tujuan pengaturan saintifikasi jamu menurut Pasal 3 Permenkes 3/2010
adalah:
1) Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif,
promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.
2) Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien yang tidak
sakit dengan penggunaan jamu.
3) Meningkatkan penggunaan jamu di kalangan profesi kesehatan.
4) Menjamin jamu yang aman, bermutu dan bermanfaat serta melindungi
masyarakat dari penggunaan jamu yang tidak tepat.
5) Meningkatkan penyediaan jamu yang memiliki kahsiat nyata yang teruji
secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan
sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Proses saintifikasi jamu dilandasi oleh adanya pengalaman empiris, yaitu
terdiri dari tahapan sebagai berikut :
a. Seleksi, dengan prioritas pada penyakit utama rakyat, dan yang
kemungkinan manfaatnya besar
b. Literature review dan observasi untuk informasi keamanan dan
farmakodinamika
c. Pengujian toksisitas (akut, kronis, spesifik) dan konfirmasi
farmakodinamika
d. Standardisasi dan pengembangan sediaan/formulasi
e. Pengujian klinis pada manusia dengan mengacu pada GCP
f. Penentuan dose level.
 Fase 1       : konfirmasi temuan pada uji praklinis.
 Fase 2       : studi pendahuluan pada pasien.
 Fase 3       : bukti manfaat dan keamanan
 Fase 4       : penggunaan luas pada populasi pasien
Jamu adalah obat tradisional yang sudah digunakan secara turun temurun dari
generasi ke generasi, sehingga bila ada efek samping pasti sudah dikenali oleh
masyarakat. Dengan kata lain, untuk jamu turun temurun boleh dikatakan aman untuk
digunakan. Oleh karena itu, tahapan uji klinik jamu turun temurun dibedakan dengan
formula jamu baru. Saintifikasi Jamu mengusulkan tahapan pembuktian manfaat dan
keamanan jamu baik untuk formula turun temurun maupun formula baru.
Guna mendapatkan data dasar tentang jenis tanaman, ramuan tradisional, dan
kegunaan ramuan tersebut, tahap pertama penelitian dalam program Saintifikasi Jamu
adalah dengan melakukan studi etnomedisin dan etnofarmakologi pada kelompok
etnis masyarakat tertentu. Dari studi etnomedisin dan etnofarmakologi ini diharapkan
dapat diidentifikasi jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan, ramuan
tradisional yang dipakai, serta indikasi dari tiap tanaman maupun ramuan, baik untuk
tujuan pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan penyakit. Data dasar ini menjadi
sangat penting sebagai “bahan dasar” pembuktian ilmiah lebih lanjut.
Data dasar hasil studi etnomedisin dan etnofarmakologi ini tentunya perlu
dikaji oleh para ahli farmakologi herbal untuk dilakukan skrining guna ditetapkan
jenis tanaman dan jenis ramuan yang potensial untuk dilakukan uji manfaat dan
keamanan. Untuk formula yang sudah turun temurun dan terbukti aman, maka dapat
langsung pada tahap uji klinik fase 2 (WHO-TDR, 2005). Komnas Saintifikasi Jamu
sepakat untuk uji klinik fase 2 dalam rangka melihat efikasi awal dan keamanan,
cukup menggunakan pre-post test design (tanpa pembanding). Apabila pada uji klinik
fase 2 membuktikan efikasi awal yang baik, maka dapat dilanjutkan uji klinik fase 3,
untuk melihat efektivitas dan keamanannya pada sampel yang lebih besar, pada target
populasi yang sebenarnya. Desain uji klinik fase 3 Jamu ini sebaiknya menggunakan
randomized trial meski tanpa ketersamaran (open label randomized trial). Sebagai
pembanding (kontrol) bisa menggunakan obat standar bila jamu dipakai sebagai
terapi alternatif, atau Jamu on-top (sebagai terapi tambahan) pada obat standar, bila
Jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil akhir uji klinik Saintifikasi Jamu
adalah Jamu Saintifik, yang menunjukkan bahwa Jamu uji mempunyai nilai manfaat
dan terbukti aman. Apabila perusahaan farmasi akan mengembangkan Jamu Saintifik
menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi berkewajiban untuk mengikuti
tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Untuk formula jamu baru (bukan turun-temurun), maka tahapan uji klinik
sebagaimana obat modern tetap harus diberlakukan, yakni uji pre-klinik, uji klinik
fase 1, fase 2, dan fase 3. Namun demikian, uji untuk melihat profil farmakokinetik
(absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) tidak perlu dilakukan, baik pada uji
pre-klinik maupun uji klinik fase 1. Hal ini dikarenakan ramuan jamu berisi banyak
zat kimia (bisa ratusan) sehingga tidak mungkin untuk melacak absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan
coba maupun tubuh manusia (WHO-TDR, 2005). Dengan demikian, untuk formula
baru yang belum diketahui profil keamanannya, maka harus dilakukan tahapan uji
klinik yang runtut, mulai uji pre-klinik, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji
klinik fase 3. Bila uji klinik fase 3 menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman,
maka formula tersebut dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal.
Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai bahan uji pada program
Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan simplisia kering (untuk dijadikan
jamu “godhogan”), Obat Herbal Terstandar, ekstrak dalam bentuk tanaman tunggal,
campuran ekstrak tanaman, dan bentuk sediaan lainnya, yang tujuan akhirnya adalah
untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang manfaat dan keamanan jamu, baik untuk
tujuan promotif, preventif, kuratif, paliatif, maupun rehabilitatif.
Dunia kedokteran kini mulai mencoba untuk memanfaatkan obat-obatan
herbal tersebut. Salah satu contoh, yaitu klinik Hortus Medicus yang melayani pasien
dengan meresepkan obat herbal. Tentunya obat herbal ini telah mengalami
standardisasi dan uji klinik sehingga dapat dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Alur
pelayanan kesehatan pada poliklinik ini yaitu, Pendaftaran, pemeriksaan, dan
peresepan di griya jamu.
Pada saat pendaftaran pasien diwajibkan mengisi informed consent dan
request consent. Pada informed consent berisi mengenai persetujuan pasien mengenai
langkah pengobatan yang akan diberikan dokter. Dokter – dokter yang bekerja di
klinik saintifikasi jamu ini sebelumnya telah mengikuti pelatihan khusus. Pada saat
pendaftaran ini pasien juga dimintai nomor telepon untuk memantau efek obat herbal
terhadap pasien. Sedangkan pada request consent berupa permintaan pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan. Selanjutnya pasien mendapatkan pemeriksaan di
ruang periksa oleh dokter. Pada saat pemeriksaan pasien di observasi untuk
mengetahui apakah pasien memenuhi kriteria tertentu untuk sampel penelitian
mengenai manfaat obat herbal. Apabila pasien tidak memenuhi kriteria tersebut maka
pasien hanya diberikan pengobatan saja.
Setelah diperiksa pasien diberikan resep untuk diambil di griya jamu. Obat
yanng diberikan di griya jamu terdapat dalam dua bentuk sediaan yaitu kapsul dan
ramuan/racikan. Resep diberikan dalam bentuk formularium dan ditulis dalam kode
tertentu sesuai dengan jenis penyakit pasien. Peresepan diberikan dalam bentuk paket
dimana satu paket obat herbal dapat digunakan untuk satu minggu penggunaan.
Harga satu paket obat berkisar Rp.20.000. Pada setiap kemasan obat tertera cara
pemakaian obat herbal tersebut.
BAB III. METODELOGI SAINTIFIKASI JAMU

Dasar hukum dari saintifikasi jamu adalah Permenkes No 003/ Menkes/ Per/
I/ 2010 tentang sainfitikasi jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.
Sedangkan tujuan penetapan dasar hukum ini adalah memberi landasan ilmiah pada
praktek pelayanan jamu di fasilitas pelayanan kesehatan (Saintifikasi Jamu).

Metodelogi saintifikasi jamu dilakukan melalui 3 tahap, yaitu :

1. Uji preklinik, yaitu toksisitas dan efikasi pada hewan coba.


Uji pre-klinik dilakukan untuk formula baru. Namun uji untuk melihat profil
farmakokinetik (adsorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) tidak perlu
dilakukan, baik pada uji pre-klinik maupun uji klinik fase 1. Hal ini
dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia sehingga tidak mungkin
untuk melacak adsorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi semua
komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan coba maupun tubuh
manusia. Dengan demikian, untuk formula baru yang belum diketahui profil
keamanannya, maka harus dilakukan tahapan uji klinik yang runtut, mulai uji
pre-klini, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji klinik fase 3. Bila uji klinik
fase 3 menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman, maka formula
tersebut dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal (1).
Uji klinik 1 pada dasarnya bertujuan untuk melihat profil farmakologis
(farmakokinetik dan farmakodinamik) dan toksisitas pada manusia. Uji klinik
fase 2 bertujuan untuk melihat efek terapeutik awal dan keamanan. Uji klinik
fase 3 bertujuan untuk melihat efektivitas dan keamanan.
Untuk formula yang sudah turun temurun dan terbukti aman, maka dapat
langsung pada tahap uji klinik fase 2.
Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai bahan uji pada program
Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan simplisia kering (untuk
dijadikan jamu “godhogan”), Obat Herbal Terstandar, ekstrak dalam bentuk
tanaman tunggal, campuran ekstrak tanaman, dan bentuk sediaan lainnya,
yang tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang manfaat
dan keamanan jamu, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif, paliatif,
maupun rehabilitatif.

2. Uji klinik dengan disain pre-post intervention di Klinik Hortus Medicus


B2P2TOOT Tawangmangu.
Untuk uji klinik dengan disain pre-post intervention ini di dapatkan contoh
pada klinik Hortus Medicus B2P2TOOT Tawangmangu. Dimana di klinik
tersebut sudah menerapkan terapi jamu (saintifikasi jamu) untuk pasien yang
datang berobat. Saintifikasi jamu untuk 4 (empat) ramuan jamu telah
dilakukan, yaitu untuk :
- Ramuan antihipertensi
- Ramuan antihiperglikemik
- Ramuan antihiperkolesterolemia
- Ramuan antihiperurisemia
Dimana disain studi untuk saintifikasi jamu tersebut adalah pre-post
intervention, dengan besar sampel masing-masing 125 untuk efikasi, dan 40
untuk keamanan. Studi berlangsung selama 4 minggu. Dari data yang
didapatkan, dilaporkan bahwa hasil sementara cukup menjanjikan di mana ke-
4 ramuan tersebut memberi dampak penyembuhan dan relatif aman untuk
digunakan. Akan tetapi masih diperlukan penyempurnaan terhadap beberapa
ramuan. Karena masih ada beberapa kekurangan, seperti ramuan antiglikemia
masih terasa pahit, dan untuk ramuan antihiperurisemia dilaporkan terjadi
peningkatan SGOT/SGPT, meski masih dalam batas normal. Selanjtnya upaya
saintifikasi jamu tersebut akan ditingkatkan kekuatan bukti ilmiahnya dengan
disain Randomized Controlled Trial without double blind.
Pada dasarnya jika mengikuti kaidah yang tertera dalam Pedoman Cara Uji
Klinik yang Baik maka uji klinik terbagi menjadi 4, yaitu :
Fase I : Dilakukan pad sukarelawan sehat, untuk menguji
keamanan dan tolerabilitas obat tradisional.
Fase II awal :Dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa
pembanding
Fase II akhir : Dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan
pembanding
Fase III: Uji klinik definitif
Fase IV : Pasca pemasaran, untuk mengamati efek samping
yang jarang atau yang lambat timbulnya.

3. Uji klinik Randomized Clinical Trial (dengan kontrol) tetapi tidak tersamar
(not blinding).
Gambar 1. Tahapan metodologi Saintifikasi Jamu dan Keterkaitan dnegan metodologi

Berdasarkan gambar 1, dapat diketahui bahwa pembuktian manfaat dan keamanan


jamu berbeda dengan obat sistesis. Jamu adalah obat tradisional yang sudah
digunakan secara turun
temurun dari generasi ke generasi, sehingga bila ada efek samping pasti sudah
dikenali oleh masyarakat. Dengan kata lain, untuk jamu turun temurun boleh
dikatakan aman untuk digunakan.
Oleh karena itu, tahapan uji klinik jamu turun temurun dibedakan dengan
formula jamu baru. Saintifikasi Jamu mengusulkan tahapan pembuktian manfaat dan
keamanan jamu baik untuk formula turun temurun maupun formula baru. Guna
mendapatkan data dasar tentang jenis tanaman, ramuan tradisional, dan kegunaan
ramuan tersebut, tahap pertama penelitian dalam program Saintifikasi Jamu adalah
dengan melakukan studi etnomedisin dan etnofarmakologi pada kelompok etnis
masyarakat tertentu. Dari studi etnomedisin dan etnofarmakologi ini diharapkan dapat
diidentifikasi jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan. ramuan tradisional
yang dipakai, serta indikasi dari tiap tanaman maupun ramuan, baik untuk tujuan
pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan penyakit. Data dasar ini menjadi sangat
penting sebagai “bahan dasar” pembuktian ilmiah lebih lanjut.
Data dasar hasil studi etnomedisin dan etnofarmakologi ini tentunya perlu
dikaji oleh para ahli farmakologi herbal untuk dilakukan skrining guna ditetapkan
jenis tanaman dan jenis ramuan yangpotensial untuk dilakukan uji manfaat dan
keamanan. Untuk formula yang sudah turun temurun dan terbukti aman, maka dapat
langsung pada tahap uji klinik fase 2 (WHO-TDR, 2005). Komnas SJ sepakat untuk
uji klinik fase 2 dalam rangka melihat efikasi awal dan keamanan, cukup
menggunakan pre-post test design (tanpa pembanding). Apabila pada uji klinik fase 2
membuktikan efikasi awal yang baik, maka dapat dilanjutkan uji klinik fase 3, untuk
melihat efektivitas dan keamanannya pada sampel yang lebih besar, pada target
populasi yang sebenarnya. Desain uji klinik fase 3 Jamu ini sebaiknya menggunakan
randomized trial meski tanpa ketersamaran (open label randomized trial). Sebagai
pembanding (kontrol) bisa menggunakan obat standar bila Jamu dipakai sebagai
terapi alternatif, atau Jamu on-top (sebagai terapi tambahan) pada obat standar, bila
Jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil akhir uji klinik Saintifikasi Jamu
adalah Jamu Saintifik, yang menunjukkan bahwa Jamu uji mempunyai nilai manfaat
dan terbukti aman. Apabila perusahaan farmasi akan mengembangkan Jamu Saintifik
menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi berkewajiban untuk mengikuti
tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk
formula jamu baru (bukan turun-temurun), maka tahapan uji klinik sebagaimana obat
modern tetap harus diberlakukan, yakni uji pre-klinik, uji klinik fase 1, fase 2, dan
fase 3. Namun demikian, uji untuk melihat profil farmakokinetik (absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) tidak perlu dilakukan, baik pada uji pre-klinik maupun uji
klinik fase 1. Hal ini dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan)
sehingga tidak mungkin untuk melacak absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi semua komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan coba maupun tubuh
manusia (WHO-TDR, 2005). Dengan demikian, untuk formula baru yang belum
diketahui profil keamanannya, maka harus dilakukan tahapan uji klinik yang runtut,
mulai uji pre-klinik, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji klinik fase 3. Bila uji
klinik fase 3 menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman, maka formula
tersebut dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal. Bentuk sediaan yang dapat
dipakai sebagai bahan uji pada program Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional,
ramuan simplisia kering (untuk dijadikan jamu “godhogan”), Obat Herbal
Terstandar, ekstrak dalam bentuk tanaman tunggal, campuran ekstrak tanaman, dan
bentuk sediaan lainnya, yang tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan bukti ilmiah
tentang manfaat dan keamanan jamu, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif,
paliatif, maupun rehabilitatif.

Contoh Penerapan Metodologi Saintifikasi Jamu

Judul Penelitian : Sediaan Hernal Benalu Teh Sebagai Kandidat Alternatif Obat
Antihipertensi Alami Tradisional Indonesia.

Latar Belakang :
Usaha penanganan hipertensi dengan menggunakan herbal bertujuan untuk
mengurangi faktor resiko penggunaan obat. Penggunaan herbal untuk pengobatan dan
pencegahan hipertensi dan komplikasinya diimplementasikan antara lain karena
populasi pasien semakin banyak dengan konsekwensi meningkatnya penggunaan
obat. Disisi lain, sumber daya yang dapat digunakan terbatas sehingga perlu adanya
solusi supaya pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Dengan
demikian perlu pengembangan dan pemanfaatan herbal dengan menfokuskan pada
temuan tumbuhan tradisional berkhasiat misalnya benalu teh. Oleh karena itu, perlu
diimplentasikan penatalaksanaan hipertensi secara herbal dengan melakukan
penelitian secara komprehensif

Rumusan masalah :
Tahap I
1. Apakah benalu teh memiliki efek toksik terhadap ikan zebra (Danio rerio) ?
2. Berapakah nilai LC50 benalu pada ikan zebra (Danio rerio)?
Tahap II
1. Bagaimana mekanisme kerja farmakodinamik benalu teh ?
2. Bagaimana dose respon curve benalu teh ?
Tahap III
1. Bagaimana mekanisme standardisasi dan penentuan identitas benalu teh?
2. Bagaimana menentukan formulasi sediaan benalu teh ?

Tujuan Penelitian
1. Memperoleh bukti uji toksisitas dan LC50 benalu teh. Menentukan
toksisitas.Khusus dan akut benalu teh yang diberikan pada ikan zebra dengan
penentuan LC 50 dan pengaruhnya terhadap perkembangan embrio nya
2. Memperoleh teori mekanisme kerja farmakodinamik benalu teh
3. Memperoleh dose respon curve benalu teh
4. Memperoleh standardisasi dan penentuan identitas benalu teh
5. Menentukan formulasi sediaan benalu teh.

Manfaat Aplikatif
Pemanfaatan benalu teh yang selama ini dianggap berparasit pada tanaman
teh. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan sediaan baru benalu teh
sebagai kandidat obat alternatif antihipetensi alami tradisional Indonesia, sehingga
bermanfaat untuk kesehatan masyarakat
Metode
1. Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat
tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan
adalah: Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas
dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
2. Uji preklinik, terdiri atas
a. Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik,
kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas,
mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan
untuk menentukan LD (Lethal dose) yaitu dosis yang mematikan 50%
hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada
organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis
obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis
tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas
subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada
uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji
toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek
toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama
pemberiansediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama
pemberian obat pada manusia
Uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur
derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu,
dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan
dan dilanjutkan selama 7-14 hari. Tujuan uji toksisitas akut yaitu
untuk menentukan LD50. LD50 adalah suatu dosis yang dapat
menimbulkan kematian pada 50 % hewan coba.
b. Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk
meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam
menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat
tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo
pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan
efek pada manusia
c. Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan
Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan
identitas, dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan
obat herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar
berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan.
Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif
tertentu yang bersifat termolabil
3. Uji klinik obat tradisional
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional / obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan
obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan
tersamar ganda (randomized double - blind controlled clinical trial)
merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard).

Tahapan Penelitian
 Program Tahun I
1. Melakukan uji toksisitas benalu teh pada hewan coba
2. Menguji LC50 hewan coba
3. Penelitian tahun II dilakukan manakala sudah mendapatkan data dari tahun I
Untuk mencapai sasaran yang diinginkan pada penelitian tahun kedua ini,
maka dilakukan langkah-langkah penelitian sebagai berikut
 Program Tahun II
1. Eksperimen uji farmakodinamik efek benalu teh
2. Uji Dose Respon Curve benalu teh
3. Penelitian tahun III dilakukan manakala sudah mendapatkan hasil yang
kongkrit tahun II
Untuk mencapai sasaran dan mendapatkan sediaan yang diinginkan pada
penelitian tahun ketiga ini, maka dilakukan langkah-langkah penelitian berikutnya
 Program Tahun III
1. Standardisasi sediaan benalu teh
2. Penentuan identitas sediaan
3. Uji formulasi sediaan benalu teh
Gambar 2. Bagan Tahapan Penelitian
Prosedur Kerja
1. Pembuatan sediaan benalu teh
Proses pembuatan sediaan benalu teh dilakukan di Laboratorium Farmakologi
FK Brawijaya Malang menggunakan proses destilasi.Benalu teh dengan
konsentrasi 20 molaritas kemudian diencerkan dengan menggunakan alkohol
menjadi sediaan dengan konsentrasi 1%, 2%, 4% dan 8%.
2. Perlakuan dengan ikan zebra
Jumlah larva ikan zebra tipe lokal dengan kapasitas maksimum ditempatkan
di dalam satu sumuran, dengan 14 jam penerangan lampu, dan 10 jam cahaya
redup (penerangan mulai pada jam 08.00), temperatur dikontrol dalam suhu
230C-25oC, dipapar 30% minyak atsiri nilam dengan dosis 1%, 2%, 4% dan
8% proses adaptasi dilakukan beberapa selama hari.
3. Pengamatan hewan coba
Pengamatan perubahan perilaku pergerakan larva ikan melalui perekaman
video pada mikroskop untuk mengetahui fungsi motorik. Pengamatan
dilakukan dengan membuat gambaran garis petak pada 96-wellplate, dan
kemudian menghitung jumlah garis petak yang dilalui oleh larva ikan zebra
selama pengamatan
. Penentuan LC5 diperoleh dari dosis yang menimbulkan kematian berarti pada
50% hewan coba. Pengamatan dan penentuan LC50 dilakukan selama
perlakuan 96 jam
Gambar 3. Diagram Alir Eksperimen

Keterangan:
K : Kelompok kontrol negatif, larva ikan zebra + makanan standar
laboratorium.
P1 : Larva ikan zebra + 1% benalu teh
P2 : Larva ikan zebra + 2% benalu teh
P3 : Larva ikan zebra + 4 % benalu teh
P4 : Larva ikan zebra + 8% benalu teh
Teknik-Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan uji toksikologi dan LC50
pada semua perlakuan. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan
kelompok, selanjutnya data dibandingkan dengan uji kontrol.

Analisis Data
Analisis data menggunakan uji one way ANOVA dan Post Hoc pada software
SPSS 21

Indikator Capaian yang Terukur


1. Keberhasilan dalam melakukan uji toksikologi, apabila kematian hewan coba
< LC50
2. Keberhasilan uji toksikologi, apabila lokomotor hewan coba > 50 %
3. Keberhasilan benalu teh sebagai sediaan, apabila mempunyai efek
farmakodinamik yang aman.
4. Keberhasilan sediaan benalu teh, apabila sudah tersaintifikasi secara standard
dan sudah berformula.
BAB IV. KENDALA METODELOGI SAINTIFIKASI JAMU

KENDALA
Penelitian yang berbasis pada monitoring langsung pada hasil terapi yang diberikan
secara langsung kepada pasien (pre-post intervention) menimbulkan kontrafersi di
kalangan masyarakan yang beranggapan bahwa dalam penelitian ini pasien secara
tidak langsung dijadikan bahan uji coba.

1. Saintifikasi jamu masih bernaung dalam program penelitian dan pelayanan


(lityan) sehingga masih banyak peraturan-peraturan yang harus diikuti serta
disesuaikan dalam melakukan penelitian.
2. Dokter yang melakukan harus harus dilatih dulu selama 50 jam, waktu ini
dirasa masih kurang untuk mengumpuni pengetahuin dokter tentang
saintifikasi jamu.
3. Bila jamu telah tersaintifikasi, belum tentu bisa diterima di jalur profesi (IDI),
dan jamu yang telah tersaintifikasi apakah langsung boleh diterapkan oleh
dokter atau ada syarat lain
4. Peran apoteker dalam Permenkes 003/Menkes 2010 masih tersirat, belum
tersurat.
5. Perlu pemisahan antara Klinik Jamu dengan Apotek/ Instalasi Jamu. Klinik
jamu hanya mendiagnosis penyakit dan menulis R/ sampai dengan
pascapengobatan (post market surveillance).
6. Di dalam pelayanan kesehatan perlu dibedakan antara Care (oleh perawat),
Cure (oleh dokter) dan pharmaceutical Care (oleh apoteker).
7. Tenaga Apoteker belum dilibatkan secara tersurat dalam Saintifikasi jamu
padahal peranan apoteker sangat penting dalam metodologi pengembangan
saintifikasi jamu karena apoteker merupakan profesi dibidang obat begitu juga
jamu.
8. Ada ketidaksesuaian antara jenis petugas dan kegiatan yang dilakukan yaitu
pencatatan rekam medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga
lainnya.dimana dalam pencatatan rekamedik seharunya dilakukan oleh dokter
dan pharmaceutical record dilakukan oleh apoteker sesui dengan profesinya
sehingga didapat hasil yang diinginkan karena setiap pencatatan dilakukan
profesi dibidang masing-masing.
9. Penelitian yang dibutuhkan untuk saintifi kasi jamu tidak hanya penelitian
kualitatif. “Perlu ditambah penelitian kuantitatif selain kualitatif karena
evidence base harus betul-betul kuat, jadi evidence base banyak tetapi juga
valid dan baik serta harus sesuai dengan metode yang baik”.
10. Fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) belum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (di luar konteks penelitian). Dalam menentukan jenis
klinik sehingga perlu penyesuain dengan PP No. 51 atau UU yang
mencantumkan tentang pelayanan kesehatan.

SARAN
1. Perlu pendekatan lebih kepada masyarakat dalam pengenalan saintifikasi
jamu.
2. Perlu dilakukan pendidikan khusus tentang saintifikasi jamu bukan hanya
pelatihan terhadap dokter dengan waktu yang singkat 50 jam. Dan pelatihan
tidak hanya untuk dokter tetapi untuk semua tenaga yang dilibatkan dalam
metodoligi saintifikasi jamu.
3. Karena Permenkes No. 003/Menkes/ 2010 lebih ditujukan untuk intervensi
sisi hilir (dokter) dalam menjamin penelitian berbasis pelayanan di fasilitas
pelayanan kesehatan (klinik jamu) maka diperlukan Permenkes khusus yang
menjabarkan peran Apoteker saintifi kasi Jamu yang komplementer dengan
Permenkes No. 03/2010.
4. Perlu dibuat Permenkes khusus Apoteker SJ dengan membuat pusat
pelayanan bahan jamu untuk didistribusikan ke Klinik Jamu (mirip apotek
komunitas khusus jamu) yang menjamin aksesibilitasnya di tingkat kecamatan
5. Perbedaan yang dimaksud sepanjang tidak menambah beban beban harga
jamu dan dapat menjamin penelitian berbasis pelayanan khusus untuk jamu
yang metodologi ilmiahnya berbeda dari obat modern. Permenkes baru
tersebut justru menjamin keserasian antara Care, Cure & Pharmaceutical
Care demi kepentingan masyarakat dalam pelayanan kesehatan Tradisional.
6. Perlu Permenkes khusus tentang apoteker Saintifi kasi Jamu dengan kejelasan
peran-peran preparasi jamu, sinergi dengan pengobatan konvensional dan
meningkatkan penggunaan obat bahan alam sebagai pelayanan kesehatan
tradisional.
7. Diperjelas tentang tanggung jawab profesi dalam pengisian rekam medik oleh
dokter sebagai pimpinan profesi bersumpah dalam pengumpulan bukti ilmiah
melalui pelayanan jamu di fasyankes. Dalam Permenkes baru tentang
Apoteker Saintifi kasi Jamu juga diberlakukan catatan jamu sebagai rekam
formulasi farmasi yang dilakukan oleh seorang apoteker.
8. Penelitian jamu memerlukan metodologi khusus yang berbeda dengan
penelitian obat. Penambahan metode penelitian kuantitatif ataupun farmako
epidemik dilakukan sesuai dengan tujuannya masing-masing. Penelitian
kuantitatif ditujukan hanya bila dimaksudkan untuk penemuan efi kasi
substansi aktif, bukan untuk cara penggunaan jamu.
DAFTAR PUSTAKA

WHO-TDR. 2005. Operational Guidance: Information Needed to Support Clinical


Trials of Herbal Products. Special Programme for Research and Training in
Tropical Diseases (TDR): Geneva.
Siswanto. 2012. Saintifikasi Jamu Sebagai Upaya Terobosan Untuk Mendapatkan
Bukti Ilmiah Tentang Manfaat Dan Keamanan Jamu. Pusat Teknologi
Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
Kardono, L. B. S. 2001. Penelitian dan Pengembangan Bahan Alam di Indonesia
serta Perlindungannya. Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 42: 3:
Jakarta.
Depkes RI. 2010. Permenkes Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi
Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.2010. Riset
Kesehata Dasar.Jakarta
Trihono, M.Sc, dr. 2011. Regulasi Penggunaan Jamu Untuk Terapi Pengobatan
Modern. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV.
(http://www.farmako.uns.ac.id/perhipba/wpcontent/uploads/2011/12/MU.2.pd
f)
Ardyanto, dr. Danang. 2011. Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi
Kedokteran Modern. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV.
(http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/viewFile/
2994/2227)
Athiroh AS, dr Nour. 2014. Sediaan Benalu Teh Sebagai Kandidat Alternatif Obat
Antihipertensi Alami Tradisional Indonesia. Penelitian Strategis Nasional
Universitas Islam Malang (http://nourathiroh.web.id/E.%20PENGALAMAN
%20PENELITIAN/SEDIAAN%20HERBAL%20BENALU
%20TEH_STRATEGIS%20NASIONAL-2014.pdf)

Anda mungkin juga menyukai