Kelompok 4:
Herdinik Widi Astutik (142211101025)
Devy Tarius A. (142211101026)
Desinta Sylviana P.D (142211101027)
Heni Septi P. (142211101028)
Chrysnanda Maryska (142211101029)
Eka Ayu M. (142211101030)
Lailatul Qomariah (142211101031)
Novi Prasetyaningrum (142211101032)
Indonesia memiliki kekayaan tanaman obat dan ramuan jamu dari berbagai
suku yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Jamu merupakan warisan leluhur
bangsa telah dimanfaatkan secara turun temurun untuk pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa
49,53% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan
maupun untuk pengobatan karena sakit. Dari penduduk yang mengkonsumsi jamu,
sebanyak 5,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Hasil Riskesdas tahun
2010 juga menunjukkan bahwa dari masyarakat yang mengkonsumsi jamu, 55,3%
mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan (infusum/ decoct), sementara sisanya
(44,7%) mengkonsumsi jamu dalam bentuk serbuk, rajangan, dan pil/kapsul/ tablet
(Badan Litbang Kesehatanb, 2010).
Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat Tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku
di masyarakat (Permenkes 03,2010). Jamu, sebagai obat tradisional asli Indonesia,
telah digunakan secara turun temurun oleh nenek moyang bangsa Indonesia dari
generasi ke generasi dan dirasakan manfaatnya baik untuk memelihara kesehatan
maupun mengobati penyakit, namun belum mempunyai bukti ilmiah yang kokoh
terkait khasiat dan keamanannya. Sehingga perlu dilakukan suatu pembuktian ilmiah
mengenai manfaatnya dalam pengobatan. Salah satu cara untuk pembuktian manfaat
jamu tersebut adalah dengan metode saintifikasi jamu.
Saintifikasi jamu adalah upaya terobosan dalam rangka mempercepat
penelitian di sisi hilir, yakni pengujian terkait manfaat dan keamanan jamu untuk
upaya promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif, dengan membentuk
jejaring dokter yang mampu melaksanakan penelitian berbasis pelayanan. Saintifikasi
Jamu ini berupaya mengembangkan Body of Knowledge sistem Pengobatan
Tradisional Indonesia (termasuk jamulogi) ke arah kedokteran integratif dengan
pendekatan terapi secara holisti (Siswanto,2012). Saintifikasi jamu ini memiliki
metode tertentu yang digunakan untuk mengetahui manfaat suatau jamu. Pada
makalah ini akan dibahas secara merinci mengenai metode saintifikasi jamu.
1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui macam-macam
metode dan tahapan-tahapan pada saintifikasi jamu.
1.4 Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah media untuk meningkatkan pengetahuan
pembaca mengenai metode saintifikasi jamu.
BAB II. JALUR PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT
Dasar hukum dari saintifikasi jamu adalah Permenkes No 003/ Menkes/ Per/
I/ 2010 tentang sainfitikasi jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.
Sedangkan tujuan penetapan dasar hukum ini adalah memberi landasan ilmiah pada
praktek pelayanan jamu di fasilitas pelayanan kesehatan (Saintifikasi Jamu).
3. Uji klinik Randomized Clinical Trial (dengan kontrol) tetapi tidak tersamar
(not blinding).
Gambar 1. Tahapan metodologi Saintifikasi Jamu dan Keterkaitan dnegan metodologi
Judul Penelitian : Sediaan Hernal Benalu Teh Sebagai Kandidat Alternatif Obat
Antihipertensi Alami Tradisional Indonesia.
Latar Belakang :
Usaha penanganan hipertensi dengan menggunakan herbal bertujuan untuk
mengurangi faktor resiko penggunaan obat. Penggunaan herbal untuk pengobatan dan
pencegahan hipertensi dan komplikasinya diimplementasikan antara lain karena
populasi pasien semakin banyak dengan konsekwensi meningkatnya penggunaan
obat. Disisi lain, sumber daya yang dapat digunakan terbatas sehingga perlu adanya
solusi supaya pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Dengan
demikian perlu pengembangan dan pemanfaatan herbal dengan menfokuskan pada
temuan tumbuhan tradisional berkhasiat misalnya benalu teh. Oleh karena itu, perlu
diimplentasikan penatalaksanaan hipertensi secara herbal dengan melakukan
penelitian secara komprehensif
Rumusan masalah :
Tahap I
1. Apakah benalu teh memiliki efek toksik terhadap ikan zebra (Danio rerio) ?
2. Berapakah nilai LC50 benalu pada ikan zebra (Danio rerio)?
Tahap II
1. Bagaimana mekanisme kerja farmakodinamik benalu teh ?
2. Bagaimana dose respon curve benalu teh ?
Tahap III
1. Bagaimana mekanisme standardisasi dan penentuan identitas benalu teh?
2. Bagaimana menentukan formulasi sediaan benalu teh ?
Tujuan Penelitian
1. Memperoleh bukti uji toksisitas dan LC50 benalu teh. Menentukan
toksisitas.Khusus dan akut benalu teh yang diberikan pada ikan zebra dengan
penentuan LC 50 dan pengaruhnya terhadap perkembangan embrio nya
2. Memperoleh teori mekanisme kerja farmakodinamik benalu teh
3. Memperoleh dose respon curve benalu teh
4. Memperoleh standardisasi dan penentuan identitas benalu teh
5. Menentukan formulasi sediaan benalu teh.
Manfaat Aplikatif
Pemanfaatan benalu teh yang selama ini dianggap berparasit pada tanaman
teh. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan sediaan baru benalu teh
sebagai kandidat obat alternatif antihipetensi alami tradisional Indonesia, sehingga
bermanfaat untuk kesehatan masyarakat
Metode
1. Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat
tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan
adalah: Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas
dalam angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
2. Uji preklinik, terdiri atas
a. Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik,
kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas,
mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan
untuk menentukan LD (Lethal dose) yaitu dosis yang mematikan 50%
hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada
organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis
obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis
tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas
subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada
uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji
toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek
toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama
pemberiansediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama
pemberian obat pada manusia
Uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur
derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu,
dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan
dan dilanjutkan selama 7-14 hari. Tujuan uji toksisitas akut yaitu
untuk menentukan LD50. LD50 adalah suatu dosis yang dapat
menimbulkan kematian pada 50 % hewan coba.
b. Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk
meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam
menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat
tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo
pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan
efek pada manusia
c. Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan
Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan
identitas, dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan
obat herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar
berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan.
Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif
tertentu yang bersifat termolabil
3. Uji klinik obat tradisional
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional / obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan
obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan
tersamar ganda (randomized double - blind controlled clinical trial)
merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard).
Tahapan Penelitian
Program Tahun I
1. Melakukan uji toksisitas benalu teh pada hewan coba
2. Menguji LC50 hewan coba
3. Penelitian tahun II dilakukan manakala sudah mendapatkan data dari tahun I
Untuk mencapai sasaran yang diinginkan pada penelitian tahun kedua ini,
maka dilakukan langkah-langkah penelitian sebagai berikut
Program Tahun II
1. Eksperimen uji farmakodinamik efek benalu teh
2. Uji Dose Respon Curve benalu teh
3. Penelitian tahun III dilakukan manakala sudah mendapatkan hasil yang
kongkrit tahun II
Untuk mencapai sasaran dan mendapatkan sediaan yang diinginkan pada
penelitian tahun ketiga ini, maka dilakukan langkah-langkah penelitian berikutnya
Program Tahun III
1. Standardisasi sediaan benalu teh
2. Penentuan identitas sediaan
3. Uji formulasi sediaan benalu teh
Gambar 2. Bagan Tahapan Penelitian
Prosedur Kerja
1. Pembuatan sediaan benalu teh
Proses pembuatan sediaan benalu teh dilakukan di Laboratorium Farmakologi
FK Brawijaya Malang menggunakan proses destilasi.Benalu teh dengan
konsentrasi 20 molaritas kemudian diencerkan dengan menggunakan alkohol
menjadi sediaan dengan konsentrasi 1%, 2%, 4% dan 8%.
2. Perlakuan dengan ikan zebra
Jumlah larva ikan zebra tipe lokal dengan kapasitas maksimum ditempatkan
di dalam satu sumuran, dengan 14 jam penerangan lampu, dan 10 jam cahaya
redup (penerangan mulai pada jam 08.00), temperatur dikontrol dalam suhu
230C-25oC, dipapar 30% minyak atsiri nilam dengan dosis 1%, 2%, 4% dan
8% proses adaptasi dilakukan beberapa selama hari.
3. Pengamatan hewan coba
Pengamatan perubahan perilaku pergerakan larva ikan melalui perekaman
video pada mikroskop untuk mengetahui fungsi motorik. Pengamatan
dilakukan dengan membuat gambaran garis petak pada 96-wellplate, dan
kemudian menghitung jumlah garis petak yang dilalui oleh larva ikan zebra
selama pengamatan
. Penentuan LC5 diperoleh dari dosis yang menimbulkan kematian berarti pada
50% hewan coba. Pengamatan dan penentuan LC50 dilakukan selama
perlakuan 96 jam
Gambar 3. Diagram Alir Eksperimen
Keterangan:
K : Kelompok kontrol negatif, larva ikan zebra + makanan standar
laboratorium.
P1 : Larva ikan zebra + 1% benalu teh
P2 : Larva ikan zebra + 2% benalu teh
P3 : Larva ikan zebra + 4 % benalu teh
P4 : Larva ikan zebra + 8% benalu teh
Teknik-Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan uji toksikologi dan LC50
pada semua perlakuan. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan
kelompok, selanjutnya data dibandingkan dengan uji kontrol.
Analisis Data
Analisis data menggunakan uji one way ANOVA dan Post Hoc pada software
SPSS 21
KENDALA
Penelitian yang berbasis pada monitoring langsung pada hasil terapi yang diberikan
secara langsung kepada pasien (pre-post intervention) menimbulkan kontrafersi di
kalangan masyarakan yang beranggapan bahwa dalam penelitian ini pasien secara
tidak langsung dijadikan bahan uji coba.
SARAN
1. Perlu pendekatan lebih kepada masyarakat dalam pengenalan saintifikasi
jamu.
2. Perlu dilakukan pendidikan khusus tentang saintifikasi jamu bukan hanya
pelatihan terhadap dokter dengan waktu yang singkat 50 jam. Dan pelatihan
tidak hanya untuk dokter tetapi untuk semua tenaga yang dilibatkan dalam
metodoligi saintifikasi jamu.
3. Karena Permenkes No. 003/Menkes/ 2010 lebih ditujukan untuk intervensi
sisi hilir (dokter) dalam menjamin penelitian berbasis pelayanan di fasilitas
pelayanan kesehatan (klinik jamu) maka diperlukan Permenkes khusus yang
menjabarkan peran Apoteker saintifi kasi Jamu yang komplementer dengan
Permenkes No. 03/2010.
4. Perlu dibuat Permenkes khusus Apoteker SJ dengan membuat pusat
pelayanan bahan jamu untuk didistribusikan ke Klinik Jamu (mirip apotek
komunitas khusus jamu) yang menjamin aksesibilitasnya di tingkat kecamatan
5. Perbedaan yang dimaksud sepanjang tidak menambah beban beban harga
jamu dan dapat menjamin penelitian berbasis pelayanan khusus untuk jamu
yang metodologi ilmiahnya berbeda dari obat modern. Permenkes baru
tersebut justru menjamin keserasian antara Care, Cure & Pharmaceutical
Care demi kepentingan masyarakat dalam pelayanan kesehatan Tradisional.
6. Perlu Permenkes khusus tentang apoteker Saintifi kasi Jamu dengan kejelasan
peran-peran preparasi jamu, sinergi dengan pengobatan konvensional dan
meningkatkan penggunaan obat bahan alam sebagai pelayanan kesehatan
tradisional.
7. Diperjelas tentang tanggung jawab profesi dalam pengisian rekam medik oleh
dokter sebagai pimpinan profesi bersumpah dalam pengumpulan bukti ilmiah
melalui pelayanan jamu di fasyankes. Dalam Permenkes baru tentang
Apoteker Saintifi kasi Jamu juga diberlakukan catatan jamu sebagai rekam
formulasi farmasi yang dilakukan oleh seorang apoteker.
8. Penelitian jamu memerlukan metodologi khusus yang berbeda dengan
penelitian obat. Penambahan metode penelitian kuantitatif ataupun farmako
epidemik dilakukan sesuai dengan tujuannya masing-masing. Penelitian
kuantitatif ditujukan hanya bila dimaksudkan untuk penemuan efi kasi
substansi aktif, bukan untuk cara penggunaan jamu.
DAFTAR PUSTAKA