Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak jaman dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya


untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya untuk makan, tempat berteduh, pakaian,
obat, pupuk, parfum dan bahkan untuk kecantikan dapat diperoleh dari lingkungan.
Sehingga kekayaan alam disekitar manusia sebenarnya sedemikian rupa sangat
bermanfaat dan belum sepenuhnya digali, dimanfaatkan atau bahkan dikembangkan.

Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat


obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan
tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang
secara turun menurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan


oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah
lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi
Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan
relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu)
dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sukandar E Y, 2006)

Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia.
Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat
herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika,
sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer
(WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di
negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi

1
penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk
penyakit tertentu diantaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai
obat herbal di seluruh dunia (Sukandar E Y, 2006).

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam


pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama
untuk penyakit kronis, penyakit degenerative dan kanker. WHO juga mendukung
upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO,
2003).

Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada
penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek
samping yang relative lebih sedikit dari pada obat modern.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka


terdapat beberapa permasalahan pokok dalam laporan ini :

1. Apa itu tanaman obat tradisional?


2. Apa saja macam-macam sediaan obat herbal?

1.3 Tujuan Pembuatan Laporan

1. Mampu mengetahui tentang tanaman obat tradisional.


2. Mampu mengetahui tentang macam-macam sediaan obat herbal.

2
1.4 Manfaat Pembuatan Laporan

Memberikan wawasan tentang macam-macam tanaman obat berkhasiat dan obat


herbal.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Obat Tradisional

Obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang
secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama
jamu, umumnya campuran obat herbal yaitu obat yang berasal dari tanaman. Bagian
tanaman yang digunakan dapat berupa akar, batang, daun, umbi atau mungkin juga
seluruh bagian tanaman.

Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan


tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin
antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang
ditulis dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontar di Bali. Obat tradisional
Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan
dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat.

2.2 Sediaan Obat Tradisional

Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum atau
ditempelkan pada permukaan kulit, tetapi tidak tersedia dalam bentuk suntikan atau
aerosol. Dalam bentuk sediaan obat-obat tradisional ini dapat berbentuk serbuk yang
menyerupai bentuk sediaan obat modern, kapsul, tablet, larutan ataupun pil.

a. Kapsul

4
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga
terbuat dari pati dan bahan lain yang sesuai. Ukuran cangkang kapsul keras
bervariasi dari nomor paling kecil sampai nomor paling besar (000), dan ada juga
kapsul gelatin keras ukuran 0 dengan bentuk memanjang (dikenal sebagai usuran
OE), yang memberikan kapasitas isi yang lebih besar tanpa peningkatan diameter.
Contohnya kapsul pacekap.
b. Tablet
Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak, berbentuk rata atau
atau cempung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa zat tambahan. Zat pengembang, zat pengikat, zat pelican, zat
pembasah. Contohnya yaitu tablet antalgin.
c. Larutan
Merupakan suatu zat padat bersinggungan dengan suatu cairan, maka padat tadi
terbagi secara molekuler dalam cairan tersebut. Zat cair atau cairan biasanya
ditimbang dalam botol yang digunakan sebagai wadah yang diberikan. Cara
melarutkan zat cair ada dua cara yakni zat-zat yang agak sukar larut dilarutkan
dengan pemanasan.
d. Pil
Pil adalah suatu sediaan yang berbentuk bulat seperti kelereng mengandung
satu atau lebih bahan obat. Berat pil berkisar antara 100 mg sampai 500 mg, untuk
membuat pil diperlukan zat tambahan seperti zat pengisi untuk memperbesar
volume, zat pengikat dan pembasah dan bila perlu ditambakan penyalut.

5
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pelaksanaan Field Lab

Field Lab Blok Farmasi Kedokteran Gigi dilaksanakan pada :

Hari/Tanggal : Selasa, 6 Maret 2018

Tempat : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan


Obat Tradisional (B2P2TOOT) Kementerian Kesehatan RI di
Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah

3.2 Sejarah B2P2TOOT

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat


Tradisional (B2P2TOOT) mengelola iptek Tanaman Obat dan Obat Tradisional
dalam mendukung pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal, melalui
penelitian, pelatihan iptek, pelayanan iptek dan diseminasi.

B2P2TOOT bermula dari Kebun Koleksi Tanaman Obat, dirintis oleh R.M
Santoso Soerjokosoemo sejak awal tahun kemerdekaan, menggambarkan semangat
dari seorang anak bangsa Nusantara yang tekun dan sangat mencintai budaya
pengobatan nenek moyang. Beliau mewariskan semangat dan kebun tersebut pada
negara. Mulai April 1948, secara resmi Kebun Koleksi TO tersebut dikelola oleh
pemerintah dibawah Lembaga Eijkman dan diberi nama “Hortus Medicus
Tawangmangu”.

6
Sejak tahun 2010, B2P2TOOT memprioritaskan pada Saintifikasi Jamu, dari
hulu ke hilir, mulai dari riset etnofarmakologi tumbuhan obat dan jamu, pelestarian,
budidaya, pascapanen, riset praklinik, riset klinik, teknologi, manajemen bahan jamu,
pelatihan iptek, pelayanan iptek, dan diseminasi sampai dengan peningkatan
kemandirian masyarakat.

3.3 Fasilitas B2P2TOOT

3.3.1 Sinema Fitomedika

Sinema Fitomedika merupakan wahana penyebaran informasi, berupa


pemutaran film documenter iptek yang merupakan salah satu destinasi awal
pada kegiatan Wisata Kesehatan Jamu. Di tempat ini, pemandu wisata akan
menyampaikan presentasi sambutan, pemaparan profil institusi dan diskusi
awal dengan para peserta Wisata Kesehatan Jamu B2P2TOOT
Tawangmangu.

3.3.2 Museum Jamu Hortus Medicus

Museum Jamu Hortus Medicus dikelola untuk memfasilitasi aktivitas


permuseuman Jamu dalam kerangka Saintifikasi Jamu. Museum ini
menyediakan sarana, fasilitas dan artefak untuk pengoleksian, pelestarian,
riset, komunikasi dan diseminasi benda nyata dalam kerangka Saintifikasi
Jamu. Museum Jamu Hortus Medicus dikelola sebagai pusat permuseuman
Jamu Kemenkes, juga untuk menjadi bahan studi oleh kalangan akademis,
dokumentasi kekhasan masyarakat tertentu, ataupun dokumentasi dan
pemikiran imaginative pada masa depan.

Pada Museum Jamu Hortus Medicus terdiri dari beberapa ruangan, salah
satunya yaitu ruang produk jamu, dimana koleksi ASEAN herbal medicine
(produk obat tradisional dari negara anggota ASEAN) dan jamu dari

7
Indonesia terdapat disini dan terdapat ruang bahan baku yaitu koleksi
simplisia dan material bahan baku obat tradisional yang direndam dalam
cairan formalin atau alkohol 90%.

Gambar 1. Koleksi di Ruang Bahan Baku

3.3.3 Etalase Tanaman Obat

Etalase tanaman obat yang berlokasi di Desa Kalisoro, Kec.


Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah di ketinggian 1.200 mdpl dan
luas 3.505 m² ini merupakan salah satu fasilitas wisata jamu dengan koleksi
±1000 species tanaman dimana banyak jenis tanaman yang tidak hanya
indah melainkan juga berkhasiat. Fungsi spesifik dari etalase tanaman obat
ini yaitu sebagai kebun koleksi dan wisata ilmiah tanaman obat.

8
Gambar 2. Etalase Tanaman Obat

Koleksi tanaman obat disini mayoritas merupakan tanaman asli


Indonesia. Berbagai macam tanaman obat juga berkhasiat untuk mencegah
hingga mengobati penyakit kronik seperti jantung, kanker, dll. Semua
tanaman obat di kebun ini pun tanpa campur tangan bahan kimia, dengan
kondisi alam yang sejuk dan tercukupinya jumlah air, tanaman disini tumbuh
subur dan rindang meski hanya mendapatkan pemupukan dari pupuk
kompos.

Beberapa tanaman koleksi etalase B2P2TOOT :

a. Ginjean (Leonurus sibiricus L) : sebagai obat peluruh haid (emenagogue)


dan keputihan (leucorrhea).
b. Tapak dara (Vinca rosea L) : sebagai obat kanker.
c. Parijoto (Medinella speciose L) : sebagai obat sariawan.
d. Iris (Iris pallida Lamk) : sebagai bedak penghalus kulit.
e. Rosmarin (Rosmarinus officinalis L) : sebagai obat batuk.
f. Jambu Lorek atau Jambu Belang (Psidium guajava L) : sebagai obat
diare.

9
Gambar 3. Koleksi Etalase Tanaman Obat

3.3.4 Laboratorium Pascapanen

Laboratorium pascapanen merupakan laboratorium yang bertanggung


jawab terhadap produksi bahan jamu sesuai dengan SOP yang telah
ditetapkan, sehingga memenuhi standar kualitas yang berlaku.

Di laboratorium ini juga sebagai tempat memproses bahan setelah


dipanen. Adapun beberapa tahapan nya :

a. Pemanenan.
b. Sortasi Basah.
Dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing
lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari
akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil,
rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya

10
harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam
jumlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari tanah yang
terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal.

Gambar 4. Ruang Sortasi


c. Pencucian.
Untuk menghilangkan tanah dan kotoran lainnya yang melekat pada
bahan simplisia diperlukan tahap pencucian. Pencucian dilakukan dengan
air bersih sebanyak 2x. Bahan simplisia yang mengandung zat mudah
larut di dalam air mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu yang
sesingkat mungkin. Pencucian tidak dapat membersihkan simplisia dari
semua mikroba karena air pencucian yang digunakan biasanya
mengandung juga sejumlah mikroba. Cara sortasi dan pencucian sangat
mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Setelah bahan
baku dicuci selanjutnya tiriskan untuk menghilangkan air yang menempel
di permukaan bahan, diletakkan ditempat khusus seperti keranjang besar
bertingkat.

11
Gambar 5. Penirisan Simplisia

d. Perubahan Bentuk atau Perajangan.


Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses perajangan.
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses
pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Tanaman yang baru diambil
jangan langsung dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama 1
hari. Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin
perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan
ukuran yang dikehendaki.
Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan
air, sehingga mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang
terlalu tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat
berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi bau
dan rasa yang diinginkan. Setelah perajangan dan sebelum bahan
melanjutkan proses selanjutnya bahan baku harus ditimbang.
e. Pengeringan.
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak
mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari

12
atau menggunakan alat pengering (blower). Hal-hal yang perlu
diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan,
kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan
bahan.

Gambar 6. Proses Pengeringan

f. Sortasi Kering.
Sortasi kering sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-
bagian tanaman yang tidak diinginkan dan kotoran-kotoran lain yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering dan juga memisahkan
antara hasil panen yang rusak atau layu. Seperti halnya pada sortasi awal,
sortasi kering di B2P2TOOT dapat dilakukan dengan atau secara manual
dilakukan oleh beberapa karyawan, simplisia di sortir dan dipisahkan jika
tidak layak dan dari benda-benda asing, ditimbang dan dilanjutkan proses
selanjutnya.
g. Pengemasan.
h. Cara Penyimpana.

13
Produk yang sudah dikemas dalam kantong plastic besar disimpan ke
dalam gudang. Penyimpanan dilakukan diruangan tertutup namun
pencahayaan masih cukup terhadap serangan serangga serta suhu yang
sesuai dengan suhu kamar. Gudang penyimpanan produk di B2P2TOOT
didalmanya terdapat rak besar untuk menyimpan dan menyusun produk.
Hal ini bertujuan agar produk tidak bersentuhan dengan lantai.

Gambar 7. Tempat Penyimpanan Simplisia

14
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Tanaman obat merupakan tanaman yang berkhasiat dan digunakan sebagai


obat, dimana ketika secara naluriah manusia berupaya untuk memelihara
kesehatan dan mengobati penyakitnya. Upaya itu tentu membuahkan hasil-hasil
yang kemudian diturun-temurunkan dari generasi ke generasi menjadi suatu
sistem kesehatan dan pengobatan yang baku, begitulah terjadi selama berabad-
abad.

Pada field lab yang dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan


Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Kementerian
Kesehatan RI di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah ini kita dapat
mengetahui mengenai bagaimana penanaman tanaman herbal, proses pemanenan,
pembuatan simplisia, pembuatan ekstrak, dan dapat mengetahui apa saja khasiat
atau manfaat dari berbagai jenis tanaman herbal.

Adapun beberapa tahapan pemrosesan menjadi simplisia yaitu pemanenan,


sortasi basah, pencucian, perubahan bentuk atau perajangan, pengeringan, sortasi
kering, dan pengemasan. Beberapa fasilitas yang ada di B2P2TOOT yaitu kebun
tanaman obat, rumah riset jamu hortus medicus, museum jamu hortus medicus,
perpustakaan, sinema fitomedika, gedung diklat iptek tanaman obat dan jamu,
dan rumah kaca adaptasi dan pelestarian tanaman obat.

15
4.2 Saran

Setelah melakukan field lab, maka dalam kesempatan ini saran yang perlu
disampaikan kepada pihak B2P2TOOT Tawangmangu dimana masukan-
masukan tersebut antara lain :

a. Meningkatkan pemeliharaan tanaman herbal, dimana tanaman ini sangat


bermanfaat positif untuk kesehatan masyarakat, jika tanaman yang dihasilkan
memiliki kualitas yang bagus.
b. Penggunaan obat herbal harus dilestarikan karena obat herbal memiliki efek
samping yang minimal bahkan tidak adanya efek samping bila digunakan
dengan dosis yang sesuai.
c. Lebih meningkatkan pelayanan dan kinerja.

16
DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
Tawangmangu. Laporan Awal Hasil Ristoja 2012. Tawangmangu : Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
Tawangmangu; 2012.

Depkes RI. 2007. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jakarta : Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor : 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional
Tahun 2007. Jakarta : 2007.

Sukandar E Y, Trend dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi


Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB,
http://itb.ac.id/focus/focus_file/orasi-ilmiah-dies-45.pdf

WHO, 2003, Traditional medicine,


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/

17
LAMPIRAN

18
19

Anda mungkin juga menyukai