BERAT
Peristiwa genosida di Indonesia dan luar negeri
Peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia dan luar negeri
Disusun oleh : INDRIANI AGUSTINA
Guru pembimbing : FADILAH FW
TP.3013-2014
Pada tahun 1990-an Habyarimana merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis
di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana mengangkat perdana
menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas
tidak diterima oleh kelompok militan yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu
suku.
Kekhawatiran sekaligus kekecewaan berlebihan inilah yang akhirnya memuncak menjadi
tindak pembunuhan terhadap presiden sendiri. Habyarimana akhirnya dibunuh bersama presiden
Burundi oleh kelompok militan penentangnya ketika mereka berada di dalam pesawat (atau
helikopter) pemberian Presiden Perancis Francois Mitterand
KAMBOJA atau Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk
Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad
Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada
etnis Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN yang terkenal dengan pagoda Angkor Wat ini
berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Vietnam. Sebagian besar rakyat Kamboja beragama
Buddha Theravada, yang turun-temurun dianut oleh etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada
yang beragama Islam dari keturunan muslim Cham.
Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot
berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia
menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17
April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan
korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat
Kamboja.
MERDEKA DARI PRANCIS
Pada tanggal 9 November 1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah
berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian
mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali dari
pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan menggelar pemilihan
umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil mengusir orang-orang komunis dan
memperoleh seluruh kursi pemerintahan.
Pada tahun 1955, untuk melepaskan diri dari segala bentuk pelarangan yang dibuat untuk raja
oleh perundang-undangan Kamboja, Norodom Sihanouk mengembalikan tahta kepada ayahnya,
Norodom Suramarit. Ia kemudian memasuki dunia politik. Selama pemilihan berturut-turut, pada tahun
1955,1958, 1962 dan 1966, partai bentukan Norodom Sihanouk selalu memenangkan kursi mayoritas di
parlemen.
Pada bulan Maret 1969, Pesawat Amerika mulai mengebom Kamboja untuk menghalangi jejak
dan penyusupan dari tentara Vietkong. Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973.
Pada tahun 1970, ketika Sihanouk sedang berada di Moskow dalam sebuah kunjungan
kenegaraan, Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk
kerajaan dan menyatakan Kamboja sebagai sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali ke
negaranya dan memilih menetap di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan Khmer
Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.
Khmer Merah
Khmer Merah (Bahasa Perancis: Khmer Rouge) adalah cabang militer Partai Komunis
Kampuchea (nama Kamboja kala itu). Pada tahun 1960-an dan 1970-an, Khmer Merah melakukan
perang gerilya melawan rezim Shihanouk dan Marsekal Lon Nol. Pada 17 April 1975, Khmer Merah yang
dipimpin oleh Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kamboja.
Hanya dalam beberapa hari saja, rezim baru ini telah menghukum mati sejumlah besar rakyat
Kamboja yang tadinya bergabung dengan rezim Lon Nol. Penduduk Phnom Phen dan juga penduduk di
provinsi lain terpaksa keluar dari kota dan pindah ke daerah-daerah penampungan. Phnom Phen menjadi
kota mati. Seluruh perekonomian di seluruh negeri berubah di bawah garis keras komunis, Uang hilang
dari peredaran. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kelaparan dan wabah penyakit di daerah tersebut.
Selama 44 bulan berikutnya, jutaan orang Kamboja menjadi korban teror dari Khmer Merah.
Para pengungsi yang berhasil lari ke Thailand menceritakan kekejaman kelompok ini yang antara lain
menghukum mati anak-anak hanya karena mereka tidak lahir dari keluarga petani. Selain itu orang-orang
keturunan Vietnam dan Cina juga turut diteror dan dibunuh. Siapa saja yang disangka sebagai orang
yang berpendidikan, atau menjadi angota dari keluarga pedagang pasti dibunuh dengan cara dipukul
sampai mati, bukan dengan ditembak dengan dalih untuk menghemat amunisi.
Killing Fields (Ladang Pembantaian)
Masa empat tahun Pol Pot dan Khmer Merahnya berkuasa di Kamboja, adalah masa yang
membuat seluruh dunia geger. Khmer Merah berupaya mentransformasi Kamboja menjadi sebuah
negara Maois dengan konsep agrarianisme. Rezim Khmer juga menyatakan, tahun kedatangan mereka
sebagai "Tahun Nol" (Year Zero). Mata uang, dihapuskan. Pelayanan pos, dihentikan. Kamboja diputus
hubungannya dengan luar negeri. Hukum Kamboja juga dihapuskan.
Rezim Khmer Merah dalam kurun waktu tersebut diperkirakan telah membantai sekitar dua juta
orang Kamboja. Ada sekitar 343 "ladang pembantaian" yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja.
Choeung Ek adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Di sini, sebagian besar korban yang
dieksekusi adalah para intelektual dari Phnom Penh, yang di antaranya adalah: mantan Menteri Informasi
Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari
Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp
penyiksaan Tuol Sleng.
Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang paling rahasia. Pada 1962,
penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol,
nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School.
Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom Penh, mencakupi
wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan Khmer Merah, sekolah diubah
menjadi kamp interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik. Di ladang
pembantaian ini, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama
intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab,
mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga
disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum
perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi.
Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung Ek. Sejumlah tahanan
politik yang dinilai penting ditahan untuk diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.
Haing S Ngor yang masa itu berprofesi sebagai seorang dokter adalah segelintir intelektual yang
berhasil lolos dari buruan rezim Khmer Merah. Haing dianugerahi Piala Oscar tahun 1984 atas perannya
di film "The Killing Fields". Dalam film itu, ia memerankan tokoh Dith Pran, jurnalis Kamboja yang selamat
dari pembantaian. Namun malang, Haing tewas terbunuh di kediamannya di Los Angeles, AS, ketika
melawan
perampokan
yang
dilakukan
tiga
pecandu
narkoba
pada
1996.
Pada tanggal 25 Desember 1978, setelah beberapa pelanggaran terjadi di perbatasan antara
Kamboja dan Vietnam, tentara Vietnam menginvasi Kamboja. Tanggal 7 Januari 1979, pasukan Vietnam
menduduki Phnom Penh dan menggulingkan pemerintahan Pol Pot. Pemerintahan boneka lalu dibentuk
di bawah pimpinan Heng Samrin, mantan anggota Khmer Merah yang telah membelot ke Vietnam.
Namun pemerintahan baru ini tidak diakui oleh negara-negara Barat. Sementara Pol Pot dan para
pengikutnya lari ke hutan-hutan dan kembali melakukan taktik gerilya dan teror. Pol Pot yang bernama
asli Saloth Sar akhirnya meninggal di tengah hutan pada 15 April 1998 karena serangan jantung.
Pada tahun 1982, Tiga kelompok (faksi) yang masih bertahan di Kamboja yaitu Khmer Merah,
dan Front kemerdekaan nasional, netral, kedamaian dan kerja sama Kamboja (FUNCINPEC) pimpinan
Pangeran Sihanouk, serta Front nasional kebebasan orang-orang Khmer yang dipimpin oleh perdana
menteri yang terdahulu yaitu Son Sann, membentuk koalisi yang bertujuan untuk memaksa keluar tentara
Vietnam.
Tahun
1989,
tentara
Vietnam
akhirnya
mundur
dari
Kamboja.
Tahun 1992, PBB (UNTAC), mengambilalih sementara pemerintahan negara ini. Tahun
berikutnya, PBB menggelar pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FUNCINPEC. Faksi ini kemudian
membentuk pemerintahan koalisi bersama Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen.
Sekarang, Kamboja telah berkembang pesat berkat bantuan dari negara-negara asing. Negara
ini bahkan telah menggelar persidangan terhadap seorang mantan pemimpin Khmer Merah atas
dakwaan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Rakyat di kota dan desa juga telah hidup tenang
walaupun dihantui bahaya ranjau darat yang masih banyak bertebaran di seluruh penjuru negeri
Organisasi Observatory atas HAM dan Kebebasan kemarin mengeluarkan laporan yang
menyoroti kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Mesir dalam rangka memerangi
organisasi teroris di Gubernuran Sinai Utara.
Menurut Observatory, tentara telah melakukan pembunuhan, penangkapan, penyiksaan dan
penggusuran kuwarga Mesir di Sinai di bawah bendera perang melawan teror, sementara media dan
pasukan keamanan telah sengaja dikunci. Selain itu, Observatory melaporkan bahwa tentara
mendasarkan operasi melawan terorisme pada yayasan ilegal dan kejahatan dilakukan terhadap warga
sipil yang tidak bersenjata.
Observatory mengatakan: Sejak kudeta tanggal 3 Juli 2013, hingga sekarang setidaknya 200
warga sipil telah tewas, 1, 500 orang ditangkap, lebih dari 350 rumah dihancurkan, serta penyiksaan
sistematis di dalam penjara militer Azula terhadap warga Sinai utara, tanpa dilakukan penyelidikan.
Laporan itu yang berjudul Ketika Kejahatan Hanya Menjadi Angka dan statistik, akan terus
melanjutkan untuk memeriksa pelanggaran HAM oleh tentara Mesir selama operasinya di Sinai, dan
menggambarkan mereka melakukan lebih dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut Observatory,
operasi militer di Sinai dilakukan dalam konteks perang melawan teror yang melanggar hukum dan
prinsip- prinsip hukum yang mencap mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini terlihat
dari penangkapan dan penyiksaan yang dipraktekkan kepada ratusan warga Mesir di Sinai di tangan
tentara.
Observatory menegaskan bahwa istilah perang melawan teror bukan berarti kekuasaan penuh
yang menjadi dasar bagi tentara Mesir untuk melakukan pembunuhan di luar hukum, dan menunjukkan
bahwa laporan juru bicara militer telah menjadi alat untuk melakukan penyiksaan. (Middle East Monitor,
25/4/2014)