Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN DAN RESUME KEPERAWATAN

DENGAN KASUS LYMPHADENITIS PADA AN. A DI POLI ANAK


RUMAH SAKIT UMUM AURA SYIFA KABUPATEN KEDIRI

Disusun oleh:
AJENG QURROTAA’YUN
NIM: 40221001

PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2022
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN RESUME KEPERAWATAN
DENGAN KASUS LYMPHADENITIS AN. A DI POLI ANAK
RUMAH SAKIT UMUM AURA SYIFA KABUPATEN KEDIRI

Untuk Memenuhi Tugas Profesi


Keperawatan Anak

Oleh :
AJENG QURROTAA’YUN
NIM. 40221001

Telah Disetujui Pada Tanggal


………………………..

Oleh :
Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

_________________________ ________________________

Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Ners
Fakultas Kesehatan
Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

Sri Wahyuni, S.Kep., Ns.,M.Kep


LAPORAN PENDAHULUAN LIMFADINITIS
A. Definisi Limfadinitis
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar
getah bening. Peradangan tersebut akan menimbulkan hiperplasia
kelenjar getah bening hingga terasa membesar secara klinik.
Kemunculan penyakit iniditandai dengan gejala munculnya benjolan
pada saluran getah bening misalnya ketiak, leher dan sebagainya.
Kelenjar getah bening yang terinfeksi akan membesar dan biasanya
teraba lunk dan nyeri. Kadang-kadang kulit diatasnya tampak merah dan
teraba hangat (Baratawidjaja, 2012)
Limfadenitis adalah kondisi inflamasi pada nodus limfe. Nodus
limfe bervariasi dalam ukuran, berbentuk lonjong, dan berlokasi di
sepanjang pembuluh limfe. Secara fisiologis, nodus limfe berperan dalam
imunitas tubuh untuk melawan patogen. Inflamasi dapat terjadi bila
kemampuan patogen penyebab penyakit melebihi kemampuan proteksi
dari sistem imun. Penyebab limfadenitis dapat berupa infeksi bakteri,
virus, atau protozoa. Namun, walaupun jarang, limfadenitis bisa idiopatik
(Prudent, 2018).
B. Klasifikasi Limfadenitis
Berdasarkan waktu, limfadenitis dapat diklasifikasikan menjadi
Limfadenitis akut dan Limfadenitis kronik Limfadenitis dapat
diklasifikasikan menjadi dua tipe berdasarkan persebarannya, yaitu:
1. Limfadenitis terlokalisasi
Kondisi ini adalah jenis yang paling banyak ditemukan, hanya
melibatkan beberapa nodus di sekitar area infeksi yang berasal seperti
pada gondong.
2. Limfadenitis umum
Kondisi ini melibatkan lebih dari satu kelompok nodus limfa yang
dapat disebabkan oleh infeksi yang menyebar melalui darah.
(Zingman, 2020)
C. Etiologi Limfadenitis
Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi organisme yaitu bakteri,
virus, protozoa, riketsia atau jamur. Secara khusus penyebaran ke
kelenjar getah bening terjadi melalui infeksi kulit, telinga, hidung atau
mata. Limfadenitis hampir selalu dihasilkan oleh sebuah infeksi, yang
kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, riketsia atau
jamur. Ciri khasnya, infeksi terebut menyebar menuju kelenjar getah
bening dari infeki kulit, telinga, hidung atau mata atau dari beberapa
infeksi seperti infreksi mononucleosis, infeksi cytomegalovirus, infeksi
streptococcal, tuberculosis atau sifilis. Infeksi tersebut dapat
mempengaruhi kelenjar getah bening atau hanya pada salah satu daerah
pada tubuh. Gejala awal limfadenitis adalah pembengkakan kelenjar yang
disebabkan oleh penumpukan cairan jaringan dan peningkatan jumlah sel
darah putih akibat respon tubuh terhadap infeksi, kehilangan nafsu
makan, nadi cepat dan kelemahan (Baratawidjaja, 2012).
Limfadenitis dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Infeksi bakteri streptococcal atau staphylococcal
2. Sakit tenggorokan karena bakteri
3. Tonsilitis
4. Infeksi gigi
5. Infeksi HIV
6. Tuberkulosis
7. Infeksi mikrobakterial non tuberkulosis
D. Patofisiologi
Patofisiologi limfadenitis didasari oleh reaksi sistem imun ketika
patogen masuk dalam tubuh. Patogen yang masuk akan dikenali oleh sel
dendritik melalui struktur polisakarida, glikolipid, lipoprotein, asam
nukleat, dan nukleotida untuk kemudian ditransportasikan menuju ke
nodus limfe terdekat. Antigen yang berada pada nodus limfe akan
menginisiasi respon imun yang dimediasi sel T dengan menstimulasi
berbagai sitokin proinflamasi. Respon terhadap sel T akan menstimulasi
sitokin lain yang membuat sel B mengalami kemotaksis dan proliferasi
pada bagian germinal nodus limfe. Sel B akan menghasilkan
immunoglobulin, seperti IgG1, IgG3, dan IgG4, untuk membunuh dan
mengekspulsikan pathogen.
Peningkatan aktivitas nodus limfe terkait patogen mengakibatkan
hiperplasia folikuler disertai dengan ekspansi korteks, peningkatan
ukuran dan jumlah folikel sekunder, dan mengakibatkan peningkatan
ukuran nodus limfe (limfadenopati). Pembesaran ukuran ini juga
disebabkan oleh adanya ekspansi parakortikal dan peningkatan
kebocoran kapiler.
Ukuran nodus limfe yang meningkat bersamaan dengan
peningkatan tegangan dari kapsul nodus dan jumlah sel endotel,
menyebabkan bertambahnya jumlah mikrokapiler dan aliran darah,
sehingga timbul rasa nyeri dan eritema.
(Jaggi, 2018)
E. Manifestasi Klinis
Kelenjar getah bening yang terserang biasanya akan membesar
dan jika diraba terasa lunak dan nyeri. Tanda dan gejala dapat berbeda di
lokasi dan etiologi limfadenitis. 1-3 Tanda dan gejala lain meliputi:
1. Demam
2. Nyeri
3. Merah
4. Abses (nodus dengan nanah)
5. Cairan keluar dari nodus
6. Anoreksia
Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat, pembengkakan
ini akan menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan tumor.
Dan untuk memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada
penyakit limfadenitis maka perlu adanya pengangkatan
jaringan untuk pemeriksaan di bawah mikroskop.
(Zingman, 2020)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Laboratorium pada limfadenitis
Lekositosis biasanya tanpa perubahan. Pada akhirnya, kultur darah
menjadi positif, umumnya spesies Stafilokokus atau Streptokokus.
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas pada eksudat luka atau pus dapat
membantu pengobatan infeksi.
2. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis
dan kultur. Spesimen untuk mikrobiologi dapat diperoleh dari sinus
atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan
adanya mikroorganisme pada spesimen. Kultur (contoh dikirim ke
laboratorium dan diletakkan pada kultur medium yang membiarkan
mikroorganisme untuk berkembang) kemungkinan diperlukan untuk
memastikan diagnosa dan untuk mengidentifikasikan organisme
penyebab infeksi.
3. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk
mengetahui ukuran, bentuk, dan gambaran mikronodular. USG juga
dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar
(infeksi, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia).
4. Biopsi
Biopsi adalah pengambilan sejumlah kecil jaringan dari tubuh
manusia untuk  pemeriksaan patologis mikroskopik. Biopsi Aspirasi
Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB), adalah prosedur
biopsi yang menggunakan jarum sangat tipis yang melekat pada jarum
suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah kecil jaringan dari lesi
abnormal. Sampel jaringan ini kemudian dilihat di bawah mikroskop.
Biopsi kebanyakan dilakukan untuk mengetahui adanya kanker.
Bagian apapun dari tubuh, seperti kulit, organ tubuh maupun benjolan
dapat diperiksa.
5. CT Scan
CT Scan adalah mesin x-ray yang menggunakan komputer untuk
mengambil gambar tubuh untuk mengetahui apa yang mungkin
menyebabkan limfadenitis. CT scan dapat digunakan untuk membantu
pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan
intraabdominal. CT Scan dapat mendeteksi pembesaran KGB
servikalis dengan diameter 5 mm atau lebih.
(Baratawidjaja, 2012)
G. Komplikasi
Komplikasi limfadenitis sangat bergantung pada patogen penyebab
dan pemberian terapi mengingat setiap patogen memiliki tahapan
perkembangan penyakit yang berbeda. Beberapa komplikasi yang dapat
timbul antara lain selulitis, trombosis, embolus, sepsis, ruptur arteri
karotis, abses mediastinum, perikarditis, perkembangan menjadi kanker,
dan penyebaran ke organ lain (Patridge, 2019)
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang spesifik pada Limfadenitis Tidak ada.
Limfadenitis biasanya ditangani dengan mengistirahatkan ekstremitas
yang bersangkutan dan pemberitan antibiotik. Pengobatan sesuai gejala
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Pengobatan
gejala harus dimulai segera seperti pemberian:
1. Analgesik (penghilang rasa sakit) untuk mengontrol nyeri
2. Antipiretik dapat diberikan untuk menurunkan demam
3. Antibiotik untuk mengobati setiap infeksi sedang sampai berat
4. Obat anti inflamasi untuk mengurangi peradangan
5. Kompres dingin untuk mengurangi peradangan dan nyeri
6. Operasi mungkin diperlukan untuk mengeringkan abses.
Tata laksana pembesaran kelenjar getah bening leher didasarkan
kepada penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah
bening leher sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan
pengobatan apa pun selain dari observasi. Kegagalan untuk mengecil
setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi
kelenjar getah bening. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala
yang mengarahkan kepada keganasan, kelenjar getah bening yang
menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau
diagnosis belum dapat ditegakkan.
(Baratawidjaja, 2012).
Konsep Asuhan Keperawatan Limfadenitis
1. Pengkajian
Gejala pada Limfadenitis secara fisik dapat timbul benjolan yang
kenyal, terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau
pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala
penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera
dicurigai sebagai Limfadenitis. Namun tidak semua benjolan yang
terjadi di sistem limfatik merupakan Limfadenitis. Bisa saja benjolan
tersebut hasil perlawanan kelenjar limfe dengan sejenis virus atau
mungkin tuberculosis limfa.
Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien
limfadenitis antara lain
a. Data subjektif
1) Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38ᴼC
2) Sering keringat malam.
3) Cepat merasa lelah
4) Badan Lemah
5) Mengeluh nyeri pada benjolan
6) Nafsu makan berkurang
b. Data Obyektif
1) Timbul benjolan yang kenyal,mudah digerakkan pada leher,
ketiak atau pangkal paha.
2) Wajah pucat
3) Kebutuhan dasar
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik limfadenitis harus dicatat ada tidaknya
nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas
digerakkan atau tidak dapat digerakkan, Apakah ada fluktuasi,
konsistensi apakah keras atau kenyal. Pasien tampak sakit ringan atau
berat , demam, dan pada kulit adakah lesi misalnya selulitis, abses,
melanoma.
Periksa dimana kelenjer getah bening yang membesar : Misalnya di
bagian bawah Regio Supra Clavicula Dekstra, KGB di servikal,
aksilaris, inguinal, dll.
a. Ukuran: Normal bila diameter 0,5 cm (pada lipat paha >1,5cm
dikatakan abnormal).
b. Nyeri tekan: Umumnya diakibatkan peradangan atau proses
perdarahan.
c. Konsistensi: Keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan,
padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak
mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah
terjadinya abses/pernanahan.
d. Penempelan: Beberapa Kelenjar Getah Bening yang menempel dan
bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis,
sarkoidosis keganasan.
Pembesaran KGB leher bagian posterior terdapat pada infeksi
rubela dan mononukleosis. Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus,
KGB umumnya bilateral (dua sisi-kiri/kiri dan kanan), lunak dan
dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya
nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif
dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari
sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif
menandakan terjadinya abses.
Bila limfadenitis disebabkan keganasan, tanda-tanda peradangan
tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan (terikat dengan
jaringan di bawahnya). Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran
kelenjar berjalan mingguan-bulanan, walaupun dapat mendadak, KGB
menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah.
Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil,
bintik-bintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh
bakteri streptokokus. Pembengkakan pada jaringan lunak leher (bull
neck) mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri difteri. Faringitis,
ruam- ruam dan pembesaran limpa mengarahkan kepada infeksi
epstein barr virus. Adanya radang pada selaput mata dan bercak
koplik mengarahkan kepada campak.
Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
4. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
5. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria hasil Intervensi Keperawatan
Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan intervensi Edukasi fisioterapi dada
tidak efektif selama 3x4 jam, maka Observasi
berhubungan dengan bersihan jalan napas 1. Identifikasi kemampuan pasien dan
sekresi yang tertahan meningkat, dengan keluarga menerima informasi
Kriteria Hasil: Terapeutik
1. Batuk efektif 2. Persiapkan materi dan media edukasi
meningkat (5) 3. Jadwalkan waktu yang tepat untuk
2. Produksi sputum memberikan pendidikan kesehatan
menurun (5) sesuai kesepakatan
4. Berikan kesempatan pasien dan
keluarga bertanya
Edukasi
5. Jelaskan kontraindikasi fisioterapi
dada (misal: eksaserbasi PPOK akut,
osteoporosis)
6. Jelaskan tujuan dan prosedur
fisioterapi dada
7. Jelaskan segmen paru-paru yang
mengandung sekresi berlebihan
8. Jelaskan cara memodifikasi posisi
agar dapat mentolerir posisi yang
ditentukan
9. Jelaskan alat perkusi dada pneumatic,
akustik, atau listrik yang digunakan,
bila perlu
10.Jelaskan cara menggerakan alat
dengan cepat dan kencang, bahu dan
lengan lurus pergelangan tangan kaku,
di daerah yang akan dikeringkan saat
pasien menghisap atau batuk 3-4 kali
11.Anjurkan menghindari perkusi pada
tulang belakang, ginjal, payudara
Wanita, insisi, dan tulang rusuk yang
patah
12.Ajarkan mengeluarkan sekresi melalui
pernapasan dalam
13.Ajarkan batuk selama dan setelah
prosedur
14.Jelaskan cara memantau efeksifitas
prosedur (mis. Oksimetri nadi, tanda
vital, dan tingkat kenyamanan.
Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi
gas berhubungan dengan intervensi selama 3x24 Observasi
ketidakseimbangan jam, maka pertukaran 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
ventilasi-perfusi gas meningkat dengan dan upaya napas
Kriteria Hasil: 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
1. Tingkat kesadaran takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
meningkat (5) cheyne-stokes, biot, ataksik)
2. Dispnea menurun (5) 3. Monitor kemampuan batuk efektif
3. Bunyi napas 4. Monitor adanya produksi sputum
tambahan menurun 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
(5) 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
4. PCO2 membaik (5) 7. Auskultasi bunyi napas
5. PO2 membaik (5) 8. Monitor saturasi oksigen
6. Takikardia membaik 9. Monitor nilai AGD
(5) 10. Monitor hasil x-ray toraks
7. pH arteri membaik Terapeutik
(5) 11. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
12. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
13. Jelaskan tujuan prosedur pemantauan
14. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
dengan agen pencedera intervensi selama 3x24 Observasi :
fisiologis jam, maka tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi, durasi, frekuensi,
menurun, dengan kriteria kualitas intensitas nyeri.
hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
menurun (5) 4. Identifikasi factor yang memperberat
2. Meringis menurun (5) dan memperingan nyeri
3. Gelisah menurun (5) 5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Teraupetik :
10.Berikan tehnik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
11.Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
12.Fasilitasi istirahat dan tidur
13.Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi :
14.Jelaskan penyebab, periode dan
pemicu nyeri
15.Jelaskan strategi meredakan nyeri
16.Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
17.Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
18.Ajarkan tehnik nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
19.Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu.
Hipertermia Setelah melakukan Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1x Observasi
proses penyaki 24 jam diharapkan 1. Identifkasi penyebab hipertermi (mis.
termoregulasi membaik, dehidrasi terpapar lingkungan panas
dengan kriteria hasil: penggunaan incubator)
1. Menggigil menurun 2. Monitor suhu tubuh
(5) 3. Monitor kadar elektrolit
2. Kulit merah menurun 4. Monitor haluaran urine
(5) Terapeutik
3. Kejang menurun (5) 5. Sediakan lingkungan yang dingin
4. Suhu tubuh membaik 6. Longgarkan atau lepaskan pakaian
(5) 7. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
8. Berikan cairan oral
9. Ganti linen setiap hari atau lebih
sering jika mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
10.Lakukan pendinginan eksternal (mis.
selimut hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen,aksila)
11.Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin
12.Batasi oksigen, jika perlu
Edukasi
13.Anjurkan tirah baring
14.Kolaborasi
15.Kolaborasi cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
Resiko infeksi Setelah melakukan Pencegahan Infeksi
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1x Observasi :
efek prosedur invasif 24 jam diharapkan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local
Tingkat infeksi menurun. dan sistemik
Kriteria Hasil : Terapeutik :
1. Kebersihan tangan 2. Batasi jumlah pengunjung
meningkat (5) 3. Berikan perawatan kulit pada area
2. Kebersihan badan edema
meningkat (5) 4. Cuci tangan sebelum dan sesudah
3. Nyeri menurun (5) kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
5. Pertahankan Teknik aseptic pada
pasien beresiko tinggi
Edukasi
6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. Ajarkan cuci tangan dengan benar
8. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
9. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi:
10.Kolaborasi pemberian antibiotic
ataupun imunisasi (jika perlu)
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja. G. K, Rengganis Iris. 2012. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Jaggi P, Walz P. 2018 Hecht S. Pediatric Cervical Lymphadenitis. Journal
of Pediatric Infectious Diseases.
Patridge E, Steele RW. 2019. Limfadenitis. New York: Medscape. Tersedia
dari: https://emedicine.medscape.com/article/960858-overview
Prudent E, La Scola B, Drancourt M, Angelakis E, Raoult D. Molecular
strategy for the diagnosis of infectious lymphadenitis. European
Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases.
2018;37(6):1179-1186
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan
Pengurus PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan
Pengurus PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : Dewan
Pengurus PPNI
Zeppa P, Cozzolino I. Cytopathology of Lymph Nodes and Extranodal
Lymphoproliferative Processes: Lymphadenitis and
Lymphadenopathy. Monogr Clin Cytol. 2017;23:19-33
Zingman B, Watson LR, Fraser M. 2020 Limfadenitis. New York: Pusat
Medis Universitas Rochester Rochester. Tersedia dari:
https://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?
contenttypeid=134&contentid=80

Anda mungkin juga menyukai