Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

MASSA MEDIASTINUM

Pembimbing:
dr. Nurlela Damayanti, Sp.P.

Disusun oleh:
Firliana Nur Alini
202220401011105
Kelompok E39

SMF ILMU PENYAKIT PARU


RSUD JOMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Tujuan................................................................................................................2
1.3 Manfaat..............................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3
2.1 Anatomi Mediastinum........................................................................................3
2.2 Massa Mediastinum............................................................................................4
2.2.1 Definisi.......................................................................................................4
2.2.2 Epidemiologi..............................................................................................5
2.2.3 Etiologi.......................................................................................................6
2.2.4 Patofisiologi...............................................................................................6
2.2.5 Klasifikasi..................................................................................................8
2.2.6 Manifestasi klinis.......................................................................................8
2.2.7 Diagnosis....................................................................................................9
BAB 3 KESIMPULAN..................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................27

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam
mediastinum yaitu rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri.
Mediastinum berisi jantung pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena,
trakea, kelenjar timus, saraf , jaringan ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya.Tumor mediastinum adalah suatu massa abnormal di ruang
antara paru kanan dan kiri. Tumor ini merupakan tumor yang jarang
dibanding tumor jenis lainnya dan kebanyakan tumor mediastinum tumbuh
lambat. Penegakan diagnosis untuk tumor mediastinum cukup sulit
dikarenakan banyak massa yang berupa jinak dan ganas dapat ditemukan di
rongga mediastinum, selain itu juga letak tumor yang bertumpang tindih
dengan organ lain dan struktur vaskuler yang kompleks. Rongga
mediastinum sempit dan tidak dapat diperluas, sehingga apabila terjadi
pembesaran tumor dapat menekan organ disekitarnya dan menimbulkan
kegawatan yang mengancam jiwa. Angka kejadian tumor mediastinum
berkisar 24%-47% pada orang dewasa dan pada anak-anak adalah 35%-50%
(Hardinur, 2020).
Tumor mediastinum sering tidak menimbulkan gejala dan terdeteksi
saat pasien dilakukan foto toraks, namun pasien biasanya datang ke fasilitas
kesehatan apabila telah terdapat keluhan. Penderita tumor mediastinum
datang ke layanan kesehatan dengan gejala klinis yang bervariasi dan
seringnya memiliki lebih dari satu gejala tergantung lokasi tumor dan organ
yang terlibat. Gejala klinis yang dapat terjadi pada pasien adalah batuk,
sesak, disfagia, sindroma vena cava superior, suara serak, batuk kering, dan
nyeri dada (Giovani, Agustina and Djajakusumah, 2018).

1
2

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang
massa mediastinum mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang dan tatalaksana.

1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai massa mediastinum.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.4 Anatomi Mediastinum


Mediastinum yaitu rongga yang berada di antara paru kanan dan kiri.
Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah, trakea, pembuluh timus,
syaraf, jaringan ikat, getah bening dan salurannya. Rongga mediastinum
sempit dan tidak dapat diperluas, sehingga apabila terjadi pembesaran tumor
dapat menekan organ disekitarnya dan menimbulkan kegawatan yang
mengancam jiwa. Sebagian besar tumor mediastinum tumbuh semakin besar
sehingga pasien sering datang pada tumor yang cukup besar (Hardinur,

2020).

Gambar 2.1 X-Ray Thorax Gambaran Mediastinum


Gambar 2.2 Kompartemen Mediastinum
Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting
(Risnawati and Wulandari, 2019) :

3
4

a. Mediastinum superior, mulai atas rongga dada sampai ke tulang belakang


torakal ke-5 dan bagian bawah sternum, berisi: arkus aorta, arteri
innominata dan bagian toraks dari carotis communis kiri dan arteri
subklavia kiri; vena innominata dan setengah bagian atas vena kava
superior; v. interkostalis kiri; nervus vagus, jantung, nervus frenikus,
trakea, esofagus, ductus toraksicus, sisa-sisa timus, dan beberapa sisa
getah bening.
b. Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke
diafargma di depan jantung. berisi beberapa jaringan yang berbeda, getah
bening, dan cabang-cabang kecil dari arteri mammaria interna.
c. Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke
diafragma di belakang jantung. berisi bagian dari aorta torakalis
descenden, nena azigos dan dua vena hemiazygos, nervus vagus dan
splanknikus, esofagus, saluran toraks, dan berbagai macam getah bening.
d. Mediastinum medial (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke
diafragma di antara mediastinum anterior dan posterior. Tampak jantung
yang tertutup dalam perikardium, aorta asendens, bagian bawah dari vena
kava superior dengan membuka vena azigos ke dalam, percabangan dari
trakea dan dua bronkus, arteri pulmonalis yang terbagi menjadi dua
cabang, vena pulmonalis kanan dan kiri, nervus frenikus, dan banyak
getah bening.
1.5 Massa Mediastinum
1.5.1 Definisi
Massa mediastinum adalah massa yang terdapat di dalam
mediastinum yaitu struktur yang berada di antara paru kanan dan kiri.
Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena,
trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya. Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting
yaitu mediastinum superior, anterior, posterior, dan medial (Risnawati and
Wulandari, 2019).
Tumor mediastinum adalah suatu massa abnormal di ruang antara
paru kanan dan kiri. Mediastinum adalah suatu rongga yang berada di
5

antara paru kanan dan kiri dan mempunyai banyak struktur anatomi vital
didalamnya. Rongga mediastinum sempit dan tidak dapat diperluas,
sehingga apabila terjadi pembesaran tumor dapat menekan organ
disekitarnya dan menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa. Tumor
ini merupakan tumor yang jarang dibandingkan tumor jenis lainnya dan
kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat (Hardinur, 2020).
1.5.2 Epidemiologi
Jenis tumor mediastinum sering berkaitan dengan lokasi tumor dan
umur penderita. Pada anak-anak tumor mediastinum yang sering
ditemukan berlokasi di mediastinum posterior dan jenisnya tumor saraf.
Sedangkan pada orang dewasa lokasi tumor banyak ditemukan di
mediastinum anterior dengan jenis limfoma atau timoma (Syahruddin,
Hudoyo and Jusuf, 2009).
Angka kejadian tumor mediastinum berkisar 24%-47% pada orang
dewasa dan pada anak-anak adalah 35%-50%. Rentang usia pasien tumor
mediastinum terdapat pada berbagai usia tergantung dengan jenis tumor
mediastinum. Frekuensi tertinggi yang berisiko adalah pada dekade ke-3
hingga dekade ke-5. Berdasarkan jenis kelamin, tumor mediastinum
diketahui dapat ditemukan baik pada pria maupun wanita. Jenis kelamin
bukan merupakan predileksi terhadap tumor mediastinum, namun
berdasarkan jenis sel tumor ditemukan perbedaan yang bermakna. Data
dari Framinghan Heart Study didapatkan peningkatan prevalensi tumor
mediastinum anterior dua kali lipat pada perokok (0,4%) dari penelitian
sebelumnya (Hardinur, 2020).
Lesi yang paling sering ditemui di mediastinum adalah thymoma,
tumor neurogenik dan kista jinak, mewakili 60% pasien dengan massa
mediastinum. Tumor neurogenik, neoplasma sel germinal, dan kista
foregut mewakili 80% lesi masa kanak-kanak, sedangkan neoplasma timus
primer, massa tiroid, dan limfoma adalah yang paling umum pada orang
dewasa. Tumor mediastinum anterior mencakup 50% dari semua massa
mediastinum, termasuk timoma, teratoma, penyakit tiroid, dan limfoma.
Massa mediastinum media biasanya merupakan kista kongenital
6

sedangkan yang timbul di mediastinum posterior sering merupakan tumor


neurogenik (Juanpere et al., 2013).
1.5.3 Etiologi
Secara umum faktor-faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab
tumor adalah :
1. Penyebab kimiawi
Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada
pekerja pembersih cerobong asap. Zat yang mengandung karbon
biasa menjadi penyebabnya.
2. Faktor genetik (biomolekuler)
Perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam
gen normal dan pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan
perkembangan tumor.
3. Faktor fisik
Secara fisik tumor berkaitan dengan trauma/ pukulan
berulang-ulang baik trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran
bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal dari sinar matahari
maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.
4. Faktor nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin
yang dihasilkan oleh jamur pada kacang dan padi-padian sebagai
pencetus timbulnya tumor.
5. Faktor hormon
Pengaruh hormon dianggap cukup besar namum
mekanisme dan kepastian peranannya belum jelas. Pengaruh
hormon dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang
banyak dipengaruhi oleh hormon tersebut.enyebab tumor
mediastinum berdasarkan jenis tumor menurut (Anderson, 2020)
1.5.4 Patofisiologi
Sebagaimana bentuk kanker/karsinoma lain, penyebab dari
timbulnya karsinoma jaringan mediastinum belum diketahui secara pasti,
namun diduga berbagai faktor predisposisi (virus, faktor lingkungan,
7

faktor hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan risiko


terjadi tumor) yang kompleks berperan dalam menimbulkan manifestasi
tumbuhnya jaringan/sel-sel kanker pada jaringan mediastinum (Brunner &
Suddart, 2016).
Adanya pertumbuhan sel-sel karsinoma dapat terjadi dalam waktu
yang relatif singkat maupun timbul dalam suatu proses yang memakan
bertahun-tahun untuk menimbulkan manifestasi klinik. Permulaan
terjadinya tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat inisiasi yang
memicu terjadinya perubahan sel. Diperlukan rangsangan yang lama dan
irasional untuk memicu timbulnya penyakit tumor. Agen awal biasanya
bisa berupa unsur kimia, fisik atau biologi yang berkemampuan beraksi
langsung dan merebah struktur dasar dari komponen genetik (DNA).
Keadaan selanjutnya akibat keterpaparan yang lama ditandai dengan
berkembangnya neoplasma dengan terbentuknya tumor. Hal ini dapat
berlangsung lama, minggu bahkan sampai tahunan (Price, S.A., Wilson
L.M., 2006).
Dengan semakin meningkatnya volume massa sel-sel yang
berproliferasi maka secara mekanik menimbulkan desakan pada jaringan
sekitarnya; menampung berbagai substansia pada jaringan normal seperti
prostaglandin, radikal bebas dan reaktif protein-protein secara berlebihan
serta timbulnya karsinoma meningkatkan daya rusak sel-sel kanker
terhadap jaringan sekitarnya; terutama jaringan yang memiliki ikatan yang
relatif lemah. Kanker menyebabkan sel-sel yang dihasilkan dari jaringan
kanker lebih mudah untuk pecah dan menyebar ke berbagai organ tubuh
lainnya (metastasis) melalui kelenjar, pembuluh darah maupun melalui
peristiwa mekanis dalam tubuh (Brunner & Suddart, 2016).
Adanya pertumbuhan sel-sel progresif pada mediastinum secara
mekanik menyebabkan penekanan (tekanan langsung/tekanan tidak
langsung) serta dapat menimbulkan destruksi jaringan sekitar; yang
menimbulkan manifestasi seperti penyakit infeksi pernafasan lain seperti
sesak nafas, nyeri inspirasi, peningkatan produksi sputum, bahkan batuk
darah atau lendir berwarna merah (hemaptoe). Kondisi kanker juga
8

tkadang kala manifestasi klinik yang lebih menonjol mengarah pada


infeksi saluran nafas seperti pneumonia, tuberkulosis walaupun mungkin
secara klinik pada kanker ini ciri ciri demam kurang menonjol (Price,
S.A., Wilson L.M., 2006).
1.5.5 Klasifikasi
Mediastinum dibatasi oleh rongga pleura di bagian lateral, toraks di
bagian atas dan diafragma di bagian bawah. Selanjutnya dibagi menjadi
kompartemen anterior, tengah dan posterior oleh banyak ahli anatomi.
Tumor mediastinum anterior mencapai 50% dari semua massa
mediastinum, termasuk timoma, teratoma, penyakit tiroid, dan limfoma.
Massa mediastinum media biasanya merupakan kista kongenital
sedangkan yang timbul di mediastinum posterior sering merupakan tumor
neurogenik (Juanpere et al., 2013).
Tumor mediastinum juga dibagi berdasarkan sifatnya sebagai berikut :
Tabel 2.1 Lokasi Tumor Mediastinum
Kompartemen Benign Malignant
Anterior Teratoma Non-Hodgkin
lymphoma
Thymic hyperlasia Hodgkin lymphoma
Thymic cysts (jarang) Thymic tumor (jarang)
Middle Lymphangioma Non-Hodgkin
lymphoma
Foregut cysts dan Hodgkin lymphoma
duplikasi
Posterior Ganglioneuroma Neuroblastoma

1.5.6 Manifestasi klinis


Tumor mediastinum sering tidak menimbulkan gejala dan terdeteksi
saat pasien melakukan foto toraks, namun pasien biasanya datang ke
fasilitas kesehatan apabila telah terdapat keluhan tergantung lokasi tumor
dan organ yang terlibat (Hardinur, 2020).
9

Gejala yang biasa muncul adalah batuk, nyeri dada, demam, dan
dispnea. Gejala lokalisasi sekunder akibat invasi tumor (respiratory
compromise; kelumpuhan anggota badan, diafragma, dan pita suara;
sindrom Horner; sindrom vena kava superior), sedangkan gejala sistemik
biasanya disebabkan oleh pelepasan hormon, antibodi, atau sitokin yang
berlebihan (Juanpere et al., 2013).
Kebanyakan pasien penderita tumor mediastinum memiliki lebih dari
satu gejala klinis. Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung tahun 2011 didapatkan bahwa kesulitan bernapas
merupakan gejala klinis dengan frekuensi tertinggi (38,7%), diikuti oleh
batuk (14,6%), dan gejala tipikal myasthenia gravis, seperti badan yang
lemah, kelopak mata yang sulit digerakkan, dan kesulitan menelan
makanan (11,7%). Tumor mediastinum dapat menyebabkan gejala lokal
maupun sistemik. Gejala lokal yang timbul dapat berupa penekanan dari
struktur di rongga mediastinum akibat massa yang membesar, sehingga
menyebabkan sesak napas, batuk, suara serak, nyeri dada dan kesulitan
menelan, sedangkan gejala sistemik mencakup sindroma paratimik, yang
menyebabkan myasthenia gravis beserta gejalanya, sindroma
paraneoplastik, yang memiliki gejala seperti napsu makan yang menurun,
demam dan mual muntah, dan yang lainnya (Giovani, Agustina and
Djajakusumah, 2018).
1.5.7 Diagnosis
Computed tomography (CT) adalah alat yang paling penting dalam
evaluasi massa mediastinum. Karakterisasi pada CT didasarkan pada
pelemahan spesifik udara, lemak, air dan kalsium. Gambar tersebut
menampilkan hubungan anatomi tumor yang terperinci dengan struktur
yang berdekatan. MRI juga merupakan alat yang ideal untuk mengevaluasi
tumor mediastinum. MRI telah terbukti berguna dalam membedakan timus
normal dan hiperplasia timus dari neoplasma timus dan limfoma (Juanpere
et al., 2013). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendiagnosis tumor mediastinum adalah (Brunner & Suddart, 2016):
 Foto thoraks
10

Dari foto thoraks PA atau lateral untuk menentukan lokasi tumor


anterior, medial atau posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor
yang besar sulit ditentukan lokasinya yang pasti.
 Tomografi
Dapat menentukan lokasi tumor, mendeteksi klasifikasi pada lesi yang
sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid, dan kadang-
kadang timoma. Teknik ini semakin jarang digunakan.
 CT-Scan toraks dengan kontras
Dapat mendeskripsikan lokasi, kelainan tumor secara lebih baik,
kemungkinan jenis tumor, misalnya pada teratoma dan timoma,
menentukan stage pada kasus timoma dengan cara mencari apakah
telah terjadi invasi atau belum, mempermudah pelaksanaan
pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi, serta untuk
menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor mediastinum bila
dilakukan CT-Scan Toraks dan CT-Scan abdomen.
 Flouroskopi
Untuk melihat kemungkinan terjadi aneurisma aorta.
 Ekokardiografi
Untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga terjadi aneurisma
aorta.

Gambar 2.4 Gambaran Radiologi Thorax Tampak Massa Mediastinum

1.5.7.1 Thymoma
Thymoma adalah neoplasma primer yang berasal dari epitel thymus
dan merupakan tumor paling umum dari mediastinum anterior tetapi
insidennya kurang dari 1% dari semua keganasan dewasa. Timoma
biasanya terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun, jarang
11

terjadi pada anak-anak, dan mempengaruhi pria dan wanita secara setara.
Antara 20% dan 30% pasien dengan thymoma memiliki gejala akibat
tekanan dari massa tersebut. Myasthenia gravis terkait dengan thymoma
paling sering terjadi pada wanita. Antara 30% dan 50% pasien dengan
thymoma terkena myasthenia gravis, sedangkan 10-15% pasien dengan
myasthenia gravis memiliki thymoma (Juanpere et al., 2013).
Gambaran histologiknya sangat bervariasi dan dapat terjadi
komponen limfositik atau tidak. Malignitas ditentukan oleh pertumbuhan
infiltrate di dalam organ-organ sekelilingnya dan tidak dalam bentuk
histologiknya. Masaoka membagi staging berdasarkan penampakan
mikroskopis dan makroskopis. Tumor timoma noninvasif masih terbatas
pada kelenjar timus dan tidak menyebar ke organ lain. Semua sel tumor
terbungkus oleh kapsul dan secara mikroskopis tidak terlihat invasi ke
kapsul. Jika sel tumor invasi telah mencapai kapsul maka dikategorikan
timoma invasif (timoma ganas) (Syahruddin, Hudoyo and Jusuf, 2009).
Tabel 2.2 Staging berdasarkan Sistem Masaoka
Stage I Makroskopis berkapsul, tidak tampak invasi ke kapsul
secara mikroskopis
Stage II Invasi secara makroskopis ke jaringan lemak sekitar
pleura mediastinum atau invasi ke kapsul secara
mikroskopis
Stage III Invasi secara makroskopis ke organ sekitarnya
Stage IV-A Penyebaran ke pleura atau perikardium
Stage IV-B Metastasis limfogen atau hematogen.

Sistem stadium klinis Masaoka didasarkan pada tingkat invasi


tumor melalui kapsul ke struktur sekitarnya, yang memiliki implikasi
penting untuk prognosis. Biasanya, thymoma ditemukan secara insidental
pada radiografi dada. Sepertiga dari pasien menunjukkan gejala nyeri
dada, batuk, atau dispnea terkait dengan kompresi atau invasi tumor.
Metastasis jarang terjadi; namun, sindrom paratimik, yang meliputi
miastenia gravis, hipogammaglobulinemia, dan aplasia sel darah merah
dapat terjadi (Duwe, Sterman and Musani, 2005).
12

Myasthenia gravis paling sering terjadi pada wanita dan


berhubungan dengan thymoma. Gejala termasuk diploplia, ptosis,
disfagia, kelemahan, dan kelelahan. 30% hingga 50% pasien dengan
thymoma memiliki myasthenia gravis. Patogenesis diperkirakan terjadi
akibat sel myloid yang berasal dari timus mengenali antigen pada
neuromuscular junction yang memproduksi autoantibodi. Autoantibodi
ini berikatan dengan reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction,
menyebabkan kelemahan otot (Duwe, Sterman and Musani, 2005).
Thymoma muncul pada X-ray thorax sebagai massa berlobus yang
terdefinisi dengan baik di mediastinum anterosuperior, biasanya di
anterior akar aorta. Evaluasi lebih lanjut dengan CT scan toraks dengan
kontras biasanya menunjukkan massa jaringan lunak yang berkapsul,
terdefinisi dengan baik, seringkali dengan perdarahan, nekrosis, atau
pembentukan kista. Thymoma juga dapat muncul terutama kistik dengan
komponen nodular (Juanpere et al., 2013).

Gambar 2.5 Gambar 2.6


Tampak massa solid, (A) menunjukkan massa mediastinum kiri (panah)
well-defined di yang menyebabkan hilangnya siluet batas jantung
mediastinum anterior. kiri atas. (B) Lesi terlokalisir pada mediastinum
prevaskular di ruang retrosternal (panah) pada foto
toraks lateral (B).
13

Gambar 2.8 Gambar 2.9


CT scan dada dengan kontras CT thorax dengan kontras menunjukkan
menunjukkan massa mediastinum massa mediastinum anterior (panah) 4,5
anterior kiri bulat 4 cm (M). cm yang bulat, berbatas tegas, dan tidak
infiltrasi ke lemak di sekitarnya.

Penatalaksanaan timoma sangat bergantung pada invasif atau


tidaknya tumor, staging dan klinis penderita. Terapi untuk timoma adalah
bedah, tetapi sangat jarang kasus datang pada stage I atau noninvasif
maka multimodaliti terapi (bedah, radiasi dan kemoterapi) memberikan
hasil lebih baik. Jenis tindakan bedah untuk timoma adalah Extended
Thymo Thymectomy (ETT) atau reseksi komplet yaitu mengangkat
kelenjar timus beserta jaringan lemak sekitarnya. ETT+ ER yaitu
tindakan reseksi komplet, sampai dengan jaringan perikard dan debulking
14

reseksi sebagian yaitu pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin.


Jenis operasi ini sangat bergantung pada staging dan klinis penderita.
Reseksi komplet diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan
meningkatkan umur harapan hidup (Syahruddin, Hudoyo and Jusuf,
2009).

Tabel 2.3 Penatalaksanaan Thymoma berdasarkan Staging


Stage I Extended Thymo Thymectomy (ETT)
Stage II ETT + Radioterapi
Stage III ETT + Extended Resection (ER) + Radioterapi +
Kemoterapi
Stage IV-A Debulking + Kemoterapi + Radioterapi
Stage IV-B Kemoterapi + Radioterapi + Debulking

Radioterapi tidak direkomendasikan untuk timoma yang telah


menjalani reseksi komplet tetapi harus diberikan pada timoma invasif
atau reseksi sebagian untuk kontrol lokal. Kemoterapi diberikan dengan
berbagai rejimen tetapi hasil terbaik adalah cisplatin based rejimen.
Rejimen yang sering digunakan adalah kombinasi sisplatin, doksorubisin
dan siklofosfamid. Rejimen lain adalah doksorubisin, sisplatin, vinkristin
dan siklofosfamid. Rejimen yang lebih sederhana yaitu sisplatin dan
etoposid juga memberikan hasil yang tidak terlalu berbeda (Syahruddin,
Hudoyo and Jusuf, 2009).
Kasus kambuh (recurrence) juga dapat terjadi dan jarang pada
stage I yang telah direseksi komplet. Relaps yang biasa terjadi adalah di
pleura (pleural dissemination) dari sisi yang sama dengan tumor primer,
relaps di mediastinum meski lebih sedikit tetapi juga terjadi. Untuk kasus
kambuh yang penting diingat adalah apakah pada terapi sebelumnya telah
mendapatkan radioterapi full-dose, jika belum radiasi masih dapat
dipertimbangkan. Pada kasus yang tidak respons dengan radiasi
pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan, sedangkan pemberian
kemoterapi untuk kasus relaps masih dalam penelitian (Syahruddin,
Hudoyo and Jusuf, 2009).
15

Banyak faktor yang menentukan prognosis penderita timoma.


Masaoka menghitung umur tahan hidup 5 tahun berdasarkan staging
penyakit, 92,6% untuk stage I, 85,7% untuk stage II, 69,6% untuk stage
III dan 50% untuk stage IV (Syahruddin, Hudoyo and Jusuf, 2009).
1.5.7.2 Tumor sel germinal
Tumor sel germinal mediastinum merupakan tumor yang relatif
jarang terjadi. Prevalensi tumor ini hanya sekitar 10-15%. Penyebab pasti
terjadinya tumor ini masih belum diketahui meskipun beberapa peneliti
memperkirakan tumor ini berasal dari sisa sel germinal primitif yang
salah menempatkan diri ke mediastinum selama migrasi pada awal
embriogenesis (Elhidis, 2020).
Tumor sel germinal yang jinak disebut sebagai teratoma jinak atau
dermoid terutama yang berkonsistensi solid tetapi jika berbentuk kistik
disebut sebagai epidermoid atau kista dermoid. Tumor sel germinal yang
ganas terdiri dari seminoma, non-seminoma dan teratoma ganas.
Termasuk non-seminoma adalah koriokarsinoma, karsinoma embrional,
tumor campuran, teratokarsinoma dan yolk sac carcinoma (Elhidis,
2020).
Tumor sel germinal terjadi terutama di gonad, sel germinal
ekstragonad jarang, dan kebanyakan terjadi di retroperitoneum dan
mediastinum. Kemungkinan tumor sel germinal mediastinum primer
harus dipertimbangkan pada semua pria muda. Tumor jenis ini jarang
ditemukan pada wanita. Tumor sel germinal terdiri dari tumor seminoma,
teratoma dan nonseminoma. Tumor sel germinal ganas non
seminomatous termasuk yolk sac tumor, koriokarsinoma, karsinoma
embrional dan campuran jenis tumor sel germinal (Risnawati and
Wulandari, 2019).
Tabel 2.4 Klasifikasi Histologi Tumor Sel Germinal
Seminoma
Nonseminoma
• Embrional
• Koriokarsinoma
16

• Yolk sac Carcinoma


Teratoma
• Jinak (benign)
• Ganas (malignant)
- Dengan unsur sel germinal
- Dengan unsur non-germinal
- Immature

Di antara tumor sel germinal mediastinum, teratoma adalah jenis


histologis yang paling sering, 50% dari tumor sel germinal mediastinum.
Insiden terutama terjadi pada pasien muda. Teratoma sama-sama
didiagnosis pada kedua jenis kelamin, secara klinis menunjukkan gejala
yang berkaitan dengan kompresi struktur mediastinum. Pada CT scan,
teratoma dapat diidentifikasi, berdasarkan penampilan heterogen (kista,
adanya jaringan lemak dan tulang, kalsifikasi). Dari sudut pandang
histologis, teratoma adalah neoplasma yang terdiri dari beberapa
jaringan, berasal dari tiga lapisan embrionik (Ghigna and de
Montpreville, 2021).
Teratoma terdiri dari jaringan jinak yang berdiferensiasi baik
dengan elemen ektodermal yang dominan. Jika teratoma mengandung
fetal tissue atau jaringan neuroendokrin, itu didefinisikan imatur dan
ganas dengan prognosis yang buruk. Pada CT, teratoma paling sering
muncul sebagai lesi kistik unilokular atau multilokular berbatas tegas
yang mengandung cairan, jaringan lunak, dan atenuasi lemak. Hingga
26% mengalami kalsifikasi, karena sering memiliki unsur tulang atau
gigi (Juanpere et al., 2013).
17

Gambar 2.10 Gambar 2.11


Tampak massa di (A) Potongan aksial dan (B) potongan
mediastinum anterior pada koronal pada CT Scan kontras
gambar X ray thorax. menunjukkan massa mediastinum besar
yang berbatas tegas (panah).

Terapi tumor sel germinal bergantung pada subtipe sel tumor dan
staging penyakit. Bedah adalah terapi pilihan untuk teratoma jinak,
teratoma ganas diterapi dengan kemoterapi dan kalau perlu dilakukan
reseksi setelah kemoterapi. Terapi untuk seminoma tergantung pada
apakah masih resectable atau tidak, sedangkan yang nonseminoma
diberikan kemoterapi (Syahruddin, Hudoyo and Jusuf, 2009).

Tabel 2.5 Tatalaksana Tumor Sel Germinal


Teratoma jinak Bedah
Teratoma ganas Kemoterapi + reseksi
Seminoma (Resectable) Bedah + radiasi + kemoterapi
Metastasis Kemoterapi
Nonseminoma Kemoterapi

Untuk seminoma yang resectable terapi multimodaliti yaitu bedah,


radiasi dan kemoterapi memberikan umur tahan hidup 5 tahun lebih dari
90%. Kriteria resectable adalah tanpa gejala (asymptomatic), massa
masih terbatas di mediastinum anterior dan tidak ada metastasis lokal
(intratoraks) dan/atau metastasis jauh. Sedangkan untuk kasus yang
bermetastasis diberikan kemoterapi (Syahruddin, Hudoyo and Jusuf,
2009).
18

Teratoma benigna, dahulu disebut kista dermoid, prognosisnya


cukup baik. Pada teratoma maligna, tergantung pada hasil terapi
pembedahan radikal dan tipe histologiknya, tapi ini harus diikuti dengan
radioterapi atau kemoterapi (Aru W. Sudoyo, 2009).
1.5.7.3 Limfoma
Limfoma adalah kelompok tumor terdiagnosis kedua yang muncul
di mediastinum anterior setelah penyakit timus, menurut beberapa
penelitian. Fenotipenya adalah pria/wanita muda (paling sering berusia
10-40 tahun), secara klinis asimptomatik atau menunjukkan gejala
pernapasan ringan hingga sedang dan/atau gejala B (demam, keringat
malam yang basah kuyup, penurunan berat badan). Pada pencitraan,
banyak limfoma mediastinum muncul sebagai massa yang muncul di
dalam timus daripada kelenjar getah bening (Juanpere et al., 2013).
Pada pencitraan, limfoma Hodgkin tampak sebagai lesi padat dan
berlobus tanpa kalsifikasi. Limfoma Hodgkin mungkin sangat besar,
menginfiltrasi ke jaringan yang berdekatan (paru-paru, saraf, pembuluh
darah); lesi tegas dan berlobus, dengan nekrosis. Temuan rontgen dada
tidak normal pada 76% pasien dengan Hodgkin Disease, sering
menunjukkan pembesaran nodus prevaskular dan paratrakeal (Ghigna
and de Montpreville, 2021).

Gambar 2.15
Limfoma Hodgkin sklerosis nodular pada wanita berusia 44 tahun. Rontgen dada
PA menunjukkan massa mediastinum yang besar dan well-defined dengan
densitas yang meningkat (panah). CT scan dengan kontras menunjukkan massa
jaringan lunak yang besar (panah) dengan nilai CT atenuasi homogen menempati
ruang prevaskular.
19

Gambar 2.16
Seorang pria berusia 28 tahun dengan limfoma Hodgkin. Rontgen dada PA dan
CT scan kontras menunjukkan massa jaringan lunak yang homogen pada tingkat
subcarina (panah). Limfadenopati aortopulmoner window dapat dideteksi pada
CT scan (panah terbuka).

Meskipun ada banyak klasifikasi limfoma non-Hodgkin, limfoma


limfoblastik dan limfoma sel B besar adalah subtipe yang paling umum
mempengaruhi mediastinum. Insiden keseluruhan limfoma non-Hodgkin
paling tinggi pada pria kulit putih dengan usia rata-rata 55 tahun. Namun,
usia rata-rata presentasi limfoma limfoblastik dan limfoma sel B besar
primer masing-masing adalah 28 dan 30 hingga 35 tahun. CT scan
digunakan untuk mengkarakterisasi lesi dan untuk menentukan tingkat

Gambar 2.17
(A) Rontgen dada menunjukkan pembesaran mediastinum superoanterior. (B)
CT thorax menunjukkan massa besar di mediastinum anterior atas menekan
arteri pulmonalis utama (MPA) dan arteri pulmonalis kiri.
20

invasi. Nodus mediastinum tengah dan posterior lebih sering terlibat


daripada yang anterior (Duwe, Sterman and Musani, 2005).

1.5.7.4 Kista bronkogenik


Kista bronkogenik terbentuk selama perkembangan embrionik
sebagai anomali laringotrakeal. Kista ini dilapisi dengan epitel bersilia,
pseudostratifikasi, kolumnar, dan mengandung kelenjar bronkial dan
lempeng tulang rawan (Duwe, Sterman and Musani, 2005).
Sekitar 40% dari kista bronkogenik bergejala batuk, dispnea, atau
nyeri dada. Secara radiografi, kista bronkogenik dapat diidentifikasi pada
radiografi polos tetapi paling baik ditentukan dengan CT scan. Kista ini
adalah massa bulat yang terdefinisi dengan baik dengan kepadatan
homogen yang mirip dengan air; namun, beberapa kista bronkogenik
bersifat mukoid dan dapat memberikan kesan seperti massa yang padat.
Kista bronkogenik bersifat nonenhancing, dan bila ada hubungan
langsung dengan percabangan trakeobronkial, air-fluid level dapat
terlihat (Duwe, Sterman and Musani, 2005).

Gambar 2.18
Kista bronkogenik pada pria 1.5.7.5
tanpa gejala berusia 40 tahun K
menunjukkan lesi jaringan
lunak homogen (M).
Perhatikan efek massa pada
vena pulmonal inferior kanan
dan atrium kiri (panah).

ista perikardium
Kista perikardial adalah bagian dari kista mesothelial. Kista ini
terbentuk sebagai hasil dari reses parietal yang persisten selama
embriogenesis. Mereka diperkirakan terjadi pada 1 dari 100.000 orang
dan sering tanpa gejala dan teridentifikasi pada dekade keempat hingga
kelima kehidupan. Lokasi kista perikardial yang paling umum adalah di
21

sudut kardiofrenikus kanan (70%), diikuti oleh sudut kardiofrenikus kiri


(22%). Pada CT scan, massa ini muncul sebagai unilokular dan non-
enhancing (Duwe, Sterman and Musani, 2005).

Gambar 2.19
Tampak depan dada menunjukkan massa pada sudut kardiofrenikus kanan (panah
hitam) dengan batas jelas. Massa tampaknya berbatasan dengan jantung. CT scan di
lokasi yang sama menunjukkan struktur kistik besar berisi cairan (panah putih)
Panah merah menunjuk ke jantung.

1.5.7.6 Tumor neurogenik


Tumor neurogenik berasal dari jaringan puncak saraf, termasuk sel-
sel sistem saraf perifer, otonom, dan paraganglionik. Tujuh puluh persen
hingga 80% tumor neurogenik bersifat jinak, dan hampir setengahnya
tidak bergejala; namun, terkadang dapat menyebabkan gejala kompresif
atau neurologis (Duwe, Sterman and Musani, 2005).
Tumor itu dapat bersifat jinak atau ganas dan biasanya diklasifikasi
berdasarkan jaringan yang membentuknya, dibagi atas neural sheath yang
sering bersifat jinak (schwannoma) dan neurofibroma yang paling sering
ditemukan. Pada tabel di bawah ini dapat dilihat klasifikasi histologi
tumor saraf. Tumor yang bersifat jinak sangat jarang menjadi ganas.
Meskipun dikatakan sering pada anak tetapi juga dapat ditemukan pada
orang dewasa (Syahruddin, Hudoyo and Jusuf, 2009).
Total reseksi adalah terapi pilihan, jika sel bersifat ganas atau
reseksi tidak komplet maka radiasi pascabedah sangat dianjurkan. Pada
22

jenis ganas, misalnya neuroblastoma yang sulit dibedah, kemoterapi


dilakukan sebelum pembedahan (Syahruddin, Hudoyo and Jusuf, 2009).

Tabel 2.6 Klasifikasi Histologis Tumor Saraf


Berasal dari saraf tepi (peripheral nerves)
• Neurofibroma
• Neurilemoma (Schwannoma)
• Neurosarkoma
Berasal dari ganglion simpatik (symphathetic ganglia)
• Ganglioneuroma
• Ganglioneoroblastoma
• Neuroblastoma
Berasal dari jaringan paraganglionik (paraganglionic
tissue)
• Feokromositoma
• Kemodektoma (paraganglioma)

 Neurilemoma
Tumor jinak yang tumbuh lambat ini terdiri dari 40 hingga 65%
massa mediastinum neurogenik. Neurilemoma atau schwannomas
merupakan 75% dari kelompok massa ini. Tumor ini keras, massa
terdiri dari sel Schwann. Neurofibroma tidak berkapsul, lunak, dan
rapuh, dan berhubungan dengan neurofibromatosis Von
Recklinghausen. Tumor ini sering tanpa gejala dan ditemukan secara
kebetulan (Duwe, Sterman and Musani, 2005).
Secara radiografis, tumor selubung saraf adalah massa bulat
yang berbatas tajam. Karena berdekatan dengan tulang belakang,
mereka dapat menyebabkan erosi dan kelainan bentuk tulang rusuk.
Atenuasi rendah pada CT scan dapat mengindikasikan hiposelularitas,
perubahan kistik, perdarahan, atau adanya lipid dalam mielin (Duwe,
Sterman and Musani, 2005).
23

Operasi pilihan untuk mengangkat tumor ini adalah toroskopi,


atau torokotomi bila yang pertama bukanlah pilihan. Untuk tumor
yang menginvasi korpus vertebra atau foramina, reseksi en bloc dapat
dilakukan. Kemoterapi pasca operasi atau terapi radiasi mungkin
berperan ketika reseksi total tidak memungkinkan (Duwe, Sterman
and Musani, 2005).

Gambar 2.20
Massa mediastinum posterior
sisi kiri yang besar terlihat
paravertebral (panah putih).

Gambar 2.21
Rontgen dada menunjukkan massa mediastinum di area kardia posterior (A).
CT scan dada menunjukkan massa berbentuk oval berukuran 7,4 × 4,5 cm di
mediastinum posterior. Massa menekan atrium kiri, esofagus, dan tidak ada
invasi pasti ke paru-paru (B).
24

 Neuroblastoma
Neuroblastoma adalah penyakit pada anak kecil, dengan 95%
terjadi pada pasien usia 5 tahun. Neuroblastoma adalah tumor yang
sangat agresif dan mudah bermetastasis yang terdiri dari sel-sel bulat
kecil yang tersusun dalam lapisan atau pseudoroset. Mereka adalah lesi
nonencapsulated, sering menunjukkan perdarahan, nekrosis, atau
degenerasi kistik. Gejalanya meliputi nyeri, defisit neurologis, sindrom
Horner, gangguan pernapasan, dan ataksia. Pada CT scan, 80% dari
tumor ini memiliki kalsifikasi. Seperti semua tumor neurogenik, MRI
berguna untuk menentukan sejauh mana keterlibatan intraspinal
(Duwe, Sterman and Musani, 2005).

Gambar 2.24
Bayi 9 hari dengan
neuroblastoma toraks.
Radiografi dada AP (A) dan
Lateral (B) menunjukkan massa
dada. Perhatikan pelebaran
tulang rusuk posterior (panah
hijau), melokalisir massa ke
mediastinum posterior. Pada
gambaran lateral, tanda bintang
biru menandakan massa,
menggeser jantung ke arah
anterior.
25

Gambar 2.25
Bayi 9 hari dengan neuroblastoma toraks. CT scan dengan kontras aksial
melalui dada bagian tengah. Massa yang meningkat secara heterogen
menempati mediastinum posterior kiri (tanda bintang biru) dengan
kalsifikasi berbintik (panah merah), invasi foramen saraf (panah hijau),
dan kerusakan tulang rusuk ipsilateral. Perhatikan deviasi anterior dan ke
kanan dari struktur mediastinum.
26

BAB 3
KESIMPULAN

Mediastinum merupakan rongga imaginer di antara paru kiri da


nkanan. Mediastinum menjadi bagian penting dari thorax karena berisi
jantung, aorta, dan arteri besar, pembuluh darah vena besar, trakea,
kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.
Tumor mediastinum sering tidak memberikan gejala dan terdeteksi pada
saat dilakukan foto toraks. Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai
timbul bila terjadi peningkatan ukuran tumor yang menyebabkan
terjadinya penekanan struktur mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat
menimbulkan gejala akibat penekanan atau invasi ke struktur
mediastinum.
Penegakan diagnosis tumor mediastinum berdasarkan pemeriksaan
rontgenografi. Foto toraks lateral dan posteroanterior standar bermanfaat
dalam melokalisir massa di dalam mediastinum. Foto polos bisa mengenal
densitas relatif tumor, apakah padat atau kistik, dan ada atau tidaknya
kalsifikasi. Penggunaan CT scan memberikan gambaran anatomi potongan
melintang bagi mediastinum, CT mampu memisahkan massa mediastinum
dari struktur mediastinum lainnya.
27

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, N. (2020) ‘Mediastinal Cancer’, Histopathology Reporting, pp. 221–


228. doi: 10.1007/978-3-030-27828-1_19.

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.

Brunner, & Suddarth. (2016). Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Duwe, B. V., Sterman, D. H. and Musani, A. I. (2005) ‘Tumors of the


mediastinum’, Chest, 128(4), pp. 2893–2909. doi:
10.1378/chest.128.4.2893.

Elhidis, M. (2020) ‘Page 1’, Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), pp. 1–10.

Ghigna, M. R. and de Montpreville, V. T. (2021) ‘Mediastinal tumours and


pseudo-tumours: A comprehensive review with emphasis on
multidisciplinary approach’, European Respiratory Review, 30(162), pp.
1–17. doi: 10.1183/16000617.0309-2020.

Giovani, O., Agustina, H. and Djajakusumah, T. M. (2018) ‘Characteristics of


Mediastinal Tumors in Dr . Hasan Sadikin General Hospital , Periods of
2011-2016 Department of Anatomical Pathology Department of Surgery ,
Vascular Surgery Division Karakteristik Tumor Mediastinum di RSUP
Dr . Hasan Sadikin Bandung Per’, Journal of Medicine and Health, 2(2),
pp. 772–779.

Hardinur, N. I. (2020) ‘Karakteristik Penderita Tumor Mediastinum di RSUP Dr.


M. Djamil, Padang periode 2015-2019’, Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia,
1(2), pp. 3–8. doi: 10.25077/jikesi.v1i2.93.

Juanpere, S. et al. (2013) ‘A diagnostic approach to the mediastinal masses’,


Insights into Imaging, 4(1), pp. 29–52. doi: 10.1007/s13244-012-0201-0.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Pathophysiology: Clinical Concepts of


Disease Processes. Edisi 6. Jakarta : EGC.

Risnawati, R. and Wulandari, L. (2019) ‘Tumor Mediastinum Anterior ( Yolk Sac


28

Tumor ) pada Seorang Laki-Laki Dewasa Muda: Sebuah Kasus yang


Jarang’, Jurnal Respirasi, 2(2), p. 45. doi: 10.20473/jr.v2-i.2.2016.45-51.

Syahruddin, E., Hudoyo, A. and Jusuf, A. (2009) ‘Penatalaksanaan Tumor


Mediastinum Ganas’, Jurnal Respirologi Indonesia, (1), pp. 1–14.

Anda mungkin juga menyukai