5 Patogenesis
menghancurkan bekuan yang terbentuk setelah terjadinya restorasi pembuluh darah yang
rusak. Komponen utama sistem hemostasis adalah sistem vaskuler, sistem trombosit dan
Sistem Vaskuler
pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan darah. Apabila
pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi vasokontriksi yang mula-mula secara
reflektoris dan kemudian akan dipertahankan oleh faktor lokal seperti 5-hidroksitriptamin
(5-HT), serotonin, dan epinefrin. Vasokontriksi ini akan menyebabkan pengurangan aliran
darah besar masih diperlukan lain seperti trombosit dan pembekuan darah (Versteeg,
2013).
Pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Apabila lapisan endotel rusak maka
jaringan ikat dibawah endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan membrana basalis
terbuka sehingga terjadi aktivasi trombosit. Di samping itu terjadi aktivasi faktor
pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik yang menyebabkan
pembekuan fibrin.
kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Sel endotel juga mengandung berbagai
proteoglikan seperti hepatin sulfat, kondroitin sulfat, dermatan sulfat, dan trombomodulin.
Proteoglikan ini akan berinteraksi dengan antitrombin untuk meningkatkan hambatan
XIII.(Setiabudy, 2012)
Sistem Trombosit
stabilitas sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui beberapa tahap
yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan. Apabila pembuluh darah
luka, maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan ikat dibawah endotel akan terbuka.
Hal ini akan mencetuskan adesi trombosit yaitu suatu proses dimana trombosit melekat
pada permukaan asing terutama serat kolagen. Adesi trombosit sangat tergantung pada
protein plasma yang disebut faktor von willebrands (vWF) yang disintesis oleh sel
endotel dan megakariosit. Faktor ini berfungsi sebagai jembatan antara trombosit dan
jaringan subendotel. Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat
pada trombosit lain dan proses ini disebut sebagai agregasi trombosit (Oesman, 2012).
dikeluarkan oleh trombosit yang melekat pada serat subendotel. Agregasi yang terbentuk
disebut agregasi trombosit primer dan bersifat reversible. Trombosit pada agregasi primer
akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit sekunder yang bersifat
irreversible. Disamping ADP, untuk agregasi trombosit diperlukan ion kalsium dan ikatan
diantara fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit dengan perantara ion kalsium.
Mula-mula ADP akan terikat pada reseptornya permukaan trombosit dan interaksi ini
menyebabkan reseptor untuk fibrinogen terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara
fibrinogen tersebut sehingga terjadi agregasi trombosit. Selain itu akan terjadi aktifasi
enzin fosfolipase A2 sehingga fosfolipid yang terdapat pada dinding trombosit akan
dipecah dan melepaskan asam arakhidonat. Asam arakhidonat akan diubah oleh enzim
prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan diubah oleh enzim
trombosit. Tromboksan A2 akan segera diubah menjadi bentuk tidak aktif TxB2. Di dalam
sel endotel akan terjadi proses yang sama, akan tetapi PGH2 akan diubah oleh enzim
Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk cakram
menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi. Akibat perubahan bentuk ini
maka granula trombosit akan terkumpul di tengah dan akhirnya akan melepaskan isinya.
Proses ini disebut sebagai reaksi pelepasan dan memerlukan adanya enersi. Zat agregator
lain seperti trombin, kolagen, epinefrin dan TxA2 dapat menyebabkan reaksi pelepasan.
yang terdapat di dalam granula padat dan granula alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan
pelepasan isi granula padat, alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP, ATP,
ion kalsium, serotonin, epinefrin dan nor-epinefrin. Dari granula alfa dilepaskan
fibrinogen, vWF, FV, Platelet faktor 4 (PF4), beta tromboglobulin ( TG). Sedangkan
Masa agregasi trombosit akan melekat pada endotel, sehingga terbentuk sumbat
trombosit yang menutup luka pada pembuluh darah. Walaupun masih permeabel terhadap
cairan, sumbat trombosit mungkin dapat menghentikan perdarahan pada pembuluh darah
Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan
protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium.
Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai dengan urutan
ditemukannya. Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan darah
adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac Farlane, Davic dan
Ratnoff. Menurut teori ini tiap faktor pembekuan darah diubah menjadi bentuk aktif oleh
faktor sebelumnya dalam rangkaian reaksi enzimatik. Faktor pembekuan beredar dalam
darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan
mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah
dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan F.XII, FXI, FIX, F.VIII, HMWK, PK,
platelet factor 3 (PF.3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh
tromboplastin jaringan dan melibatkan melibatkan F.VII, ion kalsium. Kedua jalur ini
kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan F.X, F.V, PF.3,
Koagulasi dapat dibagi atas tiga fase yaitu; fase inisiasi, fase amplifikasi dan fase propagasi
(Versteeg, 2013) :
1. Fase Inisiasi
Fase ini merupakan jalur ekstrinsik klasik pada sistem koagulasi, dimulai dengan
adanya injuri vaskuler dan terpaparnya sel subendotel terhadap aliran darah. Terpaparnya sel
ini merupakan kunci untuk terjadinya kaskade koagulasi, dimulai dengan berikatannya faktor
jaringan (tissue factor/TF) dengan faktor VII. Faktor jaringan ini berperan sebagai kofaktor
dari F.VII, sehingga faktor VII berubah menjadi bentuk aktif yaitu faktor VIIa. Komplek TF
F.VIIa ini akan mengubah F.IX dan F.X menjadi F.IXa dan F.Xa. Kemudian F.Xa dengan
kofaktor Va berikatan membentuk kompleks protrombinase pada sel ekspresi TF, yang akan
2. Fase Amplifikasi
Akumulasi dari trombin akan mengaktifasi trombosit yang ada di sisi pembuluh darah
yang rusak. Trombin akan mengkonversi F.V menjadi F.Va, yang akan mengamplifikasi
aktivitas protrombinase, dan mengkonversi F.VIII menjadi VIIIa, yang selanjutnya berperan
sebagai kofaktor F.IXa pada permukaan trombosit yang teraktivasi untuk membantu
pembentukan F.Xa. Trombin juga berperan dalam mengubah F.XI menjadi XIa.
3. Fase Propagasi
Fase propagasi muncul pada permukaan yang mengandung fosfolipid prokoagulan, seperti
trombosit yang teraktifasi. Faktor XIa mengkonversi F.IX menjadi IXa, yang selanjutnya
tenase dari IXa/VIIIa mengkatalisis konversi F.X menjadi Xa, setelah kompleks F.Xa/Va
akhir, trombin teraktivasi, dan F.XIIIa mengkatalisis pembentukan crosslink antar fibrin
Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik
sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik terdiri dari tiga komponen
utama yaitu plasminogen yang akan diaktifkan menjadi plasmin, aktivator plasminogen dan
ekstrinsik dan eksogen. Aktivator intrinsik terdapat di dalam darah seperti F.XIIa dan
kalikrein. Aktivator ekstrinsik terdapat pada endotel pembuluh darah dan bermacam-macam
(Oesman, 2012).
Teori mengenai patogenesis trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada tahun
1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang memegang
peranan dalam patogenesis trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan
aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut disebut Triad of
Virchows. Pada waktu itu peranan trombosit dalam patogenesis trombosis belum
diketahui. Baru pada tahun 1875 Zahn menemukan adanya akumulasi trombosit pada
arteri yang terluka. (Setiabudy, 2012)
Berdasarkan triad of virchows terdapat tiga faktor yang berperan dalam patofisiologi
trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan
daya beku darah. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, tetapi besarnya peranan masing-
masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri faktor yang paling penting adalah kelainan
dinding pembuluh darah, sedang pada trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis
dan hiperkoagulabilitas (Setiabudy, 2012).
Perubahan aliran darah
Pembuluh darah bukan merupakan saluran tunggal yang lurus, tetapi bercabang-
cabang. Adanya pola percabangan ini menyebabkan aliran darah di dalamnya juga
mengikuti pola percabangan. Trombosis arteri sering dimulai pada orifisium dan daerah
percabangan, karena di tempat tersebut terjadi perubahan aliran darah. Daya hemodinamik
sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel, selain itu perubahan aliran darah akan
menimbulkan akumulasi zat-zat yang terdapat merusak dinding pembuluh darah.
(Chusman, 2007)
Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada vena di
tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan gangguan mekanismen
pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan yang aktif.
Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami stasis, misalnya pada daerah
antara dinding vena dan katub yang disebut valve-pocket thrombi (Chusman, 2007).
Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Faktor-faktor yang
menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit untuk berubah
bentuk serta kadar fibrinogen dan protein-protein lain yang bermolekul besar. Bila nilai
hematokrit naik dari 40% menjadi 50% maka viskositas naik dua kali. Untuk melewati
pembuluh darah yang kecil, eritrosit harus mampu merubah bentuknya. Kemampuan
berubah bentuk ini tergantung dari sifat membran eritrosit. Protein yang bermolekul besar
seperti fibrinogen dan makroglobulin, maupun interaksinya dengan sel-sel darah sangat
mempengaruhi viskositas. Interaksi eritrosit dengan protein-protein tersebut
mengakibatkan pembentukan rouleaux yang akan meningkatkan viskositas darah
(Chusman, 2007).
l. Anamnesis
Dari riwayat penyakit yang dapat di gali, TVD biasanya terlihat jelas pada ekstremitas
bawah. TVD pada ekstremitas bawah ini seringkali terlihat pertama kali sebagai rasa penuh
yang mengganggu pada insersi otot betis bawah. Perasaan ini lama kelamaan disertai rasa
panas dan pembengkakan. Pembengkakan disertai rasa nyeri. Rasa nyeri bertambah bila
2. Pemeriksaan Fisik
Akan dijumpai kelemahan mungkin timbul sepanjang aliran vena yang terlibat. Disamping itu
biasanya juga didapatkan adanya peningkatan turgor jaringan lunak yang terkena dan distensi
vena superficial
Tanda dan Gejala
Dijumpai adanya rasa penuh yang mengganggu pada insersi otot betis bawah. Karme l L.dan
Tambunan menyebutkan gejala klinis yang bisa timbul pada TVD adalah tumor, dolor,
kalor, rubor dan fungsiolesa. Hirsh dan I-eerl menggunakan model klinik seperti terlihat pada
terkena TVD bila skore-nya 1 atau lebih.Bila skore-nya kurang dari I kemungkinan bukan
TVD.
Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena
superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti vena
poplitea, vena femoralis dan vena iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul
tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis. Trombosis
di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk
umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis
di daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus
tersebut meluas atau menyebar ke proksimal. Trombosis vena superfisialis pada tungkai,
biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-
kadang trombosis vena tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat
Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homans sign
yaitu nyeri pada betis atau fosa poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di
daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan
anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau
kaku dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau
2. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan
bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh
peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di
sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena
dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di
temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-
4. Sindroma post-trombosis.
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi
dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan
meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi
vena dalam . Serangan awalnya disebut trombosis vena dalam akut, adanya riwayat
trombosis vena dalam akut merupakan predisposisi terjadinya trombosis vena dalam
berulang. Episode DVT dapat menimbulkan kecacatan untuk waktu yang lama karena
kerusakan katup-katup vena dalam. Emboli paru adalah resiko yang cukup bermakna pada
spontan dan sebagian lainnya menjadi parah dan luas hingga membentuk emboli. Penyakit
ini dapat menyerang satu vena atau lebih, vena di daerah betis adalah vena-vena yang
paling sering terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis dan segmen-
segmen vena iliofemoralis juga sering terjadi. DVT secara khas merupakan masalah yang
tidak terlihat karena biasanya tidak bergejala, terjadinya emboli paru dapat menjadi
petunjuk klinis pertama dari trombosis. Pembentukan trombus pada sistem vena dalam
dapat tidak terlihat secara klinis karena kapasitas system vena yang besar dan
terbentuknya sirkulasi kolateral yang mengitari obstruksi. Diagnosisnya sulit karena tanda
dan gejala klinis DVT tidak spesifik dan beratnya keadaan tidak berhubungan langsung
Gejala-gejala dari DVT berhubungan dengan rintangan dari darah yang kembali ke
jantung dan aliran balik pada kaki. Secara klasik, gejala-gejala termasuk:
nyeri,
bengkak,
hangat dan
kemerahan.
Tanda yang paling dapat dipercaya adalah bengkak/edema dari ekstremitas yang
membrane kapiler memasuki jaringan interstisial yang terjadi karena peningkatan tekanan
hidrostatik. Vena permukaan dapat pula berdilatasi karena obstruksi aliran ke sistem
dalam atau sebaliknya aliran darah dari sistem dalam ke permukaan. Meski biasanya
bilateral.
Seperti dibahas diatas, nyeri merupakan gejala yang paling umum, biasanya
dikeluhkan sebagai rasa sakit atau berdenyut dan bisa terasa berat. Ketika berjalan bisa
menimbulkan rasa nyeri yang bertambah. Nyeri tekan pada ekstremitas yang terserang
bisa dijumpai saat pemeriksaan fisik. Ada dua teknik untuk menimbulkan nyeri tekan
sekitar ekstremitas yang dimaksud. Tanda lain adalah adanya peningkatan turgor jaringan
dengan pembengkakan, kenaikan suhu kulit dengan dilatasi vena superfisial, bintik-bintik
dan sianosis karena stagnasi aliran, peningkatan ekstraksi oksigen dan penurunan
hemoglobin. Gangguan sekunder pada arteri dapat terjadi pada trombosis vena luas akibat
kompresi atau spasme vaskuler, denyut arteri menghilang dan timbul warna pucat.
3. Pemeriksaan Penunjang
trombosis vena dalam. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena dalam, yaitu pemeriksaan D-Dimer, ultrasonografi, venografi,
bertujuan untuk mengukur kadar D-Dimer dalam darah. Peningkatan D-Dimer merupakan
indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak spesifik, dan
sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.
Pemeriksaan ini mempunya sensitifitas lebih dari 95% dengan spesifisitas yang rendah.
Dinisio et all (2007) melakukan studi tentang akurasi pemeriksaan D-Dimer dalam
mendiagnosis tromboemboli vena. Total 217 pasien didiagnosa dengan trombosis vena
dalam. Studi ini menyimpulkan sensitifitas pemeriksaan D-Dimer dengan metode ELISA
vena dalam. Pemeriksaan ini tidak invasif, aman, relatif tersedia dan tidak mahal. Ada 3
dan doppler ) dan ultrasonografi doppler. Pada akhir abad ini, penggunaan ultrasonografi
berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan
suara untuk membentuk gambaran aliran darah melalui pembuluh darah arteri dan
pembuluh darah vena pada tungkai yang terkena. Pemeriksaan ini memberikan hasil
Venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena. Akan tetapi
teknik pemeriksaannya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk
adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan
gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal vena iliaca.
Pemeriksaan ini tidak terlalu direkomendasikan, dan dilakukan ketika kecurigaan adanya
volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis
dan iliaca dibandingkan vena di betis. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 91% dan
spesifisitas 96%.
diagnostik yang sangat sensitif untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam pada
pelvis dan extremitas atas. Pemeriksaan ini merupakan pilihan utama pada pasien dicurigai
trombosis vena dalam pada vena iliaka atau vena cava ketika CT venografi kontra
indikasi. Pemeriksaan ini tidak memeliki resiko radiasi, akan tetapi masih merupakan
trombosi vena dalam. Dalam algoritma ini, pasien yang dicurigai menderita trombosis
vena dalam dilakukan pemeriksaan skor Wells untuk melihat resiko terjadinya trombosis
vena dalam. Setelah itu, pemeriksaan D-dimer dan ultrasonografi kompresi sangat
o Cellulitis
Thrombophlebitis
o Arthritis
Hematoma
-Lymphedema
Neurogenic pain
-Postphlebitic syndrome
-Superficial thrombophlebitis
-Varicose veins
DAFTAR PUSTAKA
1. Cushman M. Epidemiology and risk faktor for venous thrombosis. Semin Hematol.
2007; 44: 62-69
2. Setiabudy RD. Patofisiologi trombosis. Dalam : Hemostasis dan trombosis. Edisi
Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 34-47
3. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary embolism.
Journal of American Family Physician. Vol.86, 2012
4. Versteeg HH, Heemskerk JWM, Levi M, Reitsma PH. New fundamentals in hemostasis.
Physiol rev. 2013; 93: 327-358
5. Esmon CT. Basic mechanisms and pathogenesis of venous thrombosis. Blood rev. 2009;
23(5): 225-229
6. Oesman F, Setiabudy RD. Fisiologi hemostasis dan fibrinolisis. Dalam: Hemostasis dan
Trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 1-15
7. Harrison P. Platelet function analysis. Blood Reviews. 2005: 19; 111123
8. Wells P, Anderson D. The diagnosis and treatment of venous thromboembolism. Journal
of American Society of Hematology. 2013: 457-463
9. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Andrew D. Deep vein thrombosis: a
clinical review. Journal of Blood Medicine. 2011; 2: 5969
10. Dinisio M, Squizito A, Rutjes S, Buller R, Zwindermas AH, Bossuy PM. Diagnosis
accuracy of D-dimer test for exlusion of venous thromboembolism. Journal Thrombosis
Haemostasis. 2007; 5: 296304