Anda di halaman 1dari 21

2.

5 Patogenesis

2.5.1 Fisiologi Homeostasis

Hemostasis adalah proses fisiologis untuk mempertahankan integritas vaskular

dengan mempertahankan fluiditas darah dan mencegah keluarnya darah serta

menghancurkan bekuan yang terbentuk setelah terjadinya restorasi pembuluh darah yang

rusak. Komponen utama sistem hemostasis adalah sistem vaskuler, sistem trombosit dan

sistem koagulasi (Versteeg, 2013).

Sistem Vaskuler

Peran sistem vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi

pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan darah. Apabila

pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi vasokontriksi yang mula-mula secara

reflektoris dan kemudian akan dipertahankan oleh faktor lokal seperti 5-hidroksitriptamin

(5-HT), serotonin, dan epinefrin. Vasokontriksi ini akan menyebabkan pengurangan aliran

darah besar masih diperlukan lain seperti trombosit dan pembekuan darah (Versteeg,

2013).

Pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Apabila lapisan endotel rusak maka

jaringan ikat dibawah endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan membrana basalis

terbuka sehingga terjadi aktivasi trombosit. Di samping itu terjadi aktivasi faktor

pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik yang menyebabkan

pembekuan fibrin.

Adanya kerusakan endotel akan menyebabkan keluarnya endotelin 1 serta

substansi lain yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Endotelin 1 berfungsi sebagai

kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Sel endotel juga mengandung berbagai

proteoglikan seperti hepatin sulfat, kondroitin sulfat, dermatan sulfat, dan trombomodulin.
Proteoglikan ini akan berinteraksi dengan antitrombin untuk meningkatkan hambatan

terhadap protease serin. Trombomodulin berfungsi sebagai reseptor trombin.

Trombomudulin ini akan mengubah aktivitas prokoagulan dari trombin sehingga

trombomodulin yang terikat dengan trombin kehilangan kemampuan untuk mengubah

fibrinogen menjadi fibrin, mengaktifkan trombosit dan mengaktifkan faktor

XIII.(Setiabudy, 2012)

Sistem Trombosit

Trombosit mempunyai peran penting dalam hemostasis yaitu pembekuan dan

stabilitas sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui beberapa tahap

yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan. Apabila pembuluh darah

luka, maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan ikat dibawah endotel akan terbuka.

Hal ini akan mencetuskan adesi trombosit yaitu suatu proses dimana trombosit melekat

pada permukaan asing terutama serat kolagen. Adesi trombosit sangat tergantung pada

protein plasma yang disebut faktor von willebrands (vWF) yang disintesis oleh sel

endotel dan megakariosit. Faktor ini berfungsi sebagai jembatan antara trombosit dan

jaringan subendotel. Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat

pada trombosit lain dan proses ini disebut sebagai agregasi trombosit (Oesman, 2012).

Agregrasi trombosit mula-mula dicetuskan oleh adenosin difospat (ADP) yang

dikeluarkan oleh trombosit yang melekat pada serat subendotel. Agregasi yang terbentuk

disebut agregasi trombosit primer dan bersifat reversible. Trombosit pada agregasi primer

akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi trombosit sekunder yang bersifat

irreversible. Disamping ADP, untuk agregasi trombosit diperlukan ion kalsium dan ikatan

diantara fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit dengan perantara ion kalsium.

Mula-mula ADP akan terikat pada reseptornya permukaan trombosit dan interaksi ini
menyebabkan reseptor untuk fibrinogen terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara

fibrinogen dengan reseptor tersebut. Kemudian ion kalsium akan menghubungkan

fibrinogen tersebut sehingga terjadi agregasi trombosit. Selain itu akan terjadi aktifasi

enzin fosfolipase A2 sehingga fosfolipid yang terdapat pada dinding trombosit akan

dipecah dan melepaskan asam arakhidonat. Asam arakhidonat akan diubah oleh enzim

siklo-oksigenase menjadi prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan diubah menjadi

prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan diubah oleh enzim

tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2 (TxA2) yang akan merangsang agregasi

trombosit. Tromboksan A2 akan segera diubah menjadi bentuk tidak aktif TxB2. Di dalam

sel endotel akan terjadi proses yang sama, akan tetapi PGH2 akan diubah oleh enzim

prostasiklin sintetase menjadi prostasiklin (PGI2) yang mempunyai efek berlawanan

dengan TxA2 (Oesman, 2012).

Selama proses agregasi, terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk cakram

menjadi bulat disertai dengan pembentukan pseudopodi. Akibat perubahan bentuk ini

maka granula trombosit akan terkumpul di tengah dan akhirnya akan melepaskan isinya.

Proses ini disebut sebagai reaksi pelepasan dan memerlukan adanya enersi. Zat agregator

lain seperti trombin, kolagen, epinefrin dan TxA2 dapat menyebabkan reaksi pelepasan.

Tergantung zat yang merangsang, akan dilepaskan bermacam-macam substansi biologik

yang terdapat di dalam granula padat dan granula alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan

pelepasan isi granula padat, alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP, ATP,

ion kalsium, serotonin, epinefrin dan nor-epinefrin. Dari granula alfa dilepaskan

fibrinogen, vWF, FV, Platelet faktor 4 (PF4), beta tromboglobulin ( TG). Sedangkan

dari lisosom dilepaskan bermacam-macam enzim hidrolase asam (Oesman, 2012).

Masa agregasi trombosit akan melekat pada endotel, sehingga terbentuk sumbat

trombosit yang menutup luka pada pembuluh darah. Walaupun masih permeabel terhadap
cairan, sumbat trombosit mungkin dapat menghentikan perdarahan pada pembuluh darah

kecil. Tahap terakhir untuk menghentikan perdarahan adalah pembentukan sumbat

trombosit yang stabil melalui fibrin.

Gambar 1. Fungsi trombosit pada hemostasis

Sistem Pembekuan Darah

Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan

protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium.

Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai dengan urutan

ditemukannya. Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan darah

adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac Farlane, Davic dan

Ratnoff. Menurut teori ini tiap faktor pembekuan darah diubah menjadi bentuk aktif oleh

faktor sebelumnya dalam rangkaian reaksi enzimatik. Faktor pembekuan beredar dalam

darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan

mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah

bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim (Oesman, 2012).


Proses pembekuan darah mulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik yang

dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan F.XII, FXI, FIX, F.VIII, HMWK, PK,

platelet factor 3 (PF.3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh

tromboplastin jaringan dan melibatkan melibatkan F.VII, ion kalsium. Kedua jalur ini

kemudian akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan F.X, F.V, PF.3,

protombin dan fibrinogen.

Koagulasi dapat dibagi atas tiga fase yaitu; fase inisiasi, fase amplifikasi dan fase propagasi

(Versteeg, 2013) :

1. Fase Inisiasi

Fase ini merupakan jalur ekstrinsik klasik pada sistem koagulasi, dimulai dengan

adanya injuri vaskuler dan terpaparnya sel subendotel terhadap aliran darah. Terpaparnya sel

ini merupakan kunci untuk terjadinya kaskade koagulasi, dimulai dengan berikatannya faktor

jaringan (tissue factor/TF) dengan faktor VII. Faktor jaringan ini berperan sebagai kofaktor

dari F.VII, sehingga faktor VII berubah menjadi bentuk aktif yaitu faktor VIIa. Komplek TF

F.VIIa ini akan mengubah F.IX dan F.X menjadi F.IXa dan F.Xa. Kemudian F.Xa dengan

kofaktor Va berikatan membentuk kompleks protrombinase pada sel ekspresi TF, yang akan

mengubah protrombin (F.II) menjadi trombin.

2. Fase Amplifikasi

Akumulasi dari trombin akan mengaktifasi trombosit yang ada di sisi pembuluh darah

yang rusak. Trombin akan mengkonversi F.V menjadi F.Va, yang akan mengamplifikasi

aktivitas protrombinase, dan mengkonversi F.VIII menjadi VIIIa, yang selanjutnya berperan

sebagai kofaktor F.IXa pada permukaan trombosit yang teraktivasi untuk membantu

pembentukan F.Xa. Trombin juga berperan dalam mengubah F.XI menjadi XIa.

3. Fase Propagasi
Fase propagasi muncul pada permukaan yang mengandung fosfolipid prokoagulan, seperti

trombosit yang teraktifasi. Faktor XIa mengkonversi F.IX menjadi IXa, yang selanjutnya

dihubungkan dengan trombin-cleaved F.VIII. Pada fosfatidilserin membran sel, komplek

tenase dari IXa/VIIIa mengkatalisis konversi F.X menjadi Xa, setelah kompleks F.Xa/Va

memproduksi sejumlah trombin sampai terbentuknya serat-serat fibrin. Sebagai tahap

akhir, trombin teraktivasi, dan F.XIIIa mengkatalisis pembentukan crosslink antar fibrin

untuk membentuk klot fibrin yang elastik dan terpolimerisasi.

Gambar 2. Skema proses koagulasi

Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik

sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik terdiri dari tiga komponen

utama yaitu plasminogen yang akan diaktifkan menjadi plasmin, aktivator plasminogen dan

inhibitor plasmin. Aktivator plasminogen adalah subtansi yang dapat mengaktifkan

plasminogen menjadi plasmin. Menurut asalnya dibedakan menjadi aktivator intrinsik,

ekstrinsik dan eksogen. Aktivator intrinsik terdapat di dalam darah seperti F.XIIa dan

kalikrein. Aktivator ekstrinsik terdapat pada endotel pembuluh darah dan bermacam-macam

jaringan, disebut tissue plasminogen activator (t-PA). Sedangkan aktivator eksogen


contohnya adalah urokinase yang merupakan produk streptokokus beta hemolitikus

(Oesman, 2012).

2.5.2 Patogenesis Deep Vein Thrombosis (DVT)

Teori mengenai patogenesis trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada tahun
1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang memegang
peranan dalam patogenesis trombosis yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan
aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut disebut Triad of
Virchows. Pada waktu itu peranan trombosit dalam patogenesis trombosis belum
diketahui. Baru pada tahun 1875 Zahn menemukan adanya akumulasi trombosit pada
arteri yang terluka. (Setiabudy, 2012)

Gambar 3. Triad of virchows

Berdasarkan triad of virchows terdapat tiga faktor yang berperan dalam patofisiologi
trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan
daya beku darah. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, tetapi besarnya peranan masing-
masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri faktor yang paling penting adalah kelainan
dinding pembuluh darah, sedang pada trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis
dan hiperkoagulabilitas (Setiabudy, 2012).
Perubahan aliran darah
Pembuluh darah bukan merupakan saluran tunggal yang lurus, tetapi bercabang-
cabang. Adanya pola percabangan ini menyebabkan aliran darah di dalamnya juga
mengikuti pola percabangan. Trombosis arteri sering dimulai pada orifisium dan daerah
percabangan, karena di tempat tersebut terjadi perubahan aliran darah. Daya hemodinamik
sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel, selain itu perubahan aliran darah akan
menimbulkan akumulasi zat-zat yang terdapat merusak dinding pembuluh darah.
(Chusman, 2007)

Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada vena di
tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan gangguan mekanismen
pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan yang aktif.
Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami stasis, misalnya pada daerah
antara dinding vena dan katub yang disebut valve-pocket thrombi (Chusman, 2007).
Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Faktor-faktor yang
menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit untuk berubah
bentuk serta kadar fibrinogen dan protein-protein lain yang bermolekul besar. Bila nilai
hematokrit naik dari 40% menjadi 50% maka viskositas naik dua kali. Untuk melewati
pembuluh darah yang kecil, eritrosit harus mampu merubah bentuknya. Kemampuan
berubah bentuk ini tergantung dari sifat membran eritrosit. Protein yang bermolekul besar
seperti fibrinogen dan makroglobulin, maupun interaksinya dengan sel-sel darah sangat
mempengaruhi viskositas. Interaksi eritrosit dengan protein-protein tersebut
mengakibatkan pembentukan rouleaux yang akan meningkatkan viskositas darah
(Chusman, 2007).

Peranan Pembuluh Darah


Semua pembuluh darah, baik arteri, vena maupun kapiler dilapisi oleh endotel pada
permukaan yang menghadap ke lumen. Endotel yang utuh bersifat non trombogenik. Hal
ini disebabkan oleh beberapa substansi yang dihasilkan oleh endotel yaitu prostasiklin
(PGI2), proteoglikan, enzim ADPase, aktivator plasminogen dan trombomodulin
(Chusman, 2007).
PGI2 adalah metabolit prostaglandin yang merupakan penghambat agregasi
trombosit yang kuat. Mekanisme penghambatan ini melalui perangsangan adenilat siklase
yang akan meningkatkan siklik AMP. Pembentukan PGI2 oleh endotel dirangsang antara
lain oleh trombolin dan trauma mekanik. Pada bercak aterosklerotik pembentukan PGI2
berkurang. Demikian juga pada diabetes melitus, haemolytic uremic syndrome, thrombotic
thrombocytopenic purpura, pre eklamsia, perokok dan adanya antikoagulan lupus
(Chusman, 2007).
Dinding pembuluh darah mengandung beberapa proteoglikan yaitu dermatan
sulfat, heparan sulfat, chondroitin 4 sulfat, condroitin 6 sulfat dan asam hialuronat.
Diantara zat-zat ini ada yang dapat menghambat agregasi trombosit. Heparan sulfat dan
dermatan sulfat dapat berperan seperti heparin dalam meningkatkan inaktivasi trombin
oleh antitrombin. Adanya enzim ADPase pada dinding pembuluh darah ikut mencegah
pembentukan trombous dengan menghilangkan efek proagregasi ADP. Endotel dapat
melepaskan aktivator plasminogen yang akan mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin
yang selanjutnya akan memecah fibrin. Pelepasan aktivator plasminogen dirangsang oleh
stimulus yang bersifat vasoaktif baik lokal maupun sistemik seperti iskemia, trombin,
bradiklin, asetikolin, histamin, serotonin dan epinefrin. Kerusakan endotel pembuluh darah
menyebabkan aktivator plasminogen berkurang. Endotel kapiler mengandung paling
banyak aktivator plasminogen dari pada vena pada lengan, karena itu trombosis vena lebih
sering terjadi pada tungkai dari pada lengan. Trombomodulin adalah protein yang
berfungsi sebagai kofaktor dalam aktivasi protein C oleh trombin. Protein C aktif
berfungsi sebagai antikoagulan dengan memecah F Va dan F VIIIa serta meningkatkan
fibrinolisis. (Chusman, 2007)
Cedera minimal yang kronis dapat menyebabkan disfungsi endotel yaitu perubahan
fungsi endotel yang disebabkan oleh stres oksidatif misalnya radikal bebas akibat rokok
sigaret, stres hemodinamik misalnya hipertensi maupun oleh penyebab lain seperti
dislipidemia, diabetes melitus, kelainan genetik, peningkatan kadar homosistein dan
infeksi mikroorganisme seperti virus herpes dan chlamidya pneumaniae. (Chusman, 2007)
Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak memegang peranan penting, kecuali
pada trombosis vena femoralis yang terjadi setelah operasi panggul. Pada operasi ini
terjadi kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek mekanik tindakan
operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak dinding vena dan kerusakan ini
berlangsung relatif lama. Penurunan tonus vena yang terjadi pada kehamilan dan
pemakaian pil kontrasepsi akan menimbulkan stasis sehingga memudahkan terjadinya
trombosis. Diduga hal ini karena efek ekstrogen. (Chusman, 2007)
Perubahan Daya Beku Darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis maupun antara kedua sistem tersebut. Kecenderungan trombosis timbul
bila aktivitas sistem pembekuan darah meningkat dan atau aktivitas sistem fibrinolisis
menurun. (Chusman, 2007)
Menurut beberapa peneliti, darah penderita-penderita trombosis lebih cepat
membeku dibandingkan orang normal. Keadaan tersebut disebut hiperkoagulabilitas.
Ternyata pada penderita-penderita tersebut dijumpai trombositosis dan peningkatan kadar
berbagai faktor pembekuan terutama fibrinogen, FV, VII, VIII dan X. Timbulnya
trombosis vena dapat diinduksi dengan menyuntikkan serum ke dalam vena yang stasis,
sedangkan stasis saja tidak cukup untuk menimbulkan trombosis. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya aktivasi ringan sistem pembekuan darah lebih penting dari pada
peningkatan kadar faktor pembekuan darah. Efek trombogenik serum disebabkan oleh
sistem pembekuan darah merupakan faktor utama pada patofisiologi trombosis vena.
Aktivasi sistem pembekuan darah dapat terjadi karena masuknya tromboplastin jaringan
ke dalam darah seperti operasi, trauma dan keganasan. Beberapa jenis tumor seperti
karsinoma pankreas dapat menimbulkan kecenderungan trombosis vena adalah defisiensi
AT, defisiensi protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia kongenital, defisiensi F
XII dan kelainan struktur plasminogen (Chusman, 2007) .
Defisiensi AT dapat terjadi secara bawaan maupun didapat. AT berfungsi
menetralkan trombin, VIIa, IXa, Xa, XIa dan XIIa. Pada defisiensi AT, maka faktor-faktor
pembekuan yang aktif tidak dinetralkan sehingga kencendrungan trombosis meningkat.
Pada defisiensi AT bawaan, terjadi trombosis vena berulang yang dimulai sejak usia
muda. Defisiensi AT yang didapat, dijumpai pada sirosis hati, sindroma nefrotik, pemakai
pil kontrasepsi, setelah trombosis yang luas dan setelah pengobatan dengan heparin dosis
tinggi. AT disintesis di hati sehingga pada sirosis hati produksinya menurun. Pada
sindroma nefrotik terjadi kehilangan AT melalui urin karena kebocoran
membranaglomeruli. Pada pemakai pil kontrasepsi yang mengandung estrogen terjadi
penurunan aktivitas AT yang bersifat reversible. Mekanisme terjadinya hal ini belum
diketahui dengan jelas. Setelah trombosis yang luas, AT banyak terpakai untuk
menetralkan faktor-faktor yang aktif sehingga aktivitasnya berkurang.Demikian pula
setelah pengobatan dengan heparin dosis tinggi AT banyak terpakai karena heparin tidak
dapat bekerja tanpa AT. (Chusman, 2007)
Protein C adalah suatu protein yang dibentuk di hati dan pembentukannya
memerlukan vitamin K. Protein ini setelah diaktifkan oleh trombin dengan bantuan
trombomodulin dapat menghambat aktivitas F Va dan F VIIIa serta meningkatkan
fibrinolisis. Oleh karena itu pada defisiensi protein C secara bawaan akan terjadi trombosis
vena yang berulang-ulang. Demikian pula pada defisiensi S merupakan kofaktor protein C.
Pada defisiensi F XII tidak terdapat gejala perdarahan, melainkan kecenderungan
trombosis. Mungkin hal tersebut berkaitan dengan peranan F XII pada aktivitas fibrinolisis
berkurang. Kelainanan struktur molekul plasminogen mengakibatkan aktivitas fibrinolisis
berkurang sehingga menimbulkan kecenderungan trombosis. Trombosit, leukosit dan
eritrosit juga ikut berperan dalam hal menimbulkan trombosis, karena di samping dapat
mengeluarkan oksigen radikal yang dapat merusak endotel, leukosit juga mengandung
tromboplastin. Selain itu leukosit juga merangsang agregasi trombosit dengan
mengeluarkan platelet activating factor (PAF). Eritrosit banyak mengandung ADP dan
fosfolipid, hal ini mungkin dapat menerangkan terjadinya trombosis pada penderita
paroxysmal nocturnal hemoglobinuria. 12

2.5 Diagnosis Deep Vein Thrombosis

l. Anamnesis

Dari riwayat penyakit yang dapat di gali, TVD biasanya terlihat jelas pada ekstremitas

bawah. TVD pada ekstremitas bawah ini seringkali terlihat pertama kali sebagai rasa penuh

yang mengganggu pada insersi otot betis bawah. Perasaan ini lama kelamaan disertai rasa

panas dan pembengkakan. Pembengkakan disertai rasa nyeri. Rasa nyeri bertambah bila

dipakai untuk aktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat.

2. Pemeriksaan Fisik

Akan dijumpai kelemahan mungkin timbul sepanjang aliran vena yang terlibat. Disamping itu

biasanya juga didapatkan adanya peningkatan turgor jaringan lunak yang terkena dan distensi

vena superficial
Tanda dan Gejala

Dijumpai adanya rasa penuh yang mengganggu pada insersi otot betis bawah. Karme l L.dan

Tambunan menyebutkan gejala klinis yang bisa timbul pada TVD adalah tumor, dolor,

kalor, rubor dan fungsiolesa. Hirsh dan I-eerl menggunakan model klinik seperti terlihat pada

tabel I untuk memperkirakan kemungkinan seseomng terkena TVD. Kemungkinan seseorang

terkena TVD bila skore-nya 1 atau lebih.Bila skore-nya kurang dari I kemungkinan bukan

TVD.

Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena

superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti vena

poplitea, vena femoralis dan vena iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain

relatif jarang terjadi DVT .

Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul

tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis. Trombosis

di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang terbentuk
umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian besar trombosis

di daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus

tersebut meluas atau menyebar ke proksimal. Trombosis vena superfisialis pada tungkai,

biasanya terjadi varikositis dan gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri. Kadang-

kadang trombosis vena tungkai superfisialis ini menyebar ke vena dalam dan dapat

menimbulkan emboli paru yang tidak jarng menimbulkan kematian.

Trombosis vena dalam pada ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homans sign

yaitu nyeri pada betis atau fosa poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini

sensitif namun tidak spesifik.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :

bendungan aliran vena.

peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.

emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa

1. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena di

daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan

anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau

kaku dan intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau

penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan peradangan

jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi

bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila disebabkan oleh

peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di

sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan akan berkurang kalau

istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.

3. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis vena

dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di

temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-

kadang berwarna ungu.

4. Sindroma post-trombosis.

Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai konsekuensi

dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan

meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis sehingga terjadi

imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.

Trombosis vena dalam (DVT) menyerang pada pembuluh-pembuluh darah sistem

vena dalam . Serangan awalnya disebut trombosis vena dalam akut, adanya riwayat

trombosis vena dalam akut merupakan predisposisi terjadinya trombosis vena dalam

berulang. Episode DVT dapat menimbulkan kecacatan untuk waktu yang lama karena

kerusakan katup-katup vena dalam. Emboli paru adalah resiko yang cukup bermakna pada

trombosis vena dalam.


Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstremitas bawah, banyak yang sembuh

spontan dan sebagian lainnya menjadi parah dan luas hingga membentuk emboli. Penyakit

ini dapat menyerang satu vena atau lebih, vena di daerah betis adalah vena-vena yang

paling sering terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis dan segmen-

segmen vena iliofemoralis juga sering terjadi. DVT secara khas merupakan masalah yang

tidak terlihat karena biasanya tidak bergejala, terjadinya emboli paru dapat menjadi

petunjuk klinis pertama dari trombosis. Pembentukan trombus pada sistem vena dalam

dapat tidak terlihat secara klinis karena kapasitas system vena yang besar dan

terbentuknya sirkulasi kolateral yang mengitari obstruksi. Diagnosisnya sulit karena tanda

dan gejala klinis DVT tidak spesifik dan beratnya keadaan tidak berhubungan langsung

dengan luasnya penyakit.

Gejala-gejala dari DVT berhubungan dengan rintangan dari darah yang kembali ke

jantung dan aliran balik pada kaki. Secara klasik, gejala-gejala termasuk:

nyeri,

bengkak,

hangat dan

kemerahan.

Tanda yang paling dapat dipercaya adalah bengkak/edema dari ekstremitas yang

bersangkutan. Pembengkakan disebabkan oleh peningkatan volume intravaskuler akibat

bendungan darah vena, edema menunjukkan adanya perembesan darah disepanjang

membrane kapiler memasuki jaringan interstisial yang terjadi karena peningkatan tekanan

hidrostatik. Vena permukaan dapat pula berdilatasi karena obstruksi aliran ke sistem
dalam atau sebaliknya aliran darah dari sistem dalam ke permukaan. Meski biasanya

hanya unilateral, tetapi obstruksi pada iliofemoral dapat mengakibatkan pembengkakan

bilateral.

Seperti dibahas diatas, nyeri merupakan gejala yang paling umum, biasanya

dikeluhkan sebagai rasa sakit atau berdenyut dan bisa terasa berat. Ketika berjalan bisa

menimbulkan rasa nyeri yang bertambah. Nyeri tekan pada ekstremitas yang terserang

bisa dijumpai saat pemeriksaan fisik. Ada dua teknik untuk menimbulkan nyeri tekan

yakni dengan mendorsofleksikan kaki dan dengan mengembungkan manset udara di

sekitar ekstremitas yang dimaksud. Tanda lain adalah adanya peningkatan turgor jaringan

dengan pembengkakan, kenaikan suhu kulit dengan dilatasi vena superfisial, bintik-bintik

dan sianosis karena stagnasi aliran, peningkatan ekstraksi oksigen dan penurunan

hemoglobin. Gangguan sekunder pada arteri dapat terjadi pada trombosis vena luas akibat

kompresi atau spasme vaskuler, denyut arteri menghilang dan timbul warna pucat.

Gambar 4.Trombosis vena dalam pada tungkai kiri

3. Pemeriksaan Penunjang

Peranan pemeriksaan penunjang sangat membantu dalam menegakkan diagnosis

trombosis vena dalam. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena dalam, yaitu pemeriksaan D-Dimer, ultrasonografi, venografi,

Flestimografi impendans, dan magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan D-Dimer

bertujuan untuk mengukur kadar D-Dimer dalam darah. Peningkatan D-Dimer merupakan

indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak spesifik, dan

sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.

Pemeriksaan ini mempunya sensitifitas lebih dari 95% dengan spesifisitas yang rendah.

Dinisio et all (2007) melakukan studi tentang akurasi pemeriksaan D-Dimer dalam

mendiagnosis tromboemboli vena. Total 217 pasien didiagnosa dengan trombosis vena

dalam. Studi ini menyimpulkan sensitifitas pemeriksaan D-Dimer dengan metode ELISA

pada trombosis vena dalam adalah 94% dengan spesifisitas 53%.

Ultrasonografi vena merupakan pemeriksaan pencitraan pilihan untuk dignosis trombosis

vena dalam. Pemeriksaan ini tidak invasif, aman, relatif tersedia dan tidak mahal. Ada 3

tipe ultrasonografi vena, yaitu ultrasonografi kompresi, duplex ultrasonografi ( imaging

dan doppler ) dan ultrasonografi doppler. Pada akhir abad ini, penggunaan ultrasonografi

berkembang dengan pesat, sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan

ultrasonografi, terutama ultrasonografi doppler. Pemeriksaan ini menggunakan gelombang

suara untuk membentuk gambaran aliran darah melalui pembuluh darah arteri dan

pembuluh darah vena pada tungkai yang terkena. Pemeriksaan ini memberikan hasil

sensivity 95% dan spesifity 93,9%.

Venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis vena. Akan tetapi

teknik pemeriksaannya relatif sulit, mahal dan bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk

trombosis baru sehingga tidak menyenangkan penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini

adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan kelihatan

gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal vena iliaca.
Pemeriksaan ini tidak terlalu direkomendasikan, dan dilakukan ketika kecurigaan adanya

trombosis vena dalam tidak ditemukan dengan pemeriksaan non-invasif.

Prinsip pemeriksaan Flestimografi impendans adalah mengobservasi perubahan

volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femoralis

dan iliaca dibandingkan vena di betis. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 91% dan

spesifisitas 96%.

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan salah satu modalitas

diagnostik yang sangat sensitif untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam pada

pelvis dan extremitas atas. Pemeriksaan ini merupakan pilihan utama pada pasien dicurigai

trombosis vena dalam pada vena iliaka atau vena cava ketika CT venografi kontra

indikasi. Pemeriksaan ini tidak memeliki resiko radiasi, akan tetapi masih merupakan

pemeriksaan yang mahal.

American Family Physician pada tahun 2012 mengeluarkan algoritma diagnosis

trombosi vena dalam. Dalam algoritma ini, pasien yang dicurigai menderita trombosis

vena dalam dilakukan pemeriksaan skor Wells untuk melihat resiko terjadinya trombosis

vena dalam. Setelah itu, pemeriksaan D-dimer dan ultrasonografi kompresi sangat

memiliki peranan penting.


Gambar 5. Algoritma diagnosis trombosis vena dalam

2.6 Diagnosis Banding

o Cellulitis

Thrombophlebitis

o Arthritis

-Asymmetric peripheral edema secondary to CHF, liver disease, renal failure, or

nephrotic syndrome, lymphangitis

-Extrinsic compression of iliac vein secondary to tumor, hematoma, or abscess

Hematoma

-Lymphedema

o Muscle or soft tissue injury

Neurogenic pain
-Postphlebitic syndrome

-Prolonged immobilization or limb paralysis

-Ruptured Baker cyst

-Stress fractures or other bony lesions

-Superficial thrombophlebitis

-Varicose veins
DAFTAR PUSTAKA

1. Cushman M. Epidemiology and risk faktor for venous thrombosis. Semin Hematol.
2007; 44: 62-69
2. Setiabudy RD. Patofisiologi trombosis. Dalam : Hemostasis dan trombosis. Edisi
Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 34-47
3. Wilbur J, Shian B. Diagnosis of deep venous thrombosis and pulmonary embolism.
Journal of American Family Physician. Vol.86, 2012
4. Versteeg HH, Heemskerk JWM, Levi M, Reitsma PH. New fundamentals in hemostasis.
Physiol rev. 2013; 93: 327-358
5. Esmon CT. Basic mechanisms and pathogenesis of venous thrombosis. Blood rev. 2009;
23(5): 225-229
6. Oesman F, Setiabudy RD. Fisiologi hemostasis dan fibrinolisis. Dalam: Hemostasis dan
Trombosis. Edisi Kelima. Editor Setiabudy RD. Penerbit FKUI. 2012 : 1-15
7. Harrison P. Platelet function analysis. Blood Reviews. 2005: 19; 111123
8. Wells P, Anderson D. The diagnosis and treatment of venous thromboembolism. Journal
of American Society of Hematology. 2013: 457-463
9. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Andrew D. Deep vein thrombosis: a
clinical review. Journal of Blood Medicine. 2011; 2: 5969
10. Dinisio M, Squizito A, Rutjes S, Buller R, Zwindermas AH, Bossuy PM. Diagnosis
accuracy of D-dimer test for exlusion of venous thromboembolism. Journal Thrombosis
Haemostasis. 2007; 5: 296304

Anda mungkin juga menyukai