Disusun oleh :
Nedya Ulfadhina
20120310251
Diajukan kepada :
dr. Totok Kristiyono,M.Kes Sp.An
PRESENTASI KASUS
GENERAL ANESTESI DENGAN LMA (LARYNGEAL MASK AIRWAY)
PADA TINDAKAN EXTERPASI PADA STT PARIETAL BILATERAL
Disusun Oleh:
Nedya Ulfadhina
20120310251
Disetujui oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan
profesi di Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Anestesi dengan judul : GENERAL
ANESTESI DENGAN LMA (LARYNGEAL MASK AIRWAY) PADA
TINDAKAN EXTERPASI PADA STT PARIETAL BILATERAL. Dalam
penulisan presus ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya
kepada:
1. dr. Totok Kristiyono,M.Kes,Sp.An selaku dokter pembimbing dan dokter
spesialis anestesi di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah
berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal
sampai selesainya penulisan presus ini.
2. Perawat anestesi Instalasi Bedah Sentral RSUD KRT Setjonegoro yang
telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal
sampai selesainya kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi.
3. Ny.N selaku pasien di Bangsal Bugenvil yang sudah bersedia meluangkan
waktunya untuk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh.
4. Seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan presentasi kasus ini
Semoga pengalaman dalam membuat presus ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan presus ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan
berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan presus selanjutnya.
Wonosobo, 14 April 2017
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
No. CM : 692929
TTL/Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pacarmulyo Leksono
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tgl Masuk RS : 11 April 2017
Tgl Keluar RS :-
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Teraba benjolan pada atas telinga kanan dan telinga kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa keluarga ke Poli Bedah RSUD KRT Setjonegoro dengan
keluhan teraba benjolan pada atas telinga kanan dan telinga kiri. Pasien
mengeluhkan terasa nyeri pada benjolan, apabila pasien lelah. Telinga
tidak berdenging dan tidak keluar darah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Penyakit Jantung,DM,Asma,Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Alergi : disangkal
c. Riwayat Operasi sebelumnya : disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
a. Riwayat Penyakit Jantung,DM,Asma,Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Alergi : disangkal
1
PEMERIKSAAN
a. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis E4M5V6
3. Vital Sign
a. TD : 100/60 mmhg
b. N : 76x/mnt
c. RR : 18x/mnt
d. Suhu : 36,7 C
4. Status Gizi : kesan cukup
5. Kepala : simetris
6. Mata : konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya +/+, isokor
+/+
7. Hidung : simetris, deformitas (-), sekret -/-
8. Telinga : sekret -/-
9. Mulut : sianosis (-), uvula di tengah, tonsil T1-T1,
malampati I
10. Leher : pembesaran KGB (-)
11. Thorax : retraksi dinding dada (-)
12. Pulmo : I : simetris, tipe pernafasan thorakoabdominal.
P: vokal fremitus simetris
P: seluruh lapang paru sonor
A: suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-
13. Cor : I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis kuat angkat
P : batas jantung tidak melebar
A : SI-SII murni , ST -/-
14. Abdomen : I : dinding perut datar
A : bising usus (+) dbn
P : supel, distensi (-), nyeri tekan (-)
P : timpani di ke 4 kuadran abdomen
15. Ekstermitas : akral hangat
dalam batas normal dalam batas normal
dalam batas normal dalam batas normal
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin : 14,3 (13,2 17,3) g/dL
Leukosit : 6,7 (3,8 10,6) 10^3/ul
Eosinofil : 2,60 (2,00 4,00) %
Basofil : 0,30 (0 1,00) %
Nterofil : 66,70 (50,00 70,00) %
Limfosit : 35,50 (25,00 40,00) %
Monosit : 5,00 (2,00 8,00) %
Hematokrit : 44 (40 52) %
Eritrosit : 5,6 (4,40 5,90) 10^6/uL
MCV : 82 (80 100) fL
MCH : 26 (26 34) pg
MCHC : 34 (32 36) g/dL
Trombosit : 252 (150 400) 10^3/ul
Kimia Klinik
Ureum : 25,1 (< 50) mg/dL
Creatinin : 0,70 (0,60 1,10) mg/dL
SGOT : 30,0 (0 50) u/L
SGPT : 14,0 (0 50) u/L
HBSAG : (-)
Golongan Darah :O
RESUME
Pasien umur 23 tahun mengeluh teraba benjolan di belakang telinga
3
KESAN ANESTESI
Pasien 23 tahun dengan STT Parietal Bilateral dengan status fisik ASA II
GA.
TATALAKSANA
1. Konsul ke Bagian Anestesi
2. Informed Consent Anestesi
3. Pemasangan infus Ringen Laktat IV line 20-30 tpm
4. Puasa 6 jam sebelum dilakukan operasi
5. Pemberian obat-obatan pre medikasi di ruang operasi
Dilakukan operasi Exterpasi dengan general anestesi status fisik ASA II
PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
LAPORAN ANESTESI
Penatalaksanaan Preoperasi
a. Informed Consent
b. Pasien disuruh puasa 6 jam sebelum dilakukan operasi
c. Dilakukan pemasangan infus IV line Ringen Laktat 20-30 tpm
d. Dilakukan pemberian obat-obatan pre medikasi melalui intravena di ruang
operasi
Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Debridement
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Mulai Anestesi : Jam 10.15 wib
d. Mulai Operasi : Jam 10.20 wib
e. Pre Medikasi : Ondansentron 8 mg & Ketorolac 30 mg
f. Induksi : Proanes 60mg & Sevoflurane 2-4 vol
g. Medikasi tambahan :-
h. Intubasi : Laryngeal Mask Airway
i. Maintenance : 02 3 lpm, Sevoflurane 1-3 vol
j. Cairan selama operasi : 500 acc Asering
- Maintenance : 2 cc/kgBB/jam
2 cc x 60 = 120 cc/jam
- Pengganti puasa : 6 x maintenance
6 x 60 = 360 cc/jam
- Stress operasi : 8 cc/kgBB/jam
8 x 60 = 480 cc/jam
- Pemberian cairan pada 1 jam pertama operasi
Maintenance + Stress Operasi + (50 % kebutuhan puasa)
120+360+480 = 960 cc
- Selesai operasi : Jam 10.45 wib
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Soft Tissue Tumor (STT) adalah benjolan atau pembengkakan abnormal
yang disebabkan oleh neoplasma dan nonneoplasma. Soft Tissue Tumor (STT)
adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel-selnya tidak
tumbuh seperti kanker. Jadi kesimpulannya, Soft Tissue Tumor (STT) adalah suatu
benjolan atau pembengkakan abnormal yang disebabkan pertumbuhan sel baru
(Price, Sylvia Anderson. 1995).
Ekterpasi adalah suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor
beserta kapsulnya yang terletak dibawah kulit, seperti kista, lipoma, fibroma, dan
ganglion (Reeves, J. Charlene. 2001).
o Anamnesis
Riwayat menjalani operasi dan prosedur pembiusan
sebelumnya untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik.
Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti alergi,
diabetes melitus, penyakit paru kronik, penyakit jantung dan
hipertensi, penyakit hati dan ginjal.
Riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi juga
perlu ditanyakan kepada pasien.
o Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rutin ialah pemeriksaan fisik secara menyeluruh mulai
dari inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien. Tinggi dan berat badan pasien untuk menghitung dosis
obat, terapi cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan post
operasi.
Keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, pola dan
frekuensi pernapasan pasien juga harus terus di monitor dan dicatat.
Selain itu, pemeriksaan saluran pernapasan perlu dilakukan.
Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskular seperti dispneu
atau ortopneu, sianosis dan hipertensi, maupun pemeriksaan abdomen
untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat
tekanan intraabdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan
regurgitasi.
o Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Uji laboratorium sendiri
meliputi pemeriksaan darah rutin dan kimia klinik.
10
o Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan
resiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Status fisik pasien
digolongkan menjadi 6, yaitu :
11
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti, obat-obat premedikasi dapat diberikan
secara intravena, sehingga obat akan sangat efektif sebelum induksi.
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam, dianjurkan utnuk
pemberian premedikasi secara intramuscular, sementara subkutan
tidak dianjurkan.
Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena
pada dasarnya dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine
dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian obat
premedikasi secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Saat ini propofol dipakai secara luas untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi, karena onsetnya cepat, durasinya pendek, kejadian eksitasi minimal dan
memiliki kerja sebagai anti emetik, sehingga dianggap sebagai obat anestesi yang
ideal (Morgan, 2006).
Indikasi
1. Jalan napas susah
a. Setelah tidak berhasil di intubasi, LMA bisa sebagai gantinya
b. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi tapi bisa di ventilasi
c. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi atau pun di ventlasi
d. Untuk persiapan cricothyroideotomy
2. Cardiac Arrest
a. Tahun 2005, America Heart Association guidlines mengindikasikan
LMA sebagaialternatif tindakan yang bisa diterima untuk manajemen
jalan napas pada pasienhenti jantung (Class IIa)
3. Pada pasien anak-anak
Kontra Indikasi
1. Absolut :
a. Tidak bisa membuka mulut
b. Obstruksi total jalan napas bagian atas
2. Relatif :
a. Meningkatnya resiko aspirasi
- Prolonged bag-valve-mask ventilation
- Obesitas
- Kehamilan semester dua dan tiga
- Perdarahan gastrointestinal bagian atas
b. Abnormalitas anatomi dari supraglotic
- Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut >
1,5 cm, misalnya pada ankylosing spondylitis, severe rheumatoid
arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan
kesulitan memasukkan LMA.
G. PREMEDIKASI
H. INDUKSI
Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh
sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi anestesi terdiri dari pemberian obat anestesi hipnosis
secara cepat melalui intravena. Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak 30
60 detik dan cepat turun karena proses redistribusi dari obat. Perubahan
konsentrasi plasma secara cepat mengakibatkan perubahan tingkat penekanan
susunan saraf pusa (Bosson N, 2013).
Pada tahun 1937, Guedel mempublikasikan penelitian klinis klasik
kedalaman anestesi berdasarkan pengamatan terhadap induksi inhalasi anestesi
dengan eter, yaitu :
Stadium I : Analgesia
Stadium ini ditandai dengan pola nafas yang lambat, teratur dari
diafragma dan otot intercostal, masih terdapat refleks bulu mata.
Stadium II : Eksitasi, Deliruim
Selama stadium ini pasien mengalami eksitasi, tidak sadar, pola nafas
tidak teratur, pupil mulai dilatasi, masih terdapat refleks bulu mata,
terdapat resiko spasme laring, muntah sampai aritmia.
16
Stadium III : Anestesi bedah Terdapat 4 fase, yaitu:
Plana 1 : Mulai terdapat relaksasi otot somatik, pola nafas teratur,
gerak bola mata aktif.
Plana 2 : Mulai dari bola mata berhenti sampai nafas torakal lemah.
Plana 3 : Relaksasi sempurna otot otot dinding perut, dengan
pernapasan diafragma, refleks bulu mata negative.
Plana 4 : Mulai nafas torakal berhenti sampai nafas diafragma berhenti
Stadium IV : Intoksikasi (depresi berat pusat vasomotor dan respirasi di
medula), ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan nafas, pupil
dilatasi.
I. OBAT-OBAT ANESTESI
Untuk melakukan anestesi umum, digunakan beberapa anestetik, dapat
dikelompokkan menjadi hipnotik, sedatif, analgesik, dan pelumpuh otot.
1. Hipnotik
Golongan ini akan menimbulkan tidur yang ringan tanpa
pasien merasa mengantuk. Golongan hipnotik dapat berupa gas dan
cairan. Pada dosis tertentu, obat hipnotik cair yang diberikan secara
intravena, misalnya propofol, etomidat, ketalar, dan pentotal, dapat
juga digunakan sebagai sedatif. Semua obat hipnotik mempunyai
efek depresi miokardium dan respirasi kecuali ketalar.
Propofol, propofol (2,6-diisopropylphenol)
Senyawa ini bekerja dengan cara menghambat kerja
neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bersifat
tidak larut air sehingga dibuat menjadi sediaan emulsi berwarna
putih susu yang terdiri atas 1% konsentrasi yang beisi campuran
minyak kedelai, lesitin telur yang berasal dari kuning telur, dan
gliserol. Waktu paruhnya yang pendek, yaitu antara 2-8 menit,
membuat induksi dengan propofol berlangsung dengan onset
dan durasi yang cepat. Dosis untuk induksi sebesar 1-2,5
mg/kgBB yang diberikan secara intravena.
17
Ketamin
Ketamin memiliki efek ganda terhadap seluruh sistem saraf
pusat, termasuk memblokir reflek polisinaptik di sumsum tulang
belakang dan menghambat efek neurotransmitter di area tertentu
otak.
Ciri khas dari ketamin adalah sifat kerjanya yang disosiatif.
Secara klinis, keadaan ini menyebabkan pasien masih sadar,
tetapi tidak dapat memproses atau merespon masukan sensoris.
Pemberian ketamin dapat melalui injeksi intravena atau
intramuskuler dengan dosis 1-2 mg/kgBB i.v dan 3-5 mg/kgBB
i.m.
Midazolam
Merupakan golongan benzodiazepin, sering digunakan
untuk obat sedasi dengan dosis 0,01-0,1 mg/kgBB. Dosis untuk
induksi sebesar 0,1-0,4 mg/kgBB. Onset midazolam untuk dosis
induksi relatif lebih lama dibandingkan propofol. Midazolam
sangat kecil memengaruhi sistem kardiovaskular, dan memiliki
sifat amnesia antegrad yang kuat.
2. Sedatif
Obat sedatif akan memberikan efek kantuk dan tenang bagi
pemakai. Pasien yang terpapar obat ini akan merasa tenang,
mengantuk, dan dapat menjadi tertidur, serta melupakan semua
kejadian yang dialami selama tersedasi.
3. Analgetik
Ada 2 jenis analgesik yang dipakai, yaitu golongan NSAID
dan opioid. Golongan NSAID biasanya digunakan untuk mengatasi
nyeri pasca operasi. Cara kerja golongan NSAID adalah dengan
mencegah pembentukan prostaglandin, obat-obatan yang termasuk
golongan ini adalah paracetamol, ketorolac, dan natrium diklofenak.
Analgetik opioid, karena sifatnya sangat kuat, sering
dipakai untuk menumpulkan respon terhadap tindakan manipulasi
saluran napas seperti intubasi. Contoh obat-obatan golongan opioid
adalah morfin, petidin, tramadol, fentanyl dan sufenta
Karena kerja opioid adalah dengan terikat pada reseptor
opioid dalam berbagai tingkatan (mu, kappa, delta, dan sigma), efek
samping yang ditimbulkan pun beragam. Secara umum, efek
samping yang muncul berupa nausea, pruritus, dan sedasi.
a. Menekan pernafasan.
b. Mengurangi kontraksi jantung.
c. Merusak hati, oleh karena tidak digunakan lagi seperti senyawa
klor (kloroform).
d. Merusak ginjal, khususnya metoksifluran.
1. Nilai Kesadaran
Sadar, orientasi baik nilai 2
Dapat dibangunkan nilai 1
Tidak dapat dibangunkan nilai 0
2. Nilai Warna
Merah muda, saturasi O>92% tanpa bantuan oksigen nilai 2
Pucat dan memerlukan bantuan oksigen, saturasi O2 >90% nilai 1
Sianosis, saturasi <90% nilai 0
3. Nilai Aktifitas
4 ekstremitas bergerak bertujuan, dapat diperintah nilai 2
2 ekstremitas bergerak bertujuan, dapat diperintah nilai 1
Tidak ada ekstremitas yang bergerak atau bergerak tidak normal nilai 0
4. Nilai Respirasi
Dapat bernafas dalam dan batuk nilai 2
Nafas dangkal dan sesak nilai 1
Apnoe atau obstruksi nilai 0
5. Nilai Kardiovaskular
Tekanan darah berubah <20% nilai 2
Tekanan darah berubah 20%-30% nilai 1
Tekanan darah berubah >50% nilai 0
21
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan STT Parietal Bilateral dengan
status fisik ASA II dan telah dilakukan tindakan ekterpasi. Pasien diperiksa
terlebih dahulu mulai dari anamnesis dan tanda-tanda vital seperti tekanan darah,
denyut nadi, frekuensi nafas dan temperatur. Dari anamnesis pasien mengatakan
tidak memiliki penyakit kelainan sistemik seperti hipertensi, diabetes melitus,
dada terasa sesak, alergi obat dan kelainan jantung. Tujuan dilakukan anamnesis
riwayat penyakit sistemik adalah untuk menentukan status fisik anestesi pada
pasien tersebut. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Dari hasil
pemeriksaan tekanan darah 100/60 mmhg, nadi 76x/menit, temperatur 36,7 C dan
frekuensi napas 18x/menit. Hasil tanda-tanda vital dalam batas normal.
Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan fisik secara general. Hasil dari
pemeriksaan fisik dalam batas normal. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik,
hasil laboratorium dinilai seperti Hb, Leukosit, Trombosit, PT/APTT
(prothrombin time/ activated partial thromboplastin (faktor pembekuan darah),
ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, golongan darah, HbsAG. Tujuan dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya penyakit pada pasien yang tidak
terdeteksi saat pemeriksaan fisik.
22
Pada pasien ini infromed consent dilakukan terhadap orangtua pasien.
Informed consent dilakukan dengan menjelaskan beberapa hal seperti teknik
pembiusan, tata cara pembiusan, persiapan pembiusan,efek samping pembiusan
dan resiko yang kemungkinan terjadi dari pembiusan tersebut. Pada pasien ini
dilakukan teknik pembiusan GA (general anestesi) dengan status fisik ASA II.
23
Jika stadium anestesi sudah cukup dalam, refleks bulu mata menghilang
dan tube dipasang dengan teknik endotrakeal. Monitoring selama operasi yang
dilakukan antara lain monitoring tanda-tanda vital, kedalaman anestesi, tekanan
darah, EKG, pulse oxymetry, output urin.
24
BAB IV
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Agro F., Brimacombe J., Verghese C., Carassiti M., Cataldo R. Laryngeal
mask airway and incidence of gastro-oesophageal reflux in paralysed
patiens undergoing ventilation for elective orthopaedic surgery. Br. J.
Anaesth. 1998; 81:537 539.
2. Asai T., Hiroshi T., Shingu K. Failed tracheal intubation using a
laryngoscope and intubating laryngeal mask. Can J Anesth 2000 / 47 / 325
328.
3. Gomillion MC, Jung Hee Han : Magnetic Resonance Imaging a case of 2
years old boy.Anesthesiology Problem-Oriented Patient Management Yao
& Artusios, 6th ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA,
2008.
4. Morgan GE, Mikhail MS : Pediatric Anesthesia, Clinical Anesthesiology
3nd ed, Lange Medical Books, New York, 2002.
5. Bosson N. Laryngeal Mask Airway. Available at
:http://emedicine.medscape.com/article/82527-overview#a17. Updated :
Dec 17, 2013.2.
6. Morgan. Clinical anesthesiology. Airway management. 4th ed. 2006.
McGraw-HillCompanies, Ic : USA.
7. Pennant J., White PF. The laryngeal mask airway : its uses in
anesthesiology. Anesthesiology 1993; 79 : 144 163.
8. Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
Edisi 4. Jakarta : EGC
9. Reeves, J. Charlene. Et al. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed I. Jakarta
: Salemba Medika