Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

GENERAL ANESTESI DENGAN LMA (LARYNGEAL MASK AIRWAY)


PADA TINDAKAN EXTERPASI PADA STT PARIETAL BILATERAL
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kepaniteraan Klinik Bagian
Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :
Nedya Ulfadhina
20120310251

Diajukan kepada :
dr. Totok Kristiyono,M.Kes Sp.An

BAGIAN ILMU ANESTESI


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
GENERAL ANESTESI DENGAN LMA (LARYNGEAL MASK AIRWAY)
PADA TINDAKAN EXTERPASI PADA STT PARIETAL BILATERAL

Disusun Oleh:

Nedya Ulfadhina

20120310251

Disetujui oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Anestesi

RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo

dr. Totok Kristiyono,M.Kes., Sp.An


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan
profesi di Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Anestesi dengan judul : GENERAL
ANESTESI DENGAN LMA (LARYNGEAL MASK AIRWAY) PADA
TINDAKAN EXTERPASI PADA STT PARIETAL BILATERAL. Dalam
penulisan presus ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya
kepada:
1. dr. Totok Kristiyono,M.Kes,Sp.An selaku dokter pembimbing dan dokter
spesialis anestesi di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah
berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal
sampai selesainya penulisan presus ini.
2. Perawat anestesi Instalasi Bedah Sentral RSUD KRT Setjonegoro yang
telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal
sampai selesainya kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi.
3. Ny.N selaku pasien di Bangsal Bugenvil yang sudah bersedia meluangkan
waktunya untuk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh.
4. Seluruh pihak yang terkait dalam penyusunan presentasi kasus ini
Semoga pengalaman dalam membuat presus ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan presus ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan
berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan presus selanjutnya.
Wonosobo, 14 April 2017

Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
No. CM : 692929
TTL/Usia : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pacarmulyo Leksono
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tgl Masuk RS : 11 April 2017
Tgl Keluar RS :-

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Teraba benjolan pada atas telinga kanan dan telinga kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa keluarga ke Poli Bedah RSUD KRT Setjonegoro dengan
keluhan teraba benjolan pada atas telinga kanan dan telinga kiri. Pasien
mengeluhkan terasa nyeri pada benjolan, apabila pasien lelah. Telinga
tidak berdenging dan tidak keluar darah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Penyakit Jantung,DM,Asma,Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Alergi : disangkal
c. Riwayat Operasi sebelumnya : disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
a. Riwayat Penyakit Jantung,DM,Asma,Hipertensi : disangkal
b. Riwayat Alergi : disangkal

1
PEMERIKSAAN
a. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : composmentis E4M5V6
3. Vital Sign
a. TD : 100/60 mmhg
b. N : 76x/mnt
c. RR : 18x/mnt
d. Suhu : 36,7 C
4. Status Gizi : kesan cukup
5. Kepala : simetris
6. Mata : konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya +/+, isokor
+/+
7. Hidung : simetris, deformitas (-), sekret -/-
8. Telinga : sekret -/-
9. Mulut : sianosis (-), uvula di tengah, tonsil T1-T1,
malampati I
10. Leher : pembesaran KGB (-)
11. Thorax : retraksi dinding dada (-)
12. Pulmo : I : simetris, tipe pernafasan thorakoabdominal.
P: vokal fremitus simetris
P: seluruh lapang paru sonor
A: suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-
13. Cor : I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis kuat angkat
P : batas jantung tidak melebar
A : SI-SII murni , ST -/-
14. Abdomen : I : dinding perut datar
A : bising usus (+) dbn
P : supel, distensi (-), nyeri tekan (-)
P : timpani di ke 4 kuadran abdomen
15. Ekstermitas : akral hangat
dalam batas normal dalam batas normal
dalam batas normal dalam batas normal

b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin : 14,3 (13,2 17,3) g/dL
Leukosit : 6,7 (3,8 10,6) 10^3/ul
Eosinofil : 2,60 (2,00 4,00) %
Basofil : 0,30 (0 1,00) %
Nterofil : 66,70 (50,00 70,00) %
Limfosit : 35,50 (25,00 40,00) %
Monosit : 5,00 (2,00 8,00) %
Hematokrit : 44 (40 52) %
Eritrosit : 5,6 (4,40 5,90) 10^6/uL
MCV : 82 (80 100) fL
MCH : 26 (26 34) pg
MCHC : 34 (32 36) g/dL
Trombosit : 252 (150 400) 10^3/ul
Kimia Klinik
Ureum : 25,1 (< 50) mg/dL
Creatinin : 0,70 (0,60 1,10) mg/dL
SGOT : 30,0 (0 50) u/L
SGPT : 14,0 (0 50) u/L
HBSAG : (-)
Golongan Darah :O

RESUME
Pasien umur 23 tahun mengeluh teraba benjolan di belakang telinga

rencana dilakukan exterpasi dan dilakukan konsultasi anestesi terlebih

dahulu dan persiapan sebelum operasi. Tidak memiliki riwayat penyakit

dahulu. Pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan TD : 100/60 mmHg, HR

: 76x/menit, RR : 18x/menit, T : 36,7oC. Pada pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang dalam keadaan normal.

3
KESAN ANESTESI
Pasien 23 tahun dengan STT Parietal Bilateral dengan status fisik ASA II
GA.

TATALAKSANA
1. Konsul ke Bagian Anestesi
2. Informed Consent Anestesi
3. Pemasangan infus Ringen Laktat IV line 20-30 tpm
4. Puasa 6 jam sebelum dilakukan operasi
5. Pemberian obat-obatan pre medikasi di ruang operasi
Dilakukan operasi Exterpasi dengan general anestesi status fisik ASA II

PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam

LAPORAN ANESTESI

Diagnosis Pra Bedah


STT Parietal Bilateral

Diagnosis Pasca Bedah


STT Parietal Bilateral

Penatalaksanaan Preoperasi
a. Informed Consent
b. Pasien disuruh puasa 6 jam sebelum dilakukan operasi
c. Dilakukan pemasangan infus IV line Ringen Laktat 20-30 tpm
d. Dilakukan pemberian obat-obatan pre medikasi melalui intravena di ruang
operasi
Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Debridement
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Mulai Anestesi : Jam 10.15 wib
d. Mulai Operasi : Jam 10.20 wib
e. Pre Medikasi : Ondansentron 8 mg & Ketorolac 30 mg
f. Induksi : Proanes 60mg & Sevoflurane 2-4 vol
g. Medikasi tambahan :-
h. Intubasi : Laryngeal Mask Airway
i. Maintenance : 02 3 lpm, Sevoflurane 1-3 vol
j. Cairan selama operasi : 500 acc Asering
- Maintenance : 2 cc/kgBB/jam
2 cc x 60 = 120 cc/jam
- Pengganti puasa : 6 x maintenance
6 x 60 = 360 cc/jam
- Stress operasi : 8 cc/kgBB/jam
8 x 60 = 480 cc/jam
- Pemberian cairan pada 1 jam pertama operasi
Maintenance + Stress Operasi + (50 % kebutuhan puasa)
120+360+480 = 960 cc
- Selesai operasi : Jam 10.45 wib

Pemantauan Selama Tindakan Anestesi


Pasien dilakukan monitoring sampai operasi selesai dengan tujuan
mengetahui perkembangan pasien dan reaksi pasien setelah pemberian
obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung .
Kardiovaskular : dilakukan cek nadi setiap 5 menit dan pengukuran
tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : inspeksi pernafasan spontan pasien dan pemantauan
saturasi O2
Cairan : monitoring input cairan dan output urin
Post Operatif
a. Pasien masuk ruang pemulihan dan dilakukan observasi tanda-
tanda vital pasien. Berdasarkan hasil monitoring :

Tanda Kriteria Masuk Keluar


Aktifitas Tidak mampu 2 2
motorik gerak eks (0)
Mampu gerak
2 eks (1)
Mampu gerak
4 eks (2)
Respirasi Apnea (0) 2 2
Dyspnea (1)
Mampu nafas
dalam & batuk
(2)
Sirkulasi TD turun > 50 2 2
mmhg (0)
TD turun 20-
50 mmhg (1)
TD turun < 20
mmhg (2)
Kesadaran Bangun jika 2 2
dipanggil (1)
Sadar penuh
(2)
Warna kulit Sianosis (0) 2 2
Pucat (1)
Kemerahan (2)
10 9
6
Interpretasi total skor :
- 9 : pasien dipindahkan dari ruang unit perawatan pasca anestesi
- 8 : pasien dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
- 7 : pasien dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai Aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke
ruang perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Soft Tissue Tumor (STT) adalah benjolan atau pembengkakan abnormal
yang disebabkan oleh neoplasma dan nonneoplasma. Soft Tissue Tumor (STT)
adalah pertumbuhan sel baru, abnormal, progresif, dimana sel-selnya tidak
tumbuh seperti kanker. Jadi kesimpulannya, Soft Tissue Tumor (STT) adalah suatu
benjolan atau pembengkakan abnormal yang disebabkan pertumbuhan sel baru
(Price, Sylvia Anderson. 1995).
Ekterpasi adalah suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor
beserta kapsulnya yang terletak dibawah kulit, seperti kista, lipoma, fibroma, dan
ganglion (Reeves, J. Charlene. 2001).

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran atau ilmu pengetahuan yang


meliputi pemberian tindakan anestesi, perawatan dan terapi intensif pada pasien
tertentu di ruang perawatan intensif (intensive care unit, ICU), terapi dan
perawatan nyeri pada pasien dengan nyeri pasca operasi atau pasien nyeri kanker
dan terapi inhalasi seperti pemberian gas oksigen untuk bantuan pernapasan (Ardi
Pramono, 2014).

Anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang meliputi


sensasi sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif, sedangkan analgesia yaitu
hilangnya sensasi sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada. Nyeri
adalah suatu sensasi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi merusak atau sensasi yang
tergambarkan pada kerusakan jaringan seperti itu (Ardi Pramono, 2014).

Anestesi Umum atau general anesthesia memiliki efek menghilangkan


nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversibel
dan dapat diprediksi dimana pasien akan dibuat tidak sadar. Anestesi umum juga
menyebabkan amnesia yang bersifat anterograd, yaitu hilangnya ingatan saat
dilakukan pembiusan sehingga pasien tidak akan mengingat kejadian saat operasi.
Sifat anestesia yang reversibel memungkinkan pasien bangun kembali tanpa efek
samping (Ardi Pramono, 2014).

LMA (Laryngeal Mask Airway) adalah sebuah alat untuk


mempertahankan jalan napas paten tanpa intubasi trakea, yang terdiri dari tabung
terhubung ke cuff oval yang berfungsi untuk mengunci laring. LMA adalah alat
supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian
dalam laring untuk ventilasi kendali pada mode level (<15cm H2O) tekanan
positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil, anak
besar, kecil, normal dan besar (Morgan GE, 2002).

B. TUJUAN ANESTESI UMUM

Anestesi Umum atau General Anesthesia mempunyai tujuan agar dapat


menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia yang
bersifat reversibel dan dapat diprediksi. Tiga pilar Anestesi Umum atau yang
disebut sebagai Trias Anestesi meliputi : hipnotik atau sedatif, yaitu membuat
pasien tertidur atau mengantuk/tenang, analgesia atau tidak merasakan sakit, dan
relaksasi otot yaitu kelumpuhan otot skelet. Saat ini, trias anestesi ditambah pula
dengan stabilitas otonom antara saraf simpatis dan parasimpatis, sehingga
Anestesi Umum yang sempurna digambarkan sebagai tindakan pembiusan yang
dapat menghasilkan ketidaksadaran, analgesia dan relaksasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan pasien.

C. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESIA


Pasien terlebih dahulu diperiksa dengan tujuan dari pemeriksaan tersebut
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Penilaian yang dilakukan antara lain:

o Anamnesis
Riwayat menjalani operasi dan prosedur pembiusan
sebelumnya untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik.
Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesia seperti alergi,
diabetes melitus, penyakit paru kronik, penyakit jantung dan
hipertensi, penyakit hati dan ginjal.
Riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi juga
perlu ditanyakan kepada pasien.

o Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rutin ialah pemeriksaan fisik secara menyeluruh mulai
dari inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ
tubuh pasien. Tinggi dan berat badan pasien untuk menghitung dosis
obat, terapi cairan yang diperlukan dan jumlah urin selama dan post
operasi.
Keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, pola dan
frekuensi pernapasan pasien juga harus terus di monitor dan dicatat.
Selain itu, pemeriksaan saluran pernapasan perlu dilakukan.
Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskular seperti dispneu
atau ortopneu, sianosis dan hipertensi, maupun pemeriksaan abdomen
untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat
tekanan intraabdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan
regurgitasi.
o Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Uji laboratorium sendiri
meliputi pemeriksaan darah rutin dan kimia klinik.

10
o Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan
resiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari dampak samping pembedahan. Status fisik pasien
digolongkan menjadi 6, yaitu :

ASA 1 : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan biokimia


ASA 2 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA 3 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, aktivitas
lebih terbatas
ASA 4 : Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat, tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupan setiap saat
ASA 5 : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
ASA 6 : Pasien dengan mati batang otak yang organnya akan
digunakan untuk tujuan donor
Klasifikasi ASA juga dapat dipakai pada tindakan
pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E =
Emergency), misalnya ASA 1E atau 2E.
o Premedikasi
Premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia
yang bertujuan untuk melancarkan induksi, saat rumatan dan bangun
dari efek pembiusan, menghilangkan kecemasan pre operasi,
memberikan analgesia dan mencegah muntah, menekan refleks yang
tidak diharapkan, serta mengurangi sekresi saliva dan sekret saluran
napas.

11
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti, obat-obat premedikasi dapat diberikan
secara intravena, sehingga obat akan sangat efektif sebelum induksi.
Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam, dianjurkan utnuk
pemberian premedikasi secara intramuscular, sementara subkutan
tidak dianjurkan.
Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena
pada dasarnya dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine
dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian obat
premedikasi secara perlahan-lahan dan diencerkan.

D. ANESTESIA UMUM INTRA VENA


Anestesi Umum Intra Vena adalah salah satu anestesi umum yang paling
banyak dikerjakan dan digemari. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.

Saat ini propofol dipakai secara luas untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi, karena onsetnya cepat, durasinya pendek, kejadian eksitasi minimal dan
memiliki kerja sebagai anti emetik, sehingga dianggap sebagai obat anestesi yang
ideal (Morgan, 2006).

Kondisi trias anestesi dicapai dengan menggunakan kombinasi obat-obat


anestesi intravena yang bersifat hipnotik, anelgesia dan relaksasi otot. Pemberian
obat-obat anestesi intravena dapat dilakukan dengan pemberian bolus berkala
maupun dengan infus kontinu. Dalam pemberian obat-obat anestesi intravena
tersebut harus benar-benar dipahami tentang farmakokinetik dan farmakodinamik
dari masing-masing obat anestesi intravena yang akan digunakan.

o Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak


berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml = 1o
mg). Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
o Ketamin (ketalar) memiliki efek takikardia, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala dan pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya
diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium)
dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg),10% ( 1ml = 100
mg).
o Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) diberikan dalam dosis
tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid
digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
1. Rumatan Anestesi
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total), dengan
inhalasi, atau dengan campuran intravena-inhalasi. Rumatan anestesi tetap
mengacu pada trias anestesi yaitu hipnosis, analgesia cukup dan
diupayakan agar pasien tidak mengalami nyeri dan relaksasi otot lurik
yang cukup selama proses pembedahan. Rumatan intravena biasanya
menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50g/kgBB.
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infuse propofol 4-12mg/kgBB/jam. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2 (Morgan, 2006).
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2
dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4
vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah
pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

E. TEKNIK ANESTESI UMUM

Pada penatalaksanaan anestesi umum yang membuat pasien


tertidur/terhipnosis, ahli anestesi harus siap menjaga saluran napas agar selalu
mendapatkan ventilasi dan oksigenasi serta jika sewaktu-waktu memerlukan
manajemen saluran napas pasien. Manajemen saluran napas pada pasien
teranestesi dapat pula diterapkan pada pasien dengan penurunan kesadaran
menggunakan beberapa peralatan seperti Sungkup Muka (facemask), LMA
(Laryngeal Mask Airway) dan Intubasi Endotrakea.

F. Indikasi & Kontraindikasi Penggunaan LMA

Indikasi
1. Jalan napas susah
a. Setelah tidak berhasil di intubasi, LMA bisa sebagai gantinya
b. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi tapi bisa di ventilasi
c. Pada kasus pasien tidak bisa di intubasi atau pun di ventlasi
d. Untuk persiapan cricothyroideotomy
2. Cardiac Arrest
a. Tahun 2005, America Heart Association guidlines mengindikasikan
LMA sebagaialternatif tindakan yang bisa diterima untuk manajemen
jalan napas pada pasienhenti jantung (Class IIa)
3. Pada pasien anak-anak

Kontra Indikasi
1. Absolut :
a. Tidak bisa membuka mulut
b. Obstruksi total jalan napas bagian atas
2. Relatif :
a. Meningkatnya resiko aspirasi
- Prolonged bag-valve-mask ventilation
- Obesitas
- Kehamilan semester dua dan tiga
- Perdarahan gastrointestinal bagian atas
b. Abnormalitas anatomi dari supraglotic
- Ketidakmampuan menggerakkan kepala atau membuka mulut >
1,5 cm, misalnya pada ankylosing spondylitis, severe rheumatoid
arthritis, servical spine instability, yang akan mengakibatkan
kesulitan memasukkan LMA.
G. PREMEDIKASI

Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat-


obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan antikholinergik,
sedasi/trankuilizer, dan analgetik. Premedikasi dapat menggunakan satu obat atau
kombinasi dari beberapa obat. Pemilihan obat untuk premedikasi tergantung
tujuan dari premedikasi itu sendiri. Tujuan pemberian premedikasi antara lain :
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, yang meliputi bebas dari rasa
takut, cemas, bebas nyeri, dan mencegah mual-muntah.
2. Memperlancar induksi anestesi. Pemberian obat sedasi dapat menurunkan
aktifitas mental sehingga imajinasi menjadi tumpul dan reaksi terhadap
rangsangan berkurang. Obat sedasi dan ansiolisis dapat membebaskan rasa
takut dan kecemasan pasien.
3. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus. Obat golongan
antikholinergik seperti atropin dan scopolamin dapat mengurangi sekresi
saluran nafas.
4. Mengurangi kebutuhan/dosis obat anestesi. Tujuan premedikasi untuk
mengurangi metabolisme basal sehingga induksi dan pemeliharaan anestesi
menjadi lebih mudah dan diperlukan obat-obatan lebih sedikit sehingga
pasien akan sadar lebih cepat.
5. Mengurangi mual dan muntah paska operasi, tindakan pembedahan dan
pemberian obat opioid dapat merangsang terjadinya mual dan muntah,
sehingga diperlukan pemberian obat yang dapat menekan respon mual,
muntah seperti golongan antihistamine, kortikosteroid, agonis dopamine atau
alpha-2 agonis.
6. Mengurangi isi cairan lambung dan meningkatkan PH asam lambung yang
berbahaya apabila terjadi aspirasi dari asam lambung yang dapat
menyebabkan terjadinya pneumonitis aspirasi atau sindrom mendelson.

Obat-obat yang biasa digunakan sebagai obat premedikasi antara lain:


Obat golongan sedasi, anti kholinergik, analgetik narkotik.

H. INDUKSI

Induksi anestesi adalah suatu rangkaian proses transisi dari sadar penuh
sampai hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi anestesi terdiri dari pemberian obat anestesi hipnosis
secara cepat melalui intravena. Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak 30
60 detik dan cepat turun karena proses redistribusi dari obat. Perubahan
konsentrasi plasma secara cepat mengakibatkan perubahan tingkat penekanan
susunan saraf pusa (Bosson N, 2013).
Pada tahun 1937, Guedel mempublikasikan penelitian klinis klasik
kedalaman anestesi berdasarkan pengamatan terhadap induksi inhalasi anestesi
dengan eter, yaitu :
Stadium I : Analgesia
Stadium ini ditandai dengan pola nafas yang lambat, teratur dari
diafragma dan otot intercostal, masih terdapat refleks bulu mata.
Stadium II : Eksitasi, Deliruim
Selama stadium ini pasien mengalami eksitasi, tidak sadar, pola nafas
tidak teratur, pupil mulai dilatasi, masih terdapat refleks bulu mata,
terdapat resiko spasme laring, muntah sampai aritmia.
16
Stadium III : Anestesi bedah Terdapat 4 fase, yaitu:
Plana 1 : Mulai terdapat relaksasi otot somatik, pola nafas teratur,
gerak bola mata aktif.
Plana 2 : Mulai dari bola mata berhenti sampai nafas torakal lemah.
Plana 3 : Relaksasi sempurna otot otot dinding perut, dengan
pernapasan diafragma, refleks bulu mata negative.
Plana 4 : Mulai nafas torakal berhenti sampai nafas diafragma berhenti
Stadium IV : Intoksikasi (depresi berat pusat vasomotor dan respirasi di
medula), ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan nafas, pupil
dilatasi.
I. OBAT-OBAT ANESTESI
Untuk melakukan anestesi umum, digunakan beberapa anestetik, dapat
dikelompokkan menjadi hipnotik, sedatif, analgesik, dan pelumpuh otot.
1. Hipnotik
Golongan ini akan menimbulkan tidur yang ringan tanpa
pasien merasa mengantuk. Golongan hipnotik dapat berupa gas dan
cairan. Pada dosis tertentu, obat hipnotik cair yang diberikan secara
intravena, misalnya propofol, etomidat, ketalar, dan pentotal, dapat
juga digunakan sebagai sedatif. Semua obat hipnotik mempunyai
efek depresi miokardium dan respirasi kecuali ketalar.
Propofol, propofol (2,6-diisopropylphenol)
Senyawa ini bekerja dengan cara menghambat kerja
neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol bersifat
tidak larut air sehingga dibuat menjadi sediaan emulsi berwarna
putih susu yang terdiri atas 1% konsentrasi yang beisi campuran
minyak kedelai, lesitin telur yang berasal dari kuning telur, dan
gliserol. Waktu paruhnya yang pendek, yaitu antara 2-8 menit,
membuat induksi dengan propofol berlangsung dengan onset
dan durasi yang cepat. Dosis untuk induksi sebesar 1-2,5
mg/kgBB yang diberikan secara intravena.
17
Ketamin
Ketamin memiliki efek ganda terhadap seluruh sistem saraf
pusat, termasuk memblokir reflek polisinaptik di sumsum tulang
belakang dan menghambat efek neurotransmitter di area tertentu
otak.
Ciri khas dari ketamin adalah sifat kerjanya yang disosiatif.
Secara klinis, keadaan ini menyebabkan pasien masih sadar,
tetapi tidak dapat memproses atau merespon masukan sensoris.
Pemberian ketamin dapat melalui injeksi intravena atau
intramuskuler dengan dosis 1-2 mg/kgBB i.v dan 3-5 mg/kgBB
i.m.
Midazolam
Merupakan golongan benzodiazepin, sering digunakan
untuk obat sedasi dengan dosis 0,01-0,1 mg/kgBB. Dosis untuk
induksi sebesar 0,1-0,4 mg/kgBB. Onset midazolam untuk dosis
induksi relatif lebih lama dibandingkan propofol. Midazolam
sangat kecil memengaruhi sistem kardiovaskular, dan memiliki
sifat amnesia antegrad yang kuat.
2. Sedatif
Obat sedatif akan memberikan efek kantuk dan tenang bagi
pemakai. Pasien yang terpapar obat ini akan merasa tenang,
mengantuk, dan dapat menjadi tertidur, serta melupakan semua
kejadian yang dialami selama tersedasi.
3. Analgetik
Ada 2 jenis analgesik yang dipakai, yaitu golongan NSAID
dan opioid. Golongan NSAID biasanya digunakan untuk mengatasi
nyeri pasca operasi. Cara kerja golongan NSAID adalah dengan
mencegah pembentukan prostaglandin, obat-obatan yang termasuk
golongan ini adalah paracetamol, ketorolac, dan natrium diklofenak.
Analgetik opioid, karena sifatnya sangat kuat, sering
dipakai untuk menumpulkan respon terhadap tindakan manipulasi
saluran napas seperti intubasi. Contoh obat-obatan golongan opioid
adalah morfin, petidin, tramadol, fentanyl dan sufenta
Karena kerja opioid adalah dengan terikat pada reseptor
opioid dalam berbagai tingkatan (mu, kappa, delta, dan sigma), efek
samping yang ditimbulkan pun beragam. Secara umum, efek
samping yang muncul berupa nausea, pruritus, dan sedasi.

o Efek Samping Obat Anestesi Umum

Hampir semua anestesia mengakibatkan sejumlah efek samping, yang


terpenting diantaranya :

a. Menekan pernafasan.
b. Mengurangi kontraksi jantung.
c. Merusak hati, oleh karena tidak digunakan lagi seperti senyawa
klor (kloroform).
d. Merusak ginjal, khususnya metoksifluran.

J. PERAWATAN DI RUANG PULIH SADAR (RR)

Pemulihan pasca anestesi dilakukan di ruang pemulihan atau perawatan


intensif bila ada indikasi. Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat
pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan
pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu,
sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain dll (Bosson N, 2013)
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi napas dilakukan
paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu
dilakukan setiap 15 menit. Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali.
Pemeriksaan suhu juga dilakukan. Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan
dari anestesi umum harus mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena
dapat terjadi hipoksemia sementara. Pasien yang memiliki resiko tinggi hipoksia
adalah pasien yang memiliki kelaian paru sebelumnya atau yang dilakukan
tindakan operasi di daerah abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisis
gas darah dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri abnormal.
Terapi oksigen benar-benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat
penyakit paru obstruksi kronis atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya. Bila
keadaan pasien sudah stabil maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan
pemberian instruksi pasca operasi. Observasi dilakukan dengan menggunakan
Aldrette Score, yang perlu diperhatikan yaitu:

1. Nilai Kesadaran
Sadar, orientasi baik nilai 2
Dapat dibangunkan nilai 1
Tidak dapat dibangunkan nilai 0

2. Nilai Warna
Merah muda, saturasi O>92% tanpa bantuan oksigen nilai 2
Pucat dan memerlukan bantuan oksigen, saturasi O2 >90% nilai 1
Sianosis, saturasi <90% nilai 0

3. Nilai Aktifitas
4 ekstremitas bergerak bertujuan, dapat diperintah nilai 2
2 ekstremitas bergerak bertujuan, dapat diperintah nilai 1
Tidak ada ekstremitas yang bergerak atau bergerak tidak normal nilai 0

4. Nilai Respirasi
Dapat bernafas dalam dan batuk nilai 2
Nafas dangkal dan sesak nilai 1
Apnoe atau obstruksi nilai 0

5. Nilai Kardiovaskular
Tekanan darah berubah <20% nilai 2
Tekanan darah berubah 20%-30% nilai 1
Tekanan darah berubah >50% nilai 0

Kelima kriteria ini dijumlahkan dan didapatkan hasilnya. Bila nilai


Aldrette Score adalah 9 atau 10, maka pasien dapat dipindahkan ke ruang
perawatan. Bila nilai Aldrette Score 5, maka pasien dipindahkan ke ruang ICU
untuk mendapatkan perawatan intensif. Pada jam pertama setelah anestesi
merupakan waktu potensial yang berbahaya, efek residual dari obat-obat yang
diberikan dapat mengakibatkan depresi pernafasan. Nyeri luka operasi bisa
menghambat pasien untuk batuk atau bernafas dalam sehingga dapat
menyebabkan atelektasis paru dan hipoksia. Selama pasien berada diruang pulih
sadar oksigen tetap diberikan selama 1-3 liter per menit. Bila pasien mengeluh
rasa nyeri biasanya diberikan novalgin atau analgesik sesuai dosis atau petidin 20-
50 mg/IV. Bila pasien muntah, dapat diberikan anti emetik primperan, DBP, atau
ondansetron. Pasien boleh makan dan minum setelah sadar penuh (Tejo,2015)

21
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan STT Parietal Bilateral dengan
status fisik ASA II dan telah dilakukan tindakan ekterpasi. Pasien diperiksa
terlebih dahulu mulai dari anamnesis dan tanda-tanda vital seperti tekanan darah,
denyut nadi, frekuensi nafas dan temperatur. Dari anamnesis pasien mengatakan
tidak memiliki penyakit kelainan sistemik seperti hipertensi, diabetes melitus,
dada terasa sesak, alergi obat dan kelainan jantung. Tujuan dilakukan anamnesis
riwayat penyakit sistemik adalah untuk menentukan status fisik anestesi pada
pasien tersebut. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Dari hasil
pemeriksaan tekanan darah 100/60 mmhg, nadi 76x/menit, temperatur 36,7 C dan
frekuensi napas 18x/menit. Hasil tanda-tanda vital dalam batas normal.
Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan fisik secara general. Hasil dari
pemeriksaan fisik dalam batas normal. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik,
hasil laboratorium dinilai seperti Hb, Leukosit, Trombosit, PT/APTT
(prothrombin time/ activated partial thromboplastin (faktor pembekuan darah),
ureum, kreatinin, SGOT/SGPT, golongan darah, HbsAG. Tujuan dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya penyakit pada pasien yang tidak
terdeteksi saat pemeriksaan fisik.

Pada pemeriksaan vital sign dan pemeriksaan fisik pre-operasi didapati


dalam batas normal, hanya saja didapati benjolan pada belakang telinga yang
kenyal, terfiksir, dan berkapsul. Pada pemeriksaan laboratorium tidak ada
kelainan. Dari pemeriksaan diperkirakan operasi yang akan dilaksanakan tidak
membutuhkan waktu lama. Sehingga jenis anestesi yang dipilih adalah General
Anesthesia dengan LMA.

22
Pada pasien ini infromed consent dilakukan terhadap orangtua pasien.
Informed consent dilakukan dengan menjelaskan beberapa hal seperti teknik
pembiusan, tata cara pembiusan, persiapan pembiusan,efek samping pembiusan
dan resiko yang kemungkinan terjadi dari pembiusan tersebut. Pada pasien ini
dilakukan teknik pembiusan GA (general anestesi) dengan status fisik ASA II.

Persiapan anestesi dilakukan setelah mendapatkan acc dari dokter ahli


anestesi dan lembar persetujuan pembiusan yang ditanda tangani oleh pihak
keluarga. Persiapannya antara lain: puasa sekitar 4-6 jam dengan tujuan
mengosongkan lambung dan mencegah refleks muntah sebelum operasi
dilakukan, skin test dilakukan untuk mengetahui adanya alergi atau
hipersensitivitas terhadap obat antibiotik dan pasien diedukasi untuk melepaskan
gigi palsu, perhiasan yang melekat pada pasien, pemasangan infus iv line Ringer
Laktat untuk mempertahankan status hidrasi pasien agar tidak kekurangan cairan
saat operasi.

Sebelum dilakukan pembedahan pasien diberikan premedikasi


Ondansetron 8 mg yang berfungsi sebagai antiemesis, Ketorolac dengan dosis 30
mg sebagai agen analgetik, Fentanyl 100 mg sebagai agen analgetik opioid untuk
mengurangi nyeri saat induksi.

Setelah diberikan premedikasi, pasien dilakukan induksi pertama dengan


diberikan injeksi Propofol 60 mg. Waktu paruh propofol yaitu antara 2-8 menit,
membuat induksi dengan propofol berlangsung dengan onset dan durasi yang
cepat. Maintanance anestesi pasien ini diberikan anestesi inhalasi dengan
sevoflurane 1-3 vol%. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil. Selain
sevoflurane diberikan 02 2-3 lpm. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda
mata seperti bola mata menetap,nadi tidak cepat.

23
Jika stadium anestesi sudah cukup dalam, refleks bulu mata menghilang
dan tube dipasang dengan teknik endotrakeal. Monitoring selama operasi yang
dilakukan antara lain monitoring tanda-tanda vital, kedalaman anestesi, tekanan
darah, EKG, pulse oxymetry, output urin.

Operasi berlangsung selama 30 menit dan dilakukan monitor tanda-tanda


vital selama operasi. Selama operasi tanda-tanda vital pada pasien ini dalam batas
normal. Setelah operasi selesai pasien dilakukan ekstubasi dan dipindahkan ke
ruang recovery. Pada saat di ruang recovery/ pemulihan pasien tetap dipasang
kanul O2 dan pemantauan tanda-tanda vital dengan memasang spygmanometer
dan pulse oxymetry. Pasien dibangunkan dan dilakukan observasi serta penilaian
berdasarkan aldrette score. Pasien dapat dibangunkan, warna kulit merah muda,
saturasi 02 100% tanpa bantuan oksigen dan 4 ekstremitas bergerak bertujuan
sesuai perintah. Pasien dapat bernafas dalam dan batuk. Tekanan darah.
Berdasarkan hasil observasi pasien memiliki score 9 artinya pasien sudah
dibolehkan kembali ke ruang perawatan sebelumnya.

24
BAB IV
KESIMPULAN

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral


disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang
sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa
menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari pasien.
Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan
stabilisasi otonom. Syarat ideal dilakukan anestesi umum berupa memberi induksi
yang halus dan cepat, menimbulkan situasi pasien tak sadar atau tak berespon,
menimbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan dan menimbulkan
hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup
untuk tindakan operasi.
Dalam melakukan tindakan anestesi, operator anestesi harus
mempersiapkan terlebih dahulu hal-hal sebelum anestesi dilakukan seperti
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, informed consent dan persiapan
pasien yang akan dilakukan operasi. Selama tindakan operasi operator anestesi
harus memonitoring tanda-tanda vital pasien hingga operasi selesai.
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruangan untuk
kepentingan monitoring kondisi dan tanda-tanda vital pasien hingga pasien
diperbolehkan pulang.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Agro F., Brimacombe J., Verghese C., Carassiti M., Cataldo R. Laryngeal
mask airway and incidence of gastro-oesophageal reflux in paralysed
patiens undergoing ventilation for elective orthopaedic surgery. Br. J.
Anaesth. 1998; 81:537 539.
2. Asai T., Hiroshi T., Shingu K. Failed tracheal intubation using a
laryngoscope and intubating laryngeal mask. Can J Anesth 2000 / 47 / 325
328.
3. Gomillion MC, Jung Hee Han : Magnetic Resonance Imaging a case of 2
years old boy.Anesthesiology Problem-Oriented Patient Management Yao
& Artusios, 6th ed, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA,
2008.
4. Morgan GE, Mikhail MS : Pediatric Anesthesia, Clinical Anesthesiology
3nd ed, Lange Medical Books, New York, 2002.
5. Bosson N. Laryngeal Mask Airway. Available at
:http://emedicine.medscape.com/article/82527-overview#a17. Updated :
Dec 17, 2013.2.
6. Morgan. Clinical anesthesiology. Airway management. 4th ed. 2006.
McGraw-HillCompanies, Ic : USA.
7. Pennant J., White PF. The laryngeal mask airway : its uses in
anesthesiology. Anesthesiology 1993; 79 : 144 163.
8. Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.
Edisi 4. Jakarta : EGC
9. Reeves, J. Charlene. Et al. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed I. Jakarta
: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai