Anda di halaman 1dari 37

REFLEKSI KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :
RENDY KURNIAWAN
20120310155

Diajukan kepada :
dr. Widhi P.S., Sp.PD.
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
Telah dipresentasikan pada tanggal :

September 2017

Oleh :
Rendy Kurniwan
20120310155

Disetujui oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo

dr. Widhi P.S., Sp.PD.

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan refleksi
kasus yang berjudul:

“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)”


Penulis meyakini bahwa karya tulis ilmiah ini tidak akan dapat tersusun
tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. dr. Widhi P.S., Sp.PD. selaku pembimbing KepaniteraanKlinikbagianIlmu
Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah
berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal
sampai selesainya penulisan Presentasi Kasus ini.
2. dr. H. Suprapto, Sp.PD., dan dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.Kes., selaku

pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD


KRT Setjonegoro.
3. Tn. S selaku pasien di Bangsal Cempaka yang sudah bersedia meluangkan
waktunya untuk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh.
4. Seluruh tenaga medis dan karyawan di bangsal Cempaka dan Flamboyan
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo yang telah berkenan membantu dalam
proses berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakir Dalam.
5. Ayah, Ibu beserta sanak saudara yang telah mencurahkan kasih sayang dan
memberikan dukungan yang tiada henti.
6. Keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam

selesainya penulisan refleksi Kasus ini.

Semoga pengalaman dalam membuat refleksi Kasus ini dapat memberikan


hikmah bagi semua pihak. Mengingat penyusunan Presentasi Kasus ini masih jauh
dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi

3
masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan Presentasi Kasus
selanjutnya.

Wonosobo, September 2017

Penulis

4
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2

KATA PENGANTAR...............................................................................................3

DAFTAR ISI............................................................................................................5

BAB I.......................................................................................................................7

LAPORAN KASUS.................................................................................................7

A. IDENTITAS PASIEN 7

B. ANAMNESIS 7

1. Keluhan Utama 7

2. Riwayat Penyakit Sekarang 7

3. Riwayat Penyakit Dahulu 8

4. Riwayat Penyakit Keluarga 8

5. Riwayat Personal Sosial 8

6. Anamnesis Sistem 8

C. PEMERIKSAAN FISIK 8

1. KEADAAN UMUM & TANDA VITAL 8

2. STATUS GENERALISATA 9

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 10

1. Pemeriksaan Darah Rutin 10

2. Pemeriksaan USG Abdomen 12

E. DIAGNOSIS KERJA 13

F. PENATALAKSANAAN 13

G. PERKEMBANGAN RAWAT INAP 14

BAB II....................................................................................................................15

5
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................15

A. DEFINISI 15

B. KLASIFIKASI 15

C. ETIOLOGI 16

D. EPIDEMIOLOGI 18

E. PATOFISIOLOGI 19

F. DIAGNOSIS 20

G. TATALAKSANA 21

H. PROGNOSIS 24

BAB III..................................................................................................................26

PEMBAHASAN....................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................27

6
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
No. CM : 707804
TTL/Usia : 15-03-1960 / 66 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Alamat : Garung
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan :-
Pendidikan Terakhir : SMA
Tgl Masuk RS : 23 September 2017

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sesak nafas dan batuk berdahak

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSU KRT Setjonegoro, dengan mengeluhkan sesak
nafas (+), lemas (+), mual (+), muntah (-), demam (+), batuk berdahak
(+), nafsu makan menurun yang dirasakan sejak 2 minggu SMRS.

7
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat merokok (+)
Riwayat HT, DM (-)
Riwayat Penyakit Jantung, Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
penyakit yang serupa, DM, jantung, asma maupun hipertensi.

5. Riwayat Personal Sosial


Pasien merokok dan sudah berhenti kurang lebih 6 bulan yll. Pasien tidak
mengkonsumsi jamu, minuman keras dan narkotika.
6. Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal : demam (+), pusing (-)
b. Sistem Cardiovaskuler : tidak ada nyeri dada, tidak berdebar
c. Sistem Respirasi : sesak nafas (-),batuk berdahak (+)
d. Sistem Gastrointestinal : mual (+), muntah (-)
e. Sistem Urogenital : BAK, BAB normal
f. Sistem Integumentum : Turgor kulit baik
g. Sistem Muskuloskeletal :Gerak dan kekuatan seluruh anggota gerak
baik, nyeri otot tangan dan kaki (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. KEADAAN UMUM & TANDA VITAL
 Keadaan Umum : Sedang, terlihat lemas
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital Sign :
Tekanan darah : 100/67 mmHg
Nadi : 83 x/m
Respirasi : 34 x/m
Temperatur : 38,8°C
2. STATUS GENERALISATA
a. Kepala
1) Bentuk : mesocephal
2) Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

8
3) Hidung : bentuk normal, tidak ada sekret, tidak ada
epistaksis
4) Telinga : Bentuk normal, simetris kanan dan kiri,
discharge -/-, serumen -/- minimal
5) Mulut : sianosis(-), gusi berdarah (-), caries dentis
(-)
b. Leher : Tidak ada peningkatan JVP, tidak ada
pembesaran KGB, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
c. Thorax dan Pulmo :
1) Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi
interkostal (-)
2) Palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri
3) Perkusi : suara sonor pada lapang paru
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler, ronkhi +/+,
Wheezing +/+
d. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC 4 linea
midklavikula sinistra
3) Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 murni, gallop (-),
bising (-).
e. Abdomen
1) Inspeksi : supel, datar
2) Auskultasi : Bising usus (+) normal
3) Palpasi : Nyeri tekan (+), pada perut bawah
4) Perkusi : pekak sisi (-), pekak alih (-)
f. Ekstremitas : akral hangat, edema(-).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium

DARAH RUTIN Hasil Nilai Rujukan Interpretasi

Hemoglobin 13,5 13,2-17,3 g/dL Normal

Leukosit 9,5 3,6-11 10^3/ul Normal

Eosinofil 0,00 2-4 % Low

Basofil 0,30 0-1 % Normal

Netrofil 83,49 50-70% High

9
Limfosit 7,50 25-40% Low

Monosit 7,80 2-8% Normal

Hematokrit 42 35-47% Normal

Eritrosit 4,3 3.8-5.2 10^6/ul Low

Trombosit 78 150-400 10^3/ul Low

MCV 99 80-100 fL Normal

MCH 32 26-34 Pg Normal

MCHC 32 32-36 q/dL Normal

Natrium 135,0 135,0-147,0 Normal


mmol/L

Chloride 95,0-105,0 Normal


95,0
mmol/L

GDS 56 70-150 mg/dL Low

Ureum 145,0 <50 mg/dL Very High

Creatinin 1,76 0,40- High

Trigliserida 81 70,0–140,0mg/dl Noral

SGOT 2258,0 0-35 U/L Very High

SGPT 1289,0 0-35 U/L Very High

Kalium 95,0-5,0 Normal


3,60

Foto thorax
 diafragma mendatar
 penurunan corakan brokovaskular
 sela intercostalis melebar
 costa mendatar
 jantung seperti pendulum

E. DIAGNOSIS KERJA
 PPOK
 Hipoglikemi

10
F. PENATALAKSANAAN

Inf. Asering
Inj. MPS 2x1
Inj. Visilin sx 2x1
Inj. Norages 3x1
flash. Pct 3x1
syr. Lasal exp 3x10cc
syr. Ambroxol 3x10cc

A.

11
G. PERKEMBANGAN RAWAT INAP

Tanggal/ Subjective Objective (O) Assessment (A) Plan (P)


Jam (S)
8/08/2017 Pasien TD : 100/60 PPOK Inf. Asering
mengeluh T : 37,3°C Inj. MPS 2x1
sesak, batuk N :145x/m Inj. Visilin sx 2x1
berdahak yang RR :25x/m Inj. Norages 3x1
tidak bisa flash. Pct 3x1
keluar dan syr. Lasal exp 3x10cc
lemas syr. Ambroxol
3x10cc

9/08/2017 Pasien TD : 110/60 PPOK Inf. Asering


mengeluh T : 37,2°C Inj. MPS 2x1
sesak, batuk N :98x/m Inj. Visilin sx 2x1
berdahak dan RR :24x/m Inj. Norages 3x1
lemas flash. Pct 3x1
syr. Lasal exp 3x10cc
syr. Ambroxol
3x10cc

12
BAB II
Problem Definition

1. Bagai mana etiologi dari PPOK ?


2. Bagaimana faktoresiko dari PPOK ?
3. Bagaimana penatalaksanaan dari PPOK ?
4. Bagaimana klasifikasi eksaserbasi PPOK ?
5. Bagaimana indikasi rawat inap pasien PPOK ?

13
BAB III
PEMBAHASAN

DEFINISI

Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif


Pulmonary Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit
yang mempunyai gejala berupa terhambatnya arusudara pernapasan. Istilah ini
mulai dikenal pada akhir 1950an dan permulaan tahun 1960an. Masalah yang
menyebabkan terhambatmya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran
pernapasan maupun pada

3,10
Gambar 1 Gambaran Bronkus Pada Penderita PPOK.

parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah Bronkitis


Kronik (masalah dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam
parenkim). Ada beberapa ahli yang menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu
Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan Bronkiektasis. Secara logika penyakit
asma bronkial seharusnya dapat digolongkan ke dalam golongan arus napas yang
terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke dalam golongan

2
PPOK.

14
Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai
PPOK bila obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua
penyakit tadi (bronkitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam
kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya
bersifat progresif. Pada fase awal, kedua penyakit ini belum dapat digabungkan ke

2
dalam PPOK.

Jika dilakukan pemeriksaan patologik pada pasien yang mengalami


obstruksi saluran napas, diagonosis patologiknya ternyata sering berbeda satu
sama lain. Diagnosis patologik tersebut dapat berupa emfisema sebesar 68%,
bronkitis 66%, sedangkan bronkiolitis sebesar 41%. Jadi dapat disimpulkan

2
bahwa kelainan patologik yang berbeda menghasilkan gejala klinik yang serupa.

Mengingat PPOK mempunyai banyak sinonim, yaitu Chronic Obstruction Airway


Disease, Chronic Obstructive Lung Disease, Chronic Obstructive Pulmonary
Disease, bisa dibayangkan bahwa banyak perdebatan yang timbul ketika golongan
penyakit ini dibahas. Patofisiologi terjadinya obstruksi adalah peradangan pada
saluran pernapasan kecil. Pada PPOK yang stabil, ciri peradangan yang dominan
adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh Inter Leukin-8. Walaupun
jumlah limfosit juga meningkat, namun yang meningkat hanya sel T CD8 helper
tipe 1. Berbeda pada asma, yang dominan adalah eosonofi, sel mast, dan sel T
CD4 helper tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada PPOK maka jumlah
eosonofil meningkat tiga puluh kali lipat. Perbedaan jenis sel yang. menginfilttrasi
inilah yang menyebabkan perubahan respon terhadap pengobatan kortikosteroid.
Penurunan FEV1 pertahun pada PPOK adalah antara 50-70 mL/detik jika
akhirnya FEV1 menjadi di bawah 1 liter maka angka kesakitannya mencapai

2
10%.

15
4,11
Gambar 2 Paru-paru normal dan penderita PPOK.

D. EPIDEMIOLOGI

Insiden PPOM penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa , 5%


wanita dewasa dan 5% anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok.
Perokok mempunyai risiko 4 kali lebih besar daripada daripada bukan perokok,
dimana faal paru cepat menurun.

16
Penderita pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat
dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, insiden
PPOM 1 1⁄2 kali lebih banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-

7
anak sering batuk, berdahak, sering sesak, kelak pada masa tua timbul emfisema.

E. ETIOLOGI

Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi


PPOK. Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi
nonpulmonal, dan pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti
yang menunjukkan bahwa setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan
oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50% 14 disebankan oleh bakteri, 30% oleh virus,
dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi bersamaan oleh lebih dari satu patogen
menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20% pasien. Meskipun ada data
epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang berkaitan dengan
peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit,
mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Dalam sebuah studi di
Eropa, meningkat dari 50 mg / m di tingkat polutan harian menunjukkan
peningkatan risiko relatif perawatan di rumah sakit untuk PPOK untuk SO2 (RR
1,02), NO2 (RR 1,02), dan ozon (RR 1,04). Emboli pulmonal juga dapat
menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu penelitian terbaru, Emboli
Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan eksaserbasi

8
PPOK.

F. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah hal-hal yang


berhubungan dan atau yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya PPOK
pada seseorang atau kelompok tertentu.

Faktor risiko tersebut meliputi : a. Faktor pejamu (host), b. Faktor perilaku

17
1
(kebiasaan merokok), c. Faktor lingkungan (polusi udara).

a. Faktor pejamu (host)Faktor pejamu (host) meliputi genetik hiper responsif


napas dan pertumbuhan

paru.Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin yaitu serin
protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap
rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitkan dengan masa kehamilan, berat
lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan

9
pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.

b. Perilaku (kebiasaan) Merokok

Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi


tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
perokok usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal
ini mungkin berhubungan dengan 15 faktor genetik. Perokok pasif dan merokok

9
selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.

G. KLASIFIKASI

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD)


2006, PPOK dibagi atas 4 derajat yaitu :

18
H. PATOFISIOLOGI

Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan ekserbasi asma oleh


karena inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu
yang dapat memicu serangan ini sangat bervariasi antara satu individu dengan
individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi
saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi yang
berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini
adalah rinitis, sinusitism bakterial, 16 poliposis, menstruasi, refluks gastro
esopageal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat akut
ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya
bronkokonstriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari mast sel saluran
pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin,
leukotrin, sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara
yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan
pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis
rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan
bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi
dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya
keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding
saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas

19
dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengakakan

11
pada sisi luar otot polos saluran pernapasan.

Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan


oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos
bronkioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap resistensi
aliran, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q).
Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini akan
terjadi gagal napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja
pernapasan, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan.
Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi

11
saluran napas.

Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada


asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan
ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak
expiratory flow rate (PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi
obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatof cukup berat akan menyebabkan
pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar
terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya
hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional
dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula dapat terlihat pada foto thoraks,
yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang

11
mendatar. 17 Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan
aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan
kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel
kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah

11
paru.

I. DIAGNOSIS

20
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis
berdsarakan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan
PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan
PPOK berat). Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila :

I.1. Anamnesis

a. Ada faktor risiko :

← - Usia (pertengahan)

← - Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)

b. GejalaGejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini


harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala
yang biasa terjadi pada proses penuaan.

← - Batuk Kronik Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul


selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang
diberikan.

← - Berdahak Kronik Kadang-kadang pasien menyatakan hanya


berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.

← - Sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali


pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat
progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis
harus dilakukan dengan teliti guna ukuran sesak napas sesuai skala

9
sesak.

21
I.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama
auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli.
Sedangkan PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat
perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.

Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut : a.
Inspeksi

← - Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong)

← - Terdapat cara bernapas purse lips bretahing (seperti orang


meniup)

← - Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot


bantu nafas.

← - Pelebaran sela iga. b. Palpasi

- Fremitus melemah

c. Perkusi- Hipersonor

d. Auskultasi- Suara nafas vesikuler melemah atau normal - Ekspirasi memanjang


- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)- Ronki

I.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :

← - Radiologi (foto thoraks)

← - Spirometri

← - Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia


menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik)

22
← - Analisa gas darah

← - Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihhan


antibiotik bila terjadi eksaserbasi)Meskipun kadang-kadang hasil
pmeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemriksaan
radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru
lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dan keluhan pasien.Hasil
pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :

← - Paru hiperinflasi atau hiperlusen

← - Diafragma datar

← - Corakan bronkovaskular meningkat

← - Bulla

← - Jantung pendulum Dinyatakan PPOK (secara klinis)


apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat
pajanan faktor resiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak
nafas terutama saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia

9
pertengahan atau yang lebih tua.

J. EKSASERBASI AKUT

Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK dalam


keadaan normal penderita ini telah berada dalam keadaan dispnea, berdahak, dan
batuk. Pada eksaserbasi akut, ketiga gejala ini bertambah. Eksaserbasi akut PPOK
dapat disebabkan oleh infeksi sistem pernapasan, pengaruh polusi lingkungan,
gagal jantung, infeksi sistemik, atau juga emboli paru. Eksaserbasi akut PPOK
yang ringan belum memerlukan 20 perawatan di rumah sakit, sedangkan
eksaserbasi yang sedang dan berat harus dipertimbangkan untuk dirawat di rumah

3
sakit.

23
24
ETIOLOGI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK


merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang
bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang
kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun
waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi
sputum dan keterbatasan aktifitas. Penyakit paru yang masuk ke dalam
kategori PPOK antara lain adalah bronchitis dan emfisema.

Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan


batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit selama 2
tahun.

Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai


dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus
terminal disertai kerusakan dinding alveolus (Alsagaff, 2005).

25
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang
berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya. Faktor resiko COPD
bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-partikel iritatif yang
terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya :

1. Asap rokok

Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami


gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih
tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD
bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok. Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif
juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan
oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan
paru-paru “terbakar”. Merokok selama masa kehamilan juga dapat
mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan,
bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.

2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)


3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan Hampir 3 milyar orang
di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun bahan
bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas
dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, sehngga menyebabkan polusi
dalam ruangan.

4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.

5. Infeksi saluran nafas berulang

6. Jenis kelamin Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki


dibanding wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki

26
dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita
seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu
sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih
rentan untuk terkena COPD dibandingkan perokok pria.

7. Status sosio ekonomi dan status nutrisi yang rendah

8. Asma

9. Usia (Onset usia dari COPD ini adalah pertengahan)

K. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan


atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar
oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan
menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus
dengan obstruksi yang reversibel. Dasar-dasar penatalaksanaan ini pada PPOK
adalah :

1) Usaha mencegah perburukan penyakit 2) Mobilisasi lendir3) Mengatasi


bronkospasme4) Memberantas infeksi

5) Penanganan terhadap komplikasi6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan

12
rehabilitasi.

Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan
penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal
mungkin sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari
sedapat mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT
penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses perburukan faal paru
dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang memperburuk
$penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan

27
orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52

12
ml setiap tahunnya.

Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari : I.


Penatalaksanaan umumII. Pemberian obat-obatanIII. Terapi oksigen IV.

12
Rehabilitasi

A. Penatalaksanaan Umum

Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adaIah :

1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga.

Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit,


faktor- faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa
memperburuk penyakit.Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan

12
pengobatan.

2) Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi.

Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan


penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang
bersifat iritasi harus dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan

12
eksaserbasi/memperburuk perjalanan penyakit.

3) Menghindan infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindari oleh karena

12
dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.

4) Lingkungan sehat.

28
Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin dapat
meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian
dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri.
Pada penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat
diperlambat bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan

12
laut.

5) Mencukupkan kebutuhan cairan.

Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah dikeluarkan.


Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan hiponatremi

12
memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.

6) Nutrien yang cukup.

Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena


penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian

12
obat -obatan yang menimbulkan rasa mual.

b. Pemberian Obat-Obatan

1 ) Bronkodilator

Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi


obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3
golongan bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan
antikolinergik dan golongan xanthin, ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang
berbeda dalam mengatasi obstruksi saluran napas. Dalam otot saluran napas
persarafan langsung simpatometik hanya sedikit; meskipun banyak terdapat
adenoreseptor beta dalam otot 23 polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-
2. Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta
berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi penting yang

29
menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Persarafan bronkus
berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada asma aktifitas refleks
vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus
yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin
yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin adalah zat antagonis
kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos bronkus
sehingga timbul bronkodilatasi. Obat golongan xanthin bekerja sebagai

12
bronkodilator melalui mekanisme yang belum diketahui dengan jelas.

Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator adalah :

← - Blokade reseptor adenosin

← - Rangsangan pelepasan katekolamin endogen

← - Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor

← - Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos


dan penghambatan penglepasan mediator dan sel mast. Pada gambar 1
dapat dilihat skema cara kerja obat- obat bronkodilator untuk
menimbulkan bronkodilatasi.

30
Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan efedrin selain
memberikan efek bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi;
pemakaian obat-obat yang selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek
samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah
terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di samping bersifat
sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir.
Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka
gejala akan berkurang. Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan.
Pada penderita asma obat ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma
malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2 x 4 mg mempunyai manfaat yang sama

12
dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih minima1.

Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator


utama pada PPOK, kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih
dominan disebabkan oleh komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan
golongan bronkodilator lain seperti agonis beta-2 dan xanthin memberikan efek

31
bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat di turunkan sehingga efek
samping juga menjadi sedikit. Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik
tidak direkomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan
agonis beta-2; tetapi penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek
bronkodilatasi. Pada asma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi
melalui blokade reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari
gonis beta-2 tapi penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada
penderita asma yang lebih tua. Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator
yang lebih rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam
meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis
kronik metabolisme obat golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur,
merokok, gagal jantung, infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan
eitromisin. Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan
pemantauan yang ketat. Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat
dianjurkan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan yaitu :

• Obat bekerja langsung pada saluran napas• Onset kerja yang cepat• Dosis obat
yang kecil• Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah

12
• Membantu mobilisasi lendir.

Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis
terukur, alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler,dischaler, rotahaler dan nebuliser.
Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga
obat dapat mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan
anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa
dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal
pada pemakaian inhalasi dosis terukur. Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml
konsentrasi 0,1% dengan nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan
faal paru yang sangat bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke poli
Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang penderita PPOK dengan
eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif sedangkan

32
12
peningkatan faal paru tidak bermakna.

Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba,


meskipun tidak terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2–3 bulan pemberian
obat tidak terlihat perubahan secara objektif maupun secara subjektif maka
tidaklah tepat untuk meneruskan pemberian obat. Tetapi pemberian bronkodilator
tetap diindikasikan pada suatu serangan akut. Pemberian bronkodilator jangka
lama pada penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk

12
mendapatkan efek yang optimal dengan efek samping yang minimal. .

2 ) Ekspektorans dan mukolitik

Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada


beberapa keadaan seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat
yang menekan batuk seperti kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu
pembersihan sekret dan menyebabkan gangguan pertukaran udara; di samping itu
obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila batuk sangat mengganggu seperti
batuk yang menetap, iritasi saluran napas dan gangguan tidur obat ini dapat
diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti bromheksin, dan karboksi
metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat
mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dan

12
kerusakan yang disebabkan oleh oksidans.

3) Antibiotika

Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama


pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi
diikuti oleh infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan
makin memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam
penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi lama dan
beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi infeksi

33
bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin,
eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila
antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan

12
mikroorganisme.

4 ) Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma


maupun PPOK memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat
diberikan intravena selama beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60
mg selama 4–7 hari, kemudian diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian
dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa turun bertahap. Pada
penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian kortikosteroid inhalasi
menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian

12
kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit.

c) Terapi Oksigen

Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian


oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan
perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi
dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada
saat adanya infeksi saluran napas. Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala
mungkin merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan. Pada penderita dengan
infeksi saluran napas akut dan dekompensasi kordis pemberian Inspiratory
Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk mencegah dan

12
menyembuhkan atelektasis.

d ) Rehabilitasi

Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan.

34
Fisioterapi bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik
penderita ke tingkat yang optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu
latihan relaksasi, latihan napas, perkusi dinding dada, drainase postural dan
program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang
cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi
pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan agar
penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat

12
sesuai dengan kemampuan penderita.

35
DAFTAR PUSTAKA

← Devereux, Graham. Definition, epidemiology, and risk factor. In : ABC of


chronic obstructive pulmonary disease. BMJ Vol.332; 2006; 1142.

← Djojodibroto, R.Darmanto. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam :


Respirologi. Jakarta: ECG; 2009; 120-5.

← Annonomious. Mukolitik dan Antioksidan dalam terapi PPOK. Dalam :


Majalah Farmacia Vol.5 No.8; 2006.

← National Heart Lung and Blood Institue [online], [cited in 2011, October
30]. Available from : http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-
topics/topics/copd/

← Datu, Abd.Razak. Diktat thoraks. Makassar; Bagian Anatomi Fakultas


Kedokteran Unhas; 1996.

← Basic anatomy and histology of lung [online], [cited in 2011,October 30].


Available from : http://www.ivline.info/2011/05/pathology-101-
pulmonary-tumours.html

← Assagaf, Hood. Mukty, Abdul. Penyakit paru obstruktif menahun. Dalam :


Dasar- dasar ilmu penyakit paru. Yogyakarta; UGM Press;2009.

← Etiology of Acute COPD Exacerbations [online], [cited in 2011,October


30]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/807143-
overview

← Supari, Siti Fadilah. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif


kronik (PPOK). Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008; 3-51.

10.Gold Criteria for COPD [online], [cited in 2011,October 30]. Available from :

36
http://www.webmd.com/lung/copd/gold-criteria-for-copd

← Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata,


Marcellus. Setiati, Siti. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam : Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta; Interna publishing;2010;.

← Yunus, Faisal. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi. Jakarta; Bagian


pulmonologi fakultas kedokteran universitas indonesia; 2008; 28-32.

37

Anda mungkin juga menyukai