Anda di halaman 1dari 39

PRESUS

KERATITIS DENDRITIKA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD KRT Sedjonegoro Wonosobo

Disusun oleh :
Rendy Kurniawan
20120310155

Dokter Pembimbing :
dr. M. Faisal Luthfi, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

i
2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

mengajarkan kalam kepada umat manusia, dan hanya dengan seizin-Nya, penulis

dapat menyusun dan menyelesaikan referat berjudul “Keratitis”. Penulis

menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari sempurna. Hal ini

disebabkan keterbatasan ilmu dan kurang ketelitian dari penulis, sehingga penulis

sangat memerlukan saran dan kritik yang membangun demi hasil yang sempurna.

Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada, Nabi Muhammad SAW.

Semoga pelita yang dibawa beliau senantiasa menjadi dambaan dan pedoman

setiap insan yang merindukan kemuliaan hidup.

Terselesainya presus ini tidak lepas dari dukungan dan dorongan baik

moril dan materiil dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. M. Faisal Luthfi, Sp.M, selaku dokter pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis,

2. Ibunda, ayahanda, dan kakak-kakak, yang penuh kasih dan selalu berdoa

untuk kebaikan penulis, serta senantiasa mengingatkan penulis akan

kewajibanya.

3. Rekan stase Ilmu Penyakit Mata atas dukungannya,

4. Segenap pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan presus ini.

ii
Penulis mengharapkan semoga presus ini dapat memberikan manfaat bagi

penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………..……………......………………….....……........
i
KATA PENGANTAR..........................................................................................

ii
DAFTAR ISI........................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Identitas pasien........................................................................................

1
B. Anamnesis...............................................................................................

2
C.
Pemeriksaan.............................................................................................

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi....................................................................................................
3
B. Keratitis………...........................................................................................
6
C. Keratitis.................................................................................................. 10
1. Definisi.............................................................................................
10
2. Epidemiologi.....................................................................................
11
3. Etiologi..............................................................................................
11
4. Patofisiologi ......................................................................................
12

iv
5. Diagnosis……………………………………………………………
19
6. Penatalaksanaan…………………………………………………….
20
7. Komplikasi………………………………………………………….
24
8. Prognosis……………………………………………………………
24
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...………..
25

BAB I

PENDAHULUAN
Identitas Pasien

Nama : Tn. K

Umur : 42 tahun

Alamat : plodongan sukoharjo

Jenis kelamin : perempuan

v
Pekerjaan :petani

Pendidikan terakhir : SMP

Agama : Islam

ANAMNESIS

A. Keluhan Utama:

mata kanan terasa panas, pegal dan mengeluarkan air.

B. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke polikilinik mata RSUD KRT Sedjonegoro dengan keluhan mata
kanan terasa panas, pegal dan mengeluarkan air dirasakan sejak 2 minggu yang
lalu, pasien juga mengeluhkan mata kanan terasa pegal jika melihat cahaya, dan
penglihatan terasa kabur.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Diabetes Melitus Riwayat HipertensiRiwayat Operasi Mata Riwayat


Pemakaian Kacamata Riwayat infeksi mata disankal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga

HT : disangkal

DM : disangkal

Riwayat pemakaian kacmata : disangkal

Riwayat penyakit mata lain : disagkal

E. Riwayat Alergi

vi
Riwayat alergi disangkal

1.3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, gizi kesan cukup

Vital sign tidak dilakukan.

Pemeriksaan Oftalmologi 

Pemeriksaan Visus :

VOD = 6/12

VOS = 6/6

Status oftalmologi OD OS
Visus 5/20 5/5
Prgerakan bola mata Normal Normal
TIO Normal Normal
Palpebra Tenang Tenang
Konjungtiva Hiperemis Normal
Sklera Normal Normal
Kornea Terlihat gambaran seperti Normal

batang / akar pohon yang

bercabang
Iris / pupil Normal Normal

Lensa Jernih Jernih

Contoh gambaran

vii
DIAGNOSA KERJA

- Keratitis dendritik OD

PENATALAKSANAAN

← - Acyclovir 5x400 mg

← - C. Hervis

← - Vit A 2x600 mg

VII. PROGNOSIS

← Quo Ad Vitam : Ad Bonam

viii
← Quo Ad fungsionam : Dubia

← Quo Ad sanactionam : Dubia Ad Bonam

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 ANATOMI KORNEA

ix
Gambar 1: Gambaran Kornea

Kornea adalah jaringan transparan tembus cahaya, menutupi bola mata


bagian depan. Kornea menempati 1/6 dari jaringan fibrosa bagian depan dari bola
mata. Bagian anterior dari kornea berbentuk elips dengan diameter horizontal 11,7
mm dan diameter vertikal 11 mm. Bagian posterior berbentuk sirkular dengan
diameter rata-rata 11,5 mm. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,52 mm di
bagian tengah dan 0,65 mm di bagian perifer. Dari anterior ke posterior, kornea
mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda : lapisan epitel, lapisan Bowman,
stroma, membran Descment dan lapisan endotel.

x
Gambar 2: Lapisan Kornea

Lapisan kornea

1. Epitel

← - Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak


bertanduk yang saling tumpang tindih yang terdiri dari satu lapis sel basal,
sel poligonal dan sel gepeng.

← - Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berkaitan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden.Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang
merupakan barrier.

← - Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat


kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

← - Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

xi
2. Membran Bowman

← - Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang


merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari bagian depan stroma.

← - Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

← 3. Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedangkan di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya serat kolagen memakan
waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma.
Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descement

← - Merupakan membran aselular dan merupakan batas


belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya.

← - Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur


hidup, mempunyai tebal 40 m.

5. Endotel- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar


20-40 m.

Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan


zonula okluden. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal
dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman
melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada

xii
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin
ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel
akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi
endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar masuk dilakukan oleh kornea.

2.2 FISIOLOGI KORNEA

Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan
untuk memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini
dengan cara mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari
jaringannya. Transparansi kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler,
memiliki struktur yang uniform yang sifat deturgescence – nya. Transparansi
stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special dari komponen – komponen fibril.
Walaupun indeks refraksi dari masing – masing fibril kolagen berbeda dari
substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil
diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan regularitas yang
menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan dengan inhomogenitas
optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa bikarbonat aktif dari
endotel dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar tetap berada
pada keadaan “basah” dengan kadar air sebanyak 78%.

Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang


sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25
dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74%
dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada
kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus
seseorang. Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea
sangat sensitif. Saraf – saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membran
bowman dan berakhir secara bebas diantara sel – sel epithelial serta tidak

xiii
memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 – 3 mm dari limbus ke sentral kornea,
sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.

Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.


Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.
Setiap kerusakan pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau
keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf sensorik dan
menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter
(blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan
kepada kemungkinan adanya cedera kornea.

Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, yaitu :

←  Difusi dari kapiler – kapiler disekitarnya

←  Difusi dari humor aquous

←  Difusi dari film air mataTiga lapisan film air mata


prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan membantu nutrisi
kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan pasien akan
melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air
mata juga melindungi mata dari infeksi.

3.1 DEFINISI

Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea,


infiltrasi seluler dan kongesti siliar.

3.2 EPIDEMIOLOGI

xiv
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara
5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah
5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan
tidak begitu bermakna pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi
terjadinya keratitis antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan
perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan,
Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena
penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak
diketahui penyebabnya.

3.3 PATOFISIOLOGI KERATITIS

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi


terjadinya inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel
kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik,
trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik. Kornea
mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh
sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba
film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi
serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.

Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme


ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan
lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang
bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia
merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan
inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat
menghasilkan sebuah infeksi di kornea.Ketika patogen telah menginvasi jaringan
kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan
terjadi, yaitu:

xv
←  Lesi pada kornea

←  Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma


kornea

←  Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

←  Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea


dan titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan
gambaran infiltrasi kornea

←  Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion


(umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata
depan)

←  Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

←  Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat


pada membarana descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan
descematocele dimana hanya membaran descement yang intak.

←  Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari


membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut
ulkus kornea perforata dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah
secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif
dan bola mata akan menjadi lunak.

← 3.3 KLASIFIKASI

← Terdapat bermacam-macam pembagian dari keratitis yaitu:

← 1. Menurut penyebabnya :

a. Keratitis bakterial

xvi
Bakteri-bakteri yang biasa menyebabkan keratitis bakterialis, yaitu :

←  Streptokokus pneumonia

←  Pseudomonas aeroginosa

←  Streptokokus hemolitikus

←  Moraxella liquefaciens

←  Klebsiella pneumoniae

← Etiologi : pemakaian kontak lens, trauma, kontaminasi obat tetes


manifestasi

← klinis : kelopak mata lengkat setiap bangun pagi, mata nyeri, merah dan
berair disertai penurunan tajam penglihatan

← b. Keratitis viral

xvii
← Keratitis viral Virus lain yang dapat menyebabkan keratitis, yaitu :

←  Herpes simpleks

←  Herpes zoster

←  Variola (jarang)

←  Vacinia (jarang)

0 Pada keratitis viral kelainan yang dijumpai berupa keratitis pungtata


superficial, yang mengambarkan seperti infiltrat halus bertitik-titik pada
dataran depan kornea.

c. Keratitis jamur

Jamur - jamur yang biasa ditemukan pada keratitis, diantaranya :

 Candida Aspergilin Nocardia Cephalosporum

xviii
Keratitis jamur diawali oleh trauma pada kornea oleh bahan alam seperti
ranting, daun dan bagian tumbuhan. Pada masa sekarang infeksi jamur bertambah
pesat dan dianggap sebagai efek samping dari penggunaan antibiotik dan
kortikosteroid yang tidak tepat dan pemakaian kontak lens. Pasien akan mengeluh
nyeri sangat hebat, mata berair, penglihatan menurun dan silau. Pada mata akan
terlihat infiltrat kelabu disertai hipopion, peradangan, ulserasi superfisial dan
satelit bila terletak di dalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin endotel
dengan plaque tampak bercabang-cabang. Terdapat gambaran satelit pada kornea
dan lipatan membran descement.

Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10%


terhadap kerokan kornea yang menunjukan adanya hifa. Pengobatan diberikan
Natamisin 5% (keratitis jamur filamentosa, fusarium species), Amphoterisin B
0,15% -30% (yeasr dan aspergilus species). Pengobatan sistemik dengan
ketokonazol (200-600 mg/Hari) dan sikloplegik. bila disertai peningkatan TIO
diberikan obat oral anti glaukoma.Keratoplasti dilakukan bila tidak ada perbaikan.
Penyulit yang dapat terjadi adalah endoftalmitis.

xix
Keratitis non infeksi

d. Keratitis lagoftalmus

Keratitis yang terjadi akibat adanya lagoftalmus dimana kelopak mata


tidak dapat menutup dengan sempurna sehingga mata terpapar dan terjadi
kekeringan pada kornea dan konjungtiva yang memudahkan terjadinya infeksi.
Dapat dikarenakan parese Nervus VII.

e. Keratitis neuroparalitik

Akibat kerusakan Nervus V Keratitis neuroparalitik merupakan keratitis


akibat kelainan saraf trigeminus, sehingga terdapat kekeruhan kornea yang tidak
sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan saraf ke-5 ini dapat terjadi akibat
Herpes zoster, tumor fosa posterior kranium dan keadaan lainnya. Pada keadaan

xx
anestesi kornea kehilangan daya pertahanannya terhadap iritasi dari luar. Hal ini
dapat menyebabkan kornea mudah terjadi infeksi sehingga mengakibatkan
terbentuknya ulkus kornea.

f. Keratokonjungtivitis

Jika Suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva.


Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan:

a. Defisiensi komponen lemak air mata, misalnya blefaritis menahun

b. Defisiensi kelenjar air mata, misalnya sindrom Sjorgen, alakrimal kongenital,


obat diuretik, atropin, dan usia tua.

c. Defisiensi komponen musin: defisiensi vitamin A, trauma kimia, sindrom


Stevens Johnson.

d. Penguapan yang berlebihan, misalnya pada keratitis neuroparalitik, hidup di


padang gurun, keratitis lagoftalmus.

e. Karena parut pada kornea.

2. Menurut tempatnya :

a. Keratitis superfisial

0  Keratitis epitelial

Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis


dan keratitis serta pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-
satunya jaringan yang terlibat (misalnya: pada keratitis punctata
superficialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema
biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembentukan
filament, keratinisasi partial dan lain-lain. Lesi-lesi ini juga

xxi
bervariasi pada lokasinya di kornea. Semua variasi ini mempunyai
makna diagnostik yang penting

←  Keratitis subepitelial

Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (misal


infiltrat subepitelial pada keratokonjungtivitis epidemika, yang
disebabkan adenovirus 8 dan 19). Umunya lesi ini dapat diamati
dengan mata telanjang namun dapat juga dikenali pada
pemeriksaan biomikroskopik terhadap keratitis epitelia.

←  Keratitis stromal

Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk


infiltrasi, yang menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema
muncul sebagai penebalan kornea, pengkeruhan, atau parut;
penipisan dan perlunakan yang dapat berakibat perforasi; dan
vaskularisasi.

b. Keratitis profunda

←  Keratitis interstitial

Merupakan keratitis yang ditemukan pada jaringan yang


lebih dalam, yaitu keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan
neovaskularisasi. Terjadi akibat alergi, infeksi lues, dan
tuberkulosis.

←  Keratitis sklerotikans

Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea,


terlokalisasi, berbatas tegas unilateral yang menyertai radang sklera
atau skleritis. Kadang-kadang mengenai seluruh limbus. Kornea

xxii
terlihat putih menyerupai sklera. Diduga terjadi karena perubahan
susunan serat kolagen yang menetap.

 Keratitis disiformis

Disebut juga keratitis sawah karena banyak mengenai petani. Keratitis


memberikan kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di jaringan kornea.
Diduga merupakan reaksi alergi ataupun imunologik terhadap virus Herpes
simpleks. Selain keratitis yang dijelaskan di atas, masih terdapat beberapa jenis
keratitis lainnya:

1. Keratitis pungtata superfisial

Keratitis pungtata superfisial memberikan gambaran infiltrat halus


bertitik- titik pada permukaan kornea, memberikan hasil positif pada tes
fluorescein. Etiologinya adalah sindrom dry eye, blefaritis, keratopati,
lagoftalmus, keracunan obat topikal (neomycin, tobramycin), sinar ultraviolet,
trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.

2. Keratitis numularis atau dimmer Keratitis numularis

merupakan bentuk keratitis dengan ditemukannya infiltrat yang bundar


berkelompok dan tepinya berbatas tegas sehingga memberikan gambaran halo.
Keratitis ini berjalan lambat dan sering ditemukan pada petani sawah.

3. Keratokonjungtivitis epidemika

Keratitis ini terjadi akibat peradangan kornea dan konjungtiva yang


disebabkan oleh reaksi alergi adenovirus tipe 8. Penyakit ini dapat timbul sebagai
suatu epidemik.

4. Keratitis marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus

xxiii
akibat infeksi lokal konjungtiva. Bila tidak diobati dapat menyebabkan ulkus
kornea.

5. Keratokonjungtivitis flikten

Merupakan radang kornea dan konjungtiva yang merupakan reaksi imun


yang mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen.
Terdapat daerah berwarna keputihan yang merupakan degenerasi hialin. Terjadi
pengelupasan lapis sel tanduk epitel kornea.

6. Keratokonjungtivitis vernal

Merupakan penyakit rekuren, dengan peradangan tarsus dan konjungtiva


bilateral. Penyebab belum diketahui, namun terutama terjadi pada musim panas
mengenai anak sebelum berumur 14 tahun. Mengenai kelopak atas dan
konjungtiva pada daerah limbus berupa hipertrofi papil yang kadang-kadang
berbentuk Cobble stone.

7. Gonore

Kuman diplokokus gonore menyebabkan konjungtivitis purulenta yang


akut disertai blefarospasme. Adanya blefarospasme menyebabkan sekret yang
purulen dan penuh dengan gonokok tertumpuk di bawah konjungtiva palpebra
superior, ditambah lagi gonokok mempunyai enzim proteolitik dan hidupnya intra
seluler, sehingga dapat menimbulkan kerusakan kornea yang hebat tanpa harus
didahului dengan kerusakan epitel. Ulkus yang dibentuk dalam dan dapat
menimbulkan perforasi yang juga dapat berakhir dengan kebutaan.

8. Ulkus Mooren

Etiologinya belum diketahui, tetapi diduga autoimun. Ulkus ini termasuk


ulkus marginal. Pada 60-80% kasus unilateral dan ditandai ekstravasasi limbus
dan kornea perifer, yang sakit dan progresif, yang sering berakibat kerusakan
mata.

xxiv
3.4 GEJALA KLINIS

Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,


adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit
kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita
akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri,
sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah
dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman
kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media
untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya terutama
disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris
adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada
kornea. Pasien biasanya juga berair mata namun tidak disertai dengan
pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen.

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99%
kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopic Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri,
tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal
dapat dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk
penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya
antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks
didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas.

Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi
primer. Dengan mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,

xxv
ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus.
Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai
tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan
terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas,
stres emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, h, renjatan anafilaksis, dan
kondisi imunosupresi.

Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama,
dan meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan
angka yang lebih besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam
kurun waktu 4 bulan setelah infeksi primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan
angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun waktu 6 bulan pengamatan setelah
penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut dimungkinkan oleh perbedaan
cara pengobatan.

Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa
kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua
jenis ini tidak dapat dibedakan.

a. Gejala Klinis

Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian
pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea
umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes
lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala
infeksi herpes rekurens.

Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi


epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik

xxvi
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya foto-fobia.

b. Lesi

Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,


profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan
proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus
dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan
gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada
kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus
terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,
namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea
yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial.

Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk
penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini
terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi
ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan
kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti
halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat
ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan
keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering
menjadi dendritik khas dalam satu dua hari.

Lesi geografik Lesi dendritik

xxvii
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.

Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada


infeksi HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa
infiltrasi berarti, dan umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup
berat untuk membentuk lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat
endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh
endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi
herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh
sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda
terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi
minimal.

Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering
disertai vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-
kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring,
diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus
herpes simpleks. Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat,
apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan
ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit
herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas
herpes, namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan
oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit
virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau
fungi sekunder.

xxviii
 
Keratitis Diskiformis Lesi dengan Wessely ring

3.5 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil


pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma,
adnya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi
herpes simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan
keratitis herpetic tidak, penyakit- penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya.
Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah
memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi
imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan
penyakit ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus.

Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan


apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau
merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau.
Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan
menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi
kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin,
neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea,
edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda

xxix
yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan
respon terhadap pengobatan.

Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada


pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda – tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi
hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis
stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang
bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke
epitel kornea. Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan
kepada keratitis dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan
flouresent dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat
terlihat dengan inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial
dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan
sebuah loup dan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya
refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati – hati ke seluruh
kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat
terlihat. Berikut ini merupakan jenis keratitis dan bentuknya:

xxx
3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea

xxxi
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian
selanjutnya akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan
diagnosis dan penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan
pencitraan dengan menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan
inflamasi aktif dan periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak
begitu penting dalam penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.

3.7 PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,


menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam
mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,
rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Sebagian besar pakar
menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.Debridement epitel kornea
selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk
menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal
ini juga untuk mengurangisubepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti
keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan
virus epithelial jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat
berkurang.

Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai


dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin
atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat
yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi

xxxii
simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-
keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan
kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan
gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan
memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes
kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan
mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan
keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian steroid
dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang
infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah virus.

Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus


diawasi dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat
memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat
timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan
infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat
menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada keratitis
menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID.
Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat
mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti
halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan
menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.

Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala,


supaya dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan
palpebra, khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi. Terdapat
beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida. Namun
atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga bersifat
midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis tertentu
misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan bila telah

xxxiii
terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2 minggu
setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi cepat,
demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang lebih
cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit dan
akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan trokamida
(0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan efek maksimal dicapai
setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering dipakai untuk
melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.

Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan


lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut
gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti.
Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah
terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan
keratoplastik lamellar.

Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien


keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung
kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar
tidak terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat
juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah
memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi
bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah
transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan,
membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.

3.8 KOMPLIKASI & PROGNOSIS

Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik

xxxiv
dapat sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan
berakhir dengan pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula,
leukoma, leukoma adherens dan stafiloma kornea.

Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat
dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit lamp.

Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa
menggunakan kaca pembesar.

Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari
jarak yang agak jauh sekalipun.

Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh ketebalan


kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea (sinekia anterior).

Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai


perforasi, maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut kornea
yang disertai dengan sinekia anterior.

Bila ulkusnya lebih dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat
membahayakan mata, oleh karena timbulnya hubungan langsung dari bagian
dalam mata dengan dunia luar, sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan
menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan adanya perforasi, iris
dapat menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. Saat terjadi
perforasi, tekanan intraokular menurun.

xxxv
xxxvi
BAB III

KESIMPULAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya


infiltrat di lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya,
yaitu superfisial, interstisial dan profunda. Keratitis superfisial adalah radang
kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat
terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata
merah, rasa silau, epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.

Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda – beda tergantung dari


jenis pathogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan lampu celah. Dengan pemeriksaan lampu celah,
penatalaksanaan keratitis dapat dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan etiologi
penyebabnya.

Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk


luasnya dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan
ke jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada
jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur pathogen, dan diagnosis
serta pengobatan yang diberikan.

xxxvii
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

← Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI


Jakarta.2005. hal 147- 158

← Paul R.E, John P.W. Cornea.Vaughan & Asbury’s General


Ophthalmology Sixteenth Edition. United States Of America.
2004. hal 129-153

← Bruce J, Chris C, Anthony B. Lectures Notes Oftalmologi Edisi


Kesembilan. Blackwell Science. 2003.

← Khurana A.K. Comphrehensive Ophtalmology Fourth Edition.


New Delhi. 2007. hal 89 – 100.

← Sherwood L. Eye:Vision.Human Physiology.Sixth Edition. Hal


190-208. Thomson Higher Education. United States od
America.2007

← Fernando H. Bacterial Keratitis. Diunduh pada 25 April 2013.


Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/1194028-
overview

← American Academy of Ophthalmology. Externa disease and 


cornea. San Fransisco 2007

xxxviii
← Duane, D Thomas : Clinical Ophthalmology, Volume 4,
Philadelphia, Harper & Row Publisher, 1987.

← Grayson, Merrill : Diseases of The Cornea, Second Edition,


London, The C. V. Mosby Company, 1983.

← Ilyas, Sidarta. 2000.Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit


FKUI Jakarta :52.

← Ilyas, Sidarta. 2005. Ilmu penyakit Mata. Edisi ketiga. FKUI.


Jakarta. Hal (118-120) (147-167)

← Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit


FKUI Jakarta.

← Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi­3 jilid­1. Jakarta:


Media Aesculapius FKUI. Hal: 56

← Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non


infectious keratitis. INDIAN Journal of Opthalmology 2006
56:3;50-56

← Vaughan, Daniel. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan


Pertama. Widya Medika Jakarta, 2009

xxxix

Anda mungkin juga menyukai