Anda di halaman 1dari 49

CASE REPORT SESSION

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A217014/Agustus 2018


** Pembimbing dr. Hj. Eryasni Husni, Sp.PD. FINASIM

ANEMIA APLASTIK

OLEH
Zaujah Nurhanni Zulaisa
G1A217096

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD. RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
LEMBAR PENGESAHAN

ANEMIA APLASTIK

Oleh :
Zaujah Nurhanni Zulaisa

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Universitas Jambi
RSUD Raden Mattaher Jambi

Jambi, Agustus 2018


Pembimbing,

dr. Hj. Eryasni Husni, Sp.PD.FINASIM


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Anemia Aplastik”. Laporan ini merupakan
bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Hj. Eryasni Husni, Sp.PD.FINASIM selaku pembimbing
yang telah memberikan arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.
Sebagai penutup semoga kiranya laporan ini dapat bermanfaat bagi kita
khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Agustus 2018

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB II LAPORAN PASIEN ........................................................................ 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 13

BAB IV ANALISA KASUS ........................................................................ 35

BAB V KESIMPULAN .............................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39


BAB I
PENDAHULUAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan


penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan
produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang
diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan
dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit. Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya produksi
sumsum tulang atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer.1,2,3
Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh
Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah
menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia.
Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum
tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali
menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia
aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan
pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep
Ehrlich. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia
aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang,
tanpa adanya suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau
menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang. 1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik
diperkirakan lebih sering terjadi dinegara Timur dibanding negara Barat.
Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan faktor lingkungan
seperti peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor
genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada
penduduk Asia yang tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand
menunjukkan peningkatan paparan dengan pestisida sebagai etiologi yang
tersering.3,5
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas
merupakan salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti
kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan
aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga
diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala
subjektif, gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang.
Gejala subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi.
Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami
depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan
pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa
secara dini sangatlah penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis
kemungkinan sembuh secara spontan atau parsial semakin besar.6,7
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila
tidak dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa
berat penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap
pengobatan.8 Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan
semakin jelek. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat
mencapai 69% sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9
BAB II
LAPORAN PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Tebo
Tanggal Pemeriksaan : 18 Agustus 2018

ANAMNESIS
Keluhan utama :
Lesu dan lemas pada seluruh badan yang memberat sejak ± 3 hari SMRS.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan lesu dan lemas pada seluruh badan sejak ± 3
hari SMRS yang dirasa semakin memberat. Selain itu pasien juga sering merasa
pusing , terutama saat sedang beraktivitas , keluhan pusing sedikit menghilang
apabila pasien beristirahat.
Pasien juga mengeluhkan banyak muncul bintik-bintik merah dan berdarah
pada hampir di setiap bagian tubuh. Pasien mengatakan keluhan muncul bintik –
bintik perdarahan tersebut setelah pasien mendapatkan transfusi darah pada
tanggal 09/07/2018. Semenjak saat itu pasien mengatakan mulai banyak bintik -
bintik berdarah tersebut, selain itu pasien juga mengatakan gusinya sering
berdarah.
Pasien mengatakan sebelumnya sudah pernah 3x di rawat dirumah sakit,
karena keluhan yang sama, yaitu :
- Pada bulan 6 tahun 2017,pasien dirawat di Rumah Sakit Tebo dengan
keluhan yang sama dan didiagnosa anemia aplastik.
- Pada bulan 6 tahun 2018, pasien kembali dirawat di Rumah Sakit Tebo
dengan keluhan yang sama juga dan didiagnosa anemia aplastik, serta
pasien mengatakan saat itu Hb-nya rendah dan mendapatkan anjuran
untuk dilakukan transfusi,akan tetapi pasien tidak mendapatkan darah
yang cocok. Lalu pasien dirujuk ke RSUD Raden Mattaher Kota Jambi
dan kemudian dilakuan transfusi sebanyak dua kali (28/06/2018 dan
09/07/2018). Saat dirawat di RSUD Raden Mattaher pasien disarankan
untuk dirujuk ke Rumah Sakit M. Hosein di Palembang untuk dilakukan
pemeriksaan BMP (Bone Marrow Punction), kemudian pasien setuju
dirujuk dan pergi ke Palembang untuk melakukan pemeriksaan tersebut.
Namun pasien tidak jadi melakukan pemeriksaan BMP dikarenakan
lama menunggu antrian pemeriksaan.
Selain itu, pasien tidak mengeluhkan hal lain, BAB normal, tidak berdarah atau
BAB berwarna hitam (-) BAK normal dan tidak tampak kemerahan, nafsu makan
normal, batuk berdarah (-), mual dan muntah (-)

Riwayat penyakit dahulu :


- Riwayat dengan keluhan yang sama (-)
- Riwayat sakit kuning (-)
- DM (-), HT (-)

Riwayat penyakit keluarga :


- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)

Riwayat psikososial dan kebiasaan


- Pasien tidak bekerja dan belum menikah
- Kebiasaan minum obat-obatan warung (-)

PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis (GCS 15 E4V5M6)
- Vital sign :
o Tekanan darah : 110/60 mmHg
o Frekuensi nadi : 115x/ menit, reguler, isi dan tegangan
cukup
o Frekuensi nafas : 20x/ menit, tipe torakoabdominal
o Suhu axilla : 36,60C
o Tinggi badan : 165 cm
o Berat badan : 53 kg
o IMT : 19,4 kg/m2 (normoweight)

b. Pemeriksaan Kepala dan Leher :


- Kepala : normocephal, rambut hitam tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), Refleks Pupil
(+/+), pupil isokor, Edema Palpebra (-), gangguan pengelihatan (-
/-), Konjungtiva Bleeding (-/+)
- THT :
o Telinga : Normotia, Sekret (-/-), Nyeri Tekan Tragus (-), Serumen
(+/+) minimal
o Hidung : Sekret (-), Deviasi Septum (-), Nafas Cuping Hidung (-)
o Mulut : Mukosa Bibir Kering (-), Pucat (+), Sianosis (-), bintik
perdarahan pada bibir dan mukosa rongga mulut
o Lidah : Papil Atrofi (-), Lidah Kotor (-)
o Tenggorokan : Tonsil (T1-T1), Faring Hiperemis (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-), JVP 5+1 cmH2O

c. Pemeriksaan Thoraks
Paru :
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, penggunaan otot-otot
bantu pernapasan (-), sela iga melebar (-), spider nevi (-), jejas (-)
- Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
- Perkusi : Sonor (+/+) di kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung :
- Inspeksi : pulsasi ictus kordis terlihat di ICS V linea
midklavikularis sinistra
- Palpasi : pulsasi ictus kordis teraba tidak kuat angkat di ICS V
linea midklavikularis sinistra, luas 1 jari
- Perkusi :
o Batas Kanan : ICS V linea parasternalis dextra
o Batas Kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
o Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)

4. Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Datar , asites (-), pembesaran organ (-), venektasi
(-),
bintik-bintik perdarahan (+)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : Nyeri tekan (-) massa (-), hepar dan lien tidak
teraba, ginjal tidak teraba
- Perkusi : Tympani (+) pada seluruh lapangan abdomen,
batas peranjakan hepar adalah 3 jari

5. Punggung
- Inspeksi : Simetris
- Palpasi : Taktil fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-),
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

6. Pemeriksaan ekstremitas:
- Superior : Eritema palmar (-), Sianosis (-), pucat (+),deformitas(-
), akral dingin, ikterik (-), edema (-), CRT < 2 detik,
terdapat bintik-bintik perdarahan
- Inferior : Sianosis (-), pucat (+), deformitas (-), akral dingin,
ikterik (-), edema (-), CRT < 2 detik, terdapat bintik-
bintik perdarahan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Nilai Nilai Normal


Darah Rutin (15-8-2018)
WBC 3,36 x 109/L 4,0-10,0
RBC 1,12 x 1012/L 3,50-5,50
Hb 3 g/dL 11,0-16,0
HCT 8,4 % 36,0-48,0
PLT 2 x 109/L 100-300
MCV 75,4 fl 80,0-99,0
MCH 26,8 pg 26,0-32,0
MCHC 357 g/dL 320-360
GDS 144 mg/dL
Fungsi Ginjal (15-8-2018)
Ureum 18 mg/dl 15-39
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,9-1,3
Faal Hati (13-8-2018)
SGOT 38 u/L <37
SGPT 30 u/L <42
Elekrolit (15-8-2018)
Natrium 143,43 mmol/L 135 - 148
Kalium 3,55 mmol/L 3,5 - 5,3
Chlorida 103,66 mmol/L 98 - 110
Calcium 1,23 mmol/L 1,19 - 1,23
Pembacaan Sediaan Apus Darah Tepi (27-6-2018 di RSUD Raden Mattaher
Jambi)
Hasil :
Kesan Eritrosit : Jumlah menurun normokrom normositik
Anisositosis ringan dan Poikilositosis ringan
Kesan Leukosit : Jumlah dan bentuk dalam batas normal
Kesan Trombosit : Jumlah menurun, bentuk dalam batas normal
Penyebaran merata
Kesimpulan : Anemia Normokrom Normositik
Trombositopenia

Rontgen Thoraks AP (15-8-2018)

Kesan : Pulmo dalam batas normal


Cor dalam batas normal

DIAGNOSA KERJA
Anemia Aplastik
DIAGNOSIS BANDING
- Myelodisplasia Hiposelular
- Leukemia

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Faal Hemostasis
2. BMP
3. Flow cytometry
PENATALAKSANAAN
- Non-farmakoterapi
o Tirah baring
o Menjelaskan ke pasien tentang penyakitnya
o Diet

- Farmakoterapi
o IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
o Transfusi PRC s/d Hb ≥ 10g/dL
o PO Asam Folat 2x5mg
o PO Methylprednisolone 3x4mg
o PO Omeprazole 2x20mg

PROGNOSIS
o Quo ad vitam : Dubia ad malam
o Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
o Quo ad sanationam : Dubia ad malam

FOLLOW UP
Tgl S O A P
20/8/ Badan lemas Keadaan Umum: sakit sedang Anemia - IVFD NaCl 0,9%
2018 (+) Kesadaran : composmentis Aplastik 20 tpm
Rawa TD : 100/60 mmHg - PO Asam Folat
tan Nadi : 75x/menit 2x5mg
hari-6 Pernapasan: 20 x/menit - PO
Temperatur : 36,5 oC Methylprednisolone
Mata: konjungtiva anemis (+/+) 3x4mg
Bibir : pucat (+) - PO Omeprazole
Pulmo : simetris, vesikuler (+/+), 2x20mg
rhonki (-), wheezing (-) - Transfusi PRC
Cor : Gallop (-), murmur (–) 750cc (kolf I,II,III)
Perut: bintik perdarahan (+)
Ekstremitas: pucat (+), ikterik (-
), edema (-),CRT < 2 detik, bintik
perdarahan (+)
21/8/ Badan lemas Keadaan Umum: sakit sedang Anemia - IVFD NaCl 0,9%
2018 (+) Kesadaran : composmentis Aplastik 20 tpm
Rawa Gusi berdarah TD : 100/70 mmHg - PO Asam Folat
tan (-) Nadi : 74x/menit 2x5mg
hari-7 Pernapasan: 21 x/menit - PO
Temperatur : 36,7 oC Methylprednisolone
Mata: konjungtiva anemis (+/+) 3x4mg
Bibir : pucat (+) - PO Omeprazole
Pulmo : simetris, vesikuler (+/+), 2x20mg
rhonki (-), wheezing (-) - Transfusi PRC
Cor : Gallop (-), murmur (–) 250cc (kolf IV)
Perut: bintik perdarahan (+)
Ekstremitas: pucat (+), ikterik (-
), edema (-),CRT < 2 detik, bintik
perdarahan (+)
22/8/ Badan lemas Keadaan Umum: sakit sedang Anemia - IVFD NaCl 0,9%
2018 (+) Kesadaran : composmentis Aplastik 20 tpm
Rawa TD : 110/70 mmHg - PO Asam Folat
tan Nadi : 80x/menit 2x5mg
hari-8 Pernapasan: 20 x/menit - PO
Temperatur : 36,8 oC Methylprednisolone
Mata: konjungtiva anemis (+/+) 3x4mg
Bibir : pucat (+) - PO Omeprazole
Pulmo : simetris, vesikuler (+/+), 2x20mg
rhonki (-), wheezing (-)
Cor : Gallop (-), murmur (–)
Perut: bintik perdarahan (+)
Ekstremitas: pucat (+), ikterik (-
), edema (-),CRT < 2 detik, bintik
perdarahan (+)
23/8/ Badan lemas Keadaan Umum: sakit sedang Anemia - IVFD NaCl 0,9%
2018 (+) Kesadaran : composmentis Aplastik 20 tpm
Rawa TD : 130/60 mmHg - PO Asam Folat
tan Nadi : 78x/menit 2x5mg
hari-9 Pernapasan: 22 x/menit - PO
Temperatur : 36,3 oC Methylprednisolone
Mata: konjungtiva anemis (+/+) 3x4mg
Bibir : pucat (+) - PO Omeprazole
Pulmo : simetris, vesikuler (+/+), 2x20mg
rhonki (-), wheezing (-) - Transfusi PRC
Cor : Gallop (-), murmur (–) 250cc (kolf V)
Perut: bintik perdarahan (+)
Ekstremitas: pucat (+), ikterik (-
), edema (-),CRT < 2 detik, bintik
perdarahan (+)
24/8/ Badan lemas Keadaan Umum: sakit sedang Anemia - IVFD NaCl 0,9%
2018 (+) Kesadaran : composmentis Aplastik 20 tpm
Rawa Gusi berdarah TD : 130/90 mmHg - PO Asam Folat
tan (-) Nadi : 61x/menit 2x5mg
hari- Pernapasan: 20 x/menit - PO
10 Temperatur : 35,6 oC Methylprednisolone
Mata: konjungtiva anemis (+/+) 3x4mg
Bibir : pucat (+) - PO Omeprazole
Pulmo : simetris, vesikuler (+/+), 2x20mg
rhonki (-), wheezing (-) - Cavit D3 3x1
Cor : Gallop (-), murmur (–) - Transfusi PRC
Perut: bintik perdarahan (+) 250cc (kolf VI)
Ekstremitas: pucat (+), ikterik (-
), edema (-),CRT < 2 detik, bintik
perdarahan (+)
25/8/ Badan lemas Keadaan Umum: sakit sedang Anemia - IVFD NaCl 0,9%
2018 berkurang Kesadaran : composmentis Aplastik 20 tpm
Rawa Mual (-) TD : 110/60 mmHg - PO Asam Folat
tan Muntah (-) Nadi : 60x/menit 2x5mg
hari- BAB dan Pernapasan: 22 x/menit - PO
11 BAK normal Temperatur : 36 oC Methylprednisolone
Mata: konjungtiva anemis (+/+) 3x4mg
Bibir : pucat (+) - PO Omeprazole
Pulmo : simetris, vesikuler (+/+), 2x20mg
rhonki (-), wheezing (-) - Cavit D3 3x1
Cor : Gallop (-), murmur (–) - Transfusi PRC
Perut: bintik perdarahan (+) 250cc (kolf VII)
Ekstremitas: pucat (+), ikterik (-
), edema (-),CRT < 2 detik, bintik
perdarahan (+)
27/8/ Badan lemas Keadaan Umum: sakit sedang Anemia Pasien pulang
2018 berkurang Kesadaran : composmentis Aplastik
Rawa TD : 120/70 mmHg
tan Nadi : 68x/menit
hari- Pernapasan: 18 x/menit
12 Temperatur : 36 oC
Mata: konjungtiva anemis (-/-)
Bibir : pucat (-)
Pulmo : simetris, vesikuler (+/+),
rhonki (-), wheezing (-)
Cor : Gallop (-), murmur (–)
Perut: bintik perdarahan (+)
Ekstremitas: pucat (-), ikterik (-),
edema (-),CRT < 2 detik, bintik
perdarahan (+)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada
anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang
sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia,
monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh
sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia
progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia
hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1

3.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh
dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik
berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun.9 The
Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi
anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua
terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di
Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4
kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di
Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di
negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan
dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia
toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak
ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.5
3.3 Klasifikasi
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Klasifikasi menurut kausa2 :
a. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-
kira 50% kasus.
b. Sekunder : bila kausanya diketahui.
c. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan,
misalnya anemia Fanconi
2. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat
tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10
Klasifikasi Kriteria
Anemia aplastik berat < 25%
 Selularitas sumsum tulang  Hitung neutrophil < 500/µL
 Sitopenia sedikitnya dua dari 3  Hitung trombosit < 20.000/µL
sel darah  Hitung retikulosit absolut <
60.000/µL
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti diatas kecuali hitung
neutrophil
< 200/µL
Anemia aplastik tidak berat Pasien yang tidak memenuhi
kriteria anemia aplastik berat atau
sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan
memenuhi dua dari tiga kriteria
berikut :
 netrofil < 1,5x109/L
 trombosit < 100x109/L
 hemoglobin <10 g/dL
3.4 Etiologi
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.
Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti
penyebabnya tidak diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan
infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12


Aquired Aplastic Anemia
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
 Bahan-bahan sitotoksik
 Benzene
Reaksi Idiosinkratik
 Kloramfenikol
 NSAID
 Anti epileptik
 Emas
 Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
 Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
 Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
 Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
 Human Immunodeficiency Virus
Penyakit-penyakit Imun
 Eosinofilik fascilitis
 Hipoimunoglobulinemia
 Timoma dan carcinoma timus
 Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal Nokturnal Hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Inherited Aplastic Anemia
Anemia Fanconi
 Diskeratosis kongenital
 Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

3.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari
radiasi dimana stem cell dan sel progenitor rusak. Radiasi dapat merusak
DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan
hematopoiesis sangat sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena
maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma
sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi,
dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi
berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa
tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak
mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima
radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima.
Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv
(ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah
dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv
(100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada
dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan
kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali
pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang
dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13
3.4.2 Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan
dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML).
Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat
juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan
kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13
3.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau
dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia
aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering
menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain
yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur,
emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran
atau nitrosourea.2

Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9


Resiko
Kategori Resiko Tinggi Resiko Rendah
Menengah

Analgesik Fenasetin, aspirin,


salisilamide
Anti aritmia Kuinidin, tokainid
Anti arthritis Garam Emas Kolkisin
Anti konvulsan Karbamazepin, Etosuksimid,
hidantoin, Fenasemid, primidon,
felbamat trimethadion, sodium
valproate
Anti histamine Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin
Anti hipertensi Captopril, methyldopa
Anti inflamasi Penisillamin, Diklofenak, ibuprofen,
fenilbutazon, indometasin, naproxen,
oksifenbutazon sulindac
Anti mikroba
Anti bakteri Kloramfenikol Dapsone, metisillin,
penisilin, streptomisin,
β-lactam antibiotik
Anti fungal Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa Kuinakrine Klorokuin, mepakrin,
Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
Anti metabolit Fluorourasil,
mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone
Anti platelet Tiklopidin
Anti tiroid Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
Sedative dan Klordiazepoxide,
tranquilizer Klorpromazine (dan
fenothiazin yang lain),
lithium, meprobamate,
metiprilon
Sulfonamid dan turunannya
Anti bakteri Numerous sulfonamides

Diuretik Acetazolamide Klorothiazide,


furosemide
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide
Lain-lain Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko
tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko
menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah.

3.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus
hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan
penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai
dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang
diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis
seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat
menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik
kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada
pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing
antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat
terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada
sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang
trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang
secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau
secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses
autoimun yang menyebabkan pengurangan stem cell dan progenitor cell
atau destruksi jaringan stroma penunjang.4

3.4.5 Faktor Genetik


Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional
dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya
anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif
yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat
dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan
seksual, kelainan ginjal dan limpa.2
3.4.6 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
Anemia aplastik dapat juga ditemukan pada keadaan/penyakit lain, seperti:
a. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan
pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang.2
b. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik.
Hemolisis disertai pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH.2
c. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah
dilaporkan, tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada
beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang
telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah
melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan
dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan
berikutnya.9

3.5 Patogenesis
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia
aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia
Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia
aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan
kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi.
Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan
reaksi autoimun terhadap stem sel.11
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia
aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan
penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif
(mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu.
Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi
terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous
leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks
yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan
perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi,
contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker
payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi
menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA
masih belum diketahui dengan pasti.11
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene.
Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga
menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.11
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun
mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik.
Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit
sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem
sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang
terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang
kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).11

3.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisik


Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan
gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia
eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala
anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi,
pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan
granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka
terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik
bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di
organ-organ.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik
yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam
atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada
pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel
4). Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing
merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.

Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70)2


Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak napas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

Pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik pun sangat


bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua
pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari
setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-
macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali
tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.2

Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2


Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Perdarahan 63
 Kulit 34
 Gusi 26
 Retina 20
 Hidung 7
 Saluran cerna 6
 Vagina
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

3.7 Pemeriksaan Penunjang


3.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu
ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak
disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau
leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis
sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit.
Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah
neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3
menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari
200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara
kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari
eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik
anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada
beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang
berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau
amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi
sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat
ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan
biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat
adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia
aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik
konstitusional.2
Plasma darah biasanya mengandung growth factor
hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang
menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat
dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke
eritrosit yang bersirkulasi.9
b. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula
dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel
hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin
menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain
daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan
kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan
normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik
ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan
hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah
perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual
hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi
dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan
kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau
jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia
aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau
kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat
pada sumsum tulang.9

Gambar 3. A) Sumsum Tulang Normal, B) Sumsum Tulang


pada pasien dengan Anemia Aplastik

3.7.2 Pemeriksaan Radiologi


Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya
perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum
tulang berlemak dan sumsum tulang berselular.2
Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning
tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang
akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang
akan terikat pada transferrin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat
ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna
pemeriksaan sitogenik atau kultur sel-sel induk.2
3.8 Diagnosa3,9,10
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia
disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan
hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat
derajat anemia aplastik (lihat Tabel 1).

3.9 Diagnosa Banding


Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai
dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Penyebab Pansitopenia14
Kelainan Sumsum Tulang
Anemia Aplastik
Myelodisplasia
Leukemia Akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif
 Limfoma
 Myeloma
 Carsinoma
 Hairy cell leukemia
Anemia Megaloblastik
Kelainan bukan Sumsum Tulang
Hiperspelinsme
Systemic Lupus Eritematosus
Infeksi : Tuberculosis, AIDS, Leishmaniasis, Brucellosis

Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat


yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen
kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang.
Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah
yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali
pseudo-Pelger-Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada
myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang
patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia
aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat
granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus
abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia
aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel
blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang.
Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali,
dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik.
Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan
adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum
tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya
disebabkan oleh systemic lupus eritematosus (SLE), infeksi atau
hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas
membedakannya dengan anemia aplastik.

3.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi
akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk
menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk
memperbaiki keadaan pasien yaitu :9
 Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang
diduga menjadi penyebab anemia aplastik.
 Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang
dibutuhkan.
 Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit
sesuai yang dibutuhkan.
 Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia
berat.
 Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila
organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus
yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
(misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan
transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
 Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan


yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG,
siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi
sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang
cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau
beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien
paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang.
Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang
lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease).
Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk
panduan penatalaksanaan anemia aplastik.2
Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.2

a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit
berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih
pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular.2
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari
20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan
atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada
mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit
konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti
dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).2
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih
kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih
parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan
sangat pendek.2
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah
antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin
(ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan
pada2 :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan
pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan
atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan
pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell
immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak
langsung terhadap hemopoiesis.2
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG
dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu
diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan
proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.2 Sebuah protokol
pemberian ATG dapat dlihat pada Tabel 8.11

Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11


Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal
pada lengan dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada
lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat
diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
 Asetaminofen 650 mg peroral
 Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
 Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
 Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan
dengan ATG dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila
tidak terjadi serum sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.
 Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai
respon maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih
lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih mendapatkan dosis
siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat
kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti


predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon
memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik
berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka
remisi sebesar 46%.2

Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan


bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena
stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang
tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar
tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif
daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini
pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang
melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin.9 Pemberian
dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif
yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi.
Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama
respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG
adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1
tahun setelah terapi ATG.2
c. Terapi Penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang,
pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian
steroid anabolik.2
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat
berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah
penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus
kedua ATG kelinci.2
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti
Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk
meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia
aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating
factor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan
hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas
terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif
telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang
refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan
pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.2,11
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi
eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti
bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada anemia aplastik
berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi
penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.2,9
d. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada
pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara
dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang
allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30%
pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia
untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-45 tahun lebih baik bila
mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur,
makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan
sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD).2 Pasien
dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek
dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10

Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan


transplantasi sumsum tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok
hubungannya dengan umur.10

Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang


memiliki survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan
terapi imunosupresif.10 Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang
gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian
transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi
survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun
telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien
yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali
diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen
darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan
potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk
mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena
antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.2
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow
Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut2 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya
2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit
dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.

3.11 Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit.
Jumlah absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah
netrofil kurang dari 500/L (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia
aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari 200/L (0,2x109/liter) dikaitkan
dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang jelek bila
transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki
respon yang lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional
merespon sementara terhadap androgen dan glukokortikoid akan tetapi
biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien
yang berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40
tahun dan sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya,
sebanyak 40% pasien yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum
tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan
kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada
pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi,
belum mendapatkan dan belum tersensitisasi dengan produk sel darah serta
tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa
pasien setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang
kemudian mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga
akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal
hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia
pada 40% pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif.
Pada 168 pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar
69% yang bertahan selama 15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan
terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal
yang sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid
memiliki toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih
lambat walaupun memiliki remisi yang lebih bertahan lama.
BAB IV
ANALISA KASUS

Tn. S (21 Tahun), masuk ke RS dengan keluhan utama Lesu dan lemas pada
seluruh badan yang memberat sejak ± 2 hari SMRS. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan anemia
aplastik.
Pasien awalnya sering merasa lesu dan lemas pada seluruh badan yang
kemudian dirasakan semakin memberat. Selain itu pasien juga sering merasa
pusing , terutama saat sedang beraktivitas , keluhan pusing sedikit menghilang
apabila pasien beristirahat. Pasien juga mengeluhkan banyak muncul bintik-bintik
merah dan berdarah pada hampir di setiap bagian tubuh. Pasien mengatakan
keluhan muncul bintik – bintik perdarahan tersebut setelah pasien mendapatkan
transfusi darah. Semenjak saat itu pasien mengatakan mulai banyak bintik -bintik
merah tersebut, selain itu pasien juga mengatakan gusinya sering berdarah.
Pasien sebelumnya sudah pernah 3x di rawat dirumah sakit, karena keluhan
yang sama. Pertama pada bulan 6 tahun 2017,pasien dirawat di Rumah Sakit Tebo
dengan keluhan yang sama dan didiagnosa anemia aplastik. Kemudian pada bulan
6 tahun 2018, pasien kembali dirawat di Rumah Sakit Tebo dengan keluhan yang
sama juga dan didiagnosa anemia aplastik, serta pasien dirujuk ke RSUD Raden
Mattaher Kota Jambi dan kemudian dilakuan transfusi sebanyak dua kali
(28/06/2018 dan 09/07/2018). Saat dirawat di RSUD Raden Mattaher pasien
disarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit M. Hosein di Palembang untuk
dilakukan pemeriksaan BMP (Bone Marrow Punction), kemudian pasien setuju
dirujuk dan pergi ke Palembang untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Namun
pasien tidak jadi melakukan pemeriksaan BMP dikarenakan lama menunggu
antrian pemeriksaan. Buang air besar dan kecil baik, mual (-) dan muntah (-).
Dari pemeriksaan fisik penemuan bermakna yaitu: TD 110/60 mmHg, HR
115x/menit, konjungtiva anemis (+/+), terdapat konjungtiva bleeding di oculi
sinistra dan terdapat ptekie pada perut dan ekstremitas, serta ekstremitas superior
dan inferior tampak pucat. Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
darah rutin berupa leukopenia (3,36 x 109/L), anemia (RBC: 1,12 x 1012/L; Hb: 3
g/dL; MCV: 75,4 fL; MCH: 26,8 pg; MCHC; 357 g/dL), trombositopenia (2 x
109/L). Kesimpulan hasil pembacaan sediaan apus darah tepi terrdapat anemia
normokrom normositik dan trombositopenia. Dari hasil foto rontgen Thoraks
tidak tampak adanya kelainan pada pulmo dan cor.
Pada kasus ini sangat sulit ditentukan causa anemia aplastiknya, karena
pasien tidak memiliki faktor resiko yang berpengaruh, serta tidak dijumpai adanya
riwayat dalam keluarga, sehingga dapat tergolong anemia aplastik idiopatik.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis anemia yaitu pasien tampak
pucat, mukosa konjungtiva anemis dan tanda trombositopenia berupa petekie
yang tambah di seluruh tubuh disertai dengan gusi berdarah. Pada pasien ini juga
tidak ditemukan adanya organomegali. Namun untuk menegakkan diagnosa
secara pasti, perlu dilakukan pemeriksaan BMP.
Pengobatan pada pasien ini hanya berupa terapi suportif, yaitu melakukan
transfusi darah. Selama perawatan pasien mendapat transfusi PRC sebanyak 7
kolf. Pasien juga mendapat obat peroral berupa asam folat, methylprednisolone
dan omeprazole. Setelah mendapat perawatan selama 12 hari di Rumah Sakit,
keadaan pasien sudah cukup stabil dan kemudian dipulangkan.
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak
dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat
penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.8
Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek.
Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69%
sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9
BAB V
KESIMPULAN

Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh


kegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan
komponen selular pada darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan
jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit).
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus,
dan terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang
diturunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia
aplastik merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari
pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-
gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi,
pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis (granulositopenia)
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir
atau pendarahan di organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung dari sel
mana yang mengalami depresi paling berat.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi
PRC dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi
infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi
standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi
sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi
sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya
ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia
pasien, ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum
tulang allogenik serta apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif
sebelum tranplantasi sumsum tulang.
DAFTAR PUSTAKA

1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee
GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-
London: Lee& Febiger, 1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Kelima. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2009;1116-26.
3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in http://www.emedicine.com/med/
topic162.htm
4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia-An
experience of 89 Cases.2004;18(1):76-9
6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003.
Jakarta. Q-communication, 1997;6.
7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101.
8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. N
Engl J Med.1997;336(19):1365-72
9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al
(eds). Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing,
2005;190-206.
11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey:
Humana Press, 2007 ;207-16.
12. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 18th ed. New York: McGraw Hill, 2011:617-25.
13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New
York: Lange McGraw Hill, 2005.
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2013;510-

Anda mungkin juga menyukai