Anda di halaman 1dari 28

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSJD Atma Husada Mahakam

GANGGUAN DEPRESI BERAT

Oleh

Siti Saleha

1710029039

Pembimbing
dr. H.Jaya Mualimin, Sp.KJ., M.Kes., MARS

LAB / SMF KESEHATAN JIWA


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSJD Atma Husada Mahakam
2019

1
GANGGUAN DEPRESI BERAT

Oleh

Siti Saleha
NIM. 1710029039

Dipresentasikan pada Juni 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. H. Jaya Mualimin, Sp.KJ, M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang
penguasa seluruh alam, karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat
menyelesaikan tutorial klinik yang berjudul gangguan depresi berat ini tepat pada
waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang


episode depresi, dan bagaimana menghadapi masalah ini dalam praktik kedokteran.

Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. H. Jaya Mualimin,


Sp. KJ, M.Kes, selaku pembimbing penulis atas segala bantuan dan bimbingan dalam
menyelesaikan makalah ini.

Oleh karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kepustakaan, penulis


mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat menjadi masukan yang berarti dalam perbaikan
proses pembelajaran.

Samarinda, Juni 2019

Penulis

3
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Data Medis Pasien


A. Identitas Pasien :
1. Nama : Ny. A
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 36 tahun
4. No. RM : 2019 09 0123
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Agama : Islam
7. Status Pernikahan : Menikah
8. Pendidikan : SMP
9. Alamat : Jl. Sultan Hasanudin, Selili
10. Tanggal Pemeriksaan : 14 Juni 2019
B. Identitas Penanggung Jawab :
1. Nama : Ny. K
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Hubungan : Ibu Kandung
C. Riwayat Psikiatri :
1. Resume Poli Psikiatri
Pasien datang bersama ibunya ke Poliklinik Atma Husada Mahakam
Samarinda pada tanggal 14 Juni 2019 untuk melakukan pemeriksaan
Keluhan Utama : Susah tidur dan tidak bersemangat selama ± 4 bulan

2. Riwayat Penyakit Sekarang


1) Autoanamnesis
Pasien wanita, duduk di depan pemeriksa dengan penampilan tampak kurang
rapi, tenang, kooperatif dan terlihat lesu.

4
DM : Selamat pagi mbak, perkenalkan saya Saleha dokter muda yang
bertugas hari ini. Dengan mbak siapa saya berbicara?
Ny.A : Pagi mbak, nama saya ibu A
DM : Ada yang bisa saya bantu bu?
Ny.A : iya mbak ini saya datang karena susah tidur dan tidak ingin
melakukan apapun, tidak semangat, lemas mbak
DM : Baik bu, keluhan ini sudah berapa lama dan apakah ada keluhan
tambahan bu?
Ny.A : Iya mbak jadi saya sudah sekitar 4 bulan ini merasa sulit tidur.
Keluhan lain palingan pusing, badan pegal-pegal, sakit punggung
DM : Boleh diceritakan bu bagaimana sulit tidurnya? Apakah sulit
memulai tidur atau sebentar bentar terbangun dari tidur?
Ny.A : Saya sulit untuk memulai tidur, sebentar-bentar terbangun dari tidur
mbak dan ketika sudah bangun terasa sulit untuk memulai tidur kembali jadi
bangun sampai subuh
DM : Apakah sebelum 4 bulan ini pernah mengalami keluhan serupa bu?
Nn. R : Tidak mbak baru 4 bulan ini jadi mengalami sulit tidur. Badan saya
terasa lemas, tidak mau melakukan apapun, hanya diam merenung di kamar,
katanya sih saya banyak melamun.
DM : Ibu kan mengalami keluhan ini sejak 4 bulan yang lalu ya, boleh
diceritakan bagaimana keluhan awalnya?
Ny. A : Boleh mba, jadi saya awal kejadiannya itu sekitar 4 bulan yang lalu.
Saya ada masalah dengan suami saya. Saya berkelahi dengan suami saya dan
saya dipukul mba. Saat setelah kejadain tersebut saya hanya diam tidak
menceritakan apapun dan pada siapapun tentang perilaku suami saya terhadap
saya.
DM : Setelah itu bagaimana bu ?
Ny.A : Setelah itu saya jadi tidak semangat, mengurung diri di kamar, tidak
ada mau ngelakukan apa-apa, hanya melamun di kamar, diajak ngobrol saya
diam saja.

5
DM : Setelah ibu mengurung diri di kamar apakah ada orang lain yang tau
mengenai keadaan ibu ?
Ny.A : Awalnya tidak ada mbak, karena saya hanya tinggal di kontrakan
bersama suami saya. Tapi ibu saya datang ke kontrakan saya, dan melihat
keadaan saya. Setelah itu saya di bawa pulang ke rumah ibu.
DM : Mohon maaf sebelumnya bu, saya ingin menyakan apakah ibu dari
dulu jarang menceritakan tentang kehitdupan ibu pada orang lain?
Ny. A : Saya emang sedikit pendiam mbak gak terlalu suka bergaul. Tapi
kadang saya cerita ke orang yang dekat dengan saya, dan itu sudah daridulu
mbak dan gak bikin saya jadi gak pengen ngapa-ngapain yang bikin saya jadi
gak mau ngapa-ngapain, makin diam itu setalah saya berkelahi dan dipukul
dengan suami saya.
DM : Baik bu.Bagaimana dengan aktivitas sehari hari seperti makan,
minum, dan mandi bu? Apakah masih dilakukan secara mandiri?
Ny. A : saya merasa nafsu makan saya tidak ada mbak jadi malas untuk
makan, makan jika disuruh atau diingatkan orang rumah, rasanya tidak
bersemangat sekali. Tapi kalau lapar sekali saya masih makan. Ini badan saya
jadi semakin kurus mba. Kalau mandi saya jarang lakukan karena saya merasa
lelah untuk keluar kamar.
DM : Ibu, saya ingin menanyakan hal yang bersifat pribadi apakah
diizinkan?
Ny.A :Hmm…tentang apa itu mbak?
DM : Untuk jadwal datang bulan ibu apakah teratur atau terganggu selama
4 bulan terakhir ini ?
Ny.A : ….Jadwal datang bulan saya jadi tidak teratur mba sejak saya ada
masalah
DM : Seperti itu ya bu. Baik bu, saya tanya yang lainnnya lagi ya bu?
Ny.A : Iya mba….
DM : apakah ibu ada keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau orang
lain?

6
Ny. A : Tidak ada mbak saya tidak pernah menyakiti diri sendiri dan juga
saya tidak pernah ada keinginan untuk menyakiti orang lain,
DM : Mohon maaf sebelumnya ibu, kalau keinginan untuk bunuh diri
apakah pernah ?
Ny.A : Hmm..tidak mbak saya tidak pernah ingin bunuh diri mbak
DM : Kalau perasaan bersalah tentang kejadian ini ada bu?
Ny.A : Saya merasa bersalah ketika melihat anak saya, jadi korban
orangtuanya, jadi sedih. Takut dia benci saya pas sudah gede nanti.
DM : Apakah ibu A ada mendengar bisikan-bisikan yang tidak didengar
orang lain?
Ny. A : Tidak mbak, tidak ada dan tidak pernah
DM : Apakah ibu pernah melihat sesuatu yang orang lain tidak melihatnya?
Ny. A : Tidak pernah mbak
DM : Saat ini kan mbak sedang merasa sedih, apakah ibu A pernah
mnegalami periode sangat bersemangat, emosinya menggebu-gebu?
Ny. A : Tidak ada mbak. Dari kejadian 4 bulan lalu saya hanya merasa sedih,
tidak bersemangat saja mba. Malahan tidak pernah ada emosi bergebu-gebu,
seperti kehilangan minat untuk apapun mbak.
DM : Untuk keluhan ini, apakah ibu pernah berobat sebelumnya?
Ny.A : Tidak mbak, saya belum pernah berobat sebelunya. Ini baru pertama
kali saya ke dokter
DM : Untuk pergi ke dokter ini, apakah keinginan ibu atau bukan ?
Ny.A : Saya merasa saya sakit mbak,saya mau berobat karena gak nyaman
rasanya seperti ini
DM : Ibu A aktivitas sehari harinya saat ini apa? Apakah bekerja?
Ny.A : Saya sekarang tidak kerja mba
DM : Baik bu, kalau boleh saya tau pendidikan terakhirnya?
Ny. A : SMP mbak
DM : Ibu tadi ibu kesini naik apa? Berangkat dari rumah pukul?

7
Ny. A : Naik motor mbak sama ibu saya dari rumah ke rumah sakit jiwa
sekitar jam 8 pagi.
DM : Baik ibu A apakah ada yang ingin ditanyakan atau di sampaikan lagi?
Ny. A : Tidak ada mba
DM : Baik Ibu A terimakasih atas kerjasamanya, selamat pagi
Ny. A : Sama-sama mbak, pagi mbak

2) Heteroanamnesis
Pasien datang dengan ditemani ibunya. Ibu pasien mengatakan pasien
selama kurang lebih 4 bulan ini sulit tidur. Pasien sering mondar-mandir di
dalam rumah, bicara sendiri kadang apa yang dibicarakan oleh pasien tidak
nyambung, serta pasien mengalami kesulitan untuk memulai tidur. Keluhan
tersebut mulai timbul, sejak pasien mengalami masalah dalam rumah
tangganya (berkelahi dan dipukul oleh suaminya) namun pasien tidak
langsung menceritakan kejadian tersebut kepada siapaun.
Ibu pasien mengaku, setelah kejadian itu pasien pelan pelan mengalami
penurunan minat,yaitu pasien hanya diam jika ditanya atau diajak bercerita,
lebih banyak mengurung diri dirumah dibandingkan bergaul keluar rumah
dengan tetangga sekitar rumahnya. Pasien saat ini telah kembali tinggal
berssama ibunya. Sebelumnya setelah menikah dengan suaminya, tidak lagi
tinggal bersama orangtuanya. Pasien tinggal di kontrakan bersama dengan
suaminya, jarak tempat tinggal antara rumah ibu pasien dengan pasien sekitar
10km. Pasien kadang mengunjungi rumah orang tuanya setelah menikah,
sehingga antara ibu pasien juga sering mengunjungi rumah anaknya. Sejak
pasien remaja pasien memang tidak banyak menceritakan kehidupan
pribadainya pada orang lain.
Selain keluhan diatas, menurut ibu pasien juga mulai tidak mau pergi
bekerja/beraktifitas sehari-hari, jadi pasien hanya di rumah duduk, diam,
merenung. Sehingga, kegiatan sehari hari yang dilakukan pasien lebih banyak
mengurung diri di kamar duduk dengan pandangan kosong, terkadang sesekali

8
anak pasien melihat bahwa pasien gelisah dan berjalan mondar mandir. Untuk
makan, minum, mandi pasien melakukannya sendiri namun tidak rutin.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keturunan di dalam keluarga pasien, baik
yang memiliki tanda-tanda atau gejala seperti pasien maupun kelainan medis
yang lain.
5. Gambaran Premorbid
Pasien adalah orang yang tertutup untuk bercerita dengan keluarga jika
memiliki masalah
6. Faktor Pencetus
Masalah keluarga (berkelahi dan dipukul oleh suaminya)
7. Genogram

Perempuan

Laki

Pasien

8. Riwayat Pribadi
1) Masa kanak-kanak awal (0-3tahun)
- Riwayat prenatal, kehamilan ibu, dan kelahiran:

9
Pasien dikandung selama 9 bulan. Pasien lahir secara spontan
pervaginam. Tidak ada penyulit selama kehamilan dan persalinan.Berat
dan panjang badan lahir normal

- Kebiasaan makan dan minum:


Pasien mendapatkan ASI selama 1 tahun 6 bulan dan tidak berbeda
dengan anak-anak yang lain.
- Perkembangan awal:
Keluarga pasien mengatakan bahwa selama bayi, pasien dalam
keadaan sehat dan tidak ada riwayat trauma dan kejang demam.
Pertumbuhan dan perkembangannya normal seperti anak lainnya tumbuh
kembang pasien normal sesuai usia. Tidak ada terlambat bicara maupun
berjalan.

2) Masa kanak-kanak pertengahan (3-11 tahun)


- Pasien menghabiskan masa kanak-kanak bersama keluarganya
- Hubungan pasien dengan saudara cukup baik
- Pasien merupakan pribadi yang pendiam dan pemalu
3) Masa kanak-kanak akhir (Pubertas sampai remaja)
- Hubungan pasien dengan teman sebaya:
Hubungan dengan keluarga dan teman sekitar baik. Pasien cenderung
menyendiri
- Riwayat sekolah:
Pasien bersekolah hingga tamat SMP. Pasien tidak memiliki masalah
berkaitan dengan pelajaran selama bersekolah
4) Masa dewasa
- Riwayat pekerjaan
Setelah lulus SMP pasien bekerja menjaga counter HP didekat
rumahnya. Setelah menikah pasien tidak bekerja.
- Aktivitas sosial

10
Pasien kenal dengan tetangga sekitar namun tidak akrab karena pasien
lebih senang menyendiri di rumah
9. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Penampilan kurang rapi, tenang, kooperatif, dan
tampak lesu
2) Kesadaran : Composmentis
3) Tanda vital : TD=120/80 mmHg, N=88x/menit,
RR= 18x/menit, t= 36,8oC
4) Kepala : Ikterus (-/-), sianosis (-/-), anemis (-/-)
5) Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB, benjolan (-)
6) Dada : Simetris kiri & kanan
7) Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
8) Paru : Bronkovesikular (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
9) Perut : Soefl, bising usus normal
10) Anggota gerak : Akral hangat, CRT<2 detik, ekstremitas lengkap
10. Status neurologis
1) GCS : E4 V5 M6
2) Refleks fisiologis : Tidak dievaluasi
3) Refleks patologis : Tidak dievaluasi
4) Meningeal sign : Tidak dievaluasi

11. Pemeriksaan Psikiatrik


1) Kesan Umum : Tampak kurang rapi, kooperatif, tenang, lesu
2) Kontak : Verbal (+) menurun, visual (+)
3) Kesadaran : Komposmentis
4) Orientasi : Orientasi waktu (+), tempat (+), orang (+)
5) Atensi/Konsentrasi : Atensi (+)
6) Emosi/Afek : Anhedonia, afek depresif (+)
7) Proses Berpikir : Koheren lambat, waham (-)
8) Intelegensi : Cukup

11
9) Persepsi : halusinasi (-)
10) Psikomotor : Dalam batas normal
11) Kemauan : Menurun
12) Tilikan : 6 (pasien menyadari sepenuhnya tentang apa
yang terjadi pada dirinya disertai motivasi untuk mencapai perbaikan)
12. Wawancara Diagnostik Psikiatrik Tambahan
Pemeriksaan HDRS (Hamilton Depression Rating Scale)
SKORING HDRS
NO Aspek-Aspek HDRS Nilai
1 Keadaan perasaan depresi 4
2 Perasaan bersalah 2
3 Bunuh diri 0
4 Insomnia (initial) 2
5 Insomnia (middle) 2
6 Insomnia (late) 2
7 Kerja dan kegiatannya 4
8 Kelambanan 3
9 Kegelisahan/ agitasi 1
10 Ansietas somatik 0
11 Ansietas psikis 0
12 Gejala somatik gastrointestinal 2
13 Gejala somatik umum 2
14 Genital 2
15 Hipokondriasis 0
16 Kehilangan berat badan ( A atau B) 2
17 Insight (pemahaman diri) 1
18 Variasi lain 3
19 Depersonalisasi dan derealisasi 1
20 Gejala-gejala paranoid 2

12
21 Gejala-gejala obsesi dan kompulsi 0
Total 35
Interpretasi Depresi Berat
Skor HDRS adalah 35, maka termasuk dalam kategori depresi berat

13. Ringkasan Penemuan


 Keluhan suliit tidur sejak 4 bulan yang lalu, Pasien susah memulai tidur
dan sering terbangun pada malam hari serta apabila sudah terbangun
pasien jarang tidur kembali.Pasien juga mengeluhkan selalu merasa lelah,
kurang bersemangat, nafsu makan menurun, menjadi pendiam, melamun.
 Hubungan dengan suami kurang harmonis.
 Pada status psikiatri ditemukan: pasien tampak kurang rapi, kooperatif,
kesadaran komposmentis dengan atensi menurun dan orientasi baik,
kontak verbal, non verbal, maupun visual menurun, anhedenia dan afek
depresif, proses pikir koheren lambat,tidak ada waham, kemauan menurun
dan psikomotor dalam batas normal.
 Pada pemeriksaan dengan HDRS ( Hamilton Depression Rating Scale )
didapatkan skor 37 yang termasuk depresi berat

14. Diagnosis Multiaksial


Axis I : F.32.2 Episode Depresif berat tanpa gejala psikotik
Axis II : Gangguan Kepribadian Menghindar
Axis III : Tidak ada diagnosis
Axis IV : Masalah dengan keluarga
Axis V : GAF scale 60-51
15. Penatalaksanaan
1) Non farmakologi
- Psikoedukasi keluarga
- Psikoterapi suportif
2) Farmakologi

13
- Sertraline 1x50mg
16. Prognosis
Dubia ad bonam jika:
 Pasien minum obat secara teratur
 Pasien memiliki keinginan untuk sembuh disertai dukungan dan kasih
sayang keluarga.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Gangguan mood atau gangguan afektif meliputi sekelompok besar gangguan
dengan mood patologis serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran
klinisnya. Gangguan ini mengacu pada keadaan emosi yang menetap, bukan hanya
ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Gangguan mood
paling baik dianggap sebagai sindrom yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala
yang bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, yang menunjukkan
penyimpangan fungsi habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh dalam
bentuk periodik atau siklik (Sadock & Sadock, 2010).
Pasien dengan mood menurun menunjukkan hilangnya energi dan minat, rasa
bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, serta pikiran mengenai kematian
dan bunuh diri. Gejala atau tanda lainnya berupa perubahan tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, pembicaraan, serta fungsi vegetative yang hampir selalu
menimbulkan gangguan fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan (Sadock &
Sadock, 2010).
Depresi adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih, merasa
sendirian, rendah diri, putus asa, biasanya disertai tanda–tanda retardasi psikomotor
atau kadang-kadang agitasi, menarik diri dan terdapat gangguan vegetatif
seperti insomnia dan anoreksia (Sadock & Sadock, 2014).

2.2 FAKTOR RISIKO


1) Usia
Onset depresi terjadi rata-rata pada usia sekitar 40 tahun-an, namun pada 50
persen kasus tidak jarang onset terjadi diantara usia 20-50 tahun. Gangguan depresi
berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia (Sadock & Sadock, 2014).
2) Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai predisposisi lebih yaitu sekitar 2:1 dalam prevalensi
depresi pada remaja setelah pubertas. Terdapat temuan yang kuat berdasarkan

15
penelitian secara epidemiologi dan klinis namun alasan perbedaan kerentanan depresi
berdasarkan jenis kelamin ini kemungkinan terkait dengan perubahan hormon
perempuan yang memengaruhi mood, kepekaan otak, dan respon terhadap stres
(Thapar, Collishaw, Pine, & Thapar, 2012).
3) Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Depresi lebih
rentan terjadi pada seseorang yang tidak menikah dan cerai dibandingkan dengan
seseorang yang menikah (Yan, Huang, Huang, Wu, & Qin, 2011)
4) Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan kolerasi antara status sosioekonomi dengan gangguan
depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding perkotaan
(Ismail & Siste, 2015).
5) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia
dewasa-tua. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik.
Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lansia yang hanya menamatkan pendidikan
dasar mempunyai risiko terhadap depresi 2,2 kali lebih besar (Marsasina, 2016).

2.3 ETIOLOGI
3.3.1 Faktor Biologis
Neuroimaging
Berdasarkan berbagai penelitian yang berbeda terdapat hubungan yang
konsisten dan resiprokal antara daerah dorsokortikal serta ventrolimbik pada depresi.
Variasi kelainan dalam region ventromedial termasuk cingulate anterior konsisten
pada gangguan depresi. Terdapat pengecilan volume hipokampus pada pasien depresi
dibandingkan dengan yang normal (Marsasina, 2016).

16
Neurokimiawi
Terdapat peran neurotransmitter serotonin pada gangguan mood. Serotonin
disintesis dari asam amino esensial tryptophan dalam 2 tahap enzimatis. Perubahan
fungsi serotonergik otak menunjukkan perubahan fungsi tubuh dan perilaku pada
depresi seperti nafsu makan, fungsi seksual, sensitivitas nyeri, dan temperatur tubuh.
Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah dalam cairan
serebrospinal (Sadock & Sadock, 2010).
Bukti lain menunjukkan adanya keterlibatan reseptor prasinaps β2-adrenergik
pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan jumlah norepinefrin yang
dilepaskan. Reseptor ini juga terletak pada neuron serotonergik serta mengatur jumlah
serotonin yang dilepaskan (Sadock & Sadock, 2010).
Aktivitas dopamine berkurang pada depresi. Dua teori terkini mengenai
dopamine dan depresi adalah bahwa jaras dopamine mesolimbic mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamine D1 mungkin hipoaktif pada
depresi (Sadock & Sadock, 2010).

Regulasi Neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin dan juga
menerima berbagai input saraf melalui neurotransmitter amin biogenik. Berbagai
disregulasi neuroendoktrin dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood, sehingga
regulasi aksis neuroendokrin yang abnormal merupakan akibat fungsi neuron yang
mengandung amin biogenik yang abnormal pula. Aksis neuroendokrin utama yang
dimaksud disini adalah aksis adrenal, tiroid, serta hormone pertumbuhan.Sekitar 50%
pasien yang mengalami depresi memiliki tingkat kortisol yang meningkat. Sekitar
sepertiga pasien dengan gangguan depresif berat yang tidak memiliki aksis tiroid
normal ditemukan memiliki respon tirotropin dan hormone perangsang tiroid (TSH)
yang tumpul terhadap hormone pelepas tirotropin (TRH). Pasien depresi memiliki
respon stimulasi pelepasan hormone pertumbuhan oleh tidur yang tumpul (Sadock &
Sadock, 2010).

17
2.3.2 Faktor Genetik
Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi dari gangguan
depresi unipolar pada umumnya menunjukkan risiko mendasar dari komponen yang
dapat diturunkan, namun gangguan bipolar mempunya sifat menurun yang tinggi
dibandingkan depresi unipolar berulang (Marsasina, 2016).

2.3.3 Faktor Psikososial


Peristiwa Hidup dan Stres Lingkungan
Peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode
gangguan mood yang mengikuti. Stress yang mendahului episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama pada biologi otak. Perubahan ini dapat
menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan system
pemberian sinyal intraneuron, hilangnya neuron, dan berkurangnya kontak sinaps
yang berlebihan.Sehingga penderita memiliki risiko tinggi mengalami episode
gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal (Sadock & Sadock,
2010).

Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
menjadi predisposisi depresi. Semua orang dengan pola kepribadian apapun dapat
mengalami depresi di bawah situasi yang sesuai (Sadock & Sadock, 2010).

2.4 DIAGNOSIS
Berikut kriteria diagnosis episode depresif menurut PPDGJ-III
F32 Episode Depresif
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat)
- Afek depresif,
- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- Berkurangnya energi, mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit
saja) dan menurunnya aktivitas (Maslim, 2013).
Gejala lainnya :

18
(a) Konsentrasi dan perhatian berkurang;
(b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
(c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
(d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
(e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
(f) Tidur terganggu;
(g) Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, namun periode yang lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala sangat berat dan berlangsung cepat. Kategori
episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2) hanya digunakan
untuk episode depresi tunggal (yang pertama).Episode depresif berikutnya harus
diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-)
(Maslim, 2013).

F32.0 Episode Depresif Ringan


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti disebut
diatas;
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a) sampai dengan (g).
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

F32.1 Episode Depresif Sedang


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan;
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
 Menghadapi kesulitan nyata utnuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan

19
urusan rumah tangga.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


 Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria meurut F32.2 tersebut diatas;
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggungjawab atas hal itu. Halusianasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada
stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

20
2.5 TATALAKSANA
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa tujuan.
Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi diagnostik
pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk gejala, tetapi
kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Walaupun penatalaksanaan
farmakoterapi dan psikoterapi harus dipikirkan pada pasien, peristiwa kehidupan
yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka kekambuhan pasien dengan
gangguan mood. Selanjutnya melalui terapi harus dapat menurunkam banyak stresor
berat dalam pasien. Secara keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood harus
diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu empat
bulan degan pengobatan yang adekuat (Ismail & Siste, 2015).

2.5.1 Rawat inap


Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis,
risiko bunuh diri atau membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis
untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal. Riwayat gejala yang berkembang
cepat serta rusaknya sistem dukungan pasien yang biasa juga merupakan indikasi
rawat inap. Pasien dengan gangguan mood sering tidak ingin masuk rumah sakit
dengan sukarela dan mungkin harus dipaksa masuk (Sadock & Sadock, 2014).

2.5.2 Terapi keluarga


Terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi primer untuk gangguan
depresi berat, tetapi meningkatkan bukti klinis dapat membantu pasien dengan
gangguan mood untuk mengurangi dan menghadapi stres dan untuk mengurangi
adanya kekambuhan. Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang
membahayakan perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood
didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga. Terapi keluarga menguji peran
pasien gangguan mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran pasien gangguan
mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran dari keluarga untuk menangani
gejala pasien (Ismail & Siste, 2015).

21
2.5.3 Farmakoterapi
Gejala pertama yang menjadi penanganan adalah sulit tidur dan gangguan
dalam pola makan. Gejala lainnya yang dapat timbul adalah mengamuk, cemas, dan
rasa putus asa. Target gejala lainnya termasuk energy menurun, kurang konsentrasi,
tidak berdaya, dan menurunnya libido.
Obat yang biasa digunakan dalam terapi depresi adalah golongan SSRIs, yang
merupankan obat pilihan efektif, mudah digunakan, dan relative kurang efek samping
meskipun dalam dosis tinggi. Contoh SSRIs yang sering digunakan misalnya,
Floxetin, Paroxetine, dan Sertralin. Antidepresan golongan lain misalnya bupropion,
venlafaxine, nefazodone (serzone) dan mirtazapine (remeron), menunjukkan secara
klinis hasil yang sama efektif dengan obat terdahulu tetapi lebih aman dan
toleransinya lebih baik. Obat-obatan tersebut cenderung lebih aman diibandingkan
trisiklik, tetrasiklik, dan MAOIs, dan menunjukkan efektifitas pada uji klinik. Obat
golongan trisiklik dan tetrasiklik, misalnya trazadone, dan mirtazapine dapat
menyebabkan sedasi. Selain itu terdapat juga golongan MAOIs, misalnya
Troamfetamin dan Metilfenidat mungkin menghasilkan perbaikan mood yang cepat
(dalam minggu pertama) dan diindikasikan pemantauan yang ketat.

Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai hal


penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat dan dosis yang paling
sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter perlu
menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan
psikologi; kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi pengobatan. Dokter
juga harus menekankan kepada pasien tidak akan menjadi ketergantungan dengan
obat antidepresan karena obat tidak memberikan kepuasan segera dan dosis obat akan
diturunkan secara perlahan-lahan sesuai dengan evaluasi gejala.

Pada pemberian antidepresan, obat akan memperlihatkan efek antidepresan


yang optimal dalam 3 sampai 4 minggu. Timbulnya efek samping menunjukkan obat
bekerja, tetap efek samping yang timbul ini harus dijelaskan secara detail. Sebagai

22
contoh, beberapa pasien yang meminum antidepresan golongan SSRIs menjadi
gelisah, mual dan muntah sebelum adanya perbaikan gejala. Efek samping berkurang
seiring berjalannya waktu. Dengan obat trisiklik dan MAOis, dokter akan
menjelaskan kepada pasien bahwa gejala yang akan membaik lebih awal adalah
adanya perbaikan tidur dan selera makan, yang diikuti oleh perbaikan pada perasaan
kurang energy, dan terakhir perasaan depresi, untungnya hal terakhir merupakan
gejala yang terakhir muncul. Apabila pada 3 minggu setelah pemberian obat
antidepresan pasien belum memperlihatkan perbaikan gejala atau perbaikan gejala
kurang dari 20% maka perlu mengganti antidepresan dengan antidepresan golongan
lainnya. Namun setelah 3-6 minggu pemberian antidepresan hanya didapatkan respon
parsial, maka dosis obat harus terus dinaikkan sampai dosis maksimal atau dengan
pemberian augmentasi, misalnya dengan litium atau psikostimulan, yang terbukti ada
penelitian mempercepat perbaikan gejala dalam waktu 1-2 minggu pada 25% pasien
(Ismail & Siste, 2015).

23
Gambar 2.1 Algoritma terapi depresi tanpa komplikasi (Marsasina, 2016)

2.5.4 Psikoterapi
Penggunaan psikoterapi direkomendasikan sebagai pilihan pengobatan awal
untuk pasien gangguan depresi ringan sampai sedang, dengan bukti klinis yang
mendukung penggunaan terapi kognitif-perilaku, psikoterapi interpersonal,
psikodinamik terapi, dan terapi pemecahan masalah pada masing masing individu
maupun berkelompok. Faktor-faktor dilakukannya intervensi psikoterapi adalah

24
adanya stres psikososial yang signifikan, konflik intrapsikis, kesulitan interpersonal,
gangguan pada axis II, ketersediaan pengobatan, atau yang keinginan pasien (APA,
2015).
 Terapi kognitif-perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung. Teknik
utama yang digunakan adalah pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback (Saddock & Saddock, 2010).
 Terapi suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang
ada dan belum tampak, didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi optimal dan
fungsi sosial dan pekerjaannya (Saddock & Saddock, 2010).
 Psikoterapi berorientasi tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah
sadar, menilik egostrengh, relasi objek, serta keutuhan self pasien (Saddock &
Saddock, 2010).
Pada wanita yang sedang hamil, ingin hamil, atau sedang menyusui, terapi
psikoterapi tanpa farmakoterapi dipertimbangkan sebagai pilihan awal dan tergantung
pada tingkat keparahan gejala. Pertimbangan dalam memilih jenis dari psikoterapi
mencakup tujuan, respon positif pada terapi psikoterapi sebelumnya, keinginan
pasien, dan ketersediaan dokter ahli dalam pendekatan psikoterapi yang spesifik
(APA, 2015)
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi
yang bermakna untuk depresi. Pemberian psikoterapi dan obat, lebih efektif. Terapi
penggabungan ini lebih baik hasilnya daripada hanya pemberian obat saja. Pasien
juga dapat bertahan lebih lama menggunakan obat bila ia dalam proses psikoterapi.
Hal yang perlu diingat pada pemilihan jenis psikoterapi adalah tentang kondisi
pasien. Bila pasien dalam kondisi depresi berat, terlebih dengan ciri psikotik, yang
dapat dilakukan hanya psikoterapi suportif, jangan menghibur pasien atau langsung
diberi nasihat karena pasien akan bertambah sedih bila tidak mampu melaksanakan

25
nasihat dokternya. Bila pasien sudah lebih tenang, tidak dipengaruhi gejala
psikotiknya, dapat dipertimbangkan pemberian psikoterapi kognitif, atau kognitif-
perilaku atau psikoterapi dinamik (Ismail & Siste, 2015).

2.5.5 Electrocolvulsice Therapy


Electroconvulsive Therapy (ECT) biasanya digunakan jika pasien tidak
berespon terhadap farmakoterapi dengan dosis yang sudah adekuat atau tidak dapat
mentoleransi farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat yang
memperlihatkan perbaikan sangat cepat dengan penggunaan ECT (Ismail & Siste,
2015).

2.6 PROGNOSIS
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Biasanya
cenderung untuk menjadi kronik dan kambuh. Episode pertama gangguan depresi
berat yang dirawat di rumah sakit sekitar 50 persen angka kesembuhannya pada tahun
pertama. Persentase pasien untuk sembuh setelah perawatan berulang berkurang
seiring berjalannya waktu. Banyak pasien yang tidak pulih akan menderita gangguan
distimik. Kekambuhan depresi berat juga sering terjadi. Sekitar 25 persen pada 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 30 sampai 50 persen dalam 2 tahun
pertama, dan sekitar 50 sampai 75 persen dalam periode 5 tahun. Insiden relaps
berkurang pada pasien yang melanjutkan terapi psikofarma profilaksis dan pasien
yang hanya mempunyai satu atau dua episode depresi. Secara umum, semakin sering
pasien mengalami episode depresi, semakin memperburuk keadaannya (Sadock &
Sadock, 2014).
Indikator prognosis adalah identifikasi indikator prognosis baik dan buruk pada
depresi berat. Pasien mempunyai kemungkinan prognosis baik jika episode ringan,
tidak ada gejala psikotik, singkatnya waktu rawat inap, indikator psikososial meliputi
mempunyai teman akrab selama remaja, fungsi keluarga stabil, lima tahun sebelum
sakit secara umum fungsi sosial baik. Sebagai tambahan, tidak ada komorbiditas
dengan gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap dengan depresi

26
berat, onsetnya awal pada usia lanjut. Pasien mempunyai kemungkinan prognosis
buruk jika depresi berat bersamaan dengan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat
lain, ditemukan gejala gangguan cemas, ada riwayat lebih dari sekali episode depresi
sebelumnya (Ismail & Siste, 2015)

27
DAFTAR PUSTAKA

American Pyschiatric Association. (2015). Practice guideline for the treatment of


patients with major depressive disorder, third edition. United States: National
Guideline Clearing House.
Ismail, R. I., & Siste, K. (2015). Gangguan Depresi. In S. D. Elvira, & G.
Hadisukanto, Buku Ajar Psikiatri (p. 228). Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Marsasina A. (2016). Gambaran dan Hubungan Tingkat Depresi dengan Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas. Jurnal
Undip. 2016, 29-33
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Thapar, A., Collishaw, S., Pine, D. S., & Thapar, A. K. (2012). Depression in
adolescence. The Lancet, 379(9820), 1056–1067.

28

Anda mungkin juga menyukai