Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

SUSPEK APPENDISITIS AKUT

Disusun oleh:
Rati Amira Lekabreda ,S.Ked
04054821820010

Pembimbing:
dr. Ayatullah, S.pB

DEPARTEMEN BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM KAYUAGUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Suspek Appendisitis Akut

Oleh:

Rati Amira Lekabreda ,S.Ked


04054821820010

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Bedah RS Kayuagung dan RSUP Dr.
Moh. Hoesin Palembang Periode 13 Agustus – 8 September 2018.

Palembang, September 2018

dr. Ayatullah, S.pB

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Suspek Appendisitis
Akut”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Bedah RS Umum Kayugung dan RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ayatullah, S.pB selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, September 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
BAB III STATUS PASIEN ................................................................................ 7
BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 26
LAMPIRAN .......................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis,
yaitu divertikulum pada caecum yang menyerupai cacing, panjangnya
bervariasi dari 7 sampai 15 cm, dan berdiameter sekitar 1 cm dan
merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan.
Apendisitis merupakan kegawatdaruratan medik dan memerlukan tindakan
bedah mayor segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya.1
Apendisitis dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga
dalam kehidupan. Insidens pada perempuan dan laki-laki umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun dimana insidens pada laki-laki
lebih tinggi.1
WHO (World Health Organization) menyebutkan insidensi
apendisitis di Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6%
penduduk dari total populasi. Tujuh persen populasi di Amerika Serikat
menderita apendisitis dengan insidensi 1,1 kasus tiap 1000 orang per
tahun. Angka kejadian apendisitis akut mengalami kenaikan dari 7,62
menjadi 9,38 per 10.000 dari tahun 1993 sampai 2008. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis menempati urutan keempat
penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis,
dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak
28.040.2
Kesulitan dalam mendiagnosis apendisitis masih merupakan
masalah dalam bidang bedah. Terdapat beberapa pasien yang menunjukan
gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas, sehingga dapat menyebabkan
kesalahan dalam diagnosis dan keterlambatan dalam hal penanganannya.

1
Kedua hal tersebut dapat meningkatkan terjadinya perforasi, morbiditas,
dan negative apendectomy. Angka negative apendectomy di Amerika
Serikat sebesar 15,3% pada apendisitis akut.3
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar dalam
diagnosis apendisitis dengan tingkat akurasi sebesar 76-80%. Modalitas
pencitraan seperti Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography
(CT) scan dapat meningkatkan akurasi diagnosis hingga 90%, namun
karena biayanya yang mahal dan tidak semua unit pelayanan kesehatan
memilikinya, pemeriksaan ini jarang digunakan. Gejala dan tanda
apendisitis yang tidak khas akan menyulitkan dokter dalam menegakkan
diagnosis, sehingga dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis. Meningkatnya jumlah sel darah putih antara
11.000/mm3 sampai 17.000/mm3 didapatkan pada 80% penderita, tetapi
tidak jelas apakah spesifik untuk appendisitis atau penyakit lain dengan
gejala nyeri abdomen akut.3
Berdasarkan hal tersebut, kemampuan dokter dalam menegakkan
diagnosis apendisitis serta membedakan antara apendisitis akut dan
apendisitis perforasi secara klinis sangat diperlukan, karena keduanya
memiliki penanganan yang berbeda dan berkaitan dengan bahaya
komplikasi yang ditimbulkan.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTIFIKASI
Nama : Nn. Yuliana
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Lampung
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nomor Rekam Medis : 01.78.10

2.2. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien pada hari Senin, 3 September 2018
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Keluhan Tambahan : Mual (+), muntah (+), tidak nafsu
Makan (-)
Riwayat Perjalanan Penyakit
Os mengeluh nyeri pada seluruh bagian perut sejak semalam
(pukul 22.00 WIB tanggal 2 September 2018), os mengaku keluhan
berkurang setelah dikompres air hangat, namun tetap terasa nyeri pada
perut kanan bawah. Os juga mengeluh mengalami mual dan muntah.
Frekuensi muntah 2x pada malam hari, volume +/- 1 gelas belimbing, isi
apa yang dimakan/minum. Nafsu makan normal. BAB dan BAK normal.
Pagi ini (3 September 2018), os mengeluh nyeri perut kanan bawah
semakin berat dan disertai demam. Pasien kemudian dibawa ke IGD
RSUD Kayu Agung.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal

3
Riwayat Penyakit dalam Keluarga : disangkal
Riwayat Pengobatan :
Riwayat berobat sebelumnya disangkal.
Riwayat operasi sebelumnya disangkal.
Riwayat Trauma : disangkal

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekananan Darah : 100/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 86x/menit
Frekuensi Napas : 22x/menit
Suhu : 38,3oC

Status Lokalis
Kepala : Normocephali
Mata : Pupil isokor, refleks cahaya (+/+), sclera ikterik (-/-),
konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : sianosis central(-), stomatitis(-), chielitis(-), lidah kotor (-)
Leher : Limfadenopati region colli (-)
Thoraks
Cor
-Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
-Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
-Perkusi : Batas jantung-paru normal
-Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
-Inspeksi : Simetris (statis, dinamis)
-Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri

4
-Perkusi : Sonor, batas paru-hepar normal
-Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronki (-/-), Wheezing (-/-),
Abdomen
-Inspeksi : Datar
-Palpasi : Lemas, nyeri tekan regio iliaca dextra (+), defans
muskular (-)
-Perkusi : Timpani
-Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Superior dextra et sinistra:
-Inspeksi : Pallor (-/-), sianosis (-/-)
-Palpasi : CRT < 3 detik, pulsasi arteri perifer regular, isi dan
tegangan cukup
Inferior dextra et sinistra:
-Inspeksi : Pallor (-/-), sianosis (-/-)
-Palpasi : CRT < 3 detik, pulsasi arteri perifer regular, isi dan
tegangan cukup
Pemeriksaan Fisik Spesifik
- Pemeriksaan Rovsing sign (-)
- Pemeriksaan Bloomberg sign (-)
- Pemeriksaan Obturator sign (+)
- Pemeriksaan Psoas sign (+)
- ALVARADO Score: 8
Migratory of pain :1
Anorexia :0
Nausea/vomiting :1
Tenderness in the right iliac fossa :2
Rebound Tenderness :0
Elevated temperature :1
Leukocytocis :2
Shift of neutrophils to the left :1

5
2.4. DIAGNOSIS BANDING
- Appendisitis Akut
- Kehamilan Ektopik Tuba
- Gastroenteritis
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah Rutin:
- Hb : 12,3 g/dL
- Eritrosit : 4,6 juta/mm3
- Hematokrit : 35%
- Leukosit : 24.700/mm3
- Diff. Count :
o Limfosit : 10,2%
o Neutrofil : 85,2%
o M.E.B : 4,6%
- Trombosit : 231.000/mm3
- Golongan darah : B
- BSS : 93 mg/dL
Pemeriksaan urinalisis
- Tes kehamilan : negatif
-
2.6. DIAGNOSIS KERJA
Susp. Appendisitis Akut

2.7. PEMERIKSAAN ANJURAN


- USG abdomen
Suspek appendisitis akut, tidak tampak kelainan dalam bidang
obsteteri dan ginekologi.

5
2.8. TATALAKSANA
- IVFD RL gtt XX/menit
- Inj. Ceftriaxon 2x1g (IV)
- Inj. Metronidazol 3x500mg (IV)
- Inj. Gentamisin 2x80mg (IV)
- Pro appendektomi cito  persiapan operasi: puasa 6 jam, konsul
anestesi

2.9. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 8-13
cm (kisaran 3-5 inci), dasar melekat pada caecum dan ujung lainnya bebas,
diliputi oleh peritoneum, dan mempunyai mesenterium sendiri yang disebut
mesoappendix yang berisi vena, arteri appendicularis, dan saraf-saraf. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya insidens
apendisitis pada usia tersebut.2

Gambar 3.1. Anatomi Caecum dan Apendiks Vermiformis

Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen


di regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen
pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior
dan umbilicus yang di sebut titik McBurney. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang

7
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di
belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens.

Gambar 3.2. Variasi letak Apendiks Vermiformis


Apendiks diperdarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari
cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus
mesentericus superior. Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam
mesoapendiks dan di alirkan ke nodi mesenterici superiores.2

Gambar 3.3. Perdarahan Apendiks Vermiformis

8
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh
lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale.2
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula
di sekitar umbilikus.4
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.4
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingka n dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.5

3.2 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen
darurat.6
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam
kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat,

9
angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur. 4

3.3 Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis, dan akibatnya terjadi infeksi.
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
dikatakan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,
tumor apendiks, dan cacing askaris juga dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E. histolytica.4
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.4

3.4 Epidemiologi
Appendisitis berkembang pada 8,6% laki-laki dan 6,7% perempuan
dengan insidensi terjadi pada dekade kedua dan ketiga masa kehidupan. Insiden
apendisitis paling tinggi pada usia 20-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak
usia kurang dari 2 tahun. Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan
antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya
menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-
laki dan perempuan. Apendektomi menurun sejak tahun 1950 di banyak negara.
Amerika Serikat meraih insidensi terendah, sekitar 15 per 10.000 orang pada
tahun 1990. Sejak saat itu, terjadi peningkatan insidensi appendisitis
nonperforasi.1

10
3.5 Klasifikasi Apendisitis
1. Apendisitis Akut
a. Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,
malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis
dan apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat
serosa.4,7
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendiks dan mesoapendiks
terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada
gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.4,7
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.4,7

11
2. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.4,7

3. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal,
dan pelvic.4,7

4. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis
umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik.4,7

5. Apendisitis Kronik
Apendisitis kronik merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai
proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi
rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronik
baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan
bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Secara histologis, dinding apendiks menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi.4,7

3.6 Patofisiologi Apendisitis


Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
fekalit, hiperplasia folikel limfoid, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

12
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Fekalit ditemukan sebagai penyebab
paling sering dari obstruksi apendiks dengan frekuensi sebesar 40% pada
apendisitis akut sederhana tanpa komplikasi, 65% pada apendisitis gangrenosa,
dan hampir 90% pada apendisitis perforasi.4,8
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen, dimana kapasitas lumen apendiks normal adalah
hanya ± 0,1 ml. Tekanan yang meningkat sedikit saja akan menghambat aliran
limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding.4,6
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa.4
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks
lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah.3,4
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali

13
menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.4,8
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai
dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan
serat dalam makanan yang rendah.6
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi
mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan
muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis
lokal.6
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga
peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan
terjadi.6

3.7 Manifestasi klinis apendisitis


3.7.1 Gejala
Nyeri perut adalah gejala utama dari apendisitis. Perlu diingat bahwa
nyeri perut bisa terjadi akibat penyakit – penyakit dari hampir semua
organ tubuh. Tidak ada yang sederhana maupun begitu sulit untuk
mendiagnosis apendistis. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium sekitar
umbilikus. Nyeri perut ini sering disertai mual serta satu atau lebih episode
muntah dengan rasa sakit, dan setelah beberapa jam, nyeri akan beralih ke
perut kanan bawah pada titik McBurney. Umumnya nafsu makan akan
menurun. Rasa sakit menjadi terus menerus dan lebih tajam serta lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat, akibatnya pasien

14
menemukan gerakan tidak nyaman dan ingin berbaring diam, dan sering dengan
kaki tertekuk. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Hal ini sangat
berbahaya karena dapat mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
rangsangan peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan
1,7
atau batuk.

3.7.2 Pemeriksaan fisik


Temuan fisik ditentukan terutama oleh posisi anatomis apendiks
vermiformis yang mengalami inflamasi, serta organ yang telah mengalami
ruptur ketika pasien pertama kali diperiksa. Tanda vital seperti peningkatan

suhu jarang >1oC (1.8oF) dan denyut nadi normal atau sedikit meningkat.
Apabila terjadi perubahan yang signifikan dari biasanya menunjukkan bahwa
komplikasi atau perforasi telah terjadi atau diagnosis lain harus
dipertimbangkan. Perforasi apendiks vermikularis akan menyebabkan
peritonitis purulenta yang di tandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat
berupa nyeri tekan dan defans muskuler yang meliputi seluruh perut, disertai
pungtum maksimum di regio iliaka kanan, dan perut menjadi tegang dan
kembung. Peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya
7,9
ileus paralitik.
Pasien dengan apendisitis biasanya berbaring dengan terlentang, karena
gerakan apa saja dapat meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk
menggerakkan paha terutama paha kanan pasien akan melakukan dengan
5
perlahan-lahan dan hati-hati.
Jika dilakukan palpasi akan didapatkan nyeri yang terbatas pada
regio iliaka kanan, biasanya di sertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan
adanya rangsangan parietal. Tanda rovsing adalah apabila melakukan
penekanan pada perut kiri bawah maka akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah. Peristalsis usus sering didapatkan normal tetapi dapat menghilang
7
akibat adanya ileus paralitik yang disebabkan oleh apendisitis perforata.

15
Uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan
untuk mengetahui letak apendiks vermiformis. Cara melakukan uji psoas
yaitu dengan rangsangan otot psoas melalui hiperekstensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.
Tindakan ini akan menimbulkan nyeri bila apendiks vermiformis yang
meradang menempel di otot psoas mayor.

Gambar 3.4. Pemeriksaan Psoas sign

Pada pemeriksaan uji obturator untuk melihat bilamana apendiks


vermiformis yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus.

Gambar 3.5. Pemeriksaan Obturator sign

Ketika peradangan apendiks vermiformis telah mencapai panggul,


nyeri perut kemungkinan tidak ditemukan sama sekali, yaitu misalnya
pada apendisitis pelvika. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan colok dubur. Dengan
melakukan pemeriksaan colok dubur nyeri akan dirasakan pada daerah lokal

16
suprapubik dan rektum. Tanda-tanda iritasi lokal otot pelvis juga dapat dirasakan
1,7,9
penderita.

Tabel 1. Sensitivity and Specificity of Clinical Findings for the Diagnosis of


Acute Appendicitis

3.8 Diagnosis Appendisitis


Tabel 2. Skor Alvarado untuk mendiagnosis apendisitis
Manifestations Value
Symptoms Migration of pain 1
Anorexia 1
Nausea and/or vomiting 1
Signs Right lower quadrant 2
tenderness
Rebound tenderness 1
Elevated temperature 1
Laboratory Values Leukocytosis 21
Left shift in leukocyt 1
Count
Total Points 10

17
Interpretasi Alvarado score :
- Skor total 1-4: unlikely to have apendisitis  pasien dipulangkan
dengan diberi obat simptomatik dan disarankan untuk kembali apabila
gejala bertambah berat atau tidak berkurang.
- Skor total 5-6: compatible with, but not diagnostic of apendisitis 
pasien diberi obat simptomatik dan antibiotik serta dilakukan observasi
selama 24 jam dengan memperhatikan penilaian skor ulang. Dapat
dilakukan CT-scan pada pasien dengan skor 5-6.
- Skor total 7-8: have a high likelihood of apendisitis  pasien
dipersiapkan untuk dilakukan apendiktomi cito

3.9 Pemeriksaan penunjang


3.9.1 Pemeriksaan laboratorium
3.9.1.1 Leukosit Darah
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit
darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit
darah merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar
pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada
kasus dengan komplikasi berupa perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Guraya SY menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi
merupakan indikator yang dapat menentukan derajat keparahan apendisitis.
Tetapi, penyakit inflamasi pelvik terutama pada wanita akan memberikan
gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis
1,7
akut.
Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks
vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah
leukosit darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit

18
berhubungan dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang
10
merupakan tanda khas pada apendisitis secara dini.
Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik
merupakan fitur penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis

ringan, mulai dari 10.000-18.000 sel/mm3, biasanya terdapat pada pasien


apendisitis akut. Namun, peningkatan jumlah leukosit darah berbeda pada setiap
pasien apendisitis. Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa leukosit darah

yang meningkat >12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari pasien dengan

apendisitis akut. Apabila jumlah leukosit darah meningkat >18.000 sel/mm3


1,9
menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi.

3.9.1.2 Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau
menyingkirkan penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun
proses inflamasi apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau
bakteriuria sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang
melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20
4,10
sel per lapangan pandang menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.

3.9.2 Radiografi konvensional


Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari
pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam
mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering terdapat
gambaran gas usus abnormal yang non spesifik. Pemeriksaan tambahan
radiografi lainnya yaitu pemeriksaan barium enema dan scan leukosit
berlabel radioaktif. Jika barium enema mengisi pada apendiks vermiformis,
9
diagnosis apendisitis ditiadakan.

19
3.9.3 Ultrasonografi
Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri
abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.
Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis perforasi
dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai dengan (1) adanya perbedaan
densitas pada lapisan apendiks vermiformis/hilangnya lapisan normal (target
sign); (2) penebalan dinding apendiks vermiformis; (3) hilangnya kompresibilitas
dari apendiks vermiformis ; (4) peningkatan ekogenitas lemak sekitar (5) adanya
penimbunan cairan. Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan (1)
tebal dinding apendiks vermiformis yang asimetris; (2) cairan bebas
1
intraperitonial, dan (3) abses tunggal atau multipel.

3.10 Diagnosis Banding


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya:1,4,6
1. Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului
rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan
mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
4. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis
akut, KET, ruptur kista korpus luteum. Pada pasien dengan salpingitis,
biasanya mengeluh nyeri bilateral pada abdomen bawah dan ditemukan
vaginal discharge serta infeksi urin. USG membantu memvisualisasikan
salpingitis dan KET. Suhu pada salpingitis biasanya lebih tinggi dari pada
apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.

20
5. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
6. Meckel’s diverticulitis, sering tumpang tindih dengan appendisitis, namun
pada saat eksplorasi appendiks dalam batas normal
7. Acute Crohn’s ileitis, biasanya diderita oleh pasien dewasa muda yang
memiliki riwayat nyeri yang sering kambuh
8. Ileus obstruktif, nyeri kolik dan muntah, peningkatan bising usus dan
ususnya distensi pada X-ray
9. Perforasi peptic ulcer, onsetnya tiba-tiba
10. Acute cholecystitis
11. Pankreatitis
12. Traktur urogenital: ureteric colic and acute pyelonephritis, urin dan darah
harus dicek dan Testicular torsion
13. Pada Dada: basal pneumonia dapat menyebabkan nyeri abdomen, yang
sangat susah dibedakan, terutama pada anak kecil. Auskultasi dan
pemeriksaan X-ray menunjukkan adanya pneumonia.
14. Sistem nervus sentralis: nyeri yang disebabkan karena herpes zoster pada
segmen ke 11 dan 12, iritasi pada posterior nerve roots pada pasien dengan
spinal disease (tumor invasif atau tuberkulosis) biasanya memiliki gejala
yang mirip dengan appendicitis.

3.11 Manajemen Awal


a. Appendisitis non-komplikasi
Pasien dengan appendisitis non-komplikasi, tindakan operasi merupakan
tatalaksana standar sejak ditemukannya McBurney. Konsep tindakan tanpa
operasi pada appendisitis non-komplikasi berkembang dari 2 pengamatan.
Pertama, pasien berada pada lingkungan di mana tidak memungkinkan dilakukan
tingdakan bedah (di lepas pantai dan daerah ekspedisi), sedangkan pengobatan
antibiotik dinyatakan efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan gejala

21
konsisten yang tidak mengikuti pengobatan medis seringkali terjadi resolusi
spontan pada penyakitnya. 1,3

b. Appendisitis komplikasi
Appendisitis komplikasi berkaitan dengan perforasi appendisitis yang
berkaitan dengan abses dan phlegmon. Insidensinya sekitar 2 per 10.000 orang
dan memiliki variasi yang sedikit berbeda dari waktu ke waktu. Anak-anak yang
berusia kurang dari 5 tahun dan pasien yang berusia lebih dari 65 tahun
menduduki peringkat teratas untuk insidensi perforasi. Proporsi perforasi
meningkat seiring dengan berapa lama gejalanya. Perforasi secara umum terjadi
24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau
lebih tinggi, penampilan toksik,dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu. 1,3

22
Gambar 2.6. Algoritma tatalaksana abses apendiks

Gambar 2.7. Algoritma tatalaksana appendisitis akut

23
3.12 Tindakan
Berdasarkan guideline dari SAGES 2010 (Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon), indikasi appendektomi laparoskopi
dengan open appendectomy dibagi sebagai berikut:11
 Appendektomi laparoskopi
o Appendisitis tanpa komplikasi
o Appendisitis pada anak-anak
o Appendisitis pada ibu hamil
 Open appendektomi
o Appendisitis perforasi
o Appendisitis pada pasien geriatri
o Appendisitis pada pasien obesitas

a. Open Appendectomy

24
b. Laparoscopi Appendectomy

3.13 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu.4

25
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien sorang perempuan berumur 18 tahun datang ke IGD RSUD Kayu


Agung dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah. Dari hasil anamnesis
didapatkan keluhan nyeri dirasakan di seluruh lapang abdomen 1 hari SMRS
kemudian nyeri berpindah ke regio iliaca dextra. Pasien masih bisa BAB. Pasien
juga mengeluhkan mual muntah, namun nafsu makan masih normal. Pagi hari
sebelum masuk Rumah Sakit pasien mengeluh mengalami demam.
Pasien datang dengan kondisi sakit sedang, kesadaran CM, TD
100/70mmHg, N 86x/menit, RR 22x/menit, T 38,3oC. Pada pemeriksaan regio
abdomen didapatkan datar, lemas, nyeri tekan regio iliaca dextra, timpani, dan
bising usus (+). Pemeriksaan lain dalam batas normal. Skor alvarado pasien total 8
(M=1, A=0, N=1, T=2, R=0, E=1, L=2, S=1) sehingga memenuhi kriteria
diagnosis sebagai appendisitis akut dan memebutuhkan operasi segera.
Tatalaksana definitif pada pasien appendisitis akut berdasarkan teori
hanyalah melalui tindakan operasi. Pasien direncanakan operasi appendectomy.
Operasi yang dilakukan bersifat segera mengingat kondisi pasien adalah gawat
darurat dan ditakutkan jika tidak ditatalaksana segera akan terjadi appendisitis
perforasi yang merupakan komplikasi tersering pada kasus appendisitis akut yang
terabaikan (neglected). Persiapan sebelum operasi selain puasa dan pemasangan
infus RL gtt XX serta diberikan antibiotik injeksi ceftriaxon 1 g IV, metronidazole
500 mg IV, dan gentamicin 80 mg IV.
Prognosis pasien bonam, dimana setelah menjalani operasi cito
appendectomy, prognosis appendisitis akut akan sangat baik.

26
LAMPIRAN

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Jaffe, B.M., Berger, D.H. The appendix. In Brunicardi, F.C., Andersen, D.K.,
Biiliar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Pollock, R.E, editors. Schwartz’s
principles of surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2015.
2. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendiks. Available from:
http://www.bedahugm.net/tag/appendix (diakses pada tanggal 10 April 2018)
3. Smal, V. 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. 2nd edition. London: Elsevier.
4. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
5. Guyton AC, Hall JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11, Penerbit Buku
Kedokteran EGC,Jakarta, 2007.
6. Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, and Management. 4th edition. London:
Elsevier, 389-398.
7. Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery 25th Edition. Edward Arnold Publisher. London. 2008.
8. Craig, S. 2011. Appendicitis Treatment & Management.
9. Ellis H, Calne SR, Watson Chistopher. The 50th Anniversary Edition
General Surgery: Lecture Notes. Willey Blackwel. 2016: 201-204.
10. Crawford, J dan Kumar, V. 2007. Rongga Mulut dan Saluran
Gastrointestinal. In: Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
11. Beuchamp, Evers, dan Maatox. Sabiston Textbookk of Surgery: The
Biological Basis of Modern Surgical Practice 19th Edition. Elsevier:
(2012)1278-1291

28

Anda mungkin juga menyukai