HIPERTIROID
Oleh:
Afiyah Nabilah, S.Ked 04054822022056
Nadella Priscellia, S.Ked 04054822022073
Pembimbing:
dr. Ratna Maila Dewi A, Sp.PD, K-EMD
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Hipertiroid”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Maila Dewi A, Sp.PD-
K-EMD selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan
dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
2
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
HIPERTIROID
Oleh :
Afiyah Nabilah
Nadella Priscellia
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II LAPORAN KASUS 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 14
BAB IV PEMBAHASAN. ...............................................................................37
DAFTAR PUSTAKA 30
4
5
BAB I
PENDAHULUAN
lulusan dokter umum mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat serta mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Oleh karena itu, pada laporan
kasus ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai diagnosis hipertiroid
hingga tatalaksana yang perlu dilakukan sebagai dokter umum.
7
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Tn. AZA
Tanggal Lahir : 25 Mei 2000
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Demang Lebar Daun
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 16 Februari 2021
No. RM : 0000897211
SMRS
debar. Namun pasien mengira hanya karena kelelahan. Sesak tidak ada
batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, benjolan tidak
ada. Mual tidak ada, muntah tidak ada. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
± 6 bulan yang lalu pasien mengeluh leher tampak membesar. Namun,
pasien belum berobat karena menurut pendapat orang disekitarnya tidak
ada pembesaran. Nyeri tidak ada, rasa mengganjal tidak ada, sulit menelan
tidak ada. Pasien merasakan nafsu makannya bertambah. Awalnya pasien
makan 3 kali sehari dengan porsi biasa, sekarang porsi makan lebih
banyak dan ditambah makan cemilan. Walaupun makan menjadi lebih
banyak, pasien mengaku berat badan menurun sebanyak ±5 kg dalam
waktu ±2 bulan. Pasien mengaku lebih banyak minum dari biasanya dan
BAK juga menjadi lebih sering namun, warna dan baunya normal seperti
biasa. Pasien juga mengeluh BAB juga menjadi lebih sering, biasanya 1
kali sehari menjadi 3 kali sehari, namun namun bentuk dan konsistensinya
normal seperti biasa. Keluhan berkeringat banyak dan rasa berdebar masih
dirasakan. Sesak tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada
tidak ada, benjolan di tempat lain tidak ada. Mual tidak ada, muntah tidak
ada.
± 3 bulan yang lalu pasien mengeluh jantungnya sering berdebar-
debar seperti orang gugup padahal tidak ada kejadian apapun. Awalnya
pasien mengira hal tersebut hanya karena kelelahan sehingga pasien tidak
membawa diri berobat, pasien mengaku hanya beristirahat, setelah itu
pasien merasa lebih baik. Pasien mengaku tidak pernah mengalami nyeri
dada atau terasa menyesak didada, keluhan berdebar-debar muncul
mendadak dan bisa kapan saja tanpa dipicu oleh sesuatu maupun aktivitas
tertentu. Sesak tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada. Pasien
mengaku emosinya tidak stabil, lebih sensitif dan mudah marah. Pasien
mangaku keluhan berkeringat semakin mengganggu, pakaian menjadi
mudah basah dan pasien menjadi lebih sering mandi. Pasien juga
mengeluh lama menstruasinya menjadi berkurang, biasanya 5 hari menjadi
3 hari setiap siklusnya, namun masih teratur setiap bulannya. Keluhan
BAK dan BAB masih sama.
9
b. Mata
Eksoftalmus : tidak ada
Endoftalmus : tidak ada
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebral : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
Gerakan : Luas ke segala arah
11
c. Hidung
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada
d. Telinga
Meatus Akustikus Eksternus : Lapang
Nyeri Tekan : Processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri Tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : Tidak ada
Pendengaran : Baik
e. Mulut
Bibir : Chelitis (-), pucat (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Gigi-geligi : Lengkap normal
Gusi : Hipertrofi (-), berdarah (-)
Lidah : Atrofi papil (-)
f. Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-), benjolan (+)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid (+), bilateral, difus, batas sulit
ditentukan, lunak, nyeri (-). pembesaran KGB (-), distensi
vena jugularis (-) tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O
Auskultasi: bruit (-)
g. Thoraks
Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-), venektasi (-)
- Statis : simetris sama dengan kiri
- Dinamis : tidak ada yang tertinggal
12
Palpasi : stem fremitus sama antara kanan dan kiri, nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba,
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) reguler, murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), striae (-),
umbilicus menonjol (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 6x/menit
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar lien dan ginjal tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
i. Ekstremitas
Lengan : gerakan baik ke segala arah, eutonia
Tangan : kulit lembab, akral hangat, palmar eritem (+/+), tremor
(+/+), edema (-/-), clubbing finger (-), sianosis (-)
Tungkai dan kaki : akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), sianosis (-)
Kesan:
- Irama sinus normal
- Aksis normal
- Hipertrofi Ventrikel Kiri
2.3.6 Tatalaksana
1. Non-Farmakologi
- Tirah baring
- Diet
- Edukasi mengenai penyakit, tatalaksana dan prognosis kepada
pasien dan keluarga
2. Farmakologi
- Prophylthiouracil 3x100 mg PO
- Propranolol 3x10 mg PO
2.3.8 Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : dubia ad bonam
c. Quo ad sanationam : dubia ad malam
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Hipertiroidisme adalah kondisi klinis yang disebabkan oleh peningkatan
sintesis dan sekresi hormon oleh kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh
tubuh dimana kelenjar tiroid memproduksi lebih banyak hormon tiroid yang
dibutuhkan oleh tubuh. Kadang-kadang disebut juga tirotoksikosis .
Tirotoksikosis didefinisikan sebagai manifestasi klinis yang berhubungan
untuk meningkatkan kadar hormon tiroid.3
3.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertiroidisme berbeda menurut kelompok etnis sedangkan
di Eropa frekuensinya dipengaruhi oleh asupan makanan yodium dan
beberapa kasus disebabkan oleh penyakit autoimun. Hipertiroidisme
subklinis lebih sering terjadi pada wanita yang berusia lebih dari 65 tahun
dibandingkan pria, sedangkan tingkat hipertiroidisme nyata adalah 0,4 per
1000 wanita dan 0,1 per 1000 pria dan bervariasi sesuai usia.7
Setiap analisis epidemiologi global hipertiroidisme akan
menggambarkan sepanjang garis daerah yang mencukupi yodium dan
daerah kekurangan yodium. Sementara kelebihan yodium dapat
menyebabkan hipertiroidisme, kekurangan yodium dapat menyebabkan
hipotiroidisme dan hipertiroidisme.8
Penyakit Graves (GD) berlanjut sebagai yang paling sering ditemui
etiologi penyebab hipertiroidisme sekitar 60-80% dari semua kasus
tirotoksikosis di seluruh dunia. Itu juga lebih sering ditemukan pada wanita
dengan rasio perempuan dan laki-laki 8:1.3
3.3 Etiologi
Hipertiroidisme dapat terjadi akibat peningkatan sintesis dan sekresi
TH, akibat stimulator tiroid dalam darah, atau hiperfungsi tiroid otonom dan
dapat berkembang dari pelepasan TH yang berlebihan dari tiroid, tanpa
18
Faktor lain
Jika Anda menjalani pola makan yang kurang yodium, kemudian mulai
mengonsumsi suplemen yodium, ini dapat meningkatkan risiko
hipertiroidisme.10
3.5 Patofisiologi
Patofisiologi hipertiroidisme bergantung pada varian tertentu dari
hipertiroidisme. Dalam kasus penyakit Graves, penyebab utamanya adalah
autoimun, khususnya produksi imunoglobulin perangsang tiroid yang
mengikat reseptor TSH dan meniru efek TSH. Penyakit Graves muncul
dengan 2 tanda ekstra-tiroid yang biasanya tidak terlihat pada bentuk
hipertiroidisme lainnya. Ophthalmopathy penyakit Graves ditandai dengan
edema jaringan retro-orbital, sehingga menyebabkan tonjolan bola mata di
anterior.11
Gondok multinodular toksik muncul dengan nodul tiroid yang
teraba. Ini adalah penyebab utama hipertiroidisme, terutama pada populasi
yang lebih tua. Gondok multinodular toksik menyebabkan produksi hormon
tiroid berlebih dari jaringan ektopik otonom, sehingga menyebabkan
tirotoksikosis klinis. Berbeda dengan gondok multinodular toksik yang
dapat muncul dengan beberapa nodul, adenoma tiroid biasanya muncul
dengan nodul papiler soliter yang berpotensi menyebabkan
hipertiroidisme. Adenoma tiroid yang hiperfungsi dapat dibedakan dari
karsinoma tiroid dengan gambaran klinisnya. Produksi hormon tiroid oleh
karsinoma tiroid tidak mencukupi dan tidak dapat mencapai kadar hormon
tiroid yang cukup untuk menyebabkan hipertiroidisme nyata. Akibatnya,
adenoma tiroid umumnya jinak.7
Hipertiroidisme sekunder akibat tiroiditis menyebabkan peningkatan
sementara hormon tiroid yang bersirkulasi akibat gangguan mekanis folikel
tiroid. Tiroiditis subakut (tiroiditis DeQuervain) biasanya mengikuti infeksi
akut, misalnya, infeksi saluran pernapasan atas. Ini adalah proses
peradangan granulomatosa, menghasilkan kelenjar tiroid yang sangat
lembut. Tiroiditis tanpa nyeri adalah salah satu bentuk hipertiroidisme,
22
biasanya terlihat pada tahap pascapartum. Ini adalah tiroiditis limfositik, dan
dapat dibedakan dari rekan subakutnya dengan riwayat klinis dan palpasi
kelenjar tiroid (yang tidak nyeri tekan pada tiroiditis tanpa nyeri tetapi nyeri
pada tiroiditis subakut).7
Hipertiroidisme yang diinduksi yodium biasanya iatrogenik, akibat
pemberian obat yang mengandung yodium seperti media kontras atau
amiodarone. Seperti disebutkan sebelumnya, pengorganisasian residu iodida
menjadi molekul hormon tiroid prekursor relatif mengatur dirinya sendiri.
Iodida yang bersirkulasi secara berlebihan menghambat pengorganisasian,
sebuah proses yang dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff. Namun, para
profesional percaya bahwa pada pasien dengan hipertiroidisme yang
diinduksi yodium, area fungsi otonom memungkinkan sekresi hormon tiroid
yang berlebihan dengan adanya kadar iodida yang tinggi. Penghentian agen
penyebab biasanya menghasilkan resolusi hipertiroidisme. Tirotoksikosis
yang diinduksi amiodaron memiliki dua tipe: tipe 1 dan tipe 2. Perbedaan
antara 2 subtipe terlihat dari sejarah,temuan diagnostik, dan pengobatan.
Tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron, pasien tipe 1 biasanya memiliki
kelainan tiroid yang sudah ada sebelumnya, serapan RAI rendah, dan
peningkatan aliran darah parenkim tiroid. Perawatannya biasanya obat anti-
tiroid. Sebaliknya, tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron, pasien tipe 2
mungkin tidak memiliki riwayat penyakit tiroid sebelumnya. Diagnosis
mungkin menunjukkan serapan RAI yang relatif lebih rendah dan aliran
darah parenkim tiroid menurun. Perawatan untuk varian tipe 2 biasanya
steroid. Sementara paparan yodium berlebih dari pemberian amiodarone
dapat menyebabkan hipertiroidisme, amiodarone itu sendiri dapat langsung
bersifat sitotoksik, berkontribusi pada cedera tiroid.dan peningkatan aliran
darah parenkim tiroid. Perawatannya biasanya obat anti-tiroid. Sebaliknya,
tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron, pasien tipe 2 mungkin tidak
memiliki riwayat penyakit tiroid sebelumnya. Diagnosis mungkin
menunjukkan serapan RAI yang relatif lebih rendah dan aliran darah
parenkim tiroid menurun. Perawatan untuk varian tipe 2 biasanya steroid.
Sementara paparan yodium berlebih dari pemberian amiodarone dapat
23
infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya. Pada
anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid perlu
juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit
yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun.13
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal yang
berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang ditandai
dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan berkurang, lid
lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat ditemukan goiter
difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan tremor.13
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free
thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH serum, tes
penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine uptake) dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).13
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4.13
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk
ini telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengen
pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid
dan etiologi.14
25
3.9 Tatalaksana
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat
antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang
menyertainya.14,19
Obat – obatan
a. Obat Antitiroid:
Golongan Tionamid
28
dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit
Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40
mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
5-20 mg perhari. 14,19
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU
dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis
dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan
kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-
faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas
fisis dan psikis. 14,19
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya
efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like
syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk
terapi alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya
ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi
perlu diberikan antibiotika. 14,19
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic
edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi
30
Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita
dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan
dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6
minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan
Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan
untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa
banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat. 14,19
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein
dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi
relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen
tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves. 14,19
Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak
lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi
kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang
dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa
efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan
diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi
dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi
sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat
radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi
hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu
setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui
saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam
kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara
pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat
karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-
34
bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium
radioaktif. 14,19
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil
atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan
yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak
hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien
hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini
seringkali kambuh dengan OAT. 14,19
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat
jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah
terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat
kecil, hanya 1 mikrogram. 14,19
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8-12 minggu, dan bila perlu
terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat
diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau OAT. Respons terhadap
pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis
I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan
asupan yodium dalam makanan sehari-hari. 14,19
35
BAB IV
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
12. Trohman RG, Sharma PS, Mcaninch EA, Bianco AC. Amiodarone and
Thyroid Physiology, Pathophysiology, Diagnosis and
Management. Trends Cardiovasc Med. 2019;29(5):285-295.
13. Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis
in a Man with Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of
Medical Case Reports 2011, 5:277.
14. Rani, A. Panduan Pelayanan Medik. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta. 2009.
15. De Leo S, Lee SY, Braverman LE. Hipertiroidisme. Lanset. 2016; 388
(10047): 906-918.
16. Rago T, Cantisani V, Ianni F, Chiovato L, Garberoglio R, Durante C,
Frasoldati A, Spiezia S, Farina R, Vallone G, Pontecorvi A, Vitti
P.Pelaporan ultrasonografi tiroid: konsensus Asosiasi Tiroid Italia (AIT),
Italia Perkumpulan Endokrinologi (SIE), Perkumpulan Ultrasonografi
dalam Kedokteran dan Biologi Italia (SIUMB) dan Bab Ultrasonografi
dari Perkumpulan Radiologi Medis Italia (SIRM). J Investasi
Endocrinol. 2018; 41 (12): 1435-1443.
17. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedüs L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce
SH. Pedoman Asosiasi Tiroid Eropa 2018 untuk Pengelolaan
Hipertiroidisme Kuburan. Eur Thyroid J. 2018; 7 (4): 167-186.
18. Kotwal A, Stan M. Thyrotropin Receptor Antibodi-An Overview. Bedah
Perbaikan Plast Ophthalmic. 2018; 34 (4S Suppl 1): S20-S27.
19. Djokomoeljanto,R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Kelenjar Tiroid,
Hipotiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.