Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

HIPERTIROID

Oleh:
Afiyah Nabilah, S.Ked 04054822022056
Nadella Priscellia, S.Ked 04054822022073

Pembimbing:
dr. Ratna Maila Dewi A, Sp.PD, K-EMD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Hipertiroid”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ratna Maila Dewi A, Sp.PD-
K-EMD selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan
dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Februari 2021

Penulis

2
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

HIPERTIROID

Oleh :

Afiyah Nabilah
Nadella Priscellia

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, Februari 2021

dr. Ratna Maila Dewi A, Sp.PD, K-EMD

3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II LAPORAN KASUS 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 14
BAB IV PEMBAHASAN. ...............................................................................37
DAFTAR PUSTAKA 30

4
5

BAB I
PENDAHULUAN

Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua


terbesar setelah diabetes melitus. Penyebab paling umum dari hipertiroidisme
adalah penyakit Graves, toksik gondok multinodular, dan adenoma toksik.
Penyebab lain yang juga agak sering dijumpai adalah tiroiditis, kemudian sebab
yang jarang antara lain penyakit trofoblastik, pemakaian berlebihan yodium
ataupun obat hormon tiroid, obat amiodaron dan hiperskresi Thyroid Stimulating
Hormone (TSH ).1,2 Penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroid yang paling
sering ditemukan sekitar 60-80% dari semua kasus tirotoksikosis di seluruh
dunia.3
Prevalensi kasus hipertiroidisme di Indonesia berkisar 6.9% (Indonesian
Basic Health Research Data, 2007) dan di Amerika Serikat, prevalensi
keseluruhan hipertiroidisme adalah 1,2%.1 dan 0,8% di Eropa.2,4 Hipertiroidisme
meningkat berdasarkan umur dan lebih sering mengenai wanita. Pada umumnya
untuk mendiagnosis adanya tirotoksikosis dan menentukan penyebabnya
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh, cermat, teliti,
dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium kadar
TSHs dan FT4, terkadang T3 total.1,4,5
Gejala klinis dari hipertiroid dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk
umur penderita, lamanya menderita hipertiroid dan kepekaan organ terhadap
kelebihan kadar hormon tiroid. Manifestasi klinis paling sering dirasakan adalah
penurunan berat badan padahal nafsu makan baik, kelelahan atau kelemahan otot,
tremor, gugup, berdebar-debar, keringat berlebihan, tidak tahan panas, palpitasi
dan pembesaran tiroid dan payah jantung. Gejala ini dapat berlangsung beberapa
hari sampai beberapa tahun. Bahkan, kadang-kadang penderita juga tidak
menyadari penyakitnya.6
Melihat pentingnya mendiagnosis penyakit ini dan tingkat kejadian
hipertiroid yang masih tergolong banyak per tahunnya, diperlukan pembahasan
mengenai hipertiroid yang komprehensif agar dapat ditangani dengan tatalaksana
yang tepat. Hipertiroid berada di tingkat kemampuan 3A dalam SKDI yang berarti
6

lulusan dokter umum mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat serta mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Oleh karena itu, pada laporan
kasus ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai diagnosis hipertiroid
hingga tatalaksana yang perlu dilakukan sebagai dokter umum.
7

BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi
Nama : Tn. AZA
Tanggal Lahir : 25 Mei 2000
Umur : 20 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Demang Lebar Daun
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku Bangsa : Sumatera
MRS : 16 Februari 2021
No. RM : 0000897211

2.2 Anamnesis (16 Februari 2021)


Informasi diperoleh secara autoanamnesis dari pasien pada tanggal 16
Februari 2021

2.2.1 Keluhan utama


Keringat berlebihan dirasakan di seluruh tubuh sejak 1 minggu SMRS

2.2.2 Keluhan tambahan


Pasien merasa semakin berdebar, cemas, dan gelisah sejak 1 minggu

SMRS

2.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit


± 1 tahun yang lalu pasien mengaku awalnya mengeluh berkeringat
banyak yang dirasakan setiap saat. Keringat muncul walaupun pasien
hanya melakukan aktivitas ringan terlebih saat cuaca panas. Tangan terasa
lembab. Pasien cenderung menyukai tempat yang sejuk untuk mengurangi
keluhan yang dirasakan. Pasien juga mengeluh jantugnya terasa berdebar
8

debar. Namun pasien mengira hanya karena kelelahan. Sesak tidak ada
batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada tidak ada, benjolan tidak
ada. Mual tidak ada, muntah tidak ada. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
± 6 bulan yang lalu pasien mengeluh leher tampak membesar. Namun,
pasien belum berobat karena menurut pendapat orang disekitarnya tidak
ada pembesaran. Nyeri tidak ada, rasa mengganjal tidak ada, sulit menelan
tidak ada. Pasien merasakan nafsu makannya bertambah. Awalnya pasien
makan 3 kali sehari dengan porsi biasa, sekarang porsi makan lebih
banyak dan ditambah makan cemilan. Walaupun makan menjadi lebih
banyak, pasien mengaku berat badan menurun sebanyak ±5 kg dalam
waktu ±2 bulan. Pasien mengaku lebih banyak minum dari biasanya dan
BAK juga menjadi lebih sering namun, warna dan baunya normal seperti
biasa. Pasien juga mengeluh BAB juga menjadi lebih sering, biasanya 1
kali sehari menjadi 3 kali sehari, namun namun bentuk dan konsistensinya
normal seperti biasa. Keluhan berkeringat banyak dan rasa berdebar masih
dirasakan. Sesak tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri dada
tidak ada, benjolan di tempat lain tidak ada. Mual tidak ada, muntah tidak
ada.
± 3 bulan yang lalu pasien mengeluh jantungnya sering berdebar-
debar seperti orang gugup padahal tidak ada kejadian apapun. Awalnya
pasien mengira hal tersebut hanya karena kelelahan sehingga pasien tidak
membawa diri berobat, pasien mengaku hanya beristirahat, setelah itu
pasien merasa lebih baik. Pasien mengaku tidak pernah mengalami nyeri
dada atau terasa menyesak didada, keluhan berdebar-debar muncul
mendadak dan bisa kapan saja tanpa dipicu oleh sesuatu maupun aktivitas
tertentu. Sesak tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada. Pasien
mengaku emosinya tidak stabil, lebih sensitif dan mudah marah. Pasien
mangaku keluhan berkeringat semakin mengganggu, pakaian menjadi
mudah basah dan pasien menjadi lebih sering mandi. Pasien juga
mengeluh lama menstruasinya menjadi berkurang, biasanya 5 hari menjadi
3 hari setiap siklusnya, namun masih teratur setiap bulannya. Keluhan
BAK dan BAB masih sama.
9

± 1 minggu SMRS pasien mengeluh keluhan berkeringat semakin


mengganggu. Pasien merasa keluhannya bukan masalah biasa, sehingga
pasien berencana untuk berobat namun ragu karena situasi pandemi saat
ini. Pasien juga mengeluh mudah lelah tidak bertenaga walaupun hanya
melakukan aktivitas yang sangat ringan disertai kedua tangan yang sering
gemetar. Pasien sering merasa gelisah dan tidak bisa diam. Pasien juga
mengeluh susah tidur. Keluhan berderbar masih dirasakan, keluhan
benjolan dirasa semakin membesar. Pada tanggal 16 Februari 2021 pasien
berobat ke poliklinik endokrinologi RSMH untuk mengetahui penyakitnya
dan tatalaksananya.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit yang sama disangkal
- Riwayat darah tinggi tidak ada
- Riwayat kencing manis tidak ada
- Riwayat sakit jantung tidak ada
- Riwayat keganasan tidak ada

2.2.5 Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Riwayat penyakit yang sama disangkal
- Riwayat darah tinggi ada pada ibu pasien
- Riwayat kencing manis tidak ada
- Riwayat sakit jantung tidak ada
- Riwayat keganasan tidak ada

2.2.6 Riwayat Pengobatan


Tidak ada

2.2.7 Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


- Riwayat merokok tidak ada
- Riwayat konsumsi alkohol tidak ada
- Riwayat minum jamu tidak ada
10

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 16 Februari 2021)


2.3.1 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Sensorium : Compos mentis
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 104x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 20x/menit, regular, tipe pernapasan thoracoabdominal
Temperatur : 36,6oC
Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : 156 cm
IMT : 23,01 kg/m2 (normoweight)

2.3.2 Keadaan Spesifik


a. Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : Tidak ada
Deformitas : Tidak ada
Perdarahan temporal : Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada
Wajah sembab : Tidak ada

b. Mata
Eksoftalmus : tidak ada
Endoftalmus : tidak ada
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebral : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
Gerakan : Luas ke segala arah
11

c. Hidung
Sekret : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Napas cuping hidung : Tidak ada

d. Telinga
Meatus Akustikus Eksternus : Lapang
Nyeri Tekan : Processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri Tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : Tidak ada
Pendengaran : Baik

e. Mulut
Bibir : Chelitis (-), pucat (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Gigi-geligi : Lengkap normal
Gusi : Hipertrofi (-), berdarah (-)
Lidah : Atrofi papil (-)

f. Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-), benjolan (+)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid (+), bilateral, difus, batas sulit
ditentukan, lunak, nyeri (-). pembesaran KGB (-), distensi
vena jugularis (-) tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O
Auskultasi: bruit (-)

g. Thoraks
Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-), venektasi (-)
- Statis : simetris sama dengan kiri
- Dinamis : tidak ada yang tertinggal
12

Palpasi : stem fremitus sama antara kanan dan kiri, nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba,
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II (+) reguler, murmur (-), gallop (-)

h. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), striae (-),
umbilicus menonjol (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 6x/menit
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar lien dan ginjal tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)

i. Ekstremitas
Lengan : gerakan baik ke segala arah, eutonia
Tangan : kulit lembab, akral hangat, palmar eritem (+/+), tremor
(+/+), edema (-/-), clubbing finger (-), sianosis (-)
Tungkai dan kaki : akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), sianosis (-)

2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium


Hasil Pemeriksaan Laboratorium (11 Februari 2021)

Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal


Hematologi
Hemoglobin 13,0 g/dL 11,40-15,00
Leukosit (WBC) 9,61 103/mm3 4,37-10,89
13

Eritrosit (RBC) 5,20 106/mm3 4,00-5,70


Hematokrit 40 % 35-45
Trombosit (PLT) 342 103/uL 189-436
MCV 77,1 fL 85-95
MCH 25 Pg 28-32
MCHC 32 g/dL 33-35
RDW 13,6 % 11-15
LED 35 mm/jam <20
Retikulosit 0,3 % 0,5-1,5
Hitung Jenis: 0/5/47/36/12 % 0-1/1-6/50-
Basofil/Eosinofil/Netr 70/20-40/2-8
ofil/Limfosit/Monosit
KIMIA KLINIK
Kalsium (Ca) 9,1 mg/dL 9,2-11,0
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 144 mEq/L 135-155
Kalium (K) 4,7 mEq/L 3,5-5,5
IMUNOSEROLOGI
HORMON
T3 4,43 ng/mL 0,8-2,0
Free T4 3,27 ng/dL 0,70-1,48
TSHs <0,005 µIU/mL 0,51-4,30
URINALISIS
Warna Kuning Jernih
Jernih
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1,005 1,003-1,030
pH (Urine rutin) 6,0 5-9
Protein Negatif Negatif
Ascorbic Acid Negatif
Glukosa Negatif Negatif
14

Keton Negatif Negatif


Darah Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilingen 1 EU/dL 0,1-1,8
Nitrit Negatif Negatif
Laukosit Esterase Negatif Negatif
Sedimen Urin:
- Epitel Negatif /LPB Negatif

- Laukosit 0-1 /LPB 0-5

- Eritrosit 0-1 /LPB 0-1

- Silinder Negatif Negatif

- Kristal Negatif Negatif

- Bakteri Negatif Negatif

- Mukus Negatif Negatif

- Jamur Negatif Negatif


15

Hasil EKG (11 Februari 2021)

Irama : Sinus, reguler


Axis : Normal
HR : 99 x/menit
Gelombang P : normal, p mitral (-), p pulmonal (-)
ST : Tidak ada ST elevasi, tidak ada ST depresi

Kesan:
- Irama sinus normal
- Aksis normal
- Hipertrofi Ventrikel Kiri

2.3.4 Diagnosis Sementara


Hipertiroid e.c susp Graves’ Disease

2.3.5 Diagnosis Banding


Hipertiroid e.c Adenoma Tiroid
16

2.3.6 Tatalaksana
1. Non-Farmakologi
- Tirah baring
- Diet
- Edukasi mengenai penyakit, tatalaksana dan prognosis kepada
pasien dan keluarga
2. Farmakologi
- Prophylthiouracil 3x100 mg PO
- Propranolol 3x10 mg PO

2.3.7 Rencana Pemeriksaan


- Cek lab TRAb
- USG tiroid
- Rontgen Thorax

2.3.8 Prognosis
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : dubia ad bonam
c. Quo ad sanationam : dubia ad malam
17

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Hipertiroidisme adalah kondisi klinis yang disebabkan oleh peningkatan
sintesis dan sekresi hormon oleh kelenjar tiroid yang mempengaruhi seluruh
tubuh dimana kelenjar tiroid memproduksi lebih banyak hormon tiroid yang
dibutuhkan oleh tubuh. Kadang-kadang disebut juga tirotoksikosis .
Tirotoksikosis didefinisikan sebagai manifestasi klinis yang berhubungan
untuk meningkatkan kadar hormon tiroid.3

3.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertiroidisme berbeda menurut kelompok etnis sedangkan
di Eropa frekuensinya dipengaruhi oleh asupan makanan yodium dan
beberapa kasus disebabkan oleh penyakit autoimun. Hipertiroidisme
subklinis lebih sering terjadi pada wanita yang berusia lebih dari 65 tahun
dibandingkan pria, sedangkan tingkat hipertiroidisme nyata adalah 0,4 per
1000 wanita dan 0,1 per 1000 pria dan bervariasi sesuai usia.7
Setiap analisis epidemiologi global hipertiroidisme akan
menggambarkan sepanjang garis daerah yang mencukupi yodium dan
daerah kekurangan yodium. Sementara kelebihan yodium dapat
menyebabkan hipertiroidisme, kekurangan yodium dapat menyebabkan
hipotiroidisme dan hipertiroidisme.8
Penyakit Graves (GD) berlanjut sebagai yang paling sering ditemui
etiologi penyebab hipertiroidisme sekitar 60-80% dari semua kasus
tirotoksikosis di seluruh dunia. Itu juga lebih sering ditemukan pada wanita
dengan rasio perempuan dan laki-laki 8:1.3

3.3 Etiologi
Hipertiroidisme dapat terjadi akibat peningkatan sintesis dan sekresi
TH, akibat stimulator tiroid dalam darah, atau hiperfungsi tiroid otonom dan
dapat berkembang dari pelepasan TH yang berlebihan dari tiroid, tanpa
18

peningkatan sintesis. Pelepasan ini biasanya disebabkan oleh perubahan


destruktif dari berbagai bentuk tiroiditis. Berbagai sindrom klinis juga
menyebabkan hipertiroidisme. Tiga penyebab umum tirotoksikosis berikut
ini terkait dengan hiperfungsi kelenjar tiroid:9
• Hiperplasia tiroid difus terkait dengan penyakit Graves (sekitar 85%
kasus)
• Gondok multinodular hiperfungsional
• Adenoma tiroid hiperfungsional
Etiologi hipertiroid adalah karena kelebihan produksi T4, T3, atau
keduanya. Diagnosis tiroid yang terlalu aktif dan pengobatan penyebab yang
mendasari dapat meredakan gejala dan mencegah komplikasi. Penyebab
hipertiroidisme termasuk kelainan autoimun yang dikenal sebagai penyakit
Graves; serta kelebihan yodium, tiroiditis, adenoma toksik, dan tumor lain,
gondok multinodular toksik, dan sejumlah besar tetraiodotironin yang
diterima melalui suplemen makanan dari obat-obatan. Stimulasi berlebihan
pada kelenjar tiroid oleh reseptor TSH dan mutasi reseptor ini adalah
penyebab umum hipertiroidisme. Penyebab lainnya termasuk kerusakan
pada folikel tiroid yang menyebabkan mereka melepaskan hormon tiroid
secara pasif. Penyebab tambahan hipertiroidisme meliputi:
• Tiroiditis (penyakit tiroid inflamasi) termasuk tiroiditis Hashimoto,
tiroiditis granulomatosa subakut, dan tiroiditis limfositik diam; ada
perubahan kelenjar tiroid yang merusak dan pelepasan hormon yang
disimpan bukan karena peningkatan sintesis; hipotiroidisme kemudian
bisa menyusul.
• Konsumsi yodium yang berlebihan ada serapan yodium radioaktif tiroid
rendah (RAIU); ini biasanya terjadi dengan gondok nodular tidak
beracun pada pasien (kebanyakan pada usia lanjut) yang diberi obat
yang mengandung yodium atau yang memiliki studi radiologis yang
menggunakan agen kontras kaya yodium; kelebihan yodium dapat
menyediakan substrat untuk area otonom tiroid yang tidak diatur dan
diatur oleh TSH untuk menghasilkan hormon; hipertiroidisme biasanya
berlangsung selama kelebihan yodium dalam sirkulasi.
19

• Tirotoksikosis factitia karena overingestion sadar atau disengaja TH.


• Kadar human chorionic gonadotropin (hCG) yang tinggi karena
kehamilan mola, koriokarsinoma, atau hiperemesis gravidarum; kadar
hCG paling tinggi pada trimester pertama kehamilan, menyebabkan
TSH serum menurun dan sedikit meningkatserum fT 4 ; peningkatan
stimulasi tiroid mungkin disebabkan oleh tingkat hCG desialasi parsial
yang lebih tinggi, yang tampaknya lebih kuat dalam stimulasi tiroidnya
daripada hCG yang lebih sialated; secara keseluruhan, penyebab ini
bersifat sementara; fungsi normal kembali berjalan setelah kondisi
hilang atau diobati.
• Penyakit Plummer juga disebut gondok soliter beracun atau
multinodular; mungkin karena mutasi gen reseptor TSH yang
menghasilkan stimulasi tiroid terus menerus; gondok nodular toksik
tidak menyebabkan manifestasi autoimun atau antibodi yang bersirkulasi
yang terlihat pada pasien dengan penyakit Graves; gondok soliter dan
multinodular toksik biasanya tidak sembuh.
• Hipertiroidisme akibat obat bisa dari amiodarone dan interferon alfa; ini
dapat menyebabkan tiroiditis dengan hipertiroidisme dan gangguan
lainnya; litium, dalam kasus yang jarang terjadi, dapat menyebabkan
hipertiroidisme tetapi lebih sering menjadi penyebab
hipotiroidisme; pasien yang menerima obat ini membutuhkan
pemantauan ketat.
• Struma ovarii terjadi bila teratoma ovarium memiliki jaringan tiroid
yang cukup untuk menyebabkan hipertiroidisme sejati; di panggul,
terjadi RAIU; penyerapan oleh tiroid biasanya ditekan.
• Hipertiroidisme dominan autosomal non autoimun pada masa bayi, ini
terjadi akibat mutasi gen reseptor TSH, yang menghasilkan rangsangan
tiroid terus menerus.
• Kanker tiroid metastatik jarang, kelebihan produksi hormon tiroid terjadi
akibat karsinoma folikel metastatik yang berfungsi terutama pada
metastasis paru.
20

• Sekresi TSH yang tidak tepat jarang; pada hipertiroidisme, TSH pada


dasarnya tidak terdeteksi, kecuali jika terdapat adenoma hipofisis
anterior yang mensekresi TSH atau resistensi hipofisis terhadap
TH; tingkat TSH tinggi; TSH yang dihasilkan oleh kedua kelainan
tersebut secara biologis memiliki aktivitas yang lebih tinggi daripada
TSH normal; peningkatan subunit alfa dari TSH dalam darah terjadi bila
ada adenoma hipofisis yang mensekresi TSH.9

3.4 Faktor Risiko


Faktor risiko hipertiroidisme meliputi:
 Kondisi medis
Kondisi medis dapat meningkatkan risiko hipertiroidisme:
 Infeksi virus umum tertentu
 Kehamilan
Sebagian kecil wanita mengalami tiroiditis pascapartum
(hipertiroidisme setelah kehamilan).
 Riwayat gangguan autoimun lainnya
 Usia
Hipertiroidisme dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering terjadi
pada orang yang berusia 60 tahun ke atas. Penyakit Graves (salah satu
penyebab hipertiroidisme) lebih mungkin terjadi pada usia 40-60 tahun.
 Jenis kelamin
Wanita lebih mungkin dibandingkan pria untuk mengembangkan
hipertiroidisme.
 Faktor genetik
Riwayat penyakit Graves dalam keluarga atau bentuk hipertiroidisme
lainnya meningkatkan risiko Anda.
 Latar belakang etnis
Orang-orang keturunan Jepang tampaknya memiliki risiko
hipertiroidisme yang lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan oleh pola
makan tinggi ikan air asin, yang kaya akan yodium.
21

 Faktor lain
Jika Anda menjalani pola makan yang kurang yodium, kemudian mulai
mengonsumsi suplemen yodium, ini dapat meningkatkan risiko
hipertiroidisme.10

3.5 Patofisiologi
Patofisiologi hipertiroidisme bergantung pada varian tertentu dari
hipertiroidisme. Dalam kasus penyakit Graves, penyebab utamanya adalah
autoimun, khususnya produksi imunoglobulin perangsang tiroid yang
mengikat reseptor TSH dan meniru efek TSH. Penyakit Graves muncul
dengan 2 tanda ekstra-tiroid yang biasanya tidak terlihat pada bentuk
hipertiroidisme lainnya. Ophthalmopathy penyakit Graves ditandai dengan
edema jaringan retro-orbital, sehingga menyebabkan tonjolan bola mata di
anterior.11
Gondok multinodular toksik muncul dengan nodul tiroid yang
teraba. Ini adalah penyebab utama hipertiroidisme, terutama pada populasi
yang lebih tua. Gondok multinodular toksik menyebabkan produksi hormon
tiroid berlebih dari jaringan ektopik otonom, sehingga menyebabkan
tirotoksikosis klinis. Berbeda dengan gondok multinodular toksik yang
dapat muncul dengan beberapa nodul, adenoma tiroid biasanya muncul
dengan nodul papiler soliter yang berpotensi menyebabkan
hipertiroidisme. Adenoma tiroid yang hiperfungsi dapat dibedakan dari
karsinoma tiroid dengan gambaran klinisnya. Produksi hormon tiroid oleh
karsinoma tiroid tidak mencukupi dan tidak dapat mencapai kadar hormon
tiroid yang cukup untuk menyebabkan hipertiroidisme nyata. Akibatnya,
adenoma tiroid umumnya jinak.7
Hipertiroidisme sekunder akibat tiroiditis menyebabkan peningkatan
sementara hormon tiroid yang bersirkulasi akibat gangguan mekanis folikel
tiroid. Tiroiditis subakut (tiroiditis DeQuervain) biasanya mengikuti infeksi
akut, misalnya, infeksi saluran pernapasan atas. Ini adalah proses
peradangan granulomatosa, menghasilkan kelenjar tiroid yang sangat
lembut. Tiroiditis tanpa nyeri adalah salah satu bentuk hipertiroidisme,
22

biasanya terlihat pada tahap pascapartum. Ini adalah tiroiditis limfositik, dan
dapat dibedakan dari rekan subakutnya dengan riwayat klinis dan palpasi
kelenjar tiroid (yang tidak nyeri tekan pada tiroiditis tanpa nyeri tetapi nyeri
pada tiroiditis subakut).7
Hipertiroidisme yang diinduksi yodium biasanya iatrogenik, akibat
pemberian obat yang mengandung yodium seperti media kontras atau
amiodarone. Seperti disebutkan sebelumnya, pengorganisasian residu iodida
menjadi molekul hormon tiroid prekursor relatif mengatur dirinya sendiri.
Iodida yang bersirkulasi secara berlebihan menghambat pengorganisasian,
sebuah proses yang dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff. Namun, para
profesional percaya bahwa pada pasien dengan hipertiroidisme yang
diinduksi yodium, area fungsi otonom memungkinkan sekresi hormon tiroid
yang berlebihan dengan adanya kadar iodida yang tinggi. Penghentian agen
penyebab biasanya menghasilkan resolusi hipertiroidisme. Tirotoksikosis
yang diinduksi amiodaron memiliki dua tipe: tipe 1 dan tipe 2. Perbedaan
antara 2 subtipe terlihat dari sejarah,temuan diagnostik, dan pengobatan.
Tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron, pasien tipe 1 biasanya memiliki
kelainan tiroid yang sudah ada sebelumnya, serapan RAI rendah, dan
peningkatan aliran darah parenkim tiroid. Perawatannya biasanya obat anti-
tiroid. Sebaliknya, tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron, pasien tipe 2
mungkin tidak memiliki riwayat penyakit tiroid sebelumnya. Diagnosis
mungkin menunjukkan serapan RAI yang relatif lebih rendah dan aliran
darah parenkim tiroid menurun. Perawatan untuk varian tipe 2 biasanya
steroid. Sementara paparan yodium berlebih dari pemberian amiodarone
dapat menyebabkan hipertiroidisme, amiodarone itu sendiri dapat langsung
bersifat sitotoksik, berkontribusi pada cedera tiroid.dan peningkatan aliran
darah parenkim tiroid. Perawatannya biasanya obat anti-tiroid. Sebaliknya,
tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron, pasien tipe 2 mungkin tidak
memiliki riwayat penyakit tiroid sebelumnya. Diagnosis mungkin
menunjukkan serapan RAI yang relatif lebih rendah dan aliran darah
parenkim tiroid menurun. Perawatan untuk varian tipe 2 biasanya steroid.
Sementara paparan yodium berlebih dari pemberian amiodarone dapat
23

menyebabkan hipertiroidisme, amiodarone itu sendiri dapat langsung


bersifat sitotoksik, berkontribusi pada cedera tiroid.dan peningkatan aliran
darah parenkim tiroid. Perawatannya biasanya obat anti-tiroid. Sebaliknya,
tirotoksikosis yang diinduksi amiodaron, pasien tipe 2 mungkin tidak
memiliki riwayat penyakit tiroid sebelumnya. Diagnosis mungkin
menunjukkan serapan RAI yang relatif lebih rendah dan aliran darah
parenkim tiroid menurun. Perawatan untuk varian tipe 2 biasanya steroid.
Sementara paparan yodium berlebih dari pemberian amiodarone dapat
menyebabkan hipertiroidisme, amiodarone itu sendiri dapat langsung
bersifat sitotoksik, berkontribusi pada cedera tiroid.Sementara paparan
yodium berlebih dari pemberian amiodarone dapat menyebabkan
hipertiroidisme, amiodarone itu sendiri dapat langsung bersifat sitotoksik,
berkontribusi pada cedera tiroid.Sementara paparan yodium berlebih dari
pemberian amiodarone dapat menyebabkan hipertiroidisme, amiodarone itu
sendiri dapat langsung bersifat sitotoksik, berkontribusi pada cedera tiroid.12
Kadar gonadotropin korionik yang terlalu tinggi seperti yang terlihat
pada kasus tumor trofoblas dapat menyebabkan hipertiroidisme melalui
aktivasi reseptor TSH yang lemah. Penyebab hipertiroidisme ini,
bagaimanapun, sangat jarang dibandingkan dengan penyebab
hipertiroidisme yang disebutkan sebelumnya.7

3.6 Penegakkan Diagnosis


1. Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak.
Tiroidal dapat berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akhibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala
hipertiroidisme dapat berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang meningkat seperti pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat berlebih, berat badan menurun sementara nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan atau atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati dan
24

infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya. Pada
anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada hipertiroid perlu
juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit
yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan dengan autoimun.13
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal yang
berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang ditandai
dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan berkurang, lid
lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat ditemukan goiter
difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan tremor.13
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free
thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH serum, tes
penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine uptake) dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).13
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4.13

Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk
ini telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengen
pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid
dan etiologi.14
25

3.7 Manifestasi Klinis


Hipertiroidisme dapat bermanifestasi sebagai penurunan berat badan
meskipun nafsu makan meningkat, palpitasi, gugup, tremor, dispnea,
kelelahan, diare atau peningkatan motilitas GI, kelemahan otot, intoleransi
panas, dan diaphoresis. Tanda dan gejala paparan hormon tiroid ke jaringan
perifer mencerminkan keadaan hipermetabolik. Seorang pasien dengan
hipertiroidisme klasik datang dengan tanda dan gejala yang mencerminkan
keadaan peningkatan aktivitas metabolik ini. Gejala umum yang mungkin
dilaporkan pasien termasuk penurunan berat badan yang tidak disengaja
meskipun asupan oral tidak berubah, palpitasi, diare atau peningkatan
frekuensi buang air besar, intoleransi panas, diaphoresis, dan / atau
ketidakteraturan menstruasi.15
Pemeriksaan fisik tiroid mungkin atau mungkin tidak mengungkapkan
tiroid yang membesar (disebut sebagai gondok). Tiroid mungkin membesar
secara difus, atau satu atau lebih nodul dapat teraba. Tiroid mungkin tidak
menimbulkan rasa sakit saat palpasi atau sangat lembut bahkan hingga
palpasi ringan.15

3.8 Pemeriksaan Penunjang


26

Diagnosis penyakit Graves dimulai dengan riwayat menyeluruh dan


pemeriksaan fisik. Sejarah harus mencakup riwayat keluarga penyakit
Graves.16,17
Tes fungsi tiroid untuk mendiagnosis hipertiroidisme:
Tes awal untuk diagnosis hipertiroidisme adalah tes hormon perangsang
tiroid (TSH). Jika TSH ditekan, seseorang perlu memesan T4 Bebas (FT4)
dan T3 Bebas (FT3). Jika tes hormon gratis tidak tersedia, T4 total
(Tiroksin) dan T3 total (Triiodothyronine) dapat dipesan. TSH yang tertekan
dengan FT4 atau FT3 tinggi atau keduanya akan mengkonfirmasi diagnosis
hipertiroidisme. Pada hipertiroidisme subklinis, hanya TSH yang tertekan,
tetapi FT4 dan FT3 normal.
Tes membedakan Graves dari penyebab hipertiroidisme lainnya:
Diagnosis Graves dapat terlihat jelas dengan anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan fisik. Gambaran yang menunjukkan penyakit Graves termasuk
riwayat keluarga yang positif dari penyakit Graves, adanya orbitopati, tiroid
yang membesar secara difus dengan atau tanpa bruit dan miksedema
pretibial. Namun, jika diagnosis dipertanyakan karena kekurangan satu atau
lebih fitur ini, tes berikut dapat dipesan:
1. Pengukuran antibodi reseptor TSH (TRAb): Ada dua tes yang tersedia,
thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) dan thyrotropin-binding
inhibiting (TBI), atau thyrotropin-binding inhibitory immunoglobulin
(TBII). Pengukuran TRAb dengan assay generasi ketiga memiliki
sensitivitas dan spesifisitas 97% dan 99% untuk diagnosis penyakit
Graves.18 Pengukuran TRAb ditunjukkan dalam kondisi berikut:
 Hipertiroidisme selama kehamilan ketika pemindaian pengambilan
tiroid merupakan kontraindikasi
 Wanita hamil dengan penyakit h / o Graves untuk menentukan
kemungkinan hipertiroidisme janin dan neonatal karena antibodi ini
melintasi plasenta
 Pasien dengan kemungkinan orbitopathy Graves tanpa hipertiroidisme
biokimia
27

 Pasien dengan h / o beban yodium besar baru-baru ini di mana


pemindaian serapan tiroid tidak dapat diandalkan, misalnya,
penggunaan amiodaron baru-baru ini, studi pencitraan terbaru dengan
kontras beryodium
 Untuk mengetahui prognosis hipertiroidisme yang sedang dirawat. 
2. Scan serapan yodium radioaktif dengan I-123 atau I-131: Pada penyakit
Graves, serapannya akan tinggi dan menyebar sedangkan, dalam bintil
toksik, serapannya akan terfokus yang disebut bintil panas. Gondok
multinodular toksik akan memiliki serapan yang heterogen. Penyerapan
yodium radioaktif pada tiroiditis subakut atau silent, hipertiroidisme
buatan, dan beban yodium baru-baru ini akan rendah.
3. Ultrasonogram Tiroid dengan Doppler: Kelenjar tiroid pada penyakit
Graves biasanya hipervaskuler.
4. Rasio T3 / T4 lebih besar dari 20 (ng / mcg) atau rasio FT3 / FT4 lebih
besar dari 0,3 (satuan SI) menunjukkan penyakit Graves dan dapat
digunakan untuk membedakan penyakit Graves dari tirotoksikosis yang
diinduksi oleh tiroiditis.
Tes Lainnya:
CT atau MRI orbit dapat dilakukan untuk mendiagnosis Graves orbitopathy
pada pasien yang datang dengan orbitopathy tanpa hipertiroidisme.
Penderita hipertiroidisme dapat mengalami anemia mikrositik,
trombositopenia, bilirubinemia, transaminase tinggi, hiperkalsemia,
fosfatase alkali tinggi, kolesterol LDL dan HDL rendah.18

3.9 Tatalaksana
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat
antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang
menyertainya.14,19

Obat – obatan
a. Obat Antitiroid:
Golongan Tionamid
28

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.


Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol
dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan
tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan
metimazol. 14,19
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi
dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin.
Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3
ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan
penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan
metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang
dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal. 14,19
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya
dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
14,19

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat


antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan
eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan
secara tunggal pagi hari).14,19
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-
150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-
200 mg, 1 atau 2 kali sehari. 14,19
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole
karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif
29

dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit
Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40
mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
5-20 mg perhari. 14,19
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU
dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis
dan biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan
kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-
faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas
fisis dan psikis. 14,19
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya
efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like
syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk
terapi alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya
ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi
perlu diberikan antibiotika. 14,19
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic
edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi
30

perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes


fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi.
Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut
akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya
dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. Bila
timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba
ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau
sebaliknya. 14,19
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan
sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang
masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi
dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap
dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat
Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat
Anti Tiroid dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat
T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek
klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak
terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai.
Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi,
tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata. 14,19
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
31

(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi


panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit-
menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4
ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta
dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan
nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40
mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol. 14,19
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit
kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah
kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan
penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal
jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium.
Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena
Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat
monoamin oksidase. 14,19
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic
contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai
efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai
regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut
sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi
tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif. 14,19
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia
muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan.
Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan
relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan
sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama
pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah
pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
32

Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama


pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar
tiroid kurang sensitif terhadap OAT. 14,19
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3-6 bulan untuk
memantau respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah
pemeriksaan kadar FT4 dan TSH. 14,19
Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan
cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun
1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan renddah yaitu hanya 1,7 %
pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole
dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang
hanya mendapatkan terapi methimazole. 14,19
Protokol pengobatannya adalah sebagai berikut :
Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari selama 6
bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari
selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun.
Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang
sama namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata
lebih rendah pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan
sebaliknya pada kelompok kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH
selama pengobatan dengan OAT akan merangsang pelepasan molekul
antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang pada gilirannya akan
merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH. Dengan kata
lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian tiroksin
eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun
intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi
antigen. Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan
tiroksin adalah agar penyesuaian dosis OAT untuk menghindari
hipotiroidisme tidak perlu dilakukan terlalu sering, terutama bila
digunakan OAT dosis tinggi. 14,19
33

Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita
dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan
dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6
minggu). Disamping itu , selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan
Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan
untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.
Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa
banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat. 14,19
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein
dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi
relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen
tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves. 14,19
Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak
lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi
kelenjar tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang
dari 2 mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa
efek yang berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan
diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi
dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi
sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan tingkat
radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi
hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu
setelah 1 tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui
saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam
kelenjar tiroid. Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara
pengobatan ini aman, tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat
karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-
34

bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium
radioaktif. 14,19
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil
atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan
yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak
hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa
pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien
hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini
seringkali kambuh dengan OAT. 14,19
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat
jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah
terjadi karena massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat
kecil, hanya 1 mikrogram. 14,19
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8-12 minggu, dan bila perlu
terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat
diberikan obat-obat penyekat beta dan / atau OAT. Respons terhadap
pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis
I131 dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan
asupan yodium dalam makanan sehari-hari. 14,19
35

BAB IV
PEMBAHASAN

Nn. AZA 20 tahun, perempuan, datang ke poliklinik endokrinologi


Rumah Sakit Moh. Hoesin Palembang dengan keluhan kringat berlebihan yang
dirasakan di seluruh tubuh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
berkeringat Sudah dirasakan sejak satu tahun yamg lalu. Keringat muncul
walaupun pasien hanya melakukan aktivitas ringan dan saat cuaca panas. Tangan
terasa lembab. Pasien cenderung menyukai tempat yang sejuk untuk mengurangi
keluhan yang dirasakan. Keluhan ini disertai dengan keluhan berdebar, cemas dan
gelisah. Keluhan berdebar terjadi tidak dipengaruhi aktivitas. Nyeri dada tidak
ada, sesak tidak ada, demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada. Pasien
mengeluh leher tampak membesar, namun tidak nyeri, sulit menelan tidak ada dan
suara serak tidak ada. Pasien juga merasakan nafsu makannya meningkat namun
berat badan menurun sebanyak 3 kg dalam waktu 2 bulan. BAK dan BAB
menjadi lebih sering. Pasien juga mengeluh emosi menjadi labil dan mudah
marah. Menstruasi menjadi lebih sedikit.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembesaran kelenjar
tiroid/struma. Kelenjar teraba membesar pada lobus kiri dan kanan, difus, batas
sulit dinilai, konsistensi lunak, dan mobile. Tekanan darah 140/80 mmHg, nadi
104 x/menit, regular isi dan tegangan cukup, pernafasan 20x/menit, regular, tipe
pernafasan thoracoabdominal, suhu 36,6oC, dan IMT normoweight. Dari
pemeriksaan toraks, batas kiri jantung didapatkan melebar hingga linea axillaris
anterior sinistra. Pada ekstremitas, didapatkan kulit terasa lembab, hangat, palmar
eritem, dan tremor. Edema pada tungkai tidak ada.
Dari pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis pada pasien ini didapatkan kadar T3 meningkat
yaitu 4,43 ng/dL, kada free T4 juga meningkat yaitu 3,27 ng/dL. Sedangkan kadar
TSH sangat rendah yaitu <0,005 µIU/mL. Pada pemeiksaan EKG, didapatkan
kesan irama sinus normal, aksis normal, dan terdapat hipertrofi ventrikel kiri.
36

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat digunakan skoring penyakit


hipertiroid berdasarkan gejala dan keluhan yang di alami pasien dengan
menggunakan skoring Index Wayne. Pada index Wayne di dapatkan range skoring
+45 hingga – 25 dimana jika skor >+19, maka dapat dikatakan hipertiroid
sedangkan jika skor kurang dari 11 maka dapat dikatakan euthiroid. Sedangkan
kondisi dimana skoring 11 hingga 19 katakakan kondisi equivocal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, gejala dan tanda yang dialami
pasien yang memenuhi skoring Index Wayne, didapatkan skor 32 yang artinya
pasien mengalami hipertiroid. Poin-poin yang terpenuhi dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Indeks Wayne:
Indeks Wayne
No
Gejala Yang Baru Timbul Dan Atau Bertambah Berat Nilai
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada


1 Tiroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
< 80x per menit - -3
80-90 per menit - -
10
> 90x per menit +3 -
Hasil: 32 (Hipertiroid)
37

Dari hasil skoring menunjukkan pasien mengalamai hipertiorid dan


didukung dengan pemeriksaan faal tiroid yang menunjukkan peningkatan kadar
T3 dan free T4 serta penurunan kadar TSH. Dari hasil tersebut pasien didiagnosis
Hipertiroid e.c susp Graves Disease.
Dari skoring Burch Wartofsky, didapatkan skor 5 dari gejala
kardiovaskular yaitu HR 104x/menit dan skor 10 dari gejala neurologis ringan
agitasi. Sehingga didapatkan skor 15, artinya pada pasien ini belum terjadi krisis
tiroid.

Kompetensi dokter umum untuk penanganan hipertiroid termasuk dalam


tingkat kompetensi 3A, dimana mampu mendiagnosa, memberi terapi awal, lalu
38

merujuk pasien. Tatalaksana yang dilakukan adalah tatalaksana non farmakologis


dan farmakologis. Pada tatalaksana non farmakologis terutama dilakukan tirah
baring, edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang dialami, prognosis,
rencana pengobatan, diet. Untuk farmakologis, pasien diberikan prophyltiouracil
untuk menurunkan kadar hormone tiroid, dan propranolol diberikan untuk
mengurangi manifestasi simpatis, meliputi takikardia, gelisah, dan keringat
berlebihan. Prognosis pada pasien adalah untuk quo ad vitam dubia ad bonam,
quo ad functionam dubia ad bonam, dan quo ad sanationam dubia ad bonam.
39

DAFTAR PUSTAKA

1. Kravets, Hipertiroidisme: Diagnosis and Treatment. Stony Brook


University School of Medicine, Stony Brook, New York. Volume 93,
Number 5. 2016.
2. Srikandi, Putri Rahayu. Hipertiroidismee Graves Disease: Case
Report. Jurnal Kedokteran Raflesia, 2020, 6.1: 30-35.
3. The Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism, Journal
of The Asean Federation of Endocrine Societies, 2012; 27(1):1-5.
4. Simone De Leo, Sun Y Lee, and Lewis E Braverman Published in final
edited form as: Lancet. 2016; 388(10047): 906–918.
5. Kusrini I, Kumorowulan S. Nilai Diagnostic Indeks Wayne dan Indeks
Newcastle untuk Penapisan Kasus Hipertiroid. Jakarta: Balai Penelitian
dan Pengembangan GAKI, Kementerian Kesehatan RI; 2010.
6. Yunitawati D. Konseling Psikologi dan Kecemasan pada Penderita
Hipertiroid di Klinik Litbang Gaki Magelang. Magelang: MGMI. 2014;
6(1):53-62.
7. Mathew P, Rawla P. Hyperthyroidism. In: StatPearls. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2020.
8. Taylor PN, Albrecht D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus JH, Dayan
CM, Okosieme OE. Global Epidemiology of Hyperthyroidism and
Hypothyroidism. Nat Rev Endocrinol. 2018;14(5):301-316.
9. Moini, Jahangir; Pereira, Katherine; Samsam, Mohtashem. Epidemiology
of Thyroid Disorders. Elsevier, 2020.
10. Vaidya, Bijay; Pearce, Simon HS. Diagnosis and Management of
Thyrotoxicosis. BMJ, 2014, 349.
11. Menconi F, Marcocci C, Marinò M. Diagnosis and Classification of
Graves' Disease. Autoimmun Rev. 2014;13(4-5):398-402.
40

12. Trohman RG, Sharma PS, Mcaninch EA, Bianco AC. Amiodarone and
Thyroid Physiology, Pathophysiology, Diagnosis and
Management. Trends Cardiovasc Med. 2019;29(5):285-295.
13. Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis
in a Man with Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of
Medical Case Reports 2011, 5:277.
14. Rani, A. Panduan Pelayanan Medik. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta. 2009.
15. De Leo S, Lee SY, Braverman LE. Hipertiroidisme. Lanset. 2016; 388
(10047): 906-918.
16. Rago T, Cantisani V, Ianni F, Chiovato L, Garberoglio R, Durante C,
Frasoldati A, Spiezia S, Farina R, Vallone G, Pontecorvi A, Vitti
P.Pelaporan ultrasonografi tiroid: konsensus Asosiasi Tiroid Italia (AIT),
Italia Perkumpulan Endokrinologi (SIE), Perkumpulan Ultrasonografi
dalam Kedokteran dan Biologi Italia (SIUMB) dan Bab Ultrasonografi
dari Perkumpulan Radiologi Medis Italia (SIRM). J Investasi
Endocrinol. 2018; 41 (12): 1435-1443.
17. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedüs L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce
SH. Pedoman Asosiasi Tiroid Eropa 2018 untuk Pengelolaan
Hipertiroidisme Kuburan. Eur Thyroid J. 2018; 7 (4): 167-186.
18. Kotwal A, Stan M. Thyrotropin Receptor Antibodi-An Overview. Bedah
Perbaikan Plast Ophthalmic. 2018; 34 (4S Suppl 1): S20-S27.
19. Djokomoeljanto,R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Kelenjar Tiroid,
Hipotiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.

Anda mungkin juga menyukai