Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

HIPERBILLIRUBINEMIA

Pembimbing:
dr. Zidnie Prisilla, Sp.A

Disusun Oleh:
Puteri Qatrunnada Fithriyah
030.14.157

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 22 NOVEMBER – 02 JANUARI 2022

1
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi kasus yang berjudul
Hiperbillirubinemia

Yang disusun oleh:


Puteri Qatrunnada Fithriyah
030.14.157

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. Zidnie Prisilla, Sp.A

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Budhi Asih
Periode 22 November – 02 Januari 2021

Jakarta, Desember 2021


Pembimbing

dr. Zidnie Prisilla, Sp.A

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan nikmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang berjudul
“Hiperbilirubinemia”.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis menyelesaikan laporan kasus ini:

1. dr. Zidnie Prisilla, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
saran dalam penyusunan laporan kasus ini selama penulis menempuh kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Budhi Asih.

2. Teman-teman yang turut memberikan masukan dan membantu penyelesaian


laporan kasus ini.

Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta. Penulis dalam menyusun dan menulis
presentasi kasus ini sadar bahwa presentasi kasus ini walaupun telah ditulis berdasarkan
berbagai sumber namun tetap belum sempurna, sehingga penulis terbuka akan masukan
berupa kritik maupun saran yang membangun demi penulisan presentasi kasus di masa yang
akan datang,

Penulis mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan istilah, nama dan tempat
yang luput dari pengetahuan penulis, penulis berharap bahwa pengetahuan atau wawasan
dalam presentasi kasus yang berujudul “Demam Berdarah Dengue” ini dapat berguna bagi
yang membaca, akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, Desember 2021

Puteri Qatrunnada F

3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN 2
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN 5
BAB II LAPORAN KASUS 6
2.1 Identitas pasien 6
2.2 Anamnesis 7
2.3 Pemeriksaan Fisik 10
2.4 Pemeriksaan Penunjang 14
2.5 Resume 15
2.6 Diagnosis Kerja 15
2.7 Diagnosis Banding 15
2.8 Tatalaksana 15
2.8 Prognosis 15
2.10 Follow-Up 16
BAB III RINGKASAN PEMBAHASAN KASUS 17
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA 18
4.1 Definisi .......................18
4.2 Etiologi ...........18
4.3 Klasifikasi 19
4.4 Faktor Resiko 21
4.5 Patofisiologi 22
4.6 Gejala Klinis ...........23
4.7 Diagnosis ....... ...........23
4.8 Tatalaksana 27
4.9 Komplikasi 28
BAB V KESIMPULAN 29
DAFTAR PUSTAKA 30

4
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir.1 Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi
peningkatan kadar bilirubin dalam darah >5mg/dL, yang secara klinis ditandai oleh adanya
ikterus, dengan faktor penyebab fisiologik dan non-fisiologik. 1,2,3 Ikterus Neonatorum adalah
diskolorisasi kuning penumpukan pada kulit / organ lain akibat penumpukan bilirubin dalam
darah. Ikterus adalah menguningnya sclera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan
bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam,
yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, system biliary, atau system
hematologi.4 Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin
darah 5-7 mg/dl.5

Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama
kehidupan disebabkan oleh keadaan ini.2 Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning
akibat aku mulasi pigmen bilirubin yang berwarna kuning pada sklera dan kulit. 1,2
Berdasarkan Data Survei Kesehatan Indera Pendengaran di tujuh propinsi tahun 1994- 1996
menyebutkan prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia adalah 16,8% dan
0,4%.6 Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi gangguan pendengaran pada populasi
penduduk Indonesia diperkirakan 4,2%. Maka berdasarkan data tahun 2002 apabila jumlah
penduduk Indonesia 221.900.000, 9.319.800 penduduk Indonesia diperkirakan menderita
gangguan pendengaran.7
Pada bayi baru lahir terjadi kenaikan fisiologis kadar bilirubin dan 60% bayi >35
minggu akan terlihat ikterik. Namun, 3%-5% dari kejadian ikterik tersebut tidaklah fisiologis
dan berisiko untuk terjadinya kerusakan neurologis bahkan kematian. Sebagai pencegahan
hiperbilirubinemia berat yang dapat menyebabkan kerusakan neurologis, pemeriksaan
bilirubin telah menjadi rekomendasi universal bayi baru lahir yang terlihat kuning. Semakin
tinggi perhatian klinisi untuk pencegahan kernikterus, semakin rendah insidensinya.
Indonesia menghadapi masalah overtreatment di perkotaan, dan undertreatment di daerah
terpencil. Masalah overtreatment ini dapat menyebabkan kecemasan ibu, waktu menyusui
anak ke ibu berkurang, serta tidak memungkiri peningkatan biaya yang harus ditanggung.

5
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Identitas pasien

Nama : By. A

Jenis kelamin : Laki-Laki

Umur : 8 hari

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 03/12/2021

Suku bangsa : Betawi

Agama : Islam

Pendidikan : Belum Sekolah

Alamat : Pulo Gadung

Identitas orang tua

Identitas Ayah/ wali Ibu


Nama Tn. P Ny. I
Umur 30 Tahun 25 Tahun
Suku/bangsa Betawi Betawi
Agama Islam Islam
Alamat Pulo Gadung Pulo Gadung
Pekerjaan Pelajar/Mahasiswa Pelajar/Mahasiswa
Pendidikan SMA SMA
Penghasilan/bulan ±Rp. 1.000.000 -

2.2 Anamnesis

6
(Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien. di Perinatologi pada tanggal 10
Desember 2021 Pukul 13.00 WIB)

Keluhan utama: Bayi tampak kuning


Keluhan Tambahan: -
1. Riwayat penyakit sekarang
Pasien bayi laki-laki usia 8 hari datang ke poli dengan keluhan bayi kuning.
Bayi tidak mau minum susu, untuk menyedot susu bayi nya tidak ada kemauan. Bayi
lahir dengan sectio caesaria atas indikasi oligohidramnion + PK 1 laten + gawat janin.
BBL 2100 gram, PB 47 cm, LK 29,5 cm , LD 28 cm. Laukosit ibu 10.400, ketuban
jernih, presentasi kepala, dan apgar score 8/9.
Pasien setelah lahir dan sudah dirumah sering di jemur oleh ibunya, tapi
karena sekarang sedang musim hujan, jadi sudah jarang dijemur dan juga pasien
untuk minum asi nya yang masih belum ada kemauan.

2. Riwayat penyakit dahulu:


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi Obat (-) Difteria (-) Jantung (-)
Cacingan (-) Diare (-) Ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Darah (-)
Demam
Tifoid (-) Kecelakaan (-) Pneumonia (-)
Otitis (-) Morbili (-) TB (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Epilepsi (-)
Kesimpulan riwayat penyakit dahulu: tidak ada riwayat penyakit dahulu

3. Riwayat kehamilan dan persalinan:


Kehamilan Morbiditas Kehamilan -
Perawatan Antenatal Rutin kontrol, lebih dari4 x
Tempat Lahir Rumah Sakit

7
Kelahiran Penolong Kelahiran Dokter
Cara Persalinan Persalinan SC
Usia Gestasi 35 Minggu
Kedaan Bayi Berat Lahir:2100 gram
Panjang Lahir: 47cm
Lingkar Kepala: 29,5 cm
Langsung Menangis (+)
Kemerahan (+)
Kuning (-)
Kebiruan (-)
Nilai APGAR: 8/9
Kelainan Bawaan: (-)

Kesimpulan riwayat kehamilan/persalinan: Perawatan antenatal teratur, pasien


lahir ditolong dokter di Rumah sakit, Persalinan SC atas indikasi oligohidramnion+PK
1 laten+gawat janin, tidak dapat penyulit saat kehamilan.

4. Riwayat perkembangan
a. Pertumbuhan gigi: - bulan (Normal: 5-9 bulan)
b. Psikomotor:
a. Tengkurap: - (Normal: 3-4 bulan)
b. Duduk: - (Normal: 6-9 bulan)
c. Berdiri: - (Normal: 9-12 bulan)
d. Berjalan: - (Normal: 12-18 bulan)
e. Bicara: - (Normal: 9-12 bulan)
f. Membaca dan Menulis: -
c. Gangguan Perkembangan mental/emosi (jika ada jelaskan): -
Kesimpulan: Pertumbuhan dan Perkembangan psikomotor sesuai usia, dan pasien
masih berusia 8 hari

5. Riwayat makanan
Usia 0 – 12 bulan

Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim


0–2 (+) (-) (-) (-)
2–4 (-) (-) (-) (-)
4–6 (-) (-) (-) (-)

8
8 – 10 (-) (-) (-) (-)
10 – 12 (-) (-) (-) (-)

Usia >1 tahun

Jenis makanan Frekuensi dan jumlah


Nasi / pengganti -
Sayur -
Daging -
Telur -
Ikan -
Tahu -
Tempe -
Susu (merk / tambahan) -
Kesulitan makanan: tidak ada
Kesimpulan riwayat nutrisi: Pasien mendapatkan ASI hingga saat ini

6. Riwayat imunisasi:
Jenis vaksin Imunisasi dasar Imunisasi
ulangan
BCG -
Hepatitis B 0 hari - - -
Polio - - - -
DPT - - -
HiB - - -
Campak -
Kesimpulan riwayat imunisasi: pasien baru mendapatkan imunisasi HB0

7. Riwayat keluarga:

a. Corak reproduksi
No. Tgl lahir Jenis Lahir Abortus Mati Kesehata
(umur) kelamin Hidup Mati (sebab) n
1 8 hari L ✓ - - - Pasien
Kesimpulan corak reproduksi: Pasien merupakan anak pertama.

b. Riwayat pernikahan
Keterangan Ayah/wali Ibu/wali
Nama Tn. P Ny. I
Perkawinan ke 1 1

9
Umur saat menikah 29 24
Pendidikan terakhir SMA SMA
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Riwayat Penyakit Tidak ada Tidak ada
Riwayat Keluarga: tidak ada kelainan atau riwayat penyakit apapun di dalam keluarga

8. Riwayat lingkungan:
Pasien tinggal bersama ibu dan ayahnya mengontrak di Pulo Gadung Jakarta
Timur. Lingkungan rumah pasien padat penduduk. Rumah satu lantai, dengan 1
kamar mandi dan 2 kamar tidur. Dinding rumah terbuat dari tembok, lantai keramik,
ventilasi dan pencahayaan baik. Sumber air sehari-hari didapat dari PAM, sementara
air minum menggunakan air galon. Pengambilan sampah dilakukan setiap 1 atau 2
hari oleh petugas kebersihan.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Rumah berada di Kawasan padat penduduk,
cukup pencahayaan dan sirkulasi udara, dan terdapat sumber air bersih dari PAM dan
air galon isi ulang untuk minum.

2.3 Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang,
Kesadaran : Compos menits,
Kesan Gizi : Gizi baik

2. Antropometri
a. Berat badan : 2100 gram
b. Tinggi/panjang badan : 47 cm

3. Status gizi
- BB/ U : -3SD  BB sangat kurang
- TB/U : -2SD → Perawakan Normal
- BB/TB : -3SD - -2 SD → Gizi kurang

Kesimpulan: Status Gizi Pasien gizi kurang

10
4. Tanda vital
Nadi : 128x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 50x/ menit, teratur
Suhu : 37,1 C
SpO2 : 98%

5. Status generalis
 Kepala : Normosefali, deformitas (-)
 Rambut : Rambut hitam, lurus, distribusi merata
 Wajah : Dismorfik (-), luka (-), jaringan parut (-)
 Mata :
 Sklera ikterik : (-/-)
 Konjungtiva anemis : (-/-)
 Palpebra oedem : (-/-)
 Cekung : (-/-)
 Pupil : Bulat, isokor
 Refleks cahaya : Langsung +/+, tidak langsung +/+
 Telinga
Normotia, liang telinga lapang, sekret (-/-),

 Hidung
Bentuk simetris, terpasang tabung nasogastric, Napas cuping hidung (-) Sekret
(-/-) Deviasi septum (-)

 Bibir:
kering (-) sianosis (-) Deformitas (-)

 Mulut
Trismus(-) Mukosa Gusi dan buccal berwarna merah muda.

 Lidah dan tenggorokan


Tonsil T1-T1, hiperemis (-), Kripta, (-) detritus (-), dinding posterior faring
hiperemis (-), arcus faring hiperemis (-), uvula terletak di tengah.

11
 Leher
Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening.

 Thoraks
1) Jantung:
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
 Palpasi : Iktus kordis teraba pada sela iga ke 5 garis midsternalis kiri
 Auskultasi : BJ I & BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

2) Paru
 Inspeksi : Bentuk thoraks simetris, gerak dinding dada simetris kanan
kiri, retraksi intercostal (-) retraksi subcostal (-) retraksi suprasternal (-)
 Palpasi : benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

 Abdomen
 Inspeksi : Buncit, benjolan (-)
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Perkusi : Terdapat perkusi timpani – redup,
 Palpasi : Turgor kulit baik, nyeri tekan (-), asites

 Kulit:
Warna kulit sawo matang, Ikterik (-), sianosis (-), ptechie (-), jejas (-)

 Ekstremitas
 Inspeksi : Simetris, sianosis (-), edema tungkai (-/-).
 Palpasi : Akral hangat pada keempat ekstremitas, capillary refill time <
3 detik, pitting edema (-)
6. Status Neurologis

12
 Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), Brudzinsky I – II (-), Lasegue
(-), kernig (-)
 Refleks fisiologis biseps +/+ , triceps +/+, dan Patella +/+, Achilles +/+
 Refleks Patologis : babinsky (-), Chaddock (-), Oppenheim (-), Hoffman
tromner (-)
 Motorik : ekstremitas superior 5555/5555 , inferior 5555/5555
 Nervus Kranialis

Jenis Pemeriksaan Hasil


NI Tidak dilakukan pemeriksaan
N II Normal tidak ada gangguan
N III Normal tidak ada paresis
N IV, NVI Normal tidak ada paresis
N VII Normal tidak ada paresis
N VIII Tidak dilakukan pemeriksaan
N IX, X Normal
N XI Normal
N XII Normal

2.4 Pemeriksaan penunjang

Hasil laboratorium tanggal 09/12/2021

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Hasil Nilai Normal


Eritrosit 5.3 Juta/mikroL 4.0-6.8
Hematokrit 50 % 50-82
Hemoglobin 19.1 g/dL 15.0-24.6
Leukosit 7.8 Ribu/mL 5-21
Trombosit 314 Ribu/mL 217-497
MCV 97.5 mU/dl 94-150
MCH 36.2 mU/dl 29-45
MCHC 37.2 g/dL
RDW 15.9* % <14
Hitung jenis :

Basofil 0 % 0-1

13
Eosinofil 2 % 1-5
Netrofil Batang 0 % 0-8
Netrofil Segmen 24 % 17-60
Limfosit 57 % 20-70
Monosit 17 % 1-11
NLR 0.42
Limfosit total 4446 /ul 1250-4000
CRP Kuantitatif <5 mg/L <5
HATI :

Jenis pemeriksaan hasil satuan Nilai normal


Billirubin total 17.90** U/L <12
Hasil Laboratorium 10/12/2021

Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal


Billirubin total 10.40 U/L <12
Billirubin direk 0.98 U/L <12
Billirubin indirek 9.42 mg/dL
Hasil dari laboratorium tanggal 09-12-2021 menunjukkan bahwa billirubin totalnya
meningkat cukup banyak di angka 17.90 U/L

2.5 Resume

Pasien bayi laki-laki usia 8 hari datang ke poli dengan keluhan kuning. Dari
anamnesis didapatkan keluhan pasien adalah kuning dan malas untuk minum asi. Pasien
masih berusia 8 hari, lahir dengan SC atas indikasi oligohidramnion + PK 1 laten + gawat
janin, lahir 35 minggu, dengan BBL 2100, PB 47 cm, LK 29.5 cm , LD 28 cm, dan apgar
score 8/9.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterik pada kreamer 4. Pada pemeriksaan


penunjang tanggal 09/12/2021 didapatkan pada pemeriksaan billirubin total didapatkan hasil
17.90 U/L dimana hasil tersebut itu ada meyakinkan bahwa pasien ini mengalami
hiperbilliruminemia karena meningkat cukup banyak.

2.6 Diagnosis kerja

Diagnosis Kerja:

1. Hiperbilliruminemia

Anjuran Pemeriksaan Penunjang

 cek fungsi hati (billirubin total, direk, dan indirek)

14
2.7 Diagnosis Banding
1. breast milk jaundice
2.8 Tatalaksana

1. Light Therapy

2.9 Prognosis

 Ad vitam : ad bonam
 Ad fungsionam : ad bonam
 Ad Sanationam : ad bonam

2.10 Follow-Up

09/12/2021 29/11/2021 30/11/2021


S Bayi kuning + Kuning+ Kuning +
Demam- Demam - Demam – minum susu
mau
O Sakit sedang, Sakit sedang Sakit sedang
Kesadaran Compos Kesadaran Compos Kesadaran Compos
Mentis Mentis Mentis
Akral hangat Akral hangat Akral hangat
N: 142x/menit N: 140x/Menit N: 136x/menit
Suhu 37,2 C Suhu: 37,0 C S: 36.8 C
RR: 50x/menit RR:44x/menit RR: 47x/menit

Mata : CA -/- , SI -/- Mata : CA -/- , SI -/- Mata : CA -/- , SI -/-


Mulut : Mukosa tidak Mulut : Mukosa tidak Mulut : Mukosa tidak
tampak hiperemis, gusi tampak hiperemis, gusi tampak hiperemis, gusi
berdarah (-) berdarah (-) berdarah (-)
Leher : Pmebesaran Leher : Pmebesaran KGB Leher : Pmebesaran
KGB (-) (-) KGB (-)
Paru : SNV +/+, Rh -/-, Paru : SNV +/+, Rh -/-, Paru : SNV +/+, Rh -/-,
Wh -/- Wh -/- Wh -/-
Jantung : BJ I-II Reg, Jantung : BJ I-II Reg, Jantung : BJ I-II Reg,
Murmur (-) Murmur (-) Murmur (-)
Abdomen : lembut, Abdomen : lembut, Abdomen : lembut,
BU(+) supel, turgr baik, bu(+), NT (-), bu(+), NT (-) asites (+)
NT (-). Ekstremitas : Akral Ekstremitas : Akral
Ekstremitas : Akral Hangat Hangat
Hangat Kulit : ikterik (kreamer Kulit : ikterik kreamer
Kulit : ikterik (kreamer 4) (-)

15
4)
Laboratorium 09/12/21: Laboratorium 10/12/21:
Hematokrit : 51% Billirubin total : 10.40
Leukosit : 7.800 U/L
ribu/uL Billirubin direk :
Hemoglobin : 19.1 g/dL 0.98U/L
Trombosit : 314ribu/uL Billirubin indirek :9.42
mg/dL
CRP :<5
Billirubin total :17.90
U/L
A NKB-SMK NKB-SMK NKB-SMK
Hiperbillirubinemia Hiperbillirubinemia hiperbillirubinemia

P KIE KIE KIE


Light Therapy Light Therapy Light Therapy
Minum ondemand Minum ondemand Minum ondemand

BAB III

RINGKASAN PEMBAHASAN KASUS

Dari anamnesis didapatkan pasien tampak kuning dan juga pasien tidak ada kemauan
untuk menyusu. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Bayi yang tidak
mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah karena tidak cukupnya asupan ASI
yang masuk ke usus untuk memproses pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat
terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup ASI.1
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda kreamer 4 yang menunjukkan sampai mana
lokasi kuning pada kulit pasien tersebut. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa
terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang dan Dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah
kulit dan jaringan subkutan.
Pada pemeriksaan laboratorium fungsi hati didaptkan kadar billirubin totalnya 17.90
U/L dimana disini mengalami peningkatan yang cukup banyak. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang mungkin
dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5 mg/dl pada
bayi praterm tergantung pada berat badan.

16
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi

Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah


berlebihan sehingga menimbulkan jaundice pada neonatus di sclera mata, kulit, membrane
mukosa dan cairan tubuh.5 Icterus, jaundice, atau “sakit kuning” adalah warna kuning pada
sclera mata, mukosa, dan kulit oleh karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah
(hyperbilirubinemia) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan bilirubin dalam cairan luar
sel.

Hiperbilirubinemia merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada bayi baru
lahir.8,9 Keadaan ini disebabkan oleh gabungan peningkatan katabolisme heme dan imaturitas
fisiologis hepar dalam konjugasi dan ekskresi bilirubin. Maisels dkk9 melaporkan bahwa 60%
dari neonatus >35 minggu akan mengalami hiperbilirubinemia dan 80% pada neonates <35
minggu.

4.2 Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai
berikut ;

17
a. Polychetemia
b. Isoimmun Hemolytic Disease
c. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
d. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
e. Hemolisis ekstravaskuler
f. Cephalhematoma
g. Ecchymosis
h. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu
(atresia biliary), infeksi, masalah metabolic galaktosemia, hipotiroid
jaundice ASI
i. Adanya komplikasi asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan
albumin; lahir premature, asidosis.
j. Peningkatan produksi:
 Hemolisis, misalnya pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuain golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus
dan ABO.

 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.

 Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic


yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis.

 Defisiensi G6PD/Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.

 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20


(beta), diol (steroid).

 Kurangnya enzim Glukoronil Transferase, sehingga kadar Bilirubin


indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.

 Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin


Hiperbilirubinemia.

 Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan


misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat
tertentumisalnya Sulfadiasine.

18
 Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah
seperti infeksi, toksoplamosis, syphilis.

 Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik.

 Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada ileus obstruktif.

4.3 Klasifikasi

Hiperbilirubin atau ikterus terbagi atas :

a. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
b. Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi
dan regurgitasi.
c. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu
dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan
bilirubin dalam urin, tetapi tidak didapatkan urobilirubin dalam tinja dan
urin.
d. Ikterus fisiologis.
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan
tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
e. Ikterus patologik

19
adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin. Ikterus pada neonatus
tidak selamanya patologis.
f. Ikterus patologis/hiperbilirubinemia.
Disebabkan oleh suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown
menetapkan hiperbilirubinenia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg%
pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

g. Kern ikterus
Disebabkan oleh kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus.
Hipokampus, nucleus merah, dan nucleus pada dasar ventrikulus IV. Kern
ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%)
dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak
bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf
simpatis yang terjadi secara kronik.

4.4 Faktor Risiko

Faktor risiko yang paling sering ditemukan adalah kelainan hemolitik (isoimmunisasi
ABO dan sferositosis kongenital) dan komplikasi seperti dehidrasi, sefalhematoma,
Algoritma terapi sinar pada bayi baru lahir usia gestasional 35 atau lebih13 sepsis, asidosis,
dan hipoalbuminemia. Beberapa faktor risiko lain yang telah diteliti adalah metode
persalinan, ras Asia Timur, usia ibu di atas 25 tahun, dan lainnya yang tertera di Tabel 1. 10
Namun, di Indonesia, angka kernikterus tidak terdeteksi karena sangat sedikit insidensinya,
bahkan tidak ditemukan sama sekali berdasarkan penelitian Greco dkk12 di tahun 2015. Hal
ini dapat disebabkan karena kasus kernikterus tidak terlaporkan atau memang tatalaksana
hiperbilirubinemia sudah sangat baik. Dibutuhkan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya
kernikterus. Sebaliknya, tidak perlu terlalu berlebihan dalam menangani hiperbilirubinemia

20
karena dapat meningkatkan biaya pengobatan, menimbulkan kecemasan orang tua, serta
mengurangi waktu anak bersama ibu.

a. ASI yang kurang


Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah karena tidak
cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memproses pembuangan bilirubin
dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak
memroduksi cukup ASI.1
b. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko untuk
terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang memiliki jenis golongan
darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit
(antara lain eliptositosis), atau mendapat transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi
akan mengalami hiperbilirubinemia.11,1
c. Infeksi/inkompabilitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu ke janin di
dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat me-
liputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis kongenital, rubela,dan sepsis.11,12

4.5 Patofisiologis

21
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama
oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan
besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida
diekskresikan melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin
yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat
pada albumin. Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin
baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas dapat
melewati membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah
otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas.
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin
terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan
terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada
saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan.
Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik retikulum
melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase (UDPGT). Konjugasi
bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air.
Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi
tetrapi rol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagiandekonjugasi terjadi
didalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini
dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin
plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut
sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena
asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan. 10,11
4.6 Gejala Klinis

Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang-kadang kadar


bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kernic terus). Gejala klinis
yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus,
mata terputar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek
jangka panjang Kernic terus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak
dapat digerakkan ke atas.10,11

4.7 Diagnosis

Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun masih dapat
digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada
neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evident base, pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat masih boleh

22
digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera dirujuk untuk
diagnosisdan tata laksana lebih lanjut. Panduan WHO mengemukakan cara menentukan
ikterus secara visual, sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning.

Bilirubin serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus


neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Pelaksanaan
pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan
invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.2,3

Bilirubinometer transkutan

Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan prinsipkerja


memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang gelombang 450 nm). Cahaya yang
dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.2,3

Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh karena itu,
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa
metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas, antara lain dengan
metode oksidaseperoksidase. Prinsip cara ini yaitu berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan
pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Pemecahan
heme menghasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini,
maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan
sebagai indeks produksi bilirubin.2,3

Pemeriksaan serum total bilirubin invasif

23
Pemeriksaan baku emas untuk serum bilirubin adalah pemeriksaan metode invasif
yang memerlukan fasilitas laboratorium khusus. High Performance Liquid Chromatography
(HPLC) adalah baku emas, tetapi karena teknisnya sangat kompleks maka hanya digunakan
untuk tujuan penelitian. Metode reaksi Diazo atau spektrofotometri direk adalah baku emas
untuk penggunaan klinis. Setelah diketahui ikterik secara visual, pemeriksaan serum bilirubin
perlu dilakukan. Besaran nilai bilirubin yang didapat lalu diplot terhadap kurva American
Academy of Pediatrics (AAP). Metode pemeriksaan ini mempunyai beberapa kendala, yaitu
membutuhkan sampel darah 1 ml, dibutuhkan tenaga laboratorium khusus sehingga waktu
tunggu hasil keluar berkisar 4 jam atau lebih.

Pemeriksaan bilirubin non-invasif

Metode pemeriksaan bilirubin non invasif yang dikenal saat ini adalah alat
bilirubinometer transkutan (TcB). Alat ini bekerja dengan prinsip spektrofotometer dan
mengukur cahaya yang dipantulkan dari warma kulit dan diambil dari bagian bawah sternum.
Bilirubinometer transkutan merupakan metode yang akurat dan tidak invasif sehingga dapat
menjadi alternatif pemeriksaan bilirubin neonatus. Kelemahan dari TcB yaitu tidak dapat
digunakan ketika pasien dalam fototerapi atau terpapar sinar matahari. Beberapa penelitian
melaporkan hasil pemeriksaan bilirubin yang tidak akurat dan konsisten apabila bilirubin
total lebih besar dari 15mg/dl. Dengan demikian, secara umum TcB cukup menjanjikan
karena meminimalisir pengambilan darah, dapat digunakan sebagai pemeriksaan universal,
dan tetap akurat dengan kadar bilirubin di bawah 15mg/dl.12

24
Laboratorium (pemeriksaan Darah)

a. Test Coomb pada tali pusat BBL Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya
antibody Rhpositif, anti-A, anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk
menandakan adanya sensitisasi (Rhpositif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.

25
b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.

c. Bilirubin total.

Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang mungkin dihubungkan
dengan sepsis. Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24 jam
atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5 mg/dl pada bayi praterm
tergantung pada berat badan.

d. Protein serum total Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan
terutama pada bayi praterm.

e. Hitung darah lengkap Hb mungkin rendah (65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%
dengan hemolisis dan anemia berlebihan.

f. Glukosa Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap < 40 mg/dl, bila bayi
baru lahir hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam
lemak.

g. Daya ikat karbon dioksida Penurunan kadar menunjukkan hemolisis

h. Meter ikterik transkutan Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin


serum.

i. Pemeriksaan bilirubin serum Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6
mg/dl antara 2- 4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10 mg/dl tidak fisiologis

j. Smear darah perifer Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada
penyakit RH atau sperositis pada incompabilitas ABO.

k. Test Betke-Kleihauer Evaluasi smear darah maternal terhadap eritrosit janin.

4.10 Diagnosis Banding

Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast milk jaundice,
kolestasis, anemia hemolitik pada bayi baru lahir, hepatitis B, dan hipotiroid.

4.8 Tatalaksana

Fototerapi

Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi pengganti


untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya berintensitas tinggi,

26
tindakan ini dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus
diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan
kurang dari 1000 gram harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar
mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko
tinggi dan berat badan lahir rendah.13
Fototerapi adalah terapi utama untuk hiperbilirubinemia. Panjang gelombang paling
efektif yang digunakan untuk fototerapi adalah antara (460–490) nm dari spektrum biru.
Untuk memaksimalkan iradiasi dan efektivitas terapi, jarak sumber cahaya dan bayi harus
dalam jarak 10-15 cm. Saat ini dikembangkan terapi sinar intensif menggunakan LED dengan
panjang gelombang >30 uW/cm2 /nm (430- 490) nm. Terapi sinar intensif mempercepat
proses penurunan bilirubin sehingga terjadi pengurangan lama penyinaran maupun tindakan
transfusi tukar yang sangat bermakna. Waktu terapi sinar dapat berkurang hingga 12 jam,
durasi perawatan di rumah sakit dan durasi anak terpisah dengan ibu menjadi jauh berkurang.
Di beberapa negara yang tidak memiliki fasilitas memadai, telah dikembangkan metode
alternatif untuk bayi dengan hiperbilirubinemia ringan. Peneliti di Afrika telah mencoba
melakukan terapi sinar menggunakan paparan sinar matahari tidak langsung. Meskipun
belum secara umum digunakan dan direkomendasi oleh AAP, metaloporfirin, clofibrat dan
immunoglobulin intravena juga telah diteliti sebagai alternatif terapi sinar. Transfusi tukar
sudah mulai jarang dikerjakan di Indonesia karena deteksi hiperbilirubinemia yang lebih
cepat dan penggunaan foto terapi yang sangat luas.

Intravena immunoglobulin (IVIG)

Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor imunologik.
Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi,
pemberian IVIG dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar. 3

Transfusi pengganti

Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang rentan
terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi;
mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin dan
meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin. 3

Terapi medikamentosa

27
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif diberikan pada ibu hamil
selama beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi).
Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya melalui urin sehingga dapat
menurunkan kerja siklus enterohepatika.

4.9 Komplikasi

 Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).


 Kernicterus; kerusakan neurologis; cerebral palsy, retardasi mental, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
 Gangguan pendengaran dan penglihatan
 Asfiksia
 Hipotermi
 Hipoglikemi
 Kematian

BAB V

KESIMPULAN
28
Pasien bayi laki-laki usia 8 hari datang ke poli dengan keluhan utama kuning. Ibu
pasien juga mengeluhkan bahwa pasien ini malas untuk minum asi. Pasien sering dijemur
pada pagi hari ini, tapi semenjak hujan jadi pasien jarang dijemur lagi.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yaitu


pemeriksaan billirubin total didapatkan hasil 17.90 U/L, dimana hasil tersebut itu adaah
adanya peningkatan kadar billirubin yang membuat pasien bisa menjadi kuning. Pasien sudah
memenuhi kriteria hiperbillirubinemia, pasien di terapi dengan light therapy. Dari hasil
follow up, pada hari pertawan ke 3 tampak tanda-tanda pemulihan dan pasien dipulangkan
pada hari ke 3 perawatan.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice: Bilirubin
physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.
2. Sukadi A.Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman
A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi(Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,2010; p.147-53
3. Halamek LP, Stevenson DK.Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal Medicine. Disease of the Fetus and
Infant(Seventh Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002; p.1309-50
4. Rukiyah, A.Y dan Yulianti, L. 2019. Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi Dan Anak
Pra Sekolah. Jakarta: Cv Trans Info Media.
5. Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, R, Sarosa, G.I., & Usman, A. (2016), Buku ajar
neonatologi. IDAI: Jakarta
6. Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Seminar Sehari
Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Semarang; 2007. h.1-12
7. World Health Organization: Situation review and update on deafness, hearing loss and
intervention programmes: proposed plans of action for prevention and alleviation of
hearing impairment in countries of the South-East Asia Region. 2007.
8. Hyperbilirubinemia AAoPSo. Management of hyperbilirubinemia in the newborn
infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297.
9. Maisels MJ. The clinical approach to the jaundiced newborn. In: Maisels MJ.
Neonatal Jaundice. Amsterdam: Harwood Academic Publishers; 2000.h.139-68.
10. Johnson L, Bhutani V. Guidelines for management of the jaundiced term and near-
term infant. Clin Perinatol 1998;25:555-74.
11. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Hyperbilirubinemia. In: Gomella
TL,editor. Neonatology; Management procedures, on-call problems, disease and drugs. New
York: Lange Medical Book/McGraw-Hill Co,2004;p.381-95
12. Mishra S, Chawla D, Agarwal R, Deorari A, Paul V, Bhutani V. Transcutaneous
bilirubinometry reduces the need for blood sampling in neonates with visible
jaundice. Acta Paediatrica 2009;98:1916-9.
13. Emedicine. Ikterus pada neonatus [homepage on the Internet]. 2010 [cited 2011
Oktober 17]. Available from: http://tumbuhsehat.com/index. php?option=com-
content&view=article&id=124&itemid=77

30

Anda mungkin juga menyukai