Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

STUDY KASUS FARMAKOTERAPI II

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kulih Farmakoterapi II)

Dosen Pengampu :

Apt. Wima Anggitasari, M.Sc

Disusun Oleh :

Naila Izza (18040067) Novia Eka H (18040068)

Novuta Indah (18040069) Nur Jennah (18040070)

Nurul Hasanah (18040071) Nuryatul Faizah (18040072)

Muhammad Faisol A (18040073) Muhammad Ikbal S (18040074)

Muhammad Yazril H (18040075)

S1 PROGRAM STUDI FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
dr. SOEBANDI JEMBER
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

BAB I .................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 latar Belakang ................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................... 2

BAB II ................................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK) ................................... 3


2.2 Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK) ........................... 4
2.3 Etiologi dan Patogenesis Penyakit Paru Obstruktuf Kronis....................... 4
2.4 Faktor Resiko Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK) ......................... 6
2.5 Gejala Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK) ...................................... 7
2.6 Diagnosa Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK) ................................. 7
2.7 Terapi Farmakologi dan Non farmakologi Penyakit Paru
Obstruktuf Kronis (PPOK) ............................................................................ 9

BAB III ............................................................................................................................... 13

3.1 Kasus ..................................................................................................................... 13


3.2 Permasalahan klinis ............................................................................................ 13
3.3 Faktor resiko penyakit ........................................................................................ 13
3.4 Obat yang di berikan dokter ............................................................................... 13
3.5 Dosis dan mekanisme obat .................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, yang telah


memberikan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kapada nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan kita sebagai generasi penerusnya hingga
akhir zaman.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu apt. Wima Anggitasari, M.
Sc selaku dosen Mata Kuliah Farmakoterapi II yang telah membimbing kami,
serta pihak lain yang ikut membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari bahwa, manusia tidak luput dari kesalahan, begitu juga
dalam pembuatan makalah ini yang masih banyak memiliki kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca kami butuhkan untuk
memperbaiki kesalahan dikemudian hari.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih, dan semoga makalah ini bermanfaat
bagi setiap orang yang membacanya.

Jember 26 Februari 2021

Penulis

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik
yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran napas yang
tidak sepenuhnya reversible dan bersifat progresif (RI, 2008). Sedangkan
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD,
2016) PPOK merupakan suatu penyakit dengan karakteristik yaitu
keterbatasan saluran napas. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang
merugikan atau gas. Merokok merupakan faktor resiko penyebab PPOK di
samping faktor resiko lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain –
lainya (Riyanto, BS., 2007). Gejala yang sering muncul sesak. Sesak napas
terjadi akibat gangguan ventilasi saluran pernapasan dan menurunnya
kemampuan fungsi kerja otot-otot pernapasan. PPOK menimbulkan berbagai
tingkat gangguan antara lain batuk, nyeri dada, sesak napas, terjadinya
perubahan pola napas, perubahan postur tubuh (Kerja, Lepo, & Kendari, 2017
Gangguan tersebut menghambat ekspansi sangkar thoraks, meningkatkan
beban kerja otot pernapasan dan mengurangi kapasitas fungsional dengan
adanya hubungan yang saling tergantung antara sistem pernapasan dan
muskuloskeletal, berbagai teknik intervensi fisioterapi telah di sarankan untuk
pengobatan gejala PPOK. Tujuannya merupakan meningkatkan mobilitas
struktur thoraks yang terlibat dalam mekanisme pernapasan. Diaphragmatic
merupakan lembaran otot dan tendon berbentuk kubah yang berfungsi sebagai
otot respirasi utama dan memainkan peran penting dalam proses pernapasan.
Menurut sisipannya, diaphragmatic 3 dapat dibagi dalam bagian kosta,
lumbar, dan sternal. Bagian sternal muncul dengan dua bundel serat kecil dari
aspek posterior prosesus xifoideus, mendekati puncak, bagian kosta (atau
lateral) muncul dari aspek dalam dan superior dari enam tulang rusuk terakhir,
dengan interdigitasi dengan otot transversal abdomen (Burdoni B, 2016).
Fisioterapi berperan penting untuk mengatasi permasalahan yang timbul, salah
satunya pada kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yaitu untuk
meningkatakan kapasitas paru, mengurangi sesak napas dan aktivitas
fungsional
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah definisi dari PPOK ?
2. Bagaimana epidemiologi dari PPOK ?
3. Bagaimana Etiologi dan Patogenesis PPOK ?
4. Apa saja Faktor Resiko PPOK ?
5. Bagaimana gejala PPOK ?

1
6. Bagaimana Diagnosa PPOK ?
7. Bagaimana terapi Farmakologi dan Non farmakologi PPOK ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui apa definisi dari PPOK ?
2. Mengetahui Bagaimana epidemiologi dari PPOK ?
3. Mengetahui Bagaimana Etiologi dan Patogenesis PPOK ?
4. Mengetahui Apa saja Faktor Resiko PPOK ?
5. Mengetahui Bagaimana gejala PPOK ?
6. Mengetahui Bagaimana Diagnosa PPOK ?
7. Mengetahui Bagaimana terapi Farmakologi dan Non farmakologi PPOK ?
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
2. Secara praktis Sebagai sumber bacaan dan pengetahuan tentang Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

2
BAB II

PEMABAHASAN

2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK)


Definisi Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan
dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang
sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang
menumpuk pada paru-paru. (Lyndon Saputra, 2010).
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut
sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya
hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible
sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang
berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien
PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru
terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu penyakit
multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut
bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan
keduanya (Gold , 2017)
Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut
PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK,
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema
merupakan diagnosis patologi. 1,3,4 Bronkitis kronis adalah kelainan saluran
pernafasan yang ditandai oleh batuk kronis yang menimbulkan dahak selama
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut
dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.
Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan kerusakan
dinding alveolus.1,4 Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten
berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan
memenuhi kriteria PPOK
Klasifikasi
PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi 3 bagian :
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala yaitu, sesak bertambah,
produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi
purulent)
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 dari 3 gejala eksaserbasi yaitu
sesak bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum
(sputum menjadi purulent)

3
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%
baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011)
2.2 Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK)
Di dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab utama
kematian pada tahun 1990. Hal ini diproyeksikan menjadi penyebab utama
keempat kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat
merokok dan perubahan demografis di banyak negara. (Mathers et al 2006)
Dimana PPOK adalah penyebab utama kematian ketiga di Amerika Serikat
dan beban ekonomi PPOK di AS pada tahun 2007 adalah 426 juta dollar
dalam biaya perawatan kesehatan dan kehilangan produktivitas. (Elizabeth
2007)
Di Negara Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.
Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan
terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia
(Mangunugroho 2003)
2.3 Etiologi dan Patogenesis Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK)
2.3.1 Etologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15%
perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan
mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap
rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama
perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen
alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan
awal emfisema. 5
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak
berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal
yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat
dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan
peningkatan resiko morbiditas PPOK.

4
2.3.2 Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri
dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah
proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah
peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi.
Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan
aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk
melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan
untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik
pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood,
2001).
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan
perubahan fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan
saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim
dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan
atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam
keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada
kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel
dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan
terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup
bersama dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan
mengendap hingga terakumulasi.
Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya
pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan
iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar
mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai
produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan
ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi
mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang
produktif. Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat
berupa rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa
perforasi alveolus yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveoulus
satu dan yang lain membentuk abnormal largeairspace.

5
Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran
pernafasan yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan
timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring terus
berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan terjadi erosi
epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia
skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan
stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak
menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi
otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan
sirkulasi udara.(Reilly et al 2011)
2.4 Faktor Resiko Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK)
PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase
eksaserbasi akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut
terjadi perburukan yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang
disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan ditandai dengan suatu manifestasi
klinis yang memberat.4,5 Secara umum resiko 4 terjadinya PPOK terkait
dengan jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama
hidupnya serta berbagai faktor dalam individu itu sendiri. (Gold 2017)
a. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok
merupakan salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan
faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK. Asap rokok yang dihirup
serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada kejadian PPOK
karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak
lama telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko
utama dari bronkitis kronis dan emfisema.
b. Paparan pekejaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara
dapat diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa
paparan pekerjaan yang khas termasuk penambangan batu bara,
panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai
faktor risiko obstruksi aliran udara kronis
c. Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada
orang-orang yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan
dengan mereka yang 5 tinggal di daerah pedesaan, yang berhubungan
dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada wanita
bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di
dalam ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah
dikatakan sebagai kontributor yang potensial.
d. Infeksi berulang saluran pernapasan

6
Infeksi saluran pernapasan telah diteliti sebagai faktor risiko
potensial dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang
dewasa, terutama infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi saluran
respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor
predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK
e. Defiisensi α1 Antitrypsin (α1AT)
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik
terjadinya PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK
yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa
faktor genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan untuk
berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang
diperkirakan sangat penting untuk perlindungan terhadap protease
yang terbentuk secara alami oleh bakteri, leukosit PMN, dan monosit
2.5 Gejala Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK)
Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan
terbentuknya sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering
muncul. Salah satu gejala yang paling umum dari PPOK adalah sesak napas
(dyspnea).
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada
saat melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar.
Selama bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara
bertahap sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas
sehari-hari seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK,
dyspnea dapat menjadi begitu buruk yang terjadi selama istirahat dan selalu
muncul
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika
ini terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan
oleh kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon
dioksida dalam darah dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau
kedutan (asterixis). Salah satu komplikasi dari PPOK parah adalah cor
pulmonale, kejang pada jantung karena pekerjaan tambahan yang diperlukan
oleh jantung untuk memompa darah melalui paru-paru yang terkena dampak.
Gejala cor pulmonale adalah edema perifer, dilihat sebagai pembengkakan
pada pergelangan kaki, dan dyspnea. (Elizabeth 2008 )
2.6 Diagnosa Penyakit Paru Obstruktuf Kronis (PPOK)
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat.Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru Untuk menegakkan
diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut:
a. Anamesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan

7
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksisaluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak 
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
 Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
 Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding) - Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah 
Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang
 Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, penderita
kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing.
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita
gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru,
sianosis sentral dan perifer. Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang
yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap
ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO 2
yangterjadi pada gagal napas kronik.
c. Pemeriksaan Rutin
a. Faal Paru
Spirometri (VEP 1 , VEP 1 prediksi, KVP, VEP 1 /KVP

8
 - Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 prediksi (%) dan
atau VEP 1 /KVP (%).
 Obstruksi : % VEP 1 (VEP 1 /VEP 1 pred) < 80% VEP 1
% (VEP 1 /KVP) < 75%
 VEP 1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP
1 atau APE, perubahan VEP 1 atau APE.
b. Laboratorium darah
c. Eadiologi
2.7 Terapi Farmakologi dan Non farmakologi Penyakit Paru Obstruktuf
Kronis (PPOK)
2.7.1 Terapi Farmakologi
A. Bronkodilator
Beta2-agonist kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja
pendek merupakan terapi bronkodilator utama pada pasien PPOK
dengan eksaserbasi. Tidak terdapat perbedaan efek yang signifikan
antara penggunaan metered dose inhaler (MDI) dan nebulizer. Pasien
yang tidak mendapatkan nebul secara berlanjut dapat menggunakan
MDI inhaler 1 semprot setiap 1 jam untuk 2-3 dosis dan setiap 2-4 jam
berdasarkan respon pasien
B. Glukokortikoid
Sistemik glukokortikoid pada pasien PPOK dapat menurunkan
waktu eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru. Selain itu juga
memperbaiki 25 oksigenasi, risiko kejadian berulang, kegagalan terapi
dan lamanya dirawat di rumah sakit. Terapi prednisolon oral memiliki
efektivitas yang sama dengan terapi intravena dan nebul budesonide
dapat sebagai alternatif kortikosteroid oral pada terapi PPOK
eksaserbasi.
C. Antibiotik
Pemberian antibiotik berdasarkan gejala klinis infeksi bakteri
seperti peningkatan produksi dan konsistensi sputum. Antibiotik dapat
diberikan apabila pasien memiliki gejala cardinal seperti sesak ,

9
peningkatan volume dan konsistensi sputum, terdapat 2 gejala dari 3
gejala, terdapat peningkatan konsistensi sputum sebagai salah satu
gejala dari 2 gejala atau memerlukan ventilasi mekanik (invasive atau
noninvasive). Lama pemberian antibiotik adalah 5-7 hari. Pemilihan
antibiotik berdasarkan resistensi bakteri lokal, biasanya dimulai
dengan terapi empiris aminopenicillin dengan asam clavulanic,
macrolide atau tetracycline.
Pada pasien dengan eksaserbasi yang berulang, keterbatasan aliran
udara, dan/atau eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik,
hasil kultur yang menunjukkan bakteri gram negatif, dapat
menunjukkan gejala resisten terhadap antibiotik tersebut. Pemberian
secara oral atau intravena, tergantung kemampuan pasien, namun lebih
disarankan diberikan secara oral.
D. Terapi pendukung
Terapi ini diberikan berdasarkan kondisi pasien seperti kebutuhan
keseimbangan cairan, diuretik, antikoagulan apabila terdapat indikasi
atau penyakit komorbid diikuti dengan edukasi berhenti merokok.
Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, PPOK dengan eksaserbasi
meningkatkan risiko terjadinya deep vein thrombosis, emboli paru,
sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan.
E. Terapi oksigen
Terapi oksigen harus dititrasi pada pasien dengan hipoksemia
dengan saturasi target 88-92%. Ketika memulai terapi oksigen, analisa
gas darah harus dilakukan untuk mengetahui oksigenasi tanpa retensi
karbodioksida dan/atau 26 asidosis yang memburuk. Pemberian
oksigen dengan masker venturi menunjukkan hasil yang akurat
dibandingkan dengan nasal prongs
F. Terapi ventilasi
Pemberian terapi ventilasi pada kasus PPOK eksaserbasi dapat
secara noninvasive (nasal atau facial mask) atau invasive (oro-tracheal
tube atau tracheostomy), Ventilasi mekanik noninvasive diberikan
pada pasien gagal nafas akut yang sudah hospitalisasi dan mengalami
PPOK eksaserbasi. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat
perbaikan oksigenasi dan asidosis respirasi akut, peningkatan pH dan
penurunan PaCO2, penurunan laju pernafasan, dan sesak. Namun,
memiliki komplikasi berupa pneumonia yang berhubungan dengan
ventilator dan lamanya hospitalisasi. Ventilasi mekanik invasive
diberikan dengan indikasi kegagalan terapi ventilasi mekanik
noninvasive sebagai terapi pertama pada gagal nafas akut, PPOK
eksaserbasi. Efek samping yang ditimbulkan berupa risiko infeksi
pneumonia (multiresisten organisme), barotrauma dan volutrauma.
2.7.2 Terapi Non-Farmakologi

10
1. Edukasi dan self managemen
Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien
tetap berpikir positif dalam mengahadapi penyakitnya. Selain itu,
juga membantu pasien memodifikasi faktor risiko yang dapat
sebagai pencetus eksaserbasi. Pasien juga diharapkan dapat
melakukan penanganan apabila gejala muncul.
Berdasarkan GOLD 2017, Kelompok A,B,C, dan D, dapat
memodifikasi faktor risiko, termasuk merokok, mengatur aktivitas
fisik dan mengatur tidur dan pola hidup sehat. Sedangkan khusus
untuk Kelompok B dan D, harus dapat melakukan penanganan
terhadap gejala sesak, teknik konservasi energi dan management
stress. Kelompok C dan D dapat melakukan tindakan pencegahan
terhadap faktor pemicu, monitoring dan menangani gejala buruk,
dan mempunyai rencana serta mengatur komunikasi dengan tenaga
kesehatan. Kelompok D harus mulai melakukan diskusi paliative
dengan tenaga kesehatan.
2. Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru
Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas.
Oleh karena itu perlu memilih aktivitas agar tidak terjadi
eksaserbasi melalui beberapa program. 22 Program rehabilitasi
paru, khusunya pada kelompok B, C, D dapat mencegah proses
teradinya eksaserbasi. Program rehabilitasi termasuk pelatihan
aktivitas fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi.
Program latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat
melakukan aktivitas berat serta dapat meningkatkan efek kerja obat
LABA/LAMA. Selain itu, aktivitas fisik aerobik dapat
meningkatkan kekuatan dan apabila difokuskan pada ekstremitas
atas, dapat memperkuat otot pernapasan inspirasi. Hal tersebut
tentunya harus disesuaikan dengan terapi nutrisi.
3. Vaksinasi
Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23
direkomendasikan pada pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23
juga direkomendasikan pada pasien PPOK umur muda dengan
penyakit komorbid gagal jantung kronik atau penyakit paru
lainnya.
4. Terapi oksigen Indikasi:
 PaO2 <7.3 kPA (55mmHg(
 Terapi ini harus dievaluasi 60-90 hari dengan analisa gas
darah
5. Terapi ventilasi

11
Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang
terjadi setiap hari dan sering hospitalisasi, dimana terapi sistemik
tidak menunjukkan perbaikan.
6. Intervensi bronkoskopi dan operasi
Indikasi dilakukan tindakan ini adalah:
a. Pasien dengan enfisema heterogen atau homogen dan
signifikan refrakter hiperfentilasi, dimana tindakan dilakukan
untuk menurunkan volumen paru.
b. Pasien dengan bulla yang besar, dapat disarakan operasi
bullektomi 23 c. Pasien PPOK sangat berat tanpa
kontraindikasi, disarankan melakukan transplantasi paru

12
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3.1 Kasus
Seorang laki-laki umur 65 tahun berat badan 45 kg datang dengan keluhan
sesak nafas, mengi, batuk berdahak yang intensif. Sesak nafas dirasakan sering
muncul 2 tahun terakhir. Hasil pemeriksaan nilai FEV-1 nya 40%. Oleh dokter
pasien diberikan obat kombinasi ipratopium bromida dan terbutalin, prednison
dan koamoksiklaf. Pasien mempunyai riwayat bekerja dipabrik semen sampai usia
55 tahun
3.2 Permasalahan Klinis

Permasalahan Klinis Mr. X


Mr. X 1. Mengalami keluhan sesak nafas (sesak nafas muncul
BB : 45 Kg 65 2 tahun terakhir
Umur : 65 Thn 2. Mengalami keluhan mengi
3. Mengalami keluhan batuk berdahak yang intensif
4. Hasil pemeriksaan FEV-1 40%
5. Riwayat pekerjaan : Pekerja Pabrik semen sampai
usia 55 tahun
3.3 Faktor Resiko Penyakit

Faktor resiko
Mr. X 1. Usia
BB : 45 Kg 65 2. Paparan pekerjaan
Umur : 65 Thn 3. Infeksi berulang saluran pernapasan
3.4 Obat yang diberikan dokter
Obat yang diberikan oleh dokter diantaranya adalah: ipratopium bromida dan
terbutalin, prednison dan koamoksiklaf
 Pendapat : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK ) yang dialami pasien
adalah PPOK tingkat III (berat) , ditinjau dari dari nilai FEV-1 40% dan
permasalahan klinis pasien , perlu diberikan obat bronkodilator golongan
kolinergik dan Agonis-Beta 2 yaitu ipratopium bromida dan terbutalin
untuk memepercepat proses bronkodilatasi dan memudahkan pasien
sehingga sediaan dibuat dalam bentuk inhalasi. Pennggunaan prednisone
tidak perlu karena pada pasien tidak terjadi eksaserbasi akut, penggunaan
antibiotic diperlukan pada pasien dengan nilai FEV 35-50%
Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan
eksaserbasi maka antibiotic yang diberikan adalah koamoksiklaf.
3.5 Dosis dan Mekanisme Obat
a. Ipratopium Bromida
Nama sediaan :Midatro, Atrovent
Kandungan : Ipratropium Bromide 0.25 mg/ mL
Bentuk sediaan : Cairan Inhalasi

13
Indikasi :Untuk membantu mengatasi gejala
bronkospasme reversible yang berkaitan dengan
asma, bronchitis kronik, dan emfisema
Dosis : -Dewasa (di atas 12 tahun) dan lansia, 250–500
mikrogram sebanyak 3-4 kali sehari, tidak
melebihi 2 mg. Pada kondisi bronkospasme akut
dapat diberikan 500 mikrogram
-Pada anak usia 6 hingga 12 tahun, diberikan
dosis 250 mikrogram dengan total dosis harian
adalah 1 mg
-Pada anak usia 0 hingga 5 tahun, obat ini
diberikan hanya pada kasus asma akut. Dosis
yang dapat diberikan adalah 125–250 mikrogram
dengan total dosis harian 1 mg. Pemberian kedua
sebaiknya dilakukan tidak kurang dari 6 jam
setelah pemberian obat pertama
Mekanisme obat :Ipratropium bromide merupakan agen
antikolinergik yang bekerja dengan menghambat
reseptor kolinergik muskarinik, sehingga terjadi
penurunan formasi cyclic guanosine
monophosphate (cGMP). Karena aksi cGMP
pada kalsium intraselular, sehingga terjadi
penurunan kontraktilitas otot halus
Efek samping : Bronkitis, infeksi saluran napas atas, batuk, dan
mulut, tenggorokan dan lidah kering dengan
aerosol ipratropium bromide. Efek samping pada
ipratropium bromide nebulizer adalah bronchitis,
dispnea, dan bronkospasme.
Interaksi Obat : Antimuskarinik : harus diperhatikan bila
digunakan bersamaan karena berpotensi untuk
terjadinya interaksi. Kombinasi albuterol dan
inhaler ipratropium harus diperhatikan bila
digunakan bersamaan dengan obat golongan beta
adrenergik yang lain karena meningkatkan risiko
efek samping pada kardiovaskular. Secara teori,
interaksi dengan alkaloid belladonna :
meningkatkan efek antikolinergik; dengan
Cisaprid : menghilangkan / menurunkan efikasi
Cisaprid. Dengan Makanan : Beberapa bentuk
sediaan mengandung soya lecithin. Jangan
diberikan pada pasien yang alergi terhadap soya

14
lecithin / kedelai / kacang. Betelnut kemungkinan
dapat menurunkan efek antikolinergik.
Kemasan : Box, Botol @ 2 ml dan 4 ml
Alasan pemelihian :Pada PPOK, antikolinergik digunakan untuk
mengurangi tonus otot yang menyebabkan
hambatan aliran udara dan untuk menekan sekresi
mukus. Sistem saraf parasimpatis berperan dalam
mengatur tonus otot bronkus.Dalam keadaan
normal, rangsangan asetilkolin pada saraf
parasimpatis reseptor muskarinik paru akan
menyebabkan bronkokonstriksi, yaitu pada
reseptor muskarinik M1 dan M3, sementara pada
reseptor muskarinik M2 memiliki efek feedback
untuk membatasi pelepasan asetilkolin
b. Terbutaline
Nama sediaan : Nairet
Kandungan : 2,5 mg terbunaline sulfat
Bentuk sediaan : Oral
Indikasi : untuk bronkospasme baik akibat asma atau
penyakit paru obstruktif kronis, maupun
bronkospasme yang diasosiasikan dengan bronkitis
dan emfisema. Dosis inhalasi aerosol untuk dewasa
dan anak sama sebesar 250-500 mcg (1-2 hirupan).
Terbutaline juga dapat digunakan sebagai tokolitik
untuk persalinan prematur tanpa komplikasi dengan
usia gestasi 22-37 minggu.
Dosis : Oral berupa tablet 5 mg dengan interval pemberian
6 jam, 3 kali sehari dan tidak boleh melebihi 15 mg
dalam sehari. Namun jika terjadi efek samping,
dosis diturunkan menjadi 2,5 mg setiap 6 jam (Lacy
et al., 2007; Depkes RI, 2007).
Mekanisme obat : Terbutaline merupakan bronkodilator (agonis beta-
2 reseptor). Obat ini bekerja dengan cara
melemaskan otot paru-paru dan membuka saluran
pernapasan, supaya penderita bisa bernapas dengan
lebih lancar.
Efek samping : Terbutalin mempunyai efek samping yang hampir
sama dengan salbutamol yaitu dapat menyebabkan
tremor otot rangka (terutama tangan), palpitasi,
takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala,
vasodilatasi perifer, dan jarang terjadi kram otot.
Inhalasi menyebabkan efek samping yang lebih

15
sedikit daripada dosis sistemik, dan β2-agonis lebih
selektif menyebabkan efek merugikan kurang dari
β-agonis kurang selektif. Berpotensi menyebabakan
hipokalemia serius telah dilaporkan setelah
pemberian dosis besar dan juga terjadi iskemik
miokard. Reaksi hipersensitivitas juga terjadi,
termasuk bronkospasme paradoks, angioedema,
urtikaria, hipotensi, dan collapse. Dosis tinggi
dikaitkan dengan mual dan muntah, dan dengan
efek jantung dan metabolisme yang merugikan serta
edema paru (Sweetman, 2009)
Interaksi Obat : Penggunaan terbutalin dengan antidepresan
trisiklik atau MAO inhibitors datap menyebabkan
potensiasi efek vaskular. Ketika digunakan dengan
β-bloker, maka β-bloker akan bekerja antagonis
dengan β-agonis dalam memberikan efek terapi
pada bronkospasme saluran nafas yang parah pada
pasien asma. Pemberian yang bersamaan dengan
diuretik juga dapat menyebabkan hipokalemia.
Penggunaan terbutalin dengan fenilefrin atau
toloxaton menyebabkan berkeringat, takikardi dan
sakit kepala (Cathomas et al., 2006).
Kemasan : Dus, 10 Strip @ 10 Tablet
Alasan pemelihian : Terbutaline termasuk dalam golongan obat
Agonist beta-2 Efek farmakologi utama agonis beta
2 adalah sebagai bronkodilator yaitu untuk
merelaksasi otot polos pernapasan melalui stimulasi
reseptor adrenergik beta 2 yang banyak terdapat
pada otot polos saluran napas. Stimulasi reseptor
adrenergik beta 2 pada tingkat sel akan
meningkatkan siklik adenosin monofosfat
intraselular (cAMP) yang berperan dalam mengatur
tonus otot polos pernapasan, sehingga terjadi
bronkodilatasi. Selain itu, agonis beta 2 yang juga
menstimulasi reseptor adrenergik beta 2 pada
presinaptik ganglia parasimpatis saluran napas,
menghambat pelepasan asetilkolin yang merupakan
bronkokonstriktor sehingga menyebabkan
bronkodilatasi.
c. Koamoksiklaf
Nama sediaan : Capsinat
Kandungan : Amoxicillin 500 mg dan Asam klavulanat 125 mg

16
Bentuk sediaan : Kaplet Salut Selaput
Indikasi : Infeksi saluran pernafasan bagian atas & bawah,
kulit & jaringan lunak, infeksi saluran kemih &
kelamin, dan infeksi lainnya (osteomielitis/radang
sumsum tulang, septikemia/keracunan darah oleh
bakteri patogenik dan atau zat-zat yang dihasilkan
oleh bakteri tersebut, peritonitis/radang selaput
perut, infeksi sesudah operasi)
Dosis : PENGGUNAAN OBAT INI HARUS SESUAI
DENGAN PETUNJUK DOKTER. Dewasa dan
anak >12 tahun infeksi ringan sampai dengan
sedang : 3 kali sehari 250 mgi. Infeksi berat : 3 kali
sehari 500 mg. Anak : 25 mg/kg BB/hari tiap 8 jam
dalam dosis terbagi. Infeksi gigi dewasa dan anak
>12 tahun : 3 kali sehari 250 mg selama 5 hari.
Gangguan ginjal : Sedang (bersihan kreatinin 10-30
mL/menit) : 250-500 mg tiap 12 jam; Berat
(bersihan kreatinin <10 mL/menit) : 250 mg tiap 12
jam
Mekanisme obat : Cara kerja Co amoxcilav merupakan gabungan
kerja antara amoxicillin dengan asam klavulanat.
Amoxicillin bekerja dengan cara menghancurkan
peptidoglikan yang merupakan pelindung dinding
sel bakteri. Saat bakteri membelah diri, amoxicillin
bekerja menghambat pembentukan peptidoglikan
sehingga bakteri mengalami lisis dan mati.
Sementara itu asam klavulanat merupakan substansi
yang dapat menghambat pembentukan beta-
laktamase yang diproduksi bakteri untuk
melindungi dirinya dari serangan antibiotik tipe
penisilin seperti amoxicillin. Gabungan amoxicillin
dan asam klavulanat ini membuat co amoxiclav
ampuh mengatasi serangan bakteri dari berbagai
jenis, termasuk juga bakteri yang resisten terhadap
amoxicillin
Efek samping :
 Diare, mual, muntah, indigestion, pseudomembranous
colitis, dan kandidiasis.
 Sedikit peningkatan AST dan atau ALT pada
pemberian penicillin semisintetis.
 Hepatitis dan cholestatic jaundice dapat bertambah
berat dan berlangsung selama beberapa bulan, terutama

17
pada orang dewasa atau usia lanjut dan lebih sering
pada penderita pria. Gejala-gejala dapat terlihat selama
pengobatan, tetapi lebih sering dilaporkan setelah 6
minggu pengobatan dihentikan. Kejadian hepatic
biasanya reversible.
 Urticaria dan erythematous rashes.
 Erythema multiforme, sindrom Steven-Johnson, toxic
epidermal necrolysis, dan dermatitis exfoliative.
Pengobatan sebaiknya dihentikan jika terjadi efek
samping ini.
 Angioedema dan anafilaksis.
 Nefritis interstitial.
 Transient leukopenia, thrombocytopenia, dan anemia
hemolytic.
Interaksi Obat :Dapat meningkatkan konsentrasi plasma
amoksisilin jika diberikan bersamaan dengan
probenecid.
Dapat meningkatkan reaksi alergi atau
hipersensitivitas jika diberikan bersamaan dengan
penggunaan bersama allopurinol dan amoksisilin.
Dapat mengurangi kemanjuran kontrasepsi estrogen
/ progesteron oral
Kemasan : Kaplet 500 mg x 5 x 6
Alasan pemelihian : Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya
perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi
atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan
atau timbulnya komplikasi. Pada kasus pasien
kemungkinan terjadi infeksi kpatogen penyebabnya
H-para influenza , M chatarhalis phs beta laktamse
dilihat dari niali FEV-1 yaitu 40% maka pasien
diberikan antibiotic kombinasi amoksisilin dan
Asam klavunalat.

18
DAFTAR PUSTAKA

GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide


for Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease Inc.; 2017

Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease. In:
Longo D, Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's
principles of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
pp. 2151–2159

Mangunnegoro H, dkk. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: 2003. hal 1-56 3.

Mathers CD, Loncar D (November 2006). "Projections of Global Mortality and


Burden of Disease from 2002 to 2030". PLoS Med. 3 (11):
e442:10.1371/journal.pmed.0030442 4.

Elizabeth G. Nabel, M.D 2007 NHLBI Morbidity and Mortality Chart Book"
(PDF).

19

Anda mungkin juga menyukai