Anda di halaman 1dari 42

KEGAWATDARURATAN SISTEM RESPIRASI

(PPOK)
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas keperawatan gawat darurat

Oleh Kelompok 4:
1. Laila Sa’adah 1811313009
2. Salsabila Gema Topani 1811311009
3. Indah Ramadhani 1811311035
4. Difabella Melinda Putri 1811313003
5. Desri Yola Rahmadhani 1811312047
6. Fitri Tirta Rahmili 1811311029
7. Tammy Diannisa Gerda 1811312013
8. Tari Rahmadiya 1811311001
9. Yulia Mustika Sari 1811311027
10. Resa Okpriana 1811312003
11. Natasya 1811313019
12. Afnis Detalianti 1516618035
13. Tasya Faradilah Ali 1516618004

Dosen Pengampu:
Ns. ELVI OKTARINA, M.Kep., Sp.MB.

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga
tugas praktikum Kewirausahaan yang berjudul “Kegawatdaruratan Sistem Respirasi
(PPOK)” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Padang, 9 Februari 2021

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3
1.1 Latar Belakang........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3 Tujuan.....................................................................................................................4
BAB II TEORITIS.................................................................................................5
2.1 Definisi....................................................................................................................5
2.2 Etiologi....................................................................................................................6
2.3 Manifestasi Klinis....................................................................................................7
2.4 Patofisiologi............................................................................................................8
2.5 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................9
2.6 WOC......................................................................................................................12
2.7 Penatalaksanaan.....................................................................................................13
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS..........................................14
3.1 Pengkajian............................................................................................................14
3.2 Diagnosa Keperawatan.........................................................................................15
3.3 Intervensi..............................................................................................................16
BAB IV KASUS MENGGUNAKAN FORMAT IGD......................................23
4.1 Pengkajian Primer..................................................................................................24
4.2 Diagnosa Keperawatan...........................................................................................26
4.3 Rencana Keperawatan............................................................................................26
4.4 Hasil Pengkajian Sekunder.....................................................................................27
4.5 Diagnosa Keperawatan dari Pengkajian Sekunder.................................................28
4.6 Luaran Keperawatan dari Pengkajian Sekunder...................................................29
4.7 Intervensi Keperawatan dari Pengkajian Sekunder................................................30
EVIDENCE BASED NURSING (EBN).............................................................36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PPOK adalah penyakit yang bisa dicegah dan diobati, yang gejalanya
membuat sulit untuk bernafas saat inspirasi dan ekspirasi di paru-paru kondisi
ini dapat menyebabkan kelainan saluran nafas karena bekerja lebih maksimal
akibat gangguan aliran udara di paru-paru (Airway & Bronchitis, 2013).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah global di dunia.
World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 PPOK
menjadi urutan ke-3 di dunia penyebab angka kesakitan dan kematian baik di
negara maju maupun negara berkembang akibat meningkatnya kebiasaan
merokok, meningkatnya usia harapan hidup manusia dan dapat diatasinya
penyakit degeneratif lainya serta kemajuan industri yang tidak dapat
dipisahkan dengan populasi udara dan lingkungan.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit ditandai
dengan keterlibatan sel inflamasi. Prevalens pada keadaan ini meningkat 20%
dengan keadaan klinis stabil sampai 35% pada pasien yang mendapatkan
rehabilitasi paru. (Fachri et al., 2012). Gejala paling dominan pada pasien
PPOK adalah sesak nafas yang sering dimulai saat aktivitas berat, perubahan
pola pernafasan, penurunan ekspansi thorak. Dengan diagnosis fisioterapi
yaitu (1) Impairment: adanya sesak nafas, penurunan ekspansi thorak, retensi
sputum (2) Fungsional Limitation: aktivitas yang dilakukan penderita lebih
terbatas dari sebelumnya, (3) Disability: pasien belum mampu mengikuti
kegiatan masyarakat (Imamah et al., 2017).
Keluhan yang sering muncul pada pasien penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) adalah sesak nafas, produksi sputum meningkat, dan
keterbatasan aktivitas (Khotimah S, 2013). Akibat dari sputum yang berlebih
tersebut dapat menyebabkan sputum tertimbun dan akibatnya bersihan jalan
nafas tidak efektif dan akhirnya respon utama adalah sesak nafas. Sesak nafas
yang berlangsung lama dan tidak segera ditangani akan mengakibatkan
munculnya sianosis (pucat), kelelahan dan merasa lemas.

4
Jika hal tersebut tidak segera diatasi, hal selanjutnya yang akan terjadi
adalah perlekatan jalan nafas dan menyebabkan obstruksi (sumbatan) jalan
nafas (Nugroho,2011). Akibat lain dari sputum yang tertimbun berlebih
adalah meningkatkan resiko infeksi, dikarenakan sputum tersebut dapat
menjadi tempat hidupnya patogen yang dapat berbahaya. Selain itu
komplikasi yang sering timbul seiring dengan produksi mukus yang berlebih
akan menyebabkan hipoksemia hingga kolaps paru yang akan berujung
dengan pneumothorak, komplikasi lain akibat penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK) adalah kor pulmonal yang bisa menyebabkan kematian (Black,
2014).Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan
aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel.
Penelitian terhadap PPOK sebagai penyakit inflamasi lokal paru yang
mempunyai beban inflamasi sistemik telah banyak diteliti, dan dampak yang
ditimbulkan dapat menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang
semakin meningkat (GOLD, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa konsep dasar PPOK secara teoritis?
2. Bagaimana bentuk asuhan keperawatan PPOK secara teoritis?
3. Bagaimana penyelesaian kasus PPOK dengan menggunakan format IGD?

1.3 Tujuan
1. Dapat menjelaskan konsep dasar PPOK secara teoritis
2. Dapat menjelaskan asuhan keperawatan PPOK secara teoritis
3. Dapat menjelaskan penyelesaian kasus PPOK dengan menggunakan
format IGD

5
BAB II
TEORITIS
2.1 Definisi
LeMone et al., 2016 mengatakan PPOK merupakan sejumlah
gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru, hal ini
dapat mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia karena terjadinya
kelemahan otot pernapasan dan obstruksi sehingga akan meningkatkan
resistensi aliran udara, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi. Salah satu manifestasi klinis yang diperlihatkan adalah dyspnea
sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar saturasi oksigen. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu penyakit yang berhubungan
dengan dengan respon inflamasi kronis saluran pernafasan dan paru-paru
akibat artikel atau gas tertentu yang menyebabkan perubahan struktur dan
penyempitan jalan nafas. Dan hal tersebut yang mengakibatkan penurunan
suplai oksigen keseluruh tubuh (GOLD, 2013).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah peradangan pada paru-
paru yang berkembang dalam jangka panjang. PPOK umumnya ditandai
dengan sulit bernapas, batuk berdahak, dan mengi. Dua kondisi yang paling
sering berkembang menjadi PPOK adalah bronkitis kronis dan emfisema.
Pada bronkitis kronis, kerusakan terjadi pada saluran bronkus, sedangkan pada
emfisema kerusakan terjadi pada alveolus.
PPOK yang merupakan penyakit kronis gangguan aliran udara
merupakan penyakit yang tidak sepenuhnya dapat disembuhkan. Gangguan
aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan persisten serta berkaitan
dengan respon radang yang tidak normal dari paru akibat gas atau partikel
yang bersifat merusak.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok
penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari
jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah
bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis (Arita
Murwani, 2011).

6
PPOK adalah nama yang diberikan untuk gangguan ketika dua
penyakit paru terjadi pada waktu bersamaan yaitu bronkitis kronis dan
emfisema. Asma kronis yang dikombinasikan dengan emfisema atau bronkitis
juga dapat menyebabkan PPOK (Hurst, 2016). PPOK menjadi salah satu
Penyakit Tidak Menular yang ada di Indonesia dan di Dunia yang juga
menjadi prioritas utama bagi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(Riskesdas RI, 2013).

2.2 Etiologi
Menurut (Ikawati 2016), ada beberapa faktor resiko utama
berkembangnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yaitu : Merokok,
Polusi udara, Infeksi. Penyakit Paru Obstruksi Kronis dapat mengakibatkan
kerusakan pada alveolar sehingga dapat mengubah fisiologi pernapasan,
kemudian mempengaruhi oksigen tubuh secara keseluruhan.
Penyebab dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah :
1. Kebiasaan merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di
negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mukus
dan obstruksi jalan napas kronik (Oemiati, 2013). Sejumlah zat iritan yang
ada di dalam rokok menstimulasi produksi mukus berlebih, batuk,
merusak fungsi silia, menyebabkan inflamasi, serta kerusakan bronkiolus
dan dinding alveolus (Elsevier). Perokok pasif juga menyumbang terhadap
symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-
paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat
hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi
pertumbuhan paru-parunya (Oemiati, 2013).
2. Polusi oleh zat-zat produksi
Penelitian cohort longitudinal menunjukan bukti kuat tentang
hubungan polusi udara dan penurunan pertumbuhan fungsi paru di usia
anak-anak dan remaja. Hubungan tersebut di observasi dengan
ditemukannya karbon hitam di makrofag pada saluran pernafasan dan
penurunan fungsi paru yang progresif. Hal ini menunjukkan hal yang

7
masuk akal secara biologi bagaimana peran polusi udara terhadap
penurunan perkembangan fungsi paru (Gold, 2014).
3. Faktor genetik
Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 – 3% pada
pasien PPOK (Oemiati, 2013). Genetik sebagai faktor risiko yang pernah
di ditemukan adalah defisiensi berat antitripsin alfa-1 yang merupakan
inhibitor dari sirkulasi serin protease, walaupun defisiensi antitripsin alfa-
1 relevan hanya pada sedikit populasi di dunia, itu cukup menggambarkan
interaksi antara genetik dan paparan lingkungan dapat menyebabkan
PPOK. Risiko genetik terhadap keterbatasan bernafas telah di observasi
pada saudara atau orang terdekat penderita PPOK berat yang juga
merokok, dengan sugesti dimana genetik dan faktor lingkungan secara
bersamaan dapat mempengaruhi terjadinya PPOK gen tunggal seperti gen
yang memberi kode matriks metalloproteinase 12 (MMP12) berhubungan
dengan menurunnya fungsi paru (Gold, 2014).
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan
progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan
napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi
saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru
dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa.Terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena
seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar
timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor risiko pada
PPOK (PDPI, 2011).

2.3 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi dari tanpa gejala dan dengan
gejala dari ringan sampai berat, yaitu batuk kronis, berdahak, sesak napas bila
beraktifitas, sesak tidak hilang dengan pelega napas, memburuk pada
malam/dini hari, dan sesak napas episodic (Tana et al., 2016). Untuk dapat
menghindari kekambuhan PPOK, maka pemahaman tentang penyakit dan cara

8
mencegah kekambuhan PPOK menjadi dasar yang sangat penting bagi
seseorang khususnya penderita PPOK. Kekambuhan dapat terukur dengan
meliputi skala sesak berdasarkan skala MMRC (Modified Medical Research
Counci). Untuk mengeluarkan dahak dan memperlancar jalan pernapasan
pada penderita PPOK dapat dilakukan dengan cara batuk efektif (Faisal,
2017).
Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda umumnya setelah usia 50
tahun ke atas, paling tinggi pada laki-laki usia 55-74 tahun. Hal ini
dikarenakan keluhan muncul bila terpapar asap rokok yang terus menerus dan
berlangsung lama (Salawati, 2016).
Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
sebagai berikut Suddarth, (2015):
a. PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dyspnea saat
menggerakkan tenaga kerap memburuk seiring waktu.
b. Penurunan berat badan sering terjadi.
c. Gejala yang spesifik dengan penyakit asma, bronkiektasis, bronkitis, dan
emfisema.

2.4 Patofisiologi
PPOK ditandai dengan obstruksi progresif lambat pada jalan nafas.
Penyakit ini merupakan salah satu eksaserbasi periodic, seringkali berkaitan
dengan infeksi pernapasan, dengan peningkatan gejala dyspnea dan produksi
sputum. Tidak seperti proses akut yang memungkinkan jaringan paru pulih,
jalan napas dan parenkim paru tidak kembali ke normal setelah ekaserbasi;
Bahkan, penyakit ini menunjukkan perubahan destruktif yang progresif
(LeMone et al., 2016).
Meskipun salah satu atau lainya dapat menonjol PPOK biasanya
mencakup komponen bronchitis kronik dan emfisema, dua proses yang jauh
berbeda. Penyakit jalan napas kecil, penyempitan bronkiola kecil, juga
merupakan bagian kompleks PPOK. Melalui mekanisme yang berbeda, proses
ini menyebabkan jalan napas menyempit, resistensi terhadap aliran udara

9
untuk meningkat, dan ekspirasi menjadi lambat dan sulit (LeMone et al.,
2016).

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk
menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan
prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif
adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus
digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan
setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC).
Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur volume udara yang
dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas,
atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio
dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV1/FVC) untuk
menentukan ada tidaknya obstruksi jalan nafas, nilai normal FEV 1/FVC
adalah >70%. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan
dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC<70% disertai dengan hasil
tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1<80% dari nilai prediksi
mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible. FEV1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi
penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase
dari nilai prediksi normal.
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji
bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini
adalah dengan memberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan FEV1. Bila perubahan nilai
FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam
keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).

10
2. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema dominan
didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata,
hiperfluensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung
yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan
hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
3. Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah amat
penting untuk dilakukan. AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada
penderita menunjukkan 0 dari nilai prediksi dan secara klinis tampak
tanda-tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis
sentral, pembengkakan engkel, dan peningkatan jugular venous pressure.
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda
pada pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis
kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%, hal
ini menunjukkan adanya shunt kanan ke kiri. Dapat juga menunjukkan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta
asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini
disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio
ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata.
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh
karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan
berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada
emfisema gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan
normoksia atau hipoksia ringan, normokapnia, dan tidak ada shunt kanan
ke kiri.
Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan
oksigenasi, dan untuk memantau keseimbangan asam basa.

11
4. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk antibiotik yang tepat, khususnya
pada saat terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
5. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya
leukositosis pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik,
juga untuk melihat terjadinya peningkatan hematokrit.
6. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) digunakan untuk
mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonate
atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang
dilakukan antara lain uji latin kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-
Scan resolusi tinggi, ekokardiogram, dan pemeriksaan kadar alpha-1
antitrypsin.

12
2.6 WOC
Asap rokok, polusi udara, riwayat
infeksi saluran pernafasan

Radang bronkus

Kelenjar mensekresi lendir dan sel


goblet meningkat

Elastis paru

Penyakit Paru Obstruktif kronis (PPOK)

Produksi sekret berlebih

Batuk tidak efektif

Terjadi akumulasi sekret berlebih

Recoil elastis jalan nafas menurun Obstruksi jalan nafas

Kolaps bronkiolus Batuk, sesak nafas

Dinding alveolus mengalami kerusakan


Pola nafas tidak efektif

Gangguan difusi oksigen

Gangguan pertukaran gas

WOC PPOK menurut Price, (2005) dan heardman (2015)

13
2.7 Penatalaksanaan
1. Medis
 Memelihara kepatenan jalan napas dengan menurunkan spasme
bronkhus dan membersihkan sekret yang berlebihan
 Memelihara keefektifan pertukaran gas
 Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernapasan
 Meningkatkan toleransi latihan
 Mencegah adanya komplikasi (gagal napas akut dan status
asmatikus)
 Mencegah alergen/iritasi jalan napas
 Membebaskan adanya kecemasan dan mengobati depresi yang
sering menyertai adanya obstruksi jalan napas kronis

2. Keperawatan
Penatalaksanaan PPOK dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut
adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah
dan mengatasi eksaserbasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan
psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka
kematian.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara
menghentikan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan
jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan
edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat
irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
3.1 Pengkajian
1. Identitas Pasien
Pada PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Ikawati (2012) yang mengatakan
bahwa laki-laki lebih beresiko terkena PPOK daripada wanita terkait
dengan kebiasaan merokok pada pria dan menurut Francis (2011) PPOK
jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis sebelum usia
40 tahun sehingga penderita PPOK biasanya berusia di atas 40 tahun.
2. Keluhan Utama
Sesak napas merupakan keluhan utama penderita PPOK.
Terjadinya penyempitan aliran napas menyulitkan penderita untuk
bernapas. Batuk terjadi karena adanya peningkatan reaktivitas terhadap
sel-sel yang sudah mati yang akan dikeluarkan dan meningkatnya
produksi sputum.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Menurut Somantri (2009) Iritan akan memicu timbulnya respon
inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema dan
bronkospasme.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
6. Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan teori muttaqin (2012) pada pemeriksaan paru
penderita PPOK biasanya akan ditemukan keadaan paru pada pemeriksaan
inspeksi biasanya terlihat penggunaan otot bantu pernafasan pada
pemeriksaan palpasi biasanya premitus kanan dan kiri melemah pada
pemeriksaan perkusi biasanya hipersonor dan pada auskultasi biasanya
terdapat ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif.
7. Pemeriksaan Laboratorium
Teori menurut muttaqin (2012) menunjukkan adanya perubahan
pada hasil analisa gas darah dan hasil darah pada pasien dengan PPOK

15
yaitu PaO2 menurun dengan nilai normal 75-100 mmHg, PCO2
meningkat dengan nilai normal 35-45 mmHg dan nilai pH normal dengan
nilai normal 7,35-7,45 asidosis alkalosis respiratorik ringan sekunder.
Hemoglobin (Hb) meningkat dengan nilai normal pada wanita 12-14 gr/dl
dan laki-laki 14-18 gr/dl , hematocrit (Ht) meningkat dengan nilai normal
pada wanita 37-43 % dan pada laki-laki 40-48 %. Jumlah darah merah
meningkat dengan nilai normal pada wanita 4,2-5,4 juta/mm3 dan pada
laki-laki 4,6-6,2 juta/mm3.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa yang biasa ditemukan pada pasien dengan PPOK menurut NANDA
(2015) adalah sebagai berikut :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus
berlebihan, batuk yang tidak efektif
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai O2
ke sel dan jaringan kurang
5. Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan kurang asupan makanan
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan kerja siliaris
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian
9. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan

16
3.3 Intervensi

DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC NIC


Ketidakefektifan bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas
berhubungan dengan mukus diharapkan manajemen diri: penyakit a) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
berlebihan, batuk yang tidak efektif paru obstruktif kronis dengan kriteria b) Lakukan fisioterapi dada sebagai mana mestinya
hasil : c) Buang secret dengan memotivasi pasien untuk
Definisi : Ketidakmampuan a) Secara konsisten menunjukkan melakukan batuk atau menyedot lender
membersihkan sekresi atau obstruksi menerima diagnosis d) Instruksikan bagaimana agar bias melakukan
dari saluran nafas untuk b) Secara konsisten mencari informasi batuk efektif
mempertahankan bersihan jalan nafas . tentang cara mencegah komplikasi e) Auskultasi suara nafas
c) Secara konsisten menunjukkan f) Posisikan untuk meringankan sesak nafas
Batasan karakteristik : menjalankan aturan pengobatan
1. Batuk yang tidak efektif sesuai resep Penghisapan lendir pada jalan nafas
2. Dyspnea d) Secara konsisten menunjukkan a) Gunakan alat pelindung
3. Gelisah berpartisipasi dalam aturan berhenti b) Tentukan perlunya suksion mulut atau trachea
4. Kesulitan verbalisasi merokok c) Auskultasi suara naafs sebelum dans etelah
5. Penurunan bunyi nafas e) Secara konsisten menunjukkan tindakan suction
6. Perubahan frekuensi nafas f) Secara konsisten menunjukkan d) Innstruksikan kepada pasien untuk menarik nafas

17
7. Perubahan pola nafas memantau perburukan gejala dalam sebelum dilakukan suction
8. Sputum dalam jumlah yang e) Monitor adanya nyeri
berlebihan Setelah dilakukan tindakan keperawatan f) Monitor status oksigenasi pasien
10. Suara nafas tambahan diharapkan status pernafasan : kepatenan g) Monitor dan catat warna, jumlah dan konsistensi
jalan nafas dengan kriteria hasil : secret
Faktor yang berhubungan: a) Frekuensi pernafasan tidak ada
1. Lingkungan deviasi dari kisaran normal Monitor pernafasan
a) Perokok b) Irama pernafasan tidak ada deviasi a) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
b) Perokok pasif dari kisaran normal kesulitan bernafas
c) Terpajan asap c) Kemampuan untuk mengeluarkan b) Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan,
2. Obstruksi jalan nafas secret tidak ada deviasi dari kisaran penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi otot
a) Adanya jalan nafas buatan normal c) Monitor suara nafas tambahan
b) Benda asing dalam jalan nafas d) Suara nafas tambahan tidak ada d) Monitor pola nafas
c) Eksudat dalam alveoli e) Dispnea dengan aktifitas ringan tidak e) Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadi
d) Hyperplasia pada dinding ada penurunan atau tidak adanya ventilasi dan
bronus f) Penggunaan otot bantu pernafasan keberadaan suara nafas tambahan
e) Mukus berlebihan tidak ada f) Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan
f) PPOK auskultasi suara nafas ronki di paru
g) Spasme jalan nafas g) Monitor kemampuan batuk efektif pasien

18
3. Fisiologis Setelah dilakukan tindakan keperawatan h) Berikan bantuan terapi nafas jika diperlukan
a) Asma diharapkan status pernafasan : ventilasi (misalnya nebulizer)
b) Disfungsi neuromuscular dengan kriteria hasil :
c) Infeksi a) Frekuensi pernafasan tidak ada
d) Jalan nafas alergik deviasi dari kisaran normal
b) Irama pernafasan tidak ada deviasi
dari kisaran normal
c) Suara perkusi nafas tidak ada deviasi
dari kisaran normal
d) Kapasitas vital tidak ada deviasi dari
dari kisaran normal

Gangguan pertukaran gas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Asam Basa
dengan ventilasi-perfusi diharapkan keseimbangan elektrolit dan a) Pertahankan kepatenan jalan nafas
Definisi : Kelebihan atau deficit asam basa dengan kriteria hasil : b) Posisikan klien untuk mendapatkan ventilasi yang
oksigenasi dan/atau eliminasi a) frekuensi pernafasan tidak ada adekuat
karbondioksida pada membrane deviasi dari kisaran normal c) Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2 dan
alveolar kapiler b) irama pernafasan tidak ada deviasi HCO3 dalam rangka mempertimbangkan jenis
dari kisaran normal ketidakseimbangan yang terjadi ( misalnya,

19
Batasan karakteristik: c) serum pH tidak ada deviasi dari respiratorik atau metabolic) dan kompensasi
1. Diaphoresis kisaran normal mekanisme fisiologis yang terjadi (misalnya,
2. Dyspnea d) serum karbondioksida tidak ada kompensasi paru atau ginjal dan penyangga
4. Gangguan penglihatan deviasi dari kisaran normal fisiologis)
5. Gas darah arteri abnormal d) Pertahankan pemeriksaan pH arteri dan plasma
6. Gelisah Setelah dilakukan tindakan keperawatan elektrolit untuk membuat perencanan perawatan
7. Hiperkapnia diharapkan status pernafasan : pertukaran yang akurat
8. Hipoksemia gas dengan kriteria hasil : e) Monitor gas darah arteri, level serum serta urin
9. Hipoksia a) Tekanan parsal oksigen di darah elektrolit jika diperlukan
10. pH arteri abnormal arteri (PaO2) tidak ada deviasi dari f) Monitor pola pernafasan
11. Pola pernafasan abnormal kisaran normal g) Monitor penentuan pengangkutan oksigen ke
12. Sianosis b) Tekanan parsial karbondioksida di jarinagn (misalnya rendahnya PaO2)
darah arteri (PaCO2) tidak ada h) Monitor intake dan output
deviasi dari kisaran normal i) Monitor status hemodinamik, meliputi level CVP,
Factor berhubungan: c) Saturasi oksigen tidak ada deviasi MAP, PAP dan PCWP jika tersedia
1. Ketidakseimbangan ventilasi- dari kisaran normal
perfusi d) Keseimbangan ventilasi dan perfusi Terapi oksigen
2. Perubahan membrane alveolar- tidak ada deviasi dari kisaran normal a) Pertahankan kepatenan jalan nafas
kapiler b) Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui

20
Setelah dilakukan tindakan keperawatan system humidifier
diharapkan tanda-tanda vital dengan c) Berikan oksigen tambahan seperti yang
kriteria hasil : diperintahkan
a) Suhu tubuh tidak ada deviasi dari d) Monitor aliran oksigen
kisaran normal e) Monitor efektifitas terapi oksigen
b) Denyut nadi radial tidak ada deviasi f) Amati tanda-tanda hipoventialsi induksi oksigen
dari kisaran normal g) Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai
c) Tingkat pernafasan tidak ada deviasi penggunaan oksigen tambahan selama kegiatan
dari kisaran normal dan atau tidur
d) Irama pernafasan tidak ada deviasi h) Monitor pernafasan
dari kisaran normal i) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan
e) Tekanan darah sistolik tidak ada kesulitan bernafas
deviasi dari kisaran normal j) Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan,
f) Tekanan darah diastolik tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi otot
deviasi dari kisaran normal k) Monitor suara nafas tambahan
l) Monitor pola nafas
m) Auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadi
penurunan atau tidak adanya ventilasi dan
keberadaan suara nafas tambahan

21
n) Kaji perlunya penyedotan pada jalan nafas dengan
auskultasi suara nafas ronki di paru
o) Monitor kemampuan batuk efektif pasien
p) Berikan bantuan terapi nafas jika diperlukan
(misalnya nebulizer).

Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Terapi oksigen


berhubungan dengan keletihan otot diharapkan status pernafasan : ventilasi a) Pertahankan kepatenan jalan nafas
pernafasan, penggunaan otot bantu dengan kriteria hasil : b) Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui
pernafasan a) Frekuensi pernafasan tidak ada system humidifier
deviasi dari kisaran normal c) Berikan oksigen tambahan seperti yang
Definisi : b) Irama pernafasan tidak ada deviasi diperintahkan
dari kisaran normal d) Monitor aliran oksigen
Batasan karakteristik: c) Suara perkusi nafas tidak ada deviasi e) Monitor efektifitas terapi oksigen
1. Bradipnea dari kisaran normal f) Amati tanda-tanda hipoventialsi induksi oksigen
2. Dyspnea d) Kapasitas vital tidak ada deviasi dari g) Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai
3. Penggunaan otot bantu pernafasan dari kisaran normal penggunaan oksigen tambahan selama kegiatan
4. Penurunan kapasitas kapasitas vital dan atau tidur
5. Penurunan tekanan ekspirasi

22
6. Penurunan tekanan inspirasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitor tanda-tanda vital
8. Pernafasan bibir diharapkan status pernafasan : pertukaran a) Monitor tekanan darah, nadi, suhu dan status
9. Pernafasan cuping hidung gas dengan kriteria hasil : pernafasan dengan tepat
10. Takipnea a) Tekanan parsial oksigen di darah b) Monitor tekanan darah saat pasien berbaring,
arteri (PaO2) tidak ada deviasi dari duduk dan berdiri sebelum dan setelah perubahan
Factor yang berhubungan: kisaran normal posisi
1. Ansietas b) Tekanan parsial karbondioksida di c) Monitor dan laporkan tanda dan gejala hipotermia
2. Cedera medulla spinalis darah arteri (PaCO2) tidak ada dan hipertermia
3. Hiperventilasi deviasi dari kisaran normal d) Monitor keberadaan nadi dan kualitas nadi
4. Keletihan c) Saturasi oksigen tidak ada deviasi e) Monitor irama dan tekanan jantung
5. Keletihan otot pernafasan dari kisaran normal f) Monitor suara paruparu
6. Nyeri d) Keseimbangan ventilasi dan perfusi g) Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
7. Obesitas tidak ada deviasi dari kisaran normal h) Identifikasi kemungkinan penyebab perubahan
8. Posisi tubuh yang menghambat tanda-tanda vital
ekspansi paru

23
BAB IV
KASUS MENGGUNAKAN FORMAT IGD

Kasus
Tn. S 62 tahun, datang ke RS dengan keluhan sesak nafas sejak ± 1 hari yang lalu.
Sesak dirasakan tidak berkurang dari kemarin. Keluhan sesak sudah dirasakan
saat pasien melakukan pekerjaan ringan seperti jalan di sekitar rumah. Keluhan
sesak disertai dengan batuk berdahak yang kadang-kadang muncul tapi tidak
disertai dengan nyeri dada. Pasien mengatakan sudah sering merasakan sesak
seperti ini sejak ± 2 tahun yang lalu dan ini merupakan kunjungan yang ke-3 ke
rs. Setiap kunjungan ke pasien diterapi uap (nebulizer) dengan obat fluxotide dan
ventolin. Pasien mengatakan setiap setelah diuap, pasien merasakan nafas lebih
lega dan terasa lebih ringan. Pasien juga diberikan obat salbutamol untuk
pengontrol seandainya keluhan sesak muncul di rumah. Pasien memiliki riwayat
merokok sejak ± 25 tahun yang lalu dengan jumlah rata-rata rokok yang dihisap
seharinya mencapai 5 bungkus (80 batang). Namun, pasien mengatakan sudah
berhenti merokok sejak tahun 2003. Pada pemeriksaan didapatkan penampilan
kurus (underweight), tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 96 x/menit, frekwensi
nafas 32 x/menit, suhu 36,70C, indeks massa tubuh 18 Kg/m2 . Pada pemeriksaan
fisik paru didapatkan adanya pelebaran sela iga, fremitus taktil melemah simetris
paru kiri dan kanan, perkusi hipersonor, dan suara nafas vesikuler melemah
simetris pada paru kiri dan kanan. Jantung, abdomen, punggung, dan ekstremitas
dalam batas normal. Status neurologis, reflek fisiologis normal, refleks patologis
tidak ditemukan.

24
4.1 Pengkajian Primer
Nama pasien: Tn. S
No MR:
□ TIDAK ADA PERNAFASAN
□ TIDAK ADA DENYUT NADI
□ REFLEKS CAHAYA -/-
□ EKG FLAT
□ JAM DOA
PEMERIKSAA □ SKALA □ SKALA □ SKALA □ SKALA □ SKALA TANDA
N TRIASE 1 TRIAGE 2 TRIAGE 3 TRIAGE 4 TRIAGE 5 VITAL
0 MENIT 10 MENIT 30 MENIT 60 MENIT 120 MENIT
JALAN NAFAS □ □ BEBAS □BEBAS □√ BEBAS □ BEBAS Keadaan
SUMBATAN □ANCAMAN Umum
PERNAFASAN □ HENTI □ TAKIPNOE □ NORMAL □ □ Tekanan
NAFAS □ MENGI □ MENGI √FREKUENS FREKUENS Darah:
□ I NAFAS I NAFAS 120/90
BRADIPNOE NORMAL NORMAL mmHg
□ SIANOSIS Suhu: 36,7C
SIRKULASI □ HENTI □ NADI □ NADI □ NADI □ NADI
Nadi: 96
JANTUNG TERABA KUAT KUAT KUAT
x/mnt
□ NADI LEMAH □ □√ □
Nafas: 32
TIDAK □ TAKIKARD FREKUENSI FREKUENS
x/mnt
TERABA BRADIKARD I NADI I NADI
Sao2:
□ AKRAL I □ TDS > 160 NORMAL NORMAL
DINGIN □ mmHg □ TDS 140 – □ √TD
TAKIKARDI □ TDD > 160 mmHg NORMAL
□ PUCAT 100 mmHg □ TDD 90 –
□ AKRAL 100 mmHg
DINGIN
□ CRT > 2
DTK
KESADARAN □ GCS ≤ 8 □ GCS 9 -12 □ GCS > 12 □ √GCS 15 □ GCS 15 RIWAYAT
□ KEJANG □ GELISAH □ APATIS ALERGI
□ TIDAK □ □ □

25
ADA HEMIPARES SOMNOLE MAKANA
RESPON E N N
□ NYERI □ OBAT
DADA □ LAIN-
LAIN
□RESUSITAS □ √MEDIKAL □ BEDAH □ ANAK □ OBGYN
I
KELUHAN UTAMA
Sesak nafas sejak lebih kurang satu hari yang lalu, walaupun melakukan pekerjaan ringan seperti berjalan di sekitar
rumah. Sesak dirasakan tidak berkurang dari kemarin

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Pasien sudah sering merasakan sesak sejak lebih kurang 2 tahun yang lalu dan ini merupakan kunjungan ke 3 ke rs

Berdasarkan Australasian Triage System, apakah kategori triase pasien tersebut?


Skala tirase 4

Analisa Data
A: -Tidak terdapat secret, darah dan cairan di mulut dan hidung
(Tidak ada masalah keperawatan)

B: - Pasien mengeluh sesak, suara nafas vesikuler melemah simetris paru kiri dan
kanan
- Frekuensi nafas 32x/menit
(Masalah keperawatan : pola napas tidak efektif)

C: - Frekuensi nadi 96x/menit


- TD 120/90 mmHg
(Tidak ada masalah keperawatan)

D: - Status neurologis normal


(Tidak ada masalah keperawatan)
E: - Tidak terdapat adanya luka, jejas, krepitasi dan deformitas pada seluruh

26
tubuh

(Tidak ada masalah keperawatan)

4.2 Diagnosa Keperawatan


1. Pola napas tidak efektif b.d deformitas dinding dada d.d dispnea dan
penggunaan otot bantu pernapasan

4.3 Rencana Keperawatan


Diagnosa SLKI SIKI
Pola Napas Tidak Pola Napas Manajemen Jalan Napas
Efektif b.d deformitas Ekspektasi : Membaik Observasi
dinding dada d.d - Dispnea menurun (5) - Monitor pola napas
dispnea dan - Penggunaan otot bantu napas (frekuensi,
penggunaan otot bantu menurun (5) kedalaman, usaha
napas - Frekuensi napas membaik (5) napas)
- Kedalaman napas membaik
(5) Terapeutik
- Ortopnea menurun (5) - Posisikan semi fowler
atau fowler
- Berikan oksigen, jika
perlu

Pemantauan Respirasi
Observasi
- Monitor frekuensi,
irama, kedalaman dan
upaya napas
- Monitor pola napas
- Monitor adanya
produksi sputum

27
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi
oksigen
- Monitor AGS
- Monitor hasil X-ray
toraks

Terapeutik
- Atur pemantauan
respirasi sesuai kondisi
pasien
- Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
- Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

4.4 Hasil Pengkajian Sekunder


a. Sign and Symptoms
 Keluhan sesak nafas sejak ± 1 hari yang lalu.
 Sesak dirasakan tidak berkurang dari kemarin.
 Keluhan sesak sudah dirasakan saat pasien melakukan pekerjaan ringan
seperti jalan di sekitar rumah.
 Keluhan sesak disertai dengan batuk berdahak yang kadang-kadang
muncul tapi tidak disertai dengan nyeri dada.
 Data tambahan : merasa lemah dan lelah, serta merasa tidak nyaman
setelah beraktivitas.
b. Allergy
Pasien tidak memiliki riwayat alergi pada makanan dan obat

28
c. Medication
 Setiap kunjungan pasien diterapi uap (nebulizer) dengan obat fluxotide
dan ventolin.
 Pasien juga diberikan obat salbutamol.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien memiliki riwayat merokok sejak ± 25 tahun yang lalu dengan jumlah
rata-rata rokok yang dihisap seharinya mencapai 5 bungkus (80 batang).
Namun, pasien mengatakan sudah berhenti merokok sejak tahun 2003.
e. Last Meal : -
f. Event Leading
Pasien mengatakan sudah sering merasakan sesak seperti ini sejak ± 2 tahun
yang lalu dan ini merupakan kunjungan pasien yang ke-3 ke rs.
g. Pengkajian head to toe
 Inspeksi : penampilan kurus (underweight), IMT : 18
 Paru
1) Palpasi : adanya pelebaran sela iga, fremitus taktil melemah simetris
paru kiri dan kanan.
2) Perkusi : hipersonor
3) Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah simetris pada paru kiri
dan kanan
 Jantung, abdomen, punggung, dan ekstremitas dalam batas normal.
h. Pemeriksaan penunjang : -
i. Pemeriksaan psikososial : -

4.5 Diagnosa Keperawatan dari Pengkajian Sekunder


Intolerasi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
dan kelemahan d.d mengeluh lelah, merasa lemah, sesak setelah beraktivitas,
dan merasa tidak nyaman setelah beraktivitas.

4.6 Luaran Keperawatan dari Pengkajian Sekunder


Toleransi aktivitas
Ekspektasi : Meningkat
Kriteria hasil :

29
 Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari–hari meningkat
 Keluhan lelah menurun
 Dipsnea saat aktivitas menurun
 Dipsnea setelah aktivitas menurun
 Perasaan lemah menurun

30
4.7 Intervensi Keperawatan dari Pengkajian Sekunder
Diagnosa Keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
Intolerasi aktivitas b.d Toleransi aktivitas Manajemen Energi
ketidakseimbangan antara suplai Ekspektasi : Meningkat Observasi
dan kebutuhan oksigen dan Kriteria hasil :  ldentifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
kelemahan d.d mengeluh lelah,  Kemudahan dalam  Monitor kelelahan fisik dan mental
merasa lemah, sesak setelah melakukan aktivitas  Monitor pola dan jam tidur
beraktivitas, dan merasa tidak sehari – hari meningkat  Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
nyaman setelah beraktivitas.  Keluhan lelah menurun
 Dipsnea saat aktivitas Terapeutik
menurun  Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya,
 Dipsnea setelah aktivitas suara, kunjungan)
menurun  Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Perasaan lemah menurun  Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan

31
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan.

Manajemen Nutrisi
Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 ldentifikasi makanan yang disukai
 Identifkasi kebutuhan kalorl dan jenis nutrien
 Identifkasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan

32
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium

Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogatrik jika asupan
oral dapat ditoleransi

Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda

33
nyeri, antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrien yang dibutuhkan jika perlu

Manajemen Medikasi
Observasi
 ldentifikasi penggunaan obat sesuai resep
 ldentifikasi masa kadaluwarsa obat
 Identifikasi pengetahuan dan kemampuan menjalani program
pengobatan
 Monitor keefektifan dan efek samping pemberian obat
 Monitor tanda dan gejala keracunan obat
 Monitor darah serum (mis. elektrolit, protrormbin), jika perlu
 Monitor kepatuhan menjalani program pengobatan

Terapeutik
 Fasilitasi perubahan program pengobatan, jika perlu
 Sediakan sumber infomasi program pengobatan secara visual dan
tertulis

34
 Fasilitasi pasien dan keluarga melakukan penyesuaian pola hidup
akibat program pengobatan

Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga cara mengelola obat (dosis,
penyimpanan, rute dan waktu pemberian)
 Ajarkan cara menangani atau mengurangi efek samping, jika
terjadi
 Anjurkan menghubungi petugas kesehatan jika terjadi efek
samping obat

Dukungan Kepatuhan Program Pengobatan


Observasi
 ldentifikasi kepatuhan menjalani program pengobatan

Terapeutik
 Buat komitmen menjalani program pengobatan dengan baik
 Buat jadwal pendampingan keluarga untuk bergantian menemani
pasien selama menjalani program pengobatan, jika perlu

35
 Dokumentasikan aktivitas selama menjalani proses pengobatan
 Diskusikan hal-hal yang dapat mendukung atau menghambat
berjalannya program pengobatan
 Libatkan keluarga untuk mendukung program pergobatan yang
dijalani

Edukasi
 Informasikan program pengobatan yang harus dljalani
Informasikan manfaat yang akan diperoleh jika teratur menjalani
program pangobatan
 Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan merawat pasien
selama menjalani program pengobatan
 Anjurkan pasien dan keluarga melakukan konsultasi ke pelayanan
kesehatan terdekat, jika perlu

36
EVIDENCE BASED NURSING (EBN)

PICO(T)

Jurnal Populasi (P) Intervention (I) Comparator (C) Outcome (O) Time (T) PICOT
Pengaruh Pasien yang Pengaturan Posisi Mengurangi sesak Tindakan CKDi Bagaimana efektifitas
posisi mengalami PPOK condong kedepan nafas pada pasien dilakukan selama Pengaturan CKD Dan
condong di Ruang Melati (CKD) dan PPOK 10 menit.. pemberian PLB duntuk
kedepan dan RSUD Dr. H. pemberian terapi Tindakan PLB mengurangi Sesak
terapi pursed Abdul Moeloek. pursed lips dilakukan selama Nafas Pada Pasien
lips breathing breathing (PLB) 30 menit PPOK ?
terhadap
derajat sesak
napas
penderita
Penyakit Paru
Obstruktif
Kronik
(PPOK)

37
Pengaruh posisi condong kedepan dan terapi pursed lips breathing terhadap
derajat sesak napas penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan kematian di seluruh


dunia. Prevalensi, morbiditas dan mortalitas terkait dengan PPOK telah
meningkat dari waktu ke waktu dan lebih tinggi pada pria dibandingkan pada
wanita. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK. Salah satu penyebab
PPOK adalah asap tembakau (perokok aktif). Perubahan gaya hidup karena
pembangunan ekonomi mempengaruhi peningkatan penggunaan tembakau di
negara-negara berpenghasilan tinggi. Kematian terkait penyebab PPOK terus
meningkat (Purwanti, Hartoyo, & Wulandari, 2016).
Sesak napas menjadi masalah utama pada PPOK dan sebagai alasan
penderita mencari pengobatan. Sesak napas bersifat persisten serta progresif dan
juga sebagai penyebab ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas.
Gejala sesak napas harus dievaluasi secara rutin pada setiap penderita PPOK.
Sesak napas biasanya dinilai dengan menghitung fungsi paru dengan cara
spirometri, namun untuk menilai sesak napas pada penderita PPOK dapat juga
digunakan kuesioner Modified Medical Research Council scale (MMRC scale)
(Anwar, Chan, & Basyar, 2012).
Modalitas fisioterapi yang dapat digunakan dalam penanganan kasus
PPOK, salah satunya yaitu dengan teknik Pursed Lip Breathing (PLB). Pursed Lip
Breathing (PLB) dapat gunakan untuk membantu bernapas lebih efektif, yang
memungkinkan untuk mendapatkan oksigen yang dibutuhkan. PLB melatih untuk
mengeluarkan napas lebih lambat, sehingga bernapas lebih mudah, pada tingkat
yang lebih nyaman, apakah sedang beristirahat atau bergerak (Edwin, Basuki,
Physio, & Isnaini, 2013)
PLB sebagai latihan pernapasan yang menekankan pada proses ekspirasi
yang dilakukan secara tenang dan rileks dengan tujuan untuk mempermudah
proses pengeluaran udara yang terjebak oleh saluran napas. Melalui teknik ini,
maka udara yang keluar akan dihambat oleh kedua bibir, yang menyebabkan
tekanan dalam rongga mulut lebih positif. Tekanan positif ini akan menjalar ke
dalam saluran napas yang menyempit dan bermanfaat untuk mempertahankan

38
saluran napas untuk tetap terbuka. Dengan terbukanya saluran napas, maka udara
dapat keluar dengan mudah melalui saluran napas yang menyempit serta dengan
mudah berpengaruh pada kekuatan otot pernapasan untuk mengurangi sesak
napas (Alsaggaf, Seeni, Delaney, Williams, & Gutierrez, 2017).
Selain PLB terapi lainnya yang dapat digunakan adalah memberikan
posisi condong kedepan (CKD) untuk mengurangi sesak, Posisi CKD akan
meningkatkan otot diafragma dan otot interkosta eksternal pada posisi kurang
lebih 45 derajat. Otot diafragma merupakan otot utama inspirasi dan otot
interkosta eksternal juga merupakan otot inspirasi. Otot diafragma yang berada
pada posisi 45 derajat menyebabkan gaya grafitasi bumi bekerja cukup adekuat
pada otot utama inspirasi tersebut dibandingkan posisi duduk atau setengah
duduk. Gaya grafitasi bumi yang bekerja pada otot diafragma memudahkan otot
tersebut berkontraksi bergerak ke bawah memperbesar volume rongga toraks
dengan menambah panjang vertikalnya. Begitu juga dengan otot interkosta
eksternal, gaya grafitasi bumi yang bekerja pada otot tersebut mempermudah iga
terangkat keluar sehingga semakin memperbesar rongga toraks dalam dimensi
anteroposterior (Khasanah, & Maryoto, 2016).

Kesimpulan dari jurnal ini adalah :


Rata-rata kondisi pernafasan pasien PPOK sebelum diberikan terapi CKD
Dan PLB terhadap 17 responden, dengan mean SpO2 pada responden sebesar
86,71 standar deviasi 1,649 standar eror 0,400. Rata-rata kondisi pernafasan
pasien PPOK sesudah diberikan terapi CKD Dan PLB terhadap 17 responden,
dengan mean SpO2 pada responden sebesar 92,82 standar deviasi 2,856 standar
eror 0,693. Hasil uji statistik menggunakan tes-dependent didapat nilai p-
value0.000 artinya terdapat Pengaruh Posisi CKD Dan PLB Terhadap Tingkat
Sesak Nafas dengan peningkatan rata-rata SpO2 90 menjadi 97 setelah diberi
intervensi.
Diharapkan dapat dijadikan masukan dalam membuat standar operasional
penatalaksanaan pasien dengan PPOK sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan dengan cara memberikan posisi CKD dan PLB.

39
Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan komplementer untuk mengurangi
resiko sesak nafas tanpa menggunakan obat.

40
DAFTAR PUSTAKA

Bambang S.R. et al. (2006). Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Ilmu penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI., Vol 2, hal
978-987.
Faisal, A. (2017). Pengaruh Batuk Efektif Terhadap Perubahan Derajat Sesak
Napas Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di
Poliklinik Paru RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin.
Manuskrip.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung disease. Global strategy for the
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease. Capetown: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung disease
Inc; (2014).
GOLD. (2013). Global Strategy For The Diagnosis, Management, And
Prevention Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Global Initiative
For Chronic Obstruktive Lung Disease. (GOLD).
Grace A. Pierce, Borley R. Nier. (2011). Ata Clace Ilmu Bedah Edisi 3. Pt Gelora
Aksara Pratama
Hurst, M. (2016). Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah, Vol. 1. Jakarta:
EGC.
Ikawati, Zullies. (2016). Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernapasan.
Yogyakarta : Bursa Ilmu.
Junaidi Iskandar. (2010). Penyakit Paru dan Saluran Nafas. Jakarta: Bhuana Ilmu
populer.
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta:
BPPK KEMENKES RI
LeMone, Priscilia, et al.(2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Gangguan Respirasi. EGC: Jakarta.
Murwani, A. (2011). Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta: Goshyen
Publishing.
Oemiati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Media Litbangkes , Vol. 23 No. 2.

41
Padila, (2012). Buku ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika
PDPI. (2011). PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Roberto R.R, et al. (2011). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease. In: Pockket intiative for Chronic Obstructive Lung Disease.
Salawati, L. (2016). Hubungan Merokok Dengan Derajat Penyakit Paru
Obstruksi Kronik. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 16 Nomor 3 .
Suddarth, B.&. (2015). Keperawatan Medikal-Bedah, Ed.12. Jakarta: EGC.
Tana, L. et al. (2016). Sensitifitas dan Spesifisitas Pertanyaan Gejala Saluran
Pernapasan dan Faktor risiko untuk Kejadian Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 44, No. 4.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan) Edisi 1. Jakarta : PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Tindakan Keperawatan) Edisi 1. Jakarta : PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Indikator Diagnostik) Edisi 1. Jakarta : PPNI.
Usastiawaty S dan Sekardhyta A. 2019. Pengaruh Posisi Condong ke Depan dan
Terapi Pursed Lips Breathing Terhadap Derajat Sesak Napas Penderita
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Holistik Jurnal Kesehatan,
Volume 13, No.4, Desember 2019: 389-395.
Wijaya dan Kanita. (2020). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di Igd Rsud Karanganyar.
Surakarta.
Worth Health Organization (WHO). (2015). Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD). (Online).
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/. Diakses pada 8
Februari 2021.

42

Anda mungkin juga menyukai