Anda di halaman 1dari 91

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN RESIKO BUNUH DIRI

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas keperawatan jiwa II

OLEH

KELOMPOK 5 :

Difabella melinda (1811313003)

Rhiana eviranita (1811313005)

Monica imanda (1811313007)

Laila sa’adah (1811313009)

Zela indriani (1811313011)

Zara aprilia (1811313013)

Beauty risha A. (1811313015)

Aisyah rahma D. (1811313017)

Natasya (1811313019)

Vebby fitri N. (1811313021)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga
tugas Keperawatan jiwa yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada klien resiko
bunuh diri” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah bekontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi pera pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang, 20 Agustus 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.............................................................................................1

B. Rumusan masalah.......................................................................................2

C. Tujuan.........................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi resiko bunuh diri...........................................................................3

B. Etiologi resiko bunuh diri............................................................................3

C. Patofisiologi klien dengan resiko bunuh diri..............................................3

D. Asuhan keperawatan pada klien resiko bunuh diri....................................10

BAB III ANALISIS JURNAL.....................................................................23

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................................34

B. Saran..........................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………35

LAMPIRAN……………………………………………………………………36

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Menurut Ade Herman (2011) Bunuh diri merupakan tindakan yang


secara sadar dilakukan pasien untuk mengakhiri hidupnya.Bunuh diri
adalah suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang mengancam nyawa.Dalam
sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada
kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas
bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini
sebagai sesuatu yang diinginkan. ( Fitria,Nita 2010)
Perilaku bunuh diri telah mendapat pengakuan dunia sebagai
masalah kesehatan masyarakat yang penting. Bunuh diri termasuk 10
besar penyebab utama kematian dan 3 besar penyebab kematian pada
usia 15-35 tahun.Di Indonesia prevalensi bunuh diri cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat 1030 orang melakukan
percobaan bunuh diri setiap tahunnya dan lebih kurang 705 orang
diantaranya tewas.Fenomena bunuh diri pada masyarakat Indonesia
meningkat pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap stresor
psikososial yaitu pengungsi, remaja dan masyarakat sosial ekonomi
rendah.
Selain itu bunuh diri juga sering dijumpai pada mereka yang
menderita gangguan mental.Gangguan itu adalah gangguan depresi
(80%), skizofrenia (10%), gangguan demensia dan delirium (5%).Bunuh
diri bukan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan suatu perilaku atau
satu bentuk atau cara menuju kematian. Bunuh diri biasanya merupakan
“jeritan minta tolong” (cry for help) untuk melepaskan diri dari situasi
yang tidak menyenangkan. Tindakan ini dilakukan oleh diri sendiri dan
disengaja. Apabila tindakan percobaan bunuh diri dilakukan terus-

1
menerus tanpa intervensi dari orang lain sangat mungkin dapat
menyebabkan kematian

B. Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan resiko bunuh diri

2. Apa saja yang menyebabkan seseorang melakukan resiko bunuh diri

3. Jelaskan bagaimana patofisiologi pada klien resiko bunuh diri

4. Asuhan keperawatan apa yang perawat berikan kepada klien dengan resiko
bunuh diri

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui apa itu resiko bunuh diri

2. Dapat mengetahui penyebab seseorang mengalami resiko bunuh diri

3. Dapat menjelaskan bagaimana patofisiologi pada klien resiko bunuh


diri

4. Dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada klin


dengan resiko bunuh diri

2
3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Ade Herman (2011) Bunuh diri merupakan tindakan yang
secara sadar dilakukan pasien untuk mengakhiri hidupnya.Bunuh diri
adalah suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti
diri sendiri atau melakukan tindakan yang mengancam nyawa.Dalam
sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada
kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas
bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini
sebagai sesuatu yang diinginkan. ( Fitria,Nita 2010)

B. Etiologi
a. Faktor genetic dan teori biologi Faktor genetic mempengaruhi terjadinya
resiko bunuh diri pada keturunannya. Disamping itu adanya penurunan
serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko
buuh diri.
b. Teori Sosiologi Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu
: Egoistik (orang yang tidak terintegrasi pada kelompok social), atruistik
(Melakukan suicide untuk kebaikan masyarakat) dan anomic ( suicide
karena kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi
dengan stressor).
c. Teori Psikologi Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa
bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.

C. Patofisiologi
Semua perilaku bunuh diri adalah serius, apapun tujuannya. Dalam
pengkajian perilaku bunuh diri, lebih ditekankan pada metoda lebalitas
yang dilakukan atau digunakan. Walaupun semua ancaman dan percobaan

3
bunuh diri harus ditanggapisecara serius, perhatian yang lebih waspada
dan seksama menjadi indikasi jika seseorang mencoba bunuh diri dengan
cara yang paling mematikan seperti dengan pistol, mengantungkan diri
atau loncat.
Perilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 kategori :
a. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan: “Tolong
jaga anak - anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala
sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien
mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun
tidak disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah / sedih /
marah / putus asa / tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal
- hal negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri
rendah.
b. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana
tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri,
namun tidak disertai dengan percobaan bunuh diri. Walaupun
dalam kondisi ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri,
pengawasan ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat
dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
c. Bunuh diri
Individu putus harapan menunjukkan perilaku yang tidak
berdaya, putus asa, apatis, kehilangan, ragu-ragu, sedih, depresi
serta yang paling berat adalah bunuh diri :
a) Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah
akan meninggalkan masalah karena merasa tidak

4
mampu, seolah-olah koping yang bisa bermanfaat sudah
tidak berguna lagi. Harga diri rendah, apatis dan tidak
mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin
tidak ada yang membantu.
b) Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan
tidak realistis akan merasa gagal dan kecewa jika cita-
cita tidak tercapai.
c) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan
yang ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Banyak
teori yang menjelaskan tentang depresi dan semua
sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadi
bunuh diri.
d) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri
sendiri untuk mengakhiri kehidupan. Bunuh diri
mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
e) Faktor resiko bunuh diri
Mengapa individu terdorong untuk bunuh diri??
Banyak pendapat tentang penyebab atau alasan bunuh
diri
1) Jenis Bunuh Diri
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini
disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang
menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian.
Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan
bunuh diri dibandingkan mereka yang menikah.

5
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia
cenderung untuk bunuh diri karena indentifikasi terlalu kuat
dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok tersebut sangat
mengharapkannya.
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi
antara individu dan masyarakat, sehingga individu tersebut
meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu
kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya
tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan
atau pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.

2) Tahap – Tahap Resiko Bunuh Diri


a. Suicidal Ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau
tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan
idenya apabila tidak ditekan.
b. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan
perencanaan yang kongkrit untuk melakukan bunuh diri.
c. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan
hasrat yang dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
d. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan prilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam
kehidupannya, tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan
bunuh diri.
e. Suicidal Attempt

6
Pada tahap ini prilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan,
misalnya minum obat yang mematikan.

1. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Respon adaptif respon maladaptif


peningkatan pengambilan perilaku destruktif- pencederaan bunuh diri
diri resiko yang diri tidak langsung diri
meningkatkan
pertumbuhan

2. Gambaran Proses Terjadinya Bunuh Diri

Isyarat Bunuh Diri

Verbal/non verbal

Pertimbangan untuk
melakukan Bunuh diri

Ancaman Bunuh Diri

Ambivalensi Kurangnya Respon


Kematian Positif

Upaya Bunuh diri

Bunuh Diri
3. Tanda dan Gejala
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang
obat dosis mematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah
dan mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
4. Pathway
Stressor pencetus

8
A praisal of stressor

sumber koping

mekanisme koping

Denial, Rasionalisasi, Regresi

Construktif Destruktif
5. Masalah Keperawatan yang Perlu Dikaji
Pengkajian Faktor Resiko Perilaku Bunuh Diri
a. Jenis kelamin : Resiko meningkat pada pria
b. Usia : Lebih tua masalah semakin banyak
c. Status perkawinan : dapat menurunkan resiko,Hidup sendiri
( janda/duda )
d. Riwayat keluarga : Meningkat apabila ada keluara dengan
percobaan bunuh diri
e. Riwayat social ekonomi: Pengangguran,mendapat malu di
lingkungan social
f. Faktor Kepribadian: Lebih erring pada kepribadian menutup diri

6. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Resiko bunuh diri berulang
2. Perilaku merusak diri sendiri
3. Alam perasaan depresi
4. Mekanisme koping tidak efektif
5. Isolasi social
6. Perubahan konsep diri

7. Intervensi
1. Melindungi klien

9
2. Meningkatkan harga diri kklien
3. Menguatkan mekanisme koping yang sehat
4. Mengeksplorasikan perasaan
5. Memobilisasi dukungan social

D. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN RESIKO


BUNUH DIRI
1. Pengkajian
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
a. Riwayat masa lalu
b. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
c. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
d. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan
skizofrenia
e. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik
f. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian
boderline, paranoid, antisosial
g. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka

h. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan


yang baru dialami.
i. Hasil dan alat pengkajian yang terstandarisasi untuk
depresi.
j. Riwayat pengobatan.
k. Riwayat pendidikan dan pekerjaan.
l. Catat ciri-ciri respon psikologik, kognitif, emosional dan
prilaku dari individu dengan gangguan mood.
m. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri dan letalitas prilaku
bunuh diri : 
-Tujuan klien misalnya agar terlepas dari stres, solusi
masalah yang sulit.

10
-Rencana bunuh diri termasuk apakah klien memiliki rencana
yang teratur dan cara-cara melaksanakan rencana tersebut.
-Keadaan jiwa klien (misalnya adanya gangguan pikiran,
tingkat gelisah, keparahan gangguan mood
-Sistem pendukung yang ada.
-Stressor saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk
penyakit lain (baik psikiatrik maupun medik), kehilangan
yang baru dialami dan riwayat penyalahgunaan zat.
n. Kaji sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar
keluarga klien, atau keluarga tentang gejala, meditasi dan
rekomendasi pengobatan gangguan mood, tanda-tanda
kekambuhan dan tindakan perawatan diri.
o. Symptom yang menyertainya
Apakah klien mengalami :
 Ide bunuh diri
 Ancaman bunuh diri
 Percobaan bunuh diri
 Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja

Derajat yang tinggi terhadap keputusasaan,


ketidakberdayaan dan anhedonia dimana hal ini merupakan
faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri. Bila individu
menyatakan memiliki rencana bagaimana untuk membunuh
diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih
mendalam lagi diantaranya :
 Cari tahu rencana apa yang sudah di rencanakan
 Menentukan seberapa jauh klien sudah melakukan
aksinya atau perencanaan untuk melakukan aksinya
yang sesuai dengan rencananya.
 Menentukan seberapa banyak waktu yang di pakai
pasien untuk merencanakan dan mengagas akan suicide

11
 Menentukan bagaiamana metoda yang mematikan itu
mampu diakses oleh klien

Hal – hal yang perlu diperhatikan didalam


melakukan pengkajian tentang riwayat kesehatan
mental klien yang mengalami resiko bunuh diri :
 Menciptakan hubungan saling percaya yang
terapeutik
 Memilih tempat yang tenang dan menjaga privacy
klien
 Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak
mengancam dan mendorong komunikasi terbuka
 Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan
kata – kata yang dimengerti klien
 Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat
pengobatannya
 Mendaptakan data tentang demografi dan social
ekonomi
 Mendiskusikan keyakinan budaya dan keagamaan
 Peroleh riwayat penyakit fisik klien

Sebagai perawat perlu mempertimbangkan pasien


yang memiliki resiko apabila menunjukkan perilaku
sebagai berikut :
 Menyatakan pikiran, harapan dan
perencanaan tentang bunuh diri 
 Memiliki riwayat satu kali atau lebih
melakukan percobaan bunuh diri.
 Memilki keluarga yang memiliki riwayat
bunuh diri.
 Mengalami depresi, cemas dan perasaan
putus asa.

12
 Memiliki ganguan jiwa kronik atau riwayat
penyakit mental
 Mengalami penyalahunaan NAPZA
terutama alcohol
 Menderita penyakit fisik yang prognosisnya
kurang baik
 Menunjukkan impulsivitas dan agressif
 Sedang mengalami kehilangan yang cukup
significant atau kehilangan yang bertubi-
tubi dan secara bersamaan
 Mempunyai akses terkait metode untuk
melakukan bunuh diri misal pistol, obat,
racun
 Merasa ambivalen tentang pengobatan dan
tidak kooperatif dengan pengobatan
 Merasa kesepian dan kurangnya dukungan
social

Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh diri, perawat


perlu memahami petunjuk dalam melakukan wawancara dengan
pasien dan keluarga untuk mendapatkan data yang akurat. Hal – hal
yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah :
1. Tentukan tujuan secara jelas : Dalam melakukan
wawancara, perawat tidak    melakukan diskusi secara acak,
namun demikian perawat perlu melakukannya wawancara
yang fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang
berhubungan dengan bunuh diri.
2. Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun
mampu diobservasi dari komunikasi non verbal. Hal ini
perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap kecemasan
dan distress yang berat serta topic dan ekspresi dari diri
klien yang di hindari atau diabaikan.

13
3.  Kenali diri sendiri. Monitor dan kenali reaksi diri dalam
merespon klien, karena hal ini akan mempengaruhi
penilaian profesional
4. Jangan terlalu tergesa – gesa dalam melakukan wawancara.
Hal ini perlu membangun hubungan terapeutik yang saling
percaya antara perawat dank lien.
5. Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu
individu mempengaruhi emosional klien
6. Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian
pribadi akan membuat kabur penilaian profesional. 

2. Masalah keperawatan :
a. Risiko bunuh diri
b. Keputusasaan 
c. Ketidakberdayaan 
d. Gangguan konsep diri
: HDR
e. Gangguan konsep diri
: Gangguan citra
tubuh.
f. Kecemasaan.
g. Berduka disfungsional
h. Koping individu tak
efektif.
i. Penatalaksanaan
regimen therapeutik
in efektif
j. Koping keluarga tak
efektif :
Ketidakmampuan.

3. Penatalaksanaan

14
Tindakan keperawatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan
rencana keperawatan yang telah disusun. Sebelum melaksanakan
tindakan yang telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi
dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dengan
kebutuhannya saat ini (here and now). Perawat juga meniali diri
sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual,
teknikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Dinilai
kembali apakah aman bagi klien, jika aman maka tindakan
keperawatan boleh dilaksanakan.

4. Diagnosa Keperawatan :
a. Perilaku Kekerasan
(Resiko mencederai
diri sendiri)
b. Resiko Bunuh Diri
c. Gangguan Interaksi
Sosial (Menarik diri)
d. Gangguan Konsep
Diri (Harga Diri
Rendah)
Ada beberapa gejala yang timbul setiap hari selama 2 minggu yaitu : 
- Mood depresi, kehilangan minat & kesenangan.
- Berat badan turun, insomnia, hipersomnia, gangguan
psokomotur, 
kelelahan, merasa tidak berharga atau bersalah, tidak mampu 
berpikir, sering ingin mati.
Perencanaan.
Tujuan : 
1. Mencegah menyakiti diri sendiri.
2. Meningkat harga diri klien
3. Menggali masalah dalam diri klien.
4. Mengajarkan koping yang sehat.

15
5. Intervensi
Perawat harus menyadari responsnya terhadap suicide supaya
bersikap obyektif.
a. Proteksi (mencegah menyakiti diri)
Mengatakan kepada klien bahwa tim kesehatan akan
mencegah klien untuk mencoba bunuh diri.
b. Verbal
c. Nonverbal : Menghilangkan benda – benda berbahaya
seperti : Ikat pinggang, benda tajam.
d. Observasi Perilaku (Mencegah klien melukai dirinya)
e. Perhatikan verbal & nonverbal klien
f. Ditempatkan ditempat aman, bukan diisolasi dan semua
tindakan dijelaskan
g. Pengawasan selama 24 jam (Menemani pasien terus-
menerus sampai Dia dapat dipindahkan ketempat yang
aman)
h. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum
obatnya, jika pasien mendapatkan obat
i. Dengan lembut menjelaskan pada pasien bahwa saudara
akan melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh
diri
j. Intervensi krisis klien tetap waspada. 
k. Kadang – kadang klien merasa baik, dan berhenti tapi
karena kambuh lagi 
l. Pada klien yang anoreksia, awasi klien pada saat makan,
agar banyak yang dimakan.
m. Meningkatkan harga diri
- Setiap kegiatan / prilaku positif segera dipuji.
- Menghilangkan rasa bersalah & menyalahkan 
- Sediakan waktu untuk klien sehingga klien merasa dirinya
penting

16
- Bantu untuk mengekspresikan perasaan positif/negatif,
beri reinforcement
- Identifikasi sumber kepuasan dan rencana aktivitas yang
cepat berhasil
- Dorong klien menuliskan hasil yang telah dicapai
n. Menguatkan koping yang sehat.
Membuat klien bertanggung jawab terhadap perilakunya
a. Modifikasi Prilaku 
dibutuhkan dengan prilaku yg responsif.
Misal : Pada anoreksia
- Boleh dikunjungi keluarga bila berat badan naik ½ Kg.
- Bila tidak mau makan, pasang NGT.
o. Eksplorasi perasaan.
Tujuan membuat klien memahami proses penyakitnya/
masalahnya.
- Mengeksplorisasi faktor predisposisi & pencetus.
- Mengikuti terapi kelompok.
- Mengarah pada masalahnya.
Misal : Klien marah, belajar marah konstruktif.
p. Mengatur batasan dan kontrol
- Membuat daftar perilaku yang mesti diubah / dikontrol.
- Dibuat berstruktur dan batasan yang jelas 
Misal : Dalam 2 hari ini tidak ada usaha meerusak diri.
q. Mengarahkan dukungan sosial.
Karena Klien tidak punya sumberdaya internal dan
eksternal, maka : 
- Melibatkan keluarga & teman.
- Mengajarkan tentang pola – pola suicide & cara
mengatasinya.
- Keluarga mencurahkan perasaan dan membuat rencana
masa depan.

17
- Kalau perlu terapi keluarga.
- Buat pusat penanganan krisis.
r. Pendidikan mental 
- Pendidikan gizi bagi A. Nervosa dan bulimia.
- Pentingnya patuh pada prigram pengobatan.
- Penyakit kronis yand diderita.
- Perawatan selama di rumah sakit
s. Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosa
keperawatan : Risiko Bunuh Diri
1. Tindakan keperawatan untuk pasien percobaan bunuh diri
  a. Tujuan : Pasien tetap aman dan selamat 
  b. Tindakan : Melindungi pasien 
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau
mencoba bunuh diri, maka saudara dapat melakukan
tindakan berikut :
 Menemani pasien terus-menerus sampai dia
dapat dipindahkan ketempat yang aman
 Menjauhkan semua benda yang berbahaya
(misalnya pisau, silet, gelas, tali pinggang)
 Memeriksa apakah pasien benar-benar telah
meminum obatnya, jika pasien mendapatkan
obat
 Dengan lembut menjelaskan pada pasien
bahwa saudara akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan bunuh diri
SP 1 Pasien: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan
bunuh diri
Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien percobaan
bunuh diri
  a. Tujuan: Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga
yang 

18
  mengancam atau mencoba bunuh diri
  b. Tindakan:
 Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien
serta jangan pernah  meninggalkan pasien sendirian
 Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat
menjauhi barang-barang berbahaya disekitar pasien
 Mendiskusikan dengan keluarga perlunya melibatkan
pasien agar tidak sering melamun sendiri
 Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum
obat secara teratur
SP 1 Keluarga: Percakapan dengan keluarga untuk melindungi
pasien yang mencoba bunuh diri.
Isyarat Bunuh Diri dengan diagnosa harga diri rendah diri
 1. Tindakan keperawatan untuk pasien isyarat bunuh diri
 a. Tujuan: 
  1) Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya
  2) Pasien dapat mengungkapkan perasaanya
  3) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
  4) Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang
baik
 b.Tindakan keperawatan
 Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh
diri, yaitu dengan meminta bantuan dari keluarga atau
teman.
 Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara: 
 Memberi kesempatan pasien mengungkapkan
perasaannya
 Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan
perasaan yang positif. 
 Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
 Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya
disyukuri oleh pasien

19
 Merencanakan aktifitas yang dapat pasien
lakukan
 Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah,
dengan cara:
a. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan
masalahnya
b. Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-
masing cara penyelesaian masalah
c. Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan
masalah yang lebih baik

SP 2 Pasien : Percakapan melindungi pasien dari isyarat bunuh diri


SP 3 Pasien : Berikut ini percakapan untuk meningkatkan kemampuan dalam
menyelesaikan masalah pada pasien isyarat bunuh diri
Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien isyarat bunuh diri
 a. Tujuan : keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri.
 b. Tindakan keperawatan: 
 Mengajarkan keluarga tentang tanda dan
gejala bunuh diri
 Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang penah
muncul pada pasien.
 Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul pada
pasien berisiko bunuh diri. 
 Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri
a. Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila pasien
memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
b. Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain:
 Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien di
tempat yang mudah   diawasi, jangan biarkan pasien
mengunci diri di kamarnya atau jangan meninggalkan pasien
sendirian di rumah

20
 Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh
diri. Jauhkan pasien dari barang-barang yang bisa digunakan
untuk bunuh diri, seperti: tali, bahan bakar minyak / bensin,
api, pisau atau benda tajam lainnya, zat yang berbahaya
seperti obat nyamuk atau racun serangga.
 Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan
pengawasan apabila tanda dan gejala bunuh diri meningkat.
Jangan pernah melonggarkan pengawasan, walaupun pasien
tidak menunjukan tanda dan gejala untuk bunuh diri.
 Menganjurkan keluarga untuk melaksanakan cara tersebut di atas.
 Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila pasien
melakukan percobaan bunuh diri, antara lain :
 Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat
untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut
 Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas
mendapatkan bantuan medis 
 Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi
pasien
 Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan
 Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol secara
teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya. 
 Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai
prinsip lima benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya,
benar cara penggunakannya, benar waktu penggunaannya

SP 2 Keluarga : Percakapan untuk mengajarkan keluarga tentang cara


merawat 
anggota keluarga berisiko bunuh diri. (isyarat bunuh diri)
SP 3 Keluarga : Melatih keluarga cara merawat pasien risiko bunuh
diri/isyarat bunuh diri
SP 4 Keluarga : Membuat perencanaan Pulang bersama keluarga dengan
pasien risiko bunuh diri

21
6. Evaluasi
 Perhatikan hari – demi hari.
 Libatkan klien dalam mengevaluasi prilakunya.
1. Apakah ancaman Bunuh diri sudah menghilang ?
2. Apakah perilaku menunjukkan kepedulian pada kegiatan sehari-
hari ?
3. Apakah sumber koping sudah dipakai semua ?
4. Apakah klien sudah dapat menggambarkan dirinya dengan positif ?
5. Apakah sudah memakai koping positif ?
6. Apakah klien terlibat dalam aktivitas meningkatkan diri ?
7. Apakah klien sudah mendapat keyakinan untuk pertumbuhan diri ?

DAFTAR PUSTAKA

Jenny., dkk. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

Yusuf, A., Fitryasari, R., & Endang, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (A.
Suslia, & F. Ganiajri, Eds.) Jakarta: Salemba Medika.

Direja, Ade Hermawan Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika

22
Penulis / Usia, sampel
Tempat Metode Tujuan
No Judul dan jenis Hasil
Tahun penelitian penelitian penelitian
kelamin

1 Errick RESIKO Salah satu Sampel dalam Jenis penelitian Tujuan umum Dari hasil penelitian
Endra Cita, BUNUH DIRI rumah sakit penelitian ini ini adalah penilitian ini hanya ada 6 orang yang
Zaid Al PASIEN di adalah 51 deskriptif, adalah untuk mengatakan punya
Fatih / 2018 GAGAL Yogyakarta orang pasien dengan mengetahui pikiran bunuh diri, dan
GINJAL gagal ginjal pendekatan gambaran risiko 45 orang menjawab
KRONIK kronik dengan cross sectional bunuh diri tidak punya pikiran
DENGAN terapi untuk pasien gagal bunuh diri.
TERAPI hemodialisa mengetahui ginjal kronik
Pada pokok bahasan
HEMODIALISA dengan kriteria gambaran dengan terapi
frekuensi pikiran bunuh
usia 19-55 resiko bunuh hemodialisis.
diri 46 orang menjawab
tahun, dan diri pada pasien
tidak pernah, dan 5
menjalani gagal ginjal
orang menjawab jarang
hemodialisis kronik dengan
(1 kali). Pokok bahasan
dengan lama hemodialysis.
ancaman upaya bunuh
HD minimal 3
diri dan pokok bahasan
bulan.

23
laporan perilaku bunuh
diri akan datang semua
responden yang
berjumlah 51 orang
menjawaab tidak
pernah.

Temuan ini
membuktikan bahwa
perilaku untuk
mengarah bunuh diri
pada pasien dengan
terapi hemodialisis tidak
ada.

24
No. Penulis/ Judul Tempat Usia, Sampel Metode Tujuan Hasil
Tahun Penelitian dan Jenis Penelitian Penelitian
Kelamin

2 Udi Wahyudi Konsep Diri Dan SMA Negeri Usia 16 – 18 Penelitian Untuk Hasil penelitian ini
& Bram Ketidakberdayaan 7 Kota tahun, kuantitatif mengetahui menunjukkan bahwa
Burnamajaya Berhubungan Bogor seluruh siswa dengan hubungan antara sebesar 57,92%
/ 2020 Dengan Risiko Kelas menggunakan konsep diri dan
metode (106 responden) dan
Bunuh Diri Pada X dengan crosssectional ketidakberdayaa responden yang
Remaja Yang jumlah study dengan n dengan risiko berjenis
Mengalami sampel bentuk bunuh diri pada
Bullying sebanyak remaja yang kelamin laki-laki lebih
pendekatan banyak dibandingkan
183 siswa. rancangan mengalami
correlation bullying perempuan, yaitu
study sebesar 53,55% (97

responden). Hasil
penelitian juga
menunjukkan bahwa
perilaku

bullying sering kali


dilakukan oleh remaja

putra.

25
responden yang
memiliki konsep diri
yang

negatif maka
kecenderungan
mengalami

ketidakberdayaan
tinggi.

Hasil uji statistik juga


menunjukkan bahwa

adanya hubungan yang


sangat erat antara

konsep diri negatif


dengan risiko bunuh
diri.

26
No. Penulis/ Judul Tempat Usia, Sampel Metode Tujuan Hasil
Tahun Penelitian dan Jenis Penelitian Penelitian
Kelamin

3 Meilanny BUNUH DIRI Melalui kajian Kasus seorang Artikel ini Untuk Depresi, sebagai salah
Budiarti DAN DEPRESI literatur dan pria ditemukan disusun dengan mengetahui satu penyakit mental yang
Santoso, DALAM dokumen membunuh menggunakan resiko bunuh kerap menghinggapi
Dessy PERSPEKTIF dirinya sendiri kajian literatur diri dan banyak orang, adalah juga
PEKERJAAN dan diduga dan dokumen,
Hasanah Siti depresi dalam salah satu faktor
SOSIAL akibat depresi yaitu literatur
Asiah, persperktif seseorang untuk menyakiti
karena sudah barupa buku-
Chenia Ilma setahun tidak buku, makalah pekerjaan dirinya sendiri hingga
Kirana / memiliki ataupun jenis social. dampak terburuk dari
2017 pekerjaan. tulisan lainnya penyakit mental ini adalah
dan juga kajian penderita akan merasa
terhadap berbagai tidak berdaya, tidak pantas
macam dokumen untuk hidup, dan
yang terkait memutuskan untuk
dengan topik mengakhiri hidupnya atau
bunuh diri dan bunuh diri. Di dunia dan
depresi yang
di Indonesia, perihal
diangkat dalam
bunuh diri karena depresi
artikel ini
biasanya disebabkan oleh
beberapa hal yang terkait
kondisi sosial; tindak
kekerasan, merasa

27
mendapatkan masalah
bertubi-tubi, merasa tidak
dicintai dan dihargai, atau
dalam kasus yang
disebutkan di atas adalah
tidak mendapatkan
pekerjaan.

28
No Penulis / Judul Tempat Usia, Metode Tujuan Hasil
tahun penelitian sampel, dan penelitian penelitian
jenis kelamin

4 Endah Sari ASUHAN wilayah kerja jumlah Jenis untuk Hasil penelitian
Purbaningsi KEPERAWATAN Puskesmas pasien penelitian menganalisa menyatakan bahwa klien
h PADA PASIEN Sitopeng gangguan kualitatif kasus mengalami depresi dan
DEPRESI DAN jiwa terdapat deskriptif depresi dan resiko
(2019) Kecamatan
RESIKO BUNUH 31 kasus, adalah berupa
Harjamukti resiko bunuh bunuh diri. factor
dan 4 kasus penelitian
DIRI diri. penyebab depresi
dengan
depresi. diantaranya adalah
metode atau
faktor biologi. adanya
pendekatan
kelainan pada amin
studi kasus
biogenic yang terdapat di
dalam darah maupun urin
serta

cairan serebrospinal
yang ditemukan pada

29
pasien dengan gangguan
mood.

neurotransmitter pada
kejadian depresi adalah
peran serotonin dan
epinefrin.

dopamin yang menurun


dapat menyebabkan
depresi, keinginan untuk
bunuh diri.

Hipotalamus merupakan
pusat pengaturan aksis
neuroendokrin, menerima
input

neuron yang mengandung


neurotransmitter amin
biogenic. Pada kondisi

30
pasien

dengan depresi tidak


terdapat regulasi
neuroendokrin. Dengan
tindakan CBT dan

SEFT pada klien maupun


keluarga menunjukkan
hasil yang signifikasn
yaitu klien

mempunyai motiviasi
kembali, mau untuk
bersosialisasi/berinteraks
i dengan

lingkungan sekitarnya

31
No. Penulis/ Judul Tempat Usia, Sampel Metode Tujuan Hasil
Tahun Penelitian dan Jenis Penelitian Penelitian
Kelamin

5 Itsnaini Asuhan Penelitian ini menggunakan Metode Untuk Sebelum dilakukan


Wahyu Keperawatan dilakukan di satu responden deskriptif mengetahui tindakan pada Tn. W,
Puspita Jiwa pada RSJ Grhasia (klien) usia 48 kualitatif bagaimana klien kooperatif, tidak
Klien menyangkal adanya
Dewi dan Yogyakarta tahun berjenis dengan kriteria klien
Skizofrenia percobaan bunuh diri.
Erna dengan Risiko pada tanggal kelamin laki- pemaparan skizofrenia Akan tetapi klien bicara
Erawati Bunuh Diri 21-25 Januari laki kasus dan dengan risiko lambat dan sulit memulai
(2020) 2020 menggunakan bunuh diri, pembicaraan. Klien juga
pendekatan dan belum paham dengan pola
proses mengetahui koping yang dapat
keperawatan bagaimana diterapkan ketika klien
menghadapi suatu
keefektifan
masalah.
intervensi
identifikasi Setelah diberikan asuhan
pola koping keperawatan dengan
yang dimiliki intervensi identifikasi
klien. pola koping yang dapat
diterapkan, peneliti
menganggap hal ini
efektif karena klien dapat
mengetahui bagaimana
cara atau pola koping
yang dapat diterapkan

32
ketika klien menghadapi
masalah. Seperti yang
dikatakan klien, klien
akan terbuka atau
bercerita tentang masalah
tersebut kepada orang
yang dipercayainya, yaitu
ibunya. Sehingga
penelitian ini
menunjukkan bahwa
pemberian asuhan
keperawatan pada klien
skizofrenia dengan risiko
bunuh diri menunjukkan
hasil yang signifikan
adanya intervensi dari
perawat sesuai dengan
respon verbal dan non
verbal klien

33
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan pasien
untuk mengakhiri hidupnya.Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana
individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan
tindakan yang mengancam nyawa.Dalam sumber lain dikatakan bahwa
bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang
mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan
individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. Diagnosa
keperawatan yang dapat muncul antara lain : resiko bunuh diri berulang,
perilaku merusak diri sendiri, alam perasaan depresi, mekanisme koping
tidak efektif, isolasi social, perubahan konsep diri

B. SARAN
Sebagai seorang perawat hendak kita dapat memahami tentang
resiko perilaku serta melaksanakan asuhan keperawatan yang baik hingga
tercapainya derajat kesehatan pasien sebagaimana yang diharapkan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Stuart dan Sundeen. 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5 (diterjemahkan
oleh Yuni A). Jakarta : EGC

Tim Pengembangan Model Praktek Keperawatan RS Jiwa Marzuki Mahdi,


Bogor. 1997 SOP dengan II Masalah Keperawatan. Bogor ; Carpenito,
L.J.2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 8. Jakarta : EGC

Yusuf, A., Fitryasari, R., & Endang, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (A. Suslia,
& F. Ganiajri, Eds.) Jakarta: Salemba Medika.

Jenny., dkk. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah


Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.

Yusuf, A., Fitryasari, R., & Endang, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (A.
Suslia, & F. Ganiajri, Eds.) Jakarta: Salemba Medika.

Direja, Ade Hermawan Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Nuha Medika
http://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/677

https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Asuhan+Keperawatan+Jiwa+pada+Klien+Skizofrenia+
dengan+Risiko+Bunuh+Diri&btnG=#d=gs_qabs&u=%23p%3D2DWKWNqaliUJ

http://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj/article/view/226

http://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/677

https://jurnalmadanimedika.ac.id/index.php/JMM/article/view/25/22

35
Jurnal Kesehatan Madani Medika, Vol 9 No 1, Juni 2018, hal 15- 20 ISSN (P): 2088-2246

RESIKO BUNUH DIRI PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN


TERAPI HEMODIALISA

Errick Endra Cita, Zaid Al Fatih


STIKes Madani Yogyakarta

e-mail: endracitta@gmail.com

Intisari

Pasien gagal ginjal kronis tidak bisa lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya menimbulkan dampak
psikologis yang tidak sedikit. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada
seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian. Hal ini bisa menimbulkan gejala-gejala depresi yang nyata pada
pasien gagal ginjal sampai dengan tindakan bunuh diri. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran
risiko bunuh diri pada pasien gagal ginjal kronis dengan terapi hemodialisis. Desain penelitian ini adalah
penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 51 orang
yang menjalani hemodialisis lebih dari 3 tahun di Rumah Sakit X Yogyakarta. Instrumen penelitian berupa
kuesioner resiko bunuh diri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 11,8% pernah mempunyai
pikiran untuk bunuh diri, frekuensi fikiran untuk bunuh diri (satu kali) sebesar 9.8%, tidak melakukan ancaman
upaya bunuh diri 100 %, dan tidak adanya laporan upaya bunuh diri yang akan datang sebesar 100 %

Kata Kunci : resiko bunuh diri, hemodialisis.

Abstract

Chronic renal failure patients on hemodialysis cannot escape all her life psychological impact is not small.
These conditions cause the loss of something that previously existed as freedom, employment and
independence. This can lead to symptoms of depression were evident in patients with renal failure up to
suicide. This study aimed to clarify the picture of the risk of suicide in patients with chronic renal failure on
hemodialysis therapy. The study design was a descriptive study with cross-sectional sample size in this study
were 51 people who undergo hemodialysis over 3 years at X Hospital in Yogyakarta. The research instrument
was a questionnaire risk of suicide. the results of this study showed that there were 11.8% never had suicidal
thoughts, the frequency of mind to commit suicide (one) by 9.8%, did not commit suicide threats effort 100%,
and no reports of suicide attempts would come at 100%

Keywords: suicide risk, hemodialysis.

Di Indonesia, menurut data


dari PERNEFRI (Persatuan Nefrologi penduduk di asia tenggara yang mengalami
Indonesia) pada tahun 2011 diperkirakan GGK dan di Indonesia sebanyak 0,2 %,
ada 70 ribu penderita ginjal yang terdeteksi dari total 722.329 penduduk berusia lebih
menderita gagal ginjal kronik tahap akhir dari 15 tahun. Di daerah Yogyakarta
dan yang menjalani terapi hemodialisis sebanyak 0,3 % dari total jumlah tersebut
hanya 4.000 sampai 5.000 orang [1]. Pada [4].
36
Jurnal Kesehatan Madani Medika, Vol 9 No 1, Juni 2018, hal 15- 20 ISSN (P): 2088-2246

tahun 2013 berdasarkan data survey yang Menurut Andi (2012), kenyataan
dilakukan PERNEFRI mencapai 30,7 juta bahwa pasien gagal ginjal kronis tidak bisa
penduduk yang mengalami Penyakit Ginjal lepas dari hemodialisis sepanjang hidupnya
Kronik dan menurut data PT. ASKES ada menimbulkan dampak psikologis yang
sekitar 14,3 juta orang penderita Penyakit tidak sedikit. Kondisi ini menyebabkan
Ginjal Tingkat Akhir yang saat ini terjadinyakehilangan sesuatu yang
menjalani pengobatan [10]. Ada 2 juta sebelumnya ada seperti kebebasan,
pekerjaan dan kemandirian. Hal ini bisa Alat yang digunakan untuk mengetahui
menimbulkan gejala-gejala depresi yang nyata intesitas risiko bunuh diri menggunakan
pada pasien gagal ginjal sampai dengan kuesioner risiko bunuh diri yaitu Suicide
tindakan bunuh diri. Sebuah penelitian patel Behavior Questionnaire - Revised (SBQ–R).
tahun 2012 menyebutkan 150 pasien yang
Pengisian dilakukan dengan cara
menjalani hemodialisis, 70
memberikan cek list () pada pilihan yang
(46,6%) pasien mengalami depresi dan 43
tersedia kemudian dilakukan penskoran
(28,6%) memiliki keinginan untuk bunuh diri.
dalam bentuk skala likert pada setiap item
Penelitian Kurella et al (2005) juga mengatakan
pertanyaan [11].
bahwa pasien gagal ginjal tahap akhir
kehilangan kemampuan fisik dan kognitif
yang akhirnya membawa pasien pada
Tabel 1 Kisi – kisi kuesioner risiko
kesedihan dan keputusasaan sehingga
bunuh diri
menyebabkan pemutusan dialisis, perilaku ini
dianggap sebagai pemikiran bunuh diri, bunuh
diri dipicu akibat kegagalan No. Dimensi bunuh diri
mengatasi stres dialisis.
Data yang tersedia menunjukkan bahwa 1. Mengungkapkan pikiran
risiko menyakiti diri mungkin lebih tinggi dari
tentang bunuh diri atau usaha
yang diharapkan pada pasien dialisis terutama
pada mereka yang menderita depresi dan untuk bunuh diri dalam hidup
kecemasan. Selain itu, meskipun mayoritas 2. Mengukur frekuensi pikiran
kematian di antara pasien dialisis didahului oleh tentang bunuh diri selama
penarikan dari pengobatan, bunuh diri tetap dua belas tahun terakhir
menjadi fenomena terpisah [11].
3. Mengukur ancaman
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
diri upaya untuk bunuh
mengetahui gambaran risiko bunuh diri pada
pasien GGK dengan terapi hemodialisis di RS diri
X Yogyakarta. 4. Menilai kemungkinan yang
dilaporkan sendiri tentang
METODE perilaku bunuh diri pada saat
Jenis penelitian ini adalah deskriptif, yang akan datang.
dengan pendekatan cross sectional untuk
mengetahui gambaran resiko bunuh diri pada Analisa digunakan untuk menjelaskan dan
pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialysis. menganalisis penelitian yang ada secara
Sampel dalam penelitian ini adalah semua deskriptif dengan menghitung distribusi
pasien gagal ginjal kronik dengan terapi
frekuensi dan persentase dari variabel risiko
hemodialisa dengan kriteria inkuli sebagai
bunuh diri pada pasien gagal ginjal kronik yang
berikut: 1) Dapat berkomunikasi dengan baik,
menjalani terapi hemodialysis [13].
2) Usia 19 – 55 tahun, 3) Menjalani
hemodialisis dengan lama HD minimal 3 bulan
di RS X Yogyakarta. HASIL DAN PEMBAHASAN

37
Jurnal Kesehatan Madani Medika, Vol 9 No 1, Juni 2018, hal 15- 20 ISSN (P): 2088-2246

Penelitian ini dilakukan kepada pasien


Karakteristik subjek penelitian sebanyak 51 orang yang sesuai kelompok
kriteria dengan usia, pendidikan, jenis
kelamin dan frekuensi hemodialisis.
Tabel 2 Karakteristik responden Tabel 3 Skor kuesioner Suicide Behaviors
berdasarkan frekuensi, pendidikan, jenis
Questionnaire - Revised (SBQ-R)
kelamin

Frekuensi Jumlah Persentase


Pikiran bunuh Jumlah Persentase
(n) (%) diri (n) (%)
2 kali 25 49,0 Tidak pernah 45 88,2
3 kali 26 51,0 Pernah hanya 6 11,8
Jumlah 51 100,0 sekilas
Pendidikan Jumlah 51 100,0
SMA 44 86,3 Frekuensi Persentase
D3 2 3.,9 pikiran bunuh (%)
S1 diri
5 9,8 Tidak pernah 46 90,2
Jumlah 51 100,0 Jarang (1 kali) 5 9,8
Jumlah 51 100,0
Ancaman upaya Persentase
Jenis bunuh diri (%)
Kelamin Tidak pernah 51 100,0
Laki – laki 26 51,0 Jumlah 51 100,0
Perempuan 25 49,0 Laporan Persentase
Jumlah 51 100,0 perilaku bunuh (%)
diri akan datang
Usia
Tidak pernah 51 100,0
Remaja 1 2,0
akhir 8 15,7 Jumlah 51 100,0
Dewasa 42 82,4
awal
Dewasa Hasil penelitian dari variabel risiko bunuh
akhir diri yang terdiri dari 4 pokok bahasan yang
Jumlah 51 100,0 terdiri dari, pikiran bunuh diri, frekuensi pikiran
bunuh diri, ancaman upaya bunuh diri, dan
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa laporan perilaku bunuh diri akan datang.
frekuensi klien hemodialisa terbanyak 3 kali Masing – masing pokok bahasan memiliki nilai
seminggu sebesar 51%, jenis pendidikan skor yang berbeda beda, untuk pokok bahasan
terbanyak adalah SMA sebesar 86,3%. Selain pikiran bunuh diri hanya ada 6 orang yang
itu responden laki – laki lebih banyak dari pada mengatakan punya pikiran bunuh diri, dan
responden perempuan, yaitu 51%. Kategori usia 45 orang menjawab tidak punya pikiran bunuh
mayoritas dewasa akhir sebesar 82,4%. diri.
Pada pokok bahasan frekuensi pikiran
Resiko Bunuh Diri bunuh diri 46 orang menjawab tidak pernah,
dan 5 orang menjawab jarang (1 kali). Pokok
Hasil skor kuesioner Suicide Behaviors bahasan ancaman upaya bunuh diri dan pokok
Questionnaire – Revised (SBQ – R) dapat bahasan laporan perilaku bunuh diri akan
dilihat pada tabel 3. datang semua responden yang berjumlah 51
orang menjawab tidak pernah.
Analisis pada variabel penelitian risiko diri hanya 6 orang, yang menjawab pernah hanya
bunuh diri untuk pokok bahasan pikiran bunuh sekilas. Pokok bahasan frekuensi pikiran bunuh
38
Jurnal Kesehatan Madani Medika, Vol 9 No 1, Juni 2018, hal 15- 20 ISSN (P): 2088-2246

diri yang menjawab jarang (1 kali) hanya 5 (2013) menyimpulkan bahwa penyebab
orang, untuk pokok bahasan ancaman upaya kematian adalah dari dampak sosial
bunuh diri, dan laporan perilaku bunuh diri ekonomi. Memprediksikan di tahun – tahun
akan datang semua responden menjawab tidak mendatang akan lebih tinggi, timbul
pernah. Temuan ini membuktikan bahwa hambatan penelitian di bidang kesehatan
perilaku untuk mengarah bunuh diri pada mental yang masih menjadi masalah utama
pasien dengan terapi hemodialisis tidak ada. adalah kekurangandanapenelitian.
Bunuh diri merupakan ide perilaku yang Pencegahan awal untuk mengatasi depresi
dilakukan oleh pasien-pasien penyakit kronik sendiri yakni mengenal tipe depresi dan
dengan depresi. Dikatakan oleh Keskin & ketepatan dalam pemberian obat. Temuan dari
Engin, (2011) bahwa ide bunuh diri penelitian Tsai AC et al., (2015), kejadian
meningkat bersama dengan bunuh diri bisa menurun dengan meningkatnya
meningkatnya tingkat depresi yang dialami
integrasi sosial. Integrasi sosial adalah cara
oleh seseorang [5].. Evaluasi yang individu berbaur dengan masyarakat
dilakukan oleh Drayer et al., (2006)
sekitar dalam rangka
menyatakan bahwa, kematian yang terjadi pada
membangun suatu kesatuan untuk
pasien dengan terapi hemodialisis yaitu depresi
mencapai suatu tujuan. Penelitian ini
atau adanya diabetes yang dialami oleh
menggambarkan bahwa, perempuan lebih cepat
penderita gagal ginjal kronis dengan terapi
menurunkan risiko bunuh diri saat terintegrasi
hemodialisis.
secara sosial.
Penyebab bunuh diri pada pasien
Selain penyakit penyerta yang menjadi
dengan terapi hemodialisis yaitu, pasien dengan
penyebab risiko bunuh diri pada psien
depresi berat yang sudah diindikasikan
hemodialisis, faktor psikososial yang
mengalami penyakit kejiwaan.
sangat besar mengarah untuk risiko bunuh diri
Kecemasan berlebih berada di rumah sakit
[2]. Penelitian yangmenjelaskan
sedikit kaitannya dengan risiko bunuh diri
tentang erat kaitannya bahwa faktor
Macaron et al., (2013). Penelitian
psikososial penyebab terbanyak risiko
di Amerika tentang perbedaan ras atau
bunuh diri pada pasien hemodialisis adalah
etnis dibidang kesehatan
Leadholm et al., (2014), bahwa depresi
menyatakan bahwa, orang kulit putih lebih
unipolar berat dikaitkan dengan
cendrung melakukan bunuh diri
peningkatan risiko bunuh diri pada pasien
dibadisbandingng dengan kulit hitam.
hemodialisis. Faktor terkait didalamnya adalah
Setelah dilakukan kunjungan dalam waktu
usia yang lebih tua, jenis kelamin laki –laki,
52 minggu di balai kesehatan khusus dengan
dan insiden sebelumnya merugikan
masalah depresi Ahmedani et al., (2015).
diri.Dalam pencegahannya,
Gangguan depresi sangat erat kaitannya
perhatian yang sama harus diberikan pada
dengan bunuh diri, penelitain Miret et al.,
semua pasien dengan terapi hemodialisis.
Penelitian Sathvik et al (2008) menyatakan
kualitas hidup klien yang mengalami GGK
dengan hemodialisis di atas tiga bulan sangat
menurun dilihat dari aspek fisik, psikologis,
hubungan sosial dan lingkungan. Mekanisme
koping yang dilakukan dianggap sebagai faktor
kunci
kesehatan berhubungan dengan kualitas hidup menggunakan mekanisme koping sadar seperti
seseorang (Health Related Quality of Life). rasionalitas dan anti emosi berdampak baik bagi
Kaltsouda et al (2011) menyatakan mereka kesehatan fisik. Data yang tersedia menunjukkan
yang melakukan mekanisme koping seperti bahwa risiko menyakiti diri mungkin lebih tinggi
represi dan denial berdampak buruk pada dari yang diharapkan pada pasien dialisis terutama
kondisi mental emosional, sementara yang pada mereka yang menderita depresi dan
39
Jurnal Kesehatan Madani Medika, Vol 9 No 1, Juni 2018, hal 15- 20 ISSN (P): 2088-2246

kecemasan. Selain itu, meskipun mayoritas across the United States. Med. Care
kematian di antara pasien dialisis didahului oleh
penarikan dari pengobatan, bunuh diri tetap 53, 430–435.
menjadi fenomena terpisah [11]. doi:10.1097/MLR.0000000000000335
Drayer, R.A., Piraino, B., Reynolds III, C.F.,
Houck, P.R., Mazumdar, et al., 2006.
Characteristics of depression in hemodialysis
KESIMPULAN patients: symptoms,
quality of life and mortality risk. Gen.
Hemodialisis secara signifikan Hosp. Psychiatry 28, 306–312.
mempengaruhi kehidupan pasien, baik secara doi:10.1016/j.genhosppsych.2006.03.0
fisik dan psikologis. Pengaruh global terhadap 08.
peran keluarga, pekerjaan kompetensi, takut Fransisca, K., 2011, Waspadalah 24
mati, dan ketergantungan pada pengobatan Penyebab Ginjal Rusak, Perpustakaan
negatif dapat mempengaruhi kualitas hidup dan Universitas Andalas, diakses 28 Desember
2015, dari
memperburuk perasaan yang terkait dengan
http://katalog.pustaka.unand.ac.id//inde
hilangnya kontrol penyakit ginjal. Hasil x.php?p=show_detail&id=14582
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat Kementerian Kesehatan RI, (2013), Riset
11,8% pernah mempunyai pikiran untuk bunuh Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan
diri, frekuensi fikiran untuk bunuh diri (satu Pengembangan Kesehatan
kali) sebesar 9.8%, tidak melakukan ancaman Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
upaya bunuh diri 100
Keskin, G & Engin, E., 2011, ‘The
%, dan tidak adanya laporan upaya bunuh diri evaluation of depression, suicidal
yang akan datang sebesar 100 %. ideation and coping strategiesin
haemodialysis patients with renal
Daftar Rujukan failure’, J, Clin, Nurs, 20, 2721–2732.
doi:10.1111/j.1365- 2702.2010.03669.x.
Ahmedani, B.K., Stewart, C., Simon, G.E., Macaron, G., Fahed, M., Matar, D., Bou-
Lynch, F., Lu, C.Y., et al., 2015. Khalil, R., Kazour, F., et al., 2013,
Racial/Ethnic differences in health care Anxiety, Depression and Suicidal Ideation
visits made before suicide attempt in Lebanese Patients
Undergoing Hemodialysis. Community
Ment. Health J. 50, 235–238.
doi:10.1007/s10597-013-9669-4.
Miret, M., Ayuso-Mateos, J.L., Sanchez-
Moreno, J., Vieta, E., 2013, Depressive
disorders and suicide: Epidemiology, risk
factors, and burden. Neurosci. Biobehav.
Rev., Discovery research in
Neuropsychiatry - anxiety, depression and
schizophrenia in focus 37, 2372–
2374.
doi:10.1016/j.neubiorev.2013.01.008.
Osman A, Bagge CL, Guitierrez PM,
Konick LC, Kooper BA., et al., 2001,
‘The Suicidal Behaviors
Questionnaire-Revised (SBQ-R)’,

40
validation with clinical and nonclinical
samples, Assessment, (5), 443-454.
PERNEFRI, 2013, Konsesnsus Nutrisi
pada Penyakit Ginjal Kronik, Jakarta:
PERNEFRI Indonesia.

Pompili, M, Venturini, P, Montebovi, F, Forte,


A, Palermo, M, Lamis, D.A, Serafini, G,
Amore, M, Girardi, P, 2013, ‘Suicide risk
in dialysis’: review of current literature,
Int, J, Psychiatry Med, 46, 85–108.
Stavroula G., Fotoula B., Georgia G., Eirini G.,
Georgios V., et al., (2014),
Concerns Of Patients On Dialysis : A
Research Study, Health Science
Journal 10/2014; 8(4):423-437.
Sugiyono, 2014, Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi
(Mixed Methods), Bandung : Alfabeta.

Tsai AC, Lucas M, Kawachi I, 2015,


Association between social integration
and suicide among women in the united
states. JAMA Psychiatry 72, 987–993.
doi:10.1001/jamapsychiatry.2015.1002
.

41
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 1, Hal 1 - 8, Februari 2020 p-ISSN2338-2090
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah e-ISSN 2655-8106

KONSEP DIRI DAN KETIDAKBERDAYAAN BERHUBUNGAN DENGAN


RISIKO BUNUH DIRI PADA REMAJA YANG MENGALAMI BULLYING

Udi Wahyudi*, Bram Burnamajaya

Program Studi Keperawatan Bogor, Politeknik Kesehatan Bandung, Jl. DR. Sumeru No.116, Menteng, Bogor
Barat., Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia 16111

*udi120872@gmail.com

ABSTRAK
Bullying merupakan perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang atau
sekelompok orang yang bersifat menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak
yang terlibat.Tindakan bullying dapat berdampak buruk bagi korban maupun pelakunya di masa
depannya. Dampak tersebut meliputi kesepian, pencapaian akademik yang buruk, kesulitan
penyesuaian (adaptasi), meningkatnya risiko penggunaan zat, keterlibatan dalam tindakan kriminal
dan kerentanan gangguan mental emosional seperti cemas, insomnia, penyalahgunaan zat, depresi,
mempunyai self-esteem rendah, kesulitan interpersonal, gangguan konsep diri, dan depresi
(ketidakberdayaan). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan
ketidakberdayaan dengan risiko bunuh diri pada remaja yang mengalami bullying di SMA Negeri 7
Kota Bogor. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode cross-
sectional study dengan bentuk pendekatan rancangan correlation study. Sampel dalam penelitian ini
berjumlah 183 orang didapat dari teknik randomsampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan hasil uji hubungan dengan menggunakan Chi-Square antara konsep diri dengan
ketidakberdayaan didapatkan nilai ρ (0,000) lebih kecil daripada nilai α (0,05), sedangkan uji
hubungan antara konsep diri dengan risiko bunuh diri didapatkan nilai ρ (0,013) lebih kecil daripada
nilai α (0,05). Dengan demikian bahwa ada hubungan antara konsep diri dan ketidakberdayaan dengan
risiko bunuh diri pada remaja yang mengalami bullying di SMA Negeri 7 Kota Bogor.

Kata kunci: bullying, konsep diri, ketidakberdayaan, risisko bunuh diri

SELF-CONCEPT AND INEQUALITY CONNECTED WITH RISK OF SELF-


SUFFICIENT IN ADOLESCENTS WHO HAVE BULLYING

ABSTRACT
Bullying is a negative behavior that is carried out repeatedly by a person or group of people who are
attacking because of an imbalance of power between the parties involved. Bullying actions can have
a negative impact on victims and perpetrators in the future. These impacts include loneliness, poor
academic achievement, adaptation difficulties, increased risk of substance use, involvement in
criminal acts and susceptibility to mental emotional disorders such as anxiety, insomnia, substance
abuse, depression, low self-esteem, interpersonal difficulties, disturbances self concept, and
depression (helplessness). The purpose of this study was to determine the relationship between self-
concept and powerlessness with the risk of suicide in adolescents who experienced bullying in SMA
Negeri 7 Kota Bogor. This research is a quantitative study using a cross-sectional study method with a
correlation study design approach. The sample in this study amounted to 183 people obtained from
random sampling techniques. The results showed that based on the results of the relationship test
using Chi-Square between self-concept and powerlessness, the value of ρ (0,000) was smaller than
the value of α (0.05), while the test of the relationship between self-concept and risk of suicide
43
obtained a value of ρ (0.013 ) is smaller than the value of α (0.05). Thus that there is a relationship
between self- concept and powerlessness with the risk of suicide in adolescents who experience
bullying in SMA Negeri 7 Kota Bogor.

Keywords: bullying, self-concept, helplessness, suicide risk

44
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 1 Hal 1 - 8, Februari 2020
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

PENDAHULUAN remaja rentan terhadap stress dan depresi serta


Bullying (perundungan) merupakan perilaku
negatif yang dilakukan secara berulang-ulang
oleh seseorang atau sekelompok orang yang
bersifat menyerang karena adanya
ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang
terlibat. Menurut Murphy (2009) bullying adalah
saat seseorang mengalami kekerasan,
dipermalukan, memperoleh ancaman oleh orang
lain melalui media internet maupun melalui
berbagai media teknologi interaktif, seperti
telepon seluler, termasuk diantaranya pesan teks
singkat (SMS) atau email ancaman, membuat
webpage berisikan informasi baik yang benar
maupun tidak benar yang mempermalukan
seseorang atau aktivitas
membagikan/menceritakan rahasia pribadi
seseorang dalam publik di internet.

Tindakan bullying dapat berdampak buruk bagi


korban maupun pelakunya di masa depannya.
Dampak buruk akibat perilaku bullying terhadap
korban yang paling sering adalah gangguan
konsep diri. Konsep diri merupakan suatu cara
untuk memprediksi tingkah laku individu.
Konsep diri terbentuk dan berkembang
dipengaruhi oleh pengalaman atau kontrak
eksternal dengan lingkungannya dan juga
pengalaman internal tentang dirinya.
Pengalaman internal ini akan mempengaruhi
respon terhadap pengalaman eksternalnya.
Konsep diri merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam perilaku seseorang. Konsep
diri terbagi menjadi dua, yaitu positif dan negatif
(Fatimatul, 2009).

Pada seorang remaja yang mengalami perilaku


bullying akan mempunyai konsep diri yang
negatif, yaitu remaja akan memandang dirinya
lemah, tidak berdaya, tidak kompeten, tidak
menarik, cenderung bersikap pesimistik terhadap
kesempatan yang ada. Dengan konsep diri
negatif remaja akan mudah menyerah, selalu
menyalahkan dirinya maupun orang lain jika
mengalami kegagalan.

Hasil studi yang dilakukan National Youth


Violence Prevention Resource Center Sanders
(Ansty, 2009) menunjukkan bahwa bullying
dapat membuat remaja cemas dan ketakutan,
mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah
dan menuntun mereka untuk menghindari
sekolah, bila bullying berlanjut dalam jangka
waktu yang lama, dapat mempengaruhi self
esteem remaja, meningkatkan isolasi sosial,
memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan
45
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 1 Hal 1 - 8, Februari 2020
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih
ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja Bunuh diri adalah suatu tindakan mengakhiri
berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau kehidupan dengan sengaja. Sedangkan menurut
melakukan bunuh diri (commited suicide). Stuart (2009) bunuh diri adalah kematian dengan
melukai diri sendiri, menggunakan racun atau
Menurut Rievers (2010) bahwa korban bullying mati lemas yang dilakukan sendiri. Perilaku
rentan memiliki ide atau percobaan bunuh diri bunuh diri dibagi dalam kategori ide bunuh diri,
serta melakukan pembalasan. Hasil survey yang ancaman bunuh diri, upaya bunuh diri dan bunuh
dilakukan di Amerika Serikat bahwa ada 10% diri. Ide bunuh diri adalah pikiran yang
atau 1 dari 13 siswa SMU korban bullying membebani seseorang untuk mengakhiri
melakukan percobaan bunuh diri yang hidupnya baik yang disampaikan oleh diri
disebabkan oleh depresi atau ketidakberdayaan. sendiri maupun melalui orang lain. Ancaman
bunuh diri adalah tanda secara langsung ataupun
Rutter dan Behrendt juga menjelaskan bahwa tidak langsung, verbal atau nonverbal dari
ada empat faktor psikososial yang penting individu untuk mengakhiri hidupnya. Percobaan
sebagai faktor risiko bunuh diri pada remaja bunuh diri adalah tindakan seseorang secara
yaitu ketidakberdayaan, permusuhan, konsep langsung, ditujukan pada diri sendiri yang dapat
diri yang negatif, dan terisolasi. Selain itu, menyebabkan kematian jika tidak dihentikan.
penelitian Kwok dan Shek (2010) memperoleh
hasil bahwa ide-ide bunuh diri pada remaja Indonesia menduduki urutan ke dua dunia
memiliki hubungan dengan ketidak berdayaan, dengan kasus bullyingnya. Berdasarkan hasil
dan kuatnya hubungan antara ide-ide bunuh diri survey oleh Putik Psychology Center Indonesia
dengan ketidakberdayaan tersebut terjadi dalam bahwa ada 3,5 juta siswa di Indonesia yang
kondisi lemahnya komunikasi antara orang tua menjadi korban bully setiap tahunnya. KPAI
dengan remaja. Berdasarkan pemaparan juga melaporkan berdasarkan hasil pengaduan,
tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu faktor bahwa kasus bullying menduduki peringkat
yang kuat yang dikenali sebagai faktor yang teratas pengaduan masyarakat ke Komisi
menyebabkan bunuh diri adalah Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari sektor
ketidakberdayaan. pendidikan. KPAI mencatat 369 pengaduan
terkait bullying dari bulan Januari 2011 sampai informasi bahwa kasus bullying yang dilakukan
Agustus 2014. Sedangkan berdasarkan hasil riset oleh kakak kelas terhadap adik kelas nya pun
lembaga swadaya masyarakat (LSM) Plan terjadi di SMAN 7 Kota Bogor (tempat
International dan International Center for penelitian), yaitu seorang siswa kelas X di bully
Research on Women (ICRW), hasilnya terdapat oleh 20 orang seniornya dengan cara dipaksa
84% anak di Indonesia yang mengalami bullying untuk minum-minuman beralkohol dan diajari
atau setara dengan tujuh dari 10 anak di cara tawuran dan dipukuli serta ditendang oleh
Indonesia terkena tindak kekerasan di sekolah kakak kelasnya, yaitu kelas XII.
(Hariandja, 2015). Sedangakan berdasarkan hasil
kajian Konsorsium Nasional Pengembangan METODE
Sekolah Karakter pada tahun 2014, hampir Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
setiap sekolah di Indonesia terjadi bullying dengan menggunakan metode cross-sectional
dalam bentuk verbal maupun psikologis/mental.
Di Bogor angka kejadian bullying sekitar 40% study dengan bentuk pendekatan rancangan
dari jumlah siswa.

Hasil survey di kota Bogor yang dilakukan oleh


Mahasiswa Departemen Ilmu Keluarga dan
Konsumen (IKK) (2014) terhadap siswa SMK di
kota Bogor menunjukkan bahwa persentase
terbesar bentuk bullying yang dilakukan oleh
remaja berjenis kelamin laki-laki (36,4%) adalah
bullying fisik. Sedangkan, remaja berjenis
kelamin perempuan cenderung melakukan
bullying dalam bentuk verbal (44,2%) (Hastuti,
2015).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan didapatkan


46
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 1 Hal 1 - 8, Februari 2020
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
correlation study, yaitu suatu rancangan yang diri remaja, Format Learned Helplessnes (LHS)
digunakan untuk mencari hubungan antara untuk mengukur ketidakberdayaan dan
konsep diri dan ketidakberdayaan dengan risiko instrumen Scale of Suicidal Ideation untuk
bunuh diri pada remaja yang mengalami mengukur risiko bunuh diri. Sebelum dilakukan
bullying.Populasi dalam penelitian ini adalah random sampling untuk menentukan responden,
seluruh siswa SMA Negeri 7 Kota Bogor Kelas peneliti melakukan screening terhadap siswa
X dengan jumlah sampel sebanyak 183 siswa. yang mengalami bullying dari sejumlah populasi
Pengambilan sampel menggunakan teknik yang ada, yaitu 308 siswa. Dari hasil screening
randomsampling, yaitu pengambilan sampel didapatkan 183 siswa yang mengalami bullying
yang dilakukan secara acak. Adapun kriteria yang kemudian dijadikan sebagai sampel
sampel adalah siswa yang mengalami bullying penelitian. Setelah menentukan responden, maka
dan bersedia sebagai responden penelitian. peneliti menjelaskan tujuan dari kegiatan dan
Kegiatan penelitian mulai dari perijinan sampai meminta persetujuan keikutsertaan dalam
dengan pengambilan data dilakukan dari bulan kegiatan penelitian serta menjelaskan cara
April sampai Agustus 2018. pengisian kuesioner. Penelitian ini telah lolos
Ethical Clearence dengan
Pengambilan data dilakukan dengan nomor:41/KEPK/PE/IX/2018
menggunakan kuesioner yang terdiri dari
format Measuring Bullying Victimization, untuk HASIL
mengukur bullying, format Tennessee Self Adapun karakteristik remaja sebagai berikut.
Concept Scale (TSCS) untuk mengukur konsep

Tabel 1
Karakteristik Remaja Yang Mengalami Bullying(n = 183)
Karakteristik Responden Katagori f %
12 – 15 tahun 79 43,17
Usia 16 – 18 tahun 57,92
106
Laki-laki 97 53,55
Jenis Kelamin perempuan 86 46,44
Tabel1 menunjukkan bahwa usia responden
yang terbanyak dalam penelitian ini adalah 16 –
18 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.

47
Tabel 2
Konsep Diri pada Remaja Yang Mengalami Bullying (n = 183)
Konsep Diri f %
Positif 88 48,09
Negatif 95 51,91
Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi negatif lebih banyak dibandingkan yang
responden yang mempunyai konsep diri positif.

Tabel 3
Ketidakberdayaan remaja yang mengalami bullying (n = 183)
Ketidakberdayaan f %
Tinggi 102 55,74
Rendah 81 44,26
Tabel 3 menunjukkan bahwa responden yang banyak dibandingkan dengan
mengalami ketidakberdayaan tingga lebih ketidakberdayaan rendah.

Tabel 4
Risiko bunuh diri remaja yang mengalami bullying (n = 183)
Risiko Bunuh Diri f %
Tinggi 24 13,11
Rendah 159 86,88
Tabel 4 menunjukkan bahwa responden
cenderung berisiko bunuh diri rendah lebih
banyak dibandingkan yang berisiko tinggi.

Tabel 5
Hubungan konsep diri dengan ketidakberdayaan pada remaja yang mengalami bullying (n = 183)
p
Variabel Konsep Diri Total 95% CI
value
Positif Negatif
f % f % f
%

Tinggi 32 17,49 53 28,96 85 46,45 -0,446 - -0,187 0,000


Ketidakberdayaan Rendah 54 29,51 44 24,04 98 53,55
Tabel 5 menunjukkan bahwa ada sebanyak 53 responden (28,96%) yang memiliki konsep diri negatif
kecenderungan mengalami ketidakberdayaan tinggi. Sedangkan diantara responden yang mempunyai
konsep diri yang positif ada 32 responden (17,49%) yang mengalami ketidakberdayaan tinggi.Hasil
analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsep diri dengan ketidakberdayaan (p < 0,05).

Tabel 6
Hubungan konsep diri dengan risiko bunuh diri pada remaja yang menghalami bullying (n = 183)
Konsep Diri
Variabel Total
Positif Negatif p
(95% CI)
f % f % f valu
%
e
Tinggi 70 38,79 90 49,18 160 87,97
Risiko Bunuh Diri -0,337 - -0,040 0,012
Rendah 16 0,87 7 0,38 23 1,25
Tabel 6 menunjukkan bahwa ada sebanyak 90 sebesar 70 responden (38,79%%). Hasil analisis
responden (49,18%) memiliki konsep diri menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsep
negatif yang berisiko tinggi untuk melakukan diri dengan risiko bunuh diri (p
bunuh diri. Sedangkan diantara responden < 0,012).
yang mempunyai konsep diri yang positif juga
mempunyai risiko bunuh diri tinggu yaitu

48
PEMBAHASAN sebesar 57,92% (106 responden) dan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki
karakteristik remaja menunjukkan bahwa lebih banyak dibandingkan perempuan, yaitu
usia responden yang terbanyak dalam sebesar 53,55% (97 responden). Menunjukkan
penelitian ini adalah 16 – 18 tahun, yaitu bahwa perilaku bullying sering kali dilakukan
oleh remaja putra.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Cenderung bersifat pesimis tehadap kompetensi,
responden yang memiliki konsep diri yang seperti terungkap dalam keenggananya untuk
negatif maka kecenderungan mengalami bersaing dengan orang lain dalam membuat
ketidakberdayaan tinggi. Hasil analisis statistik prestasi. Seseorang cenderung menunjukkan
menunjukkan adanya hubungan yang ketidakberdayaanya terhadap tindakan yang
bermakna antara konsep diri dengan dilakukan oleh orang lain maupun oleh dirinya
ketidakberdayaan (p=0.000, α=0,05). Dengan sendiri.
demikian dapat disimpulkan pula bahwa
konsep diri yang negatif berhubungan dengan
ketidakberdayaan.

Menurut Rogers (dalam Tholib, 2010) dalam


teorinya menyatakan bahwa konsep diri adalah
konsep kepribadian yang paling utama, berisi
ide-ide, persepsi dan nilai-nilai yang mencakup
tentang kesadaran diri. Seseorang yang
memiliki konsep diri yang negatif, maka
seseorang tersebut tidak mampu
mempersepsikan, bereaksi, memberikan arti
dan penilaian serta membentuk abstraksi
tentang dirinya, yang artinya sesorang tersebut
tidak menunjukkan suatu kesadaran diri dan
kemampuan untuk keluar dari diri untuk
melihat dirinya sendiri. Sedangkan menurut
Calhound & Acocella bahwa sesorang yang
memiliki konsep diri yang negatif adalah
individu yang tidak bisa memahami dan
mengerti tentang dirinya dan tidak dapat
menerima segala macam fakta yang ada pada
dirinya, baik kelebihan maupun kekurangan
yang dimiliki.

Menurut William D. Brooks dan Philip


Emmerat, ada empat tanda orang yang
memiliki konsep diri negatif, yaitu: peka
terhadap kritikan orang lain, tidak tahan
terhadap kritik yang diterimanya, mudah
marah, baginya koreksi sering kali
dipersepsikan sebagai usaha menjatuhkan
harga dirinya. Sangat responsif terhadap
pujian, bersifat hiperkritis terhadap orang lain,
selalu mengeluh, mencela dan meremehkan
apapun atau siapapun, mereka tidak bisa
mengungkapkan penghargaan atau kelebihan
orang lain. Merasa tidak disenangi orang lain,
merasa tidak diperhatikan, karena itu ia
bereaksi kepada orang lain sebagai musuh,
tidak pernah mempermasalahkan dirinya,
tetapi akan menganggap dirinya sebagai
korban dari sistem sosial yang tidak beres.

49
faktor lain, termasuk depresi, perilaku
kekerasan, dan penyalahgunaan zat (Reed,
Menurut Nanda dalam teorinya (Nanda,
Nugent, & Cooper, 2015).
2010) bahwa ketidakberdayaan merupakan
persepsi atau tanggapan seseorang bahwa
perilaku atau tindakan yang sudah
dilakukannya tidak akan membawa hasil
yang diharapkan atau tidak akan membawa
perubahan hasil seperti yang diharapkan,
sehingga seseorang sulit mengendalikan
situasi yang terjadi atau mengendalikan
situasi yang akan terjadi.

Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa


adanya hubungan yang sangat erat antara
konsep diri negatif dengan risiko bunuh
diri, yaitu (p < 0,012, α=0,05).Dengan
demikian dapat disimpulkan pula bahwa
konsep diri negatif berhubungan dengan
risiko bunuh diri. Hasil penelitian ini
sejalan dengan teori yang dikemukakan
oleh Rutter dan Behrendt bahwa ada empat
faktor psikososial yang penting sebagai
faktor risiko bunuh diri pada remaja yaitu
ketidakberdayaan, permusuhan, konsep diri
yang negatif.

Teori yang menyatakan bahwa masalah


yang tidak terselesaikan akan menimbulkan
stres. Sejumlah penelitian melaporkan
bahwa ketidakberdayaan atau stres dan
kehidupan yang penuh stres merupakan
peristiwa yang sangat terkait dengan gejala
depresi atau ketidakberdayaan, yang
kemudian akan meningkatkan risiko bunuh
diri (Zhang et al. 2011, You et al. 2014).

Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil


penelitian Kwok dan Shek (2010) bahwa
ide- ide bunuh diri pada remaja memiliki
hubungan dengan ketidak berdayaan, dan
kuatnya hubungan antara ide-ide bunuh diri
dengan ketidakberdayaan. Penelitian lain
dari Chung dan Joung (2012) di Amerika
dan Korea, depresi atau ketidakberdayaan
adalah faktor risiko yang signifikan untuk
bunuh diri. Sejalan pula dengan hasil
penelitian sertiasih, at al (2013) di
Yogyakarta menyatakan bahwa depresi atau
ketidakberdayaan merupakan faktor
terjadinya bunuh diri pada remaja.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Reed,
Nugent & Cooper (2015) didapatkan hasil
bahwa ada hubungan yang kuat antara
perilaku intimidasi dan perilaku yang
berhubungan dengan bunuh diri, tetapi
hubungan ini sering dimediasi oleh faktor-

50
Teori yang menyatakan bahwa kondisi depresi Gramedia Sobur, Alex. (2011). Psikologi
yang dialami dapat menimbulkan Umum. Bandung: Pustaka Setia.
ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan akan
menyebabkan sesorang itu merasakan masa
depan yang belum jelas dan pasti, merasa Tim Yayasan Semai Jiwa Amini (sejiwa). (2008).
sangat tidak mungkin untuk benar-benar Panduan Bagi Orang Tua dan
merasakan kepuasan di masa depan, tidak bisa
membedakan masa depan akan seperti apa,
merasakan apa yang diharapkan tidak sesuai
dengan yang diinginkan dan ragu dalam
mencapai cita-cita.

SIMPULAN
Perilaku bullying sering terjadi pada remaja,
baik dalam bentuk verbal maupun non verbal,
sehingga akan berdampak terhadap pelaku
maupun korban bullying, terutama dampak
psikososial yaitu berupa ketidakberdayaan
yang akan berlanjut pada terjadinya risiko
bunuh diri. Hal ini dibuktikan dari hasil
penelitian ini, yaitu terdapat hubungan antara
konsep diri dengan ketidakberdayaan dan
risiko bunuh diri pada remaja yang mengalami
bullying.

DAFTAR PUSTAKA
Astusti, Retno. (2008). 3 Cara Efektif
Mengatasi K.P.A (Kekerasan Pada
Anak). Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia

Wirawan Sarwono, Sarlito. (2010). Pengantar


Psikologi Umum. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian: Suatu


Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).
Jakarta : Rineka Cipta.

Muhith, Abdul. (2015). Pendidikan


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : CV
ANDI OFFSET

Rosman, Arieff Salleh., wardah mokhtar.


(2007). Membentuk Jati Diri Remaja.
Kualalumpur: PTS Professional
Publishing

Marchdante, J . Keren dkk. (2014). lmu


Kesehtan Anak Esensial. Jakarta : PT
51
Guru Mengatasi Kekerasan di Doenges, M., Townsend M. (2008). Nursing
Sekolah dan Lingkungan. Jakarta : PT Diagnosis manual ed 2. Philadelphia :
Gramedia
F.A. Davis company.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian. Erlinafsiah. (2010). Modal Perawat Dalam


Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Jakarta : Rineka Cipta. TIM.
Azwar, Saifuddin. (2010). Metode Penelitian.
Kanine, Esrom. (2011). Pengaruh terapi
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
generalis dan logoterapi individu
Carpenito, dkk. (2013). Buku Saku terhadap respon ketidakberdayaan
Diagnosa Keperawatan. Jakarta : klien diabetes melitus di rumah sakit
Penerbit Buku Kedokteran EGC. provinsi sulawesi utara tesis universitas

Dermawan Deden., Rusdi. (2013). Nicola Morgan. (2014). Panduan Mengatasi


Keperawatan Jiwa; Konsep Dan Stres bagi Remaja, Terj. dari The
Teenage Guide of Stress oleh Dewi
Kerangka Kerja Asuhan
Wulansari. Jakarta: Penerbit Gemilang.
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Cet. I, h.137
Gosyen Publishing.
Ponny Retno Astuti. (2008). Meredam
Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi
Dourman, Karel. (2013). Waspadai stroke Kekerasan Pada Anak . Jakarta: UI
usia muda. Jakarta : Cerdas. Press.

Edupost (2015) Riset ICRW: 84 persen Anak


Dharma, Kelana Kusuma.(2011). Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah,
Metodologi Penelitian Keperawatan. diakses pada tanggal 07 September 2015
dari http: edupost.id/berita-
Jakarta :TIM. pendidikan/riseticrw-84-persen-anak-
indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah).

Qommarria, Rostanti. (2015), KPAI: Kasus among middle school and high school
Bullying di Sekolah Meningkat Selama students in Massachusetts. Morbid Mortal
2015, diakses pada tanggal 23 Juni 2016 Weekly Report 2011: 60: 465-71
dari
http://www.republika.co.id/berita/nasion Goldbaum, Craig Pepler. Connolly. (2003).
al/ umum/15/12/30/o067zt280-kpai- Developmental trajectories of
kasus-bullying-di-sekolahmeningkat- victimization: Identifying risk and
selama-2015 protective factors. J Appl School
Psychology; 2003: 19: 139-56
Mangklara K, Skapinakis P, Gkatsa T, Bellos
S, Araya R, Stylianidis S et al. (2012). Altangerl,U, Liou, J. C, Pi-Ming Ye. (2014).
Bullying behaviour in schools Prevalence and Predictors of Suicidal
socioeconomic position and psychiatric Behavior Among Mongolian High School
morbidity: A cross-sectional study in Students. Community Ment Health J .
late adolescents in Greece. Biomed 50:362–372 DOI 10.1007/s10597-013-
Central 2012; 6:8. doc:10.1186/1753- 9657-8
2000-6-8
Bertera, M. E. (2007). The Role of Positive and
MKenna M.Hawk E, Mullen J, Hertz M. Negative Social Exchanges Between
(2011). The association between Adolescents, their Peers and Family as
bullying behavior and health risks Predictors of Suicide Ideation. Child
52
Adolesc Soc Work J 24:523–538 DOI
Caskey. (2007). Adolescent Adjustment to the
10.1007/s10560-007-0104-y
Middle School
Biddle, L., Gunnell, D., Sharp, D., & Donovan,
Forintos,D. P, Sallai, J, Rózsa, S. (2010).
J. (2004). Factors influencing help
Adaptation of the Beck Hopelessness
seeking in mentally distressed young Scale in Hungary. Psychological Topics.
adults: A cross-sectional survey. British
Journal of General Practice

Bridge, A.J, Goldstein, R.T, David, A.D. (2006).


Adolescent suicide and suicidal
behavior. Journal of Child Psychology
and Psychiatry
47:3/4 doi:10.1111/j.1469-
7610.2006.01615.x

53
Prosiding Penelitian & e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada p ISSN : 2442-448X Vol. 4 No: 3 Hal 390 - 447 Desember 2017
Masyarakat

BUNUH DIRI DAN DEPRESI DALAM PERSPEKTIF PEKERJAAN


SOSIAL

Meilanny Budiarti Santoso, Dessy Hasanah Siti Asiah, Chenia Ilma Kirana

Meilannybudiarty13@gmail.com, dessyhasanahsitiasiah@yahoo.com, cheniabcd@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang bagaimana bunuh diri bisa disebabkan oleh depresi. Meningkatnya jumlah bunuh diri
terutama bagi usia lanjut menyababkan tingkat kematian di suatu negara juga semakin tinggi. Salah satu penyebab
bunuh diri yang paling dominan adalah karena depresi. Biasanya, mereka yang bunuh diri akan melalui tiga tahap
depresi, yaitu minor depression, moderate depression, major depression, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya. Depresi bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti trauma masa kecil, kekerasan, kehilangan
orang yang disayang, atau dalam artikel yang dibahas adalah mengenai seseorang yang depresi akibat tidak mendapat
pekerjaan dalam jangka waktu yang lama.

Pekerja sosial yang bekerja dengan pasien depresi adalah para pekerja sosial medis, yakni pekerja sosial yang bekerja
dalam bidang kesehatan. Pekerja sosial medis dalam hal ini bisa berperan sebagai motivator, enabler, dan juga
fasilitator. Pekerja sosial juga bisa membantu klien berdamai dengan masa lalu dan membuatnya memutuskan pilihan
untuk masa depannya.

Kata kunci: Bunuh diri, depresi, pekerja sosial medis.

ABSTRACT

This article contains about how suicide can caused by depression. The increasing number of suicide especially for
elderly cause the increasing number of death in a country. One of the causes the most of suicide is depression.
Regularly, they who suicide have through a three step from depression; minor depression, moderate depression, major
depression, and the last is when they decide to end their life with suicide. Depression can caused by many things like
trauma, having a violence experience, lose someone they love, or in the case which discussed in this article is about
someone who hasnt got any job for long time.

A social work that fit into depression is a medical social work who are focused in medical field. A medical social work
can be an enabler, fasilitator, motivator, and also can help client to embrace their past and make them decide what
they want to their future.

Key words: suicied, depresion, medical social work.

PENDAHULUAN (WHO) melaporkan angka bunuh diri di Indonesia


Salah satu permasalahan di Indonesia adalah mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Dikutip dari
tingginya tingkat kematian pada usia lanjut. Selain Tempo bahwa angka bunuh diri di Indonesia tergolong
faktor ekonomi dan faktor kesehatan, faktor lain tinggi, sebanding dengan Jepang. Pada peringkat angka
dari terjadinya kematian usia lanjut adalah perihal bunuh diri seluruh dunia, Indonesia dan Jepang
bunuh diri. Pada 2010, Badan Kesehatan Dunia menempati posisi yang sama di urutan kesembilan. Di
53
Prosiding Penelitian & e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada p ISSN : 2442-448X Vol. 4 No: 3 Hal 390 - 447 Desember 2017
Masyarakat
Indonesia, angka bunuh diri diperkirakan setiap WHO mencatat, pada 2010 mencapai 1,8
tahun mencapai 50 ribu orang dari 220 juta total per 100.000 jiwa atau sekitar 5.000 orang per
penduduk Indonesia. tahun. Kemudian pada 2012, estimasinya
meningkat jadi 4,3 per 100.000 jiwa atau sekitar
10.000 per tahun. Di Indonesia, bunuh diri masih
menjadi penyebab utama tingginya tingkat
kematian di usia lanjut. Salah satu penyebab dari
bunuh diri adalah depresi yang dikarenakan oleh
tidak adanya semangat untuk hidup, merasa
lemah, kecil, dan tak berdaya. Depresi adalah suatu
pengalaman yang menyakitkan yaitu suatu
perasaan tidak ada harapan lagi. Individu yang
mengalami depresi pada umumnya menunjukkan
gejala psikis, gejala fisik dan sosial yang khas,
seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif,
mudah marah dan tersinggung, hilang

54
significant depressive disorder) masih kabur
semangat, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya (Rosenhan & Seligman, 1989).
konsentrasi, dan menurunnya daya tahan (Lubis,
2009). Radloff (1977) telah mengembangkan
Depresi adalah salah satu gangguan mental sebuah skala CES-D untuk mendeteksi simtom-
yang bisa saja menghampiri banyak orang, simtom depresi pada populasi umum. Komponen
termasuk diri kita sendiri. Rice PL (1992) utama simtomatologi depresif yang digunakan
menyebutkan bahwa depresi adalah gangguan dalam skala CES-D diidentifikasi dari literatur
mood, kondisi emosional berkepanjangan yang klinis dan studi faktor analisis. Melalui skala CES-
mewarnai seluruh proses mental (berpikir, D individu dikatakan mengalami simtom-simtom
berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada depresi melalui keempat faktor, yaitu: depressed
umumnya mood yang secara dominan muncul effect/negative affect yang merupakan perasaan-
adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan perasaan, emosi, atau suasana hati yang dirasakan
harapan. Dari perasaan-perasaan negatif negatif seperti perasaan sedih, tertekan, kesepian,
tersebutlah bisa timbul pikiran-pikiran yang bisa dan menangis. Somatic symptoms merupakan
membahayakan; bunuh diri salah satu dampaknya. gejala psikologis yang dirasakan berkaitan dengan
keadaan tubuh seperti merasa terganggu, berkurang
Tinjauan Mengenai Depresi atau bertambahnya nafsu makan, membutuhkan
Depresi merupakan satu masa terganggunya usaha lebih besar dalam melakukan sesuatu,
fungsi manusia yang berkaitan dengan alam kesulitan tidur, dan sulit memulai sesuatu. Positive
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, affect merupakan perasaan, emosi, suasana hati
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu yang dirasakan positif bagi individu dan memiliki
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, harapan yang merupakan kebalikan dari perasaan
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta negatif, dan Interpersonal relation merupakan
bunuh diri (Kaplan, 2010). perasan negatif yang dirasakan individu berkaitan
Dalam Chaplin (2002) depresi didefinisikan dengan perilaku orang lain seperti tidak bersahabat
pada dua keadaan, yaitu pada orang normal dan dan merasa tidak disukai.
pada kasus patologis. Pada orang normal, depresi Depresi, sebagai salah satu penyakit mental
merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, patah merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan
semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak intervensi dari lingkup pekerjaan sosial medis atau
puas, menurunnya kegiatan, dan pesimis dalam pekerja sosial yang bergerak di bidang kesehatan.
menghadapi masa yang akan datang. Pada kasus Rex A. Skidmore dan Trackery (1994 : 146)
patologis, depresi merupakan ketidakmampuan menyebutkan:
ekstrem untuk bereaksi terhadap perangsang, “Pekerjaan sosial dalam pemeliharaan
disertai menurunnya nilai diri, delusi kesehatan sebagai praktik kerjasama pekerja
ketidakpastian, tidak mampu dan putus asa. sosial dalam bidang kesehatan dan dalam
Perbedaan depresi normal dengan depresi klinis program-program pelayanan kesehatan
terletak pada tingkatannya, namun keduanya masyarakat. Praktik pekerjaan sosial dalam
memiliki jenis simtom yang sama. Tetapi depresi bidang pelayanan kesehatan mengarah pada
unipolar atau mayor depresi mempunyai simtom penyakit yang disebabkan atau berhubungan
yang lebih banyak, lebih berat (severely), lebih dengan tekanan-tekanan sosial yang
sering, dan terjadi dalam waktu yang lebih lama. mengakibatkan kegagalan- kegagalan dalam
Namun batas antara gangguan depresif normal pelaksanaan fungsi relasi-relasi sosial.“
(‘normal’ depressive disturbance) dengan
gangguan depresif klinis (clinically

55
Walter A. Friedlander memberikan definisi mengatasi masalah yang dihadapinya. Pekerja
bahwa pekerjaan sosial medis adalah pelayanan sosial membantu informan menggunakan
yang bercirikan pada bantuan sosial dan
kekuatan yang dimilinya
emosional yang mempengaruhi pasien dalam
hubungannya dengan penyakit dan
penyembuhannya.
Ada beberapa fungsi pekerjaan sosial medis
antara lain menurut Johnson Marry (1988: 48) ada
enam fungsi pokok:
1) Memberi bantuan dalam upaya
menyelesaikan masalah-
masalah emosional dan sosial seorang
pasien yang timbul sebagai akibat
penyakit yang dideritanya.
2) Memberikan hubungan kekeluargaan
yang baik
3) Memperlancar hubungan antara
rumah sakit, penderita dan keluarga
4) Membantu proses penyesuaian diri
pasien dengan masyarakat dan
sebaliknya
5) Memanfaatkan pemahaman staf
rumah sakit tentang pekerjaan sosial
dan berusaha mengintegrasikan
bagian pekerjaan sosial secara integral
dalam tim rumah sakit. Serta
Melibatkan diri dalam aksi
masyarakat.
Beberapa peran pekerja sosial medis dalam
menangani pasien depresi adalah sebagai berikut:
1) Motivator
Pekerja sosial berperan dalam memberikan
motivasi dan mendorong klien agar dapat
memanfaatkan pelayanan yang ada untuk
meningkatkan dan mengembangkan
kehidupannya, dan terutama berkaitan
dengan memberikan motivasi dan
memecahkan masalah-masalah mereka.

2) Fasilitator
Berkaitan dengan upaya pekerja sosial
dalam menstimulasi dan mendukung
upaya- upaya masyarakat sehingga
mempermudah dalam membantu klien
keluar dari depresi yang dimiliki.

3) Enabler
Memungkinkan klien menggunakan potensi
dan kemampuan yang dimilikinya untuk
56
secara efektif untuk
menyelesaikan masalah.

Berdasarkan berbagai definisi dari


faktor-faktor yang disebutkan di atas, maka
dapat disimpulkan pengertian depresi adalah
suatu keadaan dimana individu mengalami
simtom-simtom perasaan sedih, tertekan,
kesepian, berkurang nafsu makan,
membutuhkan usaha lebih besar dalam
melakukan sesuatu, kesulitan tidur, kesulitan
untuk memulai mengerjakan sesuatu, merasa
tidak bersahabat, dan merasa tidak disukai
orang lain.

Gejala Depresi
Dalam DSM-IV-TR (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder fourth
edition Text Revision) (American Psychiatric
Association, 2000) dituliskan kriteria depresi
mayor yang ditetapkan apabila sedikitnya
lima dari gejala di bawah ini telah ditemukan
dalam jangka waktu dua minggu yang sama
dan merupakan satu perubahan pola fungsi
dari sebelumnya, paling tidak satu gejalanya
ialah salah satu dari mood tertekan atau
hilangnya minat atau kesenangan (tidak
termasuk gejala- gejala yang jelas yang
disebabkan kondisi medis umum atau mood
delusi atau halusinasi yang tidak kongruen);
1) Mood tertekan hampir sepanjang
hari, hampir setiap hari,
sebagaimana ditunjukkan oleh
laporan subjektif atau pengamatan
dari orang lain.
2) Ditandai dengan berkurangnya
minat dan kesenangan dalam
semua, atau hampir semua aktivitas
hampir sepanjang hari, hampir
setiap hari (ditunjukkan oleh
pertimbangan subjektif atau
pengamatan dari orang lain).
3) Berkurangnya berat badan secara
signifikan tanpa diet atau
bertambahnya berat badan (seperti
perubahan lebih dari 5% berat
badan dalam sebulan), atau
berkurangnya atau bertambahnya
nafsu makan hampir setiap hari
(pada kanak-kanak, pertimbangkan
juga
57
kegagalan untuk mendapatkan tambahan dopamin pada depresi adalah menurun. Hal
berat badan). tersebut tampak pada pengobatan yang
4) Insomnia atau hipersomnia hampir menurunkan konsentrasi dopamin seperti
setiap hari Respirin, dan penyakit dimana konsentrasi
5) Agitasi atau retardasi psikomotor dopamin menurun seperti parkinson, adalah
hampir setiap hari (dapat diamati oleh disertai gejala depresi. Obat yang
orang lain, tidak hanya perasaan meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti
tyrosin, amphetamine, dan bupropion,
subjektif tentang kegelisahan atau rasa
menurunkan gejala depresi.
terhambat) Disregulasi neuroendokrin.
6) Lelah atau kehilangan tenaga hampir Hipotalamus merupakan pusat
setiap hari pengaturan aksis neuroendokrin,
7) Perasaan tidak berharga atau rasa menerima input neuron yang
bersalah yang berlebihan atau tidak mengandung neurotransmiter amin
sesuai (yang mencapai taraf delusional) biogenik. Pada pasien depresi
hampir setiap hari (tidak hanya ditemukan adanya disregulasi
menyalahkan diri sendiri atau rasa neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat
bersalah karena sakitnya). kelainan fungsi neuron yang
mengandung amin biogenik. Sebaliknya,
8) Menurunnya kemampuan berpikir atau
stres kronik yang mengaktivasi aksis
konsentrasi, atau ragu-ragu hampir Hypothalamic- Pituitary-Adrenal (HPA)
setiap hari (baik atas pertimbangan dapat menimbulkan perubahan pada
subjektif atau pengamatan dari orang amin biogenik sentral. Aksis
lain) neuroendokrin yang paling sering
9) Pikiran tentang kematian yang berulang terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis
(tidak hanya takut akan kematian), atau hormon pertumbuhan. Aksis HPA
usaha bunuh diri atau adanya suatu merupakan aksis yang paling banyak diteliti
(Landefeld et al, 2004).
rencana spesifik untuk bunuh diri.
Hipersekresi CRH merupakan gangguan
aksis HPA yang sangat fundamental pada
Faktor Penyebab Depresi pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab diduga akibat adanya defek pada sistem
depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor umpan balik kortisol di sistem limpik atau
biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. adanya kelainan pada sistem
1) Faktor biologi monoaminogenik dan neuromodulator yang
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengatur CRH. Sekresi CRH dipengaruhi
terdapat kelainan pada amin biogenik, oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic marah berhubungan dengan Paraventriculer
acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 nucleus (PVN), yang merupakan organ
methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam utama pada sistem endokrin dan fungsinya
darah, urin dan cairan serebrospinal pada diatur oleh sistem limbik. Emosi
pasien gangguan mood. Neurotransmiter mempengaruhi CRH di PVN, yang
yang terkait dengan patologi depresi adalah menyebabkan peningkatan sekresi CRH
serotonin dan epineprin. Penurunan (Landefeld, 2004). Pada orang lanjut usia
serotonin dapat mencetuskan depresi, dan terjadi penurunan produksi hormon estrogen.
pada pasien bunuh diri, beberapa pasien Estrogen berfungsi
memiliki serotonin yang rendah. Pada terapi
despiran mendukung teori bahwa
norepineprin berperan dalam patofisiologi
depresi. Selain itu aktivitas

58
Prosiding Penelitian & e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada p ISSN : 2442-448X Vol. 4 No: 3 Hal 390 - 447 Desember 2017
Masyarakat

melindungi sistem dopaminergik psikososial yang diprediksi sebagai


negrostriatal terhadap neurotoksin seperti penyebab gangguan mental pada lanjut usia
MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. yang pada umumnya berhubungan dengan
Estrogen bersama dengan antioksidan juga kehilangan. Faktor psikososial tersebut
merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk, adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya
2002). Kehilangan saraf atau penurunan otonomi, kematian teman atau sanak
neurotransmiter. Sistem saraf pusat saudara, penurunan kesehatan, peningkatan
mengalami kehilangan secara selektif pada isolasi diri, keterbatasan finansial, dan
sel – sel saraf selama proses menua. penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010)
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial
konstan pada seluruh otak selama rentang meliputi penurunan percaya diri,
hidup, degenerasi neuronal korteks dan kemampuan untuk mengadakan hubungan
kehilangan yang lebih besar pada sel-sel di intim, penurunan jaringan sosial, kesepian,
dalam lokus seroleus, substansia nigra, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik
serebelum dan bulbus olfaktorius (Lesler, (Kane, 1999).
2001). Bukti menunjukkan bahwa ada Faktor psikososial yang mempengaruhi
ketergantungan dengan umur tentang depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan
penurunan aktivitas dari noradrenergik, stressor lingkungan, kepribadian,
serotonergik, dan dopaminergik di dalam psikodinamika, kegagalan yang berulang,
otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan,
menurun menjadi setengah pada umur 80-an 2010).
tahun dibandingkan dengan umur 60-an Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan.
tahun (Kane dkk, 1999). Peristiwa kehidupan yang menyebabkan
2) Faktor Genetik stres, lebih sering mendahului episode
Penelitian genetik dan keluarga pertama gangguan mood dari episode
menunjukkan bahwa angka resiko di antara selanjutnya. Para klinisi mempercayai
anggota keluarga tingkat pertama dari bahwa peristiwa kehidupan memegang
individu yang menderita depresi berat peranan utama dalam depresi, klinisi lain
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali menyatakan bahwa peristiwa kehidupan
dibandingkan dengan populasi umum. hanya memiliki peranan terbatas dalam
Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar onset depresi. Stressor lingkungan yang
dizigot dan 40% pada kembar monozigot paling berhubungan dengan onset suatu
(Davies, 1999). episode depresi adalah kehilangan pasangan
Oleh Lesler (2001), Pengaruh genetik (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang
terhadap depresi tidak disebutkan secara bersifat akut, seperti kehilangan orang yang
khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat dicintai, atau stressor kronis misalnya
penurunan dalam ketahanan dan kekurangan finansial yang berlangsung
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses lama, kesulitan hubungan interpersonal,
menua bersifat individual, sehingga ancaman keamanan dapat menimbulkan
dipikirkan kepekaan seseorang terhadap depresi (hardywinoto, 1999).
penyakit adalah genetik.
3) Faktor Psikososial Jenis-Jenis Depresi
Menurut Freud dalam teori Menurut klasifikasi organisasi kesehatan
psikodinamikanya, penyebab depresi adalah dunia “World Health Organization” (WHO)
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, (dalam Lumongga, 2009),
2010). Ada sejumlah faktor

59
Prosiding Penelitian & e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada p ISSN : 2442-448X Vol. 4 No: 3 Hal 390 - 447 Desember 2017
Masyarakat

berdasarkan tingkat penyakitnya, depresi menjadi: lebih simtom yang ditunjukan dalam major
1) Mild depression/minor depression dan depressive episode dan
dysthymic disorder. Pada depresi
ringan, mood yang rendah datang dan
pergi dan penyakit datang setelah
kejadian stressfull yang spesifik.
Individu akan merasa cemas dan juga
tidak bersemangat. Perubahan gaya
hidup biasanya dibutuhkan untuk
mengurangi depersi jenis ini. Minor
depression ditandai dengan adanya
dua gejala pada depressive episode
namun tidak lebih dari lima gejala
depresi muncul selama dua minggu
berturut-turut, dan gejala itu bukan
karena pengaruh obatan-obatan atau
penyakit. Bentuk depresi yang kurang
parah disebut distimia (Dystymic
disorder). Depresi ini menimbulkan
gangguan Minor Depression ringan
dalam jangka waktu yang lama
sehingga seseorang tidak dapat
bekerja optimal. Gejala depresi ringan
ada gangguan distimia dirasakan
minimal dalam jangka waktu dua
tahun.
2) Moderate Depression. Pada depresi
sedang mood yang rendah
berlangsung terus dan individu
mengalami simtom fisik juga
walaupun berbeda-beda tiap individu.
Perubahan gaya hidup saja tidak
cukup dan bantuan diperlukan untuk
mengatasinya.
3) Severe depression/major depression.
Depresi berat adalah penyakit yang
tingkat depresinya parah. Individu
akan mengalami gangguan dalam
kemampuan untuk bekerja, tidur,
makan, dan menikmati hal yang
menyenangkan dan penting untuk
mendapatkan bantuan medis secepat
mungkin. Deperesi ini dapat muncul
sekali atau dua kali dan beberapa kali
selama hdup. Major depression
ditandai dengan adanya lima atau

60
Prosiding Penelitian & e ISSN : 2581-1126
Pengabdian Kepada p ISSN : 2442-448X Vol. 4 No: 3 Hal 390 - 447 Desember 2017
Masyarakat
berlangsung selama 2
minggu berturut-
turut.

METODE
Artikel ini disusun dengan
menggunakan kajian literatur dan dokumen,
yaitu literatur barupa buku-buku, makalah
ataupun jenis tulisan lainnya dan juga kajian
terhadap berbagai macam dokumen yang
terkait dengan topik bunuh diri dan depresi
yang diangkat dalam artikel ini.

PEMBAHASAN
Depresi merupakan salah satu
penyakit mental yang rentan menghinggapi
siapapun, hal ini dikarenakan penyebab
depresi bisa datang dari hal-hal kecil
sekalipun; kekerasan emosional, kekerasan
fisik, bullying, merasa minder, dan lain
sebagainya. Dampak yang paling sering
ditemui dari depresi ini adalah perilaku
menyakiti diri sendiri hingga akhirnya bunuh
diri. Seperti contoh kasus di bawah ini.
Mengutip dari beritasatu.com;
“Jakarta - Seorang pria diketemukan
tewas gantung diri, Selasa (15/9) di
rumah semi permanen yang ada di
Jalan Mawar Blok A,
RT05/RW06, Kelurahan
Tugu Utara,
Kecamatan Koja, Jakarta
Utara. Korban diduga bunuh diri
karena depresi sudah setahun
belakangan tidak memiliki pekerjaan
sehingga nekat melakukan aksi
tersebut. Tak pelak aksi itu membuat
warga sekitar gempar. or an ang
unuh diri diketahui ernama
Walu o ditemukan di
kediamann a pada Pukul
11.55 WIB oleh anggota keluarganya
yang baru saja pulang ke rumah
tersebut. Pria malang itu diketemukan
dengan kondisi leher terikat rantai esi
dalam posisi ergelantungan di pilar ka
u agian atap rumahn a oleh warga
sekitar.”

Seorang pria ditemukan membunuh


dirinya sendiri dan diduga akibat depresi
karena sudah setahun tidak memiliki
pekerjaan. Dari kasus tersebut, terlihat bahwa

61
pelaku sudah memiliki gejala-gejala depresi tingkat depresi yang paling berat dimana ia sudah
seperti berkurangnya minat akan semua, tampak tidak bisa lagi merasakan hal-hal yang
terlihat murung dan diam saja serta mood yang menyenangkan dan tidak bersemangat untuk
tidak stabil. Ditulis dalam lanjutan berita tersebut; hidup. Pelaku memang terlihat murung terus
“Sumiyati (48), istri korban, mengaku menerus dan diam saja ketika diajak bicara
sangat terkejut dengan kejadian itu, ia juga sehingga keesokan harinya ia ditemukan
baru mengetahui suaminya dalam kondisi menggantung dirinya sendiri. Pelaku sudah
terikat setelah ada kerumunan warga yang mengalami tingkatan depresi yang paling berat
mengerumuni rumahnya. Menurutnya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk
suaminya sudah beberapa hari belakangan mengakhiri hidupnya karena merasa hidupnya
ini menjadi pendiam dan uring-uringan di sudah tidak bisa lagi diperjuangkan. Bunuh diri
rumah, namun saat ditanya alasan mengapa adalah efek terakhir dari depresi berat, karena
sikapnya seperti itu justru tidak dijawab biasanya di titik ini pelaku sudah menemukan
olehnya. Ia juga mengaku sudah meminta bahwa ia tidak pantas lagi untuk hidup dan tidak
keponakannya untuk menjaga Waluyo, sanggup lagi menghadapi masalah-masalah yang
pasalnya sudah beberapa waktu terakhir dihadapinya.
suaminya itu jarang berbicara.” Pekerja sosial yang bisa berperan dalam
Sesuai dengan apa yang disebutkan kasus depresi ini adalah pekerja sosial medis,
Kaplan (2010), Faktor psikososial yang mengingat bahwa pekerja sosial medis adalah
mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa pekerja sosial yang bekerja di bidang kesehatan
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, dan depresi merupakan penyakit kesehatan mental.
psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori Pekerja sosial dalam menanggulangi klien yang
kognitif dan dukungan sosial. Pelaku merasa tidak depresi bisa menjadi seorang motivator, yaitu
mempunyai pekerjaan, ia gagal dalam mencari orang yang mendengarkan keluh kesah klien
pekerjaan sehingga mungkin merasa ia gagal mengenai masalahnya dan memberikan motivasi
sebagai kepala keluarga dan menyebabkan ia kepada klien agar ia tetap bisa melanjutkan
depresi karena yang menurut Kane (1999) ucapkan hidupnya.
adanya depresi karena juga penurunan percaya Selain itu, pekerja sosial juga dapat berperan
diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan sebagai fasilitator yaitu sebagai pihak yang
intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, menstimulasi dan mendukung upaya masyarakat
perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik. Dari dalam membantu klien menyelesaikan masalahnya.
tidak memiliki pekerjaan tersebut, ia merasa Dalam hal ini, pekerja sosial bisa membantu
rendah diri, tidak bisa memenuhi hidupnya, keluarganya untuk memahami mengenai depresi
kemudian depresi. dan bagaimana seseorang depresi harus didukung
Jika dilihat dari jenisnya, pelaku sudah oleh orang-orang terdekat agar bisa keluar dari
melalui tingkatan depresi seperti apa yang telah depresinya. Pekerja sosial bisa mengedukasi
dijelaskan dalam konsep sebelumnya. Pelaku pada keluarga dan teman-teman terdekat klien untuk
awalnya mengalami minor depression dimana mendukungnya, membantunya secara
mood naik turun dan sering tidak bersemangat. emosional, informasional,
Pelaku memang awalnya sering kelihatan tidak dan material, dan tetap berada di samping klien.
bersemangat dan jarang merespon omongan orang- Pekerja sosial juga bisa berperan sebagai
orang sekitarnya. Setelah itu, ia mengalami enabler, yaitu membantu klien menggunakan
moderate depression yaitu mood yang rendah potensinya untuk memecahkan masalahnya.
berlangsung terus menerus. Kemudian di akhir ia Sebagai contoh adalah kasus di atas, pekerja sosial
mengalami major depression atau bisa membantu klien mencari atau membuat
pekerjaan berdasarkan kemampuannya. Pekerja
sosial bisa

62
membantu dengan cara mengulik dan depression, hingga tahap akhir major depression
mengembangkan potensi dari klien sehingga ia dan bisa berujung kematian. Orang-orang yang
sadar akan potensinya dan bisa keluar dari depresi- terkena depresi berat akan merasa putus asa, tidak
depresinya. semangat menjalani hidup, dan terburuk adalah
Pekerja sosial dalam menangani klien mengakhiri hidupnya sendiri.
yang depresi bisa membantu klien menghadapi Pekerja sosial yang dapat berperan perihal
trauma masa lalunya, terutama keadaan-keadaan penyakit mental ini adalah pekerja sosial medis
yang membuat klien tersebut depresi. Sangat yang bergerak dalam bidang kesehatan. Pekerja
penting pula bagi pekerja sosial untuk menjaga sosial medis dalam menangani seseorang yang
fokus penanganan pengobatan yang sesuai dan depresi dapat berperan sebagai seseorang yang
menentukan kapan klien harus disemangati untuk mendengarkan masalah klien dan memberikan
bekerja di masa sekarang atau menghilangkan motivasi, bisa membantu mengedukasi keluarga
masa lalu. Perspektif ekologi dan tekanan biologis, dan teman terdekat klien agar mereka bisa
psikologis, serta dampak sosial yang membentuk membantu klien keluar dari depresi, menjadi
perilaku individu sangat berhubungan untuk seseorang yang membantu klien memecahkan
memahami dan merespon dengan tepat tantangan- masalahnya melalui potensi, serta membantu klien
tantangan yang dihadapi oleh klien. Profesi menghadapi kejadian-kejadian di masa lalu yang
pekerjaan sosial dengan dasar penguatan potensi menyebabkan ia depresi. Pekerja sosial disini harus
juga cocok dengan kebutuhan perawatan klien sabar menghadapi klien yang depresi karena
dengan depresi. Pekerja sosial dapat membantu mereka memiliki mood yang tidak stabil, oleh
klien dengan dampak jangka panjang dari sejarah karena itu mendengarkan serta mengembangkan
mereka dan berusaha meyakinkan mereka untuk potensi adalah penting agar mereka dapat keluar
menentukan masa depan yang lebih baik dengan dari depresi dan mengambil keputusan untuk
kekuatan yang mereka miliki. kehidupannya agar lebih baik lagi.

SIMPULAN
Depresi, sebagai salah satu penyakit mental DAFTAR PUSTAKA
yang kerap menghinggapi banyak orang, adalah
juga salah satu faktor seseorang untuk menyakiti
dirinya sendiri hingga dampak terburuk dari Baldwin DS, Birtwistle J. 2002. An Atlas of
penyakit mental ini adalah penderita akan merasa Depression. New York: The Parthenon
tidak berdaya, tidak pantas untuk hidup, dan
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya atau Publishing Group.
bunuh diri.
Di dunia dan di Indonesia, perihal bunuh
diri karena depresi biasanya disebabkan oleh Gotlib, Ian. 1992. Psychological Aspects of
beberapa hal yang terkait kondisi sosial; tindak Depression: Toward a Interpersonal
kekerasan, merasa mendapatkan masalah bertubi-
tubi, merasa tidak dicintai dan dihargai, atau dalam Cognitive-Integration. United States of
kasus yang disebutkan di atas adalah tidak America; Guilford Press.
mendapatkan pekerjaan. Depresi ternyata tidak
hanya disebabkan oleh faktor sosial, namun juga
faktor biologis. -------. 2002. Handbook of Depression Third
Depresi memiliki beberapa jenis
tingkatan, minor depression, moderate Edition. United States of America;
Guilford Press.

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA Kaplan &


Sadock's. Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. 10th Edition p. 528-562

63
Lumongga, Namira. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta; Prenada Media Group.

Rovinelli, Nina & Gitterman, Alex. 2010. Mental Health and Social Problems: A Social Work Perspective.
New York; Routledge.

Vostanis, Panos. 2007. Mental Health Interventions and Services for Vulnerable Children and Young
People. United States; Jessica Kingsley Publisher.

http://depresi.net/

https://socialwelfare.wordpress.com/2010/02/ 05/sedikit-mengenai-sejarah- pekerjaan-sosial-medis/

http://www.academia.edu/4140651/Pekerjaan
_Sosial_Medis_Medical_Social_Work

64
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 2, Hal 211 - 216, Mei 2020 p-ISSN2338-2090
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah e-ISSN 2655-8106

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN


SKIZOFRENIA DENGAN RISIKO BUNUH DIRI
Itsnaini Wahyu Puspita Dewi*, Erna Erawati

Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan Magelang, Poltekkes Kemenkes Semarang, Jln Perintis Kemerdekaan
No. 78 Magelang, Jawa tengah, Indonesia 56115

*itsnainiwpd@gmail.com

ABSTRAK
Kesehatan mental merupakan sektor penting dalam mewujudkan kesehatan manusia secara menyeluruh.
Berbagai solusi dapat dilakukan seseorang ketika muncul stressor, salah satunya bunuh diri. Beberapa orang
menganggap bunuh diri adalah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Bunuh diri merupakan
tindakan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang untuk mengakhiri kehidupannnya. Salah satu
seseorang yang mempunyai resiko untuk melakukan bunuh diri adalah pasien skizofrenia. Perilaku bunuh
diri terdiri dari tiga tingkatan yaitu ide/isyarat bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan percobaan bunuh
diri. Tujuan penelitian menggambarkan pengelolaan asuhan keperawatan skizofrenia dengan fokus studi
risiko bunuh diri. Penelitian ini termasuk field research (penelitian lapangan) dengan menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif, langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini yaitu
wawancara, observasi, dokumentasi, dan reduksi data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
asuhan keperawatan pada klien skizofrenia dengan risiko bunuh diri menunjukkan hasil yang signifikan
adanya intervensi dari perawat sesuai dengan respon verbal dan non verbal klien.

Kata kunci: asuhan keperawatan, klien skizofrenia, risiko bunuh diri

NURSING CARE FOR SCHIZOPHRENIA CLIENTS WITH RISK OF SELF-RISK ABSTRACT


Mental health is an important sector in realizing overall human health. Various solutions can be done when

someone appears stressor, one of them suicide. Some people consider suicide to be the right solution to
solve a problem. Suicide is an act that is consciously carried out by someone to end his life. One person at
risk for suicide is a schizophrenic patient. Suicidal behavior consists of three levels, namely suicide ideation /
cues, suicide threats, and attempted suicide. The aim of the study is to describe the management of
schizophrenia nursing care with a focus on suicide risk studies. This research includes field research using a
descriptive qualitative approach, the steps taken by researchers in this study are interviews, observation,
documentation, and data reduction. The results of this study indicate that the provision of nursing care to
schizophrenic clients with suicide risk shows a significant result of the intervention of the nurse in
accordance with the client's verbal and non verbal responses.

Keywords: nursing care, schizophrenia clients, suicide risk

PENDAHULUAN Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011)


Menurut Depkes (2011) prevalensi terjadinya menyatakan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun
masalah kesehatan jiwa meningkat secara tajam. orang dengan gangguan jiwa di Indonesia telah
64
mencapai 11,6 % dari 238 juta orang. Yang (2016) menunjukkan setiap 40 detik, seseorang
artinya sebanyak 26.180.000 penduduk Indonesia kehilangan nyawa karena bunuh diri. Bunuh diri
menderita gangguan jiwa. disebut juga sebagai fenomena global. Dan
menurut Sulis (2019) faktanya 79% bunuh diri
Tingkat kematian yang disebabkan karena bunuh dapat terjadi di negara-negara dengan pendapatan
diri ini tidak hanya meningkat tajam di Indonesia, rendah dan menengah.
akan tetapi seluruh dunia. Karena begitu tingginya
tingkat kematian yang disebabkan karena bunuh Tindakan percobaan bunuh diri ini dapat terjadi
diri, setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai pada berbagai usia. Mulai dari remaja, dewasa,
ahri kesehatan mental. Data yang dirilis WHO bahkan lansia juga terdapat kemungkinan untuk
melakukan percobaan bunuh diri. Menurut Wilson
(2012), beberapa penelitian telah mem-buktikan
bahwa keinginan seseorang untuk melukai diri
sendiri memiliki hubungan dengan tingginya
kemungkinan untuk melakukan perilakunya.
Keinginan ini sudah diperkirakan mempengaruhi

65
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 2 Hal 211 - 216, Mei 2020
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah

perilaku untuk melukai diri sehingga hidup yang penuh stress, kemiskinan, serta
kemungkinan keinginan melukai diri pun dapat
mempengaruhi perilaku tersebut. Jadi
kesimpulannya bahwa seseorang yang memiliki
keinginan untuk melukai diri sendiri sangat
mungkin berhubungan dengan bagaimana
seseorang dapat mengontrol emosinya atau dapat
memberikan sugesti untuk diri sendiri bahwa
melukai diri dapat mengubah keadaan
emosionalnya.

Berdasarkan UU Nomor 18 tahun 2014 tentang


Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa didefinisikan
sebagai kondisi dimana seseorang atau individu
dapat berkembang dalam hal fisik, mental,
spiritual, dan sosial. Sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan dari diri sendiri, dapat
mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya. Gejala yang menyertai gangguan
ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham,
gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta
tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau
katatonik. Menurut Balitbangkes Kemenkes RI
(2013) gangguan jiwa berat dikenal juga dengan
sebutan psikosis, dan salah satu contoh psikosis
yaitu skizofrenia.

Data American Psychiatric Association atau APA


(2013) menyebutkan 1% dari populasi penduduk
dunia menderita gangguan jiwa berupa
Skizofrenia. Hal ini tentunya harus dapat
dijadikan sebagai perhatian khusus bagi setiap
individu untuk memperhatikan kesehatan mental
dirinya masing-masing. Menurut Amelia (2013)
rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia ditempati
oleh pasien dengan skizofrenia, yaitu sebanyak 90
%.

Bunuh diri menurut Videbeck (2011)


merupakan tindakan yang secara sadar
dilakukan oleh seseorang untuk mengakhiri
kehidupannnya. Perilaku bunuh diri adalah
tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk
membunuh diri sendiri. Bunuh diri dapat
melibatkan ambivalensi antara keinginan untuk
hidup dan keinginan untuk mati. Perilaku
bunuh diri terdiri dari tiga tingkatan yaitu
berupa ide/isyarat bunuh diri, ancaman bunuh
diri, dan percobaan bunuh diri .

Wood, Bellis, Mathieson dan Foster (2010)


mengatakan bahwa terdapat beberapa kelompok
risiko tinggi klien bunuh diri, antara lain
seseorang dengan gangguan kepribadian,
gangguan makan, depresi dan cemas, pengalaman
66
Jurnal Keperawatan Jiwa Volume 8 No 2 Hal 211 - 216, Mei 2020
FIKKes Universitas Muhammadiyah Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah
riwayat keluarga dengan bunuh diri. Dari semua Yogyakarta oleh keluarganya dikarenakan tiba-
kelompok risiko tersebut, menurut Gomez- tiba klien berupaya bunuh diri. Terdapat beberapa
Duran, Martin-Fumado, Hurtado-Ruiz (2012)
yang terbesar adalah kelompok gangguan jiwa
berat, dan bunuh diri merupakan salah satu
penyebab utama kematian klien skizofrenia
dengan jumlah terbesar terjadi pada usia
produktif dan laki-laki.

Penelitian yang dilakukan tanggal 21 Januari


2020 menunjukkan fakta bahwa di bangsal
Sadewa RSJ Grhasia Yogyakarta terdapat klien
skizofrenia dengan masalah keperawatan risiko
bunuh diri. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui bagaimana kriteria klien skizofrenia
dengan risiko bunuh diri, dan mengetahui
bagaimana keefektifan intervensi identifikasi
pola koping yang dimiliki klien.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini


adalah metode deskriptif kualitatif dengan
pemaparan kasus dan menggunakan pendekatan
proses keperawatan dengan memfokuskan salah
satu masalah penting dalam kasus yang dipilih,
yaitu asuhan keperawatan pada klien Skizofrenia
dengan fokus studi risiko bunuh diri.

Penelitian ini dilakukan di RSJ Grhasia


Yogyakarta pada tanggal 21-25 Januari 2020,
dalam penelitian ini menggunakan satu
responden (klien) usia 48 tahun, bersedia menjadi
responden, diagnosa medis Skizofrenia, klien
dengan diagnosa keperawatan risiko bunuh diri,
klien mampu diajak berkomunikasi. Kriteria pada
penelitian ini yaitu diantaranya klien dalam
keadaan dapat beraktivitas secara mandiri dan
klien dapat berkomunikasi dengan baik.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara,
observasi, dan mencari data melalui rekam medik
responden. Data yang didapatkan dianalisis
dengan mengamati data yang ada pada rekam
medik klien, kemudian melakukan klarifikasi
dengan melakukan wawancara dan observasi
pada klien tersebut.

HASIL
Klien bernama Tn. W dengan umur 48 tahun,
klien berjenis kelamin laki-laki, status
perkawinan klien duda, beragama islam, dan
pendidikan terakhir klien SLTA. Klien masuk
RSJ Grhasia Yogyakarta pada tanggal 9 Januari
2020 dengan diagnosa medis F.20.0 (skizofrenia
paranoid).

Alasan masuk Tn. W dibawa ke RSJ Grhasia


67
alasan yang menyebabkan Tn. W melakukan melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua
percobaan bunuh diri bahkan sampai melakukan
hal tersebut hingga dua kali. Terdapat dua faktor
yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.

Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung


atau faktor yang menunjang terjadinya gangguan
jiwa pada klien. Sedangkan faktor presipitasi
merupakan faktor pencetus seseorang melakukan
percobaan bunuh diri. Kedua faktor ini meliputi
biologi, psikologi, dan sosial.

Faktor predisposisi dari Tn. W disebabkan karena


mulai menunjukkan gangguan jiwa kurang lebih 1
tahun yang lalu. Klien dirawat di RSJ Grhasia
Yogyakarta untuk kedua kalinya. Terakhir dirawat
di RSJ Grhasia Yogyakarta pada tahun 2019.
Dalam keluarga klien, tidak ada anggota keluarga
yang memiliki riwayat gangguan jiwa. Klien
merupakan anak ke-dua dari tiga bersaudara.
Klien sudah berkeluarga, dan klien berperan
sebagai seorang ayah dari 2 anaknya, laki-laki dan
perempuan.

Selain itu, terdapat faktor presipitasi pada Tn. W


yaitu klien putus obat selama kurang lebih dua
bulan dan istri klien meminta cerai pada tahun
2019. Sehingga saat ini klien tinggal di rumah
bersama ibu dan kakaknya.

Dari hasil pengkajian pada Tn. W yang berkaitan


dengan persepsi bahwa klien bicara lambat,
nyambung ketika diajak bicara, akan tetapi klien
sulit mengawali pembicaraan. Klien mengatakan
menyukai semua anggota tubuhnya meskipun
terdapat bekas luka pada pergelangan tangan
kanan dan kiri, bahkan klien merasa bersyukur
terhadap dirinya sendiri. Klien memiliki perasaan
gagal, tidak berguna, dan merasa hidupnya tidak
bahagia. Klien juga mengatakan ingin segera
sembuh dan pulang untuk berkumpul kembali
bersama keluarga.

Klien kooperatif ketika dilakukan wawancara,


namun kontak mata kurang, karena klien lebih
cenderung untuk memandang satu titik bukan
memandang lawan bicaranya. Penampilan dalam
berapakaian klien rapi dan sesuai dengan pakaian
yang dianjurkan pihak rumah sakit. Klien dapat
beraktivitas secara mandiri tanpa bantuan
meskipun secara perlahan-lahan.

Berdasarkan pengkajian yang dilakukan tanggal


21 Januari 2020 pukul 15.00 pada Tn. W,
didapatkan analisa data sebagai berikut: Data
Subjektif (DS) klien mengatakan pernah
68
kali dengan menggunakan tali. Klien juga ketika berinteraksi, klien mampu menjawab
mengatakan bahwa dirinya merasa tidak bahagia sesuai
karena hidupnya monoton. Data Objektif (DO)
klien bicara lambat, kontak mata kurang karena
klien cenderung memandang satu titik, bukan
memandang lawan bicaranya. Maka diagnosa
keperawatan yang didapat berdasarkan
pengkajian yang telah dilakukan pada Tn. W
yaitu Risiko Bunuh Diri (RBD).

Tindakan keperawatan yang akan dilakukan


berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan
kepada Tn. W pada tanggal 21 Januari 2020,
peneliti menyusun tujuan dan rencana tindakan
keperawatan untuk mengatasi masalah risiko
bunuh diri adalah sebagai berikut. Tujuannya
yaitu klien dapat mengetahui pola koping yang
dapat diterapkan dan agar klien menerapkan pola
koping dalam kegiatan sehari-hari. Karena
biasanya ketika klien menghadapi masalah, klien
hanya diam dan jarang bercerita kepada
keluarganya, bahkan orang lain.

Dari masalah keperawatan risiko bunuh diri yang


dialami Tn. W, peneliti membuat beberapa
rencana tindakan keperawatan yang akan
dilakukan yaitu identifikasi pola koping yang
bisa diterapkan, nilai pola koping yang bisa
dilakukan, dan anjurkan klien menerapkan pola
koping konstruktif dalam kegiatan sehari-hari.
Selain rencana tindakan keperawatan tersebut,
peneliti juga akan melakukan evaluasi tindakan
yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu strategi
pelaksanaan II risiko bunuh diri terkait
identifikasi aspek positif yang dapat dilakukan
klien.

Ketika dilakukan tindakan keperawatan yang


membahas pola koping, klien kooperatif, klien
tampak dapat memahami topik pembicaraan,
kontak mata kurang. Klien juga dapat
mengetahui pola koping apa yang ingin
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ketika
menghadapi suatu masalah.

Hasil evaluasi yang didapatkan berdasarkan


tindakan keperawatan sesuai intervensi yang
telah dibuat peneliti yaitu pada Tn. W diperoleh
data subjektif (DS): klien mengatakan lebih
senang dan lega dapat mengetahui pola koping
yang dapat diterapkan yaitu dengan cara apabila
memiliki suatu masalah klien akan cerita kepada
ibunya. Klien mengatakan memahami topik
pembicaraan tentang pola koping yang bisa
dilakukan. Klien mengatakan akan berusaha
untuk menerapkan pola koping dalam kegiatan
sehari-hari. Data Objektif (DO): klien kooperatif
69
dengan pertanyaan, klien masih sulit memulai tersebut menunjukkan bahwa terjadi
pembicaraan. Analisa: masalah SP (strategi
peningkatan kasus
pelaksanaan) 3 RBD (identifikasi dan nilai pola
koping yang bisa dilakukan) teratasi.
Perencanaan: lanjutkan SP (strategi pelaksanaan)
4 RBD (rencanakan masa depan).

PEMBAHASAN
Pembahasan difokuskan pada aspek proses asuhan
keperawatan mulai dari pengkajian, analisa data,
perumusan masalah, rencana tindakan
keperawatan, pelaksanaan tindakan keperawatan,
dan catatan perkembangan yang berkaitan dengan
risiko bunuh diri. Klien dengan risiko bunuh diri
ini diharapkan mendapatkan bantuan dan
perawatan yang intensif, karena risiko bunuh diri
ini merupakan salah satu kedaruratan psikiatri.
Menurut Trent (2013) kedaruratan psikiatri
merupakan gangguan yang sifatnya akut, baik
pada perilaku, pikiran, atau hubungan sosial yang
membutuhkan intervensi segera yang
didefinisikan oleh klien, keluarga klien, atau
masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian dari
Wardaningsih (2010) terkait gambaran strategi
koping keluarga ketika merawat pasien dengan
skizofrenia di wilayah Kecamatan Kasihan
Bantul, terdapat beberapa faktor yang dapat
memengaruhi strategi koping keluarga yaitu
antara lain faktor keuangan, keyakinan, dukungan
sosial, faktor pengetahuan dan komunikasi.

Dalam penelitian terkait perawatan pada pasien


skizofrenia yang berpotensi bunuh diri, ada
beberapa penelitian yang bisa menjadi rujukan,
berikut adalah beberapa penelitian yang masih ada
hubungannya dengan penelitian ini:
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aulia,
Yulastri, Heppi Sasmita dengan judul “Analisis
Hubungan Faktor Risiko Bunuh Diri Dengan Ide
Bunuh Diri Pada Remaja”. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa risiko bunuh diri pada
remaja faktor psikologis dan faktor biologi
memiliki hubungan yang signifikan terhadap ide
bunuh diri remaja. Sementara untuk faktor
keluarga,faktor lingkungan, faktor riwayat bunuh
diri, faktor sorientasi seksual tidak terdapat
hubungan yang signifikan dengan ide bunuh diri
remaja. Faktor dominan yang memiliki hubungan
erat dengan ide bunuh diri adalah faktor
psikologis.

Penelitian yang dilakukan oleh Khusnul Aini1,


Mariyati, dengan judul “Pengalaman Perawat
Unit Perawatan Intensif Psikiatri Dalam Merawat
Klien Dengan Risiko Bunuh Diri”. Penelitian
70
risiko bunuh diri pada pasien yang di
rawat di ruang perawatan intensif Sejak dilakukan pengkajian, klien menyadari
psikiatri, berkisar 30-50% dalam satu bahwa dirinya berada di RSJ Grhasia Yogyakarta
tahun terakhir. Didapatkan lima tema dikarenakan pernah melakukan pecobaan bunuh
diri sebanyak dua kali, yang artinya klien tidak
yang didapatkan dari pengalaman
menyangkal dengan apa yang telah terjadi pada
perawat dalam merawat pasien dengan diri sendiri. Ketika dilakukan proses tindakan
risiko bunuh diri, yaitu penemuan kasus, keperawatan, klien terlihat lebih senang dan klien
perlindungan keselamatan pasien, juga mau terbuka untuk bercerita mengenai
motivasi yang diberikan perawat, upaya masalah-masalah yang dihadapi.
melibatkan keluarga dalam perawatan,
serta kendala yang hadapi perawat dalam
merawat pasien dengan risiko bunuh diri.

Penelitian yang dilakukan oleh Irene


Febriany Mamo Kitu, Meidiana Dwidiyanti,
Diyan Yuli Wijayanti dengan judul “Terapi
Keperawatan Terhadap Koping Keluarga
Pasien Skizofrenia”. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa Koping keluarga yang
baik akan berdampak baik bagi kondisi
anggota keluarga yang menderita
skizofrenia. Terapi generalis, terapi spesialis
dan terapi komplementer dapat membantu
meningkatkan koping keluarga agar keluarga
dapat menghadapi situasi penuh tekanan
yang terjadi dan tetap berusaha membantu
proses penyembuhan anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.

Berdasarkan beberapa judul yang


mempunyai keterkaitan dengan judul
penelitian ini tidak ada yang membahas
tentang “Asuhan Keperawatan Jiwa Pada
Klien Skizofrenia dengan Risiko Bunuh Diri”,
yaitu penelitian yang mengaitkan antara
klien skizofrenia dengan resiko bunuh diri,
maka dengan itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang fenomena
tersebut. Manajemen krisis merupakan
suatu tindakan preventif yang tujuannya
dapat mencegah terjadinya perilaku bunuh
diri. Hal ini digunakan sebagai dasar
perlunya pemberian terapi sebagai upaya
tindakan preventif dari klien dengan bunuh
diri.
71
Analisis Hubungan Faktor Risiko Bunuh
Klien juga sedikit demi sedikit mau untuk Diri dengan Ide Bunuh Diri pada Remaja.
memulai pembicaraan. Dengan dilakukannya Jurnal Keperawatan, 11(4), 307-314.
tindakan keperawatan pada klien, diharapkan
klien dapat dibantu oleh pihak keluarga dan
kerabat untuk bisa menyalurkan tindakan positif
ketika klien memiliki stresor, salah satunya
melalui dukungan psikologis pada klien.

SIMPULAN
Perilaku percoban bunuh diri sering terjadi, baik
di kalangan remaja, dewasa, ataupun lansia.
Perilaku ini tidak hanya meningkat tajam di
Indonesia saja, akan tetapi hampir seluruh dunia.
Sebelum dilakukan tindakan pada Tn. W, klien
kooperatif, tidak menyangkal adanya percobaan
bunuh diri. Akan tetapi klien bicara lambat dan
sulit memulai pembicaraan. Klien juga belum
paham dengan pola koping yang dapat diterapkan
ketika klien menghadapi suatu masalah.

Setelah diberikan asuhan keperawatan dengan


intervensi identifikasi pola koping yang dapat
diterapkan, peneliti menganggap hal ini efektif
karena klien dapat mengetahui bagaimana cara
atau pola koping yang dapat diterapkan ketika
klien menghadapi masalah. Seperti yang
dikatakan klien, klien akan terbuka atau bercerita
tentang masalah tersebut kepada orang yang
dipercayainya, yaitu ibunya. Sehingga penelitian
ini menunjukkan bahwa pemberian asuhan
keperawatan pada klien skizofrenia dengan risiko
bunuh diri menunjukkan hasil yang signifikan
adanya intervensi dari perawat sesuai dengan
respon verbal dan non verbal klien

DAFTAR PUSTAKA
Aini, Khusnul & Mariyati. (2020). Pengalaman
Perawat Unit Perawatan Intensif Psikiatri
dalam Merawat Klien dengan Risiko Bunuh
Diri. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 89-
96.

Amelia, D.R., & Anwar Z. (2013). Relaps pada


Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, 1(1), 53-65.

American Psychiatric Association. (2013).


Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (DSM-5®). American Psychiatric
Pub.

Aulia, N., Yulastri, Heppi Sasmita. (2019).


72
Balitbangkes Kemenkes RI. (2013). Riskesdas Winurini, Sulis. (2019). Pencegahan Bunuh Diri di
2013. Indonesia. Jurnal Bidang Kesejahteraan
Sosial, XI(20), 13-18.
Depkes. (2011). Program Kesehatan Jiwa.

Gomez-Duran, E.L, et al. (2012). Clinical and

Epidemiological Aspects of Suicide in


Patients with
Schizoprenia.
ActasEspPsiquiatr 2012;40(6):333-45.

Kitu, I. F. M., Meidiana D., Diyan Y.W. (2019).


Terapi Keperawatan terhadap Koping
Keluarga Pasien Skizofrenia. Jurnal
Keperawatan Jiwa, 7(3), 253-256.

Nurjanah, Siti. (2013). Manajemen Kasus


Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien
Risiko Bunuh Diri dengan Pendekatan
Teori Chronic Sorrow di Ruang Utari
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor
Tahun 2013.

Trent James. (2013). A Review of Psychiatric


Emergencies‟, CME
Resource,
Sacramento, California.

Videbeck, S.L..(2011). Buku


ajar keperawatan jiwa.
(Renata Komalasari, dkk, penerjemah).
Jakarta : EGC.

Wardaningsih S., Rochmawati E., Sutarjo P.


(2010). Gambaran Strategi Koping
Keluarga dalam Merawat Pasien
Skizofrenia di Wilayah Kecamatan
Kasihan Bantul. Mutiara Medika, 10(1),
55-61.

Widianti, E., Budi Anna K., Ice Y. W. (2017).


Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia,
3(1), 83-99.

Wilson, F. L. (2012). Thoughts, images, and


rumination of self-harm: validating a new
measure of non-suicidal self-injury (NSSI)
ideation.

73
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-
ISSN : 2548-1398
Vol. 4, No.8 Agustus 2019

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEPRESI DAN RESIKO BUNUH


DIRI
Endah Sari Purbaningsih
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Mahardika Cirebon
Email: Endahsari155@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kasus depresi. Metode
penelitan berupa pendekatan studi kasus (Case Study). Sumber data awal yang
diambil sebagai objek penelitian dalam penelitian ini adalah klien dengan depresi
dan resiko bunuh diri di Sitopeng. Menggunakan metode interview bebas
(inguided interview). Hasil penelitian menyatakan bahwa klien mengalami depresi
dan resiko bunuh diri. factor penyebab depresi diantaranya adalah faktor biologi.
adanya kelainan pada amin biogenic yang terdapat di dalam darah maupun urin
serta cairan serebrospinal yang ditemukan pada pasien dengan gangguan mood.
neurotransmitter pada kejadian depresi adalah peran serotonin dan epinefrin.
dopamin yang menurun dapat menyebabkan depresi, keinginan untuk bunuh diri.
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input
neuron yang mengandung neurotransmitter amin biogenic. Pada kondisi pasien
dengan depresi tidak terdapat regulasi neuroendokrin. Dengan tindakan CBT dan
SEFT pada klien maupun keluarga menunjukkan hasil yang signifikasn yaitu klien
mempunyai motiviasi kembali, mau untuk bersosialisasi/berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Kesimpulan orang yang mengalami depresi akan menjadi
apatis dan menyalahkan dirinya sendiri sehingga merasa enggan untuk mencari
pertolongan. Dampak yang dirugikan akibat depresi antara lain seperti kurang
stabilnya fungsi sosial, fungsi pekerjaan, mengalami kesulitan untuk berfikir dan
berkonsentrasi, juga ketidakberdayaan atas hal yang dipelajari, bahkan
mengakibatkan tindakan bunuh diri yang menyebabkan kematian.

Kata kunci : Depresi, resiko bunuh diri, Cognitive Behaviuor Therapy (CBT)

Pendahuluan

Berbagai masalah dan problematika hidup semua orang pasti mengalaminya. Kehidupan
yang penuh dengan tekanan dan stres pada saat ini sedang banyak dialami seiring dengan
kejadian bencana alam terjadi dimana-mana. Hal ini dapat memicu seseorang terkena depresi.
74
Perlu diketahui depresi bukan hanya terjadi pada orang dewasa atau orang tua, melainkan depresi
juga terjadi pada remaja. Apabila depresi ini tidak segera untuk diatasi maka
keberlanjutannya akan terus dialami oleh remaja

60

75
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Depresi dan Resiko Bunuh Diri

tersebut hingga dia dewasa. Karena Usia remaja merupakan masa usia pertumbuhan seseorang
yang paling menetukan (Saepudin, 2018). Namun yang lebih membahayakan adalah munculnya
inisiatif melakukan tindakan yang diluar dugaan yaitu bunuh diri. Sedang Hinton menjelaskan
bahwa meskipun depresi yang diderita tidak terlalu parah, tetapi resiko bunuh diri tetap ada
(Hinton, 1989).
Depresi dapat diartikan sebagai suatu gangguan mental ditandai dengan adanya perasaan
sedih, putus asa, kehilangan semangat, merasa bersalah, lambat dalam berpikir, menurunnya
motivasi untuk melakukan aktivitas, dll. Pendertia depresi cenderung di derita oleh para remaja
dan orang tua, sebab mereka lebih cenderung memperhatikan citra tubuhnya, rentan mengalami
peristiwa-peristiwa yang penuh dengan tekanan dan stres dan sulit untuk menyesuaikan diri dan
berinteraksi dengan orang lain. Hinton menjelaskan masa remaja adalah masa dimana ia sedang
mengalami masa perubahan hormonal, perubahan tingkat hubungan sosial sehingga remaja lebih
cenderung berbeda dalam mempersepsikan orang tua (Hinton, 1989).
Akibat dari depresi banyak hal yang dirugikan karenanya antara lain terganggunya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, merasakan kesulitan berkonsentrasi, ketidakberdayaan terhadap suatu
hal yang dipelajari, bahkan hingga tindakan bunuh diri yang menyebabkan kematian. Remaja
yang mengalami depresi dia hanya bisa mengurung diri dikamarnya. Hilang konsentrasi dan
percaya diri, semngat hidup yang terus menurun sampai dengan dia tidak lagi mau bicara dan
komunikasi dengan orang lain. Remaja ini jadi pesimis memandang hidupnya, seakan hilang
harapan, tidak ada yang bisa memahami dirinya, dan sebagainya.
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350 juta penduduk dunia
mengalami depresi dan merupakan penyakit dengan peringkat ke-4 di dunia menurut WHO. Di
Indoneisa prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berusia ≥ 15 tahun berdasarkan
RISKESDAS 2018 adalah 9,8%, terjadi kenaikan 3,8 % dari tahun 2013, sebelumnya adalah 6%.
Sedangkan prevalensi gangguan depresi penduduk di atas 15 tahun mencapai 6,1%, dan hanya
9% penderita depresi yang minum obat/menjalani pengobatan medis. Kejadian depresi lebih
sering pada wanita (10-25%) dibanding pada pria (5-12%). Kejadian depresi juga lebih tinggi
pada usia produktif dibanding pada usia anak remaja maupun lanjut usia (kemenkes, 2018)

Syntax Literate, Vol. 4, No. 8 Agustus 2019 75


Studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sitopeng Kecamatan
Harjamukti jumlah pasien gangguan jiwa terdapat 31 kasus, dan 4 kasus depresi. Dari keempat
kasus depresi ini diantaranya sangat aktif untuk mencoba melakukan bunuh diri. Untuk itu,
peneliti merasa tertarik untuk melakukan analisa kasus depresi. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisa kasus depresi dan resiko bunuh diri.

Metode Penelitian
Jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian dengan metode atau
pendekatan studi kasus (Case Study) (Danim, 2002). Sumber data awal yang diambil sebagai
objek penelitian dalam penelitian ini adalah klien dengan depresi dan resiko bunuh diri di
Sitopeng. wawancara yang dilaksanakan untuk memperkuat data yang telah terkumpul adalah
dengan menggunakan metode interview bebas (inguided interview).
Proses menganalisis hasil data tersebut dilakukan dengan cara: Mengkaji apakah yang
menjadi faktor predisposisi dan faktor presipitasi perilaku klien. Menentukan jenis atau sumber
masalah yang muncul. Menyimpulkan hasil analisis data secara induktif, yaitu dengan
mengnalisis dari generalisasi atau kesimpulan umum kemudian diuraikan menjadi contoh-contoh
kongkrit atau fakta-fakta yang lebih khusus utnuk dijelaskan.

Hasil dan Pembahasan


Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa klien mengalami depresi dan resiko bunuh diri.
Resiko bunuh diri merupakan beresiko terhadap cedera yang ditimbulkan sendiri dan mengancam
jiwa (Wilkinson & Ahern, 2012) didukung dengan data–data subjektif maupun objektif. Data
subjektif seperti klien sering mengatakan ingin mengakhiri hidupnya, merasa tidak berharga dan
tidak berguna. Sedangkan data objektif yang menunjang adalah adanya riwayat keluarga yang
melakukan bunuh diri, klien pernah berusaha melakukan bunuh diri dengan minum racun
serangga.
Dikemukakan oleh (Sadock & Sadock, 2011) mengatakan segala bentuk kekrasan yang
dilakukan oleh si penderita depresi akan diarahkan secara intern karena identifkasi dengan obyek
lain yang hilang. Selain itu juga depresi dikatakan sebagai suatu aspek
yang berasal dari ketegangan dalam ego seseorang antara aspirasi dan kenyataan seseorang.
Depresi adalah salah satu gangguan mental dan siapapun dapat mengalaminya. Depresi
dapat disebabkan oleh adanya kekerasan emosional, fisik, minder, bullying. Dampak dari depresi
ini diantaranya adalah bunuh diri, menyakiti diri sendiri. Dalam DSM–IV-GTR dijelaskan bahwa
depresi mayor dapat ditetapkan bila sekurangnya dalam waktu dua minggu ditemukan sedikitnya
lima dari gejala dan merupakan satu perubahan fungsi dari sebelumnya. Diantara gejala yang
dimaksud diantaranya adalah mood tertekan atau hilangnya kesenangan, berkurangnya berat
badan atau bertambah secara signifikan tanpa diet sebanyak 5% dalam sebulan, insomnia atau
hypersomnia, lelah, perasaan tidak berharga, menurunnya konsentrasi,, pikiran tenatng kematian
yang berulang.
Seperti dalam kasus ini secara pemeriksaan fisik maupun pengamatan orang lain, klien
mengalami penurunan berat badan yang signifikan, murung, cepat lelah, senang menyendiri, dan
sebagainya yang merujuk sesuai dengan DSM-IV-Tr tentang depresi. Dalam Kaplan (20000)
bahwa factor penyebab depresi diantaranya adalah faktor biologi. Dalam beberapa penelitian
dijelaskan bahwa adanya kelainan pada amin biogenic diantaranya 5 HIAA (5-hidroxi indol
asetic acid), MPGH (5 methoxy-0- hidroxi phenil glikol), yang terdapat di dalam darah maupun
urin serta cairan serebrospinal yang ditemukan pada pasien dengan gangguan mood. Terkait
dengan itu adalah neurotransmitter pada kejadian depresi adalah peran serotonin dan epinefrin.
Pada kondisi serotonin dan dopamin yang menurun dapat menyebabkan depresi, keinginan untuk
bunuh diri. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input
neuron yang mengandung neurotransmitter amin biogenic. Pada kondisi pasien dengan depresi
tidak terdapat regulasi neuroendokrin, akibat dari kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenic.
Berdasarkan tahap perkembangan psikologi menurut jean Peaget dalam Sumanto (2014)
usia 21 tahun merupakan usia dalam tahap perkembangan remaja. Perkembangan kognitif
remaja, dalam pandangan Jean Piaget merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap
pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, secara idealnya
mereka sudah mulai berkembang dan memiliki pola pikir sendiri dalam upaya menyelesaikan
segala masalah yang
dihadapinya. Potensi berfikirnya sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga remaja dapat
membayangkan berbagai alternatif tindakan dalam konsep berfikirnya. Para remaja sudah tidak
lagi hanya menerima informasi secara apa adanya, melainkan mereka terlebih dahulu mengolah
informasi tersebut dengan kemudian disesuaikan dengan pemikirannya sendiri. Mereka juga
mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi
konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan (Sumanto, 2014)
Depresi memiliki beberapa tingkatan, depresi minor, depresi moderat, dan depresi mayor
hingga berujung ke keinginan bunuh diri atau mengakhiri hidupnya, dikarenakan merasakan
adanya keputusasaan yang berat, tidak semangat, merasa cepat lelah, tidak adanya nafsu makan
(Lumongga, 2009).
Sebenarnya apabila disesuaikan dengan penjelasan diatas bahwa kemampuan operasional
formal ini, seorang remaja hakikatnya mampu menyesuaikan potensi dirinya dengan
lingkungannya. Namun dalam kenyataannya yang terjadi di negara- negara berkembang seperti
Indonesia sendiri baik remaja bahkan sampai dengan orang dewasa tidak sedikit mereka dapat
mencapai sepenuhnya dalam tahapan perkembangan kemampuan operasional formal ini.
Sebagian dari mereka masih dalam kategori perkembangan yang tertinggal pada fase
sebelumnya, yaitu pada operasional konkrit, dimana pola pikir seseorang yang mereka gunakan
mash sangat sederhana. Sudah jelas bahwa pasien/penderita depresi belum bisa mencapai
kemampuan dalam tahapan perkembangan kognitif operasional secara formal. Sebenarnya pasien
telah melewati setiap prsoses berfikir dalam segala masalah, namun ketika dia semakin
menambahkan proses berfikirnya maka dia tidak mampu mendapatkan jawaban atas masalah
yang sedang dihadapi oleh si penderita. Penumpukkan permasalahan yang dihadapi oleh klien
depresi yang terus menerus dan tidak mendapatkan jawaban atas semua maslahnya hingga pada
akhirnya dia tidak lagi dapat menahannya. Tapi dalam proses berpikir itu pasien belum mampu
melihat masalah dari berbagai dimensi, dalam hal ini klien hanya melihat masalahnya dari sudut
pandangnya sendiri. Dia belum mampu berpikir luas, belum mampu melihat keadaan luar yang
jelas lebih menyedihkan dari pada hidupnya. Yang klien pikirkan hanyalah bagaimana
mengakhiri penderitaannya dengan segera, dan bunuh dirilah yang menjadi keputusannya, tanpa
memikirkan masa depannya.
Peran keluarga dalam hal ini sangatlah besar sekali dalam hal memberikan support,
motivasi. Support yang dibutuhkan adalah berupa perhatian baik secara materi maupun immateri.
Dengan memperhatikan setiap verbal maupun perilaku yang diperlihatkan oleh klien. Karena
klien dengan depresi mempunyai afek dan mood yang sangat labil, sensitif, mudah tersinggung
dan mempunyai ide-ide nihilistik dengan mengungkapkan berupa ancaman untuk mengakhiri
hidupnya.
Pada kasus pasien ini perawat melakukan beberapa tindakan berupa terapi generalis dan
spesialis selain psikofarmaka. Terapi spesialis yang diberikan adalah berupa cognitive behaviour
therapy (CBT) merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda
dan gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Roemer,
Orsillo, & Salters-Pedneault, 2008) Sedangkan menurut (Epigee, 2009) CBT adalah suatu terapi
yang didasari dari gabungan beberapa intervensi yang dirancang untuk merubah cara berpikir dan
memahami situasi dan perilaku sehingga mengurangi frekuensi reaksi negatif dan emosi yang
mengganggu. Definisi lain dijelaskan bahwa CBT merupakan suatu terapi psikososial yang
mengintegrasikan modifikasi perilaku melalui pendekatan restrukturisasi kognitif (Martin, 2010).
Adapun tujuan dari diberikannya CBT pada klien penderita depresi ini adalah
memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekankan fungsi otak dalam
menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali. Dengan
merubah status pikiran dan perasaannya, klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif
menjadi positif (Oemarjoedi, 2003) Dengan pemberian CBT, klien diharapkan mampu mengatasi
masalah yang timbul dengan cara yang konstruktif.
Intervensi CBT yang diberikan kepada klien ini adalah dilaksanakan dalam 5 sesi, Sesi 1
adalah pengkajian dan latihan untuk mengatasi pikiran negatif pada diri sendiri. Sesi 2 akan
mendiskusikan tentang terapi kognitif, dimana pada sesi ini akan mengatasi semua hal yang
terkait dengan kognitif (pikiran) negatif individu. Sedangkan sesi 3 adalah terapi perilaku, akan
mengubah perilaku negative menjadi perilaku positif. Sesi 4 adalah evaluasi terapi kognitif dan
terapi perilaku, sedangkan pada sesi 5 adalah pencegahan kekambuhan. Lima sesi ini lebih
difokuskan pada masalah kognitif dan perilaku negatif yang timbul. Pada sesi 1 dan 2 akan
berfokus pada pikiran negative otomatis dan bagaimana cara mengatasinya, sedangkan sesi 3
untuk mengatasi perilaku
negatif yang timbul, sesi 4 evaluasi latihan kognitif dan perilaku serta sesi 5 adalah pencegahan
kekambuhan.
Selain CBT klien dan keluarga diberikan terapi spesialis lain yaitu Spiritual Freedom
Emotional Tehnik (SEFT). gabungan antara spiritual power dan energy psychology dengan
menggunakan prinsip menyerupai akupunktur dan akupressur yaitu merangsang titik-titik kunci
di sepanjang 12 jalur energi (jalur meridian) tubuh yang sangat berpengaruh pada kesehatan
manusia dengan menggunakan ketukan ringan dengan tujuan Memutuskan energy negative
terhadap keluhan dan menumbuhkan energy positip berdasarkan titik meridian tubuh.
Evaluasi setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan klien dan keluarga menunjukkan
adanya beberapa perubahan yang signifikan. Diantaranya adalah klien menunjukkan adanya
motivasi untuk berubah dengan mau bersosialisasi/berinteraksi dengan temannya, adanya
ungkapan dari klien bahwa klien mempunyai keinginan untuk melanjutkan hidup, ingin bekerja
dengan pekerjaan apa saja, ingin menikah dan mempunyai anak.
Sedangkan keluarga (ibunya klien) yang semula merasa cemas dengan kondisi klien,
kemudian akhirnya mendiamkan klien ketika klien marah, tidak mau beraktivitas, setelah
dilakukan SEFT ada perubahan yang signifikan. Orang tua klien mengatakan ada perbedaan
pasrah sebelum dan sesudah melakukan SEFT, orang tua klien tampak lebih termotivasi dalam
memberikan support kepada klien.

Kesimpulan
Depresi merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami gangguan kesehatan
mental yang ditandai dengan adanya suasana hati yang tertekan, sedih, murung, merasa bersalah,
suka menyendiri, putus asa, lambat dalam berpikir, menurunnya motivasi untuk melakukan
aktivitas, kehilangan semangat, dll. Pendertia depresi cenderung dialami oleh para remaja dan
orang tua, sebab mereka lebih cenderung memperhatikan citra tubuhnya, rentan mengalami
peristiwa-peristiwa yang penuh dengan tekanan dan stres dan sulit untuk menyesuaikan diri dan
berinteraksi dengan orang lain.
Masa remaja merupaakan masa perubahan hormonal, perubahan tingkat dan pola
hubungan social sehingga remaja cenderung mempersepsikan orang tua secara
berbeda. Selain itu, pada masa perkembangan remaja, jarang dalam prosesnya berjalan tanpa ada
hambatan. Banyak masalah yang dihadapinya bahkan hingga sampai pada titik masalah itu tidak
lagi teratasi dan berujung pada peristiwa depresi yang berkepanjangan dan terus menerus.
Biasanya remaja yang sedang mengalami depresi sikapnya berubah menjadi apatis dan cenderung
selalu menyalahkan dirinya sendiri sehingga dia menolak untuk ditolong atau mencari pertolngan
dari orang lain.
Dampak yang merugikan bagi si penderita akibat depresi antara lain ialah seperti
kurangnya fungsi sosial, pekerjaan, dan juga mengalami kesulitan dala berkonsentrasi, kemudian
tidak berdayanya segala hal yang dipelajari, bahkan hingga tindakan bunuh diri yang
menyebabkan kematian. Remaja hanya mengurung diri di kamar, hilangnya semangat hidup,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kreativitas, antusiasme dan optimisme. Dia juga enggan
untuk berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, selalu berfikiran negative tentang dirinya,
tentang orang lain, hingga akhirnya hidup ini menjadi beban yang sangat memeberatkan baginya,
dia hanya memandang masalah lebih besar dari dirinya. Remaja ini berubah menjadi pesimis,
seperti sudah tidak punya harapan lagi, tidak ada yang bisa diandalkan dan menurutnya tidak ada
yang bisa memahami dirinya, dan sebagainya.
BIBLIOGRAFI

Danim, S. (2002). Menjadi peneliti kualitatif. Bandung: pustaka setia. Epigee.

(2009). CBT for post traumatic stress disorder.

Hinton, D. M. (1989). Transcript analyses of the uvsX-40-41 region of bacteriophage T4. Changes in the
RNA as infection proceeds. Journal of Biological Chemistry, 264(24), 14432–14439.

Lumongga, N. (2009). Depresi tinjauan Psikologis. Jakarta: Prenada Media Group. Martin, P. F.

(2010). CBT. Retrieved from http://www.minddisorders.com/Br-


Del/Cognitive-behavioral-therapy.html

Oemarjoedi, A. K. (2003). Pendekatan cognitive behavior dalam psikoterapi. Jakarta: Kreativ


Media.

Roemer, L., Orsillo, S. M., & Salters-Pedneault, K. (2008). Efficacy of an acceptance- based behavior
therapy for generalized anxiety disorder: Evaluation in a randomized controlled trial. Journal of
Consulting and Clinical Psychology, 76(6), 1083.

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2011). Kaplan and Sadock’s synopsis of psychiatry: Behavioral
sciences/clinical psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins.

Saepudin, A. (2018). HUBUNGAN ASUPAN ENERGI TERHADAP STATUS GIZI WANITA


SUBUR DI KELAS XII IPA SMA NEGERI 1 CIGUGUR
KABUPATEN KUNINGAN. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(7), 1– 13.

Sumanto, M. A. (2014). Psikologi Perkembangan (Fungsi dan Teori). Jakarta: CAPS. Wilkinson,

M. J., & Ahern, N. C. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9

Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta

82
83

Anda mungkin juga menyukai