SKENARIO 2
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan
skenario ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian
dari sistem pembelajaran Program Studi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Reyhan Franjaya Sukma
Anandita selaku tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan tutorial ini.
Kami menyadari laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun dari pembaca akan sangat kami harapkan guna perbaikan
di masa mendatang.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………............……………………...….2
DAFTAR ISI……………………………………………………………….…..3
SKENARIO ..……………………………………...……..…………………….4
I. Klarifikasi Istilah…………………………………………………….....5
V. Tujuan Pembelajaran…………………………...…………………...….12
PENUTUP………………………………………………..………………….....49
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….…….51
SKENARIO 2
KLARIFIKASI ISTILAH
1. Bersin
Pengeluaran udara melalui hidung dan mulut secara involunter dan audible (Dorland,
2012).
2. Asma
Penyakit kronis saluran udara yang ditandai dengan peradangan dan penyempitan
saluran udara. Gejala asma antara lain sesak napas, batuk, dan mengi (Hashmi et al
2021).
Gangguan pada bronkus dan trakea yang memiliki reaksi berlebih terhadap stimulus
tertentu dan bersifat reversibel (Padila, 2018).
3. Hidung Tersumbat
4. Alergi
Reaksi sistem kekebalan tubuh manusia terhadap benda tertentu, yang seharusnya
tidak menimbulkan reaksi di tubuh orang lain (Sudarto, 2019).
5. Mata
Indera penglihatan dibentuk untuk menerima rangsangan berkas cahaya pada retina
dengan perantara Nervus opticus (Ilyas, 2015).
9. Mata berair
Keadaan dimana mata memproduksi air berlebih sebagai reaksi adanya benda asing
yang masuk pada mata (Guyton & Hall, 2016).
Kondisi dimana adanya penumpukan cairan berlebih pada kelopak mata atau jaringan
penghubung pada mata (Azari,2016).
11. Tidur
Suatu proses pemulihan diri baik terhadap sistem saraf maupun aktivitas fisiologis
lainnya (Guyton & Hall, 2016).
Mekanisme perlindungan tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi
pemulihan setelah istirahat (Amirizal, 2015).
Cuaca dingin merupakan suhu rendah apabila dibandingkan dengan suhu tubuh
manusia (Setiati, 2015).
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa pasien mengeluhkan keluar cairan dari hidung, tidak berbau, hidung
terasa gatal, dan hidung tersumbat?
4. Apakah ada hubungan dari keluhan pasien dengan cuaca dingin, riwayat alergi,
ayah perokok, dan juga memelihara binatang?
6. Apa saja pemeriksaan fisik dan penunjang yang dapat disarankan sesuai dengan
skenario?
BRAIN STORMING
1. Karena ada reaksi imunitas yang memicu keluarnya sekret dari kedua hidung dan
menyebabkan hidung terasa penuh hingga gatal
2. Mekanisme bersin adanya benda asing yang masuk sehingga akan merangsang
saraf-saraf yang ada di hidung
3. Penyebab bersin :
Rhinitis
4. Ya, berhubungan. Pada seseorang dengan riwayat alergi, akan terjadi pembentukan
IgE yang meningkat pada saat terjadi serangan alergi terjadi.
5. Dari skenario tersebut, pasien mengeluhkan bahwa pasien memiliki riwayat alergi
pada cuaca dingin dan mempunyai kucing.
Pemeriksaan Fisik :
A. Rinoskopi Anterior
B. Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Penunjang :
A. In vitro
B. Hitung Eosinofil
C. ELISA
D. In vivo
E. Tes Cukit Kulit
F. SET( Skin end-point titration)
G. IPDFT
H. Chalenge test
ANALISIS MASALAH
1. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas ll
membentuk kom- plek peptida MHC kelas ll (Major Histo- compatibility Complex'1
yang kemudian dipre- sentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (lL 1) yang akan mengaktifkan ThO untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti lL3, lL4, lL5 dan lL 13. lL4 dan lL 13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi lmunoglobulin E (lgE). lgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor lg E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai lgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecah- nya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (P reformed Med i ators) terutama
his- tamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (113, lL4, lL5, lL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Facto) dll. lnilah yang
disebut sebagai ReaksiAlergi Fase Cepat (RAFC).
2. Adanya alergen yang masuk, dan memnumpuk nantinya akan terjadi pengeluaran
sekresi pada mmebran mukosa, menyebbakan terangsangnya saraf simpatis dan
parasimpatis mengalirkan cairan plasma dan molekul protein melewati dinding-
dinding kapiler pembuluh darah pada hidung, kemudian histamin yang dilepas oleh
sel mastosit akan merangsang hidung untuk mengeluarkan air, dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler (Adam, GL, 2014).
Bersin merupakan reaksi reflek untuk mengeluarkan udara yang mengandung partikel
atau benda asing yang mengganggu atau menyebabkan gatal di dalam hidung dan juga
membersihkan rongga hidung atau saluran pernafasan bagian bawah. Dapat dikatakan
pula bahwa bersin merupakan salah satu cara tubuh untuk mengatur ulang sistem di
dalam tubuh.
Bersin memiliki 2 fase. Fase yang pertama adalah fase sensitasi sedangkan fase yang
kedua yaitu fase respiratori atau fase eferen. Fase sensitasi diawali dari masuknya
benda asing menuju ke jalan nafas. Benda asing tersebut masuk ke kavitas nasal dan
terjebak di mukus kemudian mengaktifkan reseptor taktil di nasal. Reseptor taktil di
nasal merupakan reseptor dari saraf trigeminal yang memiliki reseptor di sana.
Cabang-cabang dari saraf trigeminal meneruskan ransangan menuju ke saraf
trigeminal lalu menuju medulla lateral.
Ketika Anda bernapas di udara dingin, saraf trigeminal akan mendapatkan sinyal dari
lapisan sensitif saluran hidung. Untuk sebagian orang, bahkan embusan angin dingin
saja sudah bisa membuatnya jadi bersin.
Karbon dioksida di dalam minuman bersoda bisa memicu reseptor asam lidah yang
dirancang untuk merasakan bahan kimia berbahaya. Apabila reseptor mengirim sinyal
kuat ke otak, maka otak dapat menafsirkannya sebagai rasa sakit dan memicu
serangkaian respons defensif, seperti merobek, batuk, dan bersin.
Meski Anda tidak merokok, tapi berada di lingkungan perokok bisa membuat Anda
jadi lebih sering bersin dari biasanya. Sebab, asap rokok mengandung banyak bahan
kimia yang dapat membuat selaput hidung jadi teriritasi. Selain bersin, Anda juga
lebih mungkin untuk batuk dan susah bernapas
Aroma yang terlalu menyengat dari rempah-rempah masakan juga bisa memicu
terjadinya bersin-bersin yang berlebih.
e) Rhinitis
Jika sering bersin di pagi hari, bisa jadi itu tanda Anda terkena rhinitis. Rhinitis
sendiri adalah peradangan membran hidung yang muncul sebagai reaksi berlebih
sistem kekebalan tubuh terhadap alergen (pemicu alergi). Alergen tersebut antara lain
debu, tungau, lumut, atau serpihan sel kulit mati binatang.
f) Reaksi alergen
Bisa menjadi gejala dari saluran napas, biasanya terjadi pada orang yang memiliki
kekebalan tubuh yang lemah (anak-anak, lansia, penderita HIV AIDS, dan kanker).
5. Ya, berhubungan. Pada seseorang dengan riwayat alergi, akan terjadi pembentukan
Ig E yang meningkat pada saat terjadi serangan alergi terjadi.Peningkatan Ig E ini
akan mengikat alergen dan akan menyebabkan terjadinya dreganulasi dari sel mastosit
dan sel basofil , pecahnya sel ini dikarenakan lepasnya mediator kimia khususnya
histamin dan kemotakin yang ada di permukaan sel mastosit dan sel basofil .
Lepasnya kemotakin pada sel mukosa hidung menyebabkan adanya akumulasi
dari eosinofil dan netrofil pada mukosa hidung. Sedangkan eosinofil dan netrofil yang
terakumulasi pada mukosa hidung ini memilki sifat hiperaktif dan hiperresponsif
terhadap perubahan faktor-faktor spesifik dan faktor non.spesifik seperti asap rokok,
bau yang menyengat, dan perubahan cuaca yang kemudian akan semakin
memperberat keluhan pasien dan juga dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit
yang diderita pasien. (FKUI, 2012).
Pada paparan rokok dapat meningkatkan respons alergi hidung dengan
meningkatkan serum immunoglobulin (igE) dan produksi interleukin. Selain itu
mempengaruhi sel epitel dan meningkatkan permeabilitas, produksi lender yang
berlebihan, meningkatkan pelepasan sitokin dan kemokin proinflamasi, meningkatkan
neutrophil dan gangguan keseimbangan limfosit terhadap sel Th2 (Noakes, 2013).
6. Lepasnya kemotakin pada sel mukosa hidung menyebabkan adanya akumulasi dari
eosinofil dan netrofil pada mukosa hidung. Sedangkan eosinofil dan netrofil yang
terakumulasi pada mukosa hidung ini memilki sifat hiperaktif dan hiperresponsif
terhadap perubahan faktor-faktor spesifik dan faktor non.spesifik seperti asap rokok,
bau yang menyengat, dan perubahan cuaca yang kemudian akan semakin
memperberat keluhan pasien dan juga dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit
yang diderita pasien. (FKUI, 2012).
7. Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang :
Invitro :
Hitung Eosinofil pada apusan darah tepi
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) untuk pemeriksaan IgE
Invivo
SET (Skin end-point Titration) tes alergi dengan cara menyuntikan allergen
dengan berbagai kosentrasi dan bertingkat kepekaannya.
IPDFT merupakan tes alergi makanan
Challenge test merupakan test alergi makanan dengan memberikan selama 5 hari
kemudian diamati reaksi yang terjadi.
8. JALUR OLFAKTORIUS
Di setiap sisi hidung, serabut kecil akson yang tidak bermielin dari reseptor olfaktori
meluas melalui 20 foramen olfaktori di cribriformis plate tulang ethmoid. Sejumlah
40-an serabut akson bersama membentuk saraf olfaktorius (I) kiri dan kanan. Saraf
olfaktorius berakhir di otak di suatu masa berpasangan gray matter disebut sebagai
olfactory bulbs, yang terletatak di bawah lobus frontal serebrum dan di lateral crista
galli tulang ethmoid. Di dalam olfactory bulbs, akson terminal reseptor olfaktorius
membentuk sinaps dengan dendrit dan cell bodies neuron olfactory bulbs.
Keberadaan asma dikaitkan denga peyakit sinus yang lebih buruk.dalam penelitian
bahwa yang memiliki gejala rhinitis alergi berpotensi 2x terjadi asma.karena saat
memiliki suatu tanda inflamasi pada mukosa hidung yang merupakan saluran
pernapasan atas maka akan beresiko adanya gangguan saluran di pernapasan bawah
yaitu asma (Price ,2012).
‘
DATA TAMBAHAN :
Pem.Fisik :
B. TD 110/80 mmHg
C. Nadi 78x/menit
D. RR 18x/menit
Status lokalis :
C. Deformitas (-)
D. Trauma (-)
E. Radang (-)
F. Massa (-)
Pemeriksaan sinus :
Perempuan 17th
Datang ke Puskesmas
ANAMNESIS
KU : Hidung berair PF :
Hipertrofi edema
- Rhintis infeksi
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Anatomi hidung
2. Histologi hidung
3. Fisiologi penciuman
BELAJAR MANDIRI
HASIL DISKUSI
1. Anatomi Nasal
A. Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih
dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung
dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas,
struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah
tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit
dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah
digerakkan (Ballenger,1994; Hilger, 1997; Mangunkusomo,2001; Levine,2005)
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari
apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal
hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari
apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari
kartilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar
hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas
kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior
atau nostril (Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah latero-superior dibatasi oleh ala
nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung(Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang
membentang dari os internum disebelah anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi
berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Maran,1990;
Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise
(Maran,1990; Ballenger,1994;Mangunkusumo,2001)
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan
konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior,
sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior,
berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah
atas konkha media disebut meatus superior ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)
Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus
maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura
yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus (Ballenger, 1994).
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus
paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os
maksilla ( Ballenger, 1994 ; Hilger, 1997)
Perdarahan hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis(Ballenger, 1994; Hilger,
1997).
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernesus (Maran,1990; Ballenger, 1994;
Mangunkusumo, 2001).
Persyarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari
nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang
kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior
dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina
kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior
melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis
internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum (Maran,1990;
Ballenger, 1994; Hilger, 1997). Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut
parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media (Maran,1990; Ballenger,
1994; Mangunkusumo, 2001).
Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Maran,1990; Ballenger, 199)
2. Histology Nasal
A. Histologi
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml.
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung
terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia,
membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media
dan lapisan kelenjar profunda .
Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks
pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan
epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel
kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak
mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus,
sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel
dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi
dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000
sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia (Ballenger 2012).
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel
bersilia menutupi 2/3 posterior kavum nasi (Ballenger, 2012).
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya panjang,
dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200
buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia
terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing- masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh
bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan
basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini..
Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan
tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira- kira 1 : 3. Dengan
demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia
ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino
(metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari pemecahan ADP oleh
ATPase. ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam
pasangannya. Sedangkan antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan
dengan bahan elastis yang diduga neksin.
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan
yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal.
Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili
(sol layer) yang disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang
lengket. Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang
ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini
merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang
pada cairan perisiliar dibawahnya.
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di
bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas
kolagen dan fibril retikulin .
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi
atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar
superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar
profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat,
substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat
dengan periosteum dibawahnya. Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan
mengalirkan lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua
sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling
tinggi (Ballenger, 2012).
3. Fisiology Nasal
Pada bagian atap dari hidung terdapat suatu lapisan mukus yang disebut sebagai
mukosa olfaktorius. Lapisan ini disusun oleh 3 sel, yaitu : sel reseptor olfaktorius, sel
basal, dan sel penunjang. Sel reseptor olfaktorius akan berfungsi sebagai
penangkap/sensor adanya bau yag masuk ke rongga hidung. Yang kedua ada sel basal
yang berfungsi untuk meregenerasi sel reseptor olfaktorius yang sudah mati akan
diganti sekitar 2 bulan. Sedangkan sel penunjang berfungsi untuk memproduksi
mukus.
Proses menghindu/mencium bau paling banyak terjadi di sel reseptor olfaktorius.
Molekul-molekul odorant (molekul yang kita hirup/yang kita presepsikan sebagai bau)
akan melekat pada ujung silia sel reseptor olfaktorius. Agar suatu zat bisa menjadi
odoran, syaratnya ada dua yaitu :
1.Bisa menguap. Karena bau-bau an yang kita rasakan berasal dari udara yang masuk
ke rongga hidung. Kalau ga bisa menguap, ga bisa masuk ke hidung contoh : meja
2.Molekul tersebut cukup larut air. Karena untuk bisa melewati lapisan mukus harus
cukup larut air.
Contoh :
Ketika tanah kering, tiba-tiba turun hujan, seketika timbul bau. Sebab : karena saat
panas tanah tidak menguap, tapi ketika kejatuhan air baru akan menguap dalam
molekul udara karena bersama dengan air ia akan larut airsehingga bisa masuk ke
hidung kita sehingga hidung kita lebih peka dengan bau tanah tersebut disbanding
ketika sebelum turun hujan.
Kepekaan hidung kita juga ditentukan oleh aliran udara yang masuk. Ketika kita
mengendus maka akan meningkatkan sensasi bau.
Pada membrane sel reseptor olfaktorius terdapat reseptor protein olfaktori (tempat
melekatnya molekul odorant) yang akan merangsang pengaktifan protein G (second
messenger). Aktifnya protein G akan mengaktifkan adenilat siklase yang akan
mengubah ATP menjadi cAMP . Kandungan camp yang tinggi akan membuka kanal
natrium sehingga natrium masuk ke intra sel. Otomatis muatan di dalam sel menjadi
lebih positif (sel mengalami depolarisasi) yang mana akan menimbulkan potensial
aksi yang akan diteruskan ke saraf.
Yang panjang-panjang adalah reseptor sel olfaktorius. Pada manusia terdapat 5 juta
sel olfaktorius yang terdapat 1000 jenis reseptor olfaktorius. Masing-masing
bau/odoran akan menempel pada reseptor olfaktorius yang spesifik. Misal bau A akan
menempel di warna ungu, B ke warna hijau dsb. Akan tetapi bau nasi, sate kambing,
makanan dll merupakan kolektif/banyak molekul sehingga lebih banyak reseptor
olfaktorius yang teraktivitasi kemudian akan diintegrasikan di otak sehingga kita
mempresepsikan bau kambing, gulai dll.
Setelah molekul odorant tadi berhasil membuat adanya potensial aksi pada reseptor
olfaktorius, masing-masing jenis sel olfaktorius akan bersinaps pada glomerulus/bola-
bola saraf. Masing-masing glomerulus merupakan muara dari reseptor olfaktorius
tertentu (yang berwarna sama). Masing-masing glomerulus akan bersinaps lagi pada
sel mitral. Sel mitral akan menguatkan bau-bau tersebut shingga lebih peka hidung
kita. Kemudian masing-masing sel mitral bersatu membentuk serat saraf yang akan
membentuk nervus olfaktorius. Ujung dari nervus olfaktorius adalah bulbus
olfaktorius di hidung kanan dan hidung kiri. Kemudian akan diteruskan ke tractus
olfaktorius. Sebelum sampai ke korteks sebagai pusat kesadaran, nervus akan menuju
bagian thalamus dan sistem limbic terlebih dahulu dimana sistem limbic akan
mempengaruhi respon/perilaku kita terhadap bau. Misal, bau-bauan yang tidak enak
akan membuat kita merasa mual/tidak enak.
Setelah itu rangsang akan diteruskan ke primary olfactory area pada korteks cerebri
dimana di sini terjadi proses kesadaran (dapat menginterpretasikan bau apa, apakah
pernah mencium bau ini sebelumnya atau tidak, dl).
A. Definisi
Gangguan inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh paparan alergen yang
memicu inflamasi yang dimediasi oleh IgE.
B. Epidemiologi
Prevalensi rinitis alergi berdasarkan diagnosis dokter sekitar 15%; Namun, prevalensi
diperkirakan setinggi 30% berdasarkan pasien dengan gejala hidung. AR diketahui
mencapai puncaknya pada dekade kedua hingga keempat kehidupan dan kemudian
menurun secara bertahap. Insiden AR pada populasi anak-anak juga cukup tinggi,
menjadikannya salah satu gangguan pediatrik kronis yang paling umum. Menurut data
dari International Study for Asma and Allergies in Childhood, 14,6% pada kelompok
usia 13 hingga 14 tahun dan 8,5% pada kelompok usia 6 hingga 7 tahun menunjukkan
gejala rinokonjungtivitis terkait dengan rinitis alergi. Rinitis alergi musiman
tampaknya lebih sering terjadi pada kelompok usia anak-anak, sedangkan rinitis
kronis lebih umum pada orang dewasa.
Tinjauan sistematis dari 2018 memperkirakan bahwa 3,6% orang dewasa tidak masuk
kerja, dan 36% mengalami gangguan kinerja karena rinitis alergi. Evaluasi ekonomi
telah menunjukkan bahwa biaya tidak langsung yang terkait dengan produktivitas
kerja yang hilang merupakan mayoritas dari beban biaya untuk AR.
C. Etiologi
Alergen inhalan,misalnya tungau debu rumah, serpihan epitel kulit binatang (kucing,
anjing), rerumputan(Bermuda grass ) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
Alergen ingestan , misalnya susu,sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan
kacang-kacangan.
Alergen injektan, misalnya penisilin dan sengatan Lebah.
Alergen kontaktan,misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
D. Faktor Resiko
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC)
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
antigen akan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas ||
(Major Histo compatibility Complex) dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).
APC akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor lg E di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
G. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
Hidung tersumbat
Durasi
Lama sakit
Derajat keparahan
Sifat gejala
Pencetus
Respons pengobatan
Pemeriksaan Fisik
1. Rinoskopi anterior
Mukosa edema,basah berwarna pucat atau livid dan sekret encer banyak .
Mukosa inferior tampak hipertrofi -> persisten
2. Allergic shiners
3. Allergic salute
4. Allergic crease
5. Facies adenoid
7. Pemeriksaan mata
8. Pemeriksaan faring
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah tepi
e. Challenge test
H. Tatalaksana
Konservatif
kurangi atau cegah pajanan terhadap alergen
jaga kebersihan dengan salin pencuci nasal
medikamentosa
- Antihistamin oral (lini pertama ) untuk gejala ringan.
Contoh :
cetirizin (10 mg PO 1x/hari) , fexofenadin (120 mg 1x/hari), loratadin (10 mg PO
1x/hari).
- Kortikosteroid intranasal untuk gejala sedang/ berat atau persisten (gunakan
selama 1 bulan secara konsisten untuk mendapatkan efek terapeutik).
Contoh kortikosteroid intranasal yang dapat digunakan adalah beclometha sone
(168 - 336 ug/hari), budesonide (252 pg/ hari), fluticasone (100 - 200 g/hari), dan
mometasone furoate (100-200 ug/hari)
- Dekongestan intranasal (penggunaan dibatasi untuk <5 hari untuk mencegah
rinitis medika mentosa) diberikan jika disertai obstruksi nasal seperti
pseudoefedrin, oksimetazolin, dan fenilepinefrin.
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imuno terapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sub-lingual.
I. Komplikasi
- Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung
- Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
- Rinosinusitis
peradangan hidung dengan gejala hidung tersumbat atau keluar, berlangsung selama
lebih dari 3 bulan
-Hipertrofi adenoid
sensitisasi terhadap alergen pada AR dapat mengubah parameter imunologi dari
kelenjar gondok.
- Disfungsi tuba eustachius
bermanifestasi pada pasien dengan AR dan muncul sebagai telinga penuh, otalgia, dan
telinga berdebar-debar.
J. Prognosis
Dipercaya bahwa prevalensi rinitis alergi memuncak pada masa remaja dan secara
bertahap menurun seiring bertambahnya usia. Dalam penelitian longitudinal, pada
saat follow up 23 tahun, 54,9% pasien menunjukkan perbaikan gejala, dengan 41,6%
di antaranya bebas gejala.
Pasien yang mulai mengalami gejala pada usia yang lebih muda cenderung
menunjukkan perbaikan. Tingkat keparahan AR dapat bervariasi dari waktu ke waktu
dan bergantung pada berbagai faktor seperti lokasi dan musim.
Sekitar 50% dari pasien yang menerima imunoterapi alergi rumput mencatat
perbaikan gejala yang berlanjut 3 tahun setelah penghentian terapi.
5. Rhinitis Non Alergi Vasomotor
A. Definisi
Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia,
perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan).
B. Epidemiologi
Rinitis, baik alergi atau non alergi, mempengaruhi sekitar 20% populasi di negara
industry.Diperkirakan 17 sampai 19 juta orang Amerika mengalami rinitis non
alergi. Rinitis non alergi muncul pada pasien antara usia 30 dan 60 tahun.insiden
Wanita > pria .
C. Faktor Resiko
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi, serta bau yang menyengat (misalnya,parfum).
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
hipotiroidisme.
D. Etiologi
Anamnesis (Subjective)
1. Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi tidur pasien,
memburuk pada pagi hari dan jika terpajan lingkungan non-spesifik seperti perubahan
suhu atau kelembaban udara, asap rokok, bau menyengat.
2. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, kadang-kadang jumlahnya agak banyak.
Pemeriksaan Fisik
- Rinoskopi anterior:
2.Terlihat adanya sekret serosa dan biasanya jumlahnya tidak banyak. Akan tetapi
pada golongan rinore tampak sekret serosa yang jumlahnya sedikit lebih banyak
dengan konka licin atau berbenjol-benjol.
Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu :
1.Golongan bersin (sneezer): gejala biasanya memberikan respon baik dengan terapi
antihistamin dan glukokortikoid topikal.
3.Golongan tersumbat (blockers): gejala kongesti hidung dan hambatan aliran udara
pernafasan yang dominan dengan rinore yang minimal. (FK UI)
G. Tatalaksana
G. Komplikasi
1. Sinusitis
3. Pembengkakan wajah
H. Prognosis
Rhinitis Simpleks
A. Definisi
B. Etiologi
C. Faktor predisposisi
Tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh akibat kelelahan,
penyakit menahun, dll
D. Penegakan Diagnosis
ANAMNESIS
1. Stadium prodromal : rasa panas, kering dan gatal dalam hidung. Stadium
prodromal berlangsung beberapa jam.
3. Sekret hidung mula-mula encer dan banyak, kemudian menjadi mucoid, lebih
kental, dan lengket.
PEMERIKSAAN FISIK
Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Bila terdapat infeksi sekunder oleh
bakteri, rinorea menjadi purulent.
E. Tatalaksana
Istirahat
F. Komplikasi
Sinusitis
Faringitis
Tonsilitis
Bronchitis
Pneumonia
Otitis media
G. Prognosis
Penyakit ini biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan sembuh spontan setelah
2-3 minggu.
Rhinitis Hipertrofi
A. Definisi
Perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena
proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer atau sekunder.
Konka inferior dapat juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi infeksi bakteri, misalnya
sebagai lanjutan dari rhinitis alergi dan vasomotor.
B. Etiologi
C. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
C. Terdapat sekret mukopurulen diantara konka inferior dan septum dan juga di dasar
rongga hidung.
Rhinitis Atrofi
A. Definisi
Infeksi hidung kronik yang ditandai dengan atrofi progresif pada mukosa dan tulang
konka.
B. Etiologi
Defisiensi Fe.
Defisiensi vitamin A.
Sinusitis kronik.
Kelainan hormonal.
Penyakit kolagen.
C. Epidemiologi
D. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
a. Napas berbau
c. Gangguan penghidu
d. Sakit kepala
e. Hidung tersumbat
Pemeriksaan Fisik
Rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi hipertrofi atau atrofi,
ada sekret purulent dan krusta berwarna hijau.
Pemeriksaan Penunjang
b. Pemeriksaan mikrobiologi
E. Tatalaksana
Terapi konservatif :
a. Antibiotic spektrum luas atau sesuai uji resistensi kuman. Lama pengobatan
bervariasi sesuai hilangnya tanda klinis berupa sekret purulent kehijauan.
c. Vitamin A 3x50.000/unit
A. Definisi
Merupakan rinitis yang tidak disebabkan oleh kejadian patologis yang diperantarai
IgE. Suatu istilah untuk semua penyakit hidung dengan gambaran obstruksi dan
hiperiritasi tanpa etiologi alergi yang berjalan kronik. Tidak termasuk infeksi hidung
akut baik karena virus maupun bakteri.
B. Etiologi
C. Penegakan Diagnosis
Tes darah lengkap, untuk menghitung jumlah sel darah merah dan sel darah putih
D. Tatalaksana
A. KESIMPULAN
Pada skenario kedua kali ini, datang Seorang wanita berusia 17 tahun datang
ke puskesmas dengan keluhan hidung beringus jernih dan encer sejak 1 minggu yang
lalu. Keluhan dirasakan kedua hidung, tidak berbau, hingga mengganggu tidur,
aktivitas serta minder dengan teman sekolah. Keluhan disertai bersin berulang, hidung
tersumbat, penciuman terganggu, hidung serta mata gatal hingga mata berair dan
bengkak. Pasien memiliki keluhan yang sama sejak SD dan sering kambuh saat cuaca
dingin atau kecapekan. Riwayat serupa dikeluarga diakui pada ibunya dengan
penyakit ASMA, serta ayah pasien perokok aktif. Pasien tinggal di rumah yang
memelihara beberapa kucing dan berada di pinggir jalan raya.
Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies. 2013. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC..
Akib, A. A. P., Munasir, Z., Kurniati, N., 2010. Alergi-Imunologi Anak. Jakarta: IDAI
Ballenger, J.J. 2012. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid 1.
Jakarta : Binarupa Aksara.
Brozek JL. 2017. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines-2016
revision.
Krouse JH. Allergic rhinitis. Dalam: Stucker FJ, de Souza C, Kenyon GS, Lian TS,
Draf W, Schick B. Rhinology and facial surgery. Berlin: Springer Science;
2009. hlm 247-54.
Lakhani, N., North, M. & Ellis, A.K. 2012. Clinical manifestation of allergic rhinitis.
Journal of Allergy & Therapy.
Small, P. & Kim, H. 2011. Allergic rhinitis. Astma & Clinical Imunology, 7(Suppl 1).
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin,J. & Resuti, R.D. 2012. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 7.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. 1999. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THTRSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional
Perhati XII, Semarang, 28 - 30 Oktober.
Songu M, Cemal C. 2009. Sneeze reflex: facts and fictions. Ther Adv Respi Dis.
3(3):131-41.
Wheatley, L.M. & Togias, A. 2015. Allergic rhinitis. The New England Journal of
Medicine, 372(5).
Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW. 2008. Pathophysiology and clinical