Tutor :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
terselesaikannya laporan DKK (Diskusi Kelompok Kecil) mengenai Kelainan
Thoraks. Laporan ini dibuat sesuai dengan gambaran jalannya proses DKK kami,
lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang disepakati oleh
kelompok kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
kami dalam proses pembuatan laporan DKK ini. Pertama, kami berterima kasih
kepada dr. Muhammad Buchori, M. Sc., Sp. A selaku tutor kami yang telah
dengan sabar menuntun kami selama proses DKK. Terima kasih pula kami
ucapkan atas kerja sama rekan sekelompok di Kelompok 5. Tidak lupa juga kami
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam mencari
informasi maupun membuat laporan DKK.
Akhir kata, kami sadar bahwa kesempurnaan tidak ada pada manusia. Oleh
sebab itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai
referensi atau perkembangan pengetahuan.
Hormat Kami,
Kelompok 5
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
ISI
2.1 Skenario
1. Sakit berat : kondisi abnormalitas fisiologi suatu individu yang berat ditinjau
dari tanda vital dan kondisi umum pasien dimana keadaan tersebut
mengganggu kegiatan sehari-harinya.
2. Sesak napas : kesulitan bernapas bisa karena kekurangan oksigen atau
kelebihan karbondioksida, atau karena penyumbatan saluran pernapasan
sehingga terjadinya ketidaknyamanan saat bernapas.
3. Batuk berdahak : refleks pertahanan sistem pernapasan tubuh untuk
mengeluarkan mikroorganisme atau benda asing yang masuk berupa mucus
berlebih atau sekret.
2
3. Apakah ada hubungan riwayat menjenguk teman Igbal di rumah sakit dengan
keluhan yang dialami Igbal?
4. Apakah ada hubungan Igbal kurang tidur karena persiapan ujiannya dengan
keluhaan yang dialaminya?
5. Apakah diagnosis sementara Igbal?
6. Pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan?
7. Penatalaksaan apa yang dilakukan?
8. Indikasi apa yang membuat Igbal dirujuk?
9. Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi?
3
4. Ada hubungannya, karena kurang tidur dan kemungkinan stress akibat
persiapan ujian menyebabkan turunnya daya tahan tubuh sehingga mudah
sakit. Jika kurang tidur akan menganggu irama sikardian tubuh yang termasuk
sistem imunitas, dan keadaan psikologis juga dapat terganggu karena stress
yang menyebabkan penurunan hormon kortisol yang berefek pada penurunan
sel β dan sel T sehingga menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
5. Ispa, pneumonia (ada sesak, demam tidak tinggi), bronchitis akut (batuk,
demam ringan, suara napas normal), covid19 (batuk, demam tinggi).
6. Anamesis: keluhan pasien, riwayat pengobatan, pola demam, kebiasaan hidup
(merokok, alkohol), ciri sputum (bernanah, berdarah).
Pemeriksaan fisik : inspeksi (pergerakan dinding dada), palpasi (timpani,
redup, sonor), perkusi dan auskultasi (ronki, wheezing, dll)
Pemeriksaan penunjang : foto thorax, darah lengkap dan sputum
7. Lihat kondisi pasien, bersih kan jalan napas, beri oksigen atau ventilator
untuk sesak nya, untuk demamnya diberi antipiretik,dan bisa berikan edukasi
untuk menjaga kebersihan, mengedukasi pasien tentang etika batuk, mencuci
tangan dan lainnya.
8. Kompetensi dokter atau karena fasilitas yang kurang mamadai.
9. Sepsis, demam rematik
4
2.5 Strukturisasi konsep
Mikroorganisme/agen infeksi
Saluran Napas
Imunitas Menurun
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana
5
2.6 Learning objektif
2.7 Sintesis
6
disebabkan merokok dan vocal abuse dalam jangka waktu lama, bisa juga
diakibatkan alergen refluks laringofaringeal dan dari lanjutan dari ispb.
C. Patogenesis
Suara adalah produksi aliran udara yang berasal dari dalam paru yang
menggetarkan epitel pita suara. Untuk menghasilkan suara yang balk, epitel
kedua pita suara harus berdekatan dan bergetar bersamaan yang disebabkan
aliran udara yang melalui pita suara.
Berbagai etlologi dapat menyebabkan pita suara membengkak dan
mengganggu proses bergetarnya. Dapat pula menyebabkan edema dan
hiperemis dari membran yang melapisi pita suara, Pembengkaran yang terjadi
bukan saja menyebabkan lapisan tersebut menebal, namun juga membuat pita
suara menegang. Keadaan tersebut meningkatkan ambang fonasi untuk
menghasilkan suara, sehingga serin muncul suara serak. Terkadang pasien
tidak dapa melewati ambang fonasi sehingga afonia (tidak ada suara sama
sekali). Selain itu, karena terjadi penyempitan pada saluran napas, maka aliran
udara yang melewati saluran tersebut mengalami turbulensi sehingga
menimbulkan stridor diikuti dengan retraksi dinding dada selama inspirasi.
Laringitis kronik merujuk pada keadaan dimana terdapat proses inflamasi
yang menyebabkan perubahan mukosa laring yang ireversibel. Proses reaktif
terhadap iritan yang ada dapat menetap, sekalípun penyebabnya sudah tidak
ada lagi. Respon epitel yang mungkin terjadi dapat berupa penebalan
(hiperplasia dan hiperkeratosis), edema submukosa dengan infiltrat inflamasi,
dan meningkatnya jumlah kelenjar mukus. Proses inflamasi tersebut yang
merusak epitel silia laring, terutama pada dinding posterior, sehingga aliran
mukus dari batang trakeobronkial terganggu. Stasis mukus pada dinding
posterior laring dan sekitar pita suara, mencetuskan batuk karena pita suara
mempunyai saraf sensoris yang sangat sensitif terhadap rangsangan.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada laringitis akut biasanya didahului dengan demam
yang tidak begitu tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan
batuk ringan. Kondisi ini kemudian akan berkembang menjadi batuk nyaring,
7
suara menjadi parau dan kasar. Gejalasistemik yang menyertai seperti gejala
inflamasi pada umumnya yaitu demam dan malaise. Bila keadaan berat, dapat
terjadi sesak napas, stridor inspiratorik, retraksi dinding dada, obstruksi jalan
napas, dan biasanya bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak akan
terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam.
Durasi kondisi ini sangat bervariasi, namun pada studi yang dilakukan
pada 80 orang dewasa dengan common cold, gejala serak dilaporkan rata-rata
terjadi selama 3 hari. Meskipun beberapa literatur menyebutkan bahwa
laringitis akut merupakan suatu kondisi yang ringan dan dapat sembuh sendiri
(self limitting syndrome), namun laringitis memiliki
morbiditas yang cukup besar.
Obstruksi jalan nafas terjadi apabila ada edema laring diikuti edema
subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada
anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat,
pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang
dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa.
E. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis sesuai gejala klinis
yang timbul. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam, suara serak,
hjdung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang meningkat. Pada
auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali
perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang
menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang
sudah ada sebelumnya.
Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
laringoskopi. Untuk pemeriksaan laring dilakukan dengan laringoskopi
indirek. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema
terutama dibagian atas dan bawah glotis. Namun pada kondisi akut
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena struktur di sekitar daerah laring
mengalami hipersensitivitas. Untuk membantu mengatasi masalah ini maka
dapat digunakan agen anestesi lokal berupa spray xylocaine 4-10%.
8
Setelah mendapatkan visualisasi laring, temuan mukosa yang hiperemis
dan bengkak akan menghalangi pandangan lebih dalam dari laring. Pita suara
vokal akan kehilangan warna putihnya dan membengkak, kadang menutupi
sebagian lumen laring. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti laboratorium
dan radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya sudah dapat
ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Namun bila dilakukan pemeriksaan darah dan ditemukan leukosistosis lebih
dari 20.000 yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi
superinfeksi, misalnya epiglotitis.
F. Tatalaksana
Akut : yang utama adalah mencegah penggunaan suara yang berlebih dan
menghindari iritan
1. Umumnya sembuh sendiri
2. Menghirup udara lembab Menghirup uap dingin dan dapat ditetesi minyak
atsiri/minyak mint bila ada muncul sumbatan di hidung atau penggunaan
larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk
semprotan hidung atau nasal spray.
3. Hindari iritan seperti rokok, makanan pedas, atau minum es
4. Bila perlu berikan kortikosteroid dan anti histamin
5. Bila disertai batuk, berikan mukolitik
6. Antibiotik diberikan bila disertai infeksi dan adanya peradangan paru
sesuai causa
Kronik :
1. Identifikasi penyebab iritan, bila rokok maka dihentikan
2. Tatalaksana penyakit lainnya yang memperberat
3. Pemberian mukolitik dan inhalasi
4. Istirahatkan vocal secara total
G. Komplikasi
Inflamasi pada daerah laring yang hebat dapat menyebabkan obstruksi
saluran napas dan mengancam jiwa sehingga membutuhkan intervensi segera
untuk memastikan patensi jalan napas. Untuk laringitis kronik, gejala iritasi
9
laring dapat menurunkan kualitas hidup, mempengaruhi psikologis, dan
menghambat pekerjaan jika tidak ditangani dengan baik.
H. Prognosis
Laringitis akut biasanya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri dalam 2 – 4
minggu. Akan tetapi ada beberapa faktor yang dapat memperparah penyakit
sehingga dapat meningkatkan risiko kebutuhan intervensi jalan napas
1.2 .A FARINGITIS
Definisi
Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis
sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤ 3
tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus,
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus
Epstein Barr (Epstein Barr virus, EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi
disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan
10
limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak,
Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat
menunjukkan gejala faringitis akut.
11
( Clinical Infectious Diseases 1997;25:574–83 )
Patogenesis
12
sekumpulan besar anak, misalnya pada kelompok anak sekolah, akan
mempertinggi penyebaran penyakit. Rata-rata anak prasekolah mengalami 4−8
episode infeksi saluran respiratori atas setiap tahunnya, sedangkan anak usia
sekolah mengalami 2−6 episode setiap tahunnya.
13
atau keduanya. Infeksi Streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta
penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus
dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung
dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang
pendek, yaitu 24−72 jam.
Manifestasi Klinis
Diagnosis
14
A. Anamnesis
Keluhan Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan, sakit jika menelan
dan batuk. Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan
tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan
sakit pada otot leher.
B. Pemeriksaan Fisik
Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan
tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang
ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.
Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di
bawah mukosa faring dan lateral lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble
stone).
Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi
oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan
pada mukosa faring dan laring.
15
Faringitis luetika tergantung stadium penyakit :
1. Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk
bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah
faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan
pembesaran kelenjar mandibula
2. Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema
yang menjalar ke arah laring.
3. Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
C. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan darah lengkap.
B. Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
C. Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.
Tatalaksana
a. Istirahat cukup
b. Minum air putih yang cukup
c. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik
untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal diberikan Nystatin
100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal
dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras
argentin 25%.
d. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus metisoprinol (isoprenosine)
dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan
pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.
e. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus
group A, diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis
tunggal bila pasien tidak alergi penisilin, atau Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis
16
dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari,
atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari.
f. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3, seperti
Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose.
g. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal harus
diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
Sedangkan, pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari
selama 3-5 hari.
h. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
i. Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan dapat berupa
deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3 hari.
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
teratur.
b. Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
c. Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut
e. Mencuci tangan secara teratur
Kriteria Rujukan
a. Faringitis luetika.
17
b. Timbul komplikasi: epiglotitis, abses peritonsiler, abses retrofaringeal,
septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.
Komplikasi
a. Sinusitis
b. Otitis media
c. Epiglotitis
d. Abses peritonsilar
e. Abses retrofaringeal.
f. Septikemia
g. Meningitis
h. Glomerulonefritis
i. Demam rematik akut
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini bergantung pada jenis dan
komplikasinya.
1.3.A. INFLUENZA
Definisi
suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan yang ditandai oleh demam,
mengigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai dengan pilek, sakit tenggorok
dan batuk non produktif. Lama sakit ini berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya
sembuh sendiri.
Etiologi
18
menyebabkan epidemic. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenesisnya untuk
manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja. Virus penyebab
influenza merupakan suatu orthomyxovirus. Struktur antigenic virus influenza
meliputi antara lain 3 bagian utama yaitu antigen S ( atau soluble antigen ,
hemaglutinin dan neuramidase.
Pathogenesis:
Manifestasi klinis :
Demam
Sakit kepala
Sakit otot
Batuk
Pilek suara serak
Diagnosis:
1. Anamnesis :
Mengalami gejala demam, sakit kepala, myalgia, batuk, pilek, sakit
menelan, suara serak, mudah lelah dan Menanyakan riwayat kontak .Jika
demam >3 hari, leukosit >10.000 kemungkinan terdapat infeksi bakteri
sekunder.
2. Pemeriksaan fisik
19
demam tiba tiba, tidak ada lokasi spesifik.
3. Pem penunjang
Tidak diperlukan. antibody fluorescent influenza tipe A dan pemriksaan
serologis.
Tatalaksana
1.1. B. Pneumonia
Definisi
Klasifikasi pneumonia
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
20
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita
dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised)
Etiologi
Sebagian besar disebabkan oleh infeksi, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh
bahan-bahan lain, sehingga dikenal :
a. Pneumonia lipid
b. Oleh karena aspirasi minyak mineral
c. Pneumonia Kimiawi (Chemical pneumonitis)
21
d. Inhalasi bahan-bahan organik dan anorganik atau uap kimia seperti
berillium.
e. Extrinsic allergic alveolitis
f. Inhalasi bahan debu yang mengandung allergen, seperti spora
aktinomisetes termofilik yang terdapat pada ampas tebu di pabrik gula.
g. Pneumonia karena obat
h. Nitrofurantoin, busulfan, metotreksat
i. Pneumonia karena radiasi
j. Pneumonia dengan penyebab tak jelas;
Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit.
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
22
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse).
Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag. Red hepatization ialah daerah perifer yang
terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas
Diagnosis
23
1. Gambaran klinis
a.Anamnesis
b.Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a.Gambaran radiologis
24
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.
Tatalaksana
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil
uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara
umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat
sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
O Golongan Penisilin
O TMP-SMZ
O Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
O Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
O Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
O Marolid baru dosis tinggi
O Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
O Aminoglikosid
O Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
O Tikarsilin, Piperasilin
25
O Karbapenem : Meropenem, Imipenem
O Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
O Vankomisin
O Teikoplanin
O Linezolid
Hemophilus influenzae
O TMP-SMZ
O Azitromisin
O Sefalosporin gen. 2 atau 3
O Fluorokuinolon respirasi
Legionella
O Makrolid
O Fluorokuinolon
O Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
O Doksisiklin
O Makrolid
O Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
O Doksisikin
O Makrolid
Fluorokuinolon
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi :
• Efusi pleura.
• Empiema.
• Abses Paru.
• Pneumotoraks.
• Gagal napas.
• Sepsis
26
Prognosis
Definisi
Etiologi
Manifestasi Klinis
Pada kelompok pertama gejalanya hampir mirip sama dengan pneumoni ringan,
yaitu batuk batuk dengan dahak muko-purulen, peningkatan suhu badan yang
belum terlalu tinggi, dapat disertai sesak nafas ringan. Pada bronchitis akut ini
yang pertama tama dikeluhkan adalah peningkatan akut frekuensi batuk dan
jumlahnya dahak. Sifat dahaknya juga mengalami perubahan menjadi lebih keruh
berwarna kekuningan sampai kehijau-hijauan dapat atau tanpa disertai dengan
nanah atau bau busuk
Diagnosis
Anamnesis : Keluhan utama berupa batuk dengan frekuensi yang meningkat dan
perubahan warna dahak, sesak nafas, demam.
Pemeriksaan Fisik : Pada auskultasi dapat terdengar adanya ronki basah dan
wheezing yang tersebar disana sini dikedua paru.
Pemeriksaan penunjang :
27
Foto Thorax : Tidak didapatkan tanda tanda infiltrate
Sputum Pengecatan gram : banyak didapatkan lekosit PMN dan mungkin pula
bakteri.
Tatalaksana
A. DEFINISI
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus/nekrotik debris) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang
disebabkan oleh infeksi mikroba.
B. ETIOLOGI
28
1. Kelompok bakteri anaerob merupakan etiologi terbanyak abses paru (bisa
mencapai 89%) terutama pada orang immunocompetent dan biasanya
diakibatkan oleh pneumonia aspirasi.
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Prevotella melaninogenica
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilic streptococcus
- Clostridium perfringens
- Clostridium barati
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85-100% dari
spesimen yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus microaerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumonia
- Streptococcus viridans
29
- Streptococcus milleri
- Klebsiella pneumonia
- Pseudomonas aeruginosa
- Escherichia coli
- Haemophilus Influenza
- Actinomyces Species
- Nocardia Species
3. Kelompok non bakteri dan bakteri atipik, biasanya dijumpai pada orang
dengan immunocompromised
C. PATOGENESIS
30
abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda
asing, tumor dan striktur bronkial.
Abses akibat aspirasi ini banyak terjadi pada pasien bronkitis kronis
karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan
media kultur yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Nekrosis
jaringan dengan pembentukan abses paru membutuhkan waktu 1-2 minggu
setelah terjadinya aspirasi. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada
segmen posterior lobus atas kanan disusul dengan lobus atas kiri dan segmen
apikal/superior lobus bawah kanan atau kiri. Abses paru sering terjadi pada
parukanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri, walaupun
posisi tubuh saat aspirasi juga menentukan letak abses. Pada perokok usia
lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses
paru. Pada pasien berumur lebih dari 50 tahun, 50% abses paru ada
hubungannya dengan keganasan paru akibat terjadinya obstruksi saluran
napas.
31
Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa milimeter sampai
dengan lima sentimeter atau lebih.
Selain itu abses paru biasanya timbul setelah terjadi peradangan yang
mengakibatkan nekrosis jaringan dan kavitasi, terjadi akibat necrotizing
pneumonia dan ganggren paru yang menyebabkan terjadinya nekrosis dan
pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan organisme
virulen sebagai penyebab, paling sering ialah Staphylococcus aureus,
Klebsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya
multipel dan berukuran kecil-kecil.
Bula atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru.
Kista bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan
media kultur untuk tumbuhnyamikroorganisme. Bila kista tersebut
mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah
abses paru. Abses hepar bakteri atau amebik bisa mengalami ruptur dan
menembus diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah
paru kanan dan rongga pleura. Abses paru biasanya satu (tunggal), tapi bisa
multipel yang biasanya unilateral pada satu paru yang terjadi pada pasien
dengan keadaan umum yang jelek atau pasien yang mengalami penyakit
menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunologis yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika.
D. FAKTOR RISIKO
1. Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi :
32
- Gangguan kesadaran : Alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan
serebrovaskular, anestesi umum, penyakit susunan syaraf pusat,
penyalahgunaan obat intravena, koma, trauma, sepsis
- Fistula trakeoesopageal
- Kartagener’s syndrome
- Disfagi
3. Sebab-sebab iatrogenic
4. Penyakit-penyakit periodontal
5. Kebersihan mulut yang buruk
6. Pencabutan gigi
7. Pneumonia akut
8. Immunosupresi
9. Bronkiektasis
10. Kanker paru
11. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV
yang terkena abses paru pada umumnya mempunyai status
immunocompromised yang sangat jelek (kadar CD4 <50/mm 3 ), dan
kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.
E. MANIFESTASI KLINIS
33
keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu
tubuh mencapai 39,4ºC atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan
adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi purulen dan bisa
mengandung darah.
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
34
bisa didapatkan keluhan nyeri dada dan batuk darah ringan sampai
dengan masif.
2. Pemeriksaan Fisik
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi
piotoraks (empyema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan
pergerakan dinding dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vokal
menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi napas menghilang dan terdapat
tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung ke
arah kontra lateral tempat lesi. Pada abses paru bisa dijumpai jari tabuh,
yang proses terjadinya berlangsung cepat.
3. Laboratorium
35
tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons terhadap antibiotika tidak
adekuat.
4. Bronkoskopi
5. Radiologi
36
Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi
dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya
menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru, atau
hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat.
Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat
yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga
terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka baru
akan tampak kavitas irregular dengan dinding tebal dikelilingi oleh
infiltrat/konsolidasi dan sering ditemukan gambaran batas cairan dan
permukaan udara (air fluid level) di dalamnya. Gambaran spesifik ini
tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi
berdiri.
37
cocciodomycosis dan infeksi jamur pada paru, bula atau kista udara yang
mengalami infeksi, perlunakan/skuesterisasi paru, nodul silikat dengan
sianosis sentral, abses hepar atau subfrenik akibat amuba atau hidatid
yang menembus ke bronkus dan Wagener’s granulomatosis. Pemeriksaan
diagnostik secara seksama seperti yang disebutkan di atas harus
dilakukan untuk membedakannya dari abses paru biasa (simpel). Klinisi
harus tetap waspada bahwa kavitas paru yang ada bukan suatu abses
paru.
G. TATALAKSANA
38
Antibiotika yang paling baik adalah klindamisin oleh karena
mempunyai spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob. Respon
perbaikan didapatkan dengan klindamisin yang diberikan mula-mula dengan
dosis 3 x 600 mg intravena sampai dengan terjadi perbaikan, kemudian 4 x
300 mg oral/hari atau diberikan amoksisilin asam klavulanat 2 x 875 mg.
Regimen alternatif adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang
memberikan sampai dengan 25 juta unit atau lebih/hari dikombinasikan
dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan dengan penisilin oral 4 x 500-750
mg/hari.
Antibiotika parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi dan
merasa sudah baikan yaitu dengan memberikan klindamisin 300-600 mg
3x/hari atau flagyl 3 x 500 mg/hari. Kombinasi penisilin (amoksisilin 500 mg
3x/hari atau penisilin G, 1-2 juta unit 4-6x/hari, bisa sampai dengan 12-18
juta unit/hari) dan metronidazol 2 gram/hari dengan dosis terbagi, 500 mg
oral atau intravena tiap 2-3x/hari (untuk penyebab bakteri anaerob) yang
diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan klindamisin,
walaupun begitu harus diingat bahwa beberapa bakteri anaerob (15-25%),
seperti Prevotella, Bakteriodes Spp. dan Fusobacterium karena memproduksi
penisilinase dan beta-laktamase, resisten terhadap penisilin. Kombinasi β-
laktam dan β-laktamase inhibitor seperti tikarkilin klavulanat, amoksisilin +
asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif terhadap
kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram negatif.
39
beberapa anaerobic cocci dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah
resisten sehingga didapatkan kegagalan pengobatan mencapai 50%.
40
hari, menunjukkan kegagalan pengobatan. Pada kasus ini bila diperiksa lebih
lanjut akan ditemukan adanya obstruksi bronkus oleh benda asing, neoplasma
atau disebabkan infeksi bakteri yang resisten, mikobakteria, parasit atau
jamur. Respons yang lambat atau tidak respons sama sekali juga bisa
dijumpai pada beberapa keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih dari 6 cm),
keadaan umum pasien yang jelek, seleksi antimikroba yang salah, diagnosa
salah, ada empiema, abses yang memerlukan drainase, komplikasi pada organ
yang jauh seperti abses otak dan demam obat.
41
4. Infark paru, nekrosis masif (ganggren paru) atau infeksi yang berkembang
cepat dan progresif.
Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien
immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan
reseksi paru dengan segera disamping pemberian antibiotika. Reseksi paru
juga diindikasikan pada abses paru yang responnya minimal dengan
antibiotika, abses paru dengan ukuran yang besar (kavitas >8 cm), infark
paru, neoplasma obstruksi dan perdarahan masif. Lobektomi merupakan
prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental biasanya cukup
untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel
atau ganggren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan.
Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5-10%. Pasien dengan
risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan drainase
perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke
dalam rongga pleura.
42
lakukan Kewaspadaan Standar saat memberikan pelayanan kepada pasien,
baik diagnosisnya confirm atau pun suspek. Tindakan Kewaspadaan Standar
adalah langkah dasar pencegahan dan pengendalian infeksi dalam pelayanan
kesehatan dan harus selalu dilakukan saat memberikan pelayanan kepada
pasien.
Unsur utama Kewaspadaan Standar:
- kebersihan tangan;
- penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghindari kontak dengan
cairan tubuh pasien dan kulit yang tidak utuh;
- kebersihan pernapasan dan etika batuk;
- pencegahan luka tusukan jarum atau benda tajam lainnya;
- pengelolaan limbah; dan
- pembersihan dan disinfeksi lingkungan dan peralatan.
43
saat melakukan prosedur tertentu, seperti prosedur yang dapat menimbulkan
aerosol
Upayakan Ventilasi pada lingkungan pasien untuk mengurangi risiko
penularan penyakit melalui aerosol pernapasan
Tindakan pencegahan utama ISPA adalah menerapkan perilaku hidup bersih dan
sehat. Beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
44
napas yang merupakan jalan masuk udara terganggu, serta bisa disertai
demam tergantung pada mikroba penyebab.
ISPA bawah yang kami bahas di topik kali ini pneumoni, bronkitis,
bronkiolitis dan abses paru. Pemeriksaan penunjang untuk memastikan
diagnosis adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang baik itu pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan
radiologi. Tatalaksana yang diberikan menggunakan terapi suportif dan
kausal, pemberian antibiotik disesuaikan dengan bakteri penyebab
gangguan tersebut.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
45
Menteri Kesehatan RI, 2014. PERMENKES No. 5 Tahun 2014 Tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. VI. Jakarta : Interna Publishing. 2014
46