Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK XIII KELAINAN TORAKS


MODUL 1 BATUK

Irma Novalin Wandik 1610015019


Annisa Salsabila 1610015046
Risky Rahmatillah 1610015051
Dewi Tya Claudya 1610015071
Rini Wahidatul Ulpah 1810015010
Rashieka Zafirah 1810015026
Tia Noviandri 1810015034
M. Aidil Aulia Ramadhan 1810015042
Ajril Ihza Firdaus 1810015045
M. Shaifullah 1810015047
Ilda Noviyanti 1810015053
Alda Puspa Pertiwi 1810015057
Hannisa Nuur Ash Shamad 1810015058
Nur Hakiki Muslimin 1810015075

Disusun Oleh : Kelompok 5

Tutor :

dr. Muhammad Buchori, M. Sc., Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
terselesaikannya laporan DKK (Diskusi Kelompok Kecil) mengenai Kelainan
Thoraks. Laporan ini dibuat sesuai dengan gambaran jalannya proses DKK kami,
lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang disepakati oleh
kelompok kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
kami dalam proses pembuatan laporan DKK ini. Pertama, kami berterima kasih
kepada dr. Muhammad Buchori, M. Sc., Sp. A selaku tutor kami yang telah
dengan sabar menuntun kami selama proses DKK. Terima kasih pula kami
ucapkan atas kerja sama rekan sekelompok di Kelompok 5. Tidak lupa juga kami
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam mencari
informasi maupun membuat laporan DKK.
Akhir kata, kami sadar bahwa kesempurnaan tidak ada pada manusia. Oleh
sebab itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai
referensi atau perkembangan pengetahuan.

Hormat Kami,

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i


Daftar Isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat................................................................................... 1
BAB II ISI
2.1. Skenario .................................................................................................... 2
2.2. Identifikasi Istilah...................................................................................... 2
2.3. Identifikasi Masalah................................................................................... 2
2.4. Analisis Masalah........................................................................................ 3
2.5. Kerangka Konsep....................................................................................... 5
2.6. Learning Objective.................................................................................... 6
2.7. Sintesis...................................................................................................... 6
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 44
3.2. Saran ......................................................................................................... 44
Daftar Pustaka .................................................................................................. 45

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup selalu bernapas untuk memenuhi


kebutuhan oksigen. Bernapas merupakan suatu proses pengambilan oksigen
dari lingkungan dan pengeluaran karbondioksida dari dalam tubuh dimana
yang menjalankan fungsi tersebut yaitu sistem respirasi. Saluran pernapasan
yang merupakan bagian sistem respirasi ini selalu berhubungan dengan dunia
luar sehingga sistem ini rentan untuk berhubungan dengan partikel asing,
substansi-substansi yang mungkin dapat merugikan bagi tubuh kita seperti
mikroorganisme patogen maupun lainnya.
Sistem respirasi kita memiliki pertahanan alami untuk menjaga agar udara
yang masuk tetap bersih sampai ke paru, misalnya melalui refleks bersin dan
batuk jika benda asing masuk ke saluran pernapasan, hingga pengeluaran
mukus oleh sel goblet di lapisan mukosa saluran pernapasan untuk
mengeluarkan benda asing. Begitu juga kerja silia untuk membersihkan benda
asing dengan mendorongnya keluar.
Namun ada kalanya sistem pertahanan tubuh tidak mampu mengatasi
serangan dari bakteri, virus, maupun benda asing lainnya, sehingga bisa
menyebabkan penyakit baik itu peradangan maupun infeksi pada saluran
pernapasan yang mana sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di
masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi mahasiswa kedokteran untuk
mempelajari dan memahami penyakit-penyakit tersebut.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat dari modul ini adalah :
Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis,
tatalaksana dari berbagai penyakit berikut yaitu Infeksi saluran pernapasan
meliputi pneumonia, bronchitis, bronkiolitis, serta abses paru.

1
BAB II
ISI

2.1 Skenario

Demam Tingi dan Sesak


Iqbal (20 thn) datang berobat ke Puskesmas karena batuk berdahak, yang
dialami sejak 2 hari yang lalu disertai dengan demam dan sulit bernapas.
Sebelumnya Iqbal mengunjungi temannya di Rumah Sakit yang sedang dirawat
karena sesak napas. Selain itu beberapa hari terakhir ini Iqbal kurang tidur karena
belajar sampai larut untuk persiapan ujian akhir semester. Hasil pemeriksaan fisik,
keadaan umm tampak sakit berat, sesak napas disertai batuk, T : 110/80 mmHg, N
: 100 x/menit, RR : 32 x/menit, Suhu : 40,1 0C.
Karena tampak sakit berat akhirnya dokter puskesmas merujuk Iqbal ke Rumah
Sakit.

2.2 Identifikasi Istilah

1. Sakit berat : kondisi abnormalitas fisiologi suatu individu yang berat ditinjau
dari tanda vital dan kondisi umum pasien dimana keadaan tersebut
mengganggu kegiatan sehari-harinya.
2. Sesak napas : kesulitan bernapas bisa karena kekurangan oksigen atau
kelebihan karbondioksida, atau karena penyumbatan saluran pernapasan
sehingga terjadinya ketidaknyamanan saat bernapas.
3. Batuk berdahak : refleks pertahanan sistem pernapasan tubuh untuk
mengeluarkan mikroorganisme atau benda asing yang masuk berupa mucus
berlebih atau sekret.

2.3 Identifikasi masalah

1. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik pada skenario?


2. Bagaimana mekanisme terjadinya batuk berdahak, demam, dan sesak napas?

2
3. Apakah ada hubungan riwayat menjenguk teman Igbal di rumah sakit dengan
keluhan yang dialami Igbal?
4. Apakah ada hubungan Igbal kurang tidur karena persiapan ujiannya dengan
keluhaan yang dialaminya?
5. Apakah diagnosis sementara Igbal?
6. Pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan?
7. Penatalaksaan apa yang dilakukan?
8. Indikasi apa yang membuat Igbal dirujuk?
9. Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi?

2.4 Analisa masalah

1. Tekanan normal 110/80, nadi normal 100x/menit (60-100x/menit) , rr


meningkat 32x/menit (12-20x/menit), suhu meningkat 40,10 C (36,50 C – 37,50
C).
2. Demam : terjadi karena ada nya peradangan – pelepasan pyrogen endogen –
asam arakidonat – prostaglandin - peningkatkan set point – peningkatan
produksi panas dan penurunan pengeluaran panas sehingga terjadinya
demam.
Batuk berdahak : batuk merupakan mekanisme normal yang bertujuan untuk
mengeluarkan benda asing, ada nya rangsangan pada saluran napas. Terjadi
ketika inspirasi penuh – penutupan epiglotis dan pita suara – kontraksi otot
abdomen - peningkatan tekanan paru-paru - epiglotis dan pita suara terbuka
secara mendadak sehingga terjadi batuk.
Sesak napas : terjadi akibat paru-paru terisi cairan eksudat, akibat sumbatan
jalan napas, atau perubahan fungsi paru

3. Kemungkinan ada hubungan, karena Igbal mengunjungi temannya yang sakit


yang juga menderita sesak napas sehingga kemungkinan Igbal terpapar
pathogen secara langsung atau tidak ketika ia berkunjung ke rumah sakit,
sesak napas bisa terjadi karena banyak hal.

3
4. Ada hubungannya, karena kurang tidur dan kemungkinan stress akibat
persiapan ujian menyebabkan turunnya daya tahan tubuh sehingga mudah
sakit. Jika kurang tidur akan menganggu irama sikardian tubuh yang termasuk
sistem imunitas, dan keadaan psikologis juga dapat terganggu karena stress
yang menyebabkan penurunan hormon kortisol yang berefek pada penurunan
sel β dan sel T sehingga menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
5. Ispa, pneumonia (ada sesak, demam tidak tinggi), bronchitis akut (batuk,
demam ringan, suara napas normal), covid19 (batuk, demam tinggi).
6. Anamesis: keluhan pasien, riwayat pengobatan, pola demam, kebiasaan hidup
(merokok, alkohol), ciri sputum (bernanah, berdarah).
Pemeriksaan fisik : inspeksi (pergerakan dinding dada), palpasi (timpani,
redup, sonor), perkusi dan auskultasi (ronki, wheezing, dll)
Pemeriksaan penunjang : foto thorax, darah lengkap dan sputum
7. Lihat kondisi pasien, bersih kan jalan napas, beri oksigen atau ventilator
untuk sesak nya, untuk demamnya diberi antipiretik,dan bisa berikan edukasi
untuk menjaga kebersihan, mengedukasi pasien tentang etika batuk, mencuci
tangan dan lainnya.
8. Kompetensi dokter atau karena fasilitas yang kurang mamadai.
9. Sepsis, demam rematik

4
2.5 Strukturisasi konsep

Mikroorganisme/agen infeksi

Saluran Napas
Imunitas Menurun

Keluhan : demam, batuk, sesak

Pemeriksaan Fisik

Diagnosis

Pemeriksaan Penunjang

Infeksi SPA : Infeksi SPB :

 Laringitis  Bronkitis akut


 Faringitis  Pneumonia
 Influenza  Abses paru

Tatalaksana

5
2.6 Learning objektif

1. Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan definisi, etiologi,


patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi prognosis dari
a. Infeksi SPA
- Laringitis
- Faringitis
- Influenza
b. Infeksi SPB
- Pneumonia
- Bronkhitis akut
- Abses paru

2. Pencegahan infeksi pada saluran pernapasan

2.7 Sintesis

1. Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan definisi, etiologi,


patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi
prognosis dari :
a. Infeksi SPA :Laringitis, Faringitis, Influenza
b. Infeksi SPB :Pneumonia, Bronkhitis akut, abses
parularyngitis, faringitis dan influenza
1.1 A. LARINGITIS
A. Definisi
Merupakan kondisi peradangan di daerah laring dan mukosa pita suara
yang disebabkan oleh penggunaan suara yang berlebih dan infeksi. Dibagi jadi
2, akut (kurang dari 3 minggu) dan kronis (lebih dari 3 minggu)
B. Etiologi
Laringitis akut disebabkan oleh penggunaan suara berlebihan jangka
pendek dan infeksi (berupa rhinovirus, virus parainfluenza, adenovirus, virus
measless, mumps, dan varicella zooster). Laringitis kronis paling sering

6
disebabkan merokok dan vocal abuse dalam jangka waktu lama, bisa juga
diakibatkan alergen refluks laringofaringeal dan dari lanjutan dari ispb.
C. Patogenesis
Suara adalah produksi aliran udara yang berasal dari dalam paru yang
menggetarkan epitel pita suara. Untuk menghasilkan suara yang balk, epitel
kedua pita suara harus berdekatan dan bergetar bersamaan yang disebabkan
aliran udara yang melalui pita suara.
Berbagai etlologi dapat menyebabkan pita suara membengkak dan
mengganggu proses bergetarnya. Dapat pula menyebabkan edema dan
hiperemis dari membran yang melapisi pita suara, Pembengkaran yang terjadi
bukan saja menyebabkan lapisan tersebut menebal, namun juga membuat pita
suara menegang. Keadaan tersebut meningkatkan ambang fonasi untuk
menghasilkan suara, sehingga serin muncul suara serak. Terkadang pasien
tidak dapa melewati ambang fonasi sehingga afonia (tidak ada suara sama
sekali). Selain itu, karena terjadi penyempitan pada saluran napas, maka aliran
udara yang melewati saluran tersebut mengalami turbulensi sehingga
menimbulkan stridor diikuti dengan retraksi dinding dada selama inspirasi.
Laringitis kronik merujuk pada keadaan dimana terdapat proses inflamasi
yang menyebabkan perubahan mukosa laring yang ireversibel. Proses reaktif
terhadap iritan yang ada dapat menetap, sekalípun penyebabnya sudah tidak
ada lagi. Respon epitel yang mungkin terjadi dapat berupa penebalan
(hiperplasia dan hiperkeratosis), edema submukosa dengan infiltrat inflamasi,
dan meningkatnya jumlah kelenjar mukus. Proses inflamasi tersebut yang
merusak epitel silia laring, terutama pada dinding posterior, sehingga aliran
mukus dari batang trakeobronkial terganggu. Stasis mukus pada dinding
posterior laring dan sekitar pita suara, mencetuskan batuk karena pita suara
mempunyai saraf sensoris yang sangat sensitif terhadap rangsangan.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada laringitis akut biasanya didahului dengan demam
yang tidak begitu tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan
batuk ringan. Kondisi ini kemudian akan berkembang menjadi batuk nyaring,

7
suara menjadi parau dan kasar. Gejalasistemik yang menyertai seperti gejala
inflamasi pada umumnya yaitu demam dan malaise. Bila keadaan berat, dapat
terjadi sesak napas, stridor inspiratorik, retraksi dinding dada, obstruksi jalan
napas, dan biasanya bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak akan
terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam.
Durasi kondisi ini sangat bervariasi, namun pada studi yang dilakukan
pada 80 orang dewasa dengan common cold, gejala serak dilaporkan rata-rata
terjadi selama 3 hari. Meskipun beberapa literatur menyebutkan bahwa
laringitis akut merupakan suatu kondisi yang ringan dan dapat sembuh sendiri
(self limitting syndrome), namun laringitis memiliki
morbiditas yang cukup besar.
Obstruksi jalan nafas terjadi apabila ada edema laring diikuti edema
subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada
anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat,
pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang
dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa.
E. Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis sesuai gejala klinis
yang timbul. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam, suara serak,
hjdung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang meningkat. Pada
auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali
perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang
menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang
sudah ada sebelumnya.
Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
laringoskopi. Untuk pemeriksaan laring dilakukan dengan laringoskopi
indirek. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema
terutama dibagian atas dan bawah glotis. Namun pada kondisi akut
pemeriksaan ini sulit dilakukan karena struktur di sekitar daerah laring
mengalami hipersensitivitas. Untuk membantu mengatasi masalah ini maka
dapat digunakan agen anestesi lokal berupa spray xylocaine 4-10%.

8
Setelah mendapatkan visualisasi laring, temuan mukosa yang hiperemis
dan bengkak akan menghalangi pandangan lebih dalam dari laring. Pita suara
vokal akan kehilangan warna putihnya dan membengkak, kadang menutupi
sebagian lumen laring. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti laboratorium
dan radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya sudah dapat
ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Namun bila dilakukan pemeriksaan darah dan ditemukan leukosistosis lebih
dari 20.000 yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi
superinfeksi, misalnya epiglotitis.
F. Tatalaksana
Akut : yang utama adalah mencegah penggunaan suara yang berlebih dan
menghindari iritan
1. Umumnya sembuh sendiri
2. Menghirup udara lembab Menghirup uap dingin dan dapat ditetesi minyak
atsiri/minyak mint bila ada muncul sumbatan di hidung atau penggunaan
larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk
semprotan hidung atau nasal spray.
3. Hindari iritan seperti rokok, makanan pedas, atau minum es
4. Bila perlu berikan kortikosteroid dan anti histamin
5. Bila disertai batuk, berikan mukolitik
6. Antibiotik diberikan bila disertai infeksi dan adanya peradangan paru
sesuai causa
Kronik :
1. Identifikasi penyebab iritan, bila rokok maka dihentikan
2. Tatalaksana penyakit lainnya yang memperberat
3. Pemberian mukolitik dan inhalasi
4. Istirahatkan vocal secara total
G. Komplikasi
Inflamasi pada daerah laring yang hebat dapat menyebabkan obstruksi
saluran napas dan mengancam jiwa sehingga membutuhkan intervensi segera
untuk memastikan patensi jalan napas. Untuk laringitis kronik, gejala iritasi

9
laring dapat menurunkan kualitas hidup, mempengaruhi psikologis, dan
menghambat pekerjaan jika tidak ditangani dengan baik.
H. Prognosis
Laringitis akut biasanya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri dalam 2 – 4
minggu. Akan tetapi ada beberapa faktor yang dapat memperparah penyakit
sehingga dapat meningkatkan risiko kebutuhan intervensi jalan napas

1.2 .A FARINGITIS

Definisi

Istilah faringitis digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada


faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari.
Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain
di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang
terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis
secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi pada
daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok.

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh


virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap
tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena
faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi
virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis.

Etiologi

Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis
sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus
merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤ 3
tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus,
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus
Epstein Barr (Epstein Barr virus, EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi
disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan

10
limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak,
Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan berbagai virus lainnya juga dapat
menunjukkan gejala faringitis akut.

Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak


faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% (di luar
kejadian epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada
dewasa hanya sekitar 5−10% kasus. Streptokokus Grup A biasanya bukan
merupakan penyebab yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah
dilaporkan terjadi outbreak di tempat penitipan anak (day care).

Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat


menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan
Skandinavia pernah dilaporkan infeksi Arcobacterium haemolyticum. Beberapa
bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi infeksi virus
(copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi biasanya bukan
merupakan penyebab dari faringitis/tonsilofaringitis akut. Beberapa bakteri
tersebut adalah Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis, Bacteroides fragilis, Bacteroides oralis, Bacteroides
melaninogenicus, spesies Fusobacterium, dan spesies Peptostreptococcus.

Mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis dapat dilihat pada Tabel


berikut :

11
( Clinical Infectious Diseases 1997;25:574–83 )

Patogenesis

Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak


langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan
benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang
kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan. Penyebaran SBHGA
memerlukan pejamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat. Infeksi
jarang terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, mungkin karena kurang
kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel. Infeksi pada toddlers paling sering
melibatkan nasofaring atau kulit (impetigo). Remaja biasanya telah mengalami
kontak dengan organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh
karena itu infeksi SBHGA lebih jarang pada kelompok ini. Kontak erat dengan

12
sekumpulan besar anak, misalnya pada kelompok anak sekolah, akan
mempertinggi penyebaran penyakit. Rata-rata anak prasekolah mengalami 4−8
episode infeksi saluran respiratori atas setiap tahunnya, sedangkan anak usia
sekolah mengalami 2−6 episode setiap tahunnya.

Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, di antara penyebab bakteri


tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptokokus grup C dan D
telah terbukti dapat menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan
makanan (foodborne) dan air (waterborne) yang terkontaminasi. Pada beberapa
kasus dapat menyebabkan glomerulonefritis akut (GNA). Organisme ini mungkin
juga dapat menyebabkan kasus-kasus faringitis sporadik yang menyerupai
faringitis SBHGA, tetapi kurang berat. Streptokokus grup C dan D lebih sering
terjadi pada dewasa.

Arcanobacterium hemolyticum relatif jarang menyebabkan faringitis dan


tonsilitis akut, tetapi sering menyerupai faringitis Streptokokus. Penyakit ini
cenderung terjadi pada remaja dan dewasa muda. Saat ini faringitis difteri jarang
ditemukan di negara maju. Penyakit ini terutama terjadi pada anak yang tidak
diimunisasi dan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah. Infeksi
mononukleosis disebabkan oleh EBV, anggota dari famili Herpesviridae, dan
sebagian besar terjadi pada anak berusia 15−24 tahun. Frekuensi kejadian
faringitis Mycoplasma pneumoniae masih belum jelas.

Chlamydia pneumoniae menyebabkan faringitis baik sebagai suatu


sindrom tersendiri, bersamaan dengan pneumonia, atau mendahului pneumonia.
Apabila tidak terdapat penyakit saluran respiratori-bawah, biasanya tidak
teridentifikasi. Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa
faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil,

13
atau keduanya. Infeksi Streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta
penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus
dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung
dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang
pendek, yaitu 24−72 jam.

Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada


mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan
tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan
sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:

A. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis


dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai
rinorea dan mual.
B. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
C. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
D. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan
akhirnya batuk yang berdahak.
E. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta
mulut berbau.
F. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan
pengobatan bakterial non spesifik.
G. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat
hubungan seksual.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang bila diperlukan.

14
A. Anamnesis
Keluhan Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan, sakit jika menelan
dan batuk. Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan
tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan
sakit pada otot leher.

B. Pemeriksaan Fisik
 Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
 Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan
tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang
ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada
penekanan.
 Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
 Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di
bawah mukosa faring dan lateral lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble
stone).
 Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi
oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
 Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan
pada mukosa faring dan laring.

15
 Faringitis luetika tergantung stadium penyakit :
1. Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk
bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah
faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan
pembesaran kelenjar mandibula
2. Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema
yang menjalar ke arah laring.
3. Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
C. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan darah lengkap.
B. Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
C. Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.

Tatalaksana

a. Istirahat cukup
b. Minum air putih yang cukup
c. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik
untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal diberikan Nystatin
100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal
dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras
argentin 25%.
d. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus metisoprinol (isoprenosine)
dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan
pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.
e. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus
group A, diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis
tunggal bila pasien tidak alergi penisilin, atau Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis

16
dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari,
atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari.
f. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3, seperti
Ceftriakson 2 gr IV/IM single dose.
g. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal harus
diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
Sedangkan, pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari
selama 3-5 hari.
h. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
i. Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan dapat berupa
deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3 hari.

Konseling dan Edukasi

Memberitahu pasien dan keluarga untuk:

a. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga
teratur.
b. Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
c. Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut
e. Mencuci tangan secara teratur

Pemeriksaan penunjang lanjutan (bila diperlukan)

a. Kultur resistensi dari swab tenggorok.


b. GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi
bakteri streptococcus group A

Kriteria Rujukan

a. Faringitis luetika.

17
b. Timbul komplikasi: epiglotitis, abses peritonsiler, abses retrofaringeal,
septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu sebagai berikut :

a. Sinusitis
b. Otitis media
c. Epiglotitis
d. Abses peritonsilar
e. Abses retrofaringeal.
f. Septikemia
g. Meningitis
h. Glomerulonefritis
i. Demam rematik akut

Prognosis

Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini bergantung pada jenis dan
komplikasinya.

1.3.A. INFLUENZA

Definisi

suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan yang ditandai oleh demam,
mengigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai dengan pilek, sakit tenggorok
dan batuk non produktif. Lama sakit ini berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya
sembuh sendiri.

Etiologi

virus influenza terbagi 3 tipe yaitu A, B, C. ketiga tipe ini dapat


dibedakan dengan complement fixation test. Tipe B biaanya menyebabkan
penyakit lebih ringan daripada tipe A dan kadang- kadang saja sampai

18
menyebabkan epidemic. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenesisnya untuk
manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja. Virus penyebab
influenza merupakan suatu orthomyxovirus. Struktur antigenic virus influenza
meliputi antara lain 3 bagian utama yaitu antigen S ( atau soluble antigen ,
hemaglutinin dan neuramidase.

Pathogenesis:

Penularan virus influenza bergantung pada ukuran partikel ( droplet) yang


membawa virus tersebut masuk kedalam saluran pernapasan.dosis infeksius 10
virus/ droplet , jadi 50 % orang yang terserang dosis ini akan menderita influenza.
Transmisi virus influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya di Traktus
respiratorius. Virus ini akan melekat pada epitel sel dihidung dan bronkus.
Setelah virus ini berhasil menerobos masuk kedalam sel, beberapa jam sudah
mengalami replikasi partikel –partikel virus baru ini kemudian akan
menggabungkan diri dekat permukaan sel dan langsung dapat meninggalkan sel
untuk pindah ke sel lain.

Manifestasi klinis :

 Demam
 Sakit kepala
 Sakit otot
 Batuk
 Pilek suara serak

Diagnosis:

1. Anamnesis :
Mengalami gejala demam, sakit kepala, myalgia, batuk, pilek, sakit
menelan, suara serak, mudah lelah dan Menanyakan riwayat kontak .Jika
demam >3 hari, leukosit >10.000 kemungkinan terdapat infeksi bakteri
sekunder.
2. Pemeriksaan fisik

19
demam tiba tiba, tidak ada lokasi spesifik.
3. Pem penunjang
Tidak diperlukan. antibody fluorescent influenza tipe A dan pemriksaan
serologis.

Tatalaksana

1.  Istirahat yang cukup


2. Obat oseltamivir 2 x 75 mg sehari selama 5 hari
3. Zanamivir dapat diberikan local secara inhalasi.

Komplikasi dan prognosis

Komplikasi pada influenza biasanya terjadi karena adanya penyakit lain


yang menyertai influenza atau karena kondisi imunitas seseorang yang kurang
baik.  Prognosis untuk influenza tergantung pada pengembangan komplikasi,
dengan komplikasi seperti pneumonia membawa prognosis yang buruk.

1.1. B. Pneumonia

Definisi

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

Klasifikasi pneumonia
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.

20
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita
dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi


dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :
pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi
bronkus
c. Pneumonia interstisial

Etiologi
Sebagian besar disebabkan oleh infeksi, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh
bahan-bahan lain, sehingga dikenal :

a. Pneumonia lipid
b. Oleh karena aspirasi minyak mineral
c. Pneumonia Kimiawi (Chemical pneumonitis)

21
d. Inhalasi bahan-bahan organik dan anorganik atau uap kimia seperti
berillium.
e. Extrinsic allergic alveolitis
f. Inhalasi bahan debu yang mengandung allergen, seperti spora
aktinomisetes termofilik yang terdapat pada ampas tebu di pabrik gula.
g. Pneumonia karena obat
h. Nitrofurantoin, busulfan, metotreksat
i. Pneumonia karena radiasi
j. Pneumonia dengan penyebab tak jelas;

Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit.

Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan


mikroorganisme untuk sampai danmerusak permukaan epitel saluran napas. Ada
beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini

22
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse).

Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,


sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama
dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak
di temukan jenis mikroorganisme yang sama.

Patologi

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :

1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag. Red hepatization ialah daerah perifer yang
terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas

Diagnosis

23
1. Gambaran klinis
a.Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh


meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

b.Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

2. Pemeriksaan penunjang
a.Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk


menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
b.Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya


lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis

24
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.

Tatalaksana
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil
uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara
umum pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat
sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
O Golongan Penisilin
O TMP-SMZ
O Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
O Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
O Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
O Marolid baru dosis tinggi
O Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
O Aminoglikosid
O Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
O Tikarsilin, Piperasilin

25
O Karbapenem : Meropenem, Imipenem
O Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
O Vankomisin
O Teikoplanin
O Linezolid
Hemophilus influenzae
O TMP-SMZ
O Azitromisin
O Sefalosporin gen. 2 atau 3
O Fluorokuinolon respirasi
Legionella
O Makrolid
O Fluorokuinolon
O Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
O Doksisiklin
O Makrolid
O Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
O Doksisikin
O Makrolid
Fluorokuinolon
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi :
• Efusi pleura.
• Empiema.
• Abses Paru.
• Pneumotoraks.
• Gagal napas.
• Sepsis

26
Prognosis

Baik, jika ditangani dengan cepat dan tepat.

1.2.B. BRONKHITIS AKUT

Definisi

Peradangan yang terjadi pada mukosa bronkus yang bersifat akut.

Etiologi

Penyebab bronkhitis akut umumnya virus seperti rhinovirus, influenza A dan B,


Coranavirus, parainfluenza, dan respiratory syncytial virus (RSV). Adapula
bakteri atypical yang menjadi penyebab bronchitis yaitu chlamdya pneumonia
ataupun mycoplasma pneumonia yang sering dijumpai pada anak anak remaja
dan dewasa.

Manifestasi Klinis

Pada kelompok pertama gejalanya hampir mirip sama dengan pneumoni ringan,
yaitu batuk batuk dengan dahak muko-purulen, peningkatan suhu badan yang
belum terlalu tinggi, dapat disertai sesak nafas ringan. Pada bronchitis akut ini
yang pertama tama dikeluhkan adalah peningkatan akut frekuensi batuk dan
jumlahnya dahak. Sifat dahaknya juga mengalami perubahan menjadi lebih keruh
berwarna kekuningan sampai kehijau-hijauan dapat atau tanpa disertai dengan
nanah atau bau busuk

Diagnosis

Anamnesis : Keluhan utama berupa batuk dengan frekuensi yang meningkat dan
perubahan warna dahak, sesak nafas, demam.

Pemeriksaan Fisik : Pada auskultasi dapat terdengar adanya ronki basah dan
wheezing yang tersebar disana sini dikedua paru.

Pemeriksaan penunjang :

27
Foto Thorax : Tidak didapatkan tanda tanda infiltrate

Sputum Pengecatan gram : banyak didapatkan lekosit PMN dan mungkin pula
bakteri.

Tatalaksana

Bila sebelumnya sehat hendaknya secepat mungkin diberikan amoksilin, setidak


tidaknya ampisilin. Bila dikhawatirkan kumannya menghasilkan beta lactamase
dapat diberikan pula asam klavulanat. Sebagai alternative kombinasi amoksisilin-
kloramfenikol juga memberikan hasil memuaskan. Pemberian kombinasi dengan
kotrimaksazol. Alternative lain juka resisten terhadap beta lactamase pembirian
cephalosporin generasi ketiga. Juga dapat diberikan derivate kuinolon

Komplikasi dan Prognosis

Pneumonia merupakan salah satu komplikasinya. Penderita yang sebelumnya


sehat mempunyai prognosis yang sangat baik. Namun mereka yang sudah
menderita bronchitis kronik sebelumnya, prognosisnya ditentukan oleh kondisi
sebelum terkena infeksi akut ini.

1.3.B. ABSES PARU

A. DEFINISI

Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus/nekrotik debris) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang
disebabkan oleh infeksi mikroba.

B. ETIOLOGI

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu :

28
1. Kelompok bakteri anaerob merupakan etiologi terbanyak abses paru (bisa
mencapai 89%) terutama pada orang immunocompetent dan biasanya
diakibatkan oleh pneumonia aspirasi.

- Bacteriodes melaninogenus

- Bacteriodes fragilis

- Peptostreptococcus species

- Bacillus intermedius

- Prevotella melaninogenica

- Fusobacterium nucleatum

- Microaerophilic streptococcus

- Clostridium perfringens

- Clostridium barati

Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85-100% dari
spesimen yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.

2. Kelompok bakteri aerob, predominan pada orang dengan


immunocompromised :

Gram positif : sekunder oleh sebab lain aspirasi

- Staphylococcus aureus

- Streptococcus microaerophilic

- Streptococcus pyogenes

- Streptococcus pneumonia

- Streptococcus viridans

29
- Streptococcus milleri

Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial

- Klebsiella pneumonia

- Pseudomonas aeruginosa

- Escherichia coli

- Haemophilus Influenza

- Actinomyces Species

- Nocardia Species

- Gram negatif bacilli

Pada beberapa pasien, oragnisme aerobik dengan virulensi kuat seperti


Fusobacterium Nucleatum atau Peptostreptococcus species bisa ditemukan
sebagai satu-satunya organisme.

3. Kelompok non bakteri dan bakteri atipik, biasanya dijumpai pada orang
dengan immunocompromised

- Jamur : histoplasma, coccidiodes, blastomyces, mucoraceae, aspergilus


species, cryptococcus, zygomycetes, pneumocystitis

- Parasit : paragonimus westermani, entamuba histolitytica, echinococcus

- Mikobakterium tuberkulosis dan non tuberkulosis

C. PATOGENESIS

Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru


seperti daya tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme patogen penyebab.
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan
penyebaran secara hematogen. Yang paling sering dijumpai adalah kelompok

30
abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda
asing, tumor dan striktur bronkial.

Dimulainya gangguan akibat aspirasi paru (lung insult) bisa disebabkan


oleh injuri langsung bahan kimia dari asam lambung yang teraspirasi, atau
pada daerah obstruksi yang disebabkan oleh unsur lain, seperti makanan,
yang akan disusul dengan infeksi sekunder oleh bakteri dan terbawanya
organisme virulen yang akan menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah
distal obstruksi tersebut. Bila bakteri yang masuk banyak/virulen atau
mekanisme pertahanan seperti mukosilier dan makrofag alveolar
memungkinkan, infeksi dapat terjadi tanpa didahului oleh lung insult.

Abses akibat aspirasi ini banyak terjadi pada pasien bronkitis kronis
karena banyaknya mukus pada saluran napas bawahnya yang merupakan
media kultur yang sangat baik bagi organisme yang teraspirasi. Nekrosis
jaringan dengan pembentukan abses paru membutuhkan waktu 1-2 minggu
setelah terjadinya aspirasi. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada
segmen posterior lobus atas kanan disusul dengan lobus atas kiri dan segmen
apikal/superior lobus bawah kanan atau kiri. Abses paru sering terjadi pada
parukanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri, walaupun
posisi tubuh saat aspirasi juga menentukan letak abses. Pada perokok usia
lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar untuk terjadinya abses
paru. Pada pasien berumur lebih dari 50 tahun, 50% abses paru ada
hubungannya dengan keganasan paru akibat terjadinya obstruksi saluran
napas.

Penyebaran secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat


septikemi atau sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi
dari bagian lain tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran
hematogen ini umumnya akan berbentuk abses multipel dan biasanya
disebabkan oleh kelompok Stafilokokus. Penanganan abses yang multipel dan
kecil-kecil lebih sulit daripada abses tunggal walaupun ukurannya besar.

31
Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa milimeter sampai
dengan lima sentimeter atau lebih.

Selain itu abses paru biasanya timbul setelah terjadi peradangan yang
mengakibatkan nekrosis jaringan dan kavitasi, terjadi akibat necrotizing
pneumonia dan ganggren paru yang menyebabkan terjadinya nekrosis dan
pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan organisme
virulen sebagai penyebab, paling sering ialah Staphylococcus aureus,
Klebsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya
multipel dan berukuran kecil-kecil.

Bula atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru.
Kista bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan
media kultur untuk tumbuhnyamikroorganisme. Bila kista tersebut
mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah
abses paru. Abses hepar bakteri atau amebik bisa mengalami ruptur dan
menembus diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah
paru kanan dan rongga pleura. Abses paru biasanya satu (tunggal), tapi bisa
multipel yang biasanya unilateral pada satu paru yang terjadi pada pasien
dengan keadaan umum yang jelek atau pasien yang mengalami penyakit
menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan imunologis yang
menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan sitostatika.

Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya


diekspektrorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan
udara. Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura (bisa mencapai 1/3
kasus) sehingga terjadi empiema yang bisa diikuti dengan terjadi fistula
bronkopleura.

D. FAKTOR RISIKO
1. Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi :

32
- Gangguan kesadaran : Alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain, gangguan
serebrovaskular, anestesi umum, penyakit susunan syaraf pusat,
penyalahgunaan obat intravena, koma, trauma, sepsis

- Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya : Gangguan motilitas

- Trakeal atau nasogastrik tube yang menghilangkan pertahanan mekanik


saluran napas

- Fistula trakeoesopageal

2. Defisiensi atau stasis transpor sekresi melalui saluran napas seperti :

- Kartagener’s syndrome

- Disfagi

3. Sebab-sebab iatrogenic
4. Penyakit-penyakit periodontal
5. Kebersihan mulut yang buruk
6. Pencabutan gigi
7. Pneumonia akut
8. Immunosupresi
9. Bronkiektasis
10. Kanker paru
11. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV
yang terkena abses paru pada umumnya mempunyai status
immunocompromised yang sangat jelek (kadar CD4 &lt;50/mm 3 ), dan
kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.
E. MANIFESTASI KLINIS

Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses


akut bilaterjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai
riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan
terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, batuk kering,

33
keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu
tubuh mencapai 39,4ºC atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan
adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi purulen dan bisa
mengandung darah.

Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan


abses tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum purulen
dalam beberapa jam sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung
jaringan paru yang mengalami ganggren. Sputum yang berbau amis berwarna
anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anaerob dan disebut dengn putrid
abscesses. Tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri di atas tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada
menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk bisa dijumpai, biasanyan ringan
tetapi ada yang masif.

Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan


mengeluarkan sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya
di segmen apikal lobus atas. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi
seperti disebutkan di atas. Sedangkan abses paru sekunder seperti yang
disebabkan oleh septik emboli paru dengan infark, abses sudah timbul hanya
dalam waktu 2-3 hari. Pasien abses paru akibat komplikasi dari infeksi
subdiafragma (abses hati amuba, pancreatic phlegmon), bisa disertai dengan
gejala abdomen selain gejala di paru. Kejang-kejang yang disebabkan oleh
abses otak kadang-kadang bisa dijumpai akibat bakteremia dari abses paru.

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis

Anamnesis pasien abses paru akan kita dapatkan batuk yang


mengeluarkan banyak sputum mengandung jaringan paru yang
mengalami ganggren. Sputum biasanya berbau amis dan berwarna
anchovy (putrid abcesses) yang disebabkan bakteri anaerob. Selain itu

34
bisa didapatkan keluhan nyeri dada dan batuk darah ringan sampai
dengan masif.

2. Pemeriksaan Fisik

Ditemukan demam sampai dengan 40ºC. Pada paru ditemukan


kelainan seperti nyeri tekan lokal pada dada, pada lesi yang disertai
konsolidasi bisa dijumpai penurunan suara napas, perkusi redup, suara
napas bronkial atau ronki. Bila abses luas dan letaknya dekat dengan
dinding dada kadang-kadang terdengar suara amforik. Suara napas
bronkial atauamforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus
masih tetap dalam keadaan terbuka disertai oleh adanya konsolidasi
sekitar abses dan drainase abses yang baik.

Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi
piotoraks (empyema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan
pergerakan dinding dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vokal
menghilang, perkusi redup/pekak, bunyi napas menghilang dan terdapat
tanda-tanda pendorongan mediastinum terutama pendorongan jantung ke
arah kontra lateral tempat lesi. Pada abses paru bisa dijumpai jari tabuh,
yang proses terjadinya berlangsung cepat.

3. Laboratorium

Hitung leukosit tinggi berkisar 10.000-30.000/mm 3 dengan hitung


jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama
neutrofil yang immatur. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan
adanya anemia dan peningkatan LED. Pemeriksaan dahak dapat
membantu dalam menemukan mikroorganisme penyebab abses, namun
dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakeal,
transtorakal, torakosintesis atau bilasan/sikatan bronkus, karena dahak
yang dibatukkan akan terkontaminasi dengan organisme anaerobik
normal pada rongga mulut dan saluran napas atas. Prosedur invasif ini

35
tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons terhadap antibiotika tidak
adekuat.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan


langsung dengan teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob,
jamur, Nokardia, basil mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium
lain. Penting ditekankan di sini penggunaan pengecatan Gram untuk
mendiagnosis infeksi paru karena kuman anaerob karena biakan sering
tidak dapat menemukan organisme tersebut, dan penting diperhatikan
material yang dikirim untuk biakan hendaknya didapatkan sebelum
pemberian antibiotika dan hendaknya ditempatkan dalam kondisi anaerob
sebelum dikirim ke laboratorium.

Komponen infeksi oleh kuman anaerob tetap dipertimbangkan dalam


penatalaksanaan walaupun kita hanya menemukan kuman aerob. Dahak
bisa mengandung Spirochaeta, Fusiform bacilli atau sejumlah besar
bakteri baik yang patogen maupun flora manusia seperti Streptococcus
viridan. Clostridium dapat ditemukan dari aspirasi transtrakeal. Kultur
darah dapat membantu menemukan etiologic walaupun jarang positif,
sedangkan pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan
parasit.

4. Bronkoskopi

Bronkoskopi dengan biopsi sikatan yang terlindung dan bilasan


bronkus merupakan cara diagnostik yang paling baik dengan akurasi
diagnostik bakteriologi melebihi 80%. Cara ini hendaknya dilakukan
pada pasien AIDS sebelum dimulai pengobatan karena banyaknya kuman
yang terlibat dan sulit diprediksi secara klinis. Selain itu 10-25% dari
penyebab abses paru pada orang dewasa adalah karsinoma bronkogenik,
dan 60% di antaranya dapat didiagnosa dengan memakai bronkoskopi.

5. Radiologi

36
Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi
dan bentuk abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya
menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru, atau
hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat.
Kemudian akan ditemukan gambaran radiolusen dalam bayangan infiltrat
yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga
terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka baru
akan tampak kavitas irregular dengan dinding tebal dikelilingi oleh
infiltrat/konsolidasi dan sering ditemukan gambaran batas cairan dan
permukaan udara (air fluid level) di dalamnya. Gambaran spesifik ini
tampak dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi
berdiri.

Lokasi terbanyak terdapat di segmen superior lobus bawah atau


segmen posterior lobus atas, sedangkan segmen basilar lobus bawah
sering dijumpai pada pasien yang mengalami aspirasi pada posisi berdiri.
Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya tunggal (soliter) yang
biasanya ditemukan pada infeksi paru primer, sedangkan abses paru
sekunder (aerobik, nosokomial atau hematogen) lesinya bisa multipel.
Sepertiga kasus abses paru bisa disertai dengan empiema. Empiema yang
terlokalisir dan disertai dengan fistula bronkopleura akan sulit dibedakan
dengan gambaran abses paru. Untuk suatu gambaran abses paru simpel,
noduler dan disertai limfadenopati hilus maka harus dipikirkan sebabnya
adalah suatu keganasan paru.

CT Scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi


endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam
paru dengan kavitasi sentral. CT Scan juga bisa menunjukkan lokasi
abses berada dalam parenkim paru dan membedakannya dari infark paru
atau empiema. Lesi-lesi yang bisa mengakibatkan terjadinya abses paru
bakteri meliputi karsinoma bronkogenik dengan kavitas, bronkiektasis,
empiema sekunder dari fistula bronkopleura, tuberkulosis paru,

37
cocciodomycosis dan infeksi jamur pada paru, bula atau kista udara yang
mengalami infeksi, perlunakan/skuesterisasi paru, nodul silikat dengan
sianosis sentral, abses hepar atau subfrenik akibat amuba atau hidatid
yang menembus ke bronkus dan Wagener’s granulomatosis. Pemeriksaan
diagnostik secara seksama seperti yang disebutkan di atas harus
dilakukan untuk membedakannya dari abses paru biasa (simpel). Klinisi
harus tetap waspada bahwa kavitas paru yang ada bukan suatu abses
paru.

G. TATALAKSANA

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi


secepatnya dari pathogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase
yang adekuat dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi. Pasien
abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada foto dada
menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya pasien dirawat inap. Posisi
berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada di
atas supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen superior lobus bawah
yang terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh pasien /kepala berada di
bagian terbawah (posisi trendelenberg). Diet biasanya bubur biasa dengan
tinggi kalori tinggi protein. Bila abses telah mengalami resolusi dapat
diberikan nasi biasa.

Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan


antibiotika yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel
dahak dan darah diambil untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus
abses paru yang disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan
dengan pasti, sehingga pengobatan diberikan secara empirik. Kebanyakan
pasien terutama dengan abses yang kecil dan kondisi umum baik mengalami
perbaikan hanya dengan antibiotika dan postural drainage, sedangkan kira-
kira 10% harus dilakukan tindakan operatif.

38
Antibiotika yang paling baik adalah klindamisin oleh karena
mempunyai spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob. Respon
perbaikan didapatkan dengan klindamisin yang diberikan mula-mula dengan
dosis 3 x 600 mg intravena sampai dengan terjadi perbaikan, kemudian 4 x
300 mg oral/hari atau diberikan amoksisilin asam klavulanat 2 x 875 mg.
Regimen alternatif adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang
memberikan sampai dengan 25 juta unit atau lebih/hari dikombinasikan
dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan dengan penisilin oral 4 x 500-750
mg/hari.

Antibiotika parenteral diganti ke oral bila pasien tidak panas lagi dan
merasa sudah baikan yaitu dengan memberikan klindamisin 300-600 mg
3x/hari atau flagyl 3 x 500 mg/hari. Kombinasi penisilin (amoksisilin 500 mg
3x/hari atau penisilin G, 1-2 juta unit 4-6x/hari, bisa sampai dengan 12-18
juta unit/hari) dan metronidazol 2 gram/hari dengan dosis terbagi, 500 mg
oral atau intravena tiap 2-3x/hari (untuk penyebab bakteri anaerob) yang
diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan klindamisin,
walaupun begitu harus diingat bahwa beberapa bakteri anaerob (15-25%),
seperti Prevotella, Bakteriodes Spp. dan Fusobacterium karena memproduksi
penisilinase dan beta-laktamase, resisten terhadap penisilin. Kombinasi β-
laktam dan β-laktamase inhibitor seperti tikarkilin klavulanat, amoksisilin +
asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam juga aktif terhadap
kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil gram negatif.

Pengobatan alternatif dapat diberikan carbapenem atau quinolone yang


aktif terhadap kuman anaerob (moxifloxacine). Pengobatan kombinasi di atas
biasanya digunakan pada pasien dengan sakit yang serius dan pasien abses
paru nosokomial. Dosis pengobatan tunggal metronidazol (Flagyl) diberikan
dengan dosis 15 mg/kgBB intravena dalam waktu lebih dari 1 jam, kemudian
diikuti 6 jam kemudian dengan infus 7,5 mg/kgBB 3-4x/hari, tetapi
pengobatan tunggal dengan metronidazol ini tidak dianjurkan karena

39
beberapa anaerobic cocci dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah
resisten sehingga didapatkan kegagalan pengobatan mencapai 50%.

Pengobatan terhadap penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai


klindamisin+penisilin atau klindamisin + sefalosporin. Cefoksitin (Mefoxin)
3-4 x 2 gram/hari intravena yang merupakan generasi kedua sefalosporin,
aktif terhadap bakteri gram positif, gram negatif resisten penisilinase dan
bakteri anaerob, diberikan bila abses paru tersebut diduga disebabkan oleh
infeksi polimikroba.

Kemudian antibiotika diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas.


Abses paru yang disebabkan stafilokokus harus diobati dengan penicillinase-
resistant penicilin atau sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk
Staphylococcus aureus yang methicillin resistant seperti yang disebabkan
oleh emboli paru septik nosokomial, pilihannya adalah vankomisin. Abses
paru yang disebabkan nocardia pilihannya adalah sulfonamide 3 x 1 gram
oral. Abses paru amebik diberikan metronidazole 3 x 750 mg, sedangkan bila
penyakitnya serius seperti terjadi ruptur dari abses harus ditambahkan emetin
parenteral pada 5 hari pertama.

Antibiotika diberikan sampai dengan pneumonitis telang mengalami


resolusi dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil
dalam waktu lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya
membutuhkan waktu pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotika
oral sebagai pasien rawat jalan walaupun pada beberapa studi menunjukkan
klindamisin efektif dengan pengobatan 3 minggu. Pemberian antibiotika yang
kurang dari waktu ini sering menyebabkan kekambuhan dengan melibatkan
organisme yang resisten terhadap antibiotika yang diberikan sebelumnya.

Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai


dalam 3-4 sampai dengan 7-10 hari. Bakteremia yang resisten atau panas
tinggi yang menetap lebih dari 72 jam atau tidak didapatkan perubahan
produksi dan karakter dahak atau perubahan gambaran radiologis setelah 7-10

40
hari, menunjukkan kegagalan pengobatan. Pada kasus ini bila diperiksa lebih
lanjut akan ditemukan adanya obstruksi bronkus oleh benda asing, neoplasma
atau disebabkan infeksi bakteri yang resisten, mikobakteria, parasit atau
jamur. Respons yang lambat atau tidak respons sama sekali juga bisa
dijumpai pada beberapa keadaan yaitu kavitas yang besar (lebih dari 6 cm),
keadaan umum pasien yang jelek, seleksi antimikroba yang salah, diagnosa
salah, ada empiema, abses yang memerlukan drainase, komplikasi pada organ
yang jauh seperti abses otak dan demam obat.

Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penaganan abses


paru seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi,
pengeluaran benda asing dan untuk melebarkan striktur. Di samping itu
dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang
tidak mengalami drainase yang adekuat, serta dapat diberikannya larutan
antibiotika melewati bronkus langsung ke lokasi abses.

Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan namun tindakan ini


merupakan prosedur yang aman pada pasien-pasien yang gagal dengan
pengobatan antibiotika jangka pendek apalagi bila kavitasnya besar, obstruksi
saluran napas yang menghambat drainase yang dijumpai bila ada tumor atau
benda asing. Tindakan ini merupakan tindakan kuratif dengan risiko dan
komplikasi yang minimal serta bisa mencegah berkurangnya fungsi parenkim
paru dan kontaminasi pada rongga pleura. Pada era preantibiotika 45% pasien
memerlukan tindakan operasi, namun pada era antibiotika sekarang tindakan
operasi hanya diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus.

Indikasi operasi adalah sebagai berikut :

1. Abses paru yang tidak mengalami perbaikan


2. Komplikasi : empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura.
3. Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstruksi
primer/metastasis, pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan
motilitas gastroesopageal, malformasi atau kelainan kongenital.

41
4. Infark paru, nekrosis masif (ganggren paru) atau infeksi yang berkembang
cepat dan progresif.

Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien
immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan
reseksi paru dengan segera disamping pemberian antibiotika. Reseksi paru
juga diindikasikan pada abses paru yang responnya minimal dengan
antibiotika, abses paru dengan ukuran yang besar (kavitas &gt;8 cm), infark
paru, neoplasma obstruksi dan perdarahan masif. Lobektomi merupakan
prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental biasanya cukup
untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses multipel
atau ganggren paru yang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan.
Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5-10%. Pasien dengan
risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat dilakukan drainase
perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah kebocoran isi abses ke
dalam rongga pleura.

2. Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan pencegahan infeksi


pada saluran pernapasan

Pencegahan penularan infeksi saluran nafas

Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran nafas di fasilitas pelayanan


kesehatan berdasarkan pedoman WHO, sebagai berikut:

 Laporkan segera setiap kasus suspek ISPA yang dapat menimbulkan


kekhawatiran, termasuk SARS dan infeksi flu burung pada manusia, kepada
Dinas Kesehatan yang berwenang
 Segera isolasi pasien suspek ISPA dari pasien lain dan pastikan mereka
mendapatkan perawatan dan terapi yang tepat.

42
 lakukan Kewaspadaan Standar saat memberikan pelayanan kepada pasien,
baik diagnosisnya confirm atau pun suspek. Tindakan Kewaspadaan Standar
adalah langkah dasar pencegahan dan pengendalian infeksi dalam pelayanan
kesehatan dan harus selalu dilakukan saat memberikan pelayanan kepada
pasien.
Unsur utama Kewaspadaan Standar:
- kebersihan tangan;
- penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghindari kontak dengan
cairan tubuh pasien dan kulit yang tidak utuh;
- kebersihan pernapasan dan etika batuk;
- pencegahan luka tusukan jarum atau benda tajam lainnya;
- pengelolaan limbah; dan
- pembersihan dan disinfeksi lingkungan dan peralatan.

 Lakukan Kewaspadaan Transmisi Droplet sebagai tambahan kewaspadaan


standar saat memberikan pelayanan kepada pasien yang suspek atau confirm
mengalami ISPA menular. Langkah pencegahan tambahan mungkin
diperlukan saat memberikan pelayanan kepada pasien yang terinfeksi patogen
tertentu atau selama pelaksanaan prosedur tertentu seperti prosedur yang
dapat menimbulkan aerosol
 Lakukan Kewaspadaan Transmisi Kontak dan Droplet, sebagai tambahan
kewaspadaan standar saat memberikan pelayanan kepada kasus infeksi flu
burung pada manusia dan pasien SARS, dan juga pasien anak-anak yang
menderita ISPA atau bila gejala klinis menunjukkan kemungkinan diagnosis
virus tertentu seperti croup, parainfluenza, bronkiolitis akut, dan respiratory
syncytial virus (RSV) yang terjadi selama periode puncak.
 Lakukan Kewaspadaan Transmisi Airborne Pencegahan dan pengendalian
infeksi: infeksi saluran pernapasan akut memberikan pelayanan kepada pasien
terinfeksi patogen yang dapat ditularkan melalui udara dari jarak jauh atau

43
saat melakukan prosedur tertentu, seperti prosedur yang dapat menimbulkan
aerosol
 Upayakan Ventilasi pada lingkungan pasien untuk mengurangi risiko
penularan penyakit melalui aerosol pernapasan

Tindakan pencegahan utama ISPA adalah menerapkan perilaku hidup bersih dan
sehat. Beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu:

- Cuci tangan secara teratur, terutama setelah beraktivitas di tempat umum.


- Hindari menyentuh wajah, terutama bagian mulut, hidung, dan mata,
untuk menghindari penularan virus dan bakteri.
- Gunakan sapu tangan atau tisu untuk menutup mulut ketika bersin atau
batuk. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ke orang
lain.
- Perbanyak konsumsi makanan kaya vitamin, terutama vitamin C, untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.
- Olahraga secara teratur.
- hindari asap rokok, dan merokok.
- Lakukan vaksinasi, baik vaksin MMR, influenza, atau pneumonia.
Diskusikan dengan dokter mengenai keperluan, manfaat, dan risiko dari
vaksinasi ini.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Infeksi Saluran Pernapasan Akut terdiri dari saluran pernapasan


atas akut dan saluran pernapasan bawah akut yang bisa disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur, dan benda asing yang teraspirasi. Pada mulanya
terjadi reaksi radang yang menyebabkan dampak pada sistem pernapasan,
seperti terjadi hipersekresi mukus, batuk, bahkan bisa sesak jika saluran

44
napas yang merupakan jalan masuk udara terganggu, serta bisa disertai
demam tergantung pada mikroba penyebab.

ISPA bawah yang kami bahas di topik kali ini pneumoni, bronkitis,
bronkiolitis dan abses paru. Pemeriksaan penunjang untuk memastikan
diagnosis adalah dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang baik itu pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan
radiologi. Tatalaksana yang diberikan menggunakan terapi suportif dan
kausal, pemberian antibiotik disesuaikan dengan bakteri penyebab
gangguan tersebut.

3.2 Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik


dari segi diskusi kelompok, maupun penulisan laporan, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen dan rekan-rekan angkatan
2015 serta berbagai pihak. Semoga laporan ini dapat membawa manfaat
bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Fakultas


Kedokteran Universitas Airlangga.
Conly, J., Thakur, R., Eremin, S., & Silva, C. P. (2011). Field evaluation (FE) of
the World Health Organization (WHO) interim guidelines (IG) on infection
prevention and control (IPC) of epidemic and pandemic-prone acute
respiratory diseases (ARD) in health care. BMC Proceedings, 5(S6).
doi:10.1186/1753-6561-5-s6-p280

45
Menteri Kesehatan RI, 2014. PERMENKES No. 5 Tahun 2014 Tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas, pedoman diagnosis


& penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. VI. Jakarta : Interna Publishing. 2014

Vincent TM, Celestin N, Hussain NA. Pharyngitis. American Family Physician.


2004;69(6). Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/20040315/1465.html.
Diakses pada: 28 Agustus 2020

46

Anda mungkin juga menyukai