Anda di halaman 1dari 12

PENYAKIT TYFHOID

Disusun oleh Kelompok 6 :


1. Casudi 23051105
2. Catur Maryanto 23051106
3. Margono 23051114
4. Sulistyo 23051126

INSTITUT KESEHATAN HERMINA PRODI D3 KEPERAWATAN


2023

i
KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua
sahingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah “KMB I tentang penyakit Thipoid”.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen KMB I Ibu Ns Ening Wahyuni , M.Kep yang
telah membimbing penyusun dalam penyelesaian makalah.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka saran dan kritik sangat
kami nantikan dari para mahasiswa dan pengajar sehingga akan semakin memperbaiki makalah
ini. Akhir kata kami selaku penulis mengucapkan mohon maaf apabila ada kesalahan dan kami
mengharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi para mahasiswa Akademik Perawat
dan pembaca.

Penyusun

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………….………………………………………….i


KATA PENGANTAR …………………………………………………………………......……ii
DAFTAR ISI …………………………………………………….………………………..…….iii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ………………………………..………………………………..…….1


1.2 Rumusan msalah …………………………..…………………………………….….. 1
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 2

2.1 Pengertian ……………………………………………………………………………2


2.2 Etiologi ………………………………………………………………………………2
2.3 Patofisiologi …………………………………………................................................3
2.4 Manifestasi Klinis ……………………………………………………………………3
2.5 Komplikasi …………………………………………………………………………...4
2.6 Pemeriksaan Penunjang ………………………………………………………………5
2.7 Penatalaksanaan 9

BAB III PENUTUP ......................................................................................................................9

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………..9


3.2 Saran dan Kritik ……………………………………………………………………...9

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada iklim,
tetapi lebih banyak dijumpai di Negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini
disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan indifidu yang
kurang baik. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemic, tetapi lebih sering
bersifat seporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu
kasus pada orang-orang serumah. Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden
tertinggi didapatkan pada anak-anak dan tidak ada perbedaan yang nyata anatra insidensi demam
tifoid pada wanita dan pria.
Tifoid Apdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
cerna dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan
gangguan kesadaran. Gejala kilnis pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10 sampai 20 hari. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodroma, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat. Relaps dapat terjadi pada minggu ke-2 setelah suhu badan normal kembali.
Komlikasi pada usus halus jarang terjadi,akan tetapi sering fatal, yaitu perdarahan usus, perforasi
usus dan peritonitis. Komlikasi diluar usus dapat terjadi oleh karena lokalisasi peradangan akibat
sepsis, terjadinya infeksi sekunder, masukan makanan yang kurang atau suhu tubuh yang tinggi.

1.2. Rumusan masalah


Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis dapat merumuskan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu Apa dan Bagaimana terjadinya penyakit thipoid

1.3. Tujuan
Secara umum makalah ini memiliki tujuan jangka panjang yang ditujuhkan pada
masyarakat agar lebih mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan thipoid, atau yang banyak
dikenal dengan demam tipoid.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh feses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan
paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever,
enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah
suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat
menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

2.2Etiologi
a) Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora
mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
• antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida)
• antigen H(flagella)
• antigen V1 dan protein membrane hialin.
b) Salmonella parathypi A
c) salmonella parathypi B
d) Salmonella parathypi C
e) Feces dan Urin dari penderita thypus (Rahmad Juwono, 1996).

2
2.3 Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5
F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui
Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi
kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan
hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial
Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan
menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia
bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam
disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

2.4.Manifestasi Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal
(gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
• Perasaan tidak enak badan
• Lesu
• Nyeri kepala
• Pusing
• Diare
• Anoreksia
• Batuk
• Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain
1. Demam

3
Demam berlangsung 3 minggu
• Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan
malam hari
• Minggu II : Demam terus
• Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur – angsur
2. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
• Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai
tremor
• Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
• Terdapat konstipasi, diare
3. Gangguan Kesadaran
• Kesadaran yaitu apatis – somnolen
• Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit)
(Rahmad Juwono, 1996).

2.5 Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus
2) Perporasi usus
3) Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,
tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.

4
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium,
yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil
biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah
yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam
darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

5
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat
pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :


a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah
klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid
yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma
lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat
terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer
aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu
titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat
mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.

6
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella
thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah
tertular salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat
bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi
dari strain lain.

2.7Penatalaksanaan
Menurut Copstead, et al (2000: 170) “Pilihan pengobatan mengatasi kuman Salmonella
typhi yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan alternatif lain yaitu trimetroprin,
sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol”. Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian,
yaitu:
1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah perdarahan usus. Mobilisasi
pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan
akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena ada
pendapat bahwa usus perlu di istirahatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai
kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam typoid.

7
3. Obat
Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:
a. Kloramfenikol
Dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg, diberikan selama demam
dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 kali 250 mg
selama 5 hari kemudian.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol.
Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol.
Dengan tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ampicilin dan Amoxilin
Efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak
penggunaannya adalah klien demam typoid dengan leukopenia. Dosis 75-150 mg/kg berat badan,
digunakan sampai 7 hari bebas demam.
d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol)
Efektifitas nya kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2
kali 2 tablet sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.
e. Sepalosporin generasi ketiga
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sepalosporin generasi ketiga antara lain
sefoperazon, cefriaxone, cefotaxim efektif untuk demam typoid.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal
belum diketahui dengan pasti.
Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoid juga obat-obat simtomatik antara
lain:
1. Antipiretika
Tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena tidak berguna.
2. Kortikosteroid
Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam pengobatan selama 5
hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien menjadi baik, suhu badan cepat
turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat
menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps”. (Sjaifoellah, 1996: 440).

8
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Tifoid Apdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
cerna dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan
gangguan kesadaran.
Tifoid Apdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan
gangguan kesadaran.

1.2 Kritik dan Saran


Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penysun dan pembaca. Kritik dan saran kami
tunggu untuk pembelajaran ke depan yang lebih baik

DAFTAR PUSTAKA

1)Mansjoer, A, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV EGC, Jakarta, 2000.


2)Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi XII EGC, Jakarta.Staf Pengajar IKA, Ilmu Kedokteran
Anak, Buku Kuliah II FKUI, Jakarta, 1995
3)Rahmad Juwono, 1996, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai