EMFISEMA
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Fisioterapi B 2018
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Patologi Kardiopulmonal mengenai Emfisema ini dengan tepat pada waktunya,
tanpa suatu halangan apapun.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi para
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................2
D. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Definisi.........................................................................................................3
B. Tanda dan Gejala..........................................................................................4
C. Etiologi.........................................................................................................5
D. Fisiologi Paru...............................................................................................6
E. Patofisiologi.................................................................................................7
F. Klasifikasi....................................................................................................7
G. Pemeriksaan.................................................................................................8
H. Penatalaksanaan dan Edukasi.......................................................................8
Kesimpulan................................................................................................................
Saran...........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Emfisema tergabung dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang
merupakan salah satu kelompok penyakit yang menjadi masalah kesehatan di
Indonesia.Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 emfisema
menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian
karena emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia. Penyakit emfisema di Indonesia meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya
kemajuan industri.
Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan
mencolok tetapi menimbulkan pula pencemaraan lingkungan dan polusi.
Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat menyebabklan penyakit
bronkitis kronik dan emfisema.Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang
menderita .Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang
dapat menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65% laki-laki
dan 15% wanita.
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus
terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Rokok adalah penyebab
utama timbulnya emfisema paru. Biasanya pada pasien perokok berumur 15-
25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran napas
kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada
umur 45-55 tahun terjadi sesak napas, hipoksemia, dan perubahan spirometri.
Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal yang dapat menyebabkan
kegagalan napas dan meninggal dunia.
Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok
tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi
2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan
sebagai distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal
dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir
proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa
tahun. Pada kenyataanya, ketika pasien mengalami gejala, fungsi paru
sudah sering mengalami kerusakan yang ireversibel. Dibarengi dengan
bronitis obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan.
Sedangkan menurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan
bentuk paling berat dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM)
yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan
akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak
bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).
a. Sesak napas
b. Batuk kronis
c. Sering merasa gelisah
d. Penurunan berat badan
e. Sering merasa kelelahan
f. Berkurangnya nafsu makan
4
g. Edema
h. Penurunan kemampuan untuk berolahraga
C. Etiologi
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungna
yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa
(FEV) (Nowak, 2004).
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakan faktor keturunan berperan atau tidak
pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi alfa 1 antitripsin adalah satu kelainan yang diturunkan
secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru
adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan
lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan
atas pada seorang penderita bronkhitis kronis hampir selalu melipatkan
infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru
bertambah. Eksaserbasi bronkhitis kronis disangka paling sering
diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi
sekunder oleh bakteri.
4. Hipotesis Elastase-Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada
jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan timbulah
emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas, sel-sel
5
D. Fisiologi Paru
Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada
sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena
memiliki struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara
paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton,
2007).
Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme
seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan
kandungan oksigen dan karbon dioksida bisa normal (Jayanti, 2013).
Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa
yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah
6
C. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadi kerusakan pada dinding
alveolus yang akan menyebabkan over distensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara akan terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama
ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding
(septum) diantara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan
elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saaat alveoli dan septum kolaps,
udara akan tertahan diantara ruang alveolus (disebut blebs) dan diantara
parenkim paru-paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan
meningkatkan ventilatori pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan
paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan
perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika
sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda
biasanya berhubungan dengan bronkhitis kronis dan merokok.
F. Klasifikasi
a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan
kerusakan bronkiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi
merambah sampai bronkiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap
bersisa.
7
c. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan.
Emfisema paraseptal terjadi di sekitar pleura atau septa pada struktur asinar distal di bagian
anterior atau posterior lobus atas (apeks) yang berhubungan dengan bekas TB atau di bagian
posterior lobus bawah.2,3 Emfisema paraseptal sering ditemukan pada pasien usia muda dengan
pneumotoraks spontan.2 Emfisema tidak beraturan memiliki bagian parut parasikatriks yang
jumlahnya menentukan luas dan derajat emfisema. Emfisema tidak beraturan dihubungkan dengan
parut fibrosis setelah proses inflamasi. Kerusakan akibat inflamasi dan penarikan jaringan oleh
parut fibrosis berperan utama dalam terbentuknya emfisema tipe paraseptal. Emfisema paraseptal
terjadi di sekitar pleura atau septa pada struktur asinar distal di bagian anterior atau posterior lobus
atas (apeks) yang berhubungan dengan bekas TB atau di bagian posterior lobus bawah. Emfisema
paraseptal sering ditemukan pada pasien usia muda dengan pneumotoraks spontan. Emfisema tidak
beraturan memiliki bagian parut parasikatriks yang jumlahnya menentukan luas dan derajat
emfisema. Emfisema tidak beraturan dihubungkan dengan parut fibrosis setelah proses inflamasi.
Kerusakan akibat inflamasi dan penarikan jaringan oleh parut fibrosis berperan utama dalam
terbentuknya emfisema tipe paraseptal.
8
G. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan dengan spirometri dapat menilai kemampuan paru untuk
menampung udara pernafasan.
b. Rontgen
Pemeriksaan rontgen tidak menjadi penunjang utama karena beberapa
kasus kelainan paru seperti pada emfisema sulit ditemukan dengan
pemeriksaan rontgen X-ray.
c. CT Scan
Pemeriksaan dengan CT Scan lebih dipilih dalam metode pencitraan
karena dapat melihat letak kelainan di bronkus dan alveoli.
d. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah jarang dilakukan kecuali adanya peranan infeksi paru
lainnyayang menimbulkan penyakit.
2. pemeriksaan diagnostik
a. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Pengukuran fungsi paru biasanya menunjukkan kapasitas paru total
(TLC) dan volume residual (RV). terjadi penurunan dalam kapasitas vital
(VC) dan volume ekspiasi paksa (FEV). temuan-temuan ini menegaskan
kesulitan yang dialami klien dalam mendorong udara keluar dari paru.
b. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit.
Dengan perkembangan penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat
menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnea.
9
Gambar (kanan) adalah gambar dari paru-paru normal. Dan gambar (kiri)
adalah perubahan dalam struktur rontgen thoraks menunjukkan
hiperinflasi dengan hemidiafragma mendatar dan rendah.
d. Analisis gas darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh
pasien emfisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi
hemoglobin pasien hampir mencakupi.
PaCO2 normal : 35-45 mmHg
PaCO2 Pasien emfisema : < 45 mmHg
4. Nebulizer
Nebulizer adalah alat untuk mengubah obat dalam bentuk cairan
menjadi uap yang dihirup. Pengobatan yang memanfaatkan nebulizer
biasanya diberikan pada penderita gangguan pernapasan, seperti asma
dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) saat gejala sesak napas
sedang muncul. Nebulizer tidak menyemprotkan obat, melainkan
mengubahnya dari cairan menjadi uap, sehingga obat lebih mudah
masuk ke paru-paru.
Cara kerja modalitas ini yaitu dengan merubah larutan obat menjadi
uap air (aerosol) dengan tenaga berasal dari udara agar bertujuan dapat
mengurangi obstruksi jalan nafas pada pasien PPOK. Terapi inhalasi
dengan nebulizer efektif dilakukan karena pengiriman obatnya lebih
efektif sehingga reaksi obatnya cepat sampai ke paru-paru daripada
pemberian obat lewat oral atau sub cutan (Roggeri & Micheletto,
2016).
b. Pengobatan Emfisema Paru
Jenis obat yang diberikan pada penderita emfisema paru adalah
1. Bronkodilaor
2. Terapi aerosol
3. Pengobatan infeksi
4. Kortikosteroid
5. Oksigenisasi
c. Pencegahan Emfisema Paru
1. Berhenti merokok.
2. Menghindari hal-hal yang membuat iritasi pada pernapasan seperti
asap knalpot dan lain sebagainya.
3. Berolahraga secara teratur untuk meningkatkan kapasitas paru-paru.
4. Menghindari diri dari udara yang dingin karena mampu menghambat
pernapasan.
5. Makanlah makanan yang mengandung banyak nutrisi.
1. kulit manggis
Kandungan antioksidan yang tinggi pada buah manggis dapat
membantu menangkal radikal bebas yang merupakan salah satu
timbulnya penyakit emfisema paru.
2. daun sirsak
Daun sirsak yang mengandung zat asitogenin dapat menangkal
radikal bebas, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, melancarkan
aktivitas pembuluh darah, serta dapat membunuh bakteri.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Oktaria, D., & Ningrum, S. M. (2017). Pengaruh Merokok dan Defisiensi Alfa-1
Antitripsin terhadap Progresivitas. Majority, 6(2), 42-47.
Roggeri, A., Micheletto, C., & Roggeri, D. P. (2016). Inhalation Errors Due To
Device Switch In Patients With Chronic Obstructive Pulmonary Disease
And Asthma: Critical Health And Economic Issues. International Journal
Of COPD, 11, 597–602.
11