Anda di halaman 1dari 17

PATOLOGI KARDIOPULMONAL

EMFISEMA

Dosen Pengampu :

dr. Ki Ageng Nico

Disusun Oleh :

Devia Yusna Mufindasari (201810490311061)

Laili Athiyyah Rohadatul Aisy (201810490311065)

Faldreza Annalinta Rachananda (201810490311066)

Dilla Ika Virly Erlita (201810490311081)

Nawwaf Wildanul Nafis (201810490311087)

Dara Pramudita Pratiwi (201810490311090)

Siti Chairun Ni’mah (201810490311096)

Fisioterapi B 2018

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Patologi Kardiopulmonal mengenai Emfisema ini dengan tepat pada waktunya,
tanpa suatu halangan apapun.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta


keluarganya. Tidak lupa kami menyampaikan terima kasih kepada dr. Ki Ageng
Nico selaku dosen pengampu mata kuliah Patologi Kardiopulmonal yang telah
memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam proses
penyusunan makalah ini. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada teman-
teman dan semua pihak yang telah berkontribusi secara langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi para
pembaca.

Malang, 8 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................2
D. Manfaat

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Definisi.........................................................................................................3
B. Tanda dan Gejala..........................................................................................4
C. Etiologi.........................................................................................................5
D. Fisiologi Paru...............................................................................................6
E. Patofisiologi.................................................................................................7
F. Klasifikasi....................................................................................................7
G. Pemeriksaan.................................................................................................8
H. Penatalaksanaan dan Edukasi.......................................................................8

BAB III PENUTUP..............................................................................................10

Kesimpulan................................................................................................................

Saran...........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................11

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Emfisema tergabung dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang
merupakan salah satu kelompok penyakit yang menjadi masalah kesehatan di
Indonesia.Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 emfisema
menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10
penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian
karena emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia. Penyakit emfisema di Indonesia meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya
kemajuan industri.
Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan
mencolok tetapi menimbulkan pula pencemaraan lingkungan dan polusi.
Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat menyebabklan penyakit
bronkitis kronik dan emfisema.Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang
menderita .Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang
dapat menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65% laki-laki
dan 15% wanita.
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus
terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Rokok adalah penyebab
utama timbulnya emfisema paru. Biasanya pada pasien perokok berumur 15-
25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran napas
kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada
umur 45-55 tahun terjadi sesak napas, hipoksemia, dan perubahan spirometri.
Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal yang dapat menyebabkan
kegagalan napas dan meninggal dunia.
Saat ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok
tembakau serta menduduki urutan kelima setelah negara dengan konsumsi
2

rokok terbanyak di dunia, yaitu China mengkonsumsi 1.643 miliar batang


rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar batang setahun, Jepang 328
miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang setahun, dan Indonesia 215
miliar batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan perhatian semua fihak
khususnya yang peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.Atas
dasar itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai emfisema yang
merupakan salah satu bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan
Keperawatan pada Klien Emfisema. Sehingga diharapkan perawat mampu
memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien emfisema.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud emfisema paru?
2. Bagaimana epidemiologi emfisema paru?
3. Bagaimana etiologi emfisema paru?
4. Bagaimana tanda dan gejala emfisema paru?
5. Apa saja komplikasi dan prognosis emfisema paru?
6. Bagaimana pengobatan emfisema paru?
7. Bagaimana pencegahan emfisema paru?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian emfisema paru
2. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi emfisema paru
3. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi emfisema paru
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala emfisema paru
5. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi emfisema paru
6. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis emfisema
paru
7. Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan emfisema paru
8. Mahasiswa mampu menjelaskan pencegahan emfisema paru
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan
sebagai distensi abnormal ruang udara diluar bronkiolus terminal
dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir
proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa
tahun. Pada kenyataanya, ketika pasien mengalami gejala, fungsi paru
sudah sering mengalami kerusakan yang ireversibel. Dibarengi dengan
bronitis obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama
kecacatan.
Sedangkan menurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan
bentuk paling berat dan Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM)
yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan
akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak
bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

B. Tanda dan Gejala

Patogenesis PPOK terdiri dari beberapa mekanisme salah satunya adalah

ketidakseimbangan antara proteinase dengan antiproteinase yang berperan dalam


proses terbentuknya emfisema. Kondisi PPOK ditandai dengan keterbatasan aliran
udara kronik progresif akibat obstruksi saluran napas kecil dan kerusakan
parenkim paru. Beberapa contoh spesifik yang terjadi seperti berikut :

a. Sesak napas
b. Batuk kronis
c. Sering merasa gelisah
d. Penurunan berat badan
e. Sering merasa kelelahan
f. Berkurangnya nafsu makan
4

g. Edema
h. Penurunan kemampuan untuk berolahraga

C. Etiologi
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungna
yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa
(FEV) (Nowak, 2004).
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakan faktor keturunan berperan atau tidak
pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi alfa 1 antitripsin adalah satu kelainan yang diturunkan
secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru
adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan
lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan
atas pada seorang penderita bronkhitis kronis hampir selalu melipatkan
infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru
bertambah. Eksaserbasi bronkhitis kronis disangka paling sering
diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi
sekunder oleh bakteri.
4. Hipotesis Elastase-Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase
dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada
jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan timbulah
emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas, sel-sel
5

PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophag-PAM).


Rangsangan pada paru antara lain asap rokok dan infeksi menyebabkan
elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase, yaitu sistem
enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin
menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan
kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden
dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di
daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap
tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat
fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi
tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambh merokok resiko
akan lebih tinggi.
6. Pengaruh usia

D. Fisiologi Paru
Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam
keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada
sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena
memiliki struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara
paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton,
2007).
Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah dan
atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon
dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme
seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan
kandungan oksigen dan karbon dioksida bisa normal (Jayanti, 2013).
Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa
yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah
6

paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung- gelembung


paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen
dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada
lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia dan bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia
surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis
(Yunus, 2007).

C. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadi kerusakan pada dinding
alveolus yang akan menyebabkan over distensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara akan terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama
ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding
(septum) diantara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan
elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saaat alveoli dan septum kolaps,
udara akan tertahan diantara ruang alveolus (disebut blebs) dan diantara
parenkim paru-paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan
meningkatkan ventilatori pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan
paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan
perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika
sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda
biasanya berhubungan dengan bronkhitis kronis dan merokok.

F. Klasifikasi
a. Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan
kerusakan bronkiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi
merambah sampai bronkiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap
bersisa.
7

Emfisema sentrilobular biasanya mengenai bagian atas paru pada segmen


apikal dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah yang ditandai
dengan kerusakan bronkiolus respirasi dan alveoli distal yang masih utuh.
Emfisema sentrilobular berhubungan erat dengan kebiasaan merokok.Bentuk
panlobular biasanya mengenai lobus bawah dengan kerusakan merata seluruh
bagian asinus sehingga duktus alveolar sulit dibedakan dengan alveoli. Bentuk
panlobular berhubungan dengan defisiensi α1 antitripsin dan sering ditemukan
pada kerusakan permanen saluran napas misalnya pada bronkiolitis obliterans dan
bronkiektasis terinfeksi. Pada kondisi kerusakan permanen tersebut, parenkim
paru dapat mengalami ekspansi (tidak kolaps) bahkan menjadi emfisema karena
ventilasi kolateral melalui pori Kohn. Emfisema panlobular destruktif dapat
muncul sendiri atau sering bersamaan dengan tipe sentrilobular terutama pada
kasus cor pulmonale.

b. Emfisema panlobular (panacinar)


Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umunya juga
merusak paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centriacinar
emfisema, sering kali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada orang
tua dan pasien dengan defisiensi enzim alfa-antitripsin.

c. Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan.

Emfisema paraseptal terjadi di sekitar pleura atau septa pada struktur asinar distal di bagian
anterior atau posterior lobus atas (apeks) yang berhubungan dengan bekas TB atau di bagian
posterior lobus bawah.2,3 Emfisema paraseptal sering ditemukan pada pasien usia muda dengan
pneumotoraks spontan.2 Emfisema tidak beraturan memiliki bagian parut parasikatriks yang
jumlahnya menentukan luas dan derajat emfisema. Emfisema tidak beraturan dihubungkan dengan
parut fibrosis setelah proses inflamasi. Kerusakan akibat inflamasi dan penarikan jaringan oleh
parut fibrosis berperan utama dalam terbentuknya emfisema tipe paraseptal. Emfisema paraseptal
terjadi di sekitar pleura atau septa pada struktur asinar distal di bagian anterior atau posterior lobus
atas (apeks) yang berhubungan dengan bekas TB atau di bagian posterior lobus bawah. Emfisema
paraseptal sering ditemukan pada pasien usia muda dengan pneumotoraks spontan. Emfisema tidak
beraturan memiliki bagian parut parasikatriks yang jumlahnya menentukan luas dan derajat
emfisema. Emfisema tidak beraturan dihubungkan dengan parut fibrosis setelah proses inflamasi.
Kerusakan akibat inflamasi dan penarikan jaringan oleh parut fibrosis berperan utama dalam
terbentuknya emfisema tipe paraseptal.
8

G. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan dengan spirometri dapat menilai kemampuan paru untuk
menampung udara pernafasan.
b. Rontgen
Pemeriksaan rontgen tidak menjadi penunjang utama karena beberapa
kasus kelainan paru seperti pada emfisema sulit ditemukan dengan
pemeriksaan rontgen X-ray.
c. CT Scan
Pemeriksaan dengan CT Scan lebih dipilih dalam metode pencitraan
karena dapat melihat letak kelainan di bronkus dan alveoli.
d. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah jarang dilakukan kecuali adanya peranan infeksi paru
lainnyayang menimbulkan penyakit.

2. pemeriksaan diagnostik
a. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Pengukuran fungsi paru biasanya menunjukkan kapasitas paru total
(TLC) dan volume residual (RV). terjadi penurunan dalam kapasitas vital
(VC) dan volume ekspiasi paksa (FEV). temuan-temuan ini menegaskan
kesulitan yang dialami klien dalam mendorong udara keluar dari paru.

b. Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit.
Dengan perkembangan penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat
menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnea.
9

Hemoglobin normal: 11.0-16.5 gr/dl


Hemoglobin pasien emfisema: 17 gr/dl
Hemoglobin normal: 35.0-50.0 %
Hematokrit pasien emfisema: 51 %
PO2: Normal : 80-100 mmHg
Hipoksia ringan : PaO2 of 60-80 mmHg
Hipoksia sedang : PaO2 of 40-60 mmHg
Hipoksia berat PaO2 < 40 mmHg
c. Pemerksaan radiologis
Rontgen thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi, pendataran diafragma,
pelebaran margin interkosta, dan jantung sering ditemukan bagai
tergantung (Heart till drop). seperti pada gambar berikut

Gambar (kanan) adalah gambar dari paru-paru normal. Dan gambar (kiri)
adalah perubahan dalam struktur rontgen thoraks menunjukkan
hiperinflasi dengan hemidiafragma mendatar dan rendah.
d. Analisis gas darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh
pasien emfisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi
hemoglobin pasien hampir mencakupi.
PaCO2 normal : 35-45 mmHg
PaCO2 Pasien emfisema : < 45 mmHg

H. Penatalaksanaan dan Edukasi


a. Intervensi Fisioterapi pada Emfisema
10

Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas


fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari
segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang
dilaksanakan bergunna untuk:
1. mengeluarkan mukus dari saluran nafas
2. Memperbaiki efisiensi ventilasi
3. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
Berikut adalah contoh penanganan fisioterapi terhadap pasien emfisema:
1. Infra merah
Infra merah adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang 7.700 – 4.000.000 A. Sinar infra merah yang
bergelombang pendek (7.700 – 12.000 A) penetrasinya sampai pada
lapisan dermis atau sampai kelapisan bawah kulit, sedangkan yang
bergelombang panjang (diatas 12.000 A) penetrasinya hanya sampai
pada superficial epidermis.Infra merah berfungsi untuk pemanasan
jaringan dan rileksasi otot-otot pernafasan baik itu otot-otot inspirasi
maupun ekspirasi yang mengalami spasme dan pemendekan akibat
proses ventilasi yang terganggu (ATS, 2005 dalam Saputro, 2015).
2. Active cycle of breathing technique (ACBT)
Active cycle of breathing technique (ACBT) didefinisikan sebagai
suatu siklus dari thoracic expansion exercise dan force expiration
technique, breathing control. ACBT merupakan tehnik yang bertujuan
untuk, Penggunaan Active Cycle Of Breathing Technique (ACBT) dan
Chest PT bertujuan untuk mengurangi sesak nafas, membantu
membersihkan secret dari paru-paru, memaksimalkan masuknya
oksigen ke paru dan mengembalikan kinerja dari otot-otot pernafasan
(Pryor & Prasads, 2010).
3. Chest PT
Chest PT merupakan modalitas fisioterapi pada kasus respirasi yang
bertujuan untuk membersihkan jalan nafas dari mukus yang
berlebihan. Tehnik ini terdiri dari, perkusi, vibrasi dan batuk efektif
(Pryor & Prasads, 2010).
11

4. Nebulizer
Nebulizer adalah alat untuk mengubah obat dalam bentuk cairan
menjadi uap yang dihirup. Pengobatan yang memanfaatkan nebulizer
biasanya diberikan pada penderita gangguan pernapasan, seperti asma
dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) saat gejala sesak napas
sedang muncul. Nebulizer tidak menyemprotkan obat, melainkan
mengubahnya dari cairan menjadi uap, sehingga obat lebih mudah
masuk ke paru-paru.
Cara kerja modalitas ini yaitu dengan merubah larutan obat menjadi
uap air (aerosol) dengan tenaga berasal dari udara agar bertujuan dapat
mengurangi obstruksi jalan nafas pada pasien PPOK. Terapi inhalasi
dengan nebulizer efektif dilakukan karena pengiriman obatnya lebih
efektif sehingga reaksi obatnya cepat sampai ke paru-paru daripada
pemberian obat lewat oral atau sub cutan (Roggeri & Micheletto,
2016).
b. Pengobatan Emfisema Paru
Jenis obat yang diberikan pada penderita emfisema paru adalah
1. Bronkodilaor
2. Terapi aerosol
3. Pengobatan infeksi
4. Kortikosteroid
5. Oksigenisasi
c. Pencegahan Emfisema Paru
1. Berhenti merokok.
2. Menghindari hal-hal yang membuat iritasi pada pernapasan seperti
asap knalpot dan lain sebagainya.
3. Berolahraga secara teratur untuk meningkatkan kapasitas paru-paru.
4. Menghindari diri dari udara yang dingin karena mampu menghambat
pernapasan.
5. Makanlah makanan yang mengandung banyak nutrisi.

d. Penangan emfisema secara alami


12

1. kulit manggis
Kandungan antioksidan yang tinggi pada buah manggis dapat
membantu menangkal radikal bebas yang merupakan salah satu
timbulnya penyakit emfisema paru.
2. daun sirsak
Daun sirsak yang mengandung zat asitogenin dapat menangkal
radikal bebas, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, melancarkan
aktivitas pembuluh darah, serta dapat membunuh bakteri.
BAB III

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. (2019). Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(COPD). ATS Patient Education Series, 199, 1-2.

Chasanah, F. N. (2018). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA PENYAKIT


PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DI BALAI BESAR KESEHATAN
PARU MASYARAKAT SURAKARTA. Naskah Publikasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Fisioterapi, Surakarta.

Goldklang, M., & Stockley, R. (2016). Pathophysiology of emphysema and


implications. Chronic Obstructive Pulm Disease, 3(1), 454-458.

Oktaria, D., & Ningrum, S. M. (2017). Pengaruh Merokok dan Defisiensi Alfa-1
Antitripsin terhadap Progresivitas. Majority, 6(2), 42-47.

Pahal, P., & Sharma, S. (2018). Emphysema.

Pryor & Prasads. 2010. Physiotherapy For Respiratory And


CardiProblemsUPMC Beacon Hospital, United Kingdom.

Purnomo, S. (2015). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS DI RS PARU ARIO
WIRAWAN SALATIGA. Naskah Publikasi, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Diploma III Fisioterapi, Surakarta.

Roggeri, A., Micheletto, C., & Roggeri, D. P. (2016). Inhalation Errors Due To
Device Switch In Patients With Chronic Obstructive Pulmonary Disease
And Asthma: Critical Health And Economic Issues. International Journal
Of COPD, 11, 597–602.

Wahyuni, R. D. (2017). ASPEK IMUNOLOGI CHRONIC OBSTRUCTIVE


PULMONARY DISEASES (COPD). Jurnal Ilmiah Kedokteran, 4(1), 59-
77.

11

Anda mungkin juga menyukai