Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

ASKEP PADA USIA LANJUT YG MENGALAMI PPOM DAN TERAPI


MEDIK YG LAZIM DIGUNAKAN PADA LANSIA
Dosen Pengampun: Indri Erwhani, M. Pd, M. Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 7
Eem Fitriani SR19213087
Nurmaya SR19213083
Agung Pramana putra SR19213101
Panji SR19213088
Febby Oktaviani SR19213085
Putri Rahayu Amandalya SR19213056

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
MUHAMMADIYAH PONTIANAK

i
2022/2023

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH-SWT, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah GERONTIK ini yang
berjudul “ASKEP PADA USIA LANJUT YG MENGALAMI PPOM DAN
TERAPI MEDIK YG LAZIM DIGUNAKAN PADA LANSIA”

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam
proses penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak kami ucapkan
kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya baik secara
langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa selesai pada waktu yang
telah ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang


penyusunan karya makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah
yang telah kami susun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan.
Sehingga kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi
tersusunnya makalah lain yang lebih baik lagi. Akhir kata, kami berharap agar
makalah ini bisa memberikan banyak manfaat buat para teman-teman.

Pontianak, Oktober 2022

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................i
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................1
C. Tujuan Masalah............................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..........................................................................................................................3
A. Definisis PPOM.............................................................................................................3
B. Etiologi PPOM..............................................................................................................9
C. Patofisiologi PPOM.......................................................................................................9
D. Manifestasi Klinis PPOM.............................................................................................10
E. Penatalaksanaan PPOM pada lansia...........................................................................11
F. Implementasi Keperawatan.......................................................................................19
G. Evaluasi......................................................................................................................20
BAB III.....................................................................................................................................31
PENUTUP................................................................................................................................31
A. Kesimpulan.................................................................................................................31
B. Saran..........................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................32

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Menahun /PPOM (Chronic Obstructive Pulmonary


Disease/COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis.PPOM lebih sering menyerang laki-
laki dan sering berakibat fatal. PPOM juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga,
sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan.

Bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang tidak
berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOM. Tetapi kebiasaan merokok
pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang, dimana sekitar
10-15% perokok menderita PPOM. Angka kematian karena emfisema dan bronkitis
kronis pada perokok sigaret lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian karena
PPOM pada bukan perokok.Sejalan dengan pertambahan usia, perokok sigaret akan
mengalami penurunan fungsi paru-paru yang lebih cepat daripada bukan perokok.
Semakin banyak sigaret yang dihisap, semakin besar kemungkinan terjadinya
penurunan fungsi paru-paru.

B. Rumusan Masalah

1 Apa yang dimaksud dengan PPOM?


2 Apa etiologi dari PPOM?
3 Bagaimana manifestasi klinik dari PPOM?
4 Bagaimana patofisiologi PPOM?
5 Apa saja pemeriksaan penunjang terhadap PPOM?
6 Penatalaksanaan PPOM pada lansia

1
7 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan PPOM

C. Tujuan Masalah

1 Untuk memahami konsep dasar dan asuhan keperawatan yang diberikan


dengan Masalah Pernafasan (PPOM).
2 Mengetahui tentang definisi dari PPOM.
3 Mengetahui penyebab dari PPOM.
4 Mengetahui tanda dan gejala dari PPOM.
5 Mengetahui Penatalaksanaan PPOM pada lansia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisis PPOM

PPOM adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi


paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran nafas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam
masa observasi. Dalam PPOM, aliran udara ekspirasi mengalami obstruksi
yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam bernafas. PPOM
sesungguhnya merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan
penyakit ini terdiri dari beberapa penyakit yang berbeda. Ada dua contoh
penyakit PPOM yang biasa terjadi yaitu penyakit emfisema dan bronchitis
kronis, asma, dan bronkiektasis, dimana penyakit-penyakit tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan pola pernafasan.
- Emfisema,
Emfisema terjadi pembesaran ruang udara bronkhioli distal sampai
terminalis. Hal ini menyebabkan kerusakan pada dinding alveolar,
sehingga mengakibatkan timbulnya malfungsi pada pertukaran gas.
Pasien dengan emfisema harus bertahan hidup dengan keadaan
penyakit yang irreversible dan mereka akan mengalami perbaikan
setelah mengikuti program rehabilitasi. Ciri khas dari penyakit ini
adalah pasien akan mengalami periode stabil dan kemudian
berangsur-angsur memburuk, yang seringkali terjadi sebagai akibat
dari infeksi pernafasan. Perlu mengawasi dan mengkaji tanda-
tanda dan gejala penurunan pada pesien, termasuk tanda-tanda
meningkatnya produksi sputum, kekentalan sputum dengan warna
berubah kuning menjadi hijau, meningkatnya kecemasan dan
menurunnya toleransi daya kekuatan tubuh terhadap aktivitas yang

3
biasa dilakukan, serta meningkatnya ronchi dan suara bising pada
auskultasi paru-paru.
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu:
inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan;
kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi
udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami
kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler
paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area
paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan
kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan
hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami
kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah
arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring
kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel
kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal)
adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema
tungkai, distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan
terjadinya gagal jantung. Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan
individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk
mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap
dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran
masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan
heperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-
paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam
tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi
selebihnya adalah salah satu inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter,
ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien

4
terus meningkat, dada menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada
persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi
akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang
berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Bronchitis Kronis, Bronchitis kronis bisa dikenali dengan adanya
pengeluaran sekret yang berlebihan dari trakeo-bronchial dan terakumulasi
setiap hari selama paling tidak 3 bulan pertahun selama dua tahun berturut-
turut.Pasien memiliki keluhan batuk kronis dengan produksi dahak yang
makin meningkat.Penyebab batuk lainnya seperti kanker paru-paru atau
kanker laringeal sebaiknya disingkirkan terlebih dahulu. Pada penyakit
bronchitis kronis, sekresi yang berlebihan terakumulasi dan jika diludahkan
akan nampak seperti dahak yang kental dan putih. Dalam jangka waktu yang
lama akan terjadi pembesaran kelenjar mukosa bronchial sehingga
menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan
inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi
lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih
banyak lendir yang dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi
menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat
menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi
makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel
asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap
infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat
perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin
terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan
emfisema dan bronkiektasis.
- Asma
Menurut Croccket (1997) Asma bronkiale didefinisikan sebagai salah
satu penyakit dari sistem pernapasan yang meliputi peradangan dari jalan
napas dan gejala-gejala bronkhospasma yang bersifat reversibel.

5
Asma bronchiale menurut Americans Thoracic Society dikutip dari
Barata Wijaya (1990) adalah suatu penyakit dengan ciri mendekatnya respons
Trakhea dan Bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya berubah-ubah, baik
secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asthma perlu
diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a) Alergen utama: debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan b)
Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c) Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus
d) Perubahan cuaca yang ekstrim.
e) Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f) Lingkungan kerja
g) Obat-obatan.
h) Emosi
i) Lain-lain: seperti reflux gastro esofagus.

Gejala asthma terdiri dari triad: dispnea, batuk dan mengi, gejala yang
disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua
non”). Objektif
• Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing. •
Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.
• Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan • Cyanosis,
tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.
• Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus)

Subjektif
• Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.

Psikososial

6
• Cemas, takut dan mudah tersinggung • Kurangnya pengetahuan klien
terhadap situasi penyakitnya

- Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis


yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi
paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing, muntahan, atau
benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan tekanan akibat tumor,

7
pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus limfe.
(Bruner & Suddarth).

Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari


pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan
komponen elastis dan muscular dinding bronkus.

Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih lagi


dari bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis berulang dan
memanjang, aspirasi benda asing, atau massa (misalnya Neoplasma)
yang menghambat lumen bronchial dengan obstruksi (Hudak &
Gallo,1997).

Bronkiektasis adalah dilatasi permanent abnormal dari salah


satu atau lebih cabangcabang bronkus yang besar (Barbara E, 1998)

a. Etiologi

1) Infeksi

2) Kelainan herideter atau kelainan konginetal

3) Factor mekanis yang mempermudah timbulnya infeksi

4) Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni sebagai komplikasi


campak,batuk rejan, atau penyakit menular lainnya semasa kanak-
kanak.

b. Patofisiologi Bronkiektasis

Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur


pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya
dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara
permanen akibat batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial
sehingga dalam kasus bronkiektasis sakular, setiap tuba yang

8
berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya mengalir
bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang
lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering
terkena.

Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya


menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps
(ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi
menggantikan jaringan paru yang berfungsi. Pada waktunya pasien
mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan kapasitas vital,
penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual terhadap
kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi
(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.

B. Etiologi PPOM

PPOM disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang


sebagian besar bias dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab
timbulnya 80-90% kasus PPOM.Feaktor resiko lainnya termasuk keadaan
social-ekonomi dan status pekerjaaan yang rendah, kondisi lingkungsn yang
buruk karena dekat lokasi pertambangan, perokok pasif, atau terkena polusi
udara dan konsumsi alcohol yang berlebihan. Laki-laki dengan usia antara 30
hingga 40 tahun paling banyak menderita PPOM.

C. Patofisiologi PPOM

Patofisiologi PPOM adalah sangat komplek dan komprehensif


sehingga mempengaruhi semua sisitem tubuh yang artinya sama juga dengan
mempengaruhi gaya hidup manusia. Dalam prosesnya, penyakit ini bias
menimbulkan kerusakan pada alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi
pernafasan, kemudian mempengaruhi oksigenasi tubuh secara keseluruhan.

9
Abnormal pertukaran udara pada paru-paru terutama berhubungan dengan tiga
mekanisme berikut ini:
a. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi Hal ini menjadi penyebab utama
hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah.Keseimbangan normal
antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi
terganggu.Peningkatan keduanya terjadi ketika penyakit yang semakin berat
sehingga menyebabkan kerusakan pada alveoli dan dan kehilangan bed
kapiler. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi sama.
Ventilasi dan perfusi yang menurun bias dilihat pada pasien PPOM, dimana
saluran pernafasan nya terhalang oleh mukus kental atau bronchospasma. Di
sini penurunan ventilasi akan terjadi, akan tetapi perfusi akan sama, atau
berkurang sedikit. Banyak di diantara pasien PPOM yang baik empisema
maupun bronchitis kronis sehingga ini menerangkan sebabnya mengapa
mereka memiliki bagian-bagian,dimana terjadi diantara keduanya yang
meningkat dan ada yang menurun.
b. Mengalirnya darah kapiler pulmo Darah yang tidak mengandung oksigen
dipompa dari ventrikel kanan ke paruparu, beberapa diantaranya melewati bed
kapiler pulmo tanpa mengambil oksigen.Hal ini juga disebabkan oleh
meningkatnya sekret pulmo yang menghambat alveoli.
c. Difusi gas yang terhalang Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi
sebagai akibat dari sati atau da seba yaitu berkurangnya permukaan alveoli
bagi pertukaran udara sebagai akibat dari penyakit empisema atau
meningkatnya sekresi, sehingga menyebabkan difusi menjadi semakin sulit.

D. Manifestasi Klinis PPOM

Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri-ciri dari PPOM adalah


malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya adalah
ditandai dengan batukbatuk dan produksi dahak yang menjadi di saat pagi
hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.

10
Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk
menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin
banyak. Biasanya, pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan
kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien
tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah
tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah
sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari. Selain itu, pasien PPOM banyak yang mengalami
penurunan berat badan yang cukup drastis sebagai akibat dari hilangnya nafsu
makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya
kekuatan tubuh, kehilangan selera makan, penurunan kemampuan pencernaan
sekunder karena tidak cukup oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal.
Pasien PPOM lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak
mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan. Tanda dan gejala yang
khas pada pasien PPOM:
a) Batuk yang sangat produktif, puruken, dan mudah memburuk oleh iritan-
iritan inhalan, udara dingin, atau infeksi.
b) Sesak nafas dan dispnea.
c) Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru menyebabkan
dada mengembang.
d) Hipoksia dan Hiperkapnea.
e) Takipnea.
f) Dispnea yang menetap (Corwin, 2000: 437)

E. Penatalaksanaan PPOM pada lansia

Penatalaksanaan untuk penderita PPOM usia lanjut, sebagai berikut:


a. Meniadakan faktor etiologik atau presipitasi
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

11
c. Memberantas infeksi dengan antimikrobia. Apabila tidak ada infeksi anti
mikrobia tidak perlu diberikan.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator (Aminophillin
dan Adrenalin).
e. Pengobatan simtomatik (lihat tanda dan gejala yang muncul) - Batuk
produktif beri obat mukolitik/ekspektoran - Sesak nafas beri posisi yang
nyaman (fowler), beri O2 - Dehidrasi beri minum yang cukup bila perlu
pasang infus
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan, O2 harus diberikan dengan
aliran lambat: 1-2 liter/menit.
h. Mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi jumlah udara yang
terperangkap.
i. Memberi pengajaran mengenai tehnik-tehnik relaksasi dan cara-cara untuk
menyimpan energi.
j. Tindakan “Rehabilitasi”:
- Fisioterapi, terutama ditujukan untuk membantu pengeluaran sekret bronkus.
- Latihan pernafasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernafasan
yang paling efektif baginya.
- Latihan, dengan beban olah raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmaninya.
- Vocational Suidance: Usaha yang dilakukan terhadap penderita agar
sedapatdapat kembali mampu mengerjakan pekerjaan semula.
- Pengelolaan Psikososial: terutama ditujukan untuk penyesuaian diri
penderita dengan penyakit yang dideritanya (Dharmajo dan Martono, 1999:
385).

12
Konsep Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan PPOM

A. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelmain, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,
agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan
diagnose medik.
b. Keluhan utama
Keluhan utama klien adalah sesak nafas, setelah terpapar oleh alergen atau
faktor lain yang menyebabkan serangan PPOM.
1) Penyakit sekarang
Klien biasanya mempunyai riwayat merokok dan riwayat batuk kronis,
bertempat tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
2) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat alergi pada keluarga riwayat asma pada anak-anak.
Riwayat obat-obatan yang pernah dikonsumsi klien.
c. Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1) Pola pernapasan
Pernapasan : biasanya cepat, dapat lambat; fase ekspirasi memanjang
dengan mendengkur, napas bibir (emfisema). Penggunaan otot bantu
pernapasan, mis., meningkatkan bahu, retraksi fosa suprsklafikula,
melebarkan hidung.
Bunyi napas : redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronchitis); ronchi, mengi,
sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi
berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi napas (asma).
Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abu-abu
keseluruhan; warna merah (bronchitis konis,”biru mengembung”).
Pasien dengan emfisema sedang sering disebut “pink puffer” Karena

13
warna kulit normal meskipun pertukaran gas tidak normal dan
frekuensi pernapasan cepat. Tabuh pada jair (emfisema).
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena distress
pernapasan bahkan tidak makan sama sekali
3) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena sesak nafas yang dirasakan
4) Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan sulitnya bernafas yang
dirasakan lansia
5) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan pada lansia dan anggota keluarga
6) Pola sensori dan kognitif
Pola penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan
umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham
pada lansia
7) Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien dirawat di
rumah sakit
8) Pola penanggulangan stress
Biasanya lansia akan Nampak cemas
d. Pemeriksaan fisik
1) Sistem pernapasan
Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas, perpendekan
periode inspirasi, penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi
sternum, pengangkatan bahu waktu bernafas), pernafasan cuping
hidung, adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop, bunyi nafas :
wheezing, pemanjangan ekspirasi, batuk keras, kering, dan akhirnya
batuk produktif.
2) System kardiovaskuler

14
Takikardi, tensi meningkat, pulsus paradoksus (penurunan tekanan
darah > 10 mmHg pada waktu inspirasi), sianosis dehidrasi diaforesis
3) Psikososial
Peningkatan ansietas : takut mati, takut menderita, panik, gelisah.
Inspeksi :
Pada klien dengan PPOM, terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan serta penggunaan otot napas bantu. Pada inspeksi
biasanya dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat
udara yang terperangkap, penipisan masa otot, bernapas dengan bibir
yang dirapatkan, pernapasan abnormal yang tidak efektif. Pada tahap
lanjut, biasanya pada PPOM terjadi dispneu, batuk produktif dengan
sputum purulent disertai dengan demam yang mengidentifikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernapasan.
Palpasi :
Pada palpasi, ekspansi menigkat dan taktil premitus menurun.
Perkusi :
Pada perkusi terdapat suara normal sampai hipersonor. Sedangkan
diafragma menurun.
Auskultasi :
Sering didapat ada bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai tingkat
keparahan obstruksi pada bronchioles.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran udara inspirasi
dan atau ekspirasi tidak adekuat
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
kapiler dan alveolar

15
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakaseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia
6. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi

C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan bersihan jalan nafas dapat teratasi.
Intervensi :
1. Monitor respirasi dan status O2
2. Auskultasi suara nafas dan catat bila ada suara tambahan
3. Atur intake cairan mengoptimalkan keseimbangan cairan
4. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap
rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap
5. Berikan antibiotic sesuai saran dokter
6. Kolaborasi dengan dokter bila ada suara tambahan
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran udara inspirasi
dan atau ekspirasi tidak adekuat
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pola napas kembali normal.
Intervensi :
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan & ventilasi
2. Ajarkan klien latihan bernafas diafragmatik

16
3. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan
periode istirahat
4. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
5. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat dan jalan
nafas buatan
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
kapiler dan alveolar.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan masalh teratasi.
Intervensi :
1. Pantau klien terhadap dyspnea dan hipoksia
2. Pantau pemberian oksigen
3. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid
dengan tepat dan waspada kemungkinan efek sampingnya
4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk
membantu mengencerkan sekresisehingga ventilasi paru
mengalami perbaikan
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakaseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan masalah teratasi.
Intervensi :
1. Kaji tanda-tanda vital
2. Kaji respon individu terhadap aktivitas
3. Monitor respon fisik emosi, social dan spiritual
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
5. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan

17
6. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan
program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Intervensi :
1. Kaji intake dan output
2. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
3. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan
dengan ahli gizi)
4. Berikan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Makan dalam porsi sedikit tapi sering
6. Timbang BB tiap hari sesuai indikasi
7. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
6. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kebutuhan tidur terpenuhi.
Intervensi :
1. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi
high fowler
2. Anjurkan keluarga untuk melakukan pengusapan punggung
saat klien tidur
3. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan
kebiasaan pasien
4. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi.

18
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pengetahuan klien meningkat.
Intervensi :
1. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan
cara yang tepat
2. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
tentang proses penyakit yang spesifik
3. Jelaskan proses penyakit dengan cara yang dapat
dimengerti klien
4. Jelaskan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
dengan cara yang tepat
5. Instruksikan klien mengenai tanda dan gejala dan meberi
perawatan kesehatan dengan cara yang tepat.

F. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan dimana perawat melaksanakan rencana atau


intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Implementasi terdiri atas
melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang
digunakan untuk melaksanakan intervensi. Implementasi keperawatan
membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas perawat. Sebelum melakukan suatu
tindakan, perawat harus mengetahui alas an mengapa tindakan tersebut
dilakukan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya tindakan
keperawatan yang dilakukan harus sesuai dengan tindakan yang sudah
direncanakan, dilakukan dengan cara yang tepat, aman, serta sesuai dengan
kondisi klien, selalu dievaluasi mengenai keefektifan dan selalu
mendokumentasikan menurut urutan waktu. Aktivitas yang dilakukan pada
tahap implementasi dimulai dari pengkajian lanjutan, membuat prioritas,
menghitung alokasi tenaga, memulai intervensi keperawatan, dan

19
mendokumentasikan tindakan dan respon klien terhadap tindakan yang telah
dilakukan (Debora, 2013).

G. Evaluasi

Menurut Deswani (2011) evaluasi dapat berupa evaluasi struktur,


proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan
umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif
dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektivitas
pengambilan keputusan. Menurut Dinarti dkk (2013) evaluasi asuhan
keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subyektif, obyektif,
assessment, palnning).
Fokus utama pada klien Lansia dengan PPOM adalah untuk
mengembalikan kemapuan ADLS, mengontrol gejala, dan tercapainya hasil
yang diharapkan. Klien lansia mungkin membutuhkan perawatan tambahan di
rumah, evaluasi juga termasuk memonitor kemampuan beradaptasi dan
menggunakan teknik energy conserving, untuk mengurangi sesak nafas, dan
kecemasan yang diajarkan dalam rehabilitasi paru. Klien lansia membutuhkan
waktu yang lama untuk mempelaajari teknik rehabilitasi yang diajarkan.
Bagaimanapun, saat pertama kali mengajar, mereka harus mempunyai
pemahaman yang baik dan mampu untuk beradaptasi dengan gaya hidup
mereka.

20
A. Terapi medik yang lazim digunakan Oleh Lansia
a. Hipertensi
1. Terapi Medik
a. Diuretic Tiazid
Diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan
darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah
awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan
volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung
pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi
lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral,
terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid
terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan
sampai 12-24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari.
Efe anti hipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis
tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis
meningkat pada dosis tinggi.
Contohnya :
 Bendrofluazid
 Chlorothiazide
 Chlorthalidone
 Cyclopenthiazide
 Hydrochlorotiazide
 Indapamide
 Mefruside
 Metolazone
 Polythiazide
 Xipamide
b. Beta Blocker

21
Beta Blocker ialah kelas obat yang digunakan untuk menurunkan
tekanan darah. Beta blocker memblok beta‐ adrenoseptor. Reseptor
ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta ‐1 dan beta ‐2. Reseptor
beta ‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta ‐2
banyak  ditemukan di paru ‐ paru, pembuluh darah perifer, dan otot
lurik. Reseptor beta ‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan
reseptor beta ‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor
beta juga dapat ditemukan di otak. Beta ‐ blocker yang selektif
(dikenal juga sebagai cardioselective beta ‐  blockers),
misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta ‐1, tetapi tidak
spesifik untuk reseptor beta ‐1 saja oleh karena itu penggunaannya
pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hati‐
hati. Beta ‐ blocker yang non selektif (misalnya propanolo)
memblok reseptor beta ‐1 dan beta ‐2.
Contohnya :
 Celiprolol hydrochloride
 Esmolol hydrochloride
 Labetalol hydrochloride
 Eetaprolol tartrate
  Nadolol
 Oxprenolol hydrochloride
 Pindolol
 Sotalol hydrochloride
 Timolol maleate
c. ACE Inhibator
Angiotensin converting enzyme inhibitor ( ACE ) menghambat
secara kompetitif pembentukan angiotensin && dari precursor
angiotensin l yang inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh
darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II

22
merupakan vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan
aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. penghambatan
pembentukan angiotensin il ini akan menurunkan tekanan darah.
Jika system angiotensin rennin aldosteron teraktivasi (misalnya
pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretic) efek 
antihipertensi ACE akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab
terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai
efek vasodilatasi. (enghambatan degradasi ini akan menghasilkan
efek antihipertensi yang lebih kuat. Seberapa perbedaan pada
parameter farmakokinetik obat ACE. "aptopril cepat diabsorpsi
tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat
untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada
pemberian ACE. Dosis pertama ACE harus diberikan  pada malam
hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi4
efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium
rendah.
Contoh :
 Captopril
 Cilazapril
 Enalapril meleate
 Fosinopril
 Lisinopril
 Moixipril hydrochloride
 Perindopril
 Quinapril
 Ramipril
 trandolapril
d. Alpha Blocker

23
Alpha ‐ blocker (penghambat adrenoseptor alfa ‐1) memblok
adrenoseptor alfa ‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi
karena merelaksasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan
untuk hipertensi yang resisten.
Contohnya
 Doxazosin
 Indoramin
 Phenoxybenzamine hydrochloride
 Phentolamine mesylate
 Prazosin
 Terazosi
2. Terapi Non Farmakologi
a. kurangi konsumsi garam
Mengurangi konsumsi garam dengan tidak menambahkan ke
dalam makanan yang dihidangkan di meja atau yang sedang
dimasak. Hanya sekitar 1 gram per hari yang ditambahkan ke
dalam makanan yang ditambahkan ke dalam makanan yang
dihidangkan. Terdapat bukti bahwa tekanan darah yang lebih
rendah pada orang-orang yang bekerja sebagai eksekutif atau
manager senior  berkaitan dengan konsumsi garam mereka yang
lebih rendah.
b. Pegganti Garam
Ada beberapa pegganti garam yang sekarang tersedia di toko-toko.
Pengganti ini mengandung sedikit sodium klorida atau lebih
banyak potasium klorida. 'eskipun idealnya tidak ada seorangpun
yang membutuhkan tambahan kristal atau bahan kimiawi tertetu
dalam makanannya, namun jika benar9benar tidak menyukai
makanan yang mengandung sedikit garam, anda dapat
menggunakan pengganti garam tersebut, sehingga ginjal bisa tetap

24
berfungsi secara normal. Perlu menggunakan pengganti garam
secara hati-hati jika sedang menggunakan obat-obat yang
berfungsi mempertahankan potasium (potassium-sparing drug)
seperti pil amiloride, atau jika ginjal tidak berfungsi dengan baik,
karena bisa memiliki tingkat potasium yang tinggi dalam tubuh.
c. pengganti berat badan
Untuk setiap kilogram berat badan anda yang hilang maka tekanan
darah akan turun sekitar satu mmHg. Jadi, jika tekanan darah
hanya sedikit meningkat, dapat kembali normal jika mengurangi
sedikit berat badan. Namun, hal ini tidak mudah dilakukan kecuali
mendapatkan anjuran yang tepat dan memiliki motivasi yang kuat,
selain mengurangi penggunaan garam dalam makanan.
d. Pengendalian minum mengandung alcohol
Alkohol mempunyai pengaruh terhadap tekanan darah, dan secara
keseluruhan semakin banyak  alkohol yang diminum akan semakin
meningkatkan tekanan darah. Meminum berat atau alkoholik
sangat berisiko meningkatkan tekanan darah dan juga memiliki
kecenderungan kuat untuk mengalami stroke. Minum lebih dari
empat kali per hari akan mengakibatkan risiko hipertensi dan
stroke, juga berdampak merusak pada organ hati, sistem saraf dan
kualitas hidup.
e. melakukan Olahraga
Penelitian menunjukkan bahwa melakukan olahraga secara rutin
dangat berhubungan dengan penurunan tekanan darah.
Mekanismenya tidak seluruhnya jelas, tetapi kemungkinan
berkaitan dengan perubahan pola makan yang sering dilakukan
pada saat mulai berolahraga secara teratur.
f. suplemen Potasium
Meskipun terdapat bukti bahwa dengan meningkatkan jumlah
potasium dalam pola makan dapat menurunkan tekanan darah,

25
tidak perlu mengkonsumsi suplemen yang berbentuk garam atau
tablet potasium. Sebaliknya, harus meningkatkan jumlah potasium
dalam pola makan dengan makan lebih banyak buah-buahan dan
sayuran segar, dan pada saat yang sama mengurangi garam dari
makanan yang diproses.
g. Konseling Stress
Hal ini berkaitan dengan stres kronik yang dapat ningkatkan
tekanan darah. Namun, banyak  orang menderita hipertensi
mengalami stres berat oleh berbagai alasan, seperti masalah
probadi, kecemasan dalam pekerjaan, atau perkembangan keadaan
cemas yang tidak jelas penyebabnya. Jika hal ini terjadi, konseling
stres dan dalam kasus-kasus yang berat, pengobatan psikiatrik 
dapat membentu mengurangi stres, sihingga tekanan darah
menurun pada saat yang sama. Banyak terapi yang digunakan
seperti relaksasi, yoga, biofeedback, atau teknik serupa lainnya.
b. Asma
1. Terapi Medik
a. Agonis beta -2
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus melapangkan
bronkus. Penggunaan agonis beta-2 tidak digunakan secara reguler,
tapi hanya jika diperlukan (jika sesak). Contoh: Salbutamol
2mg/4mg, 4 Terbutalin 2,5mg, pirbuterol, prokaterol, fenoterol.
b. Kortikosteroid
Digunakan untuk 2 tujuan yaitu mengurangi inflamasi bronkus dan
mengurangi hipersensitivitas bronkus. Digunakan secara reguler
(long term). Digunakan untuk profilaktik maupun mengatasi
serangan akut. Contohnya Beklometason ==mg Budesonida
200mcg.
c. Golongan Xanthine

26
Memberikan efek bronkodilatasi (pelebaran bronkus). Contoh:
Teofilin 150 mg ; Aminofilin = Teofilin 85% + Etilendiamin
15%.
d. Golongan antileukorien
Leukotrien : merupakan mediator yang bersifat bronkokonstriktif
memicu asma. obat bekerja dengan cara menghambat efek
bronkokonstriktif dari leukotrien. contoh zafirlukast 20 mg tab 4
zileuton 600 mg tab.

c. Gangguan berkemih (Inkontensia Urine


1. Terapi Kompkementer
a. Latihan Otot Dasar dan Panggul
Latihan ini bertujuan memperkuat sfingter kandung kemih dan otot
dasar panggul, yaitu otot-otot yang berperan mengatur miksi.
latihan ini akan efektif jika dilakukan berulang-ulang untuk 
inkontinensia stress dan urgensi. -atihan otot dasar panggul yang
terkenal adalah latihan Kegel  berupa gerakan mengencangkan dan
melemaskan kelompok otot panggul dan daerah genital. Latihan ini
dilakukan dengan membayangkan seolah-olah Anda sedang miksi
atau berdefekasi, tetapi kemudian otot panggul dikencangkan
untuk menutup sfingter kandung kemih dan sfingter ani. Hal
tersebut ditahan selama 3 detik dan langkah9langkah tersebut
diulangi beberapa kali. Senam tersebut efektif untuk pasien
inkontinensia stres, urgensi, atau campuran. Petunjuk dan arahan
yang jelas diperlukan karena bila pelatihan dilakukan secara tidak
tepat, inkontinensia dapat bertambah parah
b. Stimulasi Listrik
Elektroda dimasukkan ke dalam rektum atau vagina untuk memacu
dan memperkuat otot dasar  panggul. Stimulasi ringan sudah cukup
efektif pada inkontinensia dan inkontinensia urgensi, tetapi

27
pendekatan ini memerlukan beberapa bulan dan kombinasi dengan
modalitas pengobatan lain untuk mendapatkan hasil yang lebih
optimal.
2. Terapi Medik
a. Antikolinergik
Obat ini menenangkan kandung kemih yang terlalu aktif sehingga
berguna untuk inkontinensia urgensi. Seberapa obat yang termasuk
dalam kategori ini adalah oxybutyin, tolterodin, darifenasin,
solifenasin, dan trospium.
b. Estrogen Topikal
preparat hormon ini tersedia dalam bentuk salep atau krim vaginal
untuk mengubah kondisi jaringan di daerah uretra atau vagina. Hal
tersebut akan mengurangi beberapa gejala inkontinensia urine.
c. Impramin
Obat ini sebenarnya merupakan suatu anti depresan trisiklik yang
digunakan pada inkontinensia campuran (urgensi dan stress)
d. Obat obat yang diberikan pada inkontensia urine adalah
antikoligernik seperti Oxybutinin, propanteine, Dicylomine,
Flavoxate, imipramine.
e. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonosis seperti
bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi konstraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
f. Pada inkontensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi uretra.
3. Pemanafaatan Catatan Berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar, baik  yang keluar secara normal, maupun yang keluar
karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis
minuman yang diminum.
4. Terapi Non Farmakologi

28
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih) dengan teknik  relaksasi dan distraksi
sehingga frekwensi berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan
dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih  pada interval
waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu9waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan
fungsi kognitif (berpikir).
 Melakukan latihan otot dasar panggul dengan
mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul
tersebut adalah dengan cara :
 Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam
keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke
kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10
kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum
jam ± 10 kali.
 Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita
buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan

29
agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra
dapat tertutup dengan baik.
5. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
6. Modalitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan
bedpan.
7. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana
pengobatan sudah tidak  berhasil mengatasi inkontinensia urin. Pada
lansia yang memiliki kulit yang rapuh, cegah terjadinya perobekan
kulit dengan meminimalkan jumlah pemakaian plester.

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

PPOM adalah kelaianan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi


paru berupa memanjangkan periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran nafas tidak banyak mengalamai perubahan dalam masa
observasi beberapa waktu. PPOM terdiri dari kumpulan tiga penyakit yaitu
bronkitis kronik, emfisema paru dan asma
Faktor resiko dari PPOM adalah merokoksigaret yang berlansung
lama, populasi udara, infeksi paru berulang, umur, defiasi antioksigdan.
Manifestasi penyakit PPOM ini adalah pada lansia

B. Saran

Untuk lansia :
Menghindari faktor resiko.
Untuk keluarga:
Memberikan dukungan
Setelah memahami PPOM yang sering terjadi dikalangan pria dan usia
lanjut . iharapkan dari makalah ini dapat mengembangkan pengetahuan
mahasiswa. Nuntuk pembaca dan perawat dapat mengambil inti dari makalah
ini sehingga dapat menerapkan dalam dunia pendidikan atau lapangan kerja.

31
DAFTAR PUSTAKA
Sainan, Putra. (2020).Lp& Askep PPOM.
https://www.scribd.com/document/455136494/LP-ASKEP-PPOM-1

32

Anda mungkin juga menyukai