Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PATOLOGI KARDIOPULMONAL

CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE


(COPD)

Disusun Oleh:

Wiwit Primaningati : 201710490311003

Fathona Priska P : 201710490311010

Barrah : 201710490311016

Aulia Rahma Nur C : 201710490311022

Anniza Hasyim : 201710490311028

Nurlaili Ramdani : 201710490311034

Tsania Putri A : 201710490311040

Nur Hamidah : 201710490311048

Sielma Ajeng A : 201710490311054

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


FISIOTERAPI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah Patologi Kardiopulmonal tentang Chronic
Obstructive Pulmonary Disease dengan baik.

Adapun makalah ilmiah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah
ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadar sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah ilmiah Patologi


Kardiopulmonal tentang Chronic Obstructive Pulmonary Disease ini dapat
diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan ilmu tentang
bahayanya COPD ini terhadap tubuh kita dan sebagai seorang terapis kaminbisa
memeberikan ilmu mengenai cara yang efektif untuk mencegah dan mengobati
COPD ini.

Malang, November 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
A. Pengertian ............................................................................................................... 2
B. Etiologi.................................................................................................................... 3
C. Prevalensi ................................................................................................................ 7
D. Patofisiologi ............................................................................................................ 9
E. Tanda dan Gejala .................................................................................................. 10
F. Peran Fisioterapi ................................................................................................... 10
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 15
B. Saran ..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmonary Disease adalah istilah untuk berbagai penyakit paru-paru yang
mempengaruhi pernafasan. Ini merujuk ke penyakit paru-paru yang kronis,
progresif dan kebanyakan tidak dapat dipulihkan. penyakit paru-paru yang
paling umum yang termasuk dalam istilah ini yaitu emfisema dan bronchitis
kronis. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit peradangan
paru yang berkembang dalam dalam jangka waktu panjang. Penyakit ini
menghalangi aliran udara dari paru-paru karena pembengkakan dan lendir atau
dahak, sehingga penderitanya sulit bernafas. merusak saluran pernafasan yang
membawa udara ke paru-paru. Dinding saluran pernafasan menjadi menyempit
dan bengkak, sehingga menghalangi aliran udara masuk dan keluar dari paru-
paru.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Merokok adalah faktor risiko untama dalam mayoritas
kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Sebagian besar penderita PPOK
adalah orang-orang yang berusia paruh baya dan perokok. penderita penyakit ini
beresiko untuk mengalami penyakit jantung dan kanker paru-paru.
Pada tahap-tahap awal, PPOK jarang menunjukkan gejala atau tanda
khusus. Gejala penyakit ini baru muncul ketika sudah terjadi kerusakan yang
signifikan pada paru-paru, umumnya dalam waktu bertahun-tahun.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari CPOD?
2. Apa etiologi dari CPOD?
3. Bagaimana prevalensi CPOD?
4. Bagaimana patofisiologi dari CPOD?
5. Apa tanda-tanda dan gejala CPOD?
6. Bagaimana penangananfisioterapi pada penderita CPOD?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari CPOD
2. Mengertahui etiologi dari CPOD
3. Mengetahui prevalensi CPOD
4. Mengetahui patofisiologi dari CPOD
5. Mengetahui tanda-tanda dan gejala pada CPOD
6. Menegathui bentuk penanganan fisioterapi pada penderita CPOD?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Chronic Obstructive Pulmonary Disease(COPD) adalah penyakit
obstruksi saluran nafas kronis dan progresif yang dikarakterisir oleh adanya
keterbatasan aliran udara yang bersifat irreversibel, yang disebabkan oleh
bronkitis kronis, emphysema atau keduanya. Bronkitis kronik adalah suatu
kondisi dimana bronkus mengalami inflamasi dan kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,sekurang-
kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Sedangkan emfisema rusaknya kantung udara yang terdiri dari balon-balon
yang bergerombol seperti buah anggur menjadi kantung udara dengan lubang-
lubang didindingnya.

Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di


saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara
tersebut biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi
pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya.

 Tingkat Keparahan COPD


Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut
American Thoracic Society (ATS)4 penggolongan PPOK
berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu ringan, sedang,
berat dan sangat berat. Gejala ini ditandai dengan sesak napas pada
penderita yang dirinci sebagai berikut :

2
a. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0
b. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau
sedikit mendaki nilai 1 skala ringan. Serta pengukuran
spirometri menunjukkan nilai VEP1 ≥ 50 %
c. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia
karena sesak napas, atau harus berhenti sesaat untuk bernapas
pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2 skala sedang.
d. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit berjalan nilai 3 skala berat
e. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari
terganggu atau sesak napas saat menggunakan atau melepaskan
pakaian, nilai 4 skala sangat berat

Pada penderita PPOK derajat berat sudah terjadi gangguan


fungsional sangat berat serta membutuhkan perawatan teratur dan
spesialis respirasi

 Tipe COPD
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter
Paru Indonesia) tahun 2005 maka COPD dikelompokkan ke dalam:
a. COPD ringan : adalah pasien dengan atau tanpa batuk.
Dengan atau tanpa produksi sputum dan dengan sesak napas
derajad nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan
Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal)
dan VEP1/KVP < 70 %
b. COPD sedang : adalah pasien dengan gejala klinis dengan
atau batuk. Dengan atau produksi sputum dan sesak napas
dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya
menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi
c. COPD berat : adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas
derajad tiga atau empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi
lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau
gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan
VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 %
dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil
pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia
dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia

B. Etiologi
1. Asap Rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala
respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi
dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD

3
bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut
mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama
orang tersebut merokok.Enviromental tobacco smoke (ETS) atau
perokok pasif juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan
COPD dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi
sehingga mengakibatkan paru-paru “terbakar”.Merokok selama masa
kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko kepada janin,
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan
perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat
mengganggu sistem imun dari janin tersebut
2. Polusi Tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Polusi Dalam Ruangan (Indoor Air Polution) dan Luar Ruangan
(Outdoor Air Polution)
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang,
kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil
energi untuk memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga
lainnya. Sehingga IAP memiliki tanggung jawab besar jika
dibandingkan dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang
kendaraan bermotor. IAP diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan
anak-anak setiap tahunnya.
4. Jenis Kelamin
Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita.
Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi
dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini
dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk
terkena COPD dibandingkan perokok pria.
5. Status Sosial Ekonomi dan Status Nutrisi
6. Infeksi Saluran Nafas Berulang
7. Asma
8. Usia
9. Kelemahan Paru-paru Usia Dini
Informasi paling banyak lahir pada Studi kohort yanag berasal datang
dari Tucson (AZ, USA) menunjukkan bahwa pada orang sehat tanpa
penyakit mengi, fungsi paru-paru sentil setelah lahir mempengaruhi
fungsi paru-paru sentil pada dekade ketiga kehidupan. Kohort
Melbourne menunjukkan Asma yang parah merupakan faktor risiko
penting untuk perkembangan penyakit paru obstruktif kronik, dan
merupakan indikator yang lebih menonjol daripada merokok.
Selanjutnya, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik memiliki
fungsi paru terendah dibandingkan dengan orang sehat dan penderita
asma pada usia 10 tahun, yang berlanjut hingga usia 50 tahun. Secara

4
bersama-sama, kohor ini menunjukkan bahwa spirometri pada usia 4-6
tahun mempengaruhi ketinggian dataran tinggi spirometri dicapai pada
20-25 tahun,
10. Respons Hiper Bronkus
Respons hiper-bronkial sering dianggap sebagai tanda asma, tetapi
juga telah terbukti ada pada penyakit paru obstruktif kronik. Respons
hiper-bronkus perkembangan gejalanya mirip penyakit obstruktif paru
kronik pada umumnya. populasi dan respon hiperpsi bronkus yang
lebih berat dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru yang
dipercepat berikutnya. Yang mendorong hubungan antara respon
hiper-bronkus dan penyakit paru obstruktif kronik belum dijelaskan.
Respon hiper-bronkus terdiri dari komponen variabel dan tetap.
Komponen variabel sebagian besar berasal dari pelepasan akut
mediator pro-inflamasi sebagai akibat peradangan saluran napas yang
sedang berlangsung. Komponen persisten hasil dari struktur perubahan
saluran udara seperti deskuamasi epitel, metaplasia sel goblet, fibrosis,
peningkatan massa otot polos, angiogenesis, dan perubahan matriks
ekstraseluler. Perubahan ini dapat terjadi pada saluran napas besar dan
kecil dan berhubungan dengan berkurangnya jumlah saluran udara,
terutama saluran udara yang lebih kecil, pada penyakit paru obstruktif
kronik. Gagasan yang menarik adalah bahwa kelainan saluran napas
kecil mungkin berhubungan dengan tingkat keparahan hiperkalgia.
responsiveness pada penyakit paru obstruktif kronik, seperti pada
asma, tetapi pada tingkat yang lebih asin, yang menghubungkan hiper
respons bronkus terhadap perkembangan penyakit paru obstruktif
kronik terkait dengan penyakit saluran napas kecil. Selain itu, respon
hiper-bronkus pada usia 1 bulan merupakan faktor risiko untuk
mengurangi fungsi paru-paru di masa kanak-kanak. Asosiasi ini
mungkin kompatibel dengan hipotesis bahwa perkembangan paru
abnormal mendasari adanya respon hiper-bronkus, yang mungkin
sebagian karena maldevelopment dari saluran udara di utero. Secara
bersama-sama, kehadiran dan keparahan respon hiper-bronkial
merupakan faktor risiko independen untuk perkembangan penyakit
paru obstruktif kronik
11. Raparan Anak Usia Dini dalam Rahim
Kejadian yang tidak diinginkan pada ibu dapat memiliki efek langsung
pada janin atau anak, atau mengungguli tubuh anak untuk
mengembangkan respons abnormal terhadap kejadian di kemudian
hari. Menurut asal perkembangan hipotesis kesehatan dan penyakit
(DOHAD), kejadian di rahim dapat memprogram ulang seseorang
untuk segera beradaptasi dengan gangguan gestasional, yang dapat
memiliki konsekuensi untuk risiko perkembangan penyakit metabolik

5
di kemudian hari. Lingkungan gestasional yang berubah telah
dikaitkan dengan penyakit metabolik dewasa oleh defisiensi kalori
dirahim (dari kelaparan atau insufisiensi uteroplasenta) dan
kelimpahan kalori dalam rahim (dari diet tinggi lemak, padat kalori
ibu).
Efek epigenetik transgenerational pada risiko asma telah terbukti ada.
Jadi, nenek yang merokok meningkatkan risiko anak-anak putrinya
menderita asma, bahkan jika anak perempuannya sendiri tidak
merokok. Mekanisme efek ini diduga berfungsi melalui metilasi gen.
Kemungkinan diet, polusi, dan lainnya diketahui. efek epigenetik
mungkin juga memiliki efek transgenerational epigenetik pada janin
tidak dapat dikecualikan. Strategi preventif adalah wajib, tetapi
mungkin hanya akan memberikan hasil dalam jangka waktu yang
sangat panjang.
Peristiwa antenatal yang paling penting dan paling diteliti adalah ibu
yang merokok bersama dengan atopi dan hipertensi , menyebabkan
gangguan fungsi paru segera setelah lahir. Paparan terhadap asap juga
menyebabkan perubahan dalam respon imunologi darah tali pusat.
Efek antenatal lainnya yang dapat mempengaruhi perkembangan paru-
paru janin, respon imun dalam darah tali pusat, atau keduanya
termasuk diabetes ibu, penggunaan obat ibu (misalnya, parasetamol
dan antibiotik) , paparan ibu terhadap polusi udara, dan kehamilan
sebelumnya (termasuk keguguran)
12. Eksposur Anak Usia Dini
Efek buruk dari rokok orang tua didokumentasikan dengan baik.
Namun, pertanyaan kontroversial kunci adalah apakah atau tidak
infeksi virus awal menyebabkan asma dan dengan demikian
kerentanan jangka panjang terhadap penyakit paru obstruktif kronik.
Infeksi dengan virus pernapasan syncytial, dan terutama rhinovirus,
tidak diragukan lagi terkait dengan perkembangan asma, tetapi bukti
yang paling meyakinkan menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak
kausatif. Abnormalitas imunologis dapat dideteksi pada darah tali
pusat bayi yang kemudian berkembang mengi penyakit saluran
pernafasan bawah, 9dan gangguan fungsi paru mendahului episode
mengi pertama. Selanjutnya, lokus 17q21 dikaitkan dengan wheezing
rhinovirus yang diinduksi. Oleh karena itu, infeksi virus penanda
struktur dan fungsi gangguan yang sudah ada sebelumnya yang
mengarah pada asma, bukan langsung kausal.
13. Genetik
Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit multifaktorial di mana
gen dan lingkungan berinteraksi untuk mendorong perkembangan
penyakit. Beberapa studi asosiasi genome telah menemukan gen yang

6
berhubungan dengan kehadiran gangguan dan keparahan obstruksi
aliran udara- -namanya, CHRNA3, CHRNB3 / 4, HHIP, dan
FAM13A. Selain itu, beberapa gen telah dikaitkan dengan fungsi paru-
paru rendah pada populasi umum, termasuk AGER, GPR126, GSTCD,
HTR4, THSD4, dan TSN1. Namun, fungsi paru-paru rendah pada
populasi umum bisa karena asma, penyakit paru obstruktif kronik, atau
keduanya, terutama pada orang tua. Situasi ini sangat menghambat
studi genetika penyakit paru obstruktif kronik dan memang gen yang
diterbitkan ini mungkin tidak spesifik baik untuk asma atau penyakit
paru obstruktif kronik. Mereka mungkin juga menunjukkan
perkembangan paru-paru abnormal di utero, driver lingkungan yang
berbeda dari penyakit, atau keduanya. Selain merokok aktif, paparan
asap tembakau lingkungan pasif juga menginduksi peradangan paru-
paru dan stres oksidatif. Paparan asap tembakau lingkungan telah
dikaitkan dengan fungsi paru-paru yang terganggu saat lahir78,113 dan
pada usia dewasa, dan dengan gejala pernapasan, dan peningkatan
risiko penyakit paru obstruktif kronik. Paparan asap tembakau
lingkungan karenanya dapat mempengaruhi perkembangan paru-paru
di utero, pertumbuhan paru-paru selama masa kanak-kanak, dan
hilangnya fungsi paru selama masa dewasa. Interaksi gen-lingkungan
ada karena telah ditunjukkan bahwa bayi dari ibu yang membawa
polimorfisme GST-null paling rentan terhadap efek buruk merokok.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa polimorfisme pada gen
GSTO berinteraksi dengan paparan asap tembakau lingkungan baik di
dalam rahim dan di masa dewasa dan secara signifikan mempengaruhi
FEV1 di masa dewasa, sehingga mendukung gagasan bahwa gen dan
rangsangan lingkungan berinteraksi pada berbagai tahap kehidupan.
Namun, penulis mengakui bahwa mereka tidak merekam efek interaksi
signifikan yang signifikan dari polimorfisme nukleotida GSTO tunggal
dan paparan asap tembakau lingkungan pada FEV1: rasio FVC.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa efeknya bersifat restriktif,
bukan obstruktif, yang menarik perhatian pada masalah yang ada
dengan penggunaan hanya pengurangan FEV1 sebagai tanda penyakit
paru obstruktif kronik

C. Prevalensi
PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin
tingginya pajanan faktor resiko, seperti banyaknya jumlah perokok,
serta pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar ruangan
(Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011). Berdasarkan sudut pandang

7
epidemiologi, laki-laki lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan dengan
wanita karena kebiasaan merokok (Mannino & Buist,2007).

a. Prevalensi yang Terjadi di Dunia


World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang
menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat
sedang hingga berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama
kematian kelima di dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga
kematian di seluruh dunia tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang
meninggal karena PPOK pada tahun 2005, yang setara dengan 5%
dari semua kematian secara global (WHO,2015).

b. Prevalensi yang Terjadi di Luar Negeri


Prevalensi kejadian PPOK di dunia rata-rata berkisar 3-11% (GOLD,
2015). Pada tahun 2013, di Amerika Serikat PPOK adalah penyebab
utamakematian ketiga, dan lebih dari11 jutaorang telah didiagnosis dengan
PPOK (American Lung association, 2015). Menurut data penelitian dari
Regional COPD Working Group yang dilakukan di 12 negara di Asia
Pasifik rata-rata prevalensi PPOKsebesar 6,3%, dengan yang terendah
3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi di Vietnam sebanyak
6,7%. Indonesia menunjukkan prevalensi sebanyak 5,6% atau 4,8juta
kasus untuk PPOK derajat sedang sampai berat (Regional COPD Working
Group, 2003).

c. Prevalensi yang Terjadi di Indonesia


Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM &
PL di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan) pada tahun
2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang
angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%). kanker paru (30%)
dan lainnya (2%) (PDPI, 2011). Menurut Riset Kesehatan Dasar, pada
tahun 2007 angka kematian akibat PPOK menduduki peringkat ke-6
dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan prevalensi PPOK rata-
rata sebesar 3,7% (Riskesdas, 2013).

Propinsi Sumatera Barat berada pada urutan ke-23 berdasarkan


jumlah penderita PPOK di Indonesia, dengan prevalensi sebesar 3,0%
(Riskesdas, 2013).Berdasarkan jumlah kunjungan di RSUP DR. M.Djamil
Padang dan Rumah Sakit Khusus Paru Sumatera Barat memiliki jumlah
penderita PPOK cukup banyak, berdasarkan survei awal penelitian
didapatkan jumlah kunjungan pasien PPOK rawat jalan di Poliklinik
Paru non infeksi RSUP Dr M jamil Padang pada bulan juli hingga
November 2015 sebanyak 226 dari 943 kunjungan, sedangkan jumlah

8
kunjunganPPOK di Rumah Sakit Khusus Paru Sumatera Barat sebanyak
2.2843 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada tahun 2014 dan
kunjungan tersebut menempati kunjungan ke-2 terbanyak setelah asma
bronkial untuk penyakit paru non infeksi.

D. Patofisiologi

COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali memberikan


kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang menahun
pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang
berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya
otot-otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga
menyebabkan hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi
edema dan inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama
disebabkan elastisitas paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala
sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi
(penyumbatan). Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan obstruksi
jalan napas mengakibatkan hiperventilasi (napas lambat dan dangkal)
sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan menyebabkan
hiperkapnia (CO2 di dalam darah/cairan tubuh lainnya meningkat).
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang
menarik jaringan paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran
pernapasan bagian bawah paru akan tertutup. Pada penderita COPD
saluran saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak
yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak
seimbang. Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan

9
ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusi baik, sehingga penyebaran
pernapasan udara maupun aliran darah ke alveoli, antara alveoli dan
perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama). Timbul hipoksia dan sesak
napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah paru dan polisitemia.

E. Tanda dan Gejala


1. “Smoker’s cough” (batuk khas perokok), terjadi berselang atau
beberapa hari dan seringkali terjadi sepanjang hari biasanya hanya
diawali sepanjang pagi yang dingin kemudian berkembang menjadi
sepanjang tahun.
2. Peningkatan volume Sputum, biasanya banyak dan lengket
(mucoid), berwarna kuning, hijau, atau kekuningan bila terjadi
infeksi.
3. Dipsnea (sesak nafas), dan dada terasa berat. Ekspirasi menjadi
fase yang sulit pada saluran pernafasan. Bersifat progresif
sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika berolahraga,
dan memburuk jika terjadi infeksi saluran pernafasan.
4. Lelah dan lesu. Adanya penurunan toleransi terhadap gerakan fisik
(cepat lelah, terengah-engah)
Gejala pada kasus PPOK berat :
1. Cyanosis (kulit membiru) akibat terjadi kegagalan respirasi
2. Gagal jantung kanan (cor pulmonale) dan edema perifer
3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang
memerah yang disebabkan polycythemia (erythrocytosis, jumlah
eritrosit yang meningkat)

F. Peran Fisioterapi
Rehabilitasi paru untuk pasien COPD terdiri atas spectrum intervensi yang
memiliki rentang dari instruksi berbasis tugas dasar hingga program residu
komprehensif.

Tujuan Penanganan Fisioterapi:


a. Mendorong pasien untuk melakukan latihan fisik
b. Memberi saran untuk menghentikan kebiasaan merokok
c. Meningkatkan pengendalian berat badan dan kebiasaan hidup sehat
d. Meminimalkan pembatasan aliran udara
e. Menurunkan gejala pernafasan
f. Mencegah atau mengatasi komplikasi

Terapi Fisioterapi pada Pasien:

10
1. Maneuver Terapeutik
Drainase postural: melibatkan penggunaan gravitasi untuk membantu
mengeluarkan sekresi saluran nafas dari segemn atau lobus paru ke
jalan nafas pusat. Hal ini dilakukan dengan menempatkan bronkus
segmental yang akan dikeluarkan sekresinya pada posisi ventrikal
berkaitan dengan gravitasi.
 Indikasi
- Kesulitan dalam membersihkan sekresi seperti
Produksi sputum lebih dari 25 hingga 30 ml (orang dewasa)
Sekresi tertahan pada pasien yang terpasang jalan nafas buatan
- Adanya atelectasis akibat penyumbatan mucus.
- Diagnose penyakit seperti fibrosis kistik, bronkiektasis, COPD,
atau penyakit paru berkavitasi.
- Adanya badan asing di jalan nafas.
 Kontraindikasi
- Absolut
Cidera kepala dan leher hingga stabil
Perdarahan aktif dengan ketidakstabilan hemodinamik.
- Relative
Tekanan intracranial >20 mmHg
Pembadahan saraf dan mata pada pasien yang mengalami
peningkatan tekanan intracranial, dikontraindikasikan
dilakukan penangangan ini.
Aneurisma
Pembedahan spinal atau cidera spinal akut yang baru saja
dialami
Empyema
Fistula bronkopleura
Edema paru kardiogenik
Efusi pleura besar
Emboli paru
Pasien lansia, mengalami konfusi dan ansietas.

2. Posisi Relaksasi
Posisi relaksasi merupakan teknik sederhana yang diranjang untuk
membantu meredakan dyspnea pada pasien COPDatau pasien yang
mengalami sesak nafas akut. Posisi ini memiliki efek utama :
a. Fleksi ke depan hingga sekitar pergelangan tangan, seraya
menggerakan otot abdomen sehingga memfasilitasi penurunan
diafragma.
b. Menahan lengan atas memungkinkan pasien membuat penggunaan
otot aksesoris pernafasan lebih efesien.

11
c. Dilakukan secara bersamaan, postur ini membantu mengurangi
kerja nafas, meningkatkan volume tidal dan menurunkan sensasi
dyspnea subjektif.

Perkusi dan Vibrasi melibatkan penerapan energy mekanisme ke


dinding dada menggunakan kedua tangan atau berbagai alat listrik atau
pneumatic. Kedua metode dirancang untuk meningkatkan pembersihan
sekresi. Vibrasi dirancang untuk membantu pergerakan sekresi kearah
jalan nafas pusat selama ekshalasi. Dilain pihak, perkusi membantu
melonggarkan sekresi yang bertahan dari pohon trakeobronkial
sehingga mudah untuk dibatukkan atau dilakukan suction

 Kontraindikasi
- Emfisema subcutaneous
- Infusis spinal epidural atau anastesi spinal terkini
- Luka bakar, luka terbuka, dan infeksi kulit thoraks.
- Tandur kulit atau flaps kulit terbaru pada thoraks
- Penempatan pacemaker transvena atau subkutan saat ini
- Dicurigai tuberculosis paru
- Bronkuspasme
- Osteoporosis
- Keluhan nyeri di dinding dada
- Kontusio paru
- Osteomyelitis kulit

3. Teknik Perkusi
Perkusi manual dilakukan dengan tangan yang dibentuk seperti posisi
mangkok, dengan jari dan ibu jari rapat. Dengan cara ini, bantalan
udara terperangkap antara tangan dan dinding dada. Gaya
membenturkan tangan dilakukan untuk melawan kulit yang kosong,
meskipun lapisan tipis pakaian (seperti pakaian rumah sakit atau
lapisan tempat tidur) sangat menganggu transmisi gelombang energi.
RCP menahan lengan dengan siku fleksi sebagian dan pergelangan
tangan lepas, lakukan penepukan dinding dada secara ritmis dalam
gerakan bergelombang, menggunakan kedua tangan secara bergantian

4. Teknik Vibrasi
Vibrasi dada seringkali dilakukan bersamaan dengan perkusi tetapi
terbatas pada pernafasan selama ekhalasi. Biasanya, RCP diletakkan
satu tangan pada dada pasien diatas area yang terdapat sekresi dan
letakkan tangan lain diatas tangan pertama atau, tangan pemeriksa
dapat diletakkan di sisi dada. Setelah pasien bernafas dalam, pemeriksa

12
memberikan tekanan ringan hingga sedang pada dinding dada melalui
gerakan vibrasi cepat tangan selama ekspirasi.

 Indikasi
- Kebutuhan untuk membersihkan sekresi yang tertahan atau
menumpuk pada saluran jalan nafas
- Adanya atelekpasis
- Untuk membantu mencegah komplikasi paru pasca operasi
- Sebagai bagian rutin hygiene bronkial pada pasien yang
mengalami fibrosa kistik, bronkiekistik, infeksi paru yang
sudah mengalami nekrosis medulla spinal
- Sebagai komponen lain terapi hygiene bronkial
- Untuk mengalami specimen sprutum untuk analisi diagnostic.
 Kontraindikasi
- Ketidakmampuan untuk mengendalikan penyebaran infeksi
oleh nuclei dropler
- Adanya peningkatan tekanan intracranial atau aneurisma
intracranial yang di ketahui
- Adanya penurunan perfusi arteri coroner
- Cedra kepal, leher, atau spina aku yang tidak stabil.

5. Teknik Ekspirasi Paksa


Teknik ekspirasi paksa merupakan modifikasi batuk yang diarahkan
secara normal. FET terdiri atas satu atau dua dari ekpirasi paksa dari
volume paru tengah hingga bawah tanpa menutuo glottis yang diikuti
oleh priode bernapas melalui diagfragma dan relaksasi. Tujuan metode
ini adalah membantu membersihkan sekresi dengan sedikit mengubah
tekanan pleura dan mengurangi kecendrungan kolaps bronkial.

6. Drainase Autogenik
Merupakan system latihan napas yang telah terbukti efektif seperti
terapi drainase postural (postural drainase therapy,PDT) dalam
mengeluarkan sekresi pada pasien fibrosa kritis dan COPD. Teknik ini
bergantung pada tahap bernapas pada volume paru yang berbeda ,
dimulai dengan napas tidal kecil dari volume cadangan ekspirasi
(ERV), diulang hinggga sekresi terasa berkumpul di jalan napas. Di
titik tersebut,batuk ditekan dan volume tidal yang besar diambil untuk
serangkaian 10 hingga 20 kali napas,diikuti dengan sedikit batuk.
Teknik ini sangat memerlukan kerja sama pasien dan dengan
demikian,tindakan ini hanya direkomendasikan pada anak yang berusia
lebih dari 8 tahun.
 Indikasi

13
- Mengurangi peningkatan jalan napas pada asma dan COPD
- Mencegah atau membalik atelektasi
- Membantu mobilisasi sekresi yang tertahan
- Mengoptimalkan penghantaran bronkodilator.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmonary Disease adalah istilah untuk berbagai penyakit paru-paru yang
mempengaruhi pernafasan. Ini merujuk ke penyakit paru-paru yang kronis,
progresif dan kebanyakan tidak dapat dipulihkan. penyakit paru-paru yang
paling umum yang termasuk dalam istilah ini yaitu emfisema dan
bronchitis kronis. Faktor risiko utama yang menyebabkan perkembangan
penyakit paru obstruktif kronik adalah merokok. Namun, merokok bukan
satu-satunya faktor risiko, karena penelitian terbaru menunjukkan bahwa
banyak orang terkena penyakit ini tanpa pernah merokok. Oleh karena itu,
faktor lain selain merokok seperti polusi udara di dalam dan luar ruangan,
dan pemicu lingkungan lainnya, seperti perokok pasif selama kehamilan
atau anak usia dini, mungkin juga penting, seperti juga faktor makanan.

Dalam kasus COPD, fisioterapi berperan dalam proses rehabilitasi


paru dengan tujuan untuk mendorong pasien untuk melakukan latihan
fisik, memberi saran untuk menghentikan kebiasaan merokok,
meningkatkan pengendalian berat badan dan kebiasaan hidup sehat,
meminimalkan pembatasan aliran udara, menurunkan gejala pernafasan,
dan mencegah atau mengatasi komplikasi. Fisioterapi dapat
menatalaksanaan penggunaan Active cycle of breathing technique
(ACBT), Chest PT, Nebulizer dan Breathing Execise.

B. Saran

Mengingat prevalensi penderita PPOK/COPD di Indonesia yang


masih belum dapat dipastikan secara detail, ada baiknya terdapat lebih
banyak penelitian mengenai penyebaran PPOK / COPD setiap tahunnya.
Selain itu, diharapkan makalah ini dapat menjadi media pembelajaran
dalam mempelajari PPOK/COPD

15
DAFTAR PUSTAKA

Pesakit, B. P., & Pengantar, K. (n.d.). Program Penyakit Pulmonari Obstruktif Kronik (
COPD ).

Postma, D. S., Bush, A., & Berge, M. Van Den. (2015). Risk factors and early origins of
chronic obstructive. The Lancet, 385(9971), 899–909.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60446-3

Pesakit, B. P., & Pengantar, K. (n.d.). Program Penyakit Pulmonari Obstruktif Kronik (
COPD ).

Postma, D. S., Bush, A., & Berge, M. Van Den. (2015). Risk factors and early origins of
chronic obstructive. The Lancet, 385(9971), 899–909.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60446-3

16

Anda mungkin juga menyukai