Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

OBAT GANGGUAN SALURAN CERNA


“PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN (PPOM) / CRONIC
OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE (CPOD)”
Disusun oleh :
KELOMPOK III
Grace D. Manik 16101105003
Sherly Toding 16101105004
Nia Kartika Pareda 16101105005
Repatri Agri Bawotong 16101105067
Jennike Tania Manuel 16101105032
Frinsia Rutly Mokalu 16101105010
Krisnawati sukmaningrum 16101105065
Miksel Sokop 16101105017
Iriana Tarek 16101105063
Josephin Konda 16101105037
Trian Riski Kala’Rante 16101105007

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Penyakit Paru Obstruktif Menahun
(PPOM)”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan.Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan.

Manado, Oktober 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

I .PENDAHULUAN........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................................ 2
II. ISI................................................................................................................................... 2
2.1 Definisi dari penyakit paru obstruksi menahun 3
(PPOM)................................................
2.2 Klasifikasi keparahan dari penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)........................ 3
2.4 Etiologi dari penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)............................................... 4
2.5 Patofisiologi dari penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)....................................... 5
2.6 penatalaksanaan terapi aritmia jantung dari penyakit paru obstruksi menahun ............ 5

III.PENUTUP..................................................................................................................... 14
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................... 14
3.2 Saran............................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 15

ii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. PPOK ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam
saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan biasanya disebabkan oleh
proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pengaruh gas berbahaya yang dapat memberikan
gambaran gangguan sistemik. Gangguan aliran udara di dalam saluran napas disebabkan proses
inflamasi paru yang menyebabkan terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil (small
airway disease) dan destruksi parenkim (emfisema). Bronchitis kronik, emfisema paru dan asma
bronchial membentuk kesatuan yang disebut PPOM. Setidaknya terdapat hubungan etiologi dan
sekuensial antara bronchitis kronik dengan emfisema, tetapi tampak tidak ada hubungan antara
penyakit tersebut dengan asma. Hubungan ini nyata sekali sehubungan dengan etiologi,
pathogenesis dan pengobatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO - 2010) menyebutkan, angka
kematian PPOM diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi
peringkat ke-3. Mengamati data tersebut, tanpa disadari angka kematian yang disebabkan PPOM
terus mengalami peningkatan. The Asian Pasific COPD Roundtable Group memperkirakan
jumlah penderita PPOM sedang dan berat di negara-negara Asia Pasific mencapai 56,6 juta
penderita dengan angka prevalensi 6,3 persen (Kompas, 2006). Sedangkan di Indonesia belum
ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOM. Hasil survey penyakit tidak menular oleh
direktorat jenderal PPM dan PI di 5 rumah sakit di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Lampung dan Sumatra Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan
pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronchial (33%), kanker paru (30%)
dan lainnya (2%) (Depkes RI 2004).
PPOM adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap disertai dengan
kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan saluran nafas, batuk produktif
selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-turut (Ovedoff, 2002). Sedangkan menurut
Price & Wilson (2005), COPD adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan obstruksi aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Menurut Carpenito (1999) COPD atau yang lebih dikenal
dengan PPOM merupakan suatu kumpulan penyakit paru yang menyebabkan obstruksi jalan
napas, termasuk bronchitis, empisema, bronkietaksis dan asma. PPOM paling sering diakibatkan

1
dari iritasi oleh iritan kimia (industri dan tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran pernapasan
kambuh.
Dari data dan keterangan diatas, maka dibuatlah makalah ini untuk menambah wawasan
dari setiap pembaca.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Apa definisi dari penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) ?
b. Apa saja klasifikasi keparahan penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)?
c. Bagaimana etiologi penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)??
d. Apa saja patofisiologi dari penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)??
e. Bagaimana penatalaksanaan terapi penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)??

1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui definisi dari penyakit paru obstruksi menahun (PPOM).
b. Mengetahui klasifikasi keparahan penyakit paru obstruksi menahun (PPOM).
c. Mengetahui etiologi penyakit paru obstruksi menahun (PPOM).
d. Mengetahui patofisiologi penyakit paru obstruksi menahun (PPOM).
e. Mengetahui penatalaksanaan terapi i penyakit paru obstruksi menahun (PPOM)

2
II. ISI
2.1 Definisi
Menurut “The national Heart lung and Blood Institute (NHLBI)” dan WHO , PPOM
atau CPOD didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh terbatasnya saluran udara yang
progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali (irreversible) . Keterbatasan saluran
udara biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadappartikel sing atau gas. Kondisi paling umum yang menyebabkan CPOD adalah
bronkitis kronik dan emfisema .
 Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mukus kronik atau berulang
kedalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama paling tidak
3 bulan dalam setahun, dan ini berlangsung paling tidak dalam 2 tahun berturut-turut bila
adanya penyebab batuk lain.

 Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen dari ruang udara yang abnormal
dari ruang udara pada posisi distal terjhadap bronkiol terminal, disertai dengan kerusakan
dindingnya tetapi tanpa fibrosis yang jelas.

2.2 Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007,
dibagi atas 4 derajat:
1. Derajat I: PPOM ringan

3
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara
ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut
mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOM sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%;50% < VEP1 <
80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas.Dalam tingkat ini pasien
biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOM berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk
(VEP1 / KVP < 70%; 30% £ VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin
memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang
berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV: PPOM sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP <70%; VEP1 < 30%
prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi, ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan
gagal jantung kanan.

2.3 Etiologi
 Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.
 Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja.
 Hipereaktiviti bronkus
 Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
 Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
 Faktor penyebab lain menurut (Doenges, 1999 : 152) alergen, masalah emosi, cuaca
dingin, latihan, obat, kimia, dan infeksi.

2.4 Patofisiologis
 Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok dilingkungan , tetapi
paparan kronik lain dapat pula menyebabkan COPD. Menghirup partikel asing dan gas
menstimulasi aktivitas neutrofil , makrofag, dan limfosit ,CD8+, yang membebaskan
sejumlah mediator kimia , termasuk tumor nikrosis faktor ( TNF) alfa interleukin-8 (IL-8,
dan leukotrien B4 (LTB4).Sel inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan
desktrutif secara meluas pada saluran udara , pembuluh pulmonar , dan parenkim paru-
paru.
4
 Proses patofisiologi lainnya termasuk stress oksidatif dan ketidakseimbangan antara
sistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (prototease dan antiprototese) .
Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dengan dan merusak berbagai protein dan
lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan . oksidator juga memudahkan
inflamasi secara langsung dan memperparah ketidakseimbangan prototease – antiprototese
dengan menginhibisi aktivitas prototease .
 Anti prototease protektif alfa 1-antitripsin (AAT) menghambat sejumlah enzim prototease,
termasuk elastase neutrofil . Dengan tidakadanya aktivitas AAT , elastase menghambat
menyerang elastin , yang merupakan komponen utama dari dinding alveolus. Defisiensi
AAT secara genetik menyebabkan peningkatan resiko perkembangan emfisema prematur .
Pada penyakit turunan genetik terdapat defisiensi AAT absolut . Pada emfisema yang
diakibatkan oleh merokok ,ketidakseimbangan ini berhubungan dengan peningkatan
aktivitas protease atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel inflamasi yang teraktivasi
membebaskan protease yang lain , termasuk katepsin dan metaloproteinase (MMP). Selain
itu ,, stress oksidatif juga mengurangi aktivitas antiprotease .
 Suatu eksudat inflamasi sering ditemui pada saluran udara yang menyebabkan suatu
peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mukus. Sekresi mukus meningkat ,
dan motilitas siliar mengalami kerusakan . Terdapat penebalan otot polos dan jaringan ikat
pada saluran udara . Inflamasi kronik mmenyebabkan pembentukan parut dan fibrosis.
Penyempitan saluran udara yang meluas terjadi daan lebih parah pada saluran udara
periferal yang berukuran kecil.
 Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukaran gas diparu-paru (alveoli dan kapiler
pulmonar ). Penyakit yang terkait dengan perokok paling umum menyebabkan emfisema
sentrilobar yang terutama mempengaruhi bronkiol respirasi. Emfise pan-lobular dijumpai
pada defisiensi AAT dan meluas duktus dan kantong alveolus.
 Perubahan vaskuler termasuk penebalan pembuluh pulmonar yang dapat menyebabkan
disfungsi endotel arteri pulmonar . Selanjutnya , perubahan struktural meningkatkan
tekanan pulmonar , terutama selama latihan fisik . Pada CPOD parsh , hipertensi pulmonar
sekunder dapat menyababkan gagal jantung sebelah kanan (cor pulmonale) .

2.5 Penatalaksanaan Terapi


2.5.1 Tujuan terapi
 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang

5
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualitas hidup penderita
2.5.2 Terapi NON-Farmakologi
o Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK
dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1 jangka
panjang dan memperlambat perkembangan PPOK.
o Program rehabilitasi paru termasuk latihan bersama dengan
berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan
psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan
perawatan psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan penting yang
berarti dalam program rehabilitasi paru.
o Vaksinasi tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak aktif yang
direkomendasikan.
o Satu dosis vaksin pneumokokus polivalen diindikasikan untuk pasien
pada setiap usia dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua
dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien
lebih muda dari 65 tahun.
o Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.
2.5.3 Terapi Farmakologi

6
a. Bronkodilator
Obat-obat ini mengatasi penyempitan bronkusi & melindungi . Bronchodilatasi
dicapai dengan 3 cara, yakni meransang sistem adrenergik (simpatomimetik) ,
antikolinergik dan metilxatin .

Simpatomimetik ( terbutalin , fenoterol,prokaterol,indakaterol,dll)

Mekanisme Kerja : Melalui stimulasi reseptor β2 yang banyak terdapat di tranchea (batang
tenggorokan ) dan Bronchi, yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase . enzim siklase
untuk meningkatkan pembentukan adenosi monofosfat siklik (CAMP). Meningkattnya kadar
cAMP didalam sel menghasillkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase antara lain :
bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mastcell.

Efek Samping : Tremor Otot , Takikardia , hipokalemia, dan kegelisahan.

 Albuterol, levalbuterol, bitolterol, pirbuterol,dan terbutaline merupakan agen aksi pendek


yang lebih disukai karena mempunyai selektivitas β2 lebih besar dan durasi aksi lebih
Panjang dibandingkan agen aksi pendeklainnya (Isoproterenol, metaproterenol, dan
isoetarin). Rute inhalasi lebih diminati dibandingkan rute oral dan poarentral dalam hal
efikasi dan efek samping. Agen aksi pendek dapat digunakan untuk meredakan gejala
secara akut atau berdasarkan jadwal untuk mencegah atau meredakhan gejala. Durasi aksi
agnosi β2 aksi pendek adalah 4 hingga 6 jam.
 Formoterol dan salmeterol merupakan agnosi β2 inhalasi Panjang yang diberikan setiap 12
jam b erdasarkan jadwal menghasilkan bronkodilatasi selama interval dosis. Pengunaan
agen ini sebaikanya di pertimbangkan untuk pasien yang memperlihatkan kebutuhan yang
sering akan agen aksi pendek. Tidak satu pun obat yang diindikasi untuk peredaan gejala
secara akut.

Antikolinergik (ipapotrium , tiotropium, deptropin , dll)

Mekanisme Kerja : Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi


bronkodilitasi dengan menginhibisi reseptor kolinergik secara kompotifif pada otot polos
bronkial. Avtivitas ini memblok asetilkolin, yang efek selanjutnya adalah pengurangan
guanosin monofosfat siklik (cGMP), yang umumnya mengkonstriksi otot polos bronkial.

Efek samping : yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak ,
rtakikardia.

Eferk atropin lainnya : mulut kering ,obstipasi, penglihatan kabur ,dll`

7
 Ipratropium bromide memiliki onset yang lebih lambat dibandingkan agnosi β2 aksi
pendek (15 hingga 20 menit vs 5 menit untuk albuterol). Karena alas an ini, zat tersebut
sesuai untuk penggunaan ketika dibutuhkan, tetapi sering diresepkan untuk keadaan ini.
Ipratropium memiliki efek bronkodilator yang lebih Panjang disbanding agnosi β2 aksi
pendek. Efek puncaknya muncul pada 1,5 hingga 2 jam dan durasinya adalah 4 hingga 6
jam. Dosis yang direkomendasi menggunakan MDI adalah 2 hirup empat kali sehari
dengan peningkatan bertahap yang sering hingga 24 hirup/ hari. Zat ini juga tersedia
dalam bentuk larutan untuk nebulasi. Keluhan dari pasien yang paling sering adalah mulut
kering, mual, dan kadang rasa seperti logam. Karena antikolinergik tidak diserap baik
sistemik, efek sampingnya jarang terlihat (pandangan kabur, retensi urinary, mual dan
takikardi).
 Tiotropium bromide merupakan agen aksi Panjang yang memberikan perlindungan
terhadap bronkokonstriksi kolinergik selama lebih dari 24 jam. Onset terjadi dalam 30
menit dan efek puncak tercapai dalam 3 jam. Zat ini diberikan menggunakan HandiHaler,
suatu alat nafas beraktuator untuk sekali isi serbuk-kering. Dosis yang direkomendasikan
adalah inhalasi isi satu kapsul satu kali sehari menggunakan alat inhalasi HandiHaler.
Karena efeknya yang local, tiotropium ditoleransi dengan baik. Efek antikolinergik lain
juga telah dilaporkan.

Kombinasi Antikolinergik dan Simpatomimetik

 Kombinasi antikolinergik inhalasi dengan agnosi β2 sering digunakan, terutama ketika


perkembangan penyakit dan gejala semakin memburuk seiring waktu.
Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme yang berbeda membuat dosis
efektif terendah dapat digunakan dan mengurangi efek samping dari masing-masing
zat. Kombinasi kedua agnosi β2 aksi pendek dan aksi Panjang dengan ipratropium
menunjukkan peningkatan peredaan gejala dan fungsi paru-paru.
 Sediaan kombinasi yang mengandung albuterol dan ipratropium dalam MDI digunakan
untuk terapi pemeliharaan COPD.

Metilxantin

Mekanisme Kerja : Blokade reseptor adenosin dan mencegah meningkatnya hipereaktivitas.

Efek Samping : Takikardi , palpitasi , mual , gangguan saluran cerna , sakit kepala ,
aritmia,dll

8
 Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisi
fosfodiesterase (yang kemudian meningkatkan kadar cAMP), inhibisi influx ke dalam
otot polos, antagonis prostaglandin, stimulasi katekolamin endogen , antagonis
reseptor adenosis, dan inhibisi pelepasan mediator dari sel mast leukosit.
 Penggunaan kronik teofilin dalam COPD menunjukkan peningkatan fungsi paru-paru,
termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subjektif, teofilin mengurangi dyspnea,
meningkatakan toleransi terhadap latihan, dan memperbaiki kendali respirasi. Efek
nonpulmonari yang mungkin berkontribusi terhadap kapasitas fungsional yang lebih
baik meliputi peningkatan fungsi kardiak penurunan tekanan arteri pulmonari.
 Metilxantin tidak lagi dipakai sebagai obat pilihan pertama dalam COPD.
 Seperti bronkodilator lain dalam COPD, parameter lain, seperti objektif FEV1 harus
dimonitor untuk memastikan efikasi. Parameter subjektif seperti perbaikan yang
dirasakan dalam dyspnea dan toleransi latihan fisik, merupakan hal pentingdalam
menilai penerimaan metilxantin untuk pasien COPD.
 Sediaan teofilin lepas lambat meningkatkan kepuasaan pasien dan mencapai
konsentrasi serum yang lebih konsisten dibandingkan sediaan teifilin lepas cepat dan
aminofilin. Perhatian, harus diwaspadai jika mengganti dari satu sediaan lepas labat ke
yang lain karena ada variasi karekteristik lepas lambat.
 Peranan teofilin dalam COPD adalah sebagai terapi pemeliharaan pada pasien sakit
buikan akut. Terapi dapat diawali pada dosis 200 mg dua kali sehari dan ditingkatkan
bertahap setiap 3 hingga 5 hari sampai dosis terget, kebanyakan pasien memerlukan
dosis harian 400 hingga 900 mg.
 Penyesuaian dosis sebaiknya dibuat berdasrkan hasil konsentrasi pada serum. Rentang
terapeutik dipelihara antar 8 hingga 15 ml. hal tersebut lebih disukai pada manula
untuk mengurangi kecendurungan terjadinya toksisitas. Jika dosis telah ditetapkan,
konsentrasi harus dikontrol sekali atau dua kali setahun, kecuali penyakit memburuk,
ada pengobatan yang mempengaruhi metabolism teofilin, atau dicurigai terjadi
toksisitas.
 Efek samping teofilin yang paling umum termasuk dyspepsia, mual, muntah, diare,
sakit kepala, pusing, dsn tskiksrdi. Aritmia dan seizure dxapat muncul, terutama pada
konsentrasi toksik.
 Factor yang dapat menurunkan klirens teofilin dan menghasilakan penurunan
kebutuhan dosis meliputi bertambahnya umur, pneumonia karena bakteri atau virus,

9
gagal jantung, disfungsi hati, hipoksemia dari dekompensasi akut, dan penggunaan
obat seperti antibiotik simetidin, makrolida, dan florokuinolon.
 Factor yang dapat meningkatkan klirens teofilin dam menyebabkan kebutuhan akan
dosis yang lebih tinggi meliputi merokok tembakau atau marijuana, hipertiroid, dan
penggunaan obat seperti fenitoin, fenobarbital, dan rifampin.

b. Kortikosteroid (hidrokortison , prednison , deksametason )

Mekanisme kerja :antiinflamasi dimana kortikosteroid memberikan efeknya yang


menguntukan pada COPD meliputi penurunan permeabilitas kapiler untuk mengurangi
mucus, inhibisi pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan inhibisi prostaglandin.

Efek samping : Osteoporosis , retensi cairan hipertensi , dll.

 Keuntungan klinis terapi kortikosteroid sistemik pada penanganan COPD kronik sering
tidak jelas dan resiko toksik. Sebagai konsekuensi, kortokosteroid sistemik kronik,
sebaiknya dihindari jika memungkinkan.
 Situasi yang sesuai untuk mempertimbangkan kortikosteroid untuk COPD termasuk (1)
penggunaan sitemik jangka pendek untuk kondisi buruk akut dan (2) terapiinhalasi
untuk COPD kronik stabil.
 Peranan kortikosteroid inhilasi umntuk COPD diperdebatkan. Uji klinis besar gagal
menunjukkan keuntungan penaganan dengan kortikosteroid kronik dan memodifikasi
penurunan fungsi paru-paru jangka Panjang. Namun, keuntungan penting lain
ditemukan pada beberapa pasien, termasuk penurunan frekuensi kedaan memburuk dan
peningkatan status kesehatan secara umum.
 Penuntun hasil consensus mengindikasi terapo kortikosteroid inhalsi sebaiknya
dipertimbangkan untuk pasien simptomatik pada penyakit tingkat III dan IV (FEV1
kurang dari 50%) yang mengalami keadaan memburuk berulang.
 Efek samping kortikostreroid inhalasi relative ringan dan termasuk suara parau,
tenggorokan kering, kandidiasi oral, dan memar pada kulit. Efek samping yang parah
seperti supresi adrenal, osteoporosis, dan pembentukan katarak, lebih jarang lagi
dilaporkan dibandingkan kortikosteroid sitemik, terapi klinisis harus memperhatikan
pasien yang menerima terapi inhalasi dosis tinggi kronik.
 Beberapa studi menunjukkan efek aditif pada kombinasi kortikosteroid inhalsi dan
bronkodilator aksi Panjang. Terapi kombinasi dengan salmeterol ditambah flutikason
atau formoterol ditambah budesonide berkaitan dengan peningkatan besra FEV1,status

10
kesehatan, berkurangnya frekuensi keadaan memburuk dibandingkan penggunaan agen
tunggal. Availabilitas kombinasi inhalasi membuat pemakaian obat menjadi nyaman
dan menurunkan jumlah total kebutuhan inhalasi dalam sehari.
2.5.4 TERAPI COPD YANG MEMBURUK
1. Bronkodilator
 Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan pada keparahan akut untuk
memberikan peredaran gejala. Agnosi β2 aksi pendek lebih disukai karena onset aksi
yang cepat. Zat antikolinergik dapat ditambahkan jika gejala bertahan meskipun dosis
agnosi β2 ditingkatkan.
 Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau nebulisasi denganefek yang serupa.
Nebulisasi dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan pasien dyspnea parah yang
tidak dapat menahan nafas setelah pemakaian MDI.
 Bukti klinis yang mendukung penggunaan teofilin saat keadaan memburuk hamper
tidak ada, dan obat oleh karenanya penggunaan teofilin sebaiknya dihindari. Teofilin
dapat dipertimbangkan untuk pasien yang tidak merespon kepada terapi lain.
2. Kortikosteroid
 Hasil pengujian klinis menyarankan kepada pasien dengan COPD yamng memburuk
secara akut untuk menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam jangak pendek.
Karena variabilitas yang besar dalam rentang dosis yang digunakan dalam pengujian
ini, dosis optimum dan durasi terapi tidak diketahui.
 Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9 hingga 14 hari) sama efektifnya dengan terapi
jangka Panjang dan dengan resiko efek samping yang lebih rendah. Jika terapi
dilanjutkan untuk lebih dari 2 minggu, jadwal oral yang ditentukan bertahap sebaiknya
diberikan untuk menghindari supresi poros hipotalamus-pituitari-adrenal.
3. Terapi Antimikroba
 Meskipun kebanyakan COPD yang memburuk diperkirakan karena infeksi virus atau
bakteri, sebanyak 30% keparahan tidak diketahui penyebabnya.
 Antibiotik paling menguntungkan dan sebaiknya dimulai jika dua dari tiga gejala
berikut tampak : peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan
kandungan nanah sputum. Kegunaan pewarnaan Gram sputum dan kultur
dipertanyakan karena dibeberapa pasien terdapat kolonisasi bakteri kronik pada cabang
bronkus diantara keadaan eksaserbasi.
 Pemilihan terapi antimikroba empiric sebaiknya didasarkan pada organisme yang
paling mungkin. Organisme yang paling umum untuk COPD memburuk akut adalah

11
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumonia , dan
Haemophilus parainfluenzae.
 Terapi sebaiknya dimulai dalam 24 jam setelah munculnya gejala untuk mencegah
pasien dibawah kerumah sakit dan dilanjutkan selama paling tidak 7 hingga 10 hari
pemberian selama 5 hari dengan beberapa agen memberikan efek yang sebanding.
 Pada keadaan memburuk tanpa komplikasi, terapi yang direkomendasikan adalah
makrolida (azitromisisn, klaritromisin), sefalosporin generasi kedua atau ketiga, atau
doksisilin. Trimetropin-sulfametoksazol sebaiknya tidak digunakan karena
meningkatkan resistensi pneumokokus. Amoksisilin dan sefalosporin generasi pertama
tidak direkomendasikan karena kerentanan dari β-laktamase. Eritromisin tidak
direkomendasikan karena insufisiensi aktivitas melawan H. infulenza.
 Pada keadaan memburuk dengan komplikasi dimana mungkin terdapat pneumococcus
resisten obat, H. infulenza, dan Moraxella catarrhalis penghasil β-laktamase, dan
organisme enteric gram negatif, terapi yang direkomendasikan adalah
amiksisilin/klavulanat atau fluorokuinolon dengan peningkatan aktivitas terhadap
pneumokokus (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin).
 Pada keadaan memburuk dengan komplikasi dimana mungkin terdapat risiko
pseudomonas aeruginosa, terapi yang direkomendasikan dalam fluorokuinolon dengan
peningkatan aktivitas terhapad pneumococcus dan P. aeruginosa levoflok-sasin,
gatifloksasin, moksifloksasin). Jika terapi intravena diperlukan, penisilin resisten β-
laktamase dengan aktivitas antipseudomonal atau sefalosporin generasi keempat
dengan aktivitas antipseudomonal sebaiknya digunakan.

12
2.5.5 Terapi Lainnya
1. Terapi Oksigen jangka panjang (long term)
Penggunaan oksigen berkesinambungan (> 15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan
hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki
tekanan arteri pulmonar, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status
mental. Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan
IV (sangat berat) jika:
 PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia,
atau
 PaO2 antara 55 mmHg – 60 mmHg, atau SaO2 89%, tetapi ada tanda hipertensi
pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif, atau
polisitemia.
2. Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)
Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor
risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan terapi
penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara
rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar. Regimen
dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sekali
seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien.
Saat ini, contoh produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast, dan Zemaira.

3. Ventilasi mekanik
Ventilator adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi memberikan bantuan nafas
pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan
nafas buatan.

13
III.PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 CPOD didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh terbatasnya saluran udara yang
progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali (irreversible)
 PPOM diklasifikasikan derjat I,II,,III,IV.
 Etiologi PPOM : rokok , riwayat peyakit , dll
 Patofisiologi antara lain pajanan rokok , polusi , inflamasi, dan defisiensiAAT
 Penatalaksaan terapi antara lain : terapi nonfarmakologi dan farmakologi.

3.2 Saran
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan kedepannya agar
penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.

14
DAFTAR PUSAKA
Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,Penggunaan dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Ketujuh, 643-656, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai