Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Puskesmas adalah pusat pengembangan pembinaan, dan pelayanan

sekaligus merupakan pos pelayanan terdepan dalam pelayanan pembangunan

kesehatan masyarakat yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh,

terpadu dan berkesinambungan pada masyarakat yang bertempat tinggal dalam

wilayah tertentu.

Puskesmas Pattingalloang merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan

di kota Makassar, tepatnya berada di wilayah Kecamatan Ujung Tanah Kota

Makassar dengan lingkup kerja 4 (empat) kelurahan dengan luas wilayah kerja

22,24 km2. Adapun 4 kelurahan yang masuk dalam lingkup kerja puskesmas

Pattingalloang adalah:

a. Kelurahan Pattingalloang

b. Kelurahan Pattingalloang Baru

c. Kelurahan Cambaya

d. Kelurahan Camba Berua

Secara geografis, Puskesmas Pattingalloang memiliki batas-batas

administrasi wilayah kerja, yaitu :

Batas barat : Kelurahan Gusung

Batas timur : Kelurahan Kaluku bodoa

Batas utara : Selat Makassar

Batas Selatan : Kelurahan Pannampu dan Tabaringan

1
Secara demografi, Puskemas Pattingalloang memiliki jumlah penduduk

pada lingkup kerja Puskesmas Pattingalloang adalah:

Kelurahan Pattingallong : 7077 jiwa

Kelurahan Pattingalloang Baru : 3706 jiwa

Kelurahan Cambaya : 6865 jiwa

Kelurahan Camba Berua : 4878 jiwa

Jumlah penduduk : 19.810 jiwa

Puskesmas Pattingalloang memiliki visi yaitu terwujudnya puskesmas

pattingalloang yang prima dalam pelayanan dan berwawasan lingkungan. Adapun

misinya:

1. Memberikan pelayanan paripurna dalam peningkatan kesehatan individu,

keluarga dan masyarakat

2. Peningkatan sumber daya manusia yang profesional

3. Peningkatan upaya promotif dan preventif dalam pemeliharaan kesehatan

yang komprehensif

4. Peningkatan system organisasi yang prima dalam pemberian pelayanan

kesehatan

5. Peningkatan kerjasama lintas sektor dan partisipasi masyarakat

6. Menciptakan lingkungan sehat yang bersih, indah, hijau, aman dan

nyaman.

7. Memantapkan kemandirian hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui

partisipasi masyarakat.

2
Puskesmas Pattingalloang mencakup pelayanan rawat jalan dan rawat

inap. Pelayanan rawat jalan merupakan salah satu unit kerja puskesmas yang

melayani pasien yang berobat jalan dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan,

termasuk seluruh prosedur diagnostik dan terapeutik. Sedangkan rawat inap

adalah puskesmas yang diberi tambahan ruangan dan fasilitas untuk menolong

pasien gawat darurat baik berupa tindakan operatif terbatas maupun asuhan

perawatan sementara dengan kapasitas kurang lebih 10 tempat tidur.

Berdasarkan data tahun 2016, Puskemasmas Pattingalloang mendapat

kunjungan 171 pasien rawat inap, dengan penyakit rawat inap terbanyak tahun

2016, antara lain :

A. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Tahun 2016

Berikut distribusi penyakit rawat inap umum teratas tahun 2016 dalam

bentuk table dan grafik.

Tabel 1. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Tahun 2016

No Nama Penyakit
1 Dyspepsia
2 Demam Thypoid
3 Diare
4 Hipertensi
5 Febris
6 Kolik Abdomen
7 Hiperemesis
8 Campak

3
Grafik 1. Distribusi Penyakit Rawat Inap Teratas Tahun 2016

50 47
41
40 34
30
20
9 6
10 4 3 1
0

B. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap Tahun 2016

Berkaitan dengan visi misi Puskesmas Pattingalloang, tingkat pelayanan

pasien di puskesmas dapat pula dilihat dari pemanfaatan sarana pelayananan,

mutu pelayanan dan tingkat efisiensi pelayanan. salah satu indikatornya adalah

perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate). BOR dapat mengggambarkan tinggi

rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur (persentasi pemakaian tempat tidur

pada satu satuan waktu tertentu). Menurut Barber Jhonson nilai ideal BOR adalah

75-85%, sedangkan menurut Dinas Kesehatan RI nilai ideal BOR sebesar 60-

85%.

Jumlah hari perawatan


x 100 %
Rumus BOR : Jumlah tempat tidur x jumlah hari 1 periode

4
Berikut merupakan angka perhitungan BOR rawat inap tahun 2016, yaitu:

57,93%. Angka tersebut menunjukkan angka BOR Puskesmas Pattingalloang

tahun 2016 belum mencapai standar ideal BOR.

Tabel 2. Indikator Pelayanan di Puskesmas Rawat Inap

Puskesmas Pattingalloang Januari s/d Desember Tahun 2016.

Pasien
Jumlah Jumlah Jumlah
Nama keluar
No tempat hari lama BOR%
Puskesmas (hidup+mati
tidur perawatan dirawat
)

1 Puskesmas
7 370 1480 1110 57,93
Pattingalloang

Jumlah 7 370 1480 1110 57.93

C. Distribusi Penyakit Terbanyak Januari 2017

Berdasarkan data puskesmas, didapatkan pula data penyakit terbanyak

rawat inap bulan Januari 2017, yaitu :

Tabel 3. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Januari 2017

No Penyakit Jumlah (orang)

1 Demam Thypoid 13
2 Dyspepsia 9
3 Hipertensi 7
4 Diare 6
5 Hipermesis Gravidarum 4
6 ISPA 2
7 DM 1

5
Grafik 2. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Januari 2017

Tabel 2. Distribusi 10 penyakit teratas tahun 2015

D. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap Januari 2017

Tabel 4. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Umum Perawatan

Puskesmas Pattingalloang Januari Tahun 2017

Pasien
Jumlah Jumlah Jumlah
Nama keluar
No tempat hari lama BOR
Puskesmas (hidup+mati
tidur perawatan dirawat
)
Puskesmas
1 9 40 152 112 54,48
Pattingalloang
Jumlah 9 40 152 112 54,48

6
Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap umum

bulan januari 2017, yaitu: 54,48%. Angka tersebut menunjukkan angka BOR

Puskesmas Pattingalloang bulan januari 2017 belum mencapai standar ideal BOR.

Artinya pemanfaatan tempat tidur tidak efisien.

Tabel 5. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Persalinan Puskesmas

Pattingalloang Januari Tahun 2017

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 4 20 63 43 50,8
Pattingalloang
Jumlah 4 20 63 43 50,8

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap persalinan

bulan januari 2017, yaitu: 50,8%. Angka tersebut menunjukkan angka BOR

pelayanan pasien di Puskesmas Pattingalloang bulan januari 2017 belum efisien,

khususnya dalam pemanfaatan tempat tidur.

E. Distribusi Penyakit Terbanyak Februari 2017

Dari data puskesmas, didapatkan pula data penyakit terbanyak rawat inap

bulan Februari 2017, yaitu :

Tabel 6. Distribusi Penyakit Rawat Inap Umum Teratas Februari 2017

No Penyakit Jumlah (orang)

7
1 Hipertensi 17
2 Demam Thypoid 11
3 GEA 10
4 Dispepsia 8
5 ISPA 4

6 Hiperemesis Gravidarum 3
7 TB 1

8 DBD 1
9 Intoksikasi 1

Grafik 3. Distribusi Penyakit Terbanyak Bulan Februari 2017

Penyakit Terbanyak Februari 2017

5 1 Hipertensi
% 2% 2% 2 Demam Thypoid
7% 30%
2% 3 GEA
4 Dispepsia
5 ISPA
14% 6 Hiperemesis Gravidarum
7 TB
8 DBD
9 Intoksikasi
18% 20%

F. Perhitungan BOR (Bed Occupancy Rate) Pasien Rawat Inap Februari

2017

8
Tabel 7. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Umum Perawatan

Puskesmas Pattingalloang Februari Tahun 2017

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 10 74 291 217 103,92
Pattingalloang
Jumlah 10 74 291 217 103,92
Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap umum

bulan februari 2017, yaitu: 103,92 %. Angka tersebut menunjukkan angka

pelayanan Puskesmas Pattingalloang bulan januari 2017 melebihi standar ideal

BOR yang berarti pelayanan masih kurang efisien karena jumlah pasien tidak

sebanding dengan tempat tidur yang disediakan.

Tabel 8. Indikator Kinerja Pelayanan Rawat Inap Persalinan Puskesmas

Pattingalloang Februari Tahun 2017

Jumlah Pasien Jumlah Jumlah


Nama
No tempat keluar hari lama BOR%
Puskesmas
tidur (hidup+mati) perawatan dirawat
Puskesmas
1 3 13 53 40 63,09
Pattingalloang
Jumlah 3 13 53 40 63,09

Tabel diatas menunjukkan angka perhitungan BOR rawat inap persalinan

bulan februari 2017, yaitu: 63,09 %. Angka tersebut menunjukkan angka BOR

pelayanan pasien persalinan di Puskesmas Pattingalloang bulan februari 2017

9
efisien. Artinya jumlah pasien perawatan persalinan sebanding dengan tempat

tidur pasien.

Berdasarkan data penyakit yang diperoleh diatas dapat dilihat bahwa

penyakit Demam Thypoid tidak pernah lepas dari 10 penyakit teratas tahun 2016

dan 2017 sehingga pada refarat ini penulis akan membahas penyakit Demam

Thypoid yang ada di Puskesmas Pattingalloang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh

Salmonella enteric serotype typhi (Salmonella typhi). Salmonella enteric serovar

paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam

paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada

daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Nama lain

penyakit ini adalah enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Tifoid karier

adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S.typhi setelah

satu tahun pasca demam tifoid tanpa gejala klinis.1

B. Epidemiologi

Demam tifoid dan paratifoid bersifat endemik dan sporadic di Indonesia.

Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia

10
3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah

tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak

adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk

makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah. Transmisi

terjadi melalui air yang tercemar S.thypi pada daerah endemik sedangkan pada

daerah nonendemik, makanan yang tercemar karier merupakan sumber penularan

utama.1

C. Etiologi

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi

bioserotipe A, B, atau C. Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan

merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan

hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama

berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan.

Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau

permulaan musim hujan.1

D. Penyebaran dan Patogenesis

Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui saluran cerna

(mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar, dstnya). S.typhi

masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar.

Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan kotoran dari penderita yang

kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat). Lalat itu

mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buah-buahan segar. Saat

11
kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam

lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus itulah kuman

beraksi sehingga bisa ”menjebol” usus halus.2

Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah

bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati,

empedu, dan lain-lain). Jika demikian keadaannya, kotoran dan air seni penderita

bisa mengandung kuman S.typhi yang siap menginfeksi manusia lain melalui

makanan atau pun minuman yang dicemari. Pada penderita yang tergolong carrier

(pengidap kuman ini namun tidak menampakkan gejala sakit), kuman Salmonella

bisa ada terus menerus di kotoran dan air seni sampai bertahuntahun. S.thypi

hanya berumah di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, demam tifoid sering

ditemui di tempat-tempat di mana penduduknya kurang menjaga kebersihan

pribadi dan sanitasi lingkungan.2

Sekali bakteria S.thypi dimakan atau diminum, ia akan masuk ke dalam

saluran darah dan tubuh akan merespons dengan menunjukkan beberapa gejala

seperti demam.2

E. Gejala Klinis

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau

gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi,

malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang

berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka

ragam keluhan lainnya.1

12
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam tinggi sore hari dan rendah

pagi hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti nyeri kepala, anoreksia,

mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi atau diare. Dapat disertai dengan lidah

kotor, nyeri tekan perut, gangguan kesadaran dan pembengkakan pada stadium

lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering

dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi.

Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa.1

Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi

dapat dijadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam

makular atau makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10,

terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan

abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.1

Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada

yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai

adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati

tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman

adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan

mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.1

F. Diagnosis

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat

untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah

terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat

13
penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini, terutama dalam pelayanan

primer seperti di Puskesmas untuk melakukan penanganan promotif, preventif,

kuratif serta rehabilitasi.1

Diagnosis suspek demam tifoid (Suspect case) didapatkan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik, didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna

dan petanda gangguan kesadaran. Jadi sindrom tifoid didapatkan belum lengkap.

Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar. Sedangkan

diagnosis demam tifoid klinis (Probable case) didapatkan dari suspek demam

tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan tifoid.3

Oleh karena itu pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan

tambahan dari laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.1

Gambaran pemeriksaan darah perifer didapatkan leukopenia atau normal

atau leukositosis, anemia ringan, trombositopenia, peningkatan laju endap darah,

peningkatan SGOT/SGPT.1

Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium

didasarkan pada 3 prinsip, yaitu isolasi bakteri, deteksi antigen mikroba, titrasi

antibodi terhadap organisme penyebab.1

Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya

positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang

diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering

terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya

10-20% kuman saja yang terdeteksi).1

14
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen

Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada

hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit.

Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6

bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah

pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas

kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau

bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat

setempat. Titer antibodi O > 1/320 atau antibodi H > 1/640 menguatkan diagnosis

pada gambaran klinis yang khas.1

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan

yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang

dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella

serogroup D dan tidak spesifik S.typhi.1

G. Penatalaksanaan

1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:3

a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi.

b. Diet tinggi kalori dan tinggi protein.

c. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas.

d. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran),

kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien.

15
e. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan

mengurangi keluhan gastrointestinalnya.

f. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama

untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, tiamfenikol, ampisilin atau

amoksilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau

trimetroprim-sulfametoxazole (kotrimoksazol)

g. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif,

dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua

yaitu Ceftriaxone, Cefotaxime (diberikan untuk dewasa dan anak),

Quinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun, karena dinilai

mengganggu pertumbuhan tulang).

2. Indikasi demam tifoid dilakukan perawatan di Puskesmas atau rawat inap:4

a. Pasien dengan gejala klinis yang berat, terdapat tanda-tanda

komplikasi serta terdapat komorbid yang membahayakan.

b. Pasien dengan kesadaran jelek dan tidak dapat makan minum dengan

baik.

c. Pasien dengan keluarganya kurang mengerti tentang cara-cara merawat

serta kurang paham tentang petanda bahaya yang akan timbul dari

tifoid.

d. Rumah tangga pasien tidak memiliki atau tidak dapat melaksanakan

sistem pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang

mememenuhi syarat kesehatan.

e. Bentuk pengawasan pada pasien tifoid rawat inap:4

16
1) Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan

perawatan pasien.

2) Dokter dapat memprediksi pasien akan menghadapi kemungkinan

bahaya-bahaya yang serius.

3) Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa harus

diwakili oleh seorang perawat yang mampu merawat demam tifoid.

4) Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancar dengan

keluarga pasien.

3. Konseling Dan Edukasi

Edukasi pasien tentang tata cara:3,4

a. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang

harus diketahui pasien dan keluarganya.

b. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya

diperhatikan atau dilihat langsung oleh dokter, dan keluarga pasien

telah memahami serta mampu melaksanakan.

c. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga

supaya bisa segera dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit terdekat

untuk perawatan

4. Pendekatan Community Oriented

Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek

pencegahan dan pengendalian demam tifoid, melalui:4

a. Perbaikan sanitasi lingkungan

17
b. Peningkatan higiene makanan dan minuman

c. Peningkatan higiene perorangan

d. Pencegahan dengan imunisasi

5. Kriteria Rujukan4

a. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak perbaikan.

b. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.

c. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas tidak

mencukupi.

H. Program Pengendalian Dan Pencegahan Demam Tifoid

Tujuan pengendalian tifoid di Indonesia, yaitu:5

1. Meningkatkan upaya pencegahan tifoid terutama pada kelompok

masyarakat berisiko tinggi

2. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid

3. Menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Secara umum pengendalian tifoid didasari oleh 3 pilar:5

1. Peran pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok

pengendalian tifoid

2. Peran masyarakat sipil melalui pengembangan dan penguatan jejaring

kerja pengendalian tifoid

3. Peran masyarakat melalui pengembangan dan penguatan kegiatan

pencegahan dan penanggulangan tifoid berbasis masyarakat.

18
Kegiatan pokok pengendalian tifoid, meliputi:5

1. Melaksanakan review dan memperkuat aspek legal pengendalian tifoid

2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi termasuk Komunikasi, Informasi

dan Edukasi (KIE)

3. Melaksanakan kegiatan pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid

4. Melaksanakan kegiatan perlindungan khusus (vaksinasi tifoid)

5. Melaksanakan deteksi dini karier tifoid

6. Melaksanakan pengamatan tifoid

7. Memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM)

8. Memperkuat pengelolaan logistik pengendalian tifoid

9. Melaksanakan supervisi dan bimbingan teknis

10. Melaksanakan montoring dan evaluasi

11. Melaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan

Untuk penanganan penderita tifoid antara lain mengacu pada Kepmenkes

Nomor 365/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid

dan Buku Pedoman Pengobatan di Puskesmas.5

I. Manajemen Rawat Inap Puskesmas Perawatan

Manajemen rawat inap pasien dapat berasal dari poli, UGD dan kamar

bersalin. Ketika pasien datang, pasien akan masuk tergantung dari kondisi

penyakit pasien. Jika bersifat darurat maka pasien akan masuk ke UGD, jika

berhubungan dengan persalinan pasien akan masuk ke kamar bersalin,

sedangkan apabila penyakit pasien bersifat emergensi pasien akan melalui loket

19
pendaftaran untuk diteruskan ke poli tergantung bentuk penyakit pasien, baik ke

poli umum, poli gigi, poli KIA/KB dan imunisasi.

Untuk pasien yang terdapat di poli, penyakit – penyakit tersebut akan di

data di loket pendaftaran untuk memulai dilakukannya program oleh yang

bertanggung jawab. Melalui pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan

EKG, penyakit yang ada di poli dapat di diagnosis dan segera dilakukan rawat

inap jika memang di indikasikan untuk rawat inap. Begitupun pasien yang

masuk melalui UGD. Selama perawatan pasien akan di observasi oleh dokter

maupun perawat yang bertugas sampai memungkinkan untuk dipulangkan. Jika

sampai beberapa hari belum ada perubahan segera dipikirkan untuk merujuk.

Pada keadaan banyak pasien yang membutuhakn pertolongan di UGD,

dibutuhkan sebuah proses tertentu. Tindakan atau proses yang umum digunakan

dalam pertolongan korban banyak ialah triage. Triage berasal dari bahasa

Perancis yang artinya memilih atau memilah (mensortir). Triage berarti

melakukan penilaian penderita, menandainya dan meemindahkan penderita ke

lokasi perawatan yang sudah ditentukan.

Pelaksanaan triage ialah dengan memberi tanda (label) dengan warna

tertentu pada korban (penderita). Hubungan prioritas pertolongan dengan label

dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Hijau : Prioritas III (Rendah)

2. Kuning : Prioritas II (Sedang)

3. Merah : Prioritas I (Tertinggi)

4. Hitam : Prioritas IV (Terakhir)

20
Gambar. Diagram Alur Triage.

J. Prinsip Keselamatan Pasien

1. Standar Keselamatan Pasien

Setiap Puskesmas baik rawat jalan maupun rawat inap ataupun rumah sakit

wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien. Standar Keselamatan

Pasien meliputi:6

a. Hak pasien

b. Mendidik pasien dan keluarga

c. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan

21
d. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi

dan program peningkatan keselamatan pasien

e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien; dan

g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan

pasien.

2. Sasaran Keselamatan Pasien

Setiap Puskesmas baik rawat jalan maupun rawat inap ataupun rumah sakit

wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien. Sasaran

Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut :6

a. Ketepatan identifikasi pasien;

b. Peningkatan komunikasi yang efektif;

c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;

d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;

e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan

f. Pengurangan risiko pasien jatuh.

22
BAB III

GAMBARAN UMUM PUSKESMAS PATTINGALLOANG

A. Gambaran Demografi Puskesmas

Letak geografis Puskesmas Pattingalloang terletak di jalan Barukang VI

No. 15, kelurahan Pattingaloang Baru, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar,

Sulawesi Selatan. Wilayah kerja meliputi 4 kelurahan yaitu Pattingalloang,

Pattingalloang Baru, Cambaya dan Camba Berua yang terdiri dari rumah

penduduk, kantor pemerintahan, tempat beribadah dll.

Batas-batas wilayah kerja Puskesmas Pattingalloang sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Selat Makassar

2. Sebelah Barat : Kelurahan Kaluku Bodoa

3. Sebelah Timur : Kelurahan Panampu dan Tabaringan

4. Sebelah Selatan : Kelurahan Gusung

Adapun visi, misi, dan motto dari Puskesmas Pattingalloang, adalah:

1. VISI

Terwujudunya Puskesmas Pattingalloang yang prima dalam pelayanan

dan berwawasan lingkungan

2. MISI

a. Memberikan pelayanan paripurna dalam peningkatan kesehatan

individu, keluarga dan masyarakat

b. Peningkatan SDM yang profesional

23
c. Peningkatan upaya promotif dan preventif dalam pemeliharaan

kesehatan yang komprehensif

d. Peningkatan sistem organisasi yang prima dalam pemberian

pelayanan kesehatan

e. Peningkatan kerjasama lintas sektor dan partisipasi masyarakat

f. Menciptakan lingkungan sehat yang bersih, indah, hijau, aman dan

nyaman

g. Memantapkan kemandirian hidup bersih dan sehat melalui

partisipasi masyarakat

B. Keadaan Demografi

1. Luas wilayah : 22,24 km2

2. Jumlah penduduk : 19.810 orang

3. Jumlah penduduk pada lingkup kerja Puskesmas Pattingalloang adalah:

a. Kelurahan Pattingalloang: 7077 jiwa

b. Kelurahan Pattingalloang Baru: 3706 jiwa

c. Kelurahan Cambaya: 6865 jiwa

d. Kelurahan Camba Berua: 4878 jiwa

4. Dari empat kelurahan yang ada terdapat 17 RW dan 68 RT terdiri dari :

a. Kelurahan Pattingalloang: 5 RW 15 RT

b. Kelurahan Pattingalloang Baru: 3 RW 13 RT

c. Kelurahan Cambaya: 5 RW 22 RT

d. Kelurahan Camba Berua: 4 RW 18 RT

24
C. Keadaan Sarana Wilayah Todoppuli

1. Jumlah Sarana Pendidikan : 21, terdiri dari:

TK : 8 buah

SD/Sederajat : 9 buah

SMP/Sederajat : 2 buah

SMA/Sederaja : 2 buah

2. Jumlah Puskesmas Pembantu : 2 buah

3. Jumlah Posyandu : 20 buah

4. Jumlah Poskesdes : 1 buah

5. Jumlah Kader Posyandu : 100 orang

6. Jumlah Dukun : 20 orang

D. Sumber Daya Manusia (SDM) Puskesmas Pattingalloang

Jumlah dan jenis pegawai di Puskesmas Toddupuli adalah:

1. Kepala Puskesmas : 1 orang

2. Dokter Umum : 3 orang

3. Dokter Gigi : 1 orang

4. Tata Usaha : 1 orang

5. SKM : 1 orang

6. Perawat : 13 orang

7. Apoteker : 2 orang

8. Farmasi : 2 orang

9. Sanitarian : 1 orang

25
10. Bidan : 7 orang

11. Perawat Gigi : 2 orang

12. Laboratorium : 2 orang

13. Gizi : 2 orang

14. Fisioterapi : 1 orang

E. Upaya Kesehatan Puskesmas Pattingalloang

Jenis pelayanan yang diberikan Puskesmas Pattingalloang adalah sebagai

berikut:

1. Upaya Kesehatan Esensial

a. Promosi Kesehatan

b. KIA / KB

c. Kesehatan Lingkungan

d. Pelayanan Gizi

e. Pencegahan dan Pemberentasan Penyakit

2. Upaya Kesehatan Pengembangan

a. UKS ( Upaya Kesehatan Sekolah)

b. Kesehatan Usia Lanjut

c. Kesehatan Jiwa

d. Kesehatan Olahraga

e. Dan Lain Lain

3. Upaya Kesehatan Perorangan

a. Pelayanan Poli Umum, Gigi, UGD dan Rawat Inap serta persalinan

26
b. Pelayanan Kefarmasian

c. Pelayanan Laboratorium

4. Jejaring Pelayanan Puskesmas

a. Puskesmas Keliling

b. Puskesmas Terpadu

c. Pos Kesehatan Desa

27
BAB IV

LAPORAN KASUS

A. Anamnesis

1. Identitas Pasien

a. Nama Lengkap : Nn. S

b. Jenis Kelamin : Perempuan

c. Umur : 36 tahun

d. Pekerjaan : Pegawai swasta

e. Alamat : Jl. BOLU

f. Tanggal Masuk : 26 Februari 2017

2. Riwayat Penyakit

a. Keluhan Utama : Demam timbul hilang, terutama pada sore dan

malam hari

b. Keluhan tambahan : Menggigil, berkeringat, nyeri kepala, mual,

muntah, nyeri uluhati, dan konstipasi

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk melalui UGD Puskesmas Patingngaloang dengan

keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, timbul hilang, terutama pada sore

dan malam hari. Pola demam yang dirasakan adalah dimulai dengan badan

terasa dingin, kemudian panas dalam beberapa menit dan menggigil,

kemudian berkeringat diikuti penurunan suhu tubuhnya. Pola demam ini

terjadi 3-5 kali dalam sehari.

28
Pasien juga mengeluh nyeri kepala, seperti tertusuk-tusuk,

diseluruh kepala yang muncul terutama saat pasien demam. Pada 2 hari

terakhir pasien mengeluh mual atau seperti ingin muntah, rasa tidak

nyaman diperut dan nyeri pada uluhati. Malam sebelum pasien masuk

UGD, muntah 2x di rumah, isi makanan dan air. Nafsu makan menurun,

namun pasien kuat minum. Pasien mengatakan belum BAB sejak 3 hari

yang lalu. Sejak keluhan awal muncul sampai hari dirawat pasin hanya 3x

BAB.

4. Riwayat Pengobatan

Karena keluhan demam yang dialami pasien, pada tanggal

22/02/17 pasien datang ke poli umum PKM Patingaloang, karena

gambaran klinis bleum khas dan hanya didapatkan faring yang hiperemis

maka pasien didiagnosis faringitis dan diberikan terapi paracetamol

3x500mg dan vit B comp 1x1 tablet.

Namun 3 hari kemudian tanggal 25/02/17, pasien kembali ke poli

karena keluhan tidak membaik, dan dokter poli pun menyarankan untuk

dilakukan pemriksaan laboratorium berupa darah rutin dan tes widal.

Didapatkan hasil widal positif tifoid dan diberikan antibiotik tambahan

berupa cefadroxyl 3x500 mg, dan dilihat dari keadaan umum pasien yang

masih baik, sehingga dokter poli menyarankan untuk rawat jalan dengan

anjuran tirah baring di rumah. Keluhan dirasakan membaik setelah itu,

namun karena muncul lagi keluhan gastrointestinal seperti mual dan

29
muntah, sehingga pasien memutuskan untuk ke UGD pada tanggal

26/02/17 malam dan dokter mnyarankan untuk rawat inap.

5. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

Adapun penyakit lain yang diderita pasien sebelumnya hanya penglihatan

kabur akibat mata minus.

6. Riwayat Penyakit Keluarga

Diketahui keponakan pasien yang berusia 12 tahun dan serumah

dengan pasien pernah menderita Demam Typhoid kurang lebih 1 bulan

yang lalu. Ayah pasien menderita hipertensi.

7. Riwayat Lingkungan Sosial

Pasien bekerja di Lembaga Bantuan Hukum di bagian administrasi.

Setiap hari pasien bekerja mulai pukul 08.00 pagi hingga pukul 17.00. hal

ini membuat pasien lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah.

Pasien mengatakan hampir setiap hari mengkonsumsi makanan yang dibeli

di warung sekitar kantornya, pasien mengatakan bahwa salah satu dari

teman kerjanya juga menderita penyakit thypoid.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Status Present

a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang

b. Kesadaran : Compos mentis

c. Tekanan darah : 120/80 mmHg

30
d. Nadi : 88 x/m

e. Suhu : 38 oC

f. Pernafasan : 20 x/m

2. Status Generalis

a. Kepala

1) Bentuk : Normal, simetris

2) Muka : Hitam, lurus.

3) Mata : Bulat Simetris

4) Telinga : Konjungtiva anemis (-), sklera an-ikterik, Refleks cahaya

(+/+)

5) Hidung : liang telinga lapang, sekret (-), serumen (-)

6) Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), lidah kotor (+), perdarahan

gusi (-), faring hiperemis (+)

b. Leher

1) Trakhea : Di tengah

2) KGB : Tidak membesar

3) JVP : Tidak divaluasi

c. Thoraks

1) Bentuk : Simetris

2) Retraksi : Tidak ada

d. Jantung

1) Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

2) Palpasi : Iktus kordis traba sla iga IV garis midclavicula kiri

31
3) Perkusi : Batas atas sela iga II garis parasternal kiri; batas kanan

sela IV garis para sternal kanan; batas kiri sela iga IV garis

midclavicula kiri

4) Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, reguler, murmur (-),

e. Paru

1) Inspeksi : bentuk pergerakan hemithoraks kanan dan kiri simetris

2) Palpasi : vokal premitus simetris, krepitasi (-)

3) Perkusi : Sonor

4) Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), Ronchi (-/-), Wheezing

(-/-)

f. Abdomen

1) Inspeksi : Datar, simetris

2) Palpasi : hepar dan lien tidak teraba; nyeri tekan (+) daerah

epigastrium

3) Perkusi : Timpani

4) Auskultasi : Bising usus (+) normal

g. Gentalia eksternal

Tidak dievaluasi

h. Ektremitas

1) Superior : Akral dingin, Rumple leed test (-)

2) Inferior : Akral dingin

32
C. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)

Tanggal Jenis Hasil


Leukosit 4800 sel/mm3
Trombosit 180.000 sel/mm3
25/02/2017 OA: -; OB: 1/80; OC: 1/320; OD:
Widal test 1/320;
HA: - ; HB: - ; HC: -; HD: 1/320
Hemoglobin 10 gr%
Leukosit 6400 sel/mm3
27/02/2017 Trombosit 160.000 sel/mm3
OA: -; OB: 1/80; OC: -; OD: 1/320;
Widal test
HA: 1/80 ; HB: - ; HC: - ; HD: 1/160

D. Resume

Pasien masuk UGD PKM patingaloang dengan keluhan demam (+) 7

hari sebelumnya, hilang-timbul, terutama pada sore dan malam hari,

menggigil (+), nyeri kepala (+), mual (+), muntah (+) 2x isi makanan dan air,

nyeri uluhati (+). Pasien tidak BAB 3 hari trakhir. BAK lancar.

Hasil pengukuran tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali suhu

tubuh 38oC (febris). Pada pemeriksaan fisik didapatkan lidah kotor (+), faring

hiperemis (+), nyeri tekan epigastrium (+), tidak ada pembesaran hepar, lien

atau kelenjar regional. Auskultasi bising usus (+) kesan normal.

Ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratoium pertama yaitu widal

test didapatkan hasil positif pada beberapa titer. Pada pemeriksaan widal ke-2

didapatkan hasil masih positif tetapi dengan titer yang menurun.

33
Riwayat keluarga didapatkan adanya anggota keluarga yaitu

keponakan pasien yang menderita penyakit yang sama dan sempat dirawat di

Rumah sakit. Riwayat sosial juga didapatkan pasien sering mengkonsumsi

makanan di sekitar tempat kerjanya yang tidak dijamin kebersihannya dan ada

teman kerja pasien yang menderita penyakit yang sama.

E. Diagnosis

Berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium

maka pasien didiagnosis dengan Demam Thypoid Klinis (Probable Case).

F. Diagnosis Banding

1. Demam Berdarah Dengue

2. Febris Pro Evaluasi

3. Faringitis

G. Terapi

1. IVFD RL 28 tpm

2. Paracetamol 3 x 500 mg

3. Antasida 3 x 1 tablet

4. Thyamphenicol 3 x 500 mg

5. Vitamin B-comp 2 x 1 tablet

6. Tirah baring

7. Diet lunak tinggi kalori dan tinggi protein

34
8. Observasi suhu

H. Edukasi

1. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan

dan dilakukan dengan rutin dan teratur

2. Perbaikan sanitasi lingkungan

3. Peningkatan higiene makanan dan minuman

4. Peningkatan higiene perorangan

I. Follow Up

PERJALANAN HASIL TERAPI


TANGGAL
PENYAKIT LABORATORIUM
27/2/2017 KU : Demam (+) 7 hari, Darah Rutin: - Ivfd RL 28 tpm
menggigil (+), nyeri - HB : 10 gr% - Paracetamol
kepala (+), mual (+), - Leukosit : 6.400 500mg 3x1
muntah (+), nyeri ulu sel/mm3 - Antasida tab
hati (+) - Trombosit 3x1
Bab : belum bab 3 hari 160.000 sel/ mm3 - Domperidone
BAK : lancar Widal : 10mg 2x1
PF : TD : 120/70 - OA : - - Thyamphenicol
N : 80x/i - OB : 1/80 500mg 3x1
P : 20x/i - OC : -
S : 38.2 C - OD : 1/320
Lidah kotor (+)
- HA : 1/80
Bising usus (+) kesan
- HB : -
normal
Nyeri tekan (+) - HC : -
epigastric - HD : 1/160
D/ : Demam typhoid

28/2/2017 KU : Demam (+), - Ivfd RL 28 tpm


menggigil (+), nyeri - Paracetamol
kepala (-), mual (-), 500mg 3x1
muntah (-), nyeri ulu hati - Antasida tab
(-) 3x1
Bab : baik - Domperidone

35
Bak : lancar 10mg 2x1 (kp)
PF : TD : 120/90 - Thyamphenicol
N : 80x/i 500mg 3x1
P : 20x/i
S : 39 C
Lidah kotor (+)
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (+)
epigastric
D/ : Demam typhoid
01/03/2017 KU : Demam (-), nyeri - Ivfd RL 28 tpm
kepala (-), mual (-), - Paracetamol
muntah (-), nyeri ulu hati 500mg 3x1
(-) - Antasida tab
Bab : baik 3x1
Bak : lancar - Domperidone
PF : TD : 120/80 10mg 2x1 (kp)
N : 80x/i - Thyamphenicol
P : 20x/i 500mg 3x1
S : 36.7 C - Vit. Bcomp 1x1
Lidah kotor (-)
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (-) epigastric
D/ : Demam typhoid
02/03/2017 KU : Demam (-), nyeri - Aff infus
kepala (-), mual (-), - Paracetamol
muntah (-), nyeri ulu hati 500mg 3x1
(-) - Antasida tab
Bab : baik 3x1
Bak : lancar - Thyamphenicol
PF : TD : 110/80 500mg 3x1
N : 80x/i - vit. Bcomp 1x1
P : 20x/i
S : 37 C
Lidah kotor (-)
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (-) epigastric
D/ : Demam typhoid
03/03/2017 KU : Demam (-), nyeri - Paracetamol
kepala (-), mual (-), 500mg 3x1
muntah (-), nyeri ulu hati - Antasida tab
(-) 3x1
Bab : baik - Thyamphenicol

36
Bak : lancar 500mg 3x1
PF : TD : 100/80 - Vit. Bcomp 1x1
N : 80x/i Pulang
P : 20x/i
S : 36.9 C
Lidah kotor (-)
Bising usus (+) kesan
normal
Nyeri tekan (+)
epigastric
D/ : Demam typhoid

37
BAB V

PEMBAHASAN

Pasien masuk melalui UGD pada tanggal 26/02/17 di Puskesmas

Patingngaloang dengan keluhan demam sejak 7 hari yang lalu, timbul hilang,

terutama pada sore dan malam hari. Pola demam yang dirasakan adalah dimulai

dengan badan terasa dingin, kemudian panas dalam beberapa menit dan

menggigil, kemudian berkeringat diikuti penurunan suhu tubuhnya. Pola demam

ini terjadi 3-5 kali dalam sehari. Pasien juga mengeluh nyeri kepala, seperti

tertusuk-tusuk, diseluruh kepala, pasien mengeluh mual, rasa tidak nyaman

diperut dan nyeri pada uluhati dan muntah 2x. Pasien juga mengatakan belum

BAB sejak 3 hari yang lalu.

Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80, nadi 88x/menit,

regular, suhu 38oC (febris), dan pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya bibir

kering, lidah kotor, nyeri tekan epigastrium.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa sebagai

suspek demam typhoid karena adanya gejala demam dan gangguan saluran cerna,

serta nyeri epigastrium dan lidah kotor yang merupakan tanda khas dari demam

typhoid. Ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu widal test

didapatkan hasil positif pada beberapa titer. Sehingga pada pasien tersebut dapat

di diagnosis sebagai demam typhoid klinis (Probable Case).

Pemeriksaan widal ini merupakan pemeriksaan laboratorium awal yang

dilakukan pada pasien suspek typhoid. Dimana dengan adanya hasil positif dapat

38
memastikan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan Widal ini bertujuan untuk

mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi. Biasanya antibodi antigen

O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-

12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat

dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.

Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella merupakan basil

penyebab demam thypoid. Basil ini adalah gram negative, bergerak, tidak

berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan

anaerob fakultatif. Ukuran antara (2-4) x 0,6 µm. Suhu optimum untuk tumbuh

adalah 370C dengan PH antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup

sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.

Sedangkan reservoir satu-satunya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang

sakit atau karier.

Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi

makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen

feses atau urin dari pengidap typhoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang

sangat berperan, pada penularan adalah :

1. Hygiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang

tidak terbiasa.

2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah

Faktor ini paling berperan pada penularan typhoid. Banyak sekali

contoh untuk ini diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang

terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang

39
dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu,

sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan

sebagainya.

3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah,

kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan

4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai

5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat

6. Pasien atau karier typhoid yang tidak diobati secara sempurna

Dari beberapa cara penularan diatas pada pasien ini ditemukan riwayat

penyakit yang sama dalam keluarga dan lingkungan tempat kerja nya. Ini

menunjukkan terdapat pola penularan dari orang yang ada disekitarnya. Pola

penularannya dapat didapatkan dari makanan, maupun dari keadaan lingkungan

pasien. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya penularan demam

typhoid. Selain itu, gaya hidup pasien juga diketahui lebih sering mengkonsumsi

makanan yang dibeli sehingga hygenitas dari makanan yang di konsumsi tidak

terjamin.

Setelah pasien keluar dari perawatan di Puskesmas, Kami melakukan

kunjungan ke rumah pasien. Kunjugan rumah ini dimaksudkan untuk melihat

bagaimana keadaan lingkungan di rumah pasien, sehingga pada kunjungan rumah

yang kami lakukan, didapatkan :

1. Lokasi rumah pasien berada di lorong yang padat dan sempit.

40
2. Sumber air yang digunakan untuk mandi, cuci, kakus adalah air sumur

bor dan untuk memasak air minum menggunakan air PAM yang

terbatas

3. Penyediaan jamban tidak memenuhi kriteria jamban sehat karena

kamar mandi, jamban serta tempat mencuci peralatan makan dilakukan

ditempat yang sama.

4. Keluarga pasien sering mengkonsumsi sayur namun jarang

mengkonsumsi buah

Beberapa hal diatas dapat menjadi faktor penyebab yang mendukung

terjadinya penularan bakteri Salmonella ke makanan dan minuman yang akan

dikonsumsi anggota keluarga. Dan nantinya akan menimbulkan gejala klinis

Demam Tifoid.

Penatalaksanaan yang dilakukan puskesmas terhadap pasien tersebut

berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

1. Terapi farmakologi :

a. IVFD RL 28 tpm

b. Paracetamol 3x 500 mg

c. Antasida 3x 1 tablet

d. Thyamphenicol 3x 500mg

e. Vitamin B-comp 2x1 tablet

2. Terapi non farmakologi :

a. Tirah baring

b. Diet lunak tinggi kalori dan tinggi protein

41
3. Edukasi

a. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya

diperhatikan dan dilakukan dengan rutin dan teratur

b. Perbaikan sanitasi lingkungan

c. Peningkatan higiene makanan dan minuman

d. Peningkatan higiene perorangan

1. Terapi Farmakologis

Terapi pada pasien ini dimulai dengan pemberian cairan Ringer laktat

28 tetes per-menit, karena pada pasien thypoid harus mendapatkan cairan yang

cukup, baik secara oral maupun parenteral. Dosis cairan parenteral adalah

sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Cairan harus mengandung

elektrolit dan kalori yang optimal. Adapun terapi simptomatik yang diberikan

untuk perbaikan keadaan umum penderita adalah paracetamol sebagai

antipiretik, domperidon sebagai anti emetic karena pasien mengeluh mual dan

muntah, antasida untuk mengurangi nyeri ulu hati dengan menurunkan tingkat

keasaman lambung, serta vitamin B comp yang membantu meningkatkan

sistem kekebalan tubuh.

Anti mikroba segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah

dapat ditegakkan baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, probable, maupun

suspek. Berdasarkan kasus diatas diagnosis dapat ditegakkan dengan gejala

klinis yang khas dan pemeriksaan widal yang memberikan hasil positif pada

beberapa titer sehingga harus diberikan antimikroba berupa tiamfenikol. Dosis

42
dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.

Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang

dibandingkan kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada

demam tifoid dapat turun 5-6 hari. Hal ini terbukti dengan pemberian hari ke-

5 tiamfenikol, pasien bebas demam.

2. Terapi Non-farmakologis

Terapi non-farmakologis yang paling awal harus dilakukan adalah

tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama

perdarahan dan perforasi. Jika keadaan umum pasien membaik maka akan

dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Selain itu pemberian diet yang sesuai dengan keadaan umum pasien juga

mendukung pemulihannya, pada pasien ini ditemukan adanya keluhan

gastrointersinal berupa mual, muntah dan nyeri uluhati, sehingga diet yang

diberikan berupa diet lunak. Makanan yang diberikan harus mengandung

kalori dan protein yang tinggi.

Puskesmas Patingaloang sebagain fasilitas kesehatan bagi pasien

tersebut memiliki Program pemberantasan penyakit menular. Sebagai langkah

preventif terhadap penularan penyakit demam tifoid ini, maka diberikan

penyuluhan kepada pasien dan keluarga saat kunjungan rumah, demi memutus

rantai penularan dan mencegah kekambuhan adalah dengan perbaikan sanitasi

lingkungan; perbaikan hygiene makanan dan minuman; serta perbaikan

hygiene personal.

43
a. Usaha perbaikan sanitasi lingkungan

Usaha perbaikan sanitasi lingkungan yang dapat pasien lakukan di

tempat tinggalnya dan sekitarnya adalah:

1) menyediakan air bersih untuk aktifitas keluarga sehari-hari, seperti

mencuci pakaian, mandi, memasak, dll. Air bersih tersebut tidak boleh

terkontaminasi dengan lingkungan, sebagainya menggunakan air PAM

yang terjamin kebersihannya.

2) Selalu rutin membersihkan jamban dengan cairan pembersih, disikat

dan disiram dengan air bersih, sehingga tidak terkontaminasi dengan

lalat dan serangga lain.

3) Mengelola air limbah, kotoran dan sampah dengan benar, dengan rutin

membersihkan selokan sekitar rumah dan membuang sampah rumah

tangga pada tempatnya sehingga dengan mudah diangkut oleh bak

sampah, tidak dihinggap oleh lalat atau serangga lain, dan tidak

mencemari lingkungan.

4) Membuat lorong sehat

b. Usaha perbaikan hygiene makanan dan minuman

Karena transmisi utama basil salmonella melalui air minum dan

makanan, maka hygiene makanan dan minum sangat penting dijaga pasien

saat dirumah ataupun saat bekerja, disesuaikan dengan ketentuan WHO

yaitu “Golden rule of WHO”, maka yang harus dilakukan pasien dan

keluarga adalah:

44
1) memilih air minum yang terjamin kebersihannya seperti air gallon/air

miniral yang terjamin atau air PAM yang dimasak sampai mendidih

terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.

2) Mencuci bahan makanan dengan air mengalir dan bersih, memisahkan

bahan makanan mentah dengan makanan yang sudah dimasak,

memasak makanan sampai matang dan panaskan kembali dengan

benar, serta melindungi makanan dari serangga terutama lalat dan

binatang pengerat seperti tikus.

3) Rutin membersihkan dapur dan membersihkan alat masak dengan

benar.

4) Memilih bahan makanan yang terjamin kebersihannya.

c. Usaha Peningkatan Higiene Perorangan

Pilar ke-3 dalam program pencegahan penularan tifoid adalah hygiene

perorangan. Dalam hai ini, pasien harus semakin meningkatkan kebersihan

dirinya sendiri untuk melindungi dirinya terhadapa kontaminasi kembali

basil salmonella, dengan selalu mencuci tangan dengan benar,

menggunakan sabun dan air mengalir, saat ingin makan, sesudah makan,

setelah memegang sampah, setelah bekerja, dan setelah aktivitas-aktivitas

lain yang melibatkan kontaminasi tangan dengan lingkungan.

Diharapkan dengan meningkatkan dan melakukan 3 pilar upaya

pemberantasan penularan demam thypoid tersebut, maka dapat memutus mata

rantai penularan, menurunkan angka kejadian kasus baru demam tifoid dan

pasien karier yang kembali relaps.

45
BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan data penyakit yang diperoleh bahwa penyakit Demam

Thypoid tidak pernah lepas dari 10 penyakit teratas tahun 2016 dan 2017 di

Puskesmas Pattingalloang.

Demam tifoid adalah infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh

Salmonella enteric serotype typhi (Salmonella typhi). Berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa sebagai suspek demam typhoid. Ditunjang

dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu widal test didapatkan hasil positif

pada beberapa titer. Sehingga pasien dalam pembahasan ini dapat di diagnosis

sebagai demam typhoid klinis (Probable Case).

Pada pasien ditemukan riwayat penyakit yang sama dalam keluarga dan

lingkungan tempat kerjanya. Selain itu, gaya hidup pasien juga diketahui lebih

sering mengkonsumsi makanan yang dibeli sehingga hygenitas dari makanan

yang di konsumsi tidak terjamin. Hal ini yang menjadi faktor terjadinya penularan

demam typhoid pada pasien.

Pada kunjungan ke rumah pasien, lingkungan tempat tinggal pasien seperti

lokasi, sumber air, penyediaan jamban, dan makanan yang dikonsumsi memang

mendukung terjadinya penularan bakteri Salmonella ke makanan dan minuman

yang akan dikonsumsi anggota keluarga.

46
Penatalaksanaan terapi farmakologi pada pasien ini sesuai dengan

penanganan fasilitas kesehatan primer, sehingga pemberian obat sangat efektif

terhadap perkembangan kesembuhan pasien. Hal ini terbukti dengan pemberian

hari ke-5 tiamfenikol, pasien bebas demam. Begitu juga terapi non farmakologi

yang diberikan pada pasien ini.

Puskesmas Patingaloang sebagai fasilitas kesehatan bagi pasien tersebut

memiliki Program pemberantasan penyakit menular. Sebagai langkah preventif

terhadap penularan penyakit demam tifoid ini, maka diberikan penyuluhan kepada

pasien dan keluarga saat kunjungan rumah, demi memutus rantai penularan dan

mencegah kekambuhan adalah dengan perbaikan sanitasi lingkungan; perbaikan

hygiene makanan dan minuman; serta perbaikan hygiene personal.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan RHH. Tatalakasana Terkini Demam Tifoid. Continuing Medical

Education. Jakarta. 2012: 39(4); 247-50.

2. Inawati. Demam Tifoid. Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Surabaya.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006

4. Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 364/Menkes/SK/V/2006 tentang

Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.

5. Purba IE, Wandra T, Nugrahini N, Nawawi S, Kandun N. Program

Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Medan.

Jun 2016: 26(2); 99-108.

6. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/56301/4/Chapter%20II.pdf.

Diakses tanggal 3 Maret 2017

48

Anda mungkin juga menyukai