Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

RHEUMATOID ARTHRITIS

OLEH :

dr. Feri Gustiawan

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT AR BUNDA
KOTA LUBUK LINGGAU
2020
PORTOPOLIO

Kasus 4

Topik : Kolelitiasis

Tanggal (kasus) : 27 Januari 2020 Presenter :

dr. Ibrahim Muhammad


Tanggal Presentasi : Pendamping :
dr. Ganty Oktapariani

Tempat Presentasi : Rumah Sakit AR Bunda

Objektif Presentasi :

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

Seorang laki-laki, usia 52 tahun datang dengan keluhan bengkak dan nyeri
□ Deskripsi :
pada buah zajkar 5 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit..

□ Tujuan : Menegakkan diagnosis

Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Audit
Bahasan : □ Kasus

Cara □ Presentasi dan □ Pos


□ Diskusi □ E-mail
Membahas : Diskusi

Data Pasien : Nama : Ny. L 53 tahun No. Registrasi : 19010581

Nama RS: RS AR Bunda Telp : Terdaftar sejak : 27 Januari 2020


Data Utama untuk Bahan Diskusi :

1. Keluhan Utama : Nyeri Pada Pergelangan Tangan ± Sejak 2 SMRS

Riwayat penyakit sekarang : Pasien perempuan umur 53 tahun datang ke RS AR


BUNDA dengan keluhan nyeri pada pergelangan tangan kanan dan kiri hingga ujung-
ujung jari, nyeri juga kadang dirsakan bergantian, namun dalam 2 hari terakhir nyeri
dirasakan pada kedua tangan disertai bengkak, nyeri dirasakan lebih dominan yang sebelah
kiri, pasien mengatakan hanya tersentuh kain saja kedua tangan sudah sangat kesakitan
apalagi tersentuh benda padat, keluhan ini sudah dirasakan hilang timbul dalam 1 tahun
terakhir dan keluhan berkurang apabila meminum obat penghilang rasa nyeri yang
diberikan oleh dokter puskesmas ataupun dibeli sendiri di apotek, demam disangkal, BAB
dan BAK dalam batas normal.

2. Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya ±
sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus Disangkal

3. Riwayat penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan
seperti ini.

4. Riwayat pengobatan : -

5. Riwayat kebiasaan : -

6. Riwayat Pekerjaan : -

7. Riwayat sosial ekonomi : -

Hasil Pembelajaran :

1. Definisi

2. Epidemiologi

3. Faktor Resiko

4. Etiopatogenesis

5. Manifestasi Klinis
6. Diagnosis/Diagnosis Banding

7. Penatalaksanaan

8. Prognosis

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :

Pasien perempuan umur 53 tahun datang ke RS AR BUNDA dengan keluhan nyeri pada
pergelangan tangan kanan dan kiri hingga ujung-ujung jari, nyeri juga kadang dirsakan
bergantian, namun dalam 2 hari terakhir nyeri dirasakan pada kedua tangan disertai
bengkak, nyeri dirasakan lebih dominan yang sebelah kiri, pasien mengatakan hanya
tersentuh kain saja kedua tangan sudah sangat kesakitan apalagi tersentuh benda padat,
keluhan ini sudah dirasakan hilang timbul dalam 1 tahun terakhir dan keluhan berkurang
apabila meminum obat penghilang rasa nyeri yang diberikan oleh dokter puskesmas
ataupun dibeli sendiri di apotek, demam disangkal, BAB dan BAK dalam batas normal.

2. Objektif :

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 130/90 mmHg

Nadi : 86 kali/menit, teratur, kuat angkat

Nafas : 18 kali/menit, teratur

Suhu : 36,70c

Tinggi badan : ±155 cm

Berat badan : ±70 kg

a. Pemeriksaan Fisik :
Kepala
Bentuk : Normosefali, tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Cekung (-/-)
Hidung : Deformitas (-), Sekret (-), Hiperemis (-)
Telinga : MAE lapang, Secret (-), Serumen (-) MT intak, warna putih.
Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (-), Sianosis (-) Faring hiperemis (-)

Tonsil T1-T1, Uvula ditengah

Leher : Tidak tampak bengkak, warna kulit sama dengan sekitar . tidak teraba
pembesaran KGB. Nyeri tekan (-)

Thoraks : Simetris, retraksi (-)

Cor : Bunyi Jantung I > Bunyi jantung II, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, Supel, Bising usus (+) normal, NT (-) NL (-)
Nyeri Ketok CVA (-)
Ekstremitas : Turgor Baik, Akral Hangat, CRT ˂2 detik, Edema (-). Ptekie (-)

HEMATOLOGI

PEMERIKSAAN HASIL NORMAL

Hemoglobin 13,2 12,3 – 15,3 mg/dl

Leukosit 6000 4.400-11.300 ul

BSE- jam ke 1 32 1-15 mm/jam

Hitung jenis leukosit

 Basofil 0 0-1 %

 Eosinofil 0 0-4 %

 Mielosit 0 0%
 Meta myelocyt 0 0-1 juta %

 Band 0 0-6%

 Segmen 72 40-70%

 Limfosit 19 30-45%

 Monosit 9 2-10%

Eritrosit 4,3 4,0 – 5,2 juta/mm3

Hematokrit 31 35 – 47%

Trombosit 268.000 150.000-450.000u\l

MCV 71 74-108

MCH 26 27-32 pg

MCHC 36 32-36 g/l

KIMIA DARAH

PEMERIKSAAN HASIL NORMAL

Glucosa darah sewaktu 107 74-139 mg/dl

3. Assesment :

Telah dirawat seorang Pasien perempuan umur 53 tahun datang ke RS AR BUNDA


dengan keluhan nyeri pada pergelangan tangan kanan dan kiri hingga ujung-ujung jari,
nyeri juga kadang dirsakan bergantian, namun dalam 2 hari terakhir nyeri dirasakan pada
kedua tangan disertai bengkak, nyeri dirasakan lebih dominan yang sebelah kiri, pasien
mengatakan hanya tersentuh kain saja kedua tangan sudah sangat kesakitan apalagi
tersentuh benda padat, keluhan ini sudah dirasakan hilang timbul dalam 1 tahun terakhir
dan keluhan berkurang apabila meminum obat penghilang rasa nyeri yang diberikan oleh
dokter puskesmas ataupun dibeli sendiri di apotek, demam disangkal, BAB dan BAK
dalam batas normal.

4. Terapi :

- IVFD RL gtt 20x/menit

- Inj. Ketorolac 3x30 mg IV

- Inj. Panloc 1x40 mg IV

- Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg IV


PENDAHULUAN

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di


sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah
Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal
namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan
pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi
berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan susunan
genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan
suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif
konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara
dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia
Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan
Amerika sebesar
1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu
0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21
juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-
laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali
memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak
diperinci jenis rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik,
usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor

hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila
tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15%
pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau
berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas.
Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi, status
fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak
penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan
memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya
dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan
kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan
kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria
ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian
dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang
berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan
Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan
dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum
didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu
dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2. Epidemiologi Rheumatoid Arthritis


Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainnya,
di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada kaukasia
dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat
1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di
Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000.
Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan
prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan
prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik
Reumatologi RSUPN

Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%
dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali
memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak
diperinci jenis rematik secara detail. Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013)
memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia
yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu
wilayah pedesaan di Bali.

3. Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis


Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua
yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang
berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase
PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat
diantara populasi Eropa dan Asia. HLA- DRB1 terdapat di seluruh populasi
penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa
dan jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat
dalam keluarga dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini
juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis
Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk

timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya
RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada
anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60
tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas.
Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.

3.2 Dapat Dimodifikasi


1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara
faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia
yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan
perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok
berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan
berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan
dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali
lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian pada perokok pasif
masih belum terjawab namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang
mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu
mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang
terlalu lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan
daging merah dapat

meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan


memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi
kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana
hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus
(EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial
pada pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma
pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan
risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan,
dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi
terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal

Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada


perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler,
dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.

4. Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit
autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin,
keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus
awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai
faktor pencetus.

Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan
reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal,

mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi


terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya
masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain
peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin,
dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan
pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya
atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat
menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan.
Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama
dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti
sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim
penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA


Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan
laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah
antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap
antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-
CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan
sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra
dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal
ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin
yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui
pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi
diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel
radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh
sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan
protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta
mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan
kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah
sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah
oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan
terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili.
Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual
bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena,
penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis
terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini
akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur
dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
5. Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid
Arthritis
5.1 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan.
Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut
dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi
(Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun,
peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan,
lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti
sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan
tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di
pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard

c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif


dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang
sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas
dengan gejala foot or wrist drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa
kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans

f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan


spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni
5.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat

b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF


negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi.
5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan
fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian,
penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA
(American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas
91%. Hasil laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang
sensitif dan spesifik. Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas
90% dan sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)

Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang


direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama
1 jam sebelum perbaikan maksimal.

2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi


atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya
PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).

5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau


permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan
kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas,
dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College
of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA.
Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prospektif
(gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari
riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).
Distribusi Sendi (0-5) Skor
1 sendi besar 0
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan) 3
>10 sendi kecil 5
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif 0

Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA 2


Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA 3

Durasi Gejala (0-1)


<6 minggu 0
≥6 minggu 1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal 0
CRP abnormal ATAU LED abnormal 1

6. Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis


RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif yang
berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), yang mungkin

mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan.
Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada artritis gout maka
pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu, osteoartritis juga memiliki
kemiripan gejala dengan RA.

7. Penatalaksana
7.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menekan faktor risiko:

1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko


peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan
1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin
berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik
kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila
mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.

3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat
untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan
olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk,
bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga
sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi
juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam
jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi
yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi
air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA
yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif.
(Febriana, 2015).

7.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan
bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi,
dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)

Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang
dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak,
dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi
dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi

Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui

pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri


berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka
dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta,
2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai lini

ditingkatkan setiap pertama


minggu hingga
4x500mg/hari

Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus


mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,
17,5mg/minggu intoleransi GIT,
dalam 8-12 minggu gangguan fungsi hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan
tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan

hati, gejala GIT,


peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash

8. Prognosis Rheumatoid Arthritis


Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan pasien
untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen
penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis
yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal
dibandingkan mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan
manifestasi yang berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal
nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami
hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah
gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator
prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi
dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative.
Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The
Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of
Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med,
vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di
Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1,
pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V,
FKUI, Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan- Keluhan
Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu Wilayah Pedesaan di
Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-
Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019

Anda mungkin juga menyukai