RHEUMATOID ARTHRITIS
OLEH :
Kasus 4
Topik : Kolelitiasis
Objektif Presentasi :
Seorang laki-laki, usia 52 tahun datang dengan keluhan bengkak dan nyeri
□ Deskripsi :
pada buah zajkar 5 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit..
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Audit
Bahasan : □ Kasus
2. Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya ±
sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus Disangkal
3. Riwayat penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan
seperti ini.
4. Riwayat pengobatan : -
5. Riwayat kebiasaan : -
6. Riwayat Pekerjaan : -
Hasil Pembelajaran :
1. Definisi
2. Epidemiologi
3. Faktor Resiko
4. Etiopatogenesis
5. Manifestasi Klinis
6. Diagnosis/Diagnosis Banding
7. Penatalaksanaan
8. Prognosis
1. Subjektif :
Pasien perempuan umur 53 tahun datang ke RS AR BUNDA dengan keluhan nyeri pada
pergelangan tangan kanan dan kiri hingga ujung-ujung jari, nyeri juga kadang dirsakan
bergantian, namun dalam 2 hari terakhir nyeri dirasakan pada kedua tangan disertai
bengkak, nyeri dirasakan lebih dominan yang sebelah kiri, pasien mengatakan hanya
tersentuh kain saja kedua tangan sudah sangat kesakitan apalagi tersentuh benda padat,
keluhan ini sudah dirasakan hilang timbul dalam 1 tahun terakhir dan keluhan berkurang
apabila meminum obat penghilang rasa nyeri yang diberikan oleh dokter puskesmas
ataupun dibeli sendiri di apotek, demam disangkal, BAB dan BAK dalam batas normal.
2. Objektif :
Suhu : 36,70c
a. Pemeriksaan Fisik :
Kepala
Bentuk : Normosefali, tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Cekung (-/-)
Hidung : Deformitas (-), Sekret (-), Hiperemis (-)
Telinga : MAE lapang, Secret (-), Serumen (-) MT intak, warna putih.
Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (-), Sianosis (-) Faring hiperemis (-)
Leher : Tidak tampak bengkak, warna kulit sama dengan sekitar . tidak teraba
pembesaran KGB. Nyeri tekan (-)
Cor : Bunyi Jantung I > Bunyi jantung II, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, Supel, Bising usus (+) normal, NT (-) NL (-)
Nyeri Ketok CVA (-)
Ekstremitas : Turgor Baik, Akral Hangat, CRT ˂2 detik, Edema (-). Ptekie (-)
HEMATOLOGI
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0 0-4 %
Mielosit 0 0%
Meta myelocyt 0 0-1 juta %
Band 0 0-6%
Segmen 72 40-70%
Limfosit 19 30-45%
Monosit 9 2-10%
Hematokrit 31 35 – 47%
MCV 71 74-108
MCH 26 27-32 pg
KIMIA DARAH
3. Assesment :
4. Terapi :
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila
tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15%
pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau
berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas.
Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi, status
fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak
penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan
memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya
dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan
kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan
kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria
ACR (American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
TINJAUAN PUSTAKA
Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%
dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali
memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak
diperinci jenis rematik secara detail. Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013)
memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia
yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu
wilayah pedesaan di Bali.
timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya
RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada
anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60
tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas.
Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan
reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal,
mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan.
Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada artritis gout maka
pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu, osteoartritis juga memiliki
kemiripan gejala dengan RA.
7. Penatalaksana
7.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menekan faktor risiko:
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat
untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan
olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk,
bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga
sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi
juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam
jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi
yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi
air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA
yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif.
(Febriana, 2015).
7.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan
bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi,
dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang
dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak,
dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi
dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative.
Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The
Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of
Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med,
vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di
Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1,
pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V,
FKUI, Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan- Keluhan
Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu Wilayah Pedesaan di
Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-
Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019