Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KEGIATAN KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

UPTD PUSKESMAS JAYA BARU


PERIODE 12 FEBRUARI – 24 FEBRUARI 2018

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


di SMF/Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

disusun oleh :
Rice Endola NIM: 1507101030076
Aulia Nugraha NIM: 1507101030203
Dian Mainar NIM: 1507101030215
Putri Ayu Suciati NIM: 1507101030079
Darwinsyah Putra NIM: 1507101030124

Pembimbing:

dr. Maulid Hidayat


dr. Maisya Zahra

SMF/BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PROFIL PELAYANAN KESEHATAN


DI UPTD PUSKESMAS JAYA BARU
PERIODE 12 FEBRUARI – 24 FEBRUARI 2018

Disusun Oleh:
Rice Endola
Aulia Nugraha
Dian Mainar
Putri Ayu Suciati
Darwinsyah Putra

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian Family Medicine Fakultas Kedokteran Unsyiah
di UPTD Puskesmas Jaya Baru Kota Banda Aceh

Disahkan Oleh :
Banda Aceh, 24 Februari 2018

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Maulid Hidayati dr. Maisya Zahra


NIP. 19770327 200604 2 002

Mengetahui
Kepala UPTD Puskesmas Jaya Baru

Maryani, S.KM, M.Kes


NIP. 19720317 1993 2 001

Kepala Bagian Family Medicine

Rina Suryani Oktari, S.Kep., M.Si


NIP. 19831012 201404 2 001
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas


berkah dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas
Kedokteran Unsyiah di Puskesmas Jaya Baru periode 12 Februari – 24 Februari
2018.
Penyusunan laporan ini berdasarkan data-data yang ada, bimbingan dan
hasil pengamatan yang dilakukan di Puskesmas Jaya Baru selama mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Unsyiah.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Kepala
Puskesmas Jaya Baru Ibu Maryani, S.KM, M.Kesdan dokter pembimbing saya dr.
Maulid Hidayati dan dr.Maisya Zahra beserta seluruh staf yang telah banyak
membimbing saya mulai pelaksanaan tugas hingga pembuatan laporan ini, juga
kepada teman-teman dokter muda yang telah turut memberikan kontribusinya
berupa ide, semangat dan dukungan moral, tak lupa pula kepada semua pihak
yang telah membantu sehingga semua tugas dapat dilaksanakan dengan baik.
Saya menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa tulisan ini masih
jauh dari sempurna. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga laporan ini dapat bermanfaat.

Banda Aceh, Februari 2018

Penulis
LAMPIRAN I
PENYULUHAN KESEHATAN
LAPORAN KEGIATAN PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG
STUNTING DI POSYANDU EMPEROM JAYA BARU BANDA ACEH

I. PENDAHULUAN
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi
yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam
kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada
usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan
penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa.
Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan
kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional
mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%).
Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh sekitar 8 juta anak Indonesia,
atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi
daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam
(23%), dan Thailand (16%).
Indonesia menduduki peringkat ke lima dunia untuk jumlah anak dengan
kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di
Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata.

II. NAMA KEGIATAN


Penyuluhan kesehatan tentang stunting.

III. TUJUAN KEGIATAN


1. Memberikan penjelasan kepada ibu-ibu mengenai stunting dan ciri-ciri
anak stunting.
2. Sebagai tindakan promotif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang upaya pencegahan terjadinya stunting pada anak.
3. Sebagai wahana mempererat tali silaturahmi antara mahasiswa kedokteran
dengan elemen masyarakat.
4. Mengaplikasikan ilmu yang didapat oleh mahasiswa selama pendidikan
profesi dokter kepada masyarakat sekitar.

IV. WAKTU DAN TEMPAT KEGIATAN


Kegiatan penyuluhan kesehatan dilakukan pada tanggal:
Hari/Tanggal : Selasa/20 Februari 2018
Waktu : 09.30 wib s/d selesai
Tempat : Posyandu Emperom Jaya Baru
Topik : Stunting

V. PESERTA KEGIATAN
Kegiatan diikuti Ibu-Ibu dan petugas yang datang ke Posyandu Emperom
Jaya Baru.

VI. METODE PENYULUHAN


Adapun metode penyuluhan yang dilakukan yaitu dengan cara komunikasi
langsung kepada ibu-ibu dan petugas posyandu Emperom Jaya Baru dengan
materi penyuluhan yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan memberi
kesempatan interaksi tanya jawab sesudah materi penyuluhan selesai
disampaikan. Metode kegiatan penyuluhan dibagi dalam 3 tahap yaitu:
a. Tahap pengenalan dan penggalian pengetahuan peserta
Setelah memberi salam dan perkenalan, pemateri terlebih dahulu
menyampaikan maksud dan tujuan diberikan penyuluhan sebelum materi
disampaikan.
b. Penyampaian Materi
Materi disampaikan dengan menggunakan alat bantu penyajian berupa
leaflet. Dan disela materi diberikan, pemateri memberikan kesempatan
bertanya jika ada materi yang tidak dimengerti oleh peserta.
c. Penutup
Setelah penyampaian materi, pemateri memberikan kesempatan peserta
untuk bertanya.
VII. MATERI PENYULUHAN
1. Pengertian Stunting

Menurut data yang dilansir WHO, 178 juta anak di bawah lima tahun
mengalami stunted. Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat
pendek hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi
badan populasi yang menjadi referensi internasional. Stunting adalah keadaan
dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh anak
lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya.1

Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD),


ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan
dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted
merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan
digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak.2

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak,
hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai
dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted).
Stunting adalah perawakan pendek yang timbul akibat malnutrisi yang lama.3
Menurut Millennium Challenge Account-Indonesia, stunting adalah masalah
kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu
cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak
berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian
bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur
tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga
berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi
Indonesia.1

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth
(tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan
meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik
motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up
growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk
mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok
balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila
pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.1

2. Gejala Stunting
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Selatan anak yang
mengalami stunting ini memiliki ciri-ciri atau gejala-gejala sebagai berikut:1

a. Anak yang stunted, pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih
pendiam, tidak banyak melakukan eye-contact) dibandingkan dengan
anak non-stunted jika ditempatkan dalam situasi penuh tekanan.
b. Anak dengan kekurangan protein dan energi kronis (stunting)
menampilkan performa yang buruk pada tes perhatian dan memori
belajar, tetapi masih baik dalam koordinasi dan kecepatan gerak.
c. Pertumbuhan melambat, batas bawah kecepatan tumbuh adalah
5cm/tahun decimal
d. Tanda tanda pubertas terlambat (payudara, menarche, rambut pubis,
rambut ketiak, panjangnya testis dan volume testis
e. Wajah tampak lebih muda dari umurnya
f. Pertumbuhan gigi yang terlambat

3. Klasifikasi Stunting
Menurut Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara
penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Beberapa indeks antropometri
yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang
dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score). Stunting dapat diketahui bila
seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau tinggi
badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada dibawah
normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita
seumurnya.1

Penghitungan ini menggunakan standar Z score dari WHO. Normal,


pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat
pendek).4

Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan


per umur (TB/U).

I. Sangat pendek : Z-score < -3,0


II. Pendek : Z-score < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0
III. Normal : Z-score ≥ -2,0 13
Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan
indikator TB/U dan BB/TB.

I. Pendek-kurus : -Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -


2,0
II. Pendek-normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB
antara - 2,0 s/d 2,0
III. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0
4. Penyebab Stunting
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri anak itu sendiri maupun dari luar
diri anak tersebut. Faktor penyebab stunting adalah asupan gizi dan adanya
penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh,
pelayanan kesehatan, ketersedian pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih
banyak lagi faktor lainnya.5

i. Faktor Langsung
1. Asupan Gizi Balita

Saat ini Indonesia mengahadapi masalah gizi ganda, permasalahan gizi


ganda tersebut adalah adanya masalah kurang gizi dilain pihak masalah
kegemukan atau gizi lebih telah meningkat. Keadaan gizi dibagi menjadi 3
berdasa rkan pemenuhan asupannya yaitu:

a. Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat
gizi yang lebih banyak dari kebutuhan seperti gizi lebih, obesitas atau
kegemukan.
b. Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat gizi
yang sesuai dengan kebutuhan.
c. Kurang gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan zat
gizi yang lebih sedikit dari kebutuhan seperti gizi kurang dan buruk, pendek,
kurus dan sangat kurus.6
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan
mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami
kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik
sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya.
Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar
keterlambatan pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Begitu pula
dengan balita yang normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila
asupan yang diterima tidak mencukupi. Dalam penelitian yang menganalisis
hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh terhadap
kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi
rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita
pendek.6

Dalam upaya penanganan masalah stunting ini, khusus untuk bayi dan
anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi dalam pemenuhan
kebutuhan gizinya yaitu 1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)yang harus dilakukan
sesegera mungkin setelah melahirkan; 2) Memberikan ASI eksklusif sampai bayi
berusia 6 bulan tanpa pemberian makanan dan minuman tambahan lainnya; 3)
Pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga,
diberikan tepat waktu mulai bayi berusia 6 bulan; dan 4) Pemberian ASI
diteruskan sampai anak berusia 2 tahun.5
Asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu pertumbuhan
dan perkembangan anak. Sebaliknya asupan gizi yang kurang dapat
menyebabkan kekurangan gizi salah salah satunya dapat menyebabkan stunting.5

2. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung
stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak
dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila
terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih
mudah terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi akan ikut menambah kebutuhan
akan zat gizi untuk membantu perlawanan terhadap penyakit ini sendiri.
Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai dengan kebutuhan namun penyakit infeksi
yang diderita tidak tertangani akan tidak dapat memperbaiki status kesehatan
dan status gizi anak balita. Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang
diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi
pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.5

Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi


saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat
hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya
imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat. Ada beberapa penelitian
yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang
menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting
pada anak usia dibawah 5 tahun.5

ii. Faktor Tidak Langsung


1. Ketersediaan Pangan
Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas adalah kondisi
penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial/keuangan, alam, dan
manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/atau ditukarkan untuk memenuhi
kecukupan pangan, termasuk kecukupan pangan di rumah tangga. Masalah
ketersediaan ini tidak hanya terkait masalah daya beli namun juga pada
pendistribusian dan keberadaan pangan itu sendiri, sedangkan pola konsumsi
pangan merupakan susunan makanan yang biasa dimakan mencakup jenis dan
jumlah dan frekuensi dan jangka waktu tertentu. Aksesibilitas pangan yang
rendah berakibat pada kurangnya pemenuhan konsumsi yang beragam, bergizi,
seimbang dan nyaman di tingkat keluarga yang mempengaruhi pola konsumsi
pangan dalam keluarga sehingga berdampak pada semakin beratnya masalah
kurang gizi masyarakat.5

Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya


pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata- rata asupan kalori
dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yang dapat mengakibatkan anak balita perempuan dan anak balita laki-
laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3
cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO 2005. Oleh karena itu
penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja
namun juga melibatkan lintas sektor lainnya.5

Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting,


ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga,
pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk
pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga
dengan anak pendek. Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa
pendapatan perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting
(Nasikhah dan Margawati, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku
Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam keluarga.7

2. Status Gizi Ibu saat Hamil


Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut
dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa indikator
pengukuran seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran
kadar Hb dalam darah untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan
Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk
menentukan KEK atau tidak; 3) hasil pengukuran berat badan untuk menentukan
kenaikan berat badan selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum
hamil.7
a. Pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui status
KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang menunjukkan
kekurangan energi dan protein dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I,
2013). Faktor predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi yang
kurang dan adanya faktor medis seperti terdapatnya penyakit kronis. KEK pada
ibu hamil dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat prsalinan
dan keadaan yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu yang
mengalami KEK.8

Pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas LILA <23,5 cm
dikategorikan risiko KEK. Pengukuran LILA ini dilakukan dengan mengukur
lengan atas ibu hamil tangan yang jarang digunakan dengan menggunakan alat
pengukur LILA.6

Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa faktor yang berhubungan


dengan kejadian KEK adalah pengetahuan, pola makan, makanan pantangan dan
status anemia. Kekurangan energi secara kronis menyebabkan cadangan zat gizi
yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan tidak adekuat sehingga dapat
menyebabkan terjadinya gangguan baik pertumbuhan maupun
perkembangannya. Status KEK ini dapat memprediksi hasil luaran nantinya, ibu
yang mengalami KEK mengakibatkan masalah kekurangan gizi pada bayi saat
masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi dengan panjang badan
pendek. Selain itu, ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir rendah dan BBLR dapat
menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak adekuat. Hubungan antara stunting
dan KEK telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat
meningkatkan risiko kejadian stunting pada anak balita usia 6-24 bulan.2

b. Kadar Hemoglobin
Pemeriksaan darah dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui kadar Hb
ibu sehingga dapat diketahui status anemia yang dialami ibu saat hamil. Anemia
pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi terjadinya kekurangan sel darah
merah atau hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada banyak faktor
predisposisi dari anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan
asam folat, adanya penyakit gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis
ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri.1

Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat kehamilan
keperluan akan zat makanan bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam
darah dan sumsum tulang. Nilai cut- off anemia ibu hamil adalah bila hasil
pemeriksaan Hb<11,0 g/dl. penyebab anemia pada ibu hamil adalah karena
gangguan penyerapan pada pencernaan, kurangnya asupan zat besi dan protein
dari makanan, perdarahan akut maupun kronis, meningkatkan kebutuhan zat
besi, kekurangan asam folat dan vitamin, menjalankan diet miskin zat besi pola
makan yang kurang baik maupun karena kelainan pada sumsum tulang
belakang.6

Akibat anemia bagi janin adalah hambatan pada pertumbuhan janin, bayi
lahir prematur, bayi lahir dengan BBLR, serta lahir dengan cadangan zat besi
kurang sedangkan akibat dari anemia bagi ibu hamil dapat menimbulkan
komplikasi, gangguan pada saat persalinan dan dapat membahayakan kondisi ibu
seperti pingsan, bahkan sampai pada kematian. Kadar hemoglobin saat ibu hamil
berhubungan dengan panjang bayi yang nantinya akan dilahirkan, semakin tinggi
kadar Hb semakin panjang ukuran bayi yang akan dilahirkan. Prematuritas, dan
BBLR juga merupakan faktor risiko kejadian stunting, sehingga secara tidak
langsung anemia pada ibu hamil dapat menyebabkan kejadian stunting pada
balita.8

c. Kenaikan Berat Badan Ibu saat Hamil


Menurut Almatsier, Ibu hamil akan membutuhkan tambahan energi dari
pada ibu yang tidak hamil, penambahan tersebut dibedakan berdasarkan umur
kehamilannya yaitu: 1) Trimester I ibu hamil membutuhkan tambahan energi
150- 200 kal/hari; 2) Trimester II ibu hamil membutuhkan tambahan energi 250-
350 kal/hari; 3) Trimester III ibu hamil membutuhkan tambahan energi 400
kal/hari dan jumlah cairan yang dibutuhkan minimal 1500 ml/hari. Penambahan
berat badan ibu hamil dihubungkan dengan IMT saat sebelum ibu belum hamil.
Apabila IMT ibu sebelum hamil dalam status kurang gizi maka penambahan
berat badan seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang status
gizinya normal atau status gizi lebih. Penambahan berat badan ibu selama
kehamilan berbeda pada masing–masing trimester. Pada trimester pertama berat
badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg dan trimester ketiga berat
badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu selama hamil sekitar 9-
12 Kg.8

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yongky tahun 2004 menyatakan


bahwa pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi status kelahiran bayi (BBLR). Penambahan berat badan saat
hamil perlu dikontrol karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada
bayi sebaliknya apabila kurang dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat
badan rendah, prematur yang merupakan faktor risiko kejadian stunting pada
anak balita.8

d. Berat Badan Lahir


Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan
jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa tahun
2012 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir
dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat
badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan
mengalami hambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya serta
kemungkinan terjadi kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih
rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi.8

Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR


dengan kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian di Klungkung dan di
Yogyakarta menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan
lahir dengan kejadian stunting. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi
juga menyatakan prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR.8

e. Panjang Badan Lahir


Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan
bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki
panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir bayi tersebut berada pada
panjang 48-52 cm.6

Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang


badan yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, usia kehamilan
dan pola asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting.
Panjang badan lahir merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada
balita.6

Menurut Riskesdas tahun 2013 kategori panjang badan lahir


dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm, panjang
badan lahir pendek adalah bayi yang lahir dengan panjang <48 cm. Panjang
badan lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih
dalam kandungan.6

f. ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air
Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan.
Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan pemberian
ASI saja. Menyusui eksklusif juga penting karena pada usia ini, makanan selain
ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus selain itu
pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena
ginjal belum sempurna. Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak
mulai dari peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah,
mudah, bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara
ibu dan anak.6

Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa


kejadian stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian
ASI yang tidak eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang
tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah
pemberian ASI yang tidak eksklusif. Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin
pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian
stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian
ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga,
jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI.
Berarti dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat menurunkan
kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada gerakan
1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia.10

g. MP-ASI
Kebutuhan anak balita akan pemenuhan nutrisi bertambah seiring
pertambahan umurnya. ASI eksklusif hanya dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
balita sampai usia 6 bulan, selanjutnya ASI hanya mampu memenuhi kebutuhan
energi sekitar 60-70% dan sangat sedikit mengandung mikronutrien sehingga
memerlukan tambahan makanan lain yang biasa disebut makanan pendamping
ASI (MP-ASI). Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah
makanan/minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama
pemberian makanan peralihan yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang
diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi.6

Pemberian MP-ASI merupakan proses transisi dimulainya pemberian


makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun
tekstur dan kosistensinya sampai seluruh kebutuhan gizi anak dipenuhi oleh
makanan keluarga. Jenis MP- ASI ada dua yaitu MP-ASI yang dibuat secara
khusus baik buatan rumah tangga atau pabrik dan makanan biasa dimakan
keluarga yang dimodifikasi agar mudah dimakan oleh bayi. MP-ASI yang tepat
diberikan secara bertahap sesuai dengan usia anak baik jenis maupun jumlahnya.
Resiko terkena penyakit infeksi akibat pemberian MP-ASI terlalu dini
disebabkan karena usus yang belum siap menerima makanan serta kebersihan
yang kurang. Menurut Global Strategy for infant and Young Child Feeding ada 4
persyaratan pemberian MP-ASI yaitu:6

a. Tepat waktu yaitu pemberian MP-ASI dimulai saat kebutuhan energi gizi
melebihi yang di dapat dari ASI yaitu pada umur 6 bulan.
b. Adekuat yaitu pemberian MP-ASI harus cukup energi, protein, dan
mikronutrien sesuai dengan kebutuhan.
c. Tepat cara pemberian yaitu pemberian MP-ASI sejalan dengan tanda lapar
dan nafsu makan yang ditunjukkan serta frekuensi dan cara pemberiannya
sesuai dengan umur
d. Aman yaitu pemberian MP-ASI harus diawasi baik dari penyimpanan,
persiapan, dan saat diberikan MP-ASI harus higienis.
Penelitian yang dilakukan di Purwokerto, menyatakan bahwa usia makan
pertama merupakan faktor resiko terhadap kejadian stunting pada balita.
Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi
seperti diare hal ini terjadikarena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan
mudah dicerna seperti ASI. Zat gizi seperti zink dan tembaga serta air yang
hilang selama diare jika tidak diganti akan terjadi malabsorbsi zat gizi selama
diare yang dapat menimbulkan dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan
kematian.10

5. Pencegahan terhadap Stunting


Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan stunting atau tubuh
pendek dapat dicegah dengan beberapa cara, antara lain:2

i. Pemberian ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawasan berat badan
secara teratur dan terus menerus
ii. Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti ASI
sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI, terutama pada usia dibawah
empat bulan
iii. Meningkatkan pendapatan keluarga yang dapat dilakukan dengan upaya
mengikutsertakan para anggota keluarga yang sudah cukup umur untuk bekerja
dengan diimbangi dengan penggunaan uang yang terarah dan efisien. Cara lain
yang dapat ditempuh ialah pemberdayaan melalui peningkatan keterampilan
dan kewirausahaan
iv. Meningkatkan intensitas komunikasi informasi edukasi (KIE) kepada
masyarakaat, terutama para ibu mengenai pentingnya konsumsi zat besi yang
diatur sesuai kebutuhan. Hal ini dapat dikoordinasikan dengan kegiatan
posyandu.
Menurut Millenium Challenge Account-Indonesia (2015) stunting dapat
dicegah dengan beberapa cara yaitu:

a. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan
makanan yang cukup gizi, suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan
terpantau kesehatannya. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk meminum tablet
tambah darah hanya 33%. Padahal mereka harus minimal mengkonsumsi 90
tablet selama kehamilan.

b. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan
pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.
c. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
d. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga
kebersihan lingkungan.
Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi masalah stunting.
Faktor sanitasi dan kebersihan lingkungan berpengaruh pula untuk kesehatan ibu
hamil dan tumbuh kembang anak, karena anak usia di bawah dua tahun rentan
terhadap berbagai infeksi dan penyakit.2

Paparan terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat


menyebabkan infeksi bakteri kronis. Infeksi tersebut, disebabkan oleh praktik
sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, membuat gizi sulit diserap oleh
tubuh.2

Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu gangguan


saluran pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada
perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Sebuah riset menemukan bahwa semakin
sering seorang anak menderita diare, maka semakin besar pula ancaman stunting
untuknya. Selain itu, saat anak sakit, lazimnya selera makan mereka pun
berkurang, sehingga asupan gizi makin rendah. Maka, pertumbuhan sel otak
yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak menjadi
terhambat. Dampaknya, anak tersebut terancam menderita stunting, yang
mengakibatkan pertumbuhan mental dan fsiknya terganggu, sehingga potensinya
tak dapat berkembang dengan maksimal.2

Penelitian lain menunjukkan potensi stunting berkurang jika ada


intervensi yang terfokus pada perubahan perilaku dalam sanitasi dan kebersihan.
Adapun akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi dalam penurunan
stunting sebesar 27%.2

Untuk memotong rantai buruknya sanitasi dan kebersihan serta kaitannya


dengan stunting, ibu hamil dan anak perlu hidup dalam lingkungan yang bersih.
Dua cara utama adalah dengan tidak buang air besar sembarangan, serta mencuci
tangan dengan sabun.2

6. Penanggulangan Stunting
Menurut Dinak Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, periode yang
paling kritis dalam penanggulangan stunting dimulai sejak janin dalam
kandungan sampai anak berusia 2 tahun yang disebut dengan periode emas
(seribu hari pertama kehidupan). Oleh karena itu perbaikan gizi diprioritaskan
pada usia seribu hari pertama kehidupan yaitu 270 hari selama kehamilannya dan
730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya.2

Secara langsung masalah gizi disebabkan oleh rendahnya asupan gizi dan
masalah kesehatan. Selain itu asupan gizi dan masalah kesehatan merupakan dua
hal yang saling mempengaruhi. Adapun pengaruh tidak langsung adalah
ketersediaan makanan, pola asuh dan ketersediaan air minum (bersih), sanitasi
dan pelayanan kesehatan. Seluruh faktor penyebab ini dipengaruhi oleh beberapa
akar masalah yaitu kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, dan
sumberdaya, lingkungan, teknologi, serta kependudukan.2

Berdasarkan faktor penyebab masalah gizi tersebut, maka perbaikan gizi


dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara langsung (kegiatan spesifik) dan
secara tidak langsung (kegiatan sensitif). Kegiatan spesifik umumnya dilakukan
oleh sektor kesehatan seperti PMT ibu hamil KEK, pemberian tablet tambah
darah, pemeriksaan kehamilan, imunisasi TT, pemberian vitamin A pada ibu
nifas. Untuk bayi dan balita dimulai dengan inisiasi menyusu dini (IMD), ASI
eksklusif, pemberian vitamin A, pemantauan pertumbuhan, imunisasi dasar,
pemberian MP-ASI. Sedangkan kegiatan yang sensitif melibatkan sektor terkait
seperti penanggulangan kemiskinan, penyediaan pangan, penyediaan lapangan
kerja, perbaikan infrastruktur (perbaikan jalan, pasar), dan lain-lain.2

Kegiatan perbaikan gizi dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan yang


optimal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Multicentre Growth Reference
Study (MGRS) Tahun 2005 yang kemudian menjadi dasar standar pertumbuhan
internasional, pertumbuhan anak sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi,
riwayat kesehatan, pemberian ASI dan MP-ASI. Untuk mencapai pertumbuhan
optimal maka seorang anak perlu mendapat asupan gizi yang baik dan diikuti
oleh dukungan kesehatan lingkungan.1

Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari


pertama kehidupan, meliputi :1

i. Pada ibu hamil


1. Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam
mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga
apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang
Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu
hamil tersebut.
2. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90 tablet
selama kehamilan.
3. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit
ii. Pada saat bayi lahir
1. Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir
melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
2. Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI
Eksklusif)
iii. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
1. Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-
ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau lebih.
2. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar
lengkap.
iv. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah
tangga.

VIII. TANYA JAWAB DENGAN PESERTA


Tidak ada pertanyaan yang diajukan oleh peserta

IX. PENUTUP
Tanggapan para peserta penyuluhan cukup baik dan antusias yang cukup
tinggi dalam mendengarkan materi.Target penyuluhan kesehatan ini adalah
warga masyarakat di sekitar Jaya Baru terutama untuk ibu hamil dan menyusui.
Adapun tujuan dari penyuluhan kesehatan ini yaitu meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai stunting. Ada dua penyebab stunting dapat terjadi yaitu
adanya factor langsung dan factor tidak langsung. Faktor langsung yang meliputi
asupan gizi balita dan penyakit infeksi sedangkan factor tidak langsung yang
menyebabkan stunting adalah ketersediaan pangan dan status gizi ibu saat hamil.
Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama
kehidupan, yang meliputi Pada ibu hamil, Pada saat bayi lahir, Bayi berusia 6
bulan sampai dengan 2 tahun dan Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) harus
diupayakan oleh setiap rumah tangga.

X. DAFTAR PUSTAKA

1. Millennium Challenge Account – Indonesia. Backgrounder : Stunting


Dan Masa Depan Indonesia. [Online]. Tersedia: http://mca-
indonesia.go.id/wp- content/uploads/2015/01/BackgrounderStunting-
ID.pdf
2. Dinas Kesehatan Sumatera Selatan.Tersedia:
http://dinkes.sumselprov.go.id/download/unggah/stunting_anak-2016-01-
04.pdf
3. Candra, A. (2013). Hubungan underlying factors dengan kejadian
stunting pada anak 1-2 tahun. Journal of Nutrition and Health, Vol.1,
No.1. Diakses dari http://www.ejournal.undip.ac.id
4. Nailis, Anisa. (2016). Hubungan Konsumsi Ikan dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia 2-4 Tahun. Thesis. Fakultas Kedokteran.
Universitas Diponegoro. Semarang
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. [Online].
Tersedia:http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20
Riskesdas%20 2013.pdf
6. Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007. www.scribd.com/Laporan_
Hasil_ Riskesdas_ NTT_ 2007.pdf
7. Ramli, Agho, K. E., Inder, K. J., Bowe, S. J. Jacobs, J. & Dibley, M. J.
(2009). Prevalence And Risk Factors For Stunting And Severe Stunting
Among Under-Fi Ves In North Maluku Province Of Indonesia. BMC
Pediatrics, 9-64. doi:10.1186/1471-2431-9-64
8. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kemenkes RI
no195/MENKES/SK/XII/2010: Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak. Jakarta; 2011. 14.

9. Arifin, D. Z., Irdasari, S. Y., & Handayana, S. (2012). Analisis Sebaran


dan Faktor Risiko Stunting pada Balita di Kabupaten Purwakarta.
Tersedia: http://www.pustaka.unpad.ac.id.
10. Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting
pada balita usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon,
Kabupaten Kendal. Journal of Nutrition College, 3(2), 16-25. Tersedia:
http://www,ejournals1.undip.ac.id

XI. DOKUMENTASI KEGIATAN PENYULUHAN


Disahkan Oleh :
Banda Aceh, 24 Februari 2018

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Maulid Hidayati dr. Maisya Zahra


NIP. 19770327 200604 2 002

Mengetahui
Kepala UPTD Puskesmas Jaya Baru

Maryani, S.KM, M.Kes


NIP. 19720317 1993 2 001
Leaflet Penyuluhan Stunting

Anda mungkin juga menyukai