Oleh:
Boby Gunawan (132011101078)
Yuke Aulia Novianti (132011101011)
Pembimbing:
dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes
dr. T. Ninik Widyawati
1
HUBUNGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP
TINGKAT KEJADIAN STUNTING DAN NON STUNTING PADA BALITA
DI WILAYAH KERJA POSYANDU
PUSKESMAS PATRANG
Oleh:
Boby Gunawan (132011101078)
Yuke Aulia Novianti (132011101021)
Pembimbing:
dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes
dr. T. Ninik Widyawati
2
PENGESAHAN
Tim Pembimbing
3
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan keluarga binaan mengenai Diare.
Laporan ini disusun untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF/Lab. Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Penyusunan mini riset ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
1. dr. Supangat, M. Kes, Ph. D, Sp. BA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember;
2. dr. Dwita Aryadina, M. Kes selaku koordinator IKM dan selaku dosen
pembimbing mini riset Fakultas kedokteran Universitas Jember yang telah
memberikan banyak ilmu dan bimbingan selama menempuh pendidikan
IKM;
3. dr. T. Ninik Widyawati, selaku Kepala Puskesmas Patrang dan pembimbing
lapangan yang telah memberikan banyak pengetahuan dan masukan selama
menempuh pendidikan IKM;
4. rekan kerja di Puskesmas Patrang yang telah memberikan dukungan dan
bantuannya;
5. semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan mini riset
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca
khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.
3 Februari 2019
Penulis
4
BAB 1. PENDAHULUAN
5
35,8%. Menurut WHO, apabila masalah stunting di atas 20% maka merupakan
masalah kesehatan masyarakat (Riskesdas. 2013).
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2011, kabupaten
dengan status balita gizi kurang dan status gizi buruk terbanyak berada di
Kabupaten Jember, sebanyak 20.658 (13,79%) dan 4.608 (3,08%) (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011). Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa status gizi balita
pendek dan sangat pendek di Kabupaten Jember di Jawa Timur (43,3%) (Dinas
Kesehatan Jember , 2013).
Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada
empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan
prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan
pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat
termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas
pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana
Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 – 2019. Target penurunan prevalensi
stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah
menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019) (Infodantin, 2016).
Pencapaian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah. Pada tahun 2010,
cakupan pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan di Indonesia sebesar 31,0%
(Depkes, 2010), dan pada tahun 2013 mengalami penurun sebesar 30,2% di
bandingkan tahun 2010 (Kepmenkes RI, 2013). Sedangkan pada provinsi dengan
cakupan terendah adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Aceh (Profil Kesehatan
Indonesia, 2012). Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten yang
pencapaian ASI Eksklusifnya dibawah standar yang ditetapkan pmereintah
Kabupaten Jember yaitu sebesar 60% (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember,
2012). Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko lebih tinggi untuk
kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan, dimana gangguan
pertumbuhan ini akan mengakibatkan terjadinya stunting pada anak (Anshori,
2013)
6
Berdasarkan masalah tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk
meneliti lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan riwayat Pemberian Asi
Eksklusif Terhadap kejadian stunting dan non stunting pada balita di wilayah kerja
posyandu Puskesmas Patrang, Kabupaten Jember.
7
d. Bagi Masyarakat, sebagai bahan masukan dan sebagai informasi tambahan
mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Stunting sehingga
lebih bisa memerhatikan dan merawat kondisi fisik dari kehamilannya sampai
dengan kondisi anaknya.
8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah
lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2
tahun (TNP2K, 2017).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan
pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely
stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang
balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan
status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference
Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat
pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.
Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari
kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi
sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering
terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi
badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya.
Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat gizi
yang tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya.
Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi
yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang,
9
rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat
menghambat pertumbuhan (UNICEF, 2009).
10
Sangat pendek : Zscore < -3,0
Pendek : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore ≥ -2,0
11
pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum
terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
c. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,
SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding
dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih
mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di
Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang
mengalami anemia.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air
besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki
akses ke air minum bersih.
Beberapa penyebab seperti yang dijelaskan di atas, telah berkontibusi pada masih
tingginya pervalensi stunting di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana
intervensi yang komprehensif untuk dapat mengurangi pervalensi stunting di
Indonesia.
12
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada
kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui,
dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif
dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama
kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan
secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh
karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode
kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut,
dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan
dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi (Infodatin, 2016).
Upaya Intervensi meliputi :
1. Pada ibu hamil
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik
dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan
yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus
atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu
diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.
Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90
tablet selama kehamilan.
Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
2. Pada saat bayi lahir
Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi
lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja
(ASI Eksklusif)
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
13
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi
berumur 2 tahun atau lebih.
Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar
lengkap
4. Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan
5. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap
rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan
fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan
kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk
pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi,
gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.
Makanan pertama dan utama bayi tentu saja air susu ibu. Bayi peminum
ASI akan tumbuh dengan baik jika ia dapat mengonsumsi air susu ibu sebanyak
150-200 cc/kg BB/hari (Arisman, 2008). WHO dan UNICEF merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif. ASI eksklusif diartikan sebagai tindakan untuk tidak
memberikan makanan atau minuman lain (bahkan air sekalipun) kecuali air susu
ibu (ASI). Ada beberapa mekanisme yang membuat pemberian ASI bermanfaat
bagi perkembangan anak. Pertama, ASI merupakan sumber asam lemak tak jenuh
yang bukan hanya merupakan sumber energi tetapi juga sangat penting bagi
perkembangan otak. Yang kedua, pemberian ASI dapat meningkatkan imunitas
bayi terhadap penyakit sebagaimana diperlihatkan dalam sejumlah penelitian
ketika pemberian ASI disertai dengan penurunan frekuensi diare, konstipasi
kronis, penyakit gastrointestinal, dan infeksi traktus respiratorius, serta infeksi
telinga. Pemberian ASI dapat membawa manfaat bagi interaksi ibu dan anak serta
memfasilitasi pembentukan ikatan yang lebih kuat sehingga menguntungkan bagi
perkembangan anak dan perilaku anak (Gibney, et al, 2009).
14
BAB 3. METODE PENELITIAN
15
menganalisis perbedaan antara riwayat Pemberian ASI dengan kejadian stunting
dan non stunting pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian yang
mengidentifikasi efek (status kesehatan atau penyakit) pada saat ini, kemudian
faktor resiko diidentifikasi ada atau terjadi pada waktu yang lalu (Notoadmojo,
2010)
= 52,6
Keterangan :
n : jumlah sampel minimal penelitian (kasus/kontrol)
Z� = nilai baku berdasar � yang ditentukan (� = 0,05) → 1,960
Z� = nilai baku berdasar � yang ditentukan (� = 0,10) → 0,842
16
P1 = 𝑂� �P2 1−P2 +(ORx P2) = 3 �0,37 1−0,37 +(3x0,37) = 0,64
P2 = prevalensi kejadian stunting dalam Riskesdas 2013 → 0,37
P = 1 2 x (P1 + P2) = 1 2 x (0,63+0,37) = 0, 51 Q = 1-P
OR = Odds Ratio yang dianggap bermakna secara klinis → 3 (Mediana,
2016)
Berdasar dari perhitungan tersebut maka besar sampel minimal yang
dibutuhkan adalah 53 untuk kasus dan kontrol
b. Kriteria Eksklusi
1. Balita yang drop out atau sudah tidak tercatat dalam rekam medis
17
2. Mengocok gelas dan mengeluarkan satu gulungan kertas. Setiap nomor yang
keluar dicatat dan dijadikan sampel penelitian. Hal yang sama dilakukan hingga
diperoleh sampel sebanyak 53 balita untuk kelompok kasus dan kontrol
18
Puskesmas 1 = riwayat
Gebang asi ekslusif
19
analisis univariat dalam penelitian ini dapat menegetahui pola distribusi frekuensi
masing-masing variabel.
20
Riwayat
Pemberian ASI
Eksklusif
Stunting
Tidak Ada
Riwayat
Pemberian ASI
Populasi / Sampel Ekslusif
Riwayat
Pemberian Asi
Eksklusif
Tidak Stunting
Tidak Ada
Riwayat
Pemberian Asi
Eksklusif
Keterangan:
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
4.1 Hasil
4.1.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi usia dan jenis kelamin
dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia
21
Usia (bulan) frekuensi %
13-18 11 17%
19-24 10 15%
25-30 12 18%
31-35 8 12%
36-40 8 12%
41-45 6 9%
46-50 5 7%
51-55 3 4%
56-59 3 4%
Total 66 100
Tabel 4.1 menunjukan bahwa rentang usia responden antara usia 13 bulan hingga
59 bulan. Mayoritas responden berusia 25-30 bulan yaitu 12 balita dengan
presentase 18%.
Tabel 4.2 menunjukan distribusi jenis kelamin responden. Empat puluh balita
berjenis kelamin laki-laki (61%), dan sisanya berjenis kelamin perempuan (39%).
22
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat pemberian ASI ekslusif
Riwayat ASI Frekuensi %
eksklusif
YA 31 47
Tidak 35 53
Total 66 100
Tabel 4.3 menunjukan bahwa riwayat pemberian ASI eksklusif sebesar 37 orang
atau 56%.
Tabel 4.4 Perbedaan Riwayat ASI eksklusif dengan Stunting dan Non Stunting
Stunting Non Stunting P
N N
Riwayat ASI 6 25 0,041
Eksklusif
Tidak ASI 15 20
Eksklusif
Total 21 45 Odss
ratio:
3,125
Tabel 4.4 menunjukan bahwa status ASI ekslusif dengan status gizi anak non
stunting berpengaruh dengan nilai P<0,05, dengan Odds ratio 3,125
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,041 (<0,05) yang
berarti terjadi perbedaan yang signifikan antara riwayat Pemberian ASI dengan
kejadian stunting pada balita di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Patrang,
Jember. Selain itu dari hasil uji Chi-Square didapatkan nilai odss ratio sebesar
3,125, hal ini berarti bahwa riwayat non-asi ekslusif menimbulkan angka kejadian
stunting 3,125 kali lebih besar dibandingkan dibandingkan dengan balita dengan
riwayat asi-ekslusif
23
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air
Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan
(Kemenkes R.I, 2012). Pemberian ASI eksklusif memberikan berbagai manfaat
untuk ibu dan bayi dimana ASI merupakan makanan alamiah yang baik untuk
bayi, praktis, ekonomis, mudah dicerna, memiliki komposisi zat gizi yang ideal
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi dan ASI mendukung
pertumbuhan bayi terutama tinggi badan karena kalsium ASI lebih efisien diserap
dibanding susu pengganti ASI (Prasetyono, 2009).
Presentase pemberian ASI pada kelompok penelitian ini sebesar 47%
sedangkan target Nasional yang diharapkan yaitu sebesar 80% (DepKes RI,
2015). Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan ibu tidak memberikan ASI
diantaranya pekerjaan, nutrisi ibu, dan pengetahuan ibu (Arifin, 2012).
Beberapa faktor yang menyebabkan stunting disamping pemberian ASI
eklusif adalah adanya faktor lain yang dialami bayi setelah lahir yaitu pola asuh
ibu yang salah, pada saat bayi mulai mendapatkan MP-ASI adalah ketahanan
pangan rumah tangga yang kurang, jenis makanan MP-ASI yang tidak berkualitas,
dan frekuensi pemberian tidak tepat. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap
asupan zat gizi pada bayi sehingga anak akan menderita stunting (PERSAGI,
2009).
24
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara riwayat pemberian Asi Eksklusif Terhadap kejadian
stunting dan non stunting di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Patrang, Jember.
Balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif berisiko 3,1 kali lebih besar
menderita stunting daripada balita yang mendapatkan ASI eklusif.
5.2 Saran
25
Saran-saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Melakukan penelitian mengenai faktor risiko lain yang menyebabkan
stunting di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Patrang, Jember sehingga
dapat dilakukan intervensi yang lebih baik lagi untuk penanggulangan dan
pencegahan stunting
2. Penanganan sejak awal kehamilan untuk mencegah stunting.
3. Perlu penyuluhan rutin terhadap ibu hamil dan menyusui tentang
pentingnya pola asuh anak dan pemberian ASI eksklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Laporan Hasil Riset Kesehatan dasar Indonesia
Tahun 2006. Jakarta: Depkes
Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Data Hasil Kegiatan PSG. Jember: Dinas
kesehatan kabupaten Jember; 2013
26
Kalla, Jusuf. 2017. 100 Kabupaten/ Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil
(Stunting) Ringkasan. Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan.
Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi (Infodatin). 2016. Situasi
Balita pendek. Jakarta: Infodatin
Mediana, Sherly And Pratiwi, Rina .2016. Hubungan Jumlah Konsumsi Susu
Formula Standar Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-5
Tahun. Diponegoro University : Undergraduate Thesis.
27
LAMPIRAN
Cases
Stunting Total
Count 15 20 35
non asi ekslusif
% within Asi ekslusif 42.9% 57.1% 100.0%
Asi ekslusif
Count 6 25 31
Asi ekslusif
% within Asi ekslusif 19.4% 80.6% 100.0%
28
Count 21 45 66
Total
% within Asi ekslusif 31.8% 68.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4.186 1 .041
b
Continuity Correction 3.172 1 .075
Likelihood Ratio 4.299 1 .038
Fisher's Exact Test .063 .036
Linear-by-Linear Association 4.122 1 .042
N of Valid Cases 66
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.86.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Risk Estimate
Lower Upper
Odds Ratio for Asi ekslusif (non asi ekslusif / Asi 3.125 1.025 9.525
ekslusif)
For cohort Stunting = stunting 2.214 .981 4.998
For cohort Stunting = non stunting .709 .507 .990
N of Valid Cases 66
29