Anda di halaman 1dari 29

MINI RISET

HUBUNGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP


TINGKAT KEJADIAN STUNTING DAN NON STUNTING PADA BALITA
DI WILAYAH KERJA POSYANDU
PUSKESMAS PATRANG

Oleh:
Boby Gunawan (132011101078)
Yuke Aulia Novianti (132011101011)

Pembimbing:
dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes
dr. T. Ninik Widyawati

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER SMF/LAB. ILMU


KESEHATAN MASYARAKAT PUSKESMAS PATRANG
KABUPATEN JEMBER
2019

1
HUBUNGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP
TINGKAT KEJADIAN STUNTING DAN NON STUNTING PADA BALITA
DI WILAYAH KERJA POSYANDU
PUSKESMAS PATRANG

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF/Lab. Ilmu


Kesehatan Masyarakat

Oleh:
Boby Gunawan (132011101078)
Yuke Aulia Novianti (132011101021)

Pembimbing:
dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes
dr. T. Ninik Widyawati

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER SMF/LAB. ILMU


KESEHATAN MASYARAKAT PUSKESMAS PATRANG
KABUPATEN JEMBER
2019

2
PENGESAHAN

Laporan Keluarga Binaan Puskesmas Sumberjambe telah disahkan oleh Fakultas


Kedokteran Universitas Jember pada:
hari/tanggal : 3 Februari 2019
tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Tim Pembimbing

Kepala Puskesmas Patrang Dosen Pembimbing

dr. T. Ninik Widyawati dr. Dwita Aryadina R, M.Kes


NIP. 19710827 200212 2 005 NIP. 19801027 200812 2 002

Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat

dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes


NIP. 19801027 200812 2 002

3
PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan keluarga binaan mengenai Diare.
Laporan ini disusun untuk menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF/Lab. Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Penyusunan mini riset ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
1. dr. Supangat, M. Kes, Ph. D, Sp. BA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember;
2. dr. Dwita Aryadina, M. Kes selaku koordinator IKM dan selaku dosen
pembimbing mini riset Fakultas kedokteran Universitas Jember yang telah
memberikan banyak ilmu dan bimbingan selama menempuh pendidikan
IKM;
3. dr. T. Ninik Widyawati, selaku Kepala Puskesmas Patrang dan pembimbing
lapangan yang telah memberikan banyak pengetahuan dan masukan selama
menempuh pendidikan IKM;
4. rekan kerja di Puskesmas Patrang yang telah memberikan dukungan dan
bantuannya;
5. semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan mini riset
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca
khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.
3 Februari 2019

Penulis

4
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah Gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat,
namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan
pelayanan kesehatan saja. Salah satu program prioritas pembangunan kesehatan
dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada penurunan prevalensi balita
pendek (stunting) sebagai salah satu upaya peningkatan status gizi masyarakat,
dengan target penurunan prevalensi stunting adalah 28%.
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya
pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut WHO Child
Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan disbanding umur (PB/U)
atau tinggi badan diabnding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2
SD (Kusuma, 2013). Stunting disebabkan oleh dua faktor yaitu secara langsung
dan tidak langsung. Secara langsung yaitu ASI Eksklusif, penyakit infeksi, asupan
makanan, dan berat lahir. Dan yang merupakan faktor secara tidak langsung
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan status ekonomi keluarga.
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi memerlukan masukan zat-zat
gizi yang seimbang dan relatif besar. Satu-satunya makanan yang sesuai dengan
keadaan saluran pencernaan bayi dan memenuhi kebutuhan selama berbulan-
bulan pertama adalah ASI (Maryunani, 2010). Anak yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif berisiko lebih tinggi untuk kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk
proses pertumbuhan, dimana gangguan pertumbuhan ini akan mengakibatkan
terjadinya stunting pada anak (Anshori, 2013)
Secara global, sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting (UNICEF, 2013).
Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013,
terdapat 37,2% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah presentase
tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Prevalensi stunting ini
mengalami peningkatan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2010 yaitu sebesar
35,6%. Provinsi Jawa Timur pada tahun 2013 prevalensi stunting yaitu sebesar

5
35,8%. Menurut WHO, apabila masalah stunting di atas 20% maka merupakan
masalah kesehatan masyarakat (Riskesdas. 2013).
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2011, kabupaten
dengan status balita gizi kurang dan status gizi buruk terbanyak berada di
Kabupaten Jember, sebanyak 20.658 (13,79%) dan 4.608 (3,08%) (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2011). Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa status gizi balita
pendek dan sangat pendek di Kabupaten Jember di Jawa Timur (43,3%) (Dinas
Kesehatan Jember , 2013).
Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada
empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan
prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan
pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat
termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas
pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana
Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 – 2019. Target penurunan prevalensi
stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah
menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019) (Infodantin, 2016).
Pencapaian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah. Pada tahun 2010,
cakupan pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan di Indonesia sebesar 31,0%
(Depkes, 2010), dan pada tahun 2013 mengalami penurun sebesar 30,2% di
bandingkan tahun 2010 (Kepmenkes RI, 2013). Sedangkan pada provinsi dengan
cakupan terendah adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Aceh (Profil Kesehatan
Indonesia, 2012). Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten yang
pencapaian ASI Eksklusifnya dibawah standar yang ditetapkan pmereintah
Kabupaten Jember yaitu sebesar 60% (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember,
2012). Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko lebih tinggi untuk
kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan, dimana gangguan
pertumbuhan ini akan mengakibatkan terjadinya stunting pada anak (Anshori,
2013)

6
Berdasarkan masalah tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk
meneliti lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan riwayat Pemberian Asi
Eksklusif Terhadap kejadian stunting dan non stunting pada balita di wilayah kerja
posyandu Puskesmas Patrang, Kabupaten Jember.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat perbedaan riwayat
Pemberian Asi Eksklusif Terhadap kejadian stunting dan non stunting pada balita
di di wilayah kerja posyandu Puskesmas Patrang, Kabupaten Jember?”

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah
mengetahui perbedaan riwayat Pemberian Asi Eksklusif Terhadap kejadian
stunting dan non stunting pada balita di wilayah kerja posyandu Puskesmas
Patrang, Kabupaten Jember.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa
pihak, antara lain sebagai berikut.
a. Bagi Puskesmas Patrang, sebagai bahan masukan dan evaluasi kepada pihak
manajemen sehubungan dengan program untuk menurunkan angka stunting
khususnya di wilayah kerja posyandu Puskesmas Patrang.
b. Bagi akademisi, sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk studi atau
penelitian pada masa yang akan datang.
c. Bagi peneliti, sebagai bahan pengembangan wawasan keilmuan dan wacana
pengembangan penulisan mengenai pengaruh Pemberian Asi Eksklusif
Terhadap tingkat kejadian stunting.

7
d. Bagi Masyarakat, sebagai bahan masukan dan sebagai informasi tambahan
mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Stunting sehingga
lebih bisa memerhatikan dan merawat kondisi fisik dari kehamilannya sampai
dengan kondisi anaknya.

8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah
lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2
tahun (TNP2K, 2017).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan
pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely
stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang
balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan
status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference
Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat
pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.
Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari
kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi
sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering
terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi
badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya.
Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat gizi
yang tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya.
Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi
yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang,

9
rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat
menghambat pertumbuhan (UNICEF, 2009).

2.2 Indikator Stunting


Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah indikator untuk mengetahui
seorang anak stunting atau normal. Tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan
tumbuh seiring pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang
sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Indeks TB/U
menggambarkan status gizi masa lampau serta erat kaitannya dengan sosial
ekonomi (Supariasa et.al 2013).
Salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yang paling
popular dan dapat diterapkan untuk populasi dengan jumlah sampel besar adalah
antropometri. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter, salah satunya yaitu tinggi badan. Dalam
melakukan pengukuran antropometri terdapat kelebihan dan kelemahannya.
Pengukuran indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan antara lain : 1) merupakan
indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau, 2) alat
mudah dibawa-bawa, murah, 3) Pengukuran objektif. Sedangkan kelemahannya
antara lain : 1) dalam penelitian intervensi harus disertai dengan indeks lain
(seperti BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu
singkat, 2) ketepatan umur sulit didapat (Supariasa et.al 2013).
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik
sebagai akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku
hidup sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak
dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Angka tinggi badan setiap
anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-score) menggunakan baku
antropometri anak balita WHO 2005. Kategori dan ambang batas indikator tinggi
badan menurut umur (TB/U) menurut nilai standar Zscore menggunakan baku
antropometri WHO 2005 adalah :

10
Sangat pendek : Zscore < -3,0
Pendek : Zscore ≥ -3,0 s/d Zscore < -2,0
Normal : Zscore ≥ -2,0

2.3 Penyebab Stunting


Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.Intervensi
yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh
karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak
balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat
digambarkan sebagai berikut (Kalla, 2017):

a. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu


mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah
ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa
60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara
ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan
ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis
makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi
tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya
tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan
maupun minuman.
b. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal
Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan
dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat
kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi
64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan
imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi
sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan

11
pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum
terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
c. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,
SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding
dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih
mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di
Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang
mengalami anemia.
d. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air
besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki
akses ke air minum bersih.
Beberapa penyebab seperti yang dijelaskan di atas, telah berkontibusi pada masih
tingginya pervalensi stunting di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana
intervensi yang komprehensif untuk dapat mengurangi pervalensi stunting di
Indonesia.

2.4 Faktor Faktor Stunting


Beberapa factor yang mempengaruhi stunting yaitu:
1. Riwayat berat badan lahir
2. Riwayat pemberian ASI Ekslusif
3. Pola Asuh
4. Riwayat penyakit Infeksi
5. Persediaan Pangan
6. Pengetahuan Ibu
7. Pelayanan Kesehatan
8. Sosial Budaya
9. Sosial Ekonomi

2.5 Upaya Intervensi untuk Stunting

12
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada
kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui,
dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif
dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama
kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan
secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh
karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode
kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut,
dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan
dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi (Infodatin, 2016).
Upaya Intervensi meliputi :
1. Pada ibu hamil
 Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik
dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan
yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus
atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu
diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut.
 Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah, minimal 90
tablet selama kehamilan.
 Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
2. Pada saat bayi lahir
 Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi
lahir melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
 Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja
(ASI Eksklusif)
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun

13
 Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi
berumur 2 tahun atau lebih.
 Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar
lengkap
4. Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan
5. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap
rumah tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan
fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan
kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk
pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi,
gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.

2.6 Pemberian ASI

Makanan pertama dan utama bayi tentu saja air susu ibu. Bayi peminum
ASI akan tumbuh dengan baik jika ia dapat mengonsumsi air susu ibu sebanyak
150-200 cc/kg BB/hari (Arisman, 2008). WHO dan UNICEF merekomendasikan
pemberian ASI eksklusif. ASI eksklusif diartikan sebagai tindakan untuk tidak
memberikan makanan atau minuman lain (bahkan air sekalipun) kecuali air susu
ibu (ASI). Ada beberapa mekanisme yang membuat pemberian ASI bermanfaat
bagi perkembangan anak. Pertama, ASI merupakan sumber asam lemak tak jenuh
yang bukan hanya merupakan sumber energi tetapi juga sangat penting bagi
perkembangan otak. Yang kedua, pemberian ASI dapat meningkatkan imunitas
bayi terhadap penyakit sebagaimana diperlihatkan dalam sejumlah penelitian
ketika pemberian ASI disertai dengan penurunan frekuensi diare, konstipasi
kronis, penyakit gastrointestinal, dan infeksi traktus respiratorius, serta infeksi
telinga. Pemberian ASI dapat membawa manfaat bagi interaksi ibu dan anak serta
memfasilitasi pembentukan ikatan yang lebih kuat sehingga menguntungkan bagi
perkembangan anak dan perilaku anak (Gibney, et al, 2009).

14
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan case control retrospektif atau studi kasus - control retrospektif untuk

15
menganalisis perbedaan antara riwayat Pemberian ASI dengan kejadian stunting
dan non stunting pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian yang
mengidentifikasi efek (status kesehatan atau penyakit) pada saat ini, kemudian
faktor resiko diidentifikasi ada atau terjadi pada waktu yang lalu (Notoadmojo,
2010)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Posyandu wilayah kerja dari Puskesmas Patrang.
Penelitian berlangsung dimulai dari tanggal 7 Januari sampai dengan 19 Januari
2019.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh balita yang telah diukur dan tercatat
dalam rekam medis di Posyandu wilayah kerja Pusekesmas Patrang.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah balita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian .
3.3.3 Besar Sampel
Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan
formula studi case-control dengan rumus sebagai berikut :

Pada penelitian ini besar OR yang digunakan adalah 3, maka berdasarkan


rumus tersebut didapatkan jumlah sampel pada penelitian ini sebesar :

= 52,6

Keterangan :
n : jumlah sampel minimal penelitian (kasus/kontrol)
Z� = nilai baku berdasar � yang ditentukan (� = 0,05) → 1,960
Z� = nilai baku berdasar � yang ditentukan (� = 0,10) → 0,842

16
P1 = 𝑂� �P2 1−P2 +(ORx P2) = 3 �0,37 1−0,37 +(3x0,37) = 0,64
P2 = prevalensi kejadian stunting dalam Riskesdas 2013 → 0,37
P = 1 2 x (P1 + P2) = 1 2 x (0,63+0,37) = 0, 51 Q = 1-P
OR = Odds Ratio yang dianggap bermakna secara klinis → 3 (Mediana,
2016)
Berdasar dari perhitungan tersebut maka besar sampel minimal yang
dibutuhkan adalah 53 untuk kasus dan kontrol

3.3.4 Kriteria Sampel Penelitian


a. Kriteria Inklusi
1. Balita usia 13 – 60 bulan yang di rekam medis atau data bidan
wilayah kerja Posyandu Puskesmas Patrang.
2. Balita tersebut aktif mengikuti posyandu dan tercatat data
pengukuran tinggi badannya hingga bulan Januari 2019.

b. Kriteria Eksklusi
1. Balita yang drop out atau sudah tidak tercatat dalam rekam medis

3.3.5 Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple
random sampling. Simple random sampling merupakan teknik pengambilan
sampel yang langsung dilakukan pada unit sampling (Margono, 2010). Teknik
simple random sampling memungkinkan setiap unit sampling sebagai unsur
populasi memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel.
Prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan cara undian. Cara undian
meminimalkan ketidakadilan dalam memilih sampel karena pengambilan
dilakukan secara acak Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan teknik
undian dengan langkah langkah sebagai berikut.
1. Peneliti menuliskan nomor urut balita yang stunting dan tidak stunting
berdasarkan data stunting dan data seluruh balita yang diperoleh dan menulisnya
pada kertas, menggulung kertas tersebut, lalu memasukan ke dalam gelas plastik.

17
2. Mengocok gelas dan mengeluarkan satu gulungan kertas. Setiap nomor yang
keluar dicatat dan dijadikan sampel penelitian. Hal yang sama dilakukan hingga
diperoleh sampel sebanyak 53 balita untuk kelompok kasus dan kontrol

3.4 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel independen dan variabel
dependen sebagai berikut.
- Variabel independen adalah riwayat Pemberian ASI.
- Variabel dependen adalah kejadian stunting pada balita Posyandu wilayah
kerja dari Puskesmas Patrang.

3.5 Definisi Operasional Penelitian


Untuk mengetahui hubungan riwayat Pemberian Asi Eksklusif Terhadap
tingkat kejadian stunting pada balita di Posyandu wilayah kerja Puskesmas
Patrang diperlukan suatu definisi operasional penelitian sebagai berikut.

No Variabel Definisi Operasional Cara Kategori Skala


. Pengukuran Hasil
1. Stunting Masalah gizi kronis yang telaah rekap 0=Orang Ordinal
menyebabkan gangguan data yang yang
pertumbuhan linier dengan dilakukan di Stunting (<-2
defisit pada tinggi badan Polindes SD)
sebesar <-2 z score wilayah kerja 1=Orang
Puskesmas yang tidak
Gebang Stunting (>-2
SD)
2. ASI Riwayat pemberian ASI telaah rekap 0 = riwayat Ordinal
Eksklusif 6 bulan data yang non-asi
dilakukan di eksklusif

18
Puskesmas 1 = riwayat
Gebang asi ekslusif

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Data sekunder adalah data yang didapat dari rekam medis atau rekap data
di Posyandu wilayah kerja dari Puskesmas Patrang, yang berupa pencatatan status
gizi (berat badan dan tinggi badan) pada balita di Posyandu wilayah kerja
Puskesmas Patrang serta data riwayat KEK saat hamil yang tercatat direkam
medis gizi di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Patrang.

3.7 Pengolahan Data


Data yang terkumpul diolah menggunakan Microsoft Office Excel 2010
dan IBM® SPSS® Statistics Version 22. Adapun tahap-tahap pengolahannya adalah
sebagai berikut.
a. Cleaning, yaitu memeriksa kembali kelengkapan data penelitian.
b. Coding, yaitu memberikan kode identitas responden berupa huruf untuk
menjaga kerahasiaan identitasnya dan mempermudah penelusuran biodata
responden..
c. Entering, yaitu memasukkan data ke dalam program komputer yang telah
disebutkan di atas.
e. Penyajian data dalam bentuk tabel dan narasi.

3.8 Teknik Analisis Data


3.8.1 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentasi dari setiap variabel. Sehingga

19
analisis univariat dalam penelitian ini dapat menegetahui pola distribusi frekuensi
masing-masing variabel.

3.8.2 Analisis Bivariat


Menggunakan analisis Chi square yaitu dasar pengambilan keputusan
hipotesis berdasarkan tingkat signifikansi (nilai α) sebesar 95%: a. Jika nilai
probabilitas > α (0,05) maka hipotesis penelitian (Ho) diterima. b. Jika nilai
probabilitas ≤ α (0,05) maka hipotesis penelitian (Ho) ditolak. Alternatif dari
metode ini adalah Uji Fisher.

3.9 Masalah Etika


Etika dalam sebuah penelitian meliputi beberapa hal sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010).
a. Anonimity (Tanpa Nama)
Anonimity untuk memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian
dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar
alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data (kuesioner)
atau hasil penelitian yang disajikan.
b. Confidentiality (Kerahasiaan)
Confidentiality untuk memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang dikumpulkan
dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang
dilaporkan pada hasil penelitian.

3.10 Kerangka Kerja Penelitian


Berdasarkan kerangka teori yang merupakan dari hasil penelitian
didapatkan variabel yang diduga mempunyai hubungan kuat dengan kejadian
stunting yang dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:

20
Riwayat
Pemberian ASI
Eksklusif
Stunting
Tidak Ada
Riwayat
Pemberian ASI
Populasi / Sampel Ekslusif

Riwayat
Pemberian Asi
Eksklusif
Tidak Stunting
Tidak Ada
Riwayat
Pemberian Asi
Eksklusif

Keterangan:
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi usia dan jenis kelamin
dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia

21
Usia (bulan) frekuensi %
13-18 11 17%
19-24 10 15%
25-30 12 18%
31-35 8 12%
36-40 8 12%
41-45 6 9%
46-50 5 7%
51-55 3 4%
56-59 3 4%
Total 66 100

Tabel 4.1 menunjukan bahwa rentang usia responden antara usia 13 bulan hingga
59 bulan. Mayoritas responden berusia 25-30 bulan yaitu 12 balita dengan
presentase 18%.

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi %
Laki Laki 40 61
Perempuan 26 39
Total 66 100

Tabel 4.2 menunjukan distribusi jenis kelamin responden. Empat puluh balita
berjenis kelamin laki-laki (61%), dan sisanya berjenis kelamin perempuan (39%).

22
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat pemberian ASI ekslusif
Riwayat ASI Frekuensi %
eksklusif
YA 31 47
Tidak 35 53
Total 66 100

Tabel 4.3 menunjukan bahwa riwayat pemberian ASI eksklusif sebesar 37 orang
atau 56%.

Tabel 4.4 Perbedaan Riwayat ASI eksklusif dengan Stunting dan Non Stunting
Stunting Non Stunting P
N N
Riwayat ASI 6 25 0,041
Eksklusif
Tidak ASI 15 20
Eksklusif
Total 21 45 Odss
ratio:
3,125

Tabel 4.4 menunjukan bahwa status ASI ekslusif dengan status gizi anak non
stunting berpengaruh dengan nilai P<0,05, dengan Odds ratio 3,125

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,041 (<0,05) yang
berarti terjadi perbedaan yang signifikan antara riwayat Pemberian ASI dengan
kejadian stunting pada balita di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Patrang,
Jember. Selain itu dari hasil uji Chi-Square didapatkan nilai odss ratio sebesar
3,125, hal ini berarti bahwa riwayat non-asi ekslusif menimbulkan angka kejadian
stunting 3,125 kali lebih besar dibandingkan dibandingkan dengan balita dengan
riwayat asi-ekslusif

23
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah pemberian Air
Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan
(Kemenkes R.I, 2012). Pemberian ASI eksklusif memberikan berbagai manfaat
untuk ibu dan bayi dimana ASI merupakan makanan alamiah yang baik untuk
bayi, praktis, ekonomis, mudah dicerna, memiliki komposisi zat gizi yang ideal
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pencernaan bayi dan ASI mendukung
pertumbuhan bayi terutama tinggi badan karena kalsium ASI lebih efisien diserap
dibanding susu pengganti ASI (Prasetyono, 2009).
Presentase pemberian ASI pada kelompok penelitian ini sebesar 47%
sedangkan target Nasional yang diharapkan yaitu sebesar 80% (DepKes RI,
2015). Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan ibu tidak memberikan ASI
diantaranya pekerjaan, nutrisi ibu, dan pengetahuan ibu (Arifin, 2012).
Beberapa faktor yang menyebabkan stunting disamping pemberian ASI
eklusif adalah adanya faktor lain yang dialami bayi setelah lahir yaitu pola asuh
ibu yang salah, pada saat bayi mulai mendapatkan MP-ASI adalah ketahanan
pangan rumah tangga yang kurang, jenis makanan MP-ASI yang tidak berkualitas,
dan frekuensi pemberian tidak tepat. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap
asupan zat gizi pada bayi sehingga anak akan menderita stunting (PERSAGI,
2009).

24
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara riwayat pemberian Asi Eksklusif Terhadap kejadian
stunting dan non stunting di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Patrang, Jember.
Balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif berisiko 3,1 kali lebih besar
menderita stunting daripada balita yang mendapatkan ASI eklusif.

5.2 Saran

25
Saran-saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Melakukan penelitian mengenai faktor risiko lain yang menyebabkan
stunting di Posyandu wilayah kerja Puskesmas Patrang, Jember sehingga
dapat dilakukan intervensi yang lebih baik lagi untuk penanggulangan dan
pencegahan stunting
2. Penanganan sejak awal kehamilan untuk mencegah stunting.
3. Perlu penyuluhan rutin terhadap ibu hamil dan menyusui tentang
pentingnya pola asuh anak dan pemberian ASI eksklusif.

DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Buku
Kedokteran EGC: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Laporan Hasil Riset Kesehatan dasar Indonesia
Tahun 2006. Jakarta: Depkes

Dinas Kesehatan Kabupaten Jember. Data Hasil Kegiatan PSG. Jember: Dinas
kesehatan kabupaten Jember; 2013

Gibney, M. J., Lanham, S. A., Cassidy, A., & Vorster, H. H. Introduction to


Human Nutrition. 2nd Edition. 2009. Singapura: Fabulous Printers Pte
Ltd.

26
Kalla, Jusuf. 2017. 100 Kabupaten/ Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil
(Stunting) Ringkasan. Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan.

Kementrian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


(Balitbangkes) Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Laporan
Nasional. Balitbang. Jakarta 2013

Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi (Infodatin). 2016. Situasi
Balita pendek. Jakarta: Infodatin

Notoatmodjo S. Metode Penelitian Kesehatan, 2010. Jakarta: Rineka Cipta.

Margono. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Mediana, Sherly And Pratiwi, Rina .2016. Hubungan Jumlah Konsumsi Susu
Formula Standar Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-5
Tahun. Diponegoro University : Undergraduate Thesis.

TNP2K. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil


(Stunting). Jakarta.

UNICEF. Ringkasan Kajian Gizi. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan -


Kementerian Kesehatan RI; 2013.

Waryana. Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rahima; 2010.

WHO.2014 Situation : Underweight In Children In Global Healhty Observatory

27
LAMPIRAN

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Asi ekslusif * Stunting 66 100.0% 0 0.0% 66 100.0%

Asi ekslusif * Stunting Crosstabulation

Stunting Total

stunting non stunting

Count 15 20 35
non asi ekslusif
% within Asi ekslusif 42.9% 57.1% 100.0%
Asi ekslusif
Count 6 25 31
Asi ekslusif
% within Asi ekslusif 19.4% 80.6% 100.0%

28
Count 21 45 66
Total
% within Asi ekslusif 31.8% 68.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 4.186 1 .041
b
Continuity Correction 3.172 1 .075
Likelihood Ratio 4.299 1 .038
Fisher's Exact Test .063 .036
Linear-by-Linear Association 4.122 1 .042
N of Valid Cases 66

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.86.
b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .244 .041


N of Valid Cases 66

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Asi ekslusif (non asi ekslusif / Asi 3.125 1.025 9.525
ekslusif)
For cohort Stunting = stunting 2.214 .981 4.998
For cohort Stunting = non stunting .709 .507 .990
N of Valid Cases 66

29

Anda mungkin juga menyukai