Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL)

HUBUNGAN FAKTOR AIR DAN SANITASI DENGAN KEJADIAN


STUNTING PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GRIBIG

OLEH

IGNASIUS UMBU KABALU

1913.1325.1367
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN LINGKUNGAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYAGAMA HUSADA


MALANG

2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Praktek Kerja Lapangan Ini Telah Di Periksa Dan Disetujui


Sebagai

Hasil

Kegiatan PKL Untuk Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Program Sarjana

Kesehatan Lingkungan, STIKES Widyagama Husada

Periode, 14 juni -3 juli 2021

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

Umi Zuhroh. S,KL Anyta

NIP: NDP. 2017.284

Pimpinan Puskesmas Pandanwangi Ketua Program Studi


Dr.Wida sekarani Paramita Irfany Rupiwardani.
SE.,MMRS

NIP : 198804052015032001 NDP. 200414

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
Rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan praktik
kerja lapangan (PKL) sebagai tugas akademik di STIKES WIDYAGAMA
HUSADA dengan judul “Hubungan faktor air dan sanitasi dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gribig

Dalam penyusunan laporan praktik kerja lapangan ini, penulis


memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada :

1. Dr Rudy Joegijantoro, MMRS, selaku Direktur Stikes Widyagama Husada


Malang
2. Ibu Irvany Rupiwardani SE.,MMRS , selaku Ketua Program S-1
Kesehatan Lingkungan STIKES Widyagama Husada
3. Anyta Rahmawati, S.Si., MPH, selaku Dosen Pembimbing Praktik Kera
Lapangan
4. Umi zuhroh, S.KL. selaku pembimbing lapangan yang meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis selama kegiatan berlangsung.

Penulis menyadari bahwa laporan praktik kerja lapangan ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat mambanggun, penulis harapkan untuk perbaikan laporan praktik kerja
lapangan selanjutnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa kesehatan lingkungan.

Malang, 14 juni 2021

Ignasius umbu kabalu

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Stunting merupakan salah satu masalah gizi pada balita yang menjadi
perhatian dunia dalam beberapa tahun terakhir, terutama di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah termasuk Indonesia (Bukusuba et al.,
2017; Hossain et al., 2017; Kemenkes RI, 2018). Stunting menunjukkan
terjadi gangguan pertumbuhan linear (panjang badan/tinggi badan menurut
usia) berada dibawah -2 Standar Deviasi (<-2SD) sesuai standar median
World Health Organization (WHO), terjadi akibat kekurangan gizi kronis dan
infeksi berulang selama 1000 hari pertama kehidupan (HPK) (Vilcins et al.,
2018; Mbuya & Humphrey, 2016). Secara global terdapat 155 juta anak usia
dibawa lima tahun (balita) mengalami stunting (Vonaesch et al, 2018; Batiro
et al, 2017). Data WHO (2018), melaporkan bahwa Indonesia merupakan
salah satu negara penyumbang angka kejadian stunting tertinggi urutan ketiga
di Asia Tenggara mencapai 36,4% dari tahun 2005-2017 (Kemenkes RI,
2018).
Prevalensi balita stunting di Indonesia berdasarkan laporan riset kesehatan
dasar (Riskesdas), mengalami peningkatan dari tahun 2016 hingga 2018 yaitu
27,5% di tahun 2016, 29,6% di tahun 2017 dan meningkat 30,8% di tahun
2018 (Riskesdas, 2018; Kemenkes RI, 2018). Stunting di Indonesia menjadi
masalah kesehatan masyarakat secara nasional yang perlu mendapat perhatian
secara serius, karena tergolong dalam kategori tinggi sesuai standar WHO
mencapai 30-39%. Hasil Riskesdas (2018), menunjukkan bahwa dari 34
provinsi di Indonesia memiliki prevalensi kejadian stunting yang berbeda-
beda. Terdapat dua provinsi dengan angka kejadian sangat tinggi melebihi
40% sesuai kriteria WHO yaitu: Nusa Tenggara Timur sebanyak 42,7% dan
Sulawesi Barat sebanyak 41,6%, sedangkan 17 provinsi sebagai penyumbang
angka kejadian stunting mencapai 30-39% dengan kategori tinggi.
Permasalahan stunting yang terjadi pada masa kanak-kanak berdampak pada
kesakitan, kematian, gangguan pertumbuhan fisik, gangguan perkembangan
mental, kognitif dan gangguan perkembangan motorik. Gangguan yang terjadi
cenderung bersifat ireversibel dan berpengaruh terhadap perkembangan
selanjutnya yang dapat meningkatkan resiko penyakit degeneratif saat dewasa
(de Onis & Branca, 2016; WHO, 2018; Kemenkes RI, 2018; Vonaesch et al.,
2018). Dampak lain yang terjadi akibat stunting dimana anak memiliki
kecerdasan kurang yang berpengaruh pada prestasi belajar tidak optimal dan
produktivitas menurun. Jika hal ini terus berlanjut maka akan menghambat
perkembangan produktivitas suatu bangsa di masa yang akan datang ( Hossain
et al., 2017; Kemenkes RI, 2018; Trihono et al, 2015).
Penyebab stunting terdiri dari banyak faktor yang saling berpengaruh satu
sama lain dan penyebabnya berbeda disetiap daerah (Kwami et al, 2019;
Saputri & Tumangger, 2019). Penyebab stunting secara langsung meliputi
asupan nutrisi tidak adekuat dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung
stunting dapat disebabkan oleh faktor ketahanan pangan keluarga, pola asuh,
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan yang tidak memadai
mencakup air dan sanitasi. Penyebab dasar terjadinya stunting dihubungkan
dengan pendidikan, kemiskinan, sosial budaya, kebijakan pemerintah dan
politik (UNICEF, 2013 dalam Trihono et al, 2015; Kemenkes RI, 2018;
Fenske et al, 2013 ; WHO, 2014). Faktor sanitasi lingkungan yang buruk
meliputi akses air bersih yang tidak memadai, penggunaan fasilitas jamban
yang tidak sehat dan perilaku higiene mencuci tangan yang buruk
berkontribusi terhadap peningkatan penyakit infeksi seperti diare,
Environmental Enteric Dysfunction (EED), cacingan. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan linear serta dapat meningkatkan
kematian pada balita (Kwami et al., 2019; Headey & Palloni, 2019; Cumming
& Cairncross, 2016; BAPPENAS & UNICEF,2017).
Penelitian tentang permasalahan stunting dengan penyebab yang kompleks
dilakukan diberbagai negara terutama dinegara dengan penghasilan rendah
dan menengah. Penelitian yang dilakukan tidak hanya berfokus pada masalah
gizi dan penyakit infeksi sebagai penyebab stunting, melainkan faktor-faktor
pendukung lainnya seperti kecukupan gizi orang tua, status sosial ekonomi
keluarga. Salah satu faktor penyebab yang erat kaitan dengan stunting adalah
faktor air, sanitasi dan higiene (Aguayo & Menon, 2016; Hossain et al,
2017;Chakravarty et al, 2017; Rabaoarisoa et al, 2017). Penelitian tentang
determinan faktor air (Water), sanitasi (Sanitation) dengan kejadian stunting
pada balita belum banyak diteliti di Indonesia dibandingkan dengan negara
berkembang lainnya. Tujuan review artikel ini untuk menganalisis hubungan
faktor air, sanitasi dengan kejadian stunting pada balita di Indonesia.
1.2 Rumusan masalah
Adapun rumusan maslah yang dibahas pada laporan praktik kerja lapangan
ini adalah :
1. Bagaimana Kegiatan Tenaga Kesehatan Lingkungan Di Puskesmas
Pandanwangi
2. Bagaimana alur kegiatan penerimaan pasien atau klien kesehatan
lingkungan di puskesmas gribig
3. Bagaimana kegiatan tenaga kesehatan lingkungan terkaitpenyakit
Hubungan faktor air dan sanitasi dengan kejadian stunting pada
balita di wilayah kerja puskesmas gribig
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui kegiatan
kesehatan lingkungan di Puskesmas gribig
1. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit faktor air dan sanitasi
dengan kejadian stunting pada balita di wilayah kerja puskesmas gribig
di wilayah kerja Puskesmas Pandanwangi
2. Untuk mengetahui cara konseling faktor air dan sanitasi dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja puskesmas gribig kesehatan
lingkungan di Puskesmas gribig
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
Stunting (balita pendek) di Indonesia merupakan masalah gizi yang masih
menjadi prioritas, hal ini karena permasalahan gizi berdampak pada kualitas
sumber daya manusia (SDM). Prevalensi stunting dari Riset Kesehatan Dasar
Tahun 2013 sejumlah 37,2%, sedangkan hasil pencatatan status gizi tahun
2016 sebesar 27,5 % jauh lebih besar dibandingkan dengan batasan WHO <
20 %. Hal ini berarti bahwa terjadi masalah pertumbuhan tidak maksimal pada
8,9 juta anak Indonesia atau 1 dari 3 anak mengalami stunting. Stunting
merupakan kondisi dimana tinggi badan seseorang lebih pendek dari usia
umumnnya (Kemendesa, 2017).
Stunting disebabkan oleh masalah asupan gizi yang dikonsumsi selama
kandungan maupun masa balita. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum masa kehamilan, serta masa nifas, terbatasnya
layanan kesehatan seperti pelayanan antenatal, pelayanan post natal dan
rendahnya akses makanan bergizi, rendahnya akses sanitasi dan air bersih juga
merupakan penyebab stunting. Multi faktor yang sangat beragam tersebut
membutuhkan intervensi yang paling menentukan yaitu pada 1000 HPK
( 1000 hari pertama kehidupan ).
Faktor Penyebab stunting juga dipengaruhi oleh pekerjaan ibu, tinggi
badan ayah, tinggi badan ibu, pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, pola
asuh, dan pemberian ASI eksklusif (Wahdah, Juffrie, & Huriyati, 2015), selain
itu stunting juga disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti pendidikan ibu,
pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur pemberian
MP-ASI, tingkat kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta
faktor genetik. (Aridiyah, Rohmawati, & Ririanty, 2015)/
Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2018
mengalami penurunan sekitar 7,2 % dari 37, 2 % prevalensi stunting secara
Nasional tahun 2017 namun angka ini masih dibawah target yang di tetapkan
oleh WHO yaitu dibawah 20 %. Prevalensi stunting di Jawa Tengah
memberikan kontribusi sebanyak 28 % dan menduduki peringkat 9 dari
seluruh propinsi di Jawa Tengah 2018 meskipun data ini lebih baik jika
dibandingkan dengan tahun 2016 yang menduduki peringkat 13. Kabupaten
Grobogan sebagai salah satu provinsi dengan angka stunting yang besar
hingga dalam pada tahun 2017 ada beberapa wilayah yang masuk dalam 1.000
desa prioritas penanganan stunting. Stunting pada balita memberikan dampak
yang besar terhadap kesehatan anak untuk masa sekarang maupun masa
mendatang. Stunting dan masalah gizi lainnya dapat dicegah terutama pada
1.000 hari pertama kehidupan dan upaya lain seperti Pemberian makanan
tambahan, dan fortifikasi zat besi pada bahan pangan

2.2 Faktor Air Dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Indonesia


Sebagian besar bukti hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa faktor air
mencakup sumber air minum unimproved, pengolahan air minum dapat
meningkatkan kejadian stunting pada balita (Badriyah & Syafiq, 2017; Fikru &
Doorslaer, 2019; Hasanah & Susanti., 2018; Irianti S, et al., 2019; Otsuka et al.,
2019; Rahayu et al., 2018; Siswati, 2019; Torlesse. et al, 2016; Hasan &
Kadarusman., 2018; Nasrul, 2018; Zairinayati & Purnama, 2019). Sebagian besar
balita stunting tinggal di wilayah pedesaan yang mengalami kesulitan dalam
mengakses sumber air minum yang aman. Hasil penelitian Otsuka et al, (2018),
mengungkapkan bahwa rumah tangga yang mengkonsumsi air minum bersumber
dari air ledeng dapat meningkatkan kejadian stuntingpada anak dibandingkan
dengan rumah tangga yang menggunakan air tangki dan sumur. Hal ini dapat
terjadi apabila kualitas air ledeng yang digunakan oleh rumah tangga, tidak
memenuhi syarat kualitas fisik dibandingkan dengan air tangki dan sumur.
Berdasarkan permenkes RI No. 32/2017, kualitas fisik air minum harus memenuhi
syarat kesehatan yaitu tidak keruh/ jernih, tidak memiliki rasa, tidak berbau, tidak
kontaminasi dengan zat kimia serta bebas dari berbagai mikroorganisme yang
dapat menyebabkan anak mengalami stunting.Beberapa bukti temuan di
Indonesia, memiliki kesamaan dengan hasil temuan dari luar negeri yang
mengungkapkan bahwa air (water) unimproved meningkatkan kejadian stunting
pada balita. Temuan di Ethiopia mengungkapkan bahwa sumber air minum
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak balita (Kwami., et al, 2019).
Penelitian Batiro et al, (2017) di Ethiopio mengungkapkan bahwa mengkonsumsi
air dari sumber unimproved, beresiko tujuh kali meningkatkan kejadian stunting
pada anak. Penelitian lain mengatakan sumber air minum yang tidak aman, jarak
sumber air dari tempat pembuangan, kuantitas, kualitas, penyimpanan,
pengolahan dan keterjangkan air berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita (Cumming & Cairncross, 2016; Dodos et al, 2017).
Ketersediaan air minum yang unimproved berasal dari sumber unimproved, jarak
sumber air terlalu dekat dengan jamban, pengolahan air yang tidak sesuai sebelum
dikonsumsi dapat menyebabkan gangguan gizi pada anak-anak. Hal ini terjadi
karena airmengandung mikroorganisme patogen dan bahan kimia lainnya,
menyebabkan anak mengalami penyakit diare dan EED (Aguayo & Menon,
2016). Jika diare berlanjut melebihi dua minggu mengakibatan anak mengalami
gangguan gizi berupa stunting (Akombi et al., 2017). Oleh karena itu dibutuhkan
perhatian dari semua pihak terutama keluarga terhadap kebutuhan air minum yang
aman di mulai dari sumber air terlindungi, kuantitas,kualitas, penyimpanan dan
pengolahan air terutama pada 1000 HPK untuk mencegah dan mengurangi
kejadian stunting pada balita di Indonesia
2.3 faktor –faktor resiko yang memengaruhi stunting pada balita
Sebagian besar hasil temuan di wilayah Pedesaan Indonesia terkait sanitasi
penggunaan fasilitas jamban mulai dari kepemilikan jamban, jenis jamban,
jamban tidak menggunakan septik tangki , kebersihan jamban, perilaku Open
defecation dan pembuangan tinja balita tidak pada jamban berhubungan dengan
peningkatan stunting pada balita di Indonesia (Ahmadi et al., 2020; Badriyah &
Syafiq, 2017; Choirunnisa et al., 2020; Dwipayanti et al., 2020; Fikru &
Doorslaer, 2019; Hasanah & Susanti., 2018; ; Hafid., et al,2017; Hasan &
Kadarusman., 2018; Herawati et al., 2020; Nasrul, 2018; Otsuka et al., 2019;
Rahayu et al., 2017;
Rahayu et al., 2018; Lobo et al, 2020; Siswati, 2018; Torlesse. et al, 2016;
Wiyono et al., 2019; cahyono et al., 2016; Rahayu dan Darmawan, 2019;
Zairinayati & Purnama, 2019) .
Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian Fregonese et al., (2016), menyatakan
bahwa anak yang hidup di lingkungan terkontaminasi dengan sanitasi yang tidak
layak memiliki resiko 40% mengalami stunting dan secara signifikan lebih tinggi
dipedesaan dan pinggiran kota (43% vs 27%) dibandingkan dengan yang tinggal
di perkotaan (5%). Sebuah analisis di India membuktikan bahwa tingkat kejadian
stunting tertinggi pada anak-anak yang tinggal dipedesaan dikarenakan sebagian
besar masyarakat masih melakukan open defecation(Chakravarty et al, 2017).
Analisis serupa dilakukan oleh Bagcchi (2015), mengungkapkan bahwa praktek
buang air besar ditempat terbuka berhubungan dengan kejadian stunting pada
anakbalita di India. Perilaku tersebut menyebabkan pencemaran lingkungan akibat
penyebaran kuman patogen dari fecal. Apabila kuman tersebut tersentuh oleh
anak yang dalam proses pertumbuhan yang memiliki perilaku memasukkan jari
kedalam mulut menyebabkan anak akan menelan sejumlah bakteri fekal yang
dapat menginfeksi usus. Kondisi infeksi usus berupa diare dan EED dapat
mempengaruhi status gizi anak dengan mengurangi nafsu makan, mengganggu
penyerapan gizi yang menyebabkan anak mengalami kekurangan gizi dan
gangguan pertumbuhan (Owino et al.,2016).
Penggunaan fasilitas jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan, praktek open
defecation dan pembuangan feces balita tidak pada jamban menyebabkan anak-
anak terkontaminasi dengan pencemaran lingkungan, sehingga memudahkan
penularan patogen yang berasal dari tinja dan meningkatkan kejadian stunting
pada balita. Studi yang dilakukan di Peru membuktikan bahwa pembuangan tinja
balita yang tidak aman, penggunaan jamban oleh anak-anak yang rendah akibat
resiko tinggi jatuh pada anak,meningkatkan prevalensi diare, penyakit cacingan
dan kejadian stunting pada balita (Brown et al., 2013). Oleh karena itu dibutuhkan
perhatian khusus dari keluarga dalam pembuangan tinja balita harus pada toilet
yang sesuai.Penelitian Fikru dan Doorslaer, (2019), di 13 provinsi Indonesia
menemukan bahwa rumah tangga yang memiliki sanitasi yang baik berkontribusi
positif dalam mengurangi angka kejadian stunting dan stunting berat pada anak
balita di Indonesia di tahun 2007-2014. Temuan tersebut senada dengan temuan
Rah., et al (2015), yangmenjelaskan bahwa akses keluarga terhadap fasilitas toilet
yang memadai dapat mengurangi kejadian stunting pada anak usia 0-23 bulan
mencapai 16-39%. Dodos et al., (2017), menjelaskan bahwa sanitasi menjadi
perhatian dalam penanganan stunting pada anak di mulai dari pembangunan
konstruksi jamban yang memenuhi syarat kesehatan, mengurangi kebiasaan buang
air besar sembarangan yang dilakukan oleh individu, pembuangan tinja balita
pada jamban dan memperhatikan kebersihan lingkungan dengan tetap
memperhatikan intervensi gizi spesifik.
Upaya mengurangi kejadian stunting pada balita di Indonesia dibutuhkan
intervensi gizi sensitif dengan perbaikan sanitasi lingkungan, pembangunan
konstruksijamban yang memenuhi syarat kesehatan, melakukan upaya promotif
kesehatan denganedukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak
melakukan perilaku open defecation dan pembuangan tinja termasuk tinja balita
harus pada jamban. Tindakan tersebut bertujuanuntuk mencegah fecal transmition
sebagaivektor pembawa penyakit pada manusia dan lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian dapat memutuskan mata rantai penyebaran penyakit seperti
diare, EED, cacingan mengurangi kejadian stunting pada balita di Indonesia
1. Pantang makanan
Hasil diketahui bahwa kebiasaan tarak/pantang makanan tertentu diketahui bahwa
nilai p value = 0,631 dapat disimpulkan bahwa tarak / pantang makanan tertentu
tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Tarak / pantang makanan
tertentu yang dikonsumsi anak memang seharusnya dilakukan hal ini karena tidak
semua makanan baik dan sehat untuk anak. Beberapa makanan yang dikonsumsi
anak dapat menyebabkan alergi, muntah, atau tersedak. Beberapa makanan yang
tidak diajurkan untuk dikonsumsi seperti makanan yang bersoda yang apabila
dikonsumsi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan masalah kesehatan,
makanan yang mengandung bahan pengawet dan kadar gula gula tinggi juga dapat
meningkatkan berbagai resiko kesehatan pada anak, hal ini diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh Laili, dkk (2008) bahwa intakemakanan dan
ketahanan pangan dalam keluarga mempengaruhi kejadian stunting pada anak
dibawah lima tahun (Ayik Nikmatul Lailli, Al Munawar, 2018).
2.Kebiasaan makan makanan instan
kebiasaan makan makanan instan diketahui nilai p value = 0,001 yang berarti
bahwa kebiasaan makan makanan instan berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita, selain itu hasil analisis multivariat diketahui bahwa nilai p value =
0,033 dengan OR = 0,052 dengan demikian kebiasan makan makanan instan pada
anak beresiko pada kejadian stunting 0,052 lebih besar dibandingkan dengan anak
yang tidak memiliki kebiasan makan makanan instan. Makanan instan merupakan
makanan yang mudah dalam
hal pengolahan, namun demikian makanan instan mengandung kalori yang tinggi,
serta mengandung kadar gula, lemak dan garam yang tinggi. Makanan instan
apabila dikonsumsi 8 dalam waktu yang lama akan meningkatkan berat badan
yang mengarah kepada obesitas pada anak, makanan instan juga meningkatkan
resiko diabetes tipe 2 dikarenakan kandungan kalori dan lemak tinggi yang
mampu meningkatkan lonjakan gula darah dalam tubuh. Anak yang sering
mengkonsumsi makanan instan dapat meningkatkan kerusakan gigi, serta
gangguan pada pernafasan akibat obesitas, dan resiko kanker. Meskipun makanan
instan justru meningkatkan obesitas, tetapi bukan berarti bahwa asupan gizi mikro
dan makro bagi pertumbuhan dan perkembangan pada anak, sehingga
pertumbuhannya tidak sesuai dengan usia. Hal ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan oleh Payab, dkk (2015) bahwa konsumsi junk food meningkatkan
dan beresiko secara umum pada kejadian obesitas (Payab et al., 2015).
3.Tinggi badan ibu
menunjukkan p value = 0,003 dapat diketahui bahwa tinggi badan ibu
berhubungan dengan kejadian stunting, selain itu pada analisis multivariat
diketahui bahwa nilai OR = 0, 037 dapat disimpulkan bahwa tinggi badan ibu
beresiko 0,037 kali lebih besar pada kejadian stunting. ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Amin dan Julia (2014) bahwa tinggi badan orang
tua berkaitan dengan kejadian stunting pada anak, terutama pada ibu yang
memiliki tinggi badan <150, dimana ibu yang pendek beresiko melahirkan anak
yang stunting 1,98 kali lebih besar dibandingkan dengan tinggibadan yang
normal. (Nur Afia Amin, 2014)
4.Konsumsi Tablet besi
konsumsi tablet besi diketahui nilai p value = 0,166 dengan demikian riwayat
konsumsi tablet besi selama kehamilan tidak berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita. Meskipun demikian perbaikan gizi pada ibu hamil dengan
pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama kehamilan sangat penting
diberikan selain untuk memelihara kesehatan ibu juga digunakan untuk kebutuhan
kecukupan besi selama kehamilan yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan janin. Pemberian tablet besi juga merupakan salah satu program
pemerintah dalam upaya menurunkan angkastunting yang diprogramkan oleh
Kementerian desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi (Kemendesa,
2017).
5.Riwayat Antenatal
Riwayat antenatal care dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan kejadian
stunting, hal ini diketahui dari hasil analisis bivariat dimana p value = 0,554. Hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Najanah, dkk
(2013) bahwa kunjungan antenatal tidak standar berhubungan dan beresiko
mempunyai balita stunting 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang
melakukan ANC standar (Najahah, Adhi, Ngurah, & Pinatih, 2013).. Pelayanan
kesehatan masa hamil bertujuan untukmemenuhihaksetiap ibu hamil memperoleh
pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan yang
sehat, bersalin, dengan selamat dan melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas.
Pelayanan antenatal dilakukan semasa konsepsi hingga mulainya proses
persalinan, dan dilaksanakan sekurang – kurangnya 4 kali selama masa kehamilan
(Kementrian Kesehatan RI, 2014
6.Pemberian ASI ekslusif
diketahui bahwa pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting dengan p
Value = 0,000 < 0,05 berarti bahwa pemberian Asi ekslusif berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita, meskipun demikian ternyata ASI ekslusif bukan
sebagai faktor resiko terjadinya stunting berdasarkan analisis data multivariat p
value = 0,069. Hasil penelitian sejalan dengan Ni’mah dan Nadhiroh tahun 2015
dimana balita yang tidak mendapatkan ASI Ekslusif selama 6 bulan pertama lebih
tinggi pada kelompok balita stunting dibandingkan dengan kelompok balita
normal, dan diketahui terdapat hubungan antara pemberian Asi ekslusif dengan
kejadian stunting (Ni’mah & Nadhiroh, 2015). Hasil penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian Rahmad dan Miko (2016) bahwa tidak memberikan ASI
ekslusif menyebabkan terjadinya stunting pada balita di Banda Aceh, sekaligus
bahwa tidak memberikan ASI Ekslusif menjadi faktor dominan sebagai penyebab
resiko anak mengalami stunting (Rahmad & Miko, 2016).
7.Pemanfaatan pekarangan
diketahui bahwa keluarga yang memanfaatkan pekarangan rumah untuk
menanam berbagai sayur dan buah dengan analisis bivariat diketahui nilai p value
= 0,605, hal ini berarti bahwa pemanfaatan pekarangan tidak berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita. pemanfataan pekarangan rumah diharapkan mampu
meningkatkan ketahanan pangan dalam keluarga dan juga sebagai salah satu
sumber pangan yang beragam untuk pemenuhan gizi terutama sayur dan buah
yang memiliki kandung mineral dan vitamin yang diperlukan dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan anak.
8.Kepemilikan sumber air bersih
kepemilikan sumber air bersih di dalam keluarga dengan nilai p Value = 1,000
yang berarti tidak ada hubungan bermakna antara kepemilikan sumber air bersih
dengan kejadian stunting anak balita. hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Desyanti dan Nindya (2017) dimana praktik higiene yang buruk
menjadi faktor resiko terhadap kejadian stunting sebesar 4,808 kali lebih besar
(Al-Rahmad et al, 2013). Kepemilikan sumber air bersih dalam keluarga berkaitan
dengan sanitasi sumber air bersih dan sehat, dimana konsumsi sumber air yang
bersih dan sehat akan mengurangi resiko kejadian penyakit yang disebabkan oleh
diare atau kecacingan, namun demikian dalam penelitian ini terbukti tidak ada
hubungan dengan kejadian stunting karena adberbagai banyak faktor yang
berpengaruh seperti status gizi anak dan tinggi badan ibu.
9.Lingkungan perokok
lingkungan perokok tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada anak, hal
ini berbeda dengan temuan bahwa anak anak yang tinggal di rumah tangga dengan
orang tua perokok kronis serta transien cenderung memiliki pertumbuhan lebih
lambat dalam berat dan tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di rumah tangga
tanpa perokok. Anak yang tinggal dlingkungan perokok dapat menyebabkan
gangguan dalam penyerapan gizi karena asap rokok, dan orang tua yang merokok
mengurangibesaran biaya belanja yang seharusnya dapat digunakan untuk
pembelian makanan yang bergizi, biaya kesehatan dan pendidikan anak.
10.Kondisi ekonomi keluarga
diketahui bahwa pada kondisi ekonomi analisis bivariat nilai p value = 0.06 <
0,05, pada analisis multivariat diketahui bahwa kondisi ekonomi dengan nilai p
value =0,458 OR = 0,343, hal ini berarti bahwa kondisi ekonomi tidak
berhubungan dan bukansebagai faktor resiko terjadinya stunting pada balita.
pendapatan atau kondisi ekonomi keluarga yang kurang biasanya akan berdampak
kepada hal akses terhadap bahan makanan yang terkait dengan daya beli yang
rendah, selain itu apabila daya beli rendah maka mungkin bisa terjadi kerawanan
pangan di tingkat rumah tangga. (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Hasil
berbeda didapatkan dari penelitian Rahmad dan Miko ( 2016) yang
menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah berhubungan dengan
stunting pada balita di Banda Aceh.(Rahmad &
Miko, 2016
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. propil puskesmas Gribib


Puskesmas Gribig mempunyai motto”kesehatan anada kebangan kami”
Visi”mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas menuju masyarakat
sehat”
ada dua misi yang harus dilaksanakan oleh seluruh jajaran petugas kesehatan
Puskesmas Gribig yaitu:
1.Membetikan pelayanan kesehatan dasar yang berkualitas
2.Mewujudkan lingkungan sehat yang mendukung peningkatan derajat kesehatan
Derajat kesehatan masyarakat

Wilayah kerja puskesmas Puskesmas Gribig


Puskesmas Gribig adalah salah satu puskesmas di Kota Malang.Status
Puskesmas : Puskesmas Rawat Jalan.Berada di wilayah Kecamatan
Kedungkandang.Wilayah kerja puskesmas meliputi :

1.Kelurahan Madyopuro
2.Kelurahan Lesapuro
3.Kelurahan Sawojajar
4.Kelurahan Cemorokandang
3.1 Data Hasil Identifikasi masalah stunting

N NAMA SEX Tg.Ti Tgl.lahir Umur BB STATUS GIZI


O mbang (Bln) (kg TB
) (CM
)
L=1. Tg B Th T B Thn T BB/ BB/
P=2 l n g l B/ U TB
n n U
1 HANIF 1 20 4 21 15 4 16 60 1 9 Pe BB Obe R
ASMI 9 9 nd Nor sita W
, ek mal s 6
7
2 M.ARYASY 2 10 4 21 30 1 18 29 1 8 Pe BB GIZ R
AFARUDIN 0 1 4 nd NO I W
ek RM BA 6
AL IK

3.2Berdasarkan tabel diatas


dapat diketahui bahwa pada stunting pada anak balita diketahui berhubungan
dengan status gizi anak, riwayat masalah kesehatan pada anak, kebiasaan makan
makanan instan, dan riwayat dalam pemberian ASI eskslusif, dan tinggi badan ibu
dengan nilai P value < 0,05. Hasil ini juga diketahui bahwa tarak atau tidak
makan makanan tertentu, riwayat ibu yang mengkonsumsi tablet besi
selamakehamilan, riwayat ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal care,
kepemilikan dan pemanfaatan pekarangan untuk menanam berbagai sayur dan
buah, kepemilikan sumber air bersih, lingkungan tinggal dengan perokok dan
kondisi ekonomi keluarga tidak berhubungan dengan stunting pada anak balita.
Berdasarkan kriteria variabel independen yang memiliki nilai p < 0,25 antara lain
status gizi pada anak, riwayat pemberian Asi ekslusif, masalah kesehatan pada
anak,kebiasaan makan makanan instan, Tinggi badan ibu, Riwayat konsumsi
tablet Fe, Riwayat penyakit penyerta selama hamil, dan ekonomi keluarga.
Pengamatan lokasi ini dilakukan terhadap balita stunting sebanyak 2 balita. Hasil
pengamatan statistik diketahui bahwa status gizi merupakan faktor yang
berhubungan dan beresiko terdahap kejadian stunting pada balita. status gizi
balita. Stunting (kerdil) merupakan kondisi dimana ba lita memiliki panjang
atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. kondisi ini diukur
dengan menghitung panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus 2 standar
deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kementerian Kesehatan RI,
2018). Hasil penelitian diketahui bahwa status gizi balita dengan p value = 0,022
< 0,05, OR = 0,009, hal ini berarti bahwa status gizi balita mempengaruhi
terjadinya stunting dan menjadi faktor resiko stunting pada balita. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mugiyati, dkk (2018) bahwa
asupan konsumsi energi berhubungan dengan kejadian stunting. Asupan gizi yang
tidak adekuat akan mempengaruhi pertumbuhan fisik pada anak (Mugianti,
Mulyadi, Khoirul, & Najah, 2018) .Status gizi pada anak sebagai salah satu tolak
ukur dalam penilaian kecukupan asupan gizi harian dan penggunaan zat gizi
untuk kebutuhan tubuh. jika asupan nutrisi anak terpenuhi dan dapat digunakan
seoptimal mungkin maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan menjadi
optimal, dan sebaliknya apabila status gizi anak bermasalah maka akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga dewasa
BAB IV
PEMBAHASAN

A.Hasil kunjungan menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu mengenai


gizimerupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stunting
pada anakbalita baik yang berada di daerah pedesaanmaupun perkotaan. Hasil
penelitian ini samadengan penelitian yang dilakukan di Semarangyang
menunjukkan pengetahuan ibu tentang gizi merupakan faktor risiko kejadian
stunting yangbermakna Pengetahuan mengenai gizimerupakan proses awal dalam
perubahanperilaku peningkatan status gizi, sehinggapengetahuan merupakan
faktor internal yangmempengaruhi perubahan perilaku.Pengetahuan ibu tentang
gizi akan menentukanperilaku ibu dalam menyediakan makanan untukanaknya.
Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik dapat menyediakan makanan dengan
jenisdan jumlah yang tepat untuk mendukungpertumbuhan dan perkembangan
anak balita tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting padaanak balita
menunjukkan hubungan, baik yang berada di daerah pedesaan maupun perkotaan.
B.Dari hasil kunjungan ini dilakukan di daerah perkotaanyaitu di Kelurahan
madyopuro yangmenyatakan bahwa kecenderungan kejadian stunting pada balita
lebih banyak terjadi pada ibu yang berpendidikan rendah
Hal inidikarenakan di masyarakat masih berkembang pemikiran bahwa
pendidikan tidak penting sertaterkait dukungan dari keluarga untuk
menempuhpendidikan yang lebih tinggi yang masih belummaksimal. Secara tidak
langsung tingkatpendidikan ibu akan mempengaruhikemampuan dan pengetahuan
ibu mengenaiperawatan kesehatan terutama dalammemahami pengetahuan
mengenai gizi.
Hasil kunjungan hubungan statuspekerjaan ibu dengan kejadian stunting padaanak
balita diperoleh hasil bahwa antara statuspekerjaan ibu dengan kejadian stunting
padaanak balita tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hasil ini tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di Kota Semarangmenunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi, dimanaibu
yang bekerja mempunyai anak pendek (< -2SD) lebih banyak di bandingkan
dengan ibuyang tidak bekerja
Hal ini terjadi karenapada penelitian ini sebagian besar ibu tidakbekerja,
sehinggaibu yang tidak bekerja akan mempunyai waktu yang lebih banyak
dengananaknya dan mempengaruhi peningkatankualitas gizi anaknya.
Hasil kunjungan diperoleh hasil bahwa jumlah anggota keluarga bukan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinyastunting pada anak balita
di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Sama dengan hasilpenelitian yang
sebelumnya yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna
antarajumlah anggota rumah tangga dengan kejadianstunting pada anak balita
Jumlah anggota keluarga tidak menjamin status gizi dari setiap anggota keluarga.
Jumlah anggota keluarga jika
diimbangi dengan ketersediaan dan distribusi makanan yang merata dan seimbang
dapat mengurangi risiko terjadinya stunting pada anak balita.
Pada hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara
pendapatan keluarga terhadap kejadian stunting pada anak balita baik yang berada
di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Sama halnyadengan penelitian lain yang
menyatakan bahwa status ekonomi keluarga yang rendah di Maluku Utara
berhubungan signifikan dengan kejadian stunting dan severe stunting pada balita
usia 0 –59 bulan
Apabila ditinjau dari karakteristik pendapatan keluarga bahwa akar masalah dari
dampak pertumbuhan bayi dan berbagai masalah gizi lainnya salah satunya
disebabkan dan berasal dari krisis ekonomi. Sebagian besar anak balita yang
mengalami gangguan pertumbuhan memiliki status ekonomi yang rendah.
Pada hasil analisis menunjukkan bahwa kejadian stunting pada anak balita
baikyang berada di wilayah pedesaan maupun perkotaan dipengaruhi oleh
variabel pemberian
ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di
Surakarta yang menyatakan bahwa status menyusu jugamerupakan faktor risiko
terhadap kejadian stunting Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi salah
satu pemicu terjadinya stunting pada anak balita yang disebabkan oleh kejadian
masa lalu dan akan berdampak terhadap masa depan anak balita, sebaliknya
pemberian ASI yang baik oleh ibu akan membantu menjaga keseimbangan gizi
anak sehingga tercapai pertumbuhan anak yang normal.
Dari hasil kunjungan hubungan umur pertama pemberian MP-ASI dengan
kejadian stunting pada anak balita menunjukkan praktek pemberian MP-ASI pada
anak balita merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting
pada anak balita yang berada di daerah pedesaan dan perkotaan. Penelitian ini
sesuai dengan Depkes yang menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal
masa kehidupan bayi antara lain disebabkan oleh kekurangan gizi sejak bayi,
pemberian MP-ASI terlalu dini atau terlalu lambat, MP-ASI tidak cukup gizinya
sesuai kebutuhan bayi atau kurang baiknya pola pemberiannya menurutusia, dan
perawatan bayi yang kurang memadai Anak balita yang diberikan ASI eksklusif
dan MP-ASI sesuai dengan dengan kebutuhannya dapat mengurangi resiko
tejadinya stunting.
Hal ini karena pada usia 0-6 bulan ibu balita yang memberikan ASI eksklusif
yang dapat membentuk imunitas atau kekebalan tubuh anak balita sehingga dapat
terhindar dari penyakit infeksi. Setelah itu pada usia 6 bulan anak balita diberikan
MP-ASI dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga anak balita terpenuhi
kebutuhan zat gizinya yang dapat mengurangi risiko terjadinya stunting.
Hasil kunjungan hubungan perawatan kesehatan dengan kejadian stunting pada
anak balita menunujukkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian imunisasi
dengan kejadian stunting pada anak balita baik di wilayah pedesaan maupun di
perkotaan. Hasil ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang
menunjukkan bahwa status imunisasi yang tidak lengkap memiliki hubungan yang
signifikandalam kejadian stunting pada anak usia < 5tahun
Dalam hal ini imunisasi yang lengkap belum tentu dapat menjamin anak terhindar
dari suatu penyakit. Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi manfaat dan
efektivitas dari pemberian imunisasi seperti kualitas vaksin yang diberikan tidak
memenuhi standart atau kurang baik. Hal ini berarti baik anak balita yang
imunisasinya lengkap maupun yang tidak lengkap memiliki peluang yang sama
untuk mengalami stunting.
Hasil kunjungan hubungan tingkat kecukupan energi dengan kejadian stunting
pada anak balita menunjukkan hasil bahwa tingkat kecukupan energi antara anak
balita yang berada di daerah pedesaan maupun perkotaan tidak memiliki
hubungan terhadap terjadinya stunting pada anak balita.
Hasilpenelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa adahubungan yang signifikan antara konsumsi energi dengan
kejadian stunting pada balita di Sumatera
Hal tersebut dikarenakan asupan zat gizi yang tidak adekuat, terutama dari
totalenergi berhubungan dengan masalah dan gangguan pertumbuhan fisik pada
anak balita.Perbedaan hasil hubungan antara asupan energi balita dengan kejadian
stunting padapenelitian ini bisa terjadi dikarenakan faktor lain seperti adanya
penyakit infeksi atau penyakitpenyerta yang dapat menghambat dan menggangu
proses penyerapan energi oleh tubuh
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya
yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai
berikut:
1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
b.Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
d.Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan
mikronutrien
(TKPM);
e.Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
f. Pemberantasan kecacingan;
g.Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA;
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif;
dan
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita;
b.Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk
balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d.Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
b.Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
d.Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola
gizi seimbang,
tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan
b.Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b.Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/mengonsumsi
narkoba.
BAB V

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Dari hasil kunjungan ke rumah Hubungan Faktor air dan sanitasi dengan kejadian
stunting pada balita di wilayah kerja puskesmas gribig

didapatkan hasil yaitu rata-rata . menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan ibu


mengenai gizimerupakan salah satu faktor yang dapatmempengaruhi terjadinya
stunting pada anakbalita baik yang berada di daerah pedesaanmaupun perkotaan.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan yang menunjukkan
pengetahuan ibu tentang gizi merupakan faktor risiko kejadian stunting
yangbermakna Pengetahuan mengenai gizimerupakan proses awal dalam
perubahanperilaku peningkatan status gizi, sehinggapengetahuan merupakan
faktor internal yangmempengaruhi perubahan perilaku.Pengetahuan ibu tentang
gizi akan menentukanperilaku ibu dalam menyediakan makanan untukanaknya.
Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik dapat menyediakan makanan dengan
jenisdan jumlah yang tepat untuk mendukungpertumbuhan dan perkembangan
anak balita.
Faktor Penyebab stunting juga dipengaruhi oleh pekerjaan ibu, tinggi
badan ayah, tinggi badan ibu, pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, pola
asuh, dan pemberian ASI eksklusif selain itu stunting juga disebabkan oleh
beberapa faktor lain seperti pendidikan ibu, pengetahuan ibu mengenai gizi,
pemberian ASI eksklusif, umur pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink
dan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta faktor genetik.

B.SARAN
1.Kepada masyarakat agar lebih meningkatkan kebersihan lingkungan dan makanan.
2.Sanitarian selaku tenaga kerja kesehatan lingkungan agar lebih teliti dan detail dalam
melakukan penilaian terhadap anak yang kurang asupan gizi rumah agar mendapat hasil
yang akurat dan memberikan nilai yang sesuai.

3.Bagi Puskesmas agar lebih meningkatkan penyuluhan sanitasi rumah sehat atau
sosialisasi guna meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki atau memenuhi
syarat makanan sehat

DAFTAR PUSTAKA

Bukusuba, J., Kaaya, A. N., & Atukwase, A. (2017). Predictors Of Stunting In Children
Aged 6 To 59 Months : A Case-Control Study In Southwest Uganda. 38(4), 542–553.
https://doi.org/10.1177/0379572117731666

Hossain, M., Choudhury, N., Adib, K., Abdullah, B., Mondal, P., Jackson, A. A., Walson, J.,
& Ahmed, T. (2017). Evidence-Based Approaches To Childhood Stunting In Low And
Middle Income Countries : A Systematic Review. https://doi.org/10.1136/archdischild

Vilcins, D., Sly, P. D., & Jagals, P. (2018). Environmental Risk Factors Associated With
Child Stunting : A Systematic Review Of The Literature. Annals of Global Health,
84(4),551– 562. https://doi.org/10.29024/aogh.2361

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 Tentang


Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk
Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, Dan Pemandian Umum.

Vonaesch, P., Randremanana, R., Gody, J. C., Collard, J. M., Giles-Vernick, T., Doria, M.,
Vigan-Womas, I., Rubbo, P. A., Etienne, A., Andriatahirintsoa, E. J., Kapel, N., Brown, E.,
Huus, K. E., Duffy, D., Finlay, B. B., Hasan, M., Hunald, F. A., Robinson, A., Manirakiza, A.,
Gouandjika-Vassilache, I. (2018). Identifying the etiology and pathophysiology
underlying Stunting and environmental enteropathy: Study protocol of the AFRIBIOTA
project. BMC Pediatrics, 18(1), 1–19. https://doi.org/10.1186/s12887-018-1189-5.

World Health Organization. (2014). WHA global nutrition targets 2025: Stunting policy
brief. Geneva:

World Health Organization. World Health Organization. (2018). Reducing Stunting In


Children. Equity considerations for achieving the Global Nutrition Targets 2025. 5.
Geneva World Health Organization

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di


Indonesia. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan. ISSN 2088-270 X.
www.depkes.go.id
Trihono., Atmarita., Tjandrarini, D.H., Irawati, A., Utami, N.H Tejayanti, T. Nurlinawati, L
(2015). Pendek (Stunting ) di Indonesia, Masalah dan Solusinya. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Aguayo, V. M., & Menon, P. (2016). Introduction Stop Stunting : Improving Child
Feeding, Women’s Nutrition And Household Sanitation In South Asia. 12, 3–11.
https://doi.org/10.1111/mcn.12283

Chakravarty, I., Bhattacharya, A., & Das, S. K. (2017). Water , sanitation and hygiene : the
unfinished agenda in the World Health Organization South-East Asia Region. WHO
South-East Asia. Journal of Public Health. 22–26

Kemendesa. (2017). Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta

Aridiyah, F. O., Rohmawati, N., & Ririanty, M. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan (The Factors
Affecting Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas). E-Jurnal Pustaka Kesehatan,
3(1), 163–170

Wahdah, S., Juffrie, M., & Huriyati, E. (2015). Faktor risiko kejadian stunting pada Anak

umur 6 - 36 Bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu, Kapuas Hulu,

Kalimantan Barat. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia, 3(2), 119–130

Badriyah, L., Syafiq, A. (2017). The Association Between Sanitation , Hygiene , and
Stunting

in Children Under Two-Years. Makara Journal of Health Research, 21(2).

https://doi.org/10.7454/msk.v21i2.6002

Hasanah, I & Susanti, H. (2018). Does water and sanitation effects on children ’ s
physical

development ? Evidence from Indonesia Family life Survey ( IFLS ) 2014. 09007(74).

https://doi.org/https://doi.org/10.1051/e3sconf/20187409007

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 Tentang


Standar

Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan

Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, Dan Pemandian Umum

Ahmadi, Sulistyorini, L., Azizah, R., & Oktarizal, H. (2020). Association Between Toilet

Availability and Handwashing Habits and the Incidence of Stunting in Young

Children in Tanjung Pinang City , Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health

Sciences (EISSN 2636-9346), 16(May), 215–218


Badriyah, L., Syafiq, A. (2017). The Association Between Sanitation , Hygiene , and
Stunting

in Children Under Two-Years. Makara Journal of Health Research, 21(2).

https://doi.org/10.7454/msk.v21i2.6002

Dwipayanti N. M. U., Sutiari, N.K., Dewiyani, C. I., M., & H.K. (2020). Potential
Association

of Sanitation Factors on Stunting Incidences Among Children Under Age 5 in Bali

Province , Indonesia. Advances in Health Sciences Research, 22(Ishr 2019), 24–28

Hasanah, I & Susanti, H. (2018). Does water and sanitation effects on children ’ s
physical

development ? Evidence from Indonesia Family life Survey ( IFLS ) 2014. 09007(74).

https://doi.org/https://doi.org/10.1051/e3sconf/20187409007

Hafid, F., Djabu,U., Udin., Nasrul. (2018). Efek Program SBABS Terhadap Pencegahan

Stunting Anak Baduta di Kabupaten Banggai dan Sigi. Indonesian Journal of Human

Nutrition, 1(1), 14–22. https://doi.org/10.21776/ub.ijhn.

Nasrul. (2018). Pengendalian Faktor Risiko Stunting Anak Baduta Di Sulawesi Tengah.

Promotif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(Desember), 131–146.

Otsuka, Y., Agestika, L., Sintawardani, N., & Yamauchi, T. (2019). Risk Factors for

Undernutrition and Diarrhea Prevalence in an Urban Slum in Indonesia : Focus on

Water , Sanitation , and Hygiene. Am. J. Trop. Med. Hyg, 100(3), 727–732.

https://doi.org/10.4269/ajtmh.18-0063

Rahayu, R. M., Pamungkasari, E. P., & Wekadigunawan, C. S. P. (2018). The


Biopsychosocial

Determinants of Stunting and Wasting in Children Aged 12-48 Months. Journal of

Maternal and Child Health, 2, 105–118.


https://doi.org/10.26911/thejmch.2018.03.02.03

Chakravarty, I., Bhattacharya, A., & Das, S. K. (2017). Water , sanitation and hygiene :
the
unfinished agenda in the World Health Organization South-East Asia Region. WHO

South-East Asia. Journal of Public Health. 22–26.

Bagcchi, S. (2015). India ’ s poor sanitation and hygiene practices are linked to stunting
in children ,

study finds. 1564(March), 5180. https://doi.org/10.1136/bmj.h1564


Owino, V., Ahmed, T., Freemark, M., & Kelly, P. (2016). Environmental Enteric
Dysfunction

and Growth Failure / Stunting in Global Child Health. Pediatrics 138(6):e2016064.

https://doi.org/10.1542/peds.2016-064

Rah, J. H., Cronin, A. A., Badgaiyan, B., Aguayo, V. M., Coates, S., & Ahmed, S. (2015).

Household Sanitation And Personal Hygiene Practices Are Associated With Child

Stunting In Rural India : A Cross-Sectional Analysis Of Surveys.

https://doi.org/10.1136/bmjopen-2014-005180

Nur Afia Amin, M. J. (2014). Faktor sosiodemogra fi dan tinggi badan orang tua serta

hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan. Jurnal Gizi Dan

Diabetik Indonesia, 2(3), 170–177

Kemendesa. (2017). Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Pusdatin : buletin stunting. Kementerian Kesehatan


RI, 1, 2

Anda mungkin juga menyukai