Anda di halaman 1dari 42

PROPOSAL

ANALISIS FAKTOR RESIKO STUNTING PADA BALITA DI


WILAYAH KERJA PUSKEMAS SARUDIK KECAMATAN SARUDIK
KABUPATEN TAPANULI TENGAH
TAHUN 2020

DISUSUN SEBAGAI SALAH SATU PERSYARATAN


UNTUK MENYELESAIKAN S1 KESEHATAN MASYARAKAT
STIKES NAULI HUSADA SIBOLGA

OLEH :

SIFRA TOBING
NIM : 2016.13201.008

SEKOLAH TIINGI ILMU KESEHATAN NAULI HUSADA SIBOLGA


PRODI S1 KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2020

KATAPENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah

melimpahkan rahmat Dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi dengan judul “Analisis Faktor Resiko Stunting di Wilayah Kerja

Puskesmas Sarudik Kecamatan Sarudik Kabupaten Sarudik ”.

Penulisan proposal ini tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak,olehkarena itu penulis mengucapkanterimakasih kepada:

1. Bapak Ir. H.B. Gult, MMA selaku Ketua Yayasan Winda Nauliyang telah

memberikankesempatan kepadapenulis untukmenyelesaikan studidi STIKes

Nauli Husada Sibolga.

2. Ibu Dra. Meiyati Simatupang, SST, M.Kes selaku Ketua STIKes Nauli

Husada Sibolgayangtelah memberikan ijin untuk penelitian.

3.Ibu Tinawati Nainggolan, SKM, M.Kes selaku Ka.Prodi Ilmu Kesehatan

Masyarakat STIKes Nauli Husada Sibolga

4. Ibu Dra. Meiyati Simatupang, SST, M.Kes s ebagai

pembimbingyangtelahmeluangkan waktu,tenagadan

pikiranuntukmembimbing danmengarahkan dalam penyusunan proposal

inihinggaselesai.

5.Kepala Puskesmas Sarudikyangtelah

memberikankesempatankepadapenelitiuntuk melakukanpenelitiandi

wilayah kerja Puskesmas Sarudik.

6. Semuapihakyangtidakdapatdisebutkansatupersatuatassegalabantuan dan

dukungannyabaik secaralangsungmaupun tidak langsung dalam menyusun

proposal ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proposalini masih jauhdari

sempurna,untukitudiharapkankritikdansaranyang membangundariberbagai pihak


demikesempurnaanproposalini.Penulisberharapsemogaproposalinidapat

memberikan sumbanganilmu dan bermanfaat bagi parapembaca.

Sibolga, Mei 2020

Sifra Tobing
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Stunting didefinisikan sebagai gangguan pertumbuhan pada anak

dimanatinggi badan anak lebih rendah atau pendek dari standar usianya yang

diakibatkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama

(Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2018). Stunting atau rendahnya tinggi

badan menurut umur merupakan indikator terjadinya gangguan pertumbuhan

anak berupa malnutrisi kronis (World Health Organization, 2019).Stunting

merupakan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari

minus dua standar devisiasi (-2SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada

(Chaggan, 2012).

Pada tahun 2013, persentase rata-rata anak-anak yang mengalami

stunting di Asia Tenggara sebesar 36%, lebih tinggi dari rata-rata global yaitu

sebesar 26%. Secara global pada tahun 2017, terdapat 151 juta atau 22% anak-

anak di bawah lima tahun mengalami stunting dengan tiga per empat dari

jumlah tersebut adalah anak-anak yang tinggal di Wilayah Asia Tenggara dan

Afrika (World Health Organization, 2018). Berdasarkan data dari World

Health Statistic 2018, Indonesia menempati urutan ke-3 tertinggi dengan

prevalensi stunting sebesar 36,4% di Wilayah Asia Tenggara (World Health

Organization, 2018).
Berbagai macam dampak buruk dapat disebabkan oleh kejadian stunting,

Stunting pada masa kanak-kanak berhubungan dengan terlambatnya

perkembangan motorik dan kecerdasan yang lebih rendah (Crookston et. al.,

2010). Dampak buruk stunting dalam jangka pendek adalah terganggunya

perkembangan otak,kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan

metabolisme tubuh (Kementerian Kesehatan, Pemerintah RI, 2016). Selain itu,

dampak jangka panjangnya adalah anak dengan stunting akan tumbuh dengan

risiko tinggi menderita obesitas, diabetes, penyakit jantung dan pembuluh

darah, kanker, stroke, disabilitas pada usia tua, menurunnya kemampuan

kognitif dan prestasi belajar, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif dan

berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kementerian Kesehatan,

Pemerintah RI, 2016).

Pemerintah telah melakukan penanganan terhadap kasus stunting namun

belum mencapai target prevalensi yang ditentukan WHO yaitu <20% maupun

target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun

2015-2019 yaitu 28% (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,

dan Transmigrasi, Pemerintah RI, 2017; Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional, Pemerintah RI, 2014).

Menurut WHO, faktor rumah tangga dan lingkungan rumah,

ketidakcukupan makanan pelengkap, penyakit infeksi dan faktor menyusui

adalah beberapa penyebab dari kejadian stunting secara garis besar (World

Health Organization, 2014). Salah satu penanganan kejadian stunting yaitu

melakukan upaya perbaikan yang meliputi upaya untuk mencegah dan

mengurangi faktor atau gangguan secara langsung (intervensi gizi spesifik) dan
gangguan secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif) (Kementerian

Kesehatan, Pemerintah RI, 2016).

Secara tidaklangsung kejadian stunting berkaitan dengan faktor sosial

ekonomi dan higiene sanitasi sementara faktor ketidakcukupan makanan

pelengkap dan penyakit infeksiberkaitan langsung dengan kejadian stunting.

Status sosial ekonomi keluarga akan mempengaruhi kemampuan mendapatkan

layanan kesehatan dan pemenuhan gizi keluarga. Keluarga dengan tingkat

ekonomi atau pendapatan rendah akan memiliki anak yang lebih berisiko

mengalami stunting karena rendahnya kemampuan pemenuhan gizi dan

meningkatkan risiko terjadi malnutrisi (Fernald & Neufeld, 2012). Faktor

lainnya yang juga mempengaruhi kejadian stunting adalah perilaku higiene

sanitasi yang kurang baik. Anak balita yang mengonsumsi makanan dengan

perilaku higiene sanitasi yang kurang baik dapat mengakibatkan penyakit

infeksi. Penurunan nafsu makan yang menyertai penyakit infeksi dapat

menyebabkan asupan makanan balita kurang terpenuhi dan berakibat buruk

terhadap proses pertumbuhan anak (Millenium Challange Account Indonesia,

2014).

Kejadian stunting di Indonesia yang masih tinggi tersebar di beberapa kota

di seluruh provinsi di Indonesia salah satunya di Provinsi Banten dengan

prevalensi stunting 29,6%. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

menetapkan 160kabupaten/kota yang menjadi prioritas penanganan stunting.

Menurut data riskesdas Provinsi Banten tahun 2013, Kabupaten Pandeglang

memiliki prevalensi kejadian stunting sebesar 38,6% dan merupakan kabupaten

dengan prevalensi yang paling tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

yang berada di Provinsi Banten.


Berdasarkan prevalensi di indonesia pada tahun 2019 angka stunting

sebesar 27,67% (Kemenkes RI, 2019). Sementara pada tahun 2018 se-

Sumut,angka stunting sebesar 32,2%. Pada tahun 2018 data Riskesdas di

tapanuli tengah terdapat 9,17% angka stunting dan pada tahun 2020 terdapat 92

balita stunting di wilayah kerja puskesmas sarudik kecamatn sarudik kabupaten

tapanuli tengah.

Berat badan lahir < 2.500 gram memiliki pengarkuh secara bermakna

terhadap kejadian stunting pada anak dan memiliki risiko mengalami stunting.

Faktor pendidikan ibu rendah memiliki pengaruh secara bermakna terhadap

kejadian stunting pada anak dan memiliki risiko mengalami stunting. Faktor

pendapatan rumah tangga yang rendah diidentifikasi sebagai predictor

signifikan untuk stunting pada balita. Faktor sanitasi yang tidak baik memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita dan memiliki

risiko mengalami stunting. Kesimpulan penelitian ini adalah semakin

rendahnya berat badan lahir (BBLR), tingkat pendidikan ibu, pendapatan

rumah tangga, dan kurangnya hygiene sanitasi rumah maka risiko balita

menjadi stunting semakin besar.

Berdasarkan penjabaran di atas, saya tertarik untuk Menganalisis Faktor

Resiko Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sarudik Kabupaten

Tapanuli Tengah.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan data diatas maka peneliti menarik rumusan masalah

yaitu: Apakah BBLR, Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Rumah

Tangga, Dan Sanitasi yang Tidak Baik menjadi Faktor Resiko Stanting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sarudik Kecamatan Sarudik

Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2020?

I.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis Faktor Resiko Stanting pada Balita di Wilayah Kerja

Pukesmas Sarudik Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruhi BBLR terhadap stunting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Sarudik kecamatan sarudik kabupaten

tapanuli tengah.

b. Untuk mengetahui Pengaruhi Tingkat Pengetahuan Ibu terhadap

stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sarudik

c. Untuk mengetahui pengaruhi Pendapatan Rumah Tangga terhadap

stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sarudik

d. Untuk mengetahui pengaruhi Sanitasi terhadap stunting pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Sarudik

I.4 Manfaat Penelitian

I.4.1 Manfaat Teoritis


a. Menambah ilmu Hasil pengetahuan dan membuktikan teori yang sudah

ada terkait dengan analisis faktor resikoberat badan lahir rendah,

tingkat pendidikan ibu, tingkat pendapatan, Dan perilaku hidup bersih.

b. Meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tentang faktor

resiko stunting pada balita

I.4.2 Manfaat Praktis

a. Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

responden mengenai faktor resiko yang menyebabkan kejadian

stunting serta memberikan informasi mengenai status gizi balita

responden agar dapat lebih diperhatikan secara optimal.

b. Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai jumlah

data balita stunting di wilayah kerjanya serta nantinya dapat menjadi

dasar untuk membuat kebijakan dan penanggulangan terhadap

penyakit stunting.

c. Institusi

Hasil penelitian ini akan menambah daftar kepustakaan di Prodi Ilmu

Kesehatan Masyarakat STIKes Nauli Husada Sibolga dan sebagai

acuan untuk penelitian selanjutnya.

d. Peneliti
Hasil penelitian ini menambah wawasan bagi peneliti tentang Faktor

Resiko Stunting pada Balita serta sebagai salah satu syarat kelulusan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting Anak

1. Definisi

Balita pendek (Stunting) adalah masalah kurang gizi kronis yang

disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat

pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting

dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat

anak berusia dua tahun. Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada

indeks BB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian

status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-

Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/stunted) dan <-3 SD (sangat

pendek/severely stunted) (Trihono dkk, 2015).


Prevalensi stunting mulai meningkat pada usia 3 bulan, kemudian

proses stunting melambat pada saat anak berusia sekitar 3 tahun. Terdapat

perbedaaninterpretasi kejadian stunting diantara kedua kelompok usia

anak. Pada anak yang berusia di bawah 2-3 tahun, menggambarkan proses

gagal bertumbuh atau stunting yang masih sedang berlangsung/terjadi.

Sementara pada anak yangberusia lebih dari 3 tahun, menggambarkan

keadaan dimana anak tersebut telah mengalami kegagalan pertumbuhan

atau telah menjadi stunted (Sandra Fikawati dkk, 2017). Berbagai ahli

menurut Wamani et al., dalam Sandra Fikawati dkk (2017) menyatakan

bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor seperti berat lahir

yang rendah, stimulasi dan pengasuhan anak kurang tepat,asupan nutrisi

kurang, dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan lainnya.

2. Etiologi

Pertumbuhan manusia merupakan hasil interaksi antara faktor

genetik, hormon, zat gizi, dan energi dengan faktor lingkungan. Proses

pertumbuhan manusia merupakan fenomena yang kompleks yang

berlangsung selama kurang lebih 20 tahun lamanya, mulai dari kandungan

sampai remaja yang merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan

lingkungan. Pada anak-anak, penambahan tinggi badan pada tahun

pertama kehidupan merupakan yang paling cepat dibandingkan periode

waktu setelahnya. Pada usia 1 tahun, anak akan mengalami peningkatan

tinggi badan sampai 50% dari panjang badan lahir. Kemudian tinggi badan

tersebut akan meningkat 2 kali lipat pada usia 4 tahun dan 3 kali lipat pada

usia 13 tahun (Sandra Fikawati dkk, 2017).


Periode pertumbuhan paling cepat pada masa anak-anak juga

merupakan masa dimana anak berada pada tingkat kerentanan paling

tinggi. Kegagalan pertumbuhan dapat terjadi selama masa gestasi

(kehamilan) dan pada 2 tahun pertama kehidupan anak atau pada masa

1000 hari pertama kehidupan anak. Stunting merupakan indikator akhir

dari semua faktor yang berpengaruh terhadappertumbuhan dan

perkembangan anak pada 2 tahun pertama kehidupan yang selanjutnya

akan berdampak buruk pada perkembangan fisik dan kognitif anak saat

bertambah usia nantinya (Sandra Fikawati dkk, 2017).

Pertumbuhan yang cepat pada masa anak membuat gizi yang

memadai menjadi sangat penting. Buruknya gizi selama kehamilan, masa

pertumbuhan Dan masa awal kehidupan anak dapat menyebabkan anak

menjadi stunting. Pada 1000 hari pertama kehidupan anak, buruknya gizi

memiliki konsekuensi yang permanen (UNICEF, 2013). Faktor sebelum

kelahiran seperti gizi ibu selama kehamilan dan faktor setelah kelahiran

seperti asupan gizi anak saat masa pertumbuhan, sosial ekonomi, ASI

eksklusif, penyakit infeksi, pelayanan kesehatan dan berbagai faktor

lainnya (Sandra Fikawati dkk, 2017).

3. Epidemiologi

Diperkirakan dari 171 juta anak stunting di seluruh dunia, 167 juta

anak (98%) hidup di negara berkembang. UNICEF menyatakan bahwa

pada tahun 2011, ada 1 dari 4 anak mengalami stunting. Selanjutnya,

diprediksi akan ada 127 juta anak di bawah 5 tahun yang stunting pada

tahun 2025 nanti jika tren sekarang terus berlanjut. WHO memiliki target
global untuk menurunkan angka stunting balita sebesar 40% pada tahun

2025 (UNICEF, 2013).

Di Indonesia, saat ini stunting masih menjadi permasalahan

kesehatan dengan prevalensi nasional sebesar 20,1% (Pemantauan Status

Gizi, 2017). Dari 10 orang anak sekitar 3-4 orang anak balita mengalami

stunting (Zahraini, 2013). Indonesia adalah salah satu dari 3 negara

dengan prevalensi stunting tertinggi di Asia Tenggara. Penurunan angka

kejadian stunting di Indonesia tidak begitu signifikan jika dibandingkan

dengan Myanmar, Kamboja, dan Vietnam (Trihono dkk, 2015).

4. Dampak

Stunting merupakan malnutrisi kronis yang terjadi di dalam rahim

danselama dua tahun pertama kehidupan anak dapat mengakibatkan

rendahnya intelegensi dan turunnya kapasitas fisik yang pada akhirnya

menyebabkanpenurunan produktivitas, perlambatan pertumbuhan

ekonomi, dan perpanjangan kemiskinan. Selain itu, stunting juga dapat

berdampak pada sistem kekebalan tubuh yang lemah dan kerentanan

terhadap penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker

serta gangguan reproduksi maternal di masa dewasa.

Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang.

Iniberarti 1 dari 3 anak Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik

dalam hal pendidikan dan pekerjaan dalam sisa hidup mereka. Stunting

bukan semata pada ukuran fisik pendek, tetapi lebih pada konsep bahwa

proses terjadinya stunting bersamaan dengan proses terjadinya hambatan


pertumbuhan danperkembangan organ lainnya, termasuk otak (Achadi,

2016).

Proses stunting disebabkan oleh asupan zat gizi yang kurang dan

infeksi yang berulang yang berakibat pada terlambatnya perkembangan

fungsi kognitif dan kerusakan kognitif permanen. Pada wanita, stunting

dapat berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan janin saat

kehamilan, terhambatnya proses melahirkan serta meningkatkan risiko

underweight dan stunting pada anak yang dilahirkannya, yang nantinya

juga dapat membawa risiko kepada gangguan metabolisme dan penyakit

kronis saat anak tumbuh dewasa (Sandra Fikawati dkk, 2017).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya

disebabkanoleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun

anak balita. Secara lebih detail, beberapa faktor yang mempengaruhi

kejadian stunting dapat digambarkan sebagai berikut:

1. faktor BBLR

Berat badan bayi yang <2500 gram. Berat lahir adalah berat bayi

yang ditimbang dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir. Pengukuran

dilakukan ditempat fasilitas kesehatan, sedangkan dirumah waktu

pengukuran berat badan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam(WHO).

2. Faktor tingkat pendidikan ibu

Menurut Delmi Sulastri (2012 ), pendidikan ibu yang rendah

dapat mempengaruhI pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga

berpengaruh dalam pemilihan dan cara penyajian makanan yang akan


dikonsumsi oleh anaknya. Penyediaan bahan dan menu makan yang

tepat untuk balita dalam upaya peningkatan stat us gizi akan dapat

terwujud bila ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi yang baik. Ibu

dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit menyerap inform asi

gizi sehingga anak dapat berisiko mengalami stunting (Delmi

Sulastri,2012 )

3 . faktor pendapatan rumah tangga

Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang

signifik an terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek

(UNICEF, 2013). Status ekonomi keluarga yang rendah akan

mempengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga

biasanya menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama

pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti

sumber protein, vitamin, dan mineral, sehingga meningkatkan risiko

kurang gizi (Bishwakarma dalam Khoirun,dkk,2015).

4 . faktor sanitasi yang tidak baik

Adanya hubungan yang signifikan antara kebersihan/hygiene dan

sanitasi lingkungan dengan pertumbuhan panjang badan anak dan

kejadian stunting. Maka dapat dikatakan jika kebersihan/hygiene dan

sanitasi lingkungan rumah anak diperhatikan maka akan memberikan

dampak positif pada keadaan status gizi anak (Renyoet,dkk.2013).

Suatu usaha yang mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik

yang berpengaruh kepada manusia terutama terhadap hal-hal yang


mempengaruhi efek, merusak perkembangan fisik, kesehatan, Dan

kelangsungan hidup (Huda, 2016)

6. Preventif

Preventif untuk menurunkan angka kejadian stunting seharusnya

dimulai sebelum kelahiran melalui perinatal care dan gizi ibu, kemudian

preventif tersebut dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun. Periode kritis

dalam mencegah stunting dimulai se jak janin sampai anak berusia 2 tahun

yang biasa disebutdengan periode 1.000 hari pertama kehidupan.

Intervensi berbasis evidence diperlukan untuk menurunkan angka

kejadian stunting di Indonesia.

Gizi maternal perlu diperhatikan melalui moni toring status gizi ibu

selama kehamilan melalui ANC serta pemantauan Dan perbaikan gizi

anak setelah kelahiran, juga diperlukan perhatian khusus terhadap gizi ibu

menyusui. Pencegahan kurang gizi pada ibu dan anak merupakan investasi

jangka panjang yang dapat memberi dampak baik pada generasi sekarang

dan generasi selanjutnya (Sandra Fikawati dkk, 2017).

Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan

global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN) melalui

perancangan dua kerangka besar intervensi stunting. Kerangka Intervensi

Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua,

yaitu Intervensi Gizi Spesifik Dan Intervensi Gizi Sensitif (TNP2K, 2017).

a. Kerangka intervensi gizi spesifik

Kerangka ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak

dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya

dilakukan padasektor ke sehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka

pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.

b. Kerangka intervensi gizi sensitif

Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan

pemban gunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70%

intervensi stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah

masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada

1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK (TNP2K, 2017).

7. Pesan 1000 Hari Pertama Kehidupan

1. Selama hamil, makan makanan beraneka ragam

2. Memeriksa kehamilan 4xselama kehamilan

3. Minum tablet tambah darah

4. Bayi yang baru lahir inisiasi menyusui diri (IMD)

5. Berikan ASI Esklusif selama 6 bulan

6. Timbang BB bayi secara rutin setiap bulan

7. Berikan imunisasi dasar untuk bayi

8. Lanjutkan pemberian ASI hingga menyetujui 2 tahun

9. Berikan MP ASI pada usia 6 bulan Dan tetap berikan ASI

8. Penilaian Stunting secara Antropometri

Menentukan stunting pada anak dilakukan dengan cara

pengukuran. Penguk uran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak
usia di atas 2 tahun. Antropometri merupakan ukuran dari tubuh,

sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk

tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi yang

digunakan untuk mengetahui ketidakseim bangan protein dan energi.

Antropometri dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan dan

berat badan (Gibson, 2005).

Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan

rekome ndasi NCHS-WHO. Standarisasi pengukuran ini membandingkan

pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau Z-Score untuk

usia dan jenis kelamin yang sama pada anak-anak. Z-Score adalah unit

standar deviasi untuk mengetahui perbedaan antara nilai individu dan

nilai tengah (median) populasi rujukan untuk usia/tinggi yang sama,

dibagi dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa

keuntungan penggunaan Z-Score antara lain untuk mengidentifikasi nilai

yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan perbedaan usia, juga

memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara statistik dari

pengukuran antropometri (Trihono dkk, 2015).

1) Umur

Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya kehidupan

seseorang. Usia di hitung saat pengumpulan data, berdasarkan tanggal

kelahiran. Apabila kurang hingga 14 hari maka dibulatkan ke bawah,

sebaliknya jika lebih 15 hari maka dibulatkan ke atas. Informasi terkait

umur didapatkan melalui pengisian kuesioner (Supariasa, 2002).

2) Tinggi badan
Tinggi atau panjang badan adalah indikator umum dalam

mengukur tubuh dan pan jang tulang. Alat yang biasa dipakai disebut

stadiometer. Ada dua macam yaitu: ‘s tadiometer portabel’ yang memiliki

kisaran pengukur 840-2060 mm dan ‘harpend en stadiometer digital’ yang

memiliki kisaran pengukur 600-2100 mm.

Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas

kaki dan aks esoris kepala, kedua tangan tergantung rileks di samping

badan, tumit dan pan tat menempel di dinding, pandangan mata mengarah

ke depan sehingga membentuk posisi kepala Frankfurt Plane (garis

imaginasi dari bagian inferior orbita ho rizontal terhadap meatus acusticus

eksterna bagian dalam). Bagian alat yang dap at digeser diturunkan hingga

menyentuh kepala (bagian verteks). Sentuhan diperkuat jika anak yang

diperiksa berambut tebal. Pasien inspirasi maksimum pada saat diukur

untuk meluruskan tulang belakang.

Pada bayi yang diukur bukan tinggi melainkan panjang badan.

Biasanya panjang badan diukur jika anak belum mencapai ukuran linier

85 cm atau berusia kurang dari 2 tahun. Ukuran panjang badan lebih besar

0,5-1,5 cm daripada tinggi. Oleh sebab itu, bila anak diatas 2 tahun diukur

dalam keadaan berbaring maka hasilnya dikurangi 1 cm sebelum diplot

pada grafik pertumbuh an (Supariasa, 2002).

B. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

a. Defenisi

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan

lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat saat
lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir

(Manuaba et al., 2007; Damanik, 2008). Acuan lain dalam pengukuran

BBLR juga terdapat pada Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat

(PWS) gizi. Dalam pedoman tersebut bayi berat lahir rendah (BBLR)

adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram diukur pada

saat lahir atau sampai hari ke tujuh setelah lahir (Putra, 2012).

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan istilah lain untuk bayi

prematur hingga tahun 1961. Istilah ini mulai diubah dikarenakan tidak

seluruh bayi dengan berat badan lahir rendah lahir secara prematur

(Manuaba et al., 2007). World Health Organization (WHO) mengubah

istilah bayi prematur (premature baby) menjadi berat bayi lahir rendah

(lowbirth weight) dan sekaligus mengubah kriteria BBLR yang

sebelumnya≤2500 gram menjadi < 2500 gram (Putra, 2012).

Bayi BBLR dapat dibagi berdasarkan derajatnya :

a. Berat badan lahir rendah (BBLR) dengan berat badan lahir

1500-2499

b. Berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir

1000-1499

c. Berat badan lahirekstrem rendah (BBLER) dengan berat lahir

<1000gram (Putra,2012).

Penyebab dari BBLR dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

faktor ibu dan faktor janin. Faktor dari ibu meliputi berat badan sebelum

hamil rendah, penambahan berat badan yang tidak adekuat selama


kehamilan, malnutrisi, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir

rendah, remaja, tubuh pendek, sudah sering hamil, dan anemia (Hanum

et al., 2014). Infeksi pada ibu selama kehamilan, sosial ekonomi rendah,

dan stres maternal, juga dapat menyebabkan terjadinya kelahiran BBLR

(Santoso etal., 2009). Faktor janin dan plasenta yang dapat menyebabkan

BBLR antaralain kehamilan ganda, hidroamnion, dan cacat bawaan

(Surasmi, Handayani, Kusuma, 2003). Status pelayanan antenatal

(frekuensi dan kualitas pelayanan antenatal, tenaga kesehatan tempat

periksa hamil, umur kandungan saat pertama kali pemeriksaan

kehamilan) juga dapat beresiko untuk melahirkan BBLR (Sistiarani,

2008).

Masalah yang sering dijumpai pada BBLR antara lain keadaan

umum bayi yang tidak stabil, henti nafas, inkoordinasi reflek menghisap

dan menelan, serta kurang baiknya kontrol fungsi motorik oral, sehingga

beresiko mengalami kekurangan gizi dan keterlambatan tumbuh

kembang. Keterlambatan tersebut dapat dilihat pada fisik BBLR, seperti

berat badan rendah (< 2500 gram), panjang badan pendek (≤ 45 cm), dan

lingkar kepala kecil (< 33 cm). Kekurangan gizi ini diantaranya

disebabkan oleh meningkatnya kecepatan pertumbuhan, serta semakin

tingginya kebutuhan metabolisme, cadangan energi yang tidak

mencukupi, sistem fisiologi tubuh yang belum sempurna, atau karena

bayi dalam keadaan sakit (IDAI, 2010; WHO, 2011; Silangit, 2013).

Bayi berat lahir rendah (BBLR) memiliki resiko tinggi dalam

mortalitas dan morbiditas pada neonatus (Kliegman, 1999). BBLR

sangatrentan terhadap infeksi, karena daya tahan tubuh BBLR yang

masih rendah. Selain itu, keadaan organ-organ BBLR yang belum


matang merupakan faktor resiko terjadinya necrotizing enterocolitis

(NEC) pada BBLR. Kejadian NEC tertinggi pada bayi berat lahir < 1500

gram (Girsang, 2009). Bayi yang lahir dengan kisaran berat badan antara

2000 – 2500 gram memiliki resiko kematian neonatal 4 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 2500 –

3000 gram dan 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir

dengan kisaran berat badan 3000 – 3500 gram (Yusrin, 2012).

Kematangan fungsi organ khususnya saluran cerna, sangat

menentukan jenis dan cara pemberian nutrisi pada BBLR. Kondisi klinis

seringkali merupakan faktor penentu, apakah nutrisi enteral atau

parenteral yang akan diberikan. Ketersediaan enzim pencernaan baik

untuk karbohidrat, protein, maupun lemak sangat berkaitan dengan masa

gestasi. Kemampuan pengosongan lambung (gastric emptying time) lebih

lambat pada bayi BBLR daripada bayi cukup bulan. Demikian pula

fungsi mengisap dan menelan (suck and swallow) masih belum

sempurna, terlebih bila bayi dengan masa gestasi kurang dari 34 minggu

(Nasar, 2004).

Penyebab terjadinya BBLR secara umum bersifat multifaktorial.

Namun, penyebab terbanyak yang mempengaruhi adalah kelahiran

prematur. Bayi prematur harus dipersiapkan agar dapat mencapai tahapan

tumbuh kembang yang optimal seperti bayi yang lahir cukup bulan

sehingga akan diperoleh kualitas hidup bayi yang lahir prematur secara

optimal pula. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan

memberikan asupan

nutrisi yang mencukupi untuk proses tumbuh kejar pada bayi prematur

yang lebih cepat dari bayi cukup bulan (Ellard & Anderson, 2008).
Bayi berat lahir rendah (BBLR) memerlukan penanganan yang

tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Penanganan BBLR

meliputi hal-hal berikut :

1) Mempertahankan suhu dengan ketat. BBLR mudah mengalami

hipotermia. Oleh karena itu, suhu tubuhnya harus dipertahankan

dengan ketat.

e. Mencegah infeksi dengan ketat. Dalam penanganan BBLR harus

memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi karena sangat

rentan. Salah satu cara pencegahan infeksi, yaitu dengan mencuci

tangan sebelum memegang bayi.

f. Pengawasan nutrisi dan ASI. Refleks menelan pada BBLR belum

sempurna. Oleh karena itu, pemberian nutrisi harus dilakukan

dengan hati-hati.

g. Penimbangan ketat. Penimbangan berat badan harus dilakukan

secara ketat karena peningkatan berat badan merupakan salah satu

status gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan

tubuh (Syafrudin & Hamidah, 2009).

b. Etiologi

Menurut WHO tahun 2004 faktor etiologi yang berkontribusi

menyebabkan kejadian berat badan lahir rendah terutama di negara- negara

berkembang meliputi penggunaan tembakau (merokok, konsumsi

tembakau kunyah dan tembakau untuk kegunaan terapi), kurang intake

kalori, berat badan rendah sebelum masa kehamilan, primipara, jenis

kelamin janin, tubuh pendek, ras, riwayat BBLR sebelumnya, angka


mordibitas umum, dan faktor risiko lingkungan seperti , paparan Timbal

(Putra, 2016).

c. Dampak BBLR

BBLR erat kaitannya dengan mortalitas dan mordibitas janin.

Keadaan ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif,

kerentanan terhadap pennyakit kronis di kemudian hari. Pada tingkat

populasi, proporsi bayi dengan BBLR adalah gambaran multi masalah

kesehatan masyarakat mencakup ibu yang kekurangan gizi jangka panjang,

kesehatan yang buruk, perawatan kesehatan dan kehamilan yang buruk.

Secara individual, BBLR merupakan prediktor dalam kesehatan dan

kelangsungan hidup bayi barulahir. Hal ini berhubungan dengan risiko

tinggi pada kematian bayi dan anak (Putra, 2016).

BBLR akan membawa risiko kematian, gangguan pertumbuhan dan

perkembangan anak, termasuk dapat berisiko menjadi pendek jika tidak

tertangani dengan baik (Kemenkes,RI 2016). Bayi dengan berat lahir

kurang dari 3000 gram berpeluang 3 kali menjadi stunting dibandingkan

dengan bayi berat lahir normal. Berdasarkan penelitian di Sulawesi

menunjukkan proporsi stunting pada anak berat lahir kurang dari 3000

gram lebih tinggidibandingkan proporsi stunting pada anak yang berat

lahirnya lebih dari atau sama dengan 3000 gram. Anak dengan berat lahir

kurang dari 3000 gram memiliki risiko menjadi stunting 1,3 kali

dibandingkan anak dengan berat lahir lebih dari sama dengan 3000 gram

(Oktarina, 2012). BBLR juga mempunyai hubungan dengan kejadian

stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta (Nasution, 2014).
Menurut Rahayu tahun 2014, faktor risiko yang paling dominan

berhubungan dengan anak yang mengalami stunting adalah BBLR.

Sementara penelitian di Lampung yang dilakukanoleh Rahmadi

tahun 2015, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara berat badan

lahir dengan kejadian stunting pada anak usia 12 – 59 bulan.Stunting pada

usia dini dapat memprediksikan kinerja kognitif dan risikoterjadinya

Penyakit Jantung Koroner pada waktu dewasa (Candrakant, 2008 dalam

Achadi, 2012). Studi terhadap 100.000 perawat di Amerika menyatakan

bahwa mereka yang lahir dengan berat badan lebih rendah mempunyai

risiko Penyakit Jantung lebih tinggi, tanpa terkait dengan pola hidupnya

dan kondisi kehidupannya (Achadi, 2012).

d. Pencegahan BBLR

Upaya-upaya pencegahan wajib dilakukan untuk menurunkan kejadian

BBLR di masyarakat. Upaya tersebut dapat dilakukan antara lain :

a. Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal empat

kali selama periode kehamilan yaitu 1 kali pada trimester I, 1 kali

pada trimester kedua dan 2 kali pada trimester III.

b. Ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi diet seimbang dan rendah lemak,

kalori cukup, vitamin dan mineral termasuk 400 mikrogram vitamin B

dn asam folat tiap hari. Pengontrolan berat badan selama kehamilan

dari pertambahan berat badan awal dikisaran 12,5-15 kg.

c. Hindari rokok atau asap rokok dan jenis polusi lain, minuman

berakohol dan aktifitas fisik yang berlebihan.


d. Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin

dalam rahim, faktor risiko tinggi dalam kehamilan, dan perawatan

diriselama kehamilan (Putra, 2016)

Periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) adalah periode 9

bulan janin dalam kandungan (270 hari) hingga anak usia 2 tahun (730

hari). Pada 20 minggu pertama dibutuhkan kecukupan protein dan zat gizi

mikro untuk pembentukan sel dan menentukan jumlah sel otak dan potensi

tinggi badan. Seorang ibu hamil harus berjuang menjaga asupan nutrisinya

agar pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan janinnya optimal.

Selanjutnya pada 20 minggu sampai dengan bayi lahir dibutuhkan

kecukupan energi, protein dan zat gizi mikro untuk pembentukan dan

pembesaran sel.

Idealnya, berat badan bayi saat dilahirkan adalah tidak kurang dari

2500 gram, dan panjang badan bayi tidak kurang dari 48 cm. Inilah alasan

mengapa setiap bayi yang baru saja lahir akan diukur berat dan panjang

tubuhnya, dan dipantau terus menerus terutama di periode emas

pertumbuhannya, yaitu 0 sampai 2 tahun. Dalam kurun waktu 2 tahun ini,

orang tua harus berupaya keras agar bayinya tidak memiliki tinggi badan

atau panjang badan yang stunting. Selama 6 bulan setelah bayi lahir, bayi

memerlukan zat gizi makrodan mikro yang hanya cukup diperoleh dari

ASI eksklusif. Di atas 6 bulan bayi mulai membutuhkan makanan

pendamping ASI yang cukup dan berkualitas untuk mencapai pertumbuhan

dan perkembangan yang optimal (Kemenkes RI, 2015).


C. Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting

untuk tumbuh kembang anak. pendidikan yang baik, orang tua dapat

menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan

anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak, medidik dan

sebagainya (Soetjiningsih, 2013).

Orang tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi

dapat melakukan perawatan anak dengan lebih baik dari pada orang tua

dengan pendidikan rendah. Tingkat pendidikan ibu turut menetukan

mudah tidaknya seorang ibu dalam menyerap dan memahami

pengetahuan gizi yang didapatkan, pendidikan diperlukan seseorang

terutama ibu lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam

keluarga dan diharapkan bisa mengambil tindakan yang tepat sesegera

mungkin (Suhardjo, 2003).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Nasikhah dan Margawati (2012) di semarang timur yang menyatakan

bahwa pengetahuan ibu merupakan faktor resiko kejadian stunting pada

anak balita.

Pengetahuan ibu tentang gizi balita sangat penting bagi proses

pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Makanan untuk balita

hendaknya beragam untuk memenuhi kebutuhan tubuh balita akan keenam

zat gizi meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Ibu

perlu bereksperimen dan memerhatikan beberapa hal saat memberi

makanan pada anak. Karena anak balita mulai dapat m enentukan sendiri

makanan apa yang akan dimakan dan dapat menolak makanan yang

diberikan. Oleh karena itu, ibu harus mampu membuat variasi makanan
tanpa mengurangi kandungan gizi pada makanan tersebut agar anak akan

terus tertarik mencoba makanan beragam dengan gizi tinggi sehingga

dapat menunjang tumbuh kembang anak sampai dewasa nanti.

Anak yang mengalami kekurangan gizi pada masa tumbuh

kembangnya maka anak akan me ngalami masalah gizi terutama kejadian

stunting pada anak. Stunting dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi

anak seperti terlambatnyaperkembangan fungsi kognitif sehingga

kerusakan kognitif permanen, sistem kekebalan tubuh melemah, rentan

terhadap penyakit infeksi. Stunting dapat dicegah sejak dini berawal dari

kesadaran keluarga terutama ibu balita. Ibu memiliki peran besar terhadap

kemajuan tumbuh kembang anak balitanya dari stimulasi dan pengasuhan

anak yang tepat, dan mengatur pola asupan gizi seimbang untuk anak

balitanya.

Pengetahuan orang tua tentang gizi membantu memperbaiki status

gizi pada anak untuk mencapai kematangan pertumbuhan. Pada anak

dengan stunting mudah timbul masalah kesehatan baik fisik maupun

psikis. Oleh karena itu, tidak semua anak dapat bertumbuh dan

berkembang sesuai dengan usianya, ada anak yang mengalami hambatan

dan kelainan (Gibney dkk, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Wellem dkk (2014) tentang

hubungan pengeta huan orang tua tentang gizi dengan stunting pada anak

usia 4-5 tahun menunju kkan bahwa kejadian stunting anak dipengaruhi

oleh pengetahuan orang tua terhadap gizi anak balitanya. Pola asupan gizi

anak oleh orang tua akan men unjang pertumbuhan dan perkembangan

anak hingga dewasa. Ini sesuai den gan penelitian Narsikhah dan
Margawati (2012) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan orang tua dengan kejadian stunting pada anak.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Khoirun Dan Nadhiroh (2015) dimana diketahui bahwa ibu balita

stunting sejumlah 21responden (61,8%) memiliki pengetahuan gizi yang

lebih rendah daripada ibubalita normal sejumlah 10 responden (29,4%).

Hasil analisis menunjukkan bahwapengetahuan gizi ibu merupakan faktor

yang berhubungan dengan kejadian stunting padabalita.

D. Pendapatan Rumah Tangga

Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima rumah tangga

dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat.Namun demikian

data pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan

melalui pengeluaran rumah tangga.Pengeluaran rumah tangga dapat

dibedakan menurut pengeluaran makan dan bukan makan, dimana

menggambarkan bagaimana penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah

tangganya.Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan buka makan berkaitan

dengan tingkat pendapatan masyarakat. Di negara yang sedang berkembang,

pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi prioritas utama, dikarenakan

untuk memenuhi kebutuhan gizi (consumption and cost,wiyogowati,2012).

Persentase pengeluaran pangan yang tinggi (≥ 70%) merupakan faktor

yang paling dominan berhubungan dengan kejadian stunting pada anak

balita dengan riwayat berat lahir rendah pada tahun 2010 di Indonesia. Anak

dengan berat lahir rendah dari keluarga dengan persentase pengeluaran

pangan tinggi (≥70%), memiliki peluang 2,48 kali untuk menderita stunting
dibandingkan dengan anak dengan berat lahir rendah dari keluarga dengan

persentase pengeluaran pangan rendah (<50%).

Persentase pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total yang tinggi

(≥70%) menggambarkan ketahanan pangan keluarga yang rendah, artinya

semakin tinggi pengeluaran untuk konsumsi pangan ada kecenderungan

bahwa rumah tangga tersebut miskin dan memiliki tingkat ketahanan

pangan yang rendah. Keluarga yang miskin dan ketahanan pangan keluarga

rendah rentan memiliki anak stunting karena keluarga tidak mampu

mencukupi kebutuhan asupan gizi anak dalam jangka waktu yang lama,

sehingga permasalahan gizi akut ini tidak dapat terhindarkan (Rosha,dkk,

2013).

E. Sanitasi

Sanitasi dasar adalah sarana sanitasi rumah tangga yang meliputi

sarana buang air bersih, sarana pengolahan sampah dan limbah rumah

tangga (Kepmenkes No.852).842.000 orang yang tinggal di negara dengan

pendapatan menegah kebawah meninggal akibat air yang inadekuat, sanitasi

dan hygiene setiap tahunnya. Buruknya sanitasi dipercaya menyebabkan

kematian kurang lebih 280.000 orang. Keuntungan dari sanitasi yang baik

adalah berkurangnya kejadian diare (WHO, 2015).

Adanya hubungan yang signifikan antara kebersihan/hygiene dan

sanitasi lingkungan dengan pertumbuhan panjang badan anak dan kejadian

stunting. Maka dapat dikatakan jika kebersihan/hygiene dan sanitasi

lingkungan baik didalam rumah dan dilingkungan sekitar anak diperhatikan


maka akan memberikan dampak positif pada keadaan status gizi anak

(Renyoet,dkk.2013).

Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup dominan terhadap

kesehatan anak dan tumbuh kembangnya. Kebersihan, baik kebersihan

perorangan maupun lingkungan, memegang peranan yang penting dalam

menimbulkan penyakit. Kebersihan yang kurang dapat menyebabkan anak

sering sakit, misalnya diare, kecacingan, demam tifoid, hepatitis, malaria,

demam berdarah, dan sebagainya.

Praktik higiene yang buruk menimbulkan risiko yang tinggi

munculnya bakteri. Bakteri-bakteri ini lah yang akan masuk ke tubuh anak

melalui makanan yang biasa disajikan di rumah dan dapat berdampak

kepada kesehatan anak tersebut, salah satunya seperti timbulnya penyakit

diare dan dapat menyebabkan anak kehilangan cairan serta sejumlah zat gizi

yang esensial bagi tubuh. Seorang anak yang terkena diare akan mengalami

malabsorbsi zat gizi dan durasi diare yang berlangsung lama akan membuat

anak semakin mengalami kehilangan zat gizi, bila tidak ditindaklanjuti dan

diimbangi dengan asupan yang sesuai maka terjadi gagal tumbuh.

F. kerangka Teori

SD
Lingkungan
SLTP
Faktor BBLR Pendidikan Ibu
Ekonomi
Kondisi Rumah SLTA
Usia Hamil
Pembuangan Sampah Perguruan Tinggi
Jarak Kehamilan
Pembuangan Limbah Ketersediaan Pangan
STUNTING
Kecukupan Gizi
Pendapatan Rumah Tangga
Sanitasi
G. Kerangka Konsep

Berat Badan Lahir Rendah

Tingkat Pendidikan Ibu

Stunting

Pendapatan Rumah Tangga

Sanitasi
H. Hipotesis

Ha: Adanya pengaruh berat badan lahir rendah, pendidikan ibu, pendapatan

rumah tangga, sanitasi dengan kejadian stunting pada balita di wilayah

kerja puskesmas sarudik kecamatan sarudik kabupaten tapanuli tengah

Ho: Tidak adanya pengaruh berat badan lahir rendah, pendidikan ibu,

pendapatan rumah tangga, sanitasi dengan kejadian stunting pada balita

di wilayah kerja puskesmas sarudik kecamatan sarudik kabupaten

tapanuli tengah

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitianyang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional dengan

pendekatan kualitatif menggunakan alat kuesioner.


3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian

a. Waktu

Penelitian dilakukan mulai bulan februari sampai dengan Maret tahun 2020.

b. Tempat

Penelitian dilakukan di wilayah kerja pukesmas sarudik, kecamatan

sarudik, kabupaten tapanuli tengah.

3.3 Populasi Dan Sample

a. Populasi

Seluruh balita yang mengalami stunting dengan jumlah 92 balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Sarudik Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli

Tengah.

b. Sample

yang menjadi sample pada penelitian saya seluruh balita yang mengalami

stunting dengan jumlah 92 balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sarudik Kecamatan

Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukurjan yang

dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompokyang berbeda dengan yang dimiliki

kelompok lain. Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel terikat: Stunting

2. Variabel bebas: faktor bblr, faktor tingkat pendidikan ibu,faktor tingkat

pendapatan keluarga, faktor sanitasi.


3.5 Defenisi Operasional

Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel yang

diamati, perlu sekali variabel-variabel tersebut diberi batasan atau definisi

operasional. Definisi operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada

pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan.

Tabel 1. Defenisi Operasional Variabel

Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Variabel Bebas
Tingkat Pengaakuan responden Kuesioner 1= tingkat pendidikan Nominal
pendidikan ibu tentang pendidikan rendah
terakhir ibu pada saat 2= tingkat pendidikan
awal kehamilan. tinggi
Klasifikasi pendidikan
menjadi pendidikan
rendah apa bila
pendidikan terakhir ibu
maksimal tamat
smp/sederajat Dan
pendidikan tinggi apabila
pendidikan terakhir ibu
minimal tamat
sma/sederajat
Berat badan Berat badan bayi saat Buku KIA 1=BBLR Nominal
lahir pertamakali penimbangan 2=Tidak BBLR
setelah kelahiran yang
didapatkan dari catatan
buku kia. Klasifikasi bblr
apabila bb<2500 gram,
tidak bblrapabila bb≥2500
gram.
Pendapatan Pengakuan responden Kuesioner 1= Pendapatan orang Nominal
orang tua tentang hasil kerja berupa tua rendah
upah yang diperoleh 2= Pendapatan orang
keluarga setiap bulan. tua tinggi
Klasifikasi berdasarkan
UMK kabupaten tepanuli
tengah yaitu 2.830.884.
pendapatan orang tua
rendah apabila
pendapatan <UMK,
pendapatantinggi apabila
pendapatan ≥UMK
Sanitasi Kegiatan masyarakat yang Wawancara, 1. baik Nominal
dilakukan dalam sanitasi Obsevasi 2. kurang baik
keluarga
Hasil observasi terhadap
lingkungan keluarga
Variabel terikat
Kejadian Tinggi badan menurut Micro toice 1= Stunting Nominal
stunting umur (TB/U) z-score 2= Tidak Stunting
kurang dari -2 SD
berdasarkan tabelstandar
antropometri penelitian
status gizi anak MENKES
RI, sehingga balitalebih
pendek dari tinggi yang
seharusnya dariyang
diukur saat penelitian.
Status tinggi badan
stunting apabila ambang
batas (z-score <-2 SD),
status tinggi badan tidak
stunting apabila ambang
batas (z-score ≥-2 SD)

3.6 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1.Data Primer

Wawancara Dan kuesioner kepada ibu balita yang mengalami stunting di

wilayah kerja puskesmas sarudik, kecamatan sarudik, kabupaten tapanuli tengah.

2. Data Sekunder

Datajumlah balita stunting yang ada di wilayah kerja puskesmas sarudik,

kecamatan sarudik, kabupaten tapanuli tengah.

3.7 Pengumpulan Data

1. observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

pengamatan, dengan disertai pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek

sasaran. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan langsung berkaitan dengan

faktor resiko stunting pada balita, yang dilakukan dikecamatan Sarudik kabupaten

Tapanuli Tengah.

2. wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data dengan cara bertanya

langsung (berkomunikasi langsung) dengan responden. Dalam wawancara terdapat

proses interaksi antara pewawancara dengan responden (ibid, hal.92).

wawancara ini ditunjukkan untuk menggali pemahaman mengenai faktor

resiko stunting.melalui wawancara diharapkan peneliti mengenai hal-hal yang

lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi Dan

fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak dapat ditemukan melalui pengamatan

saja.

3. dokumentasi

Teknik dokumentasi dipergunakan untuk melengkapi sekaligus menambah

keakuratan data. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah

tersedia dicatatan dokumen . Fungsinya sebagai pendukung Dan pelengkap bagi

data yang di peroleh dari observasi Dan wawancara.

3.8 Teknik Analisis Data

1. Analisis Univariat, yaitu ingin mengetahui frekuensi msing-masing variabel

2. Analisis Bivariat, yaitu dilakukan dua variabel penelitian yang berhubungan untuk

mendapatkan informasi tentang hubungan variabel independen Dan variabel

dependen bermakna statistik,jenis data variabel independen Dan dependen adalah

kategori makamenggunakan uji statistik chis square.


DAFTAR PUSTAKA

A Wawan dan Dewi M, 2017, Teoridan Pengukuran Pengetahuan, sikap, Dan

Perilaku Manusia .Nuha Medika.yogyakarta

Achadi LA .2012. Seribu Hari Pertama Kehidupan Anak. Disampaikan pada

Seminar Sehari dalam Rangka Hari Gizi Nasional ke 60. FKM UI,

Maret 2012 Depok.

Bishwakarma, R. 2011. Spatial Inequality in Children Nutrition in Nepal:

Implications of RegionalContext and Individual/Household

Composition. (Disertasi, University of Maryland, College Park, United

States). Diakses dari http:// hdl.handle.net/1903/11683

Brinkman HJ, de Pee S, & Sanogo I et al. 2012. High Food Prices and The

Global Financial Crisis Have Reduced Access to Nutritious Food and

Worsened Nutritional Status and Health. J. Nut, 140, 153S— 161S.

Buku saku psg,2016.Hasil Laporan Pemantaun Status Gizi Sumatera Utara.

Fikhar A. 2013. Faktor Determinan KEP pada Anak Usia 6 Bulan-3 Tahun di

Kecamatan Kuranji Kota Padang Tahun 2003. Program Pascasarjana

UI, Jakarta

Kementerian kesehatan RI.2013.. Keputusan menteri kesehatan RI No.

1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian

Status Gizi Anak.

Kemenkes RI (Ed). 2013. Standar Antropometri Penilaian status gizi anak

. Jakarta:Direktorat Bina gizi

Kusmiyati, Syull Adam, S. P. 2014. Hubungan pengetahuan, pendidikan Dan

Pekerjaan Ibu Dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-


ASI) Pada Bayi Di Puskesmas Bahu Kecamatan Malalayang Kota

Manado.Journal, 64-70.

Nasikhah, R dan Margawati , A . (2012) Faktor resiko kejadian stunting pada

balita 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of

Nutrition Colegge , 1(1). Diakses dari http ://www.ejournal –s1.

Undip.ac.id

Notoatmodjo ,Soekidjo. 2012,.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.

Jakarta. RinekaCipta

Putri Anindita , 2012. Hubungan tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan

Perkapita Keluarga, Kecukupan Protein dan Zinc dengan Kejadian

Stunting(pendek)pada Balita usia 6-35 bulan di Kecamatan

Tembalang Kota Semarang.

Rahayu Atikah, dan Laily Khairiyati 2014, Risiko Pendidikan Ibu Terhadap

Kejadian Stunting Pada Anak 6-23 Bulan (Maternal Education As

Risk Factor Sunting Of Child 6-23 Months -Old). Bagian Gizi Prodi

Kesehatan Masyarakat, FK Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru,

Banjarmasin

Supariasa I .D. N., Bakri, B., dan Fajar, I. 2016. Penilaian Status Gizi

( Revisi). Jakarta: Penerbit Buku KedokteranEGC.


DAFTAR PUSTAKA

A Wawan dan Dewi M, 2017, Teoridan Pengukuran Pengetahuan, sikap, Dan

Perilaku Manusia .Nuha Medika.yogyakarta

Achadi LA .2012. Seribu Hari Pertama Kehidupan Anak. Disampaikan pada

Seminar Sehari dalam Rangka Hari Gizi Nasional ke 60. FKM UI,

Maret 2012 Depok.

Bishwakarma, R. 2011. Spatial Inequality in Children Nutrition in Nepal:

Implications of RegionalContext and Individual/Household

Composition. (Disertasi, University of Maryland, College Park, United

States). Diakses dari http:// hdl.handle.net/1903/11683

Brinkman HJ, de Pee S, & Sanogo I et al. 2012. High Food Prices and The

Global Financial Crisis Have Reduced Access to Nutritious Food and

Worsened Nutritional Status and Health. J. Nut, 140, 153S— 161S.

Buku saku psg,2016.Hasil Laporan Pemantaun Status Gizi Sumatera Utara.

Fikhar A. 2013. Faktor Determinan KEP pada Anak Usia 6 Bulan-3 Tahun di

Kecamatan Kuranji Kota Padang Tahun 2003. Program Pascasarjana

UI, Jakarta

Kementerian kesehatan RI.2013.. Keputusan menteri kesehatan RI No.

1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian

Status Gizi Anak.

Kemenkes RI (Ed). 2013. Standar Antropometri Penilaian status gizi anak

. Jakarta:Direktorat Bina gizi

Kusmiyati, Syull Adam, S. P. 2014. Hubungan pengetahuan, pendidikan Dan

Pekerjaan Ibu Dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-

ASI) Pada Bayi Di Puskesmas Bahu Kecamatan Malalayang Kota


Manado.Journal, 64-70.

Nasikhah, R dan Margawati , A . (2012) Faktor resiko kejadian stunting pada

balita 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of

Nutrition Colegge , 1(1). Diakses dari http ://www.ejournal –s1.

Undip.ac.id

Notoatmodjo ,Soekidjo. 2012,.Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.

Jakarta. RinekaCipta

Putri Anindita , 2012. Hubungan tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan

Perkapita Keluarga, Kecukupan Protein dan Zinc dengan Kejadian

Stunting(pendek)pada Balita usia 6-35 bulan di Kecamatan

Tembalang Kota Semarang.

Rahayu Atikah, dan Laily Khairiyati 2014, Risiko Pendidikan Ibu Terhadap

Kejadian Stunting Pada Anak 6-23 Bulan (Maternal Education As

Risk Factor Sunting Of Child 6-23 Months -Old). Bagian Gizi Prodi

Kesehatan Masyarakat, FK Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru,

Banjarmasin

Supariasa I .D. N., Bakri, B., dan Fajar, I. 2016. Penilaian Status Gizi

( Revisi). Jakarta: Penerbit Buku KedokteranEGC.


Kuesiner

1. DataResponden

Petunjuk pengisian :

1. Isilah titik-titik pada tempat yang telahdisediakan

2. Berilah tanda silang (X) pada salah satu nomor yang menjadi

pilihananda. Koderesponden.............(diisi olehpenulis)

Tingkat pendidikan:..……………

(1) SD

(2) SMP /Sederajat

(3) SMA /Sederajat

(4) Diploma/Perguruantinggi

(5) ) Tidak Sekolah

Pendapatan Keluarga perbulanan : Rp.………….

Saitasi:........

Berat badan (BB):..............

Tinggi Badan (TB) :...................

Anda mungkin juga menyukai