Anda di halaman 1dari 107

HYGIENE SANITASI DAN ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA

BAKSO BAKAR YANG DIJUAL DISEKITAR SEKOLAH DASAR DI


KECAMATAN MEDAN BARU KOTA MEDAN
TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh :

NOVYANRI S. SITORUS
NIM. 081000114

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012

Universitas Sumatera Utara


HYGIENE SANITASI DAN ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA
BAKSO BAKAR YANG DIJUAL DISEKITAR SEKOLAH DASAR DI
KECAMATAN MEDAN BARU KOTA MEDAN
TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu


Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:
NOVYANRI S. SITORUS
NIM. 081000114

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2012

Universitas Sumatera Utara


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judul :

HYGIENE SANITASI DAN ANALISA KANDUNGAN BORAKS PADA


BAKSO BAKAR YANG DIJUAL DISEKITAR SEKOLAH DASAR DI
KECAMATAN MEDAN BARU KOTA MEDAN
TAHUN 2012

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

NOVYANRI S. SITORUS
NIM. 081000114

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji


Skripsi Pada Tanggal 10 Juli 2012
Dan Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk

Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH Ir. Evi Naria, MKes


NIP. 194911191987011001 NIP.196803201993032001

Penguji II Penguji III

dr. Taufik Ashar, MKM Ir. Indra Chahaya S, MSi


NIP. 197803312003121001 NIP. 196811011993032005

Medan, Juli 2012


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Dekan,

Dr. Drs. Surya Utama, MS


NIP. 196108311989031001

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah diolesi oleh bumbu-
bumbu seperti margarin, kecap, saos. Tempat jualan bakso bakar yang tidak
terkoordinir dan berpindah-pindah dapat menyebabkan dagangan yang dijual tidak
memenuhi syarat kesehatan. Bakso bakar banyak digemari sebagai makanan jajanan
yang dalam proses pengolahan sampai penyajiannya kemungkinan terdapat bahan
pencemar dan ditambahkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan oleh
pemerintah seperti boraks.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hygine sanitasi
pengolahan dan kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar SD di
Kecamatan Medan Baru.
Jenis penelitian ini adalah survei bersifat deskriptif yaitu dengan melihat
gambaran hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar dan analisa laboratorium untuk
mengetahui kandungan boraks pada bakso bakar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang bakso bakar belum memenuhi
syarat kesehatan karena semuanya tidak melaksanakan seluruh prinsip hygiene
sanitasi mulai dari pemilihan dan penyimpanan bahan baku, pengolahan,
penyimpanan, pengangkutan dan penyajian bakso bakar sesuai dengan Kepmenkes RI
No. 942/Menkes/sk/VII/2003. Secara umum gambaran hygiene sanitasi pedagang
bakso bakar ini berada dalam kategori sedang. 12 sampel bakso bakar yang diperiksa
tidak menagndung boraks sehingga memenuhi syarat kesehatan yang mengacu
kepada Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara
keseluruhan pedagang bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru belum
menerapkan prinsip hygiene sanitasi yang benar. Kandungan boraks pada bakso bakar
telah memenuhi syarat kesehatan menurut Permenkes No.
1168/MENKES/PER/X/1999 , yaitu tidak mengandung boraks. Disarankan kepada
para pedagang bakso bakar agar lebih memperhatikan lagi hygiene sanitasinya. Bagi
pihak SD agar lebih memperhatikan berbagai jenis makanan jajanan yang beredar
disekitar sekolah dasarnya. Bagi BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih
memperketat pengawasan terhadap makanan jajanan khususnya di SD dan juga dapat
melakukan penyuluhan terhadap pedagang makanan.

Kata kunci: hygiene sanitasi, boraks, bakso bakar

Universitas Sumatera Utara


Abstrack

Bakso bakar is the meatball that burned after smeared by spices such us
margarine, ketchup, sauces. Selling places of bakso bakar that are not coordinated
and moving cause the sale of merchandise do not fulfill the health qualification.
Bakso bakar is favorite snack that in the processing until the presentation will likely
added contaminants and food additives that not permitted by government such us
borax .
The purpose of this research is to find out hygiene and sanitation of
processing application and knowing the content of the borax in bakso bakar that sold
at around the Primary Schools in District Medan Baru.
The method of research is descriptive method to see the description of the
hygiene sanitation application in processing bakso bakar and laboratory analysis to
determine the content of borax in bakso bakar.
The results showed that the seller of bakso bakar do not fulfill the health
qualification because all of them have not implemented all the principles of hygiene
sanitation from selecting and storing the raw material, processing, storing,
transporting and presenting bakso bakar according to Kepmenkes RI
942/Menkes/sk/VII/2003. Generally, the description of hygiene sanitation is located
in the medium category. 12 samples of basko bakar are not contains of borax and
fulfill the health requirements that refers to Permenkes RI No.
1168/MENKES/PER/X/1999.
The conclusions from the result of this study is all of seller of bakso bakar
around the Primary School in District Medan Baru have not applied the correct
principles of hygiene sanitation. Content of Borax in bakso bakar has been qualified
according to Permenkes RI No.1168/MENKES/PER/X/1999, that does not contain
borax. The seller of bakso bakar advised to pay attention their hygiene sanitation
anymore. The school also advised to pay attention to the kinds of snack that
circulated around the school. To BPOM and Health Department of Medan City for
controlling the snack especially in Primary School and provide counseling to the
seller of food.

Key words: hygiene sanitation, borax, bakso bakar

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Novyanri Susanty Sitorus

Tempat/Tanggal Lahir : Silombu Toruan/23 Nopember 1990

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Menikah

Anak ke : 7 dari 7 Bersaudara

Alamat Rumah : Silombu Toruan, Desa Lumban Lobu Kecamatan

Bonatua Lunasi, Toba Samosir

Riwayat Pendidikan:

2008 - 2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

2005 - 2008 : Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Balige

2002 - 2005 : Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Lumban Julu

1996 - 2002 : Sekolah Dasar (SD) Negeri No.173660 Lumban Lobu

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang

selalu setia menyertai penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Hanya karena kasihNya

lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ‘’Hygiene Sanitasi dan

Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah

Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012’’. Skripsi ini

merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

(SKM) di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara

(USU).

Tersusunnya skripsi ini, tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan

dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

terima kasih kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan

waktu dan pikiran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis.

3. Ir. Evi Naria MKes, selaku Dosen Pembimbing II dan Ketua Depertemen

Kesehatan Lingkungan yang juga telah banyak meluangkan waktu dan pikiran

serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini.

4. dr. Taufik Ashar, MKM, selaku penguji II skripsi yang telah memberikan saran

dan dukungan untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Ir. Indra Chahaya S, MSi, selaku penguji III skripsi yang telah memberikan

saran dan dukungan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Universitas Sumatera Utara


6. Dr. Drs. R.Kintoko Rochadi, Mkes, selaku pembimbing akademik yang memberi

masukan setiap semester yang penulis lewati.

7. Kepala Camat Kecamatan Medan Baru dan Balitbang yang telah memberikan

izin penelitian

8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dan Staf Kesling Dinkes yang telah

memberi izin penelitian dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

9. Dra. Norma Sinaga selaku pembimbing di Laboratorium Kesehatan Daerah

Medan yang telah membimbing penulis dalam melakukan uji laboratorium dan

memberikan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

10. Para pedagang bakso bakar yang memberikan izin penelitian untuk skripsi ini.

11. Teristimewa kepada mamaku tercinta (S. Butar-Butar) yang tidak pernah bosan

mendoakan penulis, memberikan dukungan moril, materil mendengarkan keluh

kesah penulis dari tangisan pertama penulis sampai selesainya skripsi ini. Buat

abang-abangku tercinta, Bang Alex, Bang Tami (dan keluarga), Bang Erman.

Juga buat kakak-kakakku tercinta : Kak Murni (dan keluarga), Kak Fera (dan

keluarga), Kak Herty (dan keluarga) yang tidak pernah bosan memberikan

perhatian, dukungan moril, materil kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

12. Kelompok Kecilku “Talitakum”: K’Maria, K’Decy, Nadia, Linda, Kristy dan

teman-teman koordinasi POMK FKM’2012,terimakasih buat motivasi & doanya.

13. Komisi peralatan se-USU, Mami Papi Inventaris dan eks Komisi peralatan: Kak

Erik, Windy, Elisabet, Tius, Ramson, Hendrikson, Tomi, Sabam, Herry dan yang

lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya. Terimakasih

Universitas Sumatera Utara


buat perhatian, dukungan dan waktunya menjadi sahabat dan teman sharing bagi

penulis.

14. Harmoni’s girl 67 (Kak Donna, Kak Fretty, Kak Hermina, Windot) yang telah

mendukung, mendoakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

15. Semua teman-teman seperjuangan di FKM stambuk 2008 dan IMAKEL’08:

Febry, Susan, Eka, Neni, Stiphani, Mai, Yossi, Amjah, Caprin, Johannes, Edy,

Mandroy, Merlyn, Ani, Evi, Shinta, Leo, Fitri, Berta, Purna, Iin dan yang lainnya

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya. Tetap semangat ya

kawan-kawan, mari berjuang.

16. Terimakasih buat POMK FKM dan PD MARANATHA yang telah banyak

membentuk pribadi penulis hingga saat ini.

17. Bagi semua pihak yang telah membantu proses penyusunan skripsi ini hingga

selesai.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehinggga

membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya

membangun dalam memperkaya materi skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi

ini dapat menjadi sumbangan berguna bagi kita semua dan juga bagi ilmu

pengetahuan khususnya dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih. Syalom, Tuhan Yesus Memberkati.

Medan, Juli 2012

Novyanri Sitorus

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan..................................................................................................i
Abstrak........................................................................................................................ii
Abstrack.....................................................................................................................iii
Daftar Riwayat Hidup...............................................................................................iv
Kata Pengantar...........................................................................................................v
Daftar Isi...................................................................................................................viii
Daftar Tabel...............................................................................................................xi
Daftar Lampiran......................................................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Perumusan Masalah......................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian..........................................................................................6
1.3.1. Tujuan Umum......................................................................................6
1.3.2. Tujuan Khusus.....................................................................................6
1.4. Manfaat Penelitian........................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................7


2.1. Pengertian Higiene dan Sanitasi Makanan...................................................7
2.2. Pencemaran dan Keamanan Makanan..........................................................7
2.3. Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan............................................................10
2.4. Prinsip Higiene dan Sanitasi Makanan.......................................................11
2.4.1. Pemilihan Bahan Baku Makananan..................................................11
2.4.2. Penyimpanan Bahan Baku Makanan................................................12
2.4.3. Pengolahan Makanan........................................................................15
2.4.4. Pengangkutan Makanan Jadi............................................................18
2.4.5. Penyimpanan Makanan Jadi.............................................................19
2.4.6 Penyajian Makanan Jadi....................................................................21
2.4.7. Perlengkapan/Sarana Penjaja............................................................22
2.5. Pengawasan Makanan Jajanan...................................................................22
2.6. Bahan Tambahan Makanan (BTM)............................................................24
2.6.1. Defenisi Bahan Tambahan Makanan...............................................24
2.6.2. Fungsi Bahan Tambahan Makanan.................................................25
2.6.3. Penggolongan Bahan Tambahan Makanan.....................................26
2.7. Boraks.........................................................................................................31
2.7.1. Pengawet Boraks..............................................................................31
2.7.2. Dampak Boraks Terhadap Kesehatan..............................................32
2.8. Bakso Bakar................................................................................................36
2.8.1. Proses Pembuatan Bakso Bakar......................................................37
2.8.1.1. Bahan Baku Bakso Bakar...................................................37
2.8.1.2. Proses Pembuatan Bakso Bakar.........................................38
2.9. Kerangka Konsep Penelitian......................................................................40
BAB III METODE PENELITIAN..........................................................................41

Universitas Sumatera Utara


3.1. Jenis Penelitian...........................................................................................41
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................41
3.2.1. Lokasi Penelitian..............................................................................41
3.2.2. Waktu Penelitian..............................................................................42
3.3. Populasi dan sampel...................................................................................42
3.3.1. Populasi............................................................................................42
3.3.2. Sampel..............................................................................................42
3.4. Metode Pengumpulan Data........................................................................42
3.4.1. Data Primer.......................................................................................42
3.4.2. Data Sekunder..................................................................................43
3.5. Definisi Operasional...................................................................................43
3.6. Cara pengambilan Sampel..........................................................................45
3.7. Prosedur Kerja Pemeriksaan Boraks secara Kualitatif...............................45
3.8. Aspek Pegukuran........................................................................................46
3.9. Analisa Data...............................................................................................48

BAB IV HASIL PENELITIAN................................................................................50


4.1. Gambaran Umum penelitian.......................................................................50
4.1.1 Geografi..............................................................................................50
4.2. Hasil Penelitian...........................................................................................51
4.2.1. Karakteristik Pedagang Bakso Bakar..............................................51
4.2.2. Enam Prinsip Hygiene Sanitasi pada Pedagang Bakso...................52
4.2.2.1. Pemilihan Bahan Baku Bakso Bakar..................................53
4.2.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Bakso Bakar............................53
4.2.2.3. Pengolahan Bakso Bakar....................................................54
4.2.2.4. Penyimpanan Makanan Jadi...............................................56
4.2.2.5. Pengangkutan Bakso Bakar................................................57
4.2.2.6. Penyajian Bakso Bakar.......................................................59
4.2.2.7. Gambaran Umum Hygiene Sanitasi Bakso Bakar yang
dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru.................60
4.2.3.Hasil Pemeriksaan Boraks...............................................................64
4.2.4. Pengawasan Dinas Kesehatan terhadap Makanan Jajanan di
Kota Medan....................................................................................65

BAB V PEMBAHASAN...........................................................................................68
5.1. Karakteristik Penjual Bakso Bakar.............................................................68
5.1.1. Jenis Kelamin...................................................................................68
5.1.2. Umur.................................................................................................68
5.1.3. Lama Bekerja....................................................................................69
5.2. Observasi Enam Prinsip Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan...................69
5.2.1. Pemilihan Bahan Baku Bakso Bakar................................................69
5.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Bakso Bakar..........................................71
5.2.3. Pengolahan Bakso Bakar..................................................................72
5.2.4. Penyimpanan Makanan Jadi.............................................................77
5.2.5. Pengangkutan Bakso Bakar..............................................................78

Universitas Sumatera Utara


5.2.6. Penyajian Bakso Bakar.....................................................................80
5.2.7. Gambaran Hygiene Sanitasi Bakso Bakar yang dijual disekitar
SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan....................................83
5.3. Kandungan Boraks pada Bakso Bakar.......................................................85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................89


6.1. Kesimpulan.................................................................................................89
6.2.Saran............................................................................................................90

Daftar Pustaka
Lampiran

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Lama Penyimpanan Berdasarkan Jenis Bahan Makanan...........................................13

4.1. Distribusi Pedagang Bakso berdasarkan Umur disekitar SD di


Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012....................................................51

4.2. Distribusi Pedagang Bakso berdasarkan Lamanya Bekerja disekitar SD


Di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012...............................................52

4.3. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Penyimpanan Bahan


Baku..........................................................................................................................53

4.4. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Pengolahan Makanan......................54

4.5. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Penyimpanan Makanan


Jadi.............................................................................................................................57

4.6. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Pengangkutan Bakso


Bakar..........................................................................................................................58

4.7. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Penyimpanan Bakso


Bakar..........................................................................................................................59

4.8. Hasil Rekapitulasi Hygiene Sanitasi Bakso Bakar Yang dijual di Sekitar
SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan.............................................................60

4.9. Distribusi Hygiene Sanitasi Pedagang Bakso Bakar yang dijual disekitar
SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012.........................................61

4.10. Distribusi Kategori Hygiene Sanirasi Pedagang Bakso Bakar yang dijual
Disekitar SD di Kecamatan Medab Baru Kota Medan Tahun 2012..........................64

4.11. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Bakso Bakar yang dijual disekitar SD
di Kecamatan Medan Baru.........................................................................................65

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Observasi Hygiene dan Sanitasi dan Analisa Kandungan


Boraks Pada Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan
Medan Baru Kota Medan tahun 2012

Lampiran 2. Lembar Kuesioner Hygiene dan Sanitasi dan Analisa Kandungan


Boraks Pada Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan
Medan Baru Kota Medan tahun 2012

Lampiran 3. Lembar Kuesioner tentang Pengawasan Dinkes terhadap Makanan


Jajanan disekitar SD di Kecamatan Medan Baru

Lampiran 4. Data Hasil Observasi Hygiene Sanitasi Pedagang Bakso Bakar yang
dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan
Tahun2012

Lampiran 5. Hasil output spss

Lampiran 6. Surat Permohonan Izin Penelitian Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Surat Keterangan Izin Penelitian Dari Kepala Camat Medan Baru

Lampiran 8. Surat Keterangan Izin Penelitian Dari Balitbang

Lampiran 9. Surat Keterangan Izin Penelitian Dari Kantor Kepala Dinas Kesehatan
Kota Medan

Lampiran 10. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Balai Laboratorium
Kesehatan Kota Medan

Lampiran 11. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Boraks dari Balai Laboratorium
Kesehatan Kota Medan

Lampiran 12. Keptusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Sanitasi Makanan
Jajanan

Lampiran 13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.1168/MENKES/PER/X/1999 tentangPerubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan
Tambahan Makanan

Lampiran 14. Dokumentasi Pada Saat Melakukan Penelitian

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah diolesi oleh bumbu-
bumbu seperti margarin, kecap, saos. Tempat jualan bakso bakar yang tidak
terkoordinir dan berpindah-pindah dapat menyebabkan dagangan yang dijual tidak
memenuhi syarat kesehatan. Bakso bakar banyak digemari sebagai makanan jajanan
yang dalam proses pengolahan sampai penyajiannya kemungkinan terdapat bahan
pencemar dan ditambahkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan oleh
pemerintah seperti boraks.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hygine sanitasi
pengolahan dan kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar SD di
Kecamatan Medan Baru.
Jenis penelitian ini adalah survei bersifat deskriptif yaitu dengan melihat
gambaran hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar dan analisa laboratorium untuk
mengetahui kandungan boraks pada bakso bakar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagang bakso bakar belum memenuhi
syarat kesehatan karena semuanya tidak melaksanakan seluruh prinsip hygiene
sanitasi mulai dari pemilihan dan penyimpanan bahan baku, pengolahan,
penyimpanan, pengangkutan dan penyajian bakso bakar sesuai dengan Kepmenkes RI
No. 942/Menkes/sk/VII/2003. Secara umum gambaran hygiene sanitasi pedagang
bakso bakar ini berada dalam kategori sedang. 12 sampel bakso bakar yang diperiksa
tidak menagndung boraks sehingga memenuhi syarat kesehatan yang mengacu
kepada Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara
keseluruhan pedagang bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru belum
menerapkan prinsip hygiene sanitasi yang benar. Kandungan boraks pada bakso bakar
telah memenuhi syarat kesehatan menurut Permenkes No.
1168/MENKES/PER/X/1999 , yaitu tidak mengandung boraks. Disarankan kepada
para pedagang bakso bakar agar lebih memperhatikan lagi hygiene sanitasinya. Bagi
pihak SD agar lebih memperhatikan berbagai jenis makanan jajanan yang beredar
disekitar sekolah dasarnya. Bagi BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih
memperketat pengawasan terhadap makanan jajanan khususnya di SD dan juga dapat
melakukan penyuluhan terhadap pedagang makanan.

Kata kunci: hygiene sanitasi, boraks, bakso bakar

Universitas Sumatera Utara


Abstrack

Bakso bakar is the meatball that burned after smeared by spices such us
margarine, ketchup, sauces. Selling places of bakso bakar that are not coordinated
and moving cause the sale of merchandise do not fulfill the health qualification.
Bakso bakar is favorite snack that in the processing until the presentation will likely
added contaminants and food additives that not permitted by government such us
borax .
The purpose of this research is to find out hygiene and sanitation of
processing application and knowing the content of the borax in bakso bakar that sold
at around the Primary Schools in District Medan Baru.
The method of research is descriptive method to see the description of the
hygiene sanitation application in processing bakso bakar and laboratory analysis to
determine the content of borax in bakso bakar.
The results showed that the seller of bakso bakar do not fulfill the health
qualification because all of them have not implemented all the principles of hygiene
sanitation from selecting and storing the raw material, processing, storing,
transporting and presenting bakso bakar according to Kepmenkes RI
942/Menkes/sk/VII/2003. Generally, the description of hygiene sanitation is located
in the medium category. 12 samples of basko bakar are not contains of borax and
fulfill the health requirements that refers to Permenkes RI No.
1168/MENKES/PER/X/1999.
The conclusions from the result of this study is all of seller of bakso bakar
around the Primary School in District Medan Baru have not applied the correct
principles of hygiene sanitation. Content of Borax in bakso bakar has been qualified
according to Permenkes RI No.1168/MENKES/PER/X/1999, that does not contain
borax. The seller of bakso bakar advised to pay attention their hygiene sanitation
anymore. The school also advised to pay attention to the kinds of snack that
circulated around the school. To BPOM and Health Department of Medan City for
controlling the snack especially in Primary School and provide counseling to the
seller of food.

Key words: hygiene sanitation, borax, bakso bakar

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Makanan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kesehatan

masyarakat. Seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali adalah konsumen makanan itu

sendiri. Faktor-faktor yang menentukan kualitas makanan baik, dapat ditinjau dari

beberapa aspek, diantaranya aspek kelezatan (cita rasa dan flavour) kandungan gizi

dalam makanan dan aspek kesehatan masyarakat.

Dalam Undang – undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 48 disebutkan

bahwa penyelenggaraan dan peningkatan upaya kesehatan dilaksanakan melalui 15

macam kegiatan, salah satu diantaranya adalah pengawasan terhadap pengamanan

makanan dan minuman agar mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Pengamanan terhadap makanan merupakan upaya untuk mengendalikan faktor

makanan, orang, tempat, peralatan dan membebaskan makanan dari zat-zat yang

dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan makanan.

Dalam Undang – undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 109 tentang

pengamanan makanan dan minuman disebutkan bahwa Setiap orang atau badan

hukum yang memproduksi, mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman

yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik

yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan

manusia, dan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara


Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin

makanan ditempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk

dijual bagi umum selain yang disajikan oleh jasa boga, rumah makan/restoran dan

hotel (Depkes, 2003 ). Salah satu makanan jajanan yang saat ini beredar di

masyarakat adalah bakso bakar. Bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah

diolesi oleh bumbu-bumbu seperti kecap dan margarin. Namun, makanan jajanan

mengandung resiko penyebab terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan. Oleh

sebab itu, makanan jajanan yang kita konsumsi haruslah terjaga kebersihan dan

keamanannya. Makanan jajanan yang mengandung resiko ini misalnya adalah adanya

penambahan bahan tambahan makanan (BTM) yang tidak diijinkan seperti boraks.

Walaupun boraks dilarang digunakan di dalam makanan, tetapi ternyata masih

ditemukan dalam beberapa produk makanan seperti mie kuning basah, bakso dan

lontong. Penggunaan boraks sebagai bahan tambahan, selain dimaksudkan untuk

bahan pengawet juga dimaksudkan untuk membuat bahan menjadi kenyal dan

memperbaiki penampilan.

Badan POM secara rutin mengawasi pangan yang beredar di Indonesia untuk

memastikan apakah pangan tersebut memenuhi syarat. Dari hasil analisis sampel

yang dikirimkan oleh beberapa laboratorium Balai POM antara Februari 2001

hingga Mei 2003, dapat disimpulkan bahwa masih ada pangan olahan yang

menggunakan bahan kimia berbahaya seperti boraks. Dari 77 sampel bakso yang

diperiksa terdapat 22% sampel yang mengandung boraks (BPOM RI, 2004).

Di DKI Jakarta ditemukan 26% bakso mengandung boraks baik di swalayan,

pasar tradisional dan pedagang makanan jajanan. Pada pedagang bakso dorongan

Universitas Sumatera Utara


ditemukan 7 dari 13 pedagang menggunakan boraks dengan kandungan boraks antara

0,01 – 0,6 % (Oliveoile, 2008). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Agus Purnomo

tentang boraks pada makanan berupa mie basah, lontong, bakso, pempek dan kerupuk

udang yang diambil secara acak di Pasar SMEP, Tugu, Bambu Kuning, Kampung

Sawah, dan swalayan Bandar Lampung, dari 30 contoh mie basah, 84% positif

mengandung boraks. Dari 9 sampel lontong, 11,1% mengandung boraks, dan dari 13

sampel pempek, 85% juga positif mengandung boraks dari 12 sampel bakso, 7

sampel cincau hitam dan 12 sampel kerupuk undang, 100% positif mengandung

boraks (Nasution, 2009).

Dalam penelitian yang dilakukan tentang Pemeriksaan dan Penetapan Kadar

Boraks dalam Bakso di Kotamadya Medan tahun 2010 didapat bahwa dari 80% dari

sampel yang diperiksa ternyata mengandung boraks dengan kadar boraks yang di

dapat dalam bakso antara 0,08% - 0,29% (Panjaitan, 2010). Penelitian yang

dilakukan oleh Anisyah Nasution tentang Analisa Kandungan Boraks pada Lontong

di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2009, terdapat 62,5% pedagang

lontong di Kelurahan Padang Bulan menjual lontong yang mengandung boraks

(Nasution, 2009).

Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan, pedagang bakso bakar

biasanya menjajakan bakso bakarnya dengan berkeliling pada tempat-tempat yang

strategis dan banyak peminatnya, seperti di pasar tradisional, pinggir jalan raya,

hingga ke sekolah-sekolah. Umunya peminat yang paling banyak adalah anak-anak

sekolah, khususnya anak SD. Harga bakso bakar yang cukup murah dan rasanya yang

enak membuat anak-anak sekolah banyak menggemarinya. Tempat jualan yang tidak

Universitas Sumatera Utara


terkoordinir dan berpindah-pindah ini menyebabkan dagangan yang dijual tidak

memenuhi syarat kesehatan. Dengan keadaan demikian, menyebabkan kemungkinan

besar bakso bakar dapat tercemar. Pencemaran dapat terjadi pada setiap tahapan

produksi yang dilalui, baik pada proses pemilihan bahan baku, penyimpanan bahan

baku, pengolahan, penyimpanan bahan jadi, pengangkutan hingga penyajian.

Pedagang bakso bakar terkadang tidak memperhatikan hygiene sanitasi

dagangannya. Tempat penjualan bakso bakar tidak ditutupi, sehingga

kememungkinkan terkontaminasi dengan udara yang kotor maupun lalat. Selain itu

tekstur bakso bakar yang mereka jual pun sangat kenyal.

Untuk itu dalam pemilihan bahan sampai penyajian bakso bakar seharusnya

memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan KepMenKes No.

942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Sanitasi Makanan Jajanan dan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1168/MENKES/PER/X/1999

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan.

Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian

tentang Hygiene sanitasi dan penggunaan zat kimia yaitu boraks pada bakso bakar

yang dijual di sekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan.

Mengingat bakso bakar merupakan jajanan yang biasa dijual dan banyak disukai oleh

masyarakat, khususnya anak SD.

Universitas Sumatera Utara


1.2. Perumusan Masalah

Bakso bakar banyak digemari sebagai makanan jajanan yang dalam proses

pengolahan sampai penyajiannya kemungkinan terdapat bahan pencemar dan

ditambahkan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan oleh pemerintah seperti

boraks. Maka perlu dilakukan penelitian terhadap hygiene sanitasi bakso bakar

dan ingin mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada bakso bakar tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran hygine sanitasi pengolahan dan kandungan

boraks pada bakso bakar yang dijual di sekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan

Baru Kota Medan Tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hygiene sanitasi pemilihan bahan baku bakso bakar.

2. Untuk mengetahui hygiene sanitasi penyimpanan bahan baku bakso bakar.

3. Untuk mengetahui hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar.

4. Untuk mengetahui hygiene sanitasi penyimpanan bakso bakar.

5. Untuk mengetahui hygiene sanitasi pengangkutan bakso bakar.

6. Untuk mengetahui hygiene sanitasi penyajian bakso bakar.

7. Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada bakso bakar.

Universitas Sumatera Utara


1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi pihak SD dan masyarakat mengenai kebersihan

dan kandungan boraks pada bakso bakar.

2. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan dan BPOM untuk lebih

memperhatikan bahan pengawet berbahaya yang dilarang di Indonesia

seperti boraks pada bakso.

3. Sebagai informasi bagi peneliti lain untuk studi yang lebih mendalam.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hygiene dan Sanitasi

Hygiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi

kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk

melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk kebersihan piring, membuang

bagian makanan yang rusak untuk melindungi kebutuhan makanan secara

keseluruhan (Depkes RI, 2004 ).

Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi

kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk

keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah

agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004). Sanitasi makanan adalah upaya-

upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak

menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia (Mubarak, 2009).

Hygiene dan sanitasi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena erat

kaitannya. Misalnya hygienenya sudah baik karena mau mencuci tangan, tetapi

sanitasinya tidak mendukung karena tidak cukup tersedia air bersih, maka mencucui

tangan tidak sempurna (Depkes RI, 2004).

2.2. Pencemaran dan Keamanan Makanan

Keamanan makanan diartikan sebagai terbebasnya makanan dari zat-zat atau

bahan yang dapat membahayakan kesehatan tubuh tanpa membedakan apakah zat itu

secara alami terdapat dalam bahan makanan yang digunakan atau tercampur secara

Universitas Sumatera Utara


sengaja atau tidak sengaja ke dalam bahan makanan atau makanan jadi

(Moehyi,1992).

Pangan yang tidak baik dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan

foodborne diseases, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengonsumsi pangan

yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen. Penyakit yang

ditimbulkan makanan dapat digolongkan kedalam dua kelompok utama, yaitu infeksi

dan intoksitas. Infeksi apabila setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang

mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksikasi adalah

keracunan yang disebabkan karena mengonsumsi pangan yang mengandung senyawa

beracun (Baliwati, 2002).

Makanan merupakan media yang baik untuk hidup dan berkembangnya

mikroorganisme. Oleh karena itu makanan merupakan media perantara yang baik

bagi penularan berbagai penyakit. Mikroorganisme yang hidup dalam makanan akan

meninggalkan racun, dan apabila makanan yang mengandung racun tersebut dimakan

oleh manusia, maka kesehatannya akan terganggu. Gangguan kesehatan dapat juga

terjadi setelah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh melalui makanan, kemudian

berkembang biak dan menyebabkan terjadinya penyakit. Disamping itu, gangguan

kesehatan juga dapat terjadi karena senyawa kimia dalam makanan. Senyawa kimia

ini dapat berasal dari makanan itu sendiri, tapi dapat juga berasal dari luar. Senyawa

kimia yang berasal dari makanan itu sendiri misalnya adalah asam bongkrek pada

tempe bongkrek, asam sianida pada ubi kayu. Senyawa kimia yang berasal dari luar

misalnya sisa pestisida yang digunakan untuk membunuh hama tanaman

(Moehyi,1992).

Universitas Sumatera Utara


Mikroorganisme yang berbahaya bagi manusia dapat masuk ke dalam

makanan melalui berbagai cara, yaitu sebagai berikut:

1) Mikroorganisme dapat masuk melalui bahan makanan sebelum diolah

atau dimasak. Salmonella, misalnya, sejenis bakteri yang sering terdapat

dalam bahan makanan yang mentah seperti daging ayam dan telur.

2) Mikroorganisme dapat masuk melalui udara ke dalam makanan yang

akan kita makan.

3) Mikroorganisme dapat masuk melalui permukaan berbagai benda.

Misalnya mikroorganisme bisa berasal dari pisau, piring atau gelas yang

kita gunakan, baju atau tangan penjamah yang kurang bersih.

Menurut Moehyi (1992), secara garis besar terdapat tiga hal yang

menyebabkan terjadinya pencemaran makanan sehingga makanan menjadi tidak

aman untuk dikonsumsi:

a. Penanganan makanan tidak dilakukan dengan mengindahkan syarat-syarat

kebersihan.

b. Alat-alat yang digunakan untuk menyiapkan, mengolah, memasak dan

menyajikan makanan tidak dibersihkan sebagaimana mestinya.

c. Makanan dibiarkan terlalu lama di lingkungan yang temperaturnya

memungkinkan berbagai mikroorganisme berkembangbiak.

Universitas Sumatera Utara


2.3. Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan

Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin

makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk

dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel.

Penanganan makanan jajanan adalah kegiatan yang meliputi pengadaan, penerimaan

bahan makanan, pencucian, peracikan, pembuatan, pengubahan bentuk, pewadahan,

penyimpanan, pengangkutan, penyajian makanan atau minuman (Depkes RI, 2003).

Makanan dan minuman termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat

esensial dalam kehidupan manusia karena merupakan satu-satunya sumber energi

manusia, sehingga apapun yang disajikan sebagai makanan dan minuman harus

memenuhi syarat utama, yaitu citra rasa makanan dan keamanan makanan dalam arti

makanan tidak mengandung zat atau mikroorganisme yang dapat mengganggu

kesehatan tubuh (Moehyi, 1992).

Untuk mencegah kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat

mengakibatkan gangguan kesehatan, diperlukan penerapan sanitasi makanan. Sanitasi

yang buruk dapat disebabkan tiga faktor yakni faktor fisik, faktor kimia, dan faktor

mikrobiologi.

Faktor fisik terkait dengan kondisi ruangan yang tidak mendukung

pengamanan makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik, temperatur ruangan

yang panas dan lembab, dan sebagainya. Untuk menghindari kerusakan makanan

yang disebabkan oleh faktor fisik, maka perlu diperhatikan susunan dan kontruksi

dapur serta tempat penyimpanan pangan.

Universitas Sumatera Utara


Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor kimia karena adanya zat-

zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan makanan, obat-

obat penyemprot hama, penggunaan wadah bekas obat-obat pertanian untuk kemasan

makanan dan lain-lain.

Sanitasi makanan yang buruk disebabkan oleh faktor mikrobiologi karena

adanya kontaminan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Akibat buruknya sanitasi

makanan dapat timbul gangguan kesehatan pada orang yang mengonsumsi makanan

tersebut (Sumantri, 2010).

Tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi makanan menurut Mubarak (2009)

antara lain:

1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan.

2. Mencegah penularan wabah penyakit.

3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat.

4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan makanan.

2.4. Prinsip Hygiene dan Sanitasi Makanan

2.4.1. Pemilihan Bahan Makanan

Bahan makanan adalah semua bahan makanan dan minuman baik terolah

maupun tidak, termasuk bahan tambahan makanan dan bahan penolong (Depkes RI,

2003). Semua jenis bahan makanan perlu mendapat perhatian secara fisik serta

kesegarannya terjamin, terutama bahan-bahan makanan yang mudah membusuk atau

rusak seperti daging, ikan susu, telur, makanan dalam kaleng dan buah. Bahan

makanan yang baik kadang kala tidak mudah kita temui, karena jaringan perjalanan

makanan yang begitu panjang dan melalui perdagangan yang begitu luas. Salah satu

Universitas Sumatera Utara


upaya mendapatkan bahan makanan yang baik adalah menghindari penggunaan

bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas (liar) karena kurang dapat

dipertanggungjawabkan secara kualitasnya (Sumantri, 2010).

Persyaratan bahan makanan menurut Kepmenkes RI No.

942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi

Makanan Jajanan adalah sebagai berikut:

1) Semua bahan yang diolah menjadi makanan jajanan harus dalam keadaan

baik mutunya, segar dan tidak busuk.

2) Semua bahan olahan dalam kemasan yang diolah menjadi makanan

jajanan harus bahan olahan yang terdaftar di Departemen Kesehatan,

tidak kadaluwarsa, tidak cacat atau tidak rusak.

3) Penggunaan bahan tambahan makanan dan bahan penolong yang

digunakan dalam mengolah makanan jajanan harus sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

4) Bahan makanan, serta bahan tambahan makanan dan bahan penolong

makanan jajanan siap saji harus disimpan secara terpisah.

5) Bahan makanan yang cepat rusak atau cepat membusuk harus disimpan

dalam wadah terpisah.

2.4.2. Penyimpanan Bahan Baku Makanan

Tidak semua bahan makanan yang tersedia langsung dikonsumsi oleh

masyarakat. Bahan makanan yang tidak segera diolah terutama untuk katering dan

penyelenggaraan Rumah Sakit perlu penyimpanan yang baik, mengingat sifat bahan

bahan makanan yang berbeda-beda dan dapat membusuk, sehingga kualitasnya

Universitas Sumatera Utara


terjaga. Cara penyimpanan yang memenuhi syarat hygiene sanitasi makanan menurut

Sumantri (2010) adalah sebagai berikut:

a) Penyimpanan harus dilakukan ditempat khusus (gudang) yang bersih dan

memenuhi syarat.

b) Barang-barang agar disusun dengan baik sehingga mudah diambil, tidak

memberi kesempatan serangga atau tikus untuk bersarang, terhindar dari

lalat/tikus dan untuk produk yang mudah busuk atau rusak agar disimpan

pada suhu yang dingin.

Penyimpanan bahan makanan yang tidak baik, terutama dalam jumlah yang

banyak, (untuk katering dan jasa boga ) dapat menyebabkan kerusakan bahan

makanan tersebut. Adapun tata cara penyimpanan bahan makanan yang baik adalah

sebagai berikut :

1. Suhu Penyimpanan yang Baik

Menurut Permenkes RI No. 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Hygiene

Sanitasi Jasa Boga, penyimpanan bahan makanan mentah dilakukan dalam suhu

sebagai berikut:

Tabel 2.1. Lama Penyimpanan Berdasarkan Jenis Bahan Makanan

Lama Penyimpanan
Jenis Bahan Makanan < 3 Hari < 1 Minggu >1 Minggu
Daging, ikan, udang dan
-5°C s/d 0°C -10 s/d 5°C > -10°C
olahannya
Telur, susu dan olahannya -5°C s/d 7°C -5°C s/d 0°C > -5°C
Sayur, buah dan minuman 10°C 10°C 10°C
Tepung dan biji 25°C atau 25°C atau suhu 25°C atau
suhu ruang ruang suhu ruang
Sumber: Depkes RI, Permenkes No. 1096/MENKES/PER/VI/2011

Universitas Sumatera Utara


Makanan yang disimpan di tempat yang agak dingin, sekitar 5-10°C,

mikroorganisme masih dapat berkembang biak. Menyimpan makanan dalam freezer

sama sekali tidak membunuh bakteri. Apabila makanan dikeluarkan dari dalam

freezer dan temperatur menjadi tinggi, maka bakteri akan mulai memperbanyak diri

kembali. Bakteri baru berhenti tumbuh apabila makanan disimpan pada temperatur

dibawah 3°C (Moehyi, 1992).

2. Cara Penyimpanan

Penyimpanan bahan makanan dilakukan untuk menghindari :

1) Tercemar bakteri karena alam atau perlakukan manusia.

2) Kerusakan mekanisme seperti gesekan, tekanan, benturan dan lain-

lain.

Bahan mentah harus terpisah dari makanan siap santap. Makanan yang berbau

tajam harus ditutup dalam kantong plastik yang rapat dan dipisahkan dari makanan

lain, kalau mungkin dalam lemari yang berbeda, kalau tidak letaknya harus

berjauhan. Makanan yang disimpan tidak lebih dari dua atau tiga hari harus sudah

digunakan. Lemari tidak boleh terlalu sering dibuka, maka dianjurkan lemari untuk

keperluan sehari-hari dipisahkan dengan lemari untuk keperluan penyimpanan

makanan.

Penyimpanan untuk makanan kering adalah sebagai berikut:

a. Suhu cukup sejuk, udara kering dengan ventilasi yang baik.

b. Ruangan bersih, kering, lantai dan dinding tidak lembab.

c. Rak-rak berjarak minimal 15 cm dari dinding lantai dan 60 cm dari

langit-langit.

Universitas Sumatera Utara


d. Rak mudah dibersihkan dan dipindahkan.

Penempatan dan pengambilan barang diatur dengan sistem FIFO (first in first

out), artinya makanan yang masuk terlebih dahulu harus dikeluarkan lebih dahulu.

Setiap barang yang yang dibeli harus dicatat dan diterima oleh bagian gudang untuk

ketertiban administrasinya. Setiap jenis makanan mempunyai kartu stok, sehingga

bila terjadi kekurangan barang dapat segera diketahui (Sumantri, 2010).

Ada empat cara penyimpanan makanan yang sesuai dengan suhunya, yaitu:

1) Penyimpanan sejuk (cooling), yaitu suhu penyimpanan 10°C - 15°C untuk

jenis minuman, buah dan sayuran.

2) Penyimpanan dingin (chilling), yaitu suhu penyimpanan antara 4°C-10°C

untuk bahan makanan yang berpotensi yang akan segera di olah kembali.

3) Penyimpanan dingin sekali (freezing), yaitu suhu penyimpanan 0°C – 4 °C

untuk bahan berpotensi yang mudah rusak untuk jangka waktu sampai 24

jam.

4) Penyimpanan beku (frozen), yaitu suhu penyimpanan <0°C untuk bahan

makanan proten yang mudah rusak untuk jangka waktu >24 jam.

2.4.3. Pengolahan Makanan

Pada proses atau cara pengolahan makanan, menurut Sumantri (2008) ada tiga

hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:

a. Tempat pengolahan makanan

Tempat pengolahan makanan adalah suatu tempat dimana makanan diolah.

Tempat pengolahan makanan mempunyai peranan penting dalam proses

pengolahan makanan, karena itu kebersihan dapur dan lingkungan sekitarnya

Universitas Sumatera Utara


harus selalu dijaga dan diperhatikan. Dapur yang baik harus memenuhi

persyaratan sanitasi.

b. Tenaga pengolah makanan/penjamah makanan

Penjamah makanan menurut Depkes RI (2006) adalah orang yang secara

langsung berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap

persiapan, pembersihan, pengolahan, pengangkutan sampai penyajian.

Dalam proses pengolahan makanan, peran dari penjamah makanan sangatlah

besar peranannya. Penjamah makanan ini mempunyai peluang untuk

menularkan penyakit. Banyak infeksi yang ditularkan melalui penjamah

makanan, antara lain Staphylococcus aureus ditularkan melalui hidung dan

tenggorokan, kuman Clostridium perfringens, Streptococcus, Salmonella

dapat ditularkan melalui kulit. Oleh karena itu, penjamah makanan harus

selalu dalam keadaan sehat dan terampil.

c. Cara pengolahan makanan

Cara pengolahan yang baik adalah tidak terjadinya kerusakan-kerusakan

makanan sebagai akibat cara pengolahan yang salah dan mengikuti kaidah

atau prinsip-prinsip hygiene dn sanitasi yang baik atau disebut GMP (good

manufacturing practice)

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi

Makanan Jajanan, penjamah makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan

penanganan makanan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain:

Universitas Sumatera Utara


a. Tidak menderita penyakit mudah menular misal : batuk, pilek, influenza,

diare, penyakit perut sejenisnya.

b. Menutup luka (pada luka terbuka/ bisul atau luka lainnya).

c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku, dan pakaian

d. Memakai celemek, dan tutup kepala.

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

f. Menjamah makanan harus memakai alat/ perlengkapan, atau dengan alas

tangan.

g. Tidak sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung,

mulut atau bagian lainnya).

h. Tidak batuk atau bersin di hadapan makanan jajanan yang disajikan dan

atau tanpa menutup mulut atau hidung.

Sedangkan persyaratan untuk peralatan yang digunakan untuk mengolah

makanan adalah sebagai berikut:

a. Peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan makanan

jajanan harus sesuai dengan peruntukannya dan memenuhi persyaratan

hygiene sanitasi.

b. Untuk menjaga peralatan, maka peralatan yang sudah dipakai dicuci

dengan air bersih dan dengan sabun, lalu dikeringkan dengan alat

pengering/lap yang bersih kemudian peralatan yang sudah bersih

tersebut disimpan di tempat yang bebas pencemaran.

c. Dilarang menggunakan kembali peralatan yang dirancang hanya untuk

sekali pakai.

Universitas Sumatera Utara


2.4.4. Pengangkutan Makanan Jadi

Pengangkutan makanan dari tempat pengolahan ke tempat penyajian atau

penyimpanan perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi kontaminasi baik dari

serangga, debu maupun bakteri. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat dan tidak

tidak berkarat atau bocor. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya

dalam keadaan panas 60°C atau tetap dingin 4°C (Sumantri, 2010).

Menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Makanan jajanan yang diangkut,

harus dalam keadaan tertutup atau terbungkus dan dalam wadah yang bersih.

Makanan jajanan yang diangkut juga harus dalam wadah yang terpisah dengan bahan

mentah sehingga terlindung dari pencemaran.

Makanan siap santap lebih rawan terhadap pencemaran sehingga perlu hati-

hati. Sehingga dalam prinsip pengangkutan makanan siap santap perlu diperhatikan

hal berikut:

1. Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing.

2. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat, dan ukurannya memadai dengan

makanan yang ditempatkan dan terbuat dari bahan anti karat atau bocor.

3. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya agar tetap panas

60°C atau tetap dingin 4°C.

4. Wadah selama dalam perjalanan tidak boleh selalu dibuka dan tetap dalam

keadaan tertutup sampai di tempat penyajian.

5. Kendaraan pengangkut disediakan khusus dan tidak digunakan untuk

keperluan mengangkut bahan lain.

Universitas Sumatera Utara


2.4.5. Penyimpanan Makanan Jadi

Penyimpanan makanan masak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tempat

penyimpanan makanan pada suhu biasa dan tempat penyimpanan pada suhu dingin.

Makanan yang mudah membusuk sebaiknya disimpan pada suhu dingin yaitu < 4°C.

Untuk makanan yang disajikan lebih dari 6 jam, disimpan dalam suhu -5 s/d -10°C

(Sumantri, 2010).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan makanan matang

menurut Sumantri (2010) adalah sebagai berikut:

a. Makanan yang disajikan panas harus tetap disimpan dalam suhu di

atas 60°C.

b. Makanan yang akan disajikan dingin disimpan dalam suhu dibawah

4°C.

c. Makanan yang disajikan dalam kondisi panas yang disimpan dengan

suhu dibawah 4°C. harus dipanaskan kembali sampai 60°C sebelum

disajikan.

d. Suhu makanan yang diangkut dari tempat pengolahan ke tempat

penyajian harus dipertahankan.

e. Makanan yang akan disajikan lebih dari 6 jam dari waktu pengolahan

harus diatur suhunya pada suhu dibawah 4°C atau dalam keaadaan

beku 0°C.

f. Makanan yang akan disajikan kurang dari enam jam dapat diatur

suhunya dengan suhu kamar asal makanan segera dikonsumsi dan

tidak menunggu.

Universitas Sumatera Utara


g. Pemanasan kembali makanan beku (reheating) dengan pemanasan

biasa atau microwave sampai suhu stabil terendah 60°C.

h. Hindari suhu makanan berada pada suhu antara 24 °C sampai 60°C

karena pada suhu tersebut merupakan suhu terbaik untuk pertumbuhan

bakteri patogen dan puncak optimalnya pada suhu 37°C.

i. Makanan matang yang akan disajikan jauh dari tempat pengolahan

makanan, memerlukan pengangkutan yang baik agar kualitas makanan

tersebut tetap terjaga. Prinsip pengangkutan makanan matang/siap saji.

j. Setiap makanan mempunyai wadah masing-masing. Isi makanan tidak

terlampau penuh untuk mencegah tumpah. Wadah harus mempunyai

tutup yang rapat dan tersedia lubang hawa (ventilasi) untuk makanan

panas. Uap makanan harus dibiarkan terbuang agar tidak terjadi

kondensasi. Air uap kondensasi merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri sehingga makanan cepat basi.

k. Wadah yang digunakan harus utuh, kuat dan ukurannya memadai

dengan makanan yang ditempatkan dan tidak berkarat atau bocor.

l. Pengangkutan untuk waktu yang lama harus diatur suhunya dalam

keadaan tetap panas 60°C atau tetap dingin 4°C.

m. Wadah selama perjalanan tidak dibuka sampai tempat penyajian.

n. Kendaraan pengangkut disediakan khusus dan tidak bercampur dengan

keperluan mengangkut bahan lain.

Universitas Sumatera Utara


2.4.6. Penyajian Makanan Jadi

Saat penyajian makanan yang perlu diperhatikan adalah agar makanan

tersebut terhindar dari pencemaran, peralatan yang digunakan dalam kondisi baik dan

bersih, petugas yang menyajikan harus sopan serta senantiasa menjaga kesehatan dan

kebersihan pakaiannya.

Penyajian makanan merupakan salah satu pinsip dari hygiene dan sanitasi

makanan. Penyajian nakanan yang tidak baik dan etis, bukan saja dapat mengurangi

selera makan seseorang tetapi dapat juga menjadi penyebab kontaminasi terhadap

bakteri (Sumantri, 2010).

Menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, persyaratan untuk penyajian

makanan adalah sebagai berikut:

a. Makanan jajanan yang disajikan harus dengan tempat/alat perlengkapan yang

bersih, dan aman bagi kesehatan.

b. Makanan jajanan yang dijajakan harus dalam keadaan terbungkus dan atau

tertutup.

c. Pembungkus yang digunakan dan atau tutup makanan jajanan harus dalam

keadaan bersih dan tidak mencemari makanan.

d. Pembungkus makanan tersebut dilarang ditiup.

e. Makanan jajanan yang siap disajikan dan telah lebih dari 6 jam apabila masih

dalam keadaan baik, harus diolah kembali sebelum disajikan.

f. Makanan jajanan yang dijajakan dengan sarana penjaja konstruksinya harus

dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi makanan dari pencemaran.

Universitas Sumatera Utara


g. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain:

1) Mudah dibersihkan.

2) Tersedia tempat untuk air bersih, penyimpanan bahan makanan,

penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan peralatan,

tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), tempat sampah.

h. Pada waktu menjajakan makanan harus terlindungi dari debu dan pencemaran.

2.4.7. Perlengkapan/Sarana Penjaja

Untuk meningkatkan mutu dan hygiene sanitasi makanan jajanan disarankan

menggunakan perlengkapan/sarana penjaja yang juga memenuhi syarat kesehatan.

Makanan jajanan yang dijajakan dengan sarana penjaja konstruksinya harus dibuat

sedemikian rupa sehingga dapat melindungi makanan dari pencemaran, antara lain

(Depkes RI, 2003):

1. Mudah dibersihkan.

2. Harus terlindung dari debu dan pencemaran.

3. Tersedia tempat untuk:

a. Air bersih.

b. Penyimpanan bahan makanan.

c. Penyimpanan makanan jadi/siap disajikan.

d. Penyimpanan peralatan.

e. Tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan).

2.5. Pengawasan Makanan Jajanan

Pengawasan sentra makanan jajanan dilaksanakan dengan inspeksi sanitasi

secara berkala dan penerapan HACCP secara bertahap oleh Dinas Kesehatan

Universitas Sumatera Utara


Kabupaten/Kota setempat. Inspeksi sanitasi dapat dilaksanakan dengan pengujian

contoh sampel makanan dan spesimen di laboratorium untuk penegasan/konfirmasi

yang dilaksanakan sesuai kebutuhan.

Contoh makanan dan spesimen yang dikirim langsung oleh Penanggung

jawab Sentra Pedagang makanan jajanan dapat dilayani bila pengambilannya

dilakukan sesuai dengan persyaratan pengambilan contoh makanan dan spesimen.

Hasil pemeriksaan dikirim kepada pengirim dengan tembusan kepada Dinas

Kesehatan setempat untuk keperluan pemantauan/ pengawasan.

Biaya pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan contoh makanan dan

spesimen yang dilakukan secara rutin menjadi tanggung jawab pedagang makanan

jajanan yang bersangkutan. Biaya pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan

contoh makanan dan spesimen dalam rangka uji petik ditanggung oleh Pusat, Propinsi

dan atau Pemerintah daerah.

Laporan hasil inspeksi sanitasi dikirim kepada Bupati/Walikota dan tembusan

ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Direktorat

Penyehatan Air dan Sanitasi Ditjen PPM & PL Depkes RI dengan periode 3 (tiga)

bulan sekali.

Sentra makanan jajanan yang telah memenuhi syarat dan menerapkan HACCP

dapat diberikan penghargaan (Depkes RI, 2003).

Universitas Sumatera Utara


2.6. Bahan Tambahan Makanan (BTM)

2.6.1. Defenisi Bahan Tambahan Makanan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan, Bahan

tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai

makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau

tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan

untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan,

pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2008).

Suatu laporan dari Komite gabungan ahli FAO (Food Agriculture

Organization) dan WHO (World Health Organizaton) di roma pada tahun 1956

mendefenisikan zat aditif bahan pangan sebagai substansi bukan gizi yang

ditambahkan ke dalam bahan pangan dengan sengaja, yang pada umumnya dalam

jumlah kecil, untuk memperbaiki kenampakan, citra rasa, tekstur atau sifat-sifat

penyimpanannya. Substansi yang ditambahkan terutama yang mempunyai nilai gizi

seperti vitamin A dan mineral tidak dimasukkan kedalam golongan ini.

Di Amerika Serikat, Food Protection Comittee dari National Academy of

Sciences mendefenisikan zat aditif bahan pangan sebagai suatu substansi atau

campuran substansi yang berbeda dengan bahan pangan dasar, yang ada dalam bahan

pangan sebagai hasil dari setiap aspek produksi, pengolahan, penyimpanan atau

pengemasan. Istilah ini tidak mencakup kontaminan (Desrosier, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.6.2. Fungsi Bahan Tambahan Makanan

Bahan tambahan makanan (BTM) digunakan untuk mendapatkan pengaruh

tertentu misalnya untuk memperbaiki tekstur, rasa dan penampilan dan

memperpanjang daya simpan. Namun, penggunaan bahan tambahan pangan dapat

merugikan kesehatan (Baliwati, dkk, 2004).

Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi pangan perlu

diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak

penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Kebijakan

keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient)

merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional (Cahyadi, 2008).

Menurut Cahyadi (2008), bahan tambahan pangan yang digunakan hanya

dapat dibenarkan apabila:

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam

pengolahan.

2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah

atau yang tidak memenuhi persyaratan.

3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan

dengan cara produksi yang baik untuk pangan.

4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.

Universitas Sumatera Utara


2.6.3. Penggolongan Bahan Tambahan Makanan

Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan

besar (Cahyadi, 2008):

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam

makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud

penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, citra rasa, dan

membantu pengolahan. Sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras.

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang

tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak

sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan

selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula

berupa residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk

tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya masih terus terbawa ke

dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan

dalam golongan ini adalah residu pestisida (termasuk insektisida, herbisida,

fungisida dan rodentisida), antibiotik dan hidrokarbon aromatik polisiklis.

Bahan tambahan pangan yang diijinkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.772/MenKes/Per/IX/88, terdiri dari (Cahyadi, 2008):

1. Antioksidan (antioxidant)

Merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi di dalam bahan.

Antioksidan terutama penting dalam melindungi lemak, minyak dan bagian

lemak dari pangan. Antioksidan yang diizinkan antara lain propil gallat, butil

hidroksitoluen, etoksiquin butil hidroksilanisol atau BHA (antioksidan

Universitas Sumatera Utara


sintetik), asam askorbat, asam eritrobat, askorbil stearat, butil hidrokinon

tersier,dilauril tiodipropionat, timah II klorida, alpa tokoferol campuran pekat.

2. Antikempal (anticaking agent)

Antikempal adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah

mengempalnya pangan berupa serbuk juga mencegah mengempalnya pangan

yang berupa tepung. Antikempal merupakan senyawa anhydrous yang dapat

menyerap air tanpa basah.

3. Pengatur keasaman (acidity regulator)

Merupakan senyawa kimia yang dapat mengasamkan, menetralkan dan

mempertahankan derajad keasaman. Sifat asam senyawa ini dapat mencegah

pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Pengelompokan

pengatur keasaman adalah pengasaman (asam asetat, asam suksinat, asam

tartrat, asam malat dan lain-lain), basa/penetral (natruim bikarbonat, natrium

hidroksida, amonium bikarbonat), penetral (asam-asam lemak jenuh, asam-

asam lemak tak jenuh).

4. Pemanis buatan (artificial sweeterner)

Merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat membantu

mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut sedangkan kalori yang

dihasilkannya jauh lebih rendah daripada gula. Pemanis terdiri dari pemanis

alami ( sukrosa, laktosa, maltosadan lain-lain) dan pemanis buatan (sakarin,

siklamat, aspartam, dulsin, sorbitol sintetis, nitro-propoksi-anilin.

Universitas Sumatera Utara


5. Pemutih dan pematang tepung (flour treatment agent)

Merupakan bahan tambahan pangan yang seringkali digunakan pada bahan

tepung dan produk olahannya dengan maksud karakteristik warna putih yang

merupakan ciri khas tepung yang bermutu baik tetap terjaga. Penambahan

bahan pemutih dan pematang tepung diharapkan dapat mempercepat proses

pematangan dan untuk mendorong pengembangan adonan.

6. Pengemulsi, pemantap dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener)

Pengemulsi adalah suatu bahan yang dapat mengurangi kecepatan tegangan

permukaan dan tegangan antara dua fase yang dalam keadaan normal tidak

saling melarutkan, menjadi dapat bercampur dan selanjutnya membentuk

emulsi. Tujuan dari pengemulsi ini adalah untuk mengurangi tegangan

permukaan antara minyak dan air, sedikit mengubah sifat-sifat tekstur

teknologi produk pangan dan untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang

bahan utamanya lemak.

7. Pengawet (preservative)

Umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat

mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses

fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.

Pengawet yang sering digunakan adalah benzoat (dalam bentuk natrium

benzoat atau kalium benzoat). Pengawet terbagi dua yaitu zat pengawet

anorganik (sulfit, hidrogen peroksida, nitrat nitrit) dan zat pengawet Organik

(asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat dan epoksida).

Universitas Sumatera Utara


8. Pengeras (firming agent)

Bahan pengeras sering digunakan untuk memperkeras atau mencegah

melunaknya pangan. Contohnya adalah senyawa kapur untuk memperkeras

produk kripik.

9. Pewarna (colour)

Ada dua jenis zat pewarna yaitu pewarna alami (karotenoid, riboflavin dan

kobalamin, dll) dan zat pewarna sintetis. Zat pewarna sintetis yang diizinkan

yaitu amaran, biru berrlian, eritrosin, hijau FCF, hijau S, Indigotin, ponceau

4R, kuning, kuinelin, kuning FCF, riboflavina, tartrazine. Sedangkan zat

warna yang dilarang adalah rhodamin B, methanyl yellow, amaranth.

10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enchance )

Merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah atau

mempertegas rasa dan aroma.

11. Sekuestran (sequestrant)

Bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam yang ada pada

makanan sehingga mencegah terjadinya oksidasi yang dapat menimbulkan

perubahan warna dan aroma. Biasa ditambahkan pada produk lemak dan

minyak atau produk yang mengandung lemak atau minyak seperti daging dan

ikan. Contoh: asam folat dan garamnya.

Beberapa BTM yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut Permenkes

RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/Menkes/ PER / X / 1999 adalah:

1. Natrium tetraborat (boraks)

Universitas Sumatera Utara


2. Formalin (formaldehyde)

Formalin sering sekali digunakan sebagai pengawet pada susu, tahu, mie, ikan

asin, ikan basa dan produk pangan lainnya. Formaldehid sangat berbahaya

bagi manusia. Dapat menyebabkan iritasi lambung, alergi, kanker bahkan

kematian.

3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils)

4. Kloramfenikol (chlorampenicol)

Memiliki rumus kimia C11H12C12N2O5, sering ditambahkan pada air susu

untuk mematikan mikroba pengurai pada susu.

5. Kalium klorat ( potassium chlorate)

Memiliki rumus kimia KClO3, sering digunakan sebagai pengawet. Dalam

jumlah besar dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan, gangguan

pada fungsi ginjal.

6. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate)

Penggunaan DEPC sebagai antimikroba (jamur, ragi, bakteri) pada produk-

produk minuman ringan (nonkarbonasi), minuman sari buah, dan minuman

hasil fermentasi. Pada hasil penelitian, DEPC dapat mengakibatkan

penyusutan berat badan dalam waktu empat minggu pada tikus, iritasi pada

mata dan hidung serta diikuti pusing-pusing pada tikus dan babi.

7. Nitrofuranzon ( nitrofuranzone)

Dengan rumus C6H6N4010, sering digunakan pada pakan ternak dengan sifat

kimiawi berwarna kuning, pahit. Dalam percobaan pada tikus, daoat

menyebabkan skin lession pada kulit serta infeksi pada kandung kemih.

Universitas Sumatera Utara


8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenylurea)

Dulsin dalam bahan pangan digunakan sebagai penggabti sukrosa bagi orang

yang perlu diet. Konsumsi dulsin yang berlebih dapat menyebabkan kematian.

9. Asam salisitat dan garamnya (salicylic acid and its salt)

Rumus kimia C6H6O7, digunakan sebagai aroma penguat rasa. Pada

pemberian peroral. Asam salisitat dapat menimbulkan gangguan epigastrik,

pusing, berkeringat, mual dan muntah. Dalam jumlah besar dapat

menimbulkan pendarahan lambung.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

1168/Menkes/PER/X/1999 selain bahan tambahan diatas, masih ada tambahan kimia

yang dilarang, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna

kuning) , dulsin (pemanis sintesis) dan potassium bromat (pengeras) (Cahyadi, 2008).

2.7. Boraks

2.7.1. Pengawet Boraks

Boraks adalah senyawa dengan nama kimia natrium tetraborat (NaB4O7)

berbentuk padat dan jika terlarut dalam air akan menjadi natrium hidroksida dan asam

borat (H3BO3). Boraks atau asam borat mempunyai sifat antiseptik sehingga bisa

digunakan dalam obat-obatan seperti salep, bedak, larutan kompres dan obat-obatan

lain (Baliwati, dkk, 2004). Komposisi dan bentuk asam borat mengandung 99% dan

100,5% H3BO3. Mempunyai bobot molekul 61,83 dengan B= 17,50% ; H= 4,88% ;

O= 77,62% berbentuk serbuk kristal transparan atau granul putih tak berwarna dan

tak berbau serta agak manis (Cahyadi, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Senyawa asam borat menurut Cahyadi (2008) mempunyai sifat-sifat kimia

sebagai berikut :

1. Titik lebur sekitar 171°C.

2. Larut dalam 18 bagian air dingin , 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol.

3. Tidak larut dalam eter.

4. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat,

atau asam tartrat.

5. Mudah menguap dengan dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul

airnya pada suhu 100 °C yang secara perlahan berubah menjadi asam

metaborat (HBO2).

6. Asam borat merupakan asam lemah dan garam alkalinya bersifat basa.

7. Satu gram asam borat larut sempurna dalam 30 bagian air, menghasilkan

larutan yang jernih dan tidak berwarna.

8. Asam borat tidak tercampur dengan alkali karbamat dan hidroksida.

9. Asam borat berbentuk kristal berwarna putih.

2.7.2. Dampak Boraks Bagi Kesehatan

Boraks atau yang sering disebut asam borat, natrium tetraborat atau sodium

borat, sebenarnya merupakan pembersih, fungisida, herbisida dan insektisida yang

bersifat toksik atau beracun untuk manusia (Yuliarti, 2007).

Jika suatu objek biologi berkontak dengan suatu zat, maka hanya dapat terjadi

efek toksik setelah absorbsi zat tersebut. Umumnya hanya zat yang dalam bentuk

terlarut yang dapat diabsorbsi (Ariens, dkk, 1986). Suatu zat kimia akan

menyebabkan kerusakan bila diserap oleh organisme tersebut. Adsorbsi zat kimia

Universitas Sumatera Utara


dapat terjadi melalui saluran cerna, kulit, paru-paru dan beberapa jalur lain. Sifat dan

hebatnya efek zat kimia terhadap organisme tergantung dari kadarnya di organ

sasaran. Agar dapat diserap, didistribusi dan akhirnya dikeluarkan, suatu toksikan

harus melewati sejumlah membran sel (Lu, 1995).

Semua zat kimia yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perlakuan

tertentu atau mengalami proses metabolisme. Pada umumnya metabolisme itu

melakukan transformasi agar zat kimia lebih mudah diekskresikan lewat ginjal.

Akibat dari metabolisme ini adalah kemungkinan zat kimia akan

diakumulasikan/disimpan di dalam tubuh, dikeluarkan/diekskresikan dan mengalami

perubahan biokimia (Soemirat, 2005).

Ketika suatu zat kimia masuk ke dalam tubuh, maka zat tersebut akan

mengalami beberapa proses dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme dan

ekskresi. Ketika zat kimia misalnya boraks masuk ke dalam tubuh melalui makanan

yang dimakan (oral), maka tubuh akan melakukan proses metabolisme zat kimia

tersebut. Lambung akan lebih mudah menyerapnya karena merupakan asam lemah.

Dalam dosis tertentu dapat menyebabkan mual, muntah-muntah dan diare. Di dalam

usus, asam lemah tidak mudah diserap karena akan berada dalam bentuk ion. Setelah

diserap lambung, toksikan akan dibawa oleh vena porta hati ke hati.

Ketika sampai di darah, toksikan (boraks) akan didistribusi dengan cepat

keseluruh tubuh dan akan melalui dinding kapiler darah. Dalam dosis tertentu dapat

mengganggu kemampuan transport darah ke otak sehingga dapat menyebabkan

pusing-pusing, sakit kepala dan lemah.

Universitas Sumatera Utara


Zat kimia yang telah diabsorbsi ke dalam darah akan langsung dialirkan ke

hati. Di hati, toksikan tersebut akan diikat. Kadar enzim yang memetabolisme

toksikan dalam hati juga tinggi sehingga membuat sebagian toksikan menjadi kurang

toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga mudah diekskresikan ( Lu, 1995).

Fungsi pokok hati adalah menerima dan mengolah zat kimia yang diabsorbsi dari

saluran gastrointestinal sebelum disebarkan kejaringan lain (Ester, 2002). Namun,

apabila kadar zat kimia (termasuk boraks) dalam jumlah yang tinggi dan terus

menerus kemungkinan dapat menyebabkan kerusakan pada hati.

Tubuh akan berusaha melakukan detoksifikasi terhadap boraks yang masuk ke

dalam tubuh dan akan di ekskresi secara lamban oleh ginjal (Adiwisastra, 1995).

Toksikan yang mempengaruhi ginjal dapat bekerja dalam empat cara yaitu :

a. Mengurangi aliran darah keginjal sehingga dapat merusak ginjal.

b. Secara langsung dapat mempengaruhi glomerulus dan menggangu

kemampuan selektifnya dalam memfiltrasi darah.

c. Mempengaruhi fungsi reabsorpsi dan fungsi sekresi tubulus.

d. Menyumbat tubulus, menghambat urine (produksi urine berkurang).

Ginjal biasanya rentan terhadap efek toksik zat kimia. Kerusakan ginjal oleh

zat kimia kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan produksi urine dan

kerusakan jaringan di ginjal (Ester, 2002). Oleh sebab itu, boraks dalam dosis tertentu

dan terus menerus dapat merusak ginjal dan dalam keadaan kronis dapat

mengakibatkan gagal ginjal.

Pada saat zat kimia diserap oleh sel-sel dalam tubuh, maka zat kimia tersebut

dapat merusak DNA (asam deoksiribonukleat), sehingga sel akan mengalami

Universitas Sumatera Utara


trasformasi yang tidak dipahami sehingga dapat mengubah sel-sel tersebut. Hal ini

dapat menyebabkan kecacatan pada bayi. Kerusakan yang terjadi pada DNA juga

sering diperbaiki oleh sel itu sendiri, atau jika sel imun mengenalinya, sel yang rusak

akan dibunuh sehingga tidak dapat menyebabkan kanker. Jika tidak satupun proses di

atas terjadi, maka sel yang rusak akan terus membelah dan tumbuh sehingga salinan

dirinya yang memang rusak semakin banyak, dan dapat merusak sel lainnya yang

dapat menyebabkan kanker (Ester, 2002).

Paparan zat kimia selama kehamilan dapat mengakibatkan perkembangan

yang defektif (menuju kecacatan). Pada waktu-waktu tertentu, janin yang sedang

bertumbuh dan berkembang menjadi sangat sensitif terhadap paparan zat kimia,

misalnya saat perkembangan sistem organ atau perkembangan sel-sel tertentu (Ester,

2002). Dengan demikian, paparan boraks pada ibu hamil juga dapat menyebabkan

gangguan pada janinnya.

Menurut Adiwisastra (1992), pengaruh boraks dalam tubuh adalah:

1) Sakit perut sebelah atas, muntah dan diare.

2) Sakit kepala dan gelisah.

3) Penyakit kulit berat (dermatitis).

4) Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah.

5) Hilangnya cairan dalam tubuh ditandai dengan kulit kering dan pingsan.

6) Tidak nafsu makan.

7) Kadang-kadang tidak dapat kencing.

Asam borat merupakan bakterisida lemah. Larutan jenuhnya tidak membunuh

staphylococcus aureus. Pemakaian berulang atau absorbs berlebihan dapat

Universitas Sumatera Utara


mengakibatkan toksik (keracunan). Gejala dapat berupa mual, muntah, diare, suhu

tubuh menurun, lemah, sakit kepala, rash erythematous, bahkan dapat menimbulkan

shock. Kematian pada orang dewasa dapat terjadi dalam dosis 15-25 gram, sedangkan

pada anak dosis 5-6 gram.

Asam borat juga bersifat teratogenik pada anak ayam. Absorpsinya melalui

saluran cerna, sedangkan ekresinya yang utama melaui ginjal. Jumlah yang relatif

besar ada pada otak, hati, dan ginjal sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi

melalui otak dan ginjal. Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam

borat dilarang digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2008).

Dalam kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah

sedikit demi sedikit namun dalam jangka panjang) akan mengakibatkan tanda-tanda

merah pada kulit dan gagal ginjal. Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit,

mata atau saluran respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Maka, hendaknya

berhati-hati dan berupaya mengenali makanan yang ditambahkan pengawet ini.

Sedapat mungkin harus menghindarinya demi kesehatan (Yuliarti, 2007).

2.8. Bakso Bakar

Bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam,

maupun ikan. Sedangkan bakso bakar merupakan bakso yang dibakar setelah

mengolesi bumbu-bumbu seperti kecap dan margarin.

Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tampahan utama garam dapur,

tepung tapioka dan bumbu, berbentuk bulat seperti kelereng, dengan berat 25–30gr

per butir. Setelah dimasak, bakso memiliki tekstur yang kenyal sebagai ciri

spesifiknya (Widyaningsih, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Ada tiga jenis bakso yang biasa dijual di pasaran yaitu bakso daging, bakso

urat (terbuat dari urat sapi), dan bakso aci (terbuat dari tepung tapioka). Bakso yang

baik adalah bakso yang dibuat dari daging yang berkualitas dan tidak berlemak yang

biasanya mengandung 90% daging dan 10% tepung tapioka. Selain bumbu, ada bahan

yang biasa ditambahkan ketika membuat bakso. Bahan yang dimaksud adalah

pengenyal. Adapun bahan pengenyal yang aman digunakan adalah Sodium Tripoli

Fosfat (STF). Bahan kimia tersebut berfungsi sebagai pengemulsi sehingga

diahasilkan adonan yang lebih merata.

Sayangnya tidak semua bakso yang dijual di pasaran, banyak bakso

menggunakan boraks sebagai pengenyal dan sebagai pengawet agar bakso lebih tahan

lama. Ciri-ciri bakso yang mengandung boraks adalah biasanya lebih kenyal

dibanding bakso yang menggunakan STF, jika digigit akan kembali kebentuk semula.

Warna bakso yang mengandung boraks juga tampak lebih putih. Hal ini berbeda

dengan bakso yang baik, biasanya berwarna abu-abu segar merata disemua bagian

(Cahyadi, 2008).

Bakso memiliki sifat keasaman yang rendah sehingga bakso tidak dapat

bertahan lama dan rentan terhadap kerusakan, sehingga bakso memiliki masa simpan

maksimal satu hari pada suhu kamar (Widyaningsih, 2006).

2.8.1. Proses Pembuatan Bakso Bakar

2.8.1.1. Bahan Baku Bakso

Bahan utama yang diperlukan dalam membuat bakso bakar adalah daging dan

bahan pendukung (bahan pengisi, Sodium Tripoliphosphate, air es/es , serta bumbu-

bumbu penyedap, garam/merica). Daging yang digunakan dapat berupa daging sapi,

Universitas Sumatera Utara


kerbau, kambing, ayam dan sebagainya. Dalam membuat bakso, disarankan

menggunakan daging yang masih segar (prerigor) agar bakso yang dihasilkan kenyal

dan kompak, meskipun tanpa penambahan bahan pengenyal.

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah pati,

misalnya tepung tapioka, gandum dan tepung aren. Kandungan pati yang tinggi pada

tepung membuat bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat mengemulsi

lemak.

Penambahan es/air es dapat mempengaruhi tekstur bakso. Penambahan es/air

es bertujuan untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke

seluruh bagian daging, mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan

selama proses pembuatan bakso.

Bumbu berfungsi meningkatkan cita rasa dan mengawetkan bakso. Adonan

bakso sering ditambah dengan sodium tripoliphosphat (STPP) yaitu suatu garam

natrium tripolyphospat unttuk keperluan perbaikan tekstur dan meningkatkan daya

cengkraman air. STTP secara umum diijinkan dan telah banyak digunakan dalam

makanan (Usmiati, 2009).

2.8.1.2. Proses Pembuatan Bakso Bakar

Pada prinsipnya, pembuatan bakso terdiri atas empat tahap, yaitu

penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso dan pemasakan. Bakso

dicetak secara manual atau dengan alat cetak bakso, lalu direbus dalam air mendidih

atau dikukus (Usmiati, 2009).

Proses pembuatan bakso bakar terdiri dari :

1. Penghancuran daging

Universitas Sumatera Utara


Bertujuan untuk memecahkan serabut daging. Penghancuran daging untuk

bakso dapat dilakukan dengan mencacah, menggiling atau mencincang

sampai lumat. Alat yang digunakan bisa dengan pisau, pencincangan atau

penggilingan.

2. Pembentukan adonan

Pembentukan adonan dilakukan dengan mencapur seluruh bagian daging

yang telah dihancurkan dengan bumbu-bumbu ataupun garam dan air.

Adonan juga bisa ditambah dengan telur dan ditambahkan tepung sedikit

demi sedikit.

3. Pencetakan bakso

Setelah adonan siap, bakso dapat dicetak, cukup dengan dibulatkan secara

manual atau dengan alat cetak bakso.

4. Pemasakan bakso

Bakso dipanaskan dalam panci yang berisi air mendidih selama 10 – 15

menit.

5. Pembakaran bakso

Pada proses ini, bakso yang telah masak ditusuk dengan tusuk sate dan

dibakar di atas bara api sambil sesekali dioles dengan bahan olesan seperti

margarin dan kecap sampai berwarna kecokelatan.

Universitas Sumatera Utara


2.9. Kerangka Konsep

Mengandung
Pemeriksaan
Pedagang Bakso Boraks
Laboratorium
bakso bakar bakar secara kualitatif

Tidak
Mengacu kepada mengandung
Permenkes No. Boraks
1168/MENKES/PER/
Observasi sanitasi X/1999
pedagang bakso bakar
berdasarkan enam prinsip
sanitasi makanan Memenuhi
1. Pemilihan Syarat
bahan makanan Kepmenkes RI No.
2. Penyimpanan bahan 942/Menkes/SK/V
makanan I I/2003
3. Pengolahan
Tidak
makanan
Memenuhi
4. Penyimpana
Syarat
n makanan
jadi
5. Pengangkuta
n makanan
6. Penyajian makanan

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitan

Penelitian ini adalah survei bersifat deskriptif yaitu dengan melihat gambaran

hygiene sanitasi dan analisa laboratorium untuk mengetahui kandungan boraks pada

bakso bakar yang dijual di sekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan Baru Kota

Medan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitan

Penelitian ini dilakukan di lingkungan sekolah-sekolah dasar yang ada di

Kecamatan Medan Baru Kota Medan, dimana pada sekolah dasar tersebut terdapat

pedangang bakso bakar yaitu :

1. SD Negeri No. 060882 , SD Negeri No. 060884.

2. SD Negeri No. 060886, SD Negeri No. 060889, SD Negeri No. 060894.

3. SD Negeri No. 060885, SD Negeri No.060891, SD Negeri No. 060892,

SD No. 060895

4. SD Percobaan Negeri.

5. SD Antonius 1, SD Antonius 2, SD St. Thomas 5, SD St. Thomas 6.

6. SD Muhammadyah 05.

Pemeriksaan boraks dilakukan di laboratorium kesehatan daerah Medan.

Universitas Sumatera Utara


3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret- Mei 2012.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang bakso bakar yang

menjajakan dagangannya di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan, yaitu

sebanyak 6 pedagang bakso bakar.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah pedagang bakso bakar yang menjajakan

dagangannya disekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan. Jumlah

pedagang bakso bakar adalah 6 orang.

Objek penelitiannya adalah bakso bakar. Dari masing-masing pedagang

diambil 2 sampel bakso bakar yang dijual pada saat dijajakan, yaitu bakso sebelum

dibakar dan bakso sesudah dibakar. Jumlah keseluruhan adalah 12 bakso bakar.

Pemeriksaan dilakukan di Balai Laboratotium Kesehatan Medan.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari observasi langsung ke lokasi dengan mengadakan

wawancara langsung kepada pedagang bakso bakar serta data yang diperoleh dari

hasil pemeriksaan boraks pada bakso bakar di laboratorium.

Universitas Sumatera Utara


3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari kantor Kecamatan Medan Baru berupa data

Sekolah dasar di Kecamatan Medan baru dan dari Dinkes berupa pengawasan Dinkes

terhadap makanan jajanan.

3.5. Defenisi Operasional

a. Pedagang bakso bakar yaitu pedagang yang menjajakan bakso bakar disekitar

SD di Kecamatan Medan Baru.

b. Bakso bakar yaitu produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam

maupun ikan yang dibakar setelah diolesi oleh bumbu-bumbu seperti

margarin, saus dan kecap.

c. Pemeriksaan laboratorium secara kualitatif yaitu pemeriksaan laboratorium

untuk mengetahui ada tidaknya boraks pada bakso bakar.

d. Mengandung boraks yaitu sampel positif mengandung boraks.

e. Tidak mengandung boraks yaitu sampel negative mengandung boraks.

f. Boraks yaitu senyawa dengan nama kimia natrium tetraborat (NaB4O7)

berbentuk padat dan jika terlarut dalam air akan menjadi natrium hidroksida

dan asam borat (H3BO3).

g. Higiene yaitu upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi

kebersihan subyeknya.

h. Sanitasi yaitu upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi

kebersihan lingkungan dari subyeknya.

Universitas Sumatera Utara


i. Pemilihan bahan makanan adalah proses menentukan bahan-bahan dengan

kondisi segar, masih utuh dan diperoleh dari sumber yang resmi untuk

digunakan dalam proses pengolahan bakso bakar.

j. Penyimpanan bahan makanan adalah menaruh bahan makanan pada tempat

yang aman dan sehingga tidak terjangkau tikus, serangga, serta binatang

pengganggu lainnya.

k. Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah

menjadi makanan yang siap saji.

l. Penyimpanan makanan jadi adalah meletakkan makanan yang sudah siap saji

pada tempat yang tidak tercemar debu, tertutup, tidak dapat dijangkau tikus,

serangga dan binatang pengganggu lainnya.

m. Pengangkutan makanan adalah memindahkan makanan dari tempat

pengolahan ke tempat penyajian.

n. Penyajian makanan adalah tata cara menghidangkan makanan siap santap

(bakso bakar) di tempat yang telah disediakan.

o. Memenuhi syarat adalah keadaan dimana hasil observasi di lapangan sesuai

dengan standard yang ditetapkan Kepmenkes RI No.

942/MENKES/SK/VII/2003.

p. Tidak memenuhi syarat keadaan dimana hasil observasi tidak sesuai dengan

standard yang ditetapkan Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003.

3.6. Cara Pengambilan Sampel

Universitas Sumatera Utara


1. Sampel diambil lansung pada saat dijajakan, sebelum dan sesudah dibakar.

2. Sampel disimpan dalam wadah plastik putih

3. Tiap sampel diberi nomor

4. Sampel disimpan pada suhu kamar sebelum dikirim ke laboratorium

3.7. Prosedur Kerja Pemeriksaan Boraks secara Kualitatif

Prinsip kerja untuk mengidentifikasi adanya boraks secara kulitatif dilakukan

dengan membakar Ailtrat sampel dengan metanol dimana akan terbentuk nyala api

metanol yang berwarna hijau bila ada boraks.

1. Alat-alat

- Neraca analitik

- Api bunsen

- Cawan porselin

- Lumpang

- Lemari asam

2. Bahan

- Bakso bakar

- Asam Sulfat pekat (H2SO4)

- NH4OH 2N

- HCl 2N

- Metanol

- CaO

- Kertas kurkumin

Universitas Sumatera Utara


2. Cara Kerja

1. Sampel yang sudah halus ditimbang ± 50 gr

2. Dimasukkan kedalam porselin dan ditambahkan ±1g CaO

3. Bakar didalam lemari asam sampai dalam bentuk abu. Dan setelah

dalam bentuk abu, dibagi dua.

4. Sebagian abu larutkan dalam HCL 2N, celupkan kertas kurkumin. Bila

terjai perubahan warna kertas kurkumin dari kuning menjadi merah

cokelat berarti sampel mengandung boraks. Bila diteteskan NH4OH

2N, warna merah cokelat akan berubah menjadi abu abu.

5. Sebagian abu lagi ditambahkan dengan H2SO4 dan metanol, bakar

dengan korek api. Apabila menghasilkn warna api yang hijau, maka

sampel mengandung boraks.

3.8. Aspek Pengukuran

Aspek pengukuran adalah melihat gambaran hygiene sanitasi pembuatan

bakso bakar yang dijual di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan, yang

meliputi pemilihan bahan bakso bakar, penyimpanan bahan bakso bakar, pengolahan

bakso bakar, penyimpanan bakso bakar, pengangkutan bakso bakar dan penyajian

bakso bakar.

Jika salah satu pertanyaan dari observasi pada enam tahap hygiene sanitasi

tidak sesuai kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang pedoman

persyaratan hygiene sanitasi makanan jajanan maka makanan jajanan tersebut tidak

memenuhi syarat kesehatan.

Universitas Sumatera Utara


Adapun aspek pengukuran dari pemeriksaan kandungan boraks pada bakso

bakar yang dijual di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan adalah:

1. Ditemukan boraks artinya pada pemeriksaan dengan menggunakan uji

nyala api, ditemukan zat pengawet boraks pada bakso bakar.

2. Tidak ditemukan boraks artinya pada pemeriksaan dengan menggunakan

uji nyala api, tidak ditemukan zat pengawet boraks pada basko bakar.

Jika hasil pemeriksaan di laboratorium diperoleh data yang menunjukkan

bahwa terdapat boraks pada bakso bakar, maka makanan jajanan tersebut tidak

memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan PerMenKes No.

1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan.

Untuk observasi hygiene dan sanitasi pengolahan bakso bakar dilakukan

dengan menggunakan lembar observasi berupa pertanyaan dengan kategori jawaban

”Ya” dan “Tidak”, yaitu

1. Yang termasuk jawaban “Ya” (1)

Merupakan jawaban yang sesuai dengan ketentuan di Kepmenkes RI No.

942/Menkes/SK/VII/2003.

2. Yang termasuk jawaban “Tidak” (2)

Merupakan jawaban yang tidak sesuai dengan ketentuan di Kepmenkes RI

No. 942/Menkes/SK/VII/2003.

Untuk kuesioner pada penjual bakso bakar, dilakukan untuk lebih mengetahui

lebih dalam lagi (rinci) tentang hygiene sanitasi pedagang bakso bakar tersebut mulai

dari pemilihan bahan bakso bakar, penyimpanan bahan bakso bakar, pengolahan

Universitas Sumatera Utara


bakso bakar, penyimpanan bakso bakar, pengangkutan bakso bakar dan penyajian

bakso bakar.

Lembar kuesioner terdiri dari 3 pilihan jawaban, mulai dari yang diharapkan

(memenuhi syarat) sampai yang tidak memenuhi syarat (dilarang). Pertanyaan ada

sebanyak 14,dengan ketentuan sebagai berikut: jika responden menjawab “a” maka

skore = 3, jika responden menjawab “b” maka skore= 2, jika responden menjawab

“c” maka skore = 1. Sehingga diperoleh skore tertinggi= 42. Selanjutnya

dikategorikan atas baik, sedang dan rendah dengan ketentuan sebagai berikut:

1. baik, jika responden dapat menjawab > 75% dari seluruh pertanyaan atau

memperoleh skore > 31

2. Sedang, jika responden dapat menjawab 40-75% dari seluruh

pertanyaan atau memperoleh skore 17 -31

3. Kurang, jika responden dapat menjawab <40% dari seluruh pertanyaan atau

memperoleh skore < 17

3.9. Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan hygiene sanitasi

pengolahan bakso bakar yang telah diolah akan dianalisis secara deskriptif kemudian

disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dinarasikan dengan kepustakaan

yang relevan mengacu kepada Kepmenkes RI No. 942/Menkes/SK/VII/2003. Data

dari hasil pemeriksaan laboratorium diolah secara manual dengan megacu kepada

PerMenKes No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan

Universitas Sumatera Utara


Makanan. Data yang telah diolah ditampilkan dalam bentuk tabel dan dijelasakan

dalam bentuk narasi.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Geografi

Kecamatan Medan Baru memiliki luas wilayah 5,84 km² dengan batas-batas

sebagai berikut:

1. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Sunggal dan

Kecamatan Medan Selayang

2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Polonia

3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Johor

4. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Petisah

Kecamatan Medan Baru terdiri dari 6 kelurahan, dengan penduduk berjumlah

sekitar 43.524 Jiwa. Di Kecamatan Medan Baru terdapat 24 unit SD/sederajat dan

SD yang ada penjual bakso bakarnya adalah sebagai berikut:

7. SD Negeri No. 060882 , SD Negeri No. 060884.

8. SD Negeri No. 060886, SD Negeri No. 060889, SD Negeri No. 060894.

9. SD Negeri No. 060885, SD Negeri No.060891, SD Negeri No. 060892,

SD No. 060895

10. SD Percobaan Negeri.

11. SD Antonius 1, SD Antonius 2, SD St. Thomas 5, SD St. Thomas 6.

12. SD Muhammadyah 05.

Universitas Sumatera Utara


Disekitar Sekolah-sekolah Dasar inilah banyak terdapat penjual makanan

jajanan untuk anak SD, termasuk penjual bakso bakar.

4.2. Hasil Penelitian

Peneliti melakukan observasi terhadap 6 pedagang bakso bakar untuk melihat

gambaran hygiene sanitasi pada setiap pedagang tersebut. Peneliti juga melakukan

wawancara kepada pedagang bakso dengan menggunakan kuesioner yang telah

disusun terlebih dahulu. Pemeriksaan boraks juga dilakukan terhadap setiap sampel

bakso bakar.

4.2.1. Karakteristik Pedagang Bakso Bakar

Karakteristik pedagang bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru

meliputi jenis kelamin, umur pembuat bakso bakar dan lama bekerja adalah sebagai

berikut:

Berdasarkan hasil penelitian, didapat bahwa jenis kelamin semua pedagang

bakso bakar yang berjualan disekitar SD di Kecamatan Medan Baru adalah 100 %

laki-laki. Distribusi pedagang bakso berdasarkan umur dapat dilihat dalam tabel

berikut ini:

Tabel 4.1. Distribusi Pedagang Bakso Bakar Berdasarkan Umur Pedagang


disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

No. Umur Jumlah Persentase


1. 21-35 2 33,3
2. >35 4 66,7
Jumlah 6 100

Berdasarkan tabel 4.1 diatas,diketahui pedagang dengan golongan umur 21-35

tahun berjumlah 2 orang pedagang (33,3%), golongan umur diatas 35 tahun

Universitas Sumatera Utara


berjumlah 4 orang pedagang (66,7). Umur pedagang bakso yang tertinggi adalah 53

tahun dan yang terendah 23 tahun.

Karakteristik pedagang berdasarkan lamanya berjualan di sekitar SD di

Kecamatan Medan Baru dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. 4.2. Distribusi Pedagang Bakso Bakar Bedasarkan Lamanya Berjualan


disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

No. Lama berjualan (thn) Jumlah Persentase


1. 0-2 5 83,4
2. >2 1 16,6
Jumlah 6 100

Berdasarkan tabel 4.2. diatas, diketahui pedagang bakso bakar yang telah

berjualan sampai dengan 2 tahun di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru ada

sebanyak 5 orang (83,4%) dan yang telah berjualan selama lebih dari 2 tahun ada 1

orang pedagang (16,6%). Pedagang di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru yang

paling lama bekerja adalah selama 5 tahun dan pedagang yang paling rendah waktu

bekerjanya adalah 1 tahun.

4.2.2. Enam Prinsip Hygiene Sanitasi pada Pedagang Bakso

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada pedagang bakso bakar

yang menjajakan dagangannya disekitar SD di Kecamatan Medan Baru, diketahui

bahwa enam prinsip hygiene sanitasi telah dilakukan oleh pedagang bakso bakar

disekitar SD di Kecamatan Medan Baru. Gambaran enam prinsip hygiene sanitasi

yang telah dilakukan pedagang bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru

Kota Medan Tahun 2012 adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


4.2.2.1. Pemilihan Bahan Baku Bakso Bakar

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada pedagang bakso

bakar, dalam pemilihan bahan baku bakso bakar dapat diketahui bahwa kriteria

penilaian dalam prinsip pemilihan bahan baku bakso bakar (tepung, daging

ayam/ikan, bumbu-bumbu) telah memenuhi syarat kesehatan. Diantaranya adalah

semuanya menggunakan bahan baku tepung yang dalam keadaan baik, tidak rusak

dan terdaftar. Daging ayam/ikan yang digunakan dalam keadaan segar dan tidak

berbau busuk. Selain itu bumbu-bumbu yang digunakan seperti bawang,daun sop juga

dalam keadaan baik dan tidak busuk.

4.2.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Bakso Bakar

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada pedagang bakso

bakar, distribusi pedagang bakso bakar berdasarkan penyimpanan bahan baku bakso

bakar dapat dilihat dalam tabel 4.3.

Tabel.4.3. Distribusi Pedagang Bakso Bakar berdasarkan Penyimpanan


Bahan Baku Bakso Bakar

No. Kriteria penilaian Ya Tidak


Jumlah % Jumlah %
1. Terdapat tempat penyimpanan khusus bahan 0 0 6 100
makanan
2. Tempat penyimpanan bahan makanan dalam
keadaan:
a. Tertutup 0 0 6 100
b. Kedap air 6 100 0 0
c. Bersih 0 0 6 100
3. Tidak menempel pada lantai, dinding atau 0 0 6 100
langit-langit
4. Tempat penyimpanan bahan baku tidak 0 0 6 100
dapat dijangkau oleh serangga/tikus
5. Bahan makanan dipisah dengan bahan jadi 6 100 0 0

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan tabel 4.3. diketahui bahwa dalam penilaian prinsip penyimpanan

bahan baku bakso bakar (tepung, daging ayam/ikan, bumbu-bumbu) masih ada yang

belum memenuhi syarat kesehatan. Diantaranya yaitu 100% belum mempunyai

tempat khusus untuk menyimpan bahan baku bakso bakar. Bahan baku hanya

diletakkan di lantai dan dimeja saja. Bahan baku menempel pada dinding/lantai dan

dapat dijangkau oleh tikus. Sedangkan yang memenuhi syarat yaitu semua (100%)

bahan baku telah dipisah dengan bahan jadi dan bahan baku disimpan ditempat yang

kedap air.

4.2.2.3. Pengolahan Bakso Bakar

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada pedagang bakso

bakar, distribusi pedagang bakso bakar berdasarkan pengolahan bakso bakar dapat

dilihat dalam tabel 4.4.

Tabel.4.4. Distribusi Pedagang Bakso Bakar Berdasarkan Pengolahan Bakso


Bakar

No. Kriteria penilaian Ya Tidak


Jumlah % Jumlah %
1. Bumbu yang akan digunakan dicuci terlebih 0 0 6 100
dahulu dengan air mengalir
2. Peralatan yang akan digunakan dicuci 5 84 1 16
terlebih dahulu dengan air bersih dan sabun
3. Peralatan masak yang sudah dipakai 5 84 1 16
langsung dicuci dengan air bersih dan
dengan sabun
4. Peralatan yang sudah dicuci, dikeringkan 0 0 6 100
dengan alat pengering/lap yang bersih
5. Peralatan yang sudah bersih disimpan pada 3 50 3 50
rak penyimpanan khusus dan dalam keadaan
bersih

Universitas Sumatera Utara


Ya Tidak
No. Kriteria Jlh % Jlh %
6. Perlengkapan pengolahan :
a. Pisau yang digunakan dalam 6 100 0 0
keadaan bersih dan tidak rusak
b. Dandang/kuali yang digunakan 6 100 0 0
untuk memasak bakso dalam
keadaan bersih
7. Keadaan peralatan :
a. Tidak cacat 6 100 0 0
b. Tidak retak 6 100 0 0
c. Mudah dibersihkan 6 100 0 0
8. Menggunakan air bersih dalam mengolah 6 100 0 0
bakso
9. Pengolah makanan tidak menderita penyakit
menular :
a. Batuk 6 100 0 0
b. Pilek 6 100 0 0
c. Influenza 6 100 0 0
d. Diare 6 100 0 0
e. Penyakit perut lainnya 6 100 0 0
10. Kebersihan pedagang :
a. Badan dalam keadaan bersih 0 0 6 100
b. Kuku pendek dan bersih 2 34 4 66
c. Pakaian dalam keadaan bersih 5 84 1 16
11. Pada saat mengolah makanan :
a. Penjamah memakai celemek 0 0 6 100
b. Penjamah memakai penutup kepala 0 0 6 100
c. Mencuci tangan sebelum mengolah 0 0 6 100
makanan
d. Mencuci tangan sesudah mengolah 6 100 0 0
makanan
e. Penjamah makanan tidak sambil 2 34 4 66
merokok
f. Penjamah makanan tidak sambil 6 100 0 0
menggaruk anggota badan
12. Tempat pengolahan bakso bakar:
a. Lantai mudah dibersihkan 6 100 0 0
b. Tidak licin 6 100 0 0
c. Kedap air 6 100 0 0

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan tabel 4.4. diketahui bahwa penilaian dalam prinsip pengolahan

makanan yang memenuhi syarat kesehatan diantaranya adalah semua pedagang

menggunakan pisau yang dalam keadaan bersih dan tidak rusak, menggunakan

dandang/kuali dalam keadaan bersih, menggunakan air bersih, tidak menderita

penyakit batuk,influenza, pilek, diare ataupun penyakit perut lainnya. Penjamah

mencuci tangan sesudah meengolah makanan, Penjamah tidak sambil menggaruk

anggota badan, lantai yang digunakan dalam mengolah bakso bakar tidak licin, kedap

air dan mudah dibersihkan.

Kriteria penilaian yang tidak memenuhi syarat adalah penjamah tidak mencuci

bumbu-bumbu dengan air mengalir, tidak mencuci peralatan yang akan digunakan

dengan air sabun, tidak mengeringkan peralatan dengan lap bersih, peralatan yang

telah dibersihkan tidak disimpan pada rak penyimpanan khusus yang bersih, badan

dan pakaian penjamah tidak bersih, tidak mempunyai kuku yang pendek dan bersih,

tidak menggunakan celemek, penutup kepala, tidak mencuci tangan sebelum

mengolah makanan dan sambil merokok dalam mengolah makanan.

4.2.2.4. Penyimpanan Makanan Jadi

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada pedagan bakso bakar,

distribusi pedagang bakso bakar berdasarkan penyimpanan makanan jadi dapat dilihat

dalam tabel 4.5.

Tabel.4.5. Distribusi Pedagang Bakso Bakar Berdasarkan Penyimpanan

Universitas Sumatera Utara


Makanan Jadi

No. Kriteria penilaian Ya Tidak


Jumlah % Jumlah %
1. Makanan disimpan dalam keadaan tidak 6 100 0 0
rusak, tidak busuk dan tidak basi
2. Tersedia tempat khusus untuk menyimpan 6 100 0 0
bakso bakar
3. Tempat dalam keadaan:
a. Bersih dan dibersihkan setiap hari 5 84 1 16
b. Tertutup 6 100 0 0

Berdasarkan tabel 4.5. diketahui bahwa penilaian dalam prinsip penyimpanan

makanan jadi yang memenuhi syarat kesehatan diantanya 100% Makanan disimpan

dalam keadaan tidak rusak, tidak busuk dan tidak basi. Tersedia tempat khusus untuk

menyimpan bakso bakar dan tempat dalam keadaan tertutup. Tempat penyimpanan

berupa etalase. Penyimpanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 16%

tempat tidak dalam keadaan bersih dan dibersihkan setiap hari.

Dari 6 orang pedagang di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru, 84% telah

memenuhi syarat kesehatan. 16% pedagang belum memenuhi syarat kesehatan.

4.2.2.5. Pengangkutan Bakso Bakar

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada pedagan bakso bakar,

didapat bahwa dari 6 orang pedagang bakso bakar, hanya 5 orang yang menggunakan

prinsip pengangkutan makanan karena ada 1 pedagang yang menjajakan bakso

bakarnya didalam kantin sekolah. Jadi proses pengolahan sampai penyajian bakso

bakar terjadi di kantin tersebut. Pedagang tersebut tidak membutuhkan pengangkutan

makanan. Distribusi pedagang bakso bakar dalam pengangkutan makanan jadi dapat

dilihat dalam tabel 4.6.

Universitas Sumatera Utara


Tabel.4.6. Distribusi Pedagang Bakso Bakar Berdasarkan Pengangkutan
Bakso Bakar

No. Kriteria penilaian Ya Tidak


Jlh % Jlh %
1. Tersedia tempat khusus untuk mengangkut 5 100 0 0
bakso bakar
2. Tempat dalam keadaan bersih dan dibersihkan 4 80 1 20
setiap hari
3. Bakso bakar diangkut dengan kendaraan yang 2 40 3 60
dalam keadaan bersih
4. Bakso bakar diangkut dalam keadaan tertutup 5 100 0 0
dan terhindar dari debu atau polutan lainnya

Berdasarkan tabel 4.6. diketahui bahwa penilaian dalam prinsip

pengangkutan makanan jadi yang memenuhi syarat kesehatan diantaranya adalah

100% mempunyai tempat khusus untuk mengangkut bakso bakar. Tempat tersebut

berupa etalase. 100% bakso bakar diangkut dalam keadaan tertutup dan terhindar dari

debu. Yang tidak memenuhi syarat kesehatan daiantaranya adalah 20% tempat tidak

dalam keadaan bersih dan dibersihkan setiap hari, 60% kendaraan yang mengangkut

bakso bakar tidak dalam keadaan bersih dan dibersihkan setiap hari.

Dari 5 orang pedagang yang mengangkut bakso bakarnya, 20% pedagang

telah mengangkut bakso bakar sesuai dengan syarat kesehatan. 80% pedagang belum

memenuhi syarat kesehatan.

4.2.2.6. Penyajian Bakso Bakar

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada pedagang bakso

bakar, distribusi pedagang bakso bakar berdasarkan penyajian makanan jadi dapat

dilihat dalam tabel 4.7.

Tabel.4.7. Distribusi Pedagang Bakso Bakar Berdasarkan Penyajian Bakso


Bakar

No. Kriteria penilaian Ya Tidak


Jumlah % Jumlah %
1. Tangan penyaji tidak kontak langsung 5 84 1 16
dengan bakso bakar
2. Penyaji tidak batuk dihadapan makanan 6 100 0 0
jajanan
3. Penyaji tidak bersin dihadapan makanan 6 100 0 0
jajanan
4. Penyaji menjaga kebersihan tubuhnya
saat menyajikan makanan : 5 84 1 16
a. Pakaian bersih
b. Badan bersih 5 84 1 16
c. Kuku pendek dan bersih 2 34 4 66

5. Pada saat menyajikan :


a. Tidak merokok 0 0 6 100
b. Tidak menggaruk anggota badan 6 100 0 0
6. Makanan yang disajikan dalam keadaan 6 100 0 0
terbungkus atau tertutup
7. Terdapat wadah khusus tempat bakso 6 100 0 0
bakar yang bersih dan aman bagi
kesehatan

Berdasarkan tabel 4.7. diketahui bahwa penilaian dalam prinsip penyajian

makanan jadi yang memenuhi syarat kesehatan diantaranya adalah 100% penyaji

tidak batuk/bersin didepan makanan, 100% penyaji tidak sambil menggaruk anggota

badan, dan 100% terdapat wadah khusus tempat bakso bakar. Yang tidak memenuhi

syarat kesehatan yaitu 16% tangan penyaji kontak langsung dengan bakso bakar, 16%

Universitas Sumatera Utara


tidak menggunakan pakaian yang bersih, 16% badan penyaji tidak bersih, 66% tidak

mempunyai kuku yang pendek dan bersih.

4.2.2.7. Gambaran Hygiene Sanitasi Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di


Kecamatan Medan Baru

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti terhadap pedagang bakso

bakar di sekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan, penerapan prinsip

hygiene sanitasi dalam pengolahan bakso bakar dapat diketahui sudah memenuhi

syarat atau tidak memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

dapat dilihat pada tabel 4.8. berikut:

Tabel 4.8. Hasil Rekapitulasi Hygiene Sanitasi Bakso Bakar Yang dijual di
Sekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan

No Prinsip Kode Sampel (pedagang) % %


Hygiene I II III IV V VI MS TMS
Sanitasi
1 Pemilihan MS MS MS MS MS MS 100 0
bahan baku
2 Penyimpanan TMS TMS TM TMS TMS TMS 0 100
bahan baku S
3 Pengolahan TMS TMS TM TMS TMS TMS 0 100
makanan S
4 Penyimpanan MS MS MS MS MS TMS 84 16
makanan jadi
5 Pengangkuta TMS TMSTM TMS MS - 20 80
n bakso bakar S
6 Penyajian TMS TMS TM TMS TMS TMS 0 100
bakso bakar S
%MS 34 34 34 34 50 20
%TMS 66 66 66 66 50 80
Keterangan: MS : Memenuhi Syarat
TM : Tidak Memenuhi Syarat

Berdasarkan hasil observasi pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada

prinsip hygiene sanitasi yang I yaitu pemilihan bahan baku bakso bakar, 100% sudah

Universitas Sumatera Utara


memenuhi syarat kesehatan, pada prinsip II, III, VI, yaitu penyimpanan bahan baku,

pengolahan bakso bakar dan penyajian bakso bakar, 100% tidak memenuhi syarat

kesehatan. Pada prinsip IV yaitu prinsip penyimpanan makanan jadi, 5 pedagang

(84%) telah memenuhi syarat kesehatan. Pada prinsip V yaitu prinsip pengangkutan,

1 pedagang (20%) telah memenuhi syarat kesehatan. Dari tabel juga dapat dilihat

bahwa tidak ada pedagang yang telah memenuhi syarat kesehatan secara keseluruhan

mulai dari prinsip pemilihan bahan baku sampai dengan penyajian makanan.

Untuk lebih mengetahui lebih rinci lagi tentang hygiene sanitasi pedagang

bakso bakar, maka dilakukan pengumpulan data melalui kuesioner yang diikuti

dengan wawancara dengan pedagang bakso bakar. Berikut ini adalah hasil

pengumpulan data tentang hygiene sanitasi makanan terhadap pedagang bakso bakar

yang disajikan dalam tabel distribusi di bawah ini:

Tabel 4.9. Distribusi Hygiene Sanitasi Pedagang Bakso Bakar yang dijual
disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

No. Pertanyaan Jlh %


1. Darimana bapak/ibu membeli bahan baku bakso bakar
seperti tepung, daging dan bahan lainnya?
b.Pasar tradisional 6 100
2. Apa yang menjadi perimbangan bapak/ibu dalam memilih
bahan baku makanan?
b.Bahan murah dan lebih mudah dijangkau 6 100
3. Apakah bahan baku makanan yang sudah dibeli semuanya
langsung dipakai
b.Kadang-kadang 2 33.3
c.Tidak 4 66,7

Universitas Sumatera Utara


No. Pertanyaan Jlh %
4. Dimana biasanya bapak/ibu menyimpan bahan makanan
seperti tepung,ikan, daging atau bumbu-bumbu lainnya?
c.Di atas lantai 6 100
5. Berapa kali bapak/ibu biasanya membersihkan tempat
penyimpanan bahan makanan tersebut?
a. Setiap hari 6 100
6. Apa yang Bapak/Ibu lakukan jika Anda sedang menderita
batuk dan pilek
b.Berjualan dengan menutup hidung dan mulut 1 16,7
c.Berjualan tanpa menutup hidung dan mulut 5 83,3

7. Pakaian apa yang Bapak/Ibu gunakan ketika mengolah 2 33,3


bakso bakar?
b.Pakaian rumah
c.Pakaian tidur 4 66,7
8. Apakah Bapak/Ibu selalu membersihkan dapur sebelum dan
setelah mengolah makanan?
a. Ya 2 33,3
b. Kadang-kadang 4 66,7
9. Dimana bapak/ibu menyimpan bakso bakar yang telah
masak?
a. Rak/tempat khusus 6 100
10. Berapa kali bapak/ibu biasanya membersihkan tempat bakso
bakar tersebut?
a. Setiap hari 5 83,3
b. 1x 2hari 1 16,7
11. Berapa kali biasanya bapak/ibu membersihkan tempat
pengangukutan bakso bakar tersebut?
a. Setiap hari 1 16,7
b. 1x 2hari 3 50
c. > 1x2hari 2 33,3
12. Selain untuk mengangkut bakso bakar, untuk apa lagi
bapak/ibu menggunakan tempat pengangkutan bakso bakar
ini?
a. Tidak ada 3 50
b. Jualan makanan lainnya 3 50

Universitas Sumatera Utara


No. Pertanyaan Jlh %
13. Wadah apa yang biasanya bapak/ibu gunakan dalam
menyajikan bakso bakar?
b.Platik putih 6 100
14. Dalam waktu berapa lama bakso yang bapak/ibu jual bisa
habis?
a. 1 hari 6 100

Berdasarkan tabel 4.9. diketahui bahwa semua pedagang (100%) mendapat

bahan baku dari pasar tradisional dengan pertimbangan mudah dijangkau dan

harganya murah. 63,7% bahan baku yang telah dibeli tidak langsung habis dipakai.

Bahan baku semuanya disimpan diatas lantai dan dibersihkan setiap hari.

Berdasarkan hasil wawancara, jika pedagang menderita penyakit menular,

83,3% tetap berjualan tanpa menutup hidung. 63,7% penjamah menggunakan

pakaian tidur saat mengolah bakso bakar. 63,7% pedagang kadang-kadang

membersihkan dapur sebelum dan setelah mengolah makanan.

Semua pedagang telah memiliki tempat khusus untuk menyimpan bakso

bakar. Tempat berupa etalase dan 83,3% pedagang selalu membersihkannya setiap

hari. 16,7% pedagang membersihkan tempat pengangkutan bakso setip hari. 50%

pedagang menggunakan tempat pengangkutan bakso bakar untuk berjualan makanan

jajanan lainnya. Semua pedagang telah menggunakan wadah khusus ketika

menyajikan bakso bakar yaitu plastik putih dan semua bakso yang dijual habis dalam

1 hari.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang bakso bakar, maka kondisi

hygiene sanitasi bakso bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru

Universitas Sumatera Utara


Kota Medan dapat dikategorikan dalam 2 kategori (baik, sedang) yaitu dalam tabel

4.10. berikut:

Tabel 4.10. Distribusi Kategori Hygiene Sanitasi Pedagang Bakso Bakar yang
dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun
2012

No. Kategori higiene Jumlah Persentase (%)


sanitasi
1. Baik 1 16,7
2. Sedang 5 83,3
Jumlah 6 100

Berdasarkan tabel 4.10. diketahui bahwa kondisi higiene sanitasi pedagang

bakso bakar 16,7% berada dalam kategori baik dan 83,3% berada dalam kategori

sedang dan tidak ada pedagang yang dalam kategori buruk.

4.2.3. Hasil Pemeriksaan Boraks

Pemeriksaan boraks dilakukan pada 12 sampel bakso bakar. Dari setiap

pedagang masing-masing diambil 2 sampel yaitu bakso sebelum dibakar dan bakso

sesudah dibakar. Sampel tersebut diambil dari pedagang bakso bakar yang berjualan

di sekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru. Sampel tersebut dibawa ke Balai

Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Medan untuk dianalisa kandungan boraksnya.

Analisa kandungan boraks pada bakso bakar dilakukan dengan menggunakan uji

reaksi kurkumin dan dilanjut dengan reaksi nyala api. Hasil pemeriksaan boraks

secara kualitatif dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel. 4.11. Hasil Pemeriksaan Boraks pada Bakso Bakar yang dijual disekitar
SD di Kecamatan Medan Baru

No. Kode sampel Keterangan


1. 1a Tidak mengandung Boraks
2. 1b Tidak mengandung Boraks
3. 2a Tidak mengandung Boraks
4. 2b Tidak mengandung Boraks
5. 3a Tidak mengandung Boraks
6. 3b Tidak mengandung Boraks
7. 4a Tidak mengandung Boraks
8. 4b Tidak mengandung Boraks
9. 5a Tidak mengandung Boraks
10. 5b Tidak mengandung Boraks
11. 6a Tidak mengandung Boraks
12. 6b Tidak mengandung Boraks

Berdasarkan tabel 4.11. diketahui bahwa dari 12 sampel bakso bakar yang

dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan yang diperiksa semuanya

(100%) telah memenuhi syarat kesehatan yang mengacu kepada Permenkes No.

1168/MENKES/PER/X/1999 yaitu tidak mengandung boraks.

4.2.4. Pengawasan Dinas Kesehatan Kota Medan Terhadap Makanan Jajanan

di Kota Medan

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pihak Dinas Kesehatan Kota

Medan, diketahui bahwa yang bertanggung jawab dalam mengawasi makanan

jajanan yang beredar di Kota Medan adalah Dinas Kesehatan yang bekerjasama

dengan instansi lain seperti BPOM. Dalam melakukan pengawasan, pihak Dinas

Kesehatan melakukan kerjasama juga dengan petugas kesehatan lingkungan di setiap

Puskesmas di Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara


Dalam hal pendataan sentra makanan jajanan di Kota Medan, Dinas

Kesehatan sendiri telah melakukan pembinaan dan pengawasan di TPM (Tempat

Pengolahan Makanan Minuman). Selain itu, Dinas Kesehatan juga melakukan

pendataan untuk kantin-kantin sekolah di Kota Medan.

Pengawasan Dinas Kesehatan terhadap makanan jajanan berupa pengamanan

sampel makanan jajanan jika terjadi kasus keracunan. Bila terjadi kasus keracunan di

suatu tempat, Dinas Kesehatan akan langsung turun tangan mengamankan

sampelnya,dan memeriksanya di BPOM. Laporan hasilnya dikirim ke walikota dan

dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat maupun instansi terkait lainnya.

Dinas Kesehatan Kota Medan juga melakukan pengawasan terhadap kantin-

kantin di sekolah yang ada di Kota Medan. Dinas Kesehatan bekerjasama dengan

petugas kesehatan lingkungan di tiap puskesmas dalam melakukan pembinaan

terhadap pengelola kantin sekolah tersebut. Jadi setiap petugas kesehatan lingkungan

di puskesmas akan melakukan pembinaan terhadap pengelola kantin-kantin sekolah

diwilayah kerjanya masing-masing. Yang menjadi kualifikasi/keahlian petugas

kesehatan lingkungan puskesmas tersebut adalah harus bisa melakukan penyuluhan

dan mengerti cara pengambilan sampel makanan dan minuman. Dinas Kesehatan

sendiri melakukan pengarahan kepada petugas kesehatan lingkungan puskesmas dan

melakukan pelatihan jika ada sosialisasi/program. Pelatihan yang dilakukan berupa

pelatihan cara pengambilan sampel dan penyuluhan terhadap pedagang kaki lima atau

kantin sekolah.

Jika ditemukan pedagang makanan jajanan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan maka Dinas Kesehatan akan memberikan peringatan atau pengarahan.

Universitas Sumatera Utara


Tidak ada sanksi khusus bagi mereka yang menjajakan makanan dengan tidak

memenuhi syarat kesehatan, hanya berupa peringatan.

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASA
N

5.1. Karakteristik Penjual Bakso Bakar

5.1.1. Jenis kelamin

Dari hasil observasi diketahui bahwa semua (100%) jenis kelamin pedagang

bakso bakar disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan adalah laki-laki.

Adapun alasan perlunya mengetahui karakteristik berdasarkan jenis kelamin karena

perempuan biasanya lebih memperhatikan kebersihan dirinya misalnya baju yang

dipakai, kebersihan diri seperti kuku, rambut, tangan, dll. Disamping itu perempuan

biasanya tidak merokok seperti laki-laki dimana hal tersebut sangat berpengaruh

terhadap hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar.

5.1.2. Umur

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pedagang bakso bakar paling

banyak berada pada kelompok umur >35 tahun yaitu sebanyak 4 orang (66,7%).

Mereka adalah pedagang I, Pedagang III, pedagang IV, pedagang VI. Berdasarkan

hasil observasi, umur pedagang bakso bakar yang lebih muda tidak berarti lebih

memperhatikan kebersihan saat mengolah ataupun saat menyajikan bakso bakar

karena pedagang yang berumur 23 tahun pun tidak mencuci tangannya sebelum

mengolah bakso bakar, sama seperti pedagang yang berumur 53 tahun. Menurut

asumsi peneliti, hal yang demikian memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh

bakteri pada bakso bakar.

Universitas Sumatera Utara


5.1.3. Lama Bekerja

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti maka didapat lama

bekerja pedagang bakso yang paling lama adalah 5 tahun (pedagang III) dan yang

paling muda lama bekerjanya adalah 1 tahun (pedagang II, IV, VI).

Semakin lama waktu berjualan bakso bakar maka pengalaman dalam bidang

tersebut akan semakin baik. Pembuatan bakso bakar terbilang cukup sederhana

namun dibutuhkan keterampilan khusus dalam membuat bulatan bakso bakar.

Semakin berpengalaman, pedagang akan semakin cepat dan lihai dalam membuat

bulatan bakso bakar tesebut. Pedagang bakso bakar yang lebih lama waktu

berjualannya tidak berarti lebih memperhatikan kebersihan saat mengolah ataupun

saat menyajikan bakso bakar karena pedagang yang telah 5 tahun berjualan pun masih

belum memperhatikan hygiene sanitasi, sama seperti pedagang yang masih berjualan

selama 1 tahun.

5.2. Observasi Enam Prinsip Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan

5.2.1. Pemilihan Bahan Baku Bakso Bakar

Pada Penelitian ini peneliti mendapat bahwa semua penjual telah

menggunakan bahan baku yang memenuhi syarat kesehatan yaitu bahan baku tepung

yang dalam keadaan baik, terdaftar dan tidak rusak. Daging dan bumbu yang

digunakan juga dalam keadaan baik dan tidak busuk. Dari 6 pedagang bakso bakar,

yang menggunakan bakso ikan ada sebanyak 3 orang dan 3 orang pedagang

menggunakan bakso ayam.

Semua pedagang senantiasa berbelanja bahan baku setiap pagi. Mereka tidak

menggiling sendiri baksonya, namun digilingkan ketempat penggilingan bakso.

Universitas Sumatera Utara


Tempat penggilingan bakso terdapat di pajak tradisional. Dari 6 orang pedagang

bakso, mereka menggilingkan baksonya ke 4 tempat penggilingan bakso. Ditempat

inilah semua adonan bakso seperti tepung, daging, bawang, daun sop dicampur

hingga dapat dibentuk bulatan. Dalam mencampurkan adonan bakso, pedagang juga

memasukkan penyedap rasa seperti royco agar rasa ayam atau dagingnya lebih terasa.

Bahan baku tepung dapat langsung diperoleh dari tempat penggilingan bakso

tersebut. Tempat penggilingan bakso ada yang langsung menyediakan bumbu dan

dagingnya sekaligus. Disebagian tempat, bumbu dan dagingnya dapat dibeli dari

pajak. Hal tersebut dapat memudahkan penjual bakso dalam membeli bahan bakunya.

Menurut asumsi peneliti, karena pedagang bakso bakar senantiasa berbelanja bahan

baku setiap pagi hari, maka kemungkinan bahan baku yang digunakan seperti

ikan/daging bisa dalam keadaan segar dan tidak busuk. Demikian juga dengan

bumbu-bumbu seperti bawang dan daun sop, bisa dalam keadaan baik, segar dan

tidak busuk.

Bahan baku makanan harus diamankan agar terhindar dari terjadinya

kerusakan seperti busuk dan terjadinya pencemaran dari asal bahan atau dari

lingkungan. Bahan makanan yang baik harus bebas pencemaran, tidak rusak secara

fisik, atau oleh karena bahan kimia, bebas dari bibit penyakit (Cahyadi,2008).

Menurut Kepmenkes No. 942 Tahun 2003, semua bahan yang diolah menjadi

makanan jajanan harus dalam keadaan baik mutunya, segar dan tidak busuk. Semua

bahan olahan dalam kemasan yang diolah menjadi makanan jajanan harus bahan

olahan yang terdaftar di Departemen Kesehatan, tidak kadaluwarsa, tidak cacat atau

tidak rusak.

Universitas Sumatera Utara


5.2.2. Penyimpanan Bahan Baku Bakso Bakar

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, penyimpanan bahan baku

bakso bakar tidak memenuhi syarat kesehatan. Penyimpanan bahan baku bakso bakar

berada di tempat penggilingan bakso. Belum ada tempat khusus yang disediakan

untuk menyimpan bahan-bahan baku bakso bakar tersebut. Bahan baku yang berupa

bumbu-bumbu seperti penyedap, garam ada yang digantungkan dan diletakkan diatas

meja. Bahan baku seperti tepung dikemas dalam karung dan ditindih begitu saja di

atas lantai dan lantainya dalam keadaan tidak bersih. Menurut asumsi peneliti,

keadaan penyimpanan yang demikian memungkinkan terjadinya kontaminasi secara

fisik maupun pencemaran karena vektor/hewan pengganggu seperti tikus/serangga.

Bakso yang telah digiling disimpan dalam wadah plastik sebelum diberikan kepada

pedagang bakso. Plastik tersebut diletakkan diatas meja dan jika tidak muat lagi

diletakkan diatas lantai.

Lantai di tempat penggilingan ini memang terbuat dari bahan yang kedap air

(semen) namun kondisinya sangat kotor dan terdapat genangan air/basah. Meja

tempat pemotongan daging/ikan ditempat penggilingan ini pun dalam keadaan basah,

tidak bersih dan berwarna hitam. Mereka hanya membersihkan meja tersebut setelah

tidak ada lagi orang yang hendak menggilingkan baksonya. Menurut asumsi peneliti,

daging/ikan tersebut kemungkinan dapat terkontaminasi dari meja ataupun dari sisa

pemotongan daging/ikan yang sebelumnya.

Langit-langit di tempat penggilingan bakso ini juga tidak dalam keadaan

bersih. Banyak terdapat sarang laba-laba sehingga memungkinkan pencemaran ke

Universitas Sumatera Utara


adonan bakso yang sedang digiling. Setelah siap menggiling bakso, tempat

penggilingan tersebut langsung dibersihkan dengan menyiram dengan air.

Penyimpanan bahan makanan bertujuan untuk mencegah bahan makanan agar

tidak lekas rusak. Tempat penyimpanan bahan baku makanan harus dalam keadaan

bersih, kedap air dan tertutup, serta penyimpanan bahan baku makanan terpisah dari

makanan jadi. Apabila dibandingkan dengan syarat penyimpanan bahan baku

menurut Kepmenkes No.715/Menkes/SK/V/2003, maka penyimpanan bahan baku

bakso bakar tidak memenuhi syarat kesehatan. Lokasi penyimpanan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan akan memudahkan terjadinya kontaminasi oleh

mikroorganisme seperti jamur, bakteri, virus, parasit serta bahan-bahan kimia yang

dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan. Adapun seharusnya cara

penyimpanannya tidak menempel pada lantai,dinding atau langit-langi dengan

ketentuan sebagai berikut (Depkes RI, 2003):

a. Jarak makanan dengan lantai 15 cm

b. Jarak makanan dengan dinding 5 cm

c. Jarak makanan dengan langit-langit 60 cm

5.2.3. Pengolahan Bakso Bakar

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, didapat bahwa

pengolahan bakso bakar tidak memenuhi syarat kesehatan. Seluruh bumbu yang akan

digunakan dalam pengolahan bakso bakar tidak terlebih dahulu dicuci dengan air

bersih. Hal ini disebabkan karena pencampuran bumbu dengan bakso dilakukan di

Universitas Sumatera Utara


tempat penggilingan bakso dan ditempat penggilingan bakso ini tidak tersedia air

mengalir yang bersih dan sabun. Hal ini dapat menyebabkan kontaminasi dari

bumbu-bumbu tersebut ke bakso yang akan digiling.

Dalam menggiling bakso, penggiling menggunakan es untuk mencampur

tepung dengan dagingnya dengan alasan agar baksonya kental dan dapat dibuat

bentuk bulatan. Es disimpan didalam ember hitam yang tampaknya kurang bersih dan

menggunakan 1 ember untuk semua yang menggilingkan baksonya. Ketika

mencampurkan es kedalam adonan bakso, mereka menggunakan tangan secara

langsung tanpa menggunakan sarung tangan. Bahkan mereka juga tidak terlebih

dahulu mencuci tangan. Padahal tangan mereka kotor karena sambil mengaduk

adonan bakso. Hal itu dapat menyebabkan kontaminasi dari tangan penjamah

kedalam adonan bakso tersebut.

Alat penggilingan bakso tidak langsung dibersihkan. Alat tersebut digunakan

secara terus-menerus dari awal sampai tidak ada lagi pedagang bakso yang datang

menggilingkan baksonya. Hal tersebut dikarenakan terkadang mereka tidak sempat

langsung membersihkannya. Orang yang datang menggilingkan baksonya cukup

banyak sehingga susah jika langsung membersihkan alat pengiling tersebut. Selain

itu, sumber air bersih dipajak pun cukup susah sehingga mereka menghemat

pemakaian air. Hal tersebut juga dapat menyebabkan kontaminasi dari alat

penggilingan bakso tersebut.

Daging yang telah dipotong-potong diletakkan di dalam ember yang tidak

terlebih dahulu dicuci dan juga dipergunakan secara terus menerus. Demikian juga

dengan meja tempat memotong daging/ikan tersebut dalam keadaan tidak bersih,

Universitas Sumatera Utara


basah dan tidak langsung dibersihkan. Dalam mencampurkan adonan bakso (tepung,

daging/ikan dan bumbu-bumbu) di alat pengilingnya, mereka juga menggunakan

tangan secara langsung. Mereka mengaduk-aduk adonan bakso tersebut tanpa

menggunakan sarung tangan. Keadaan tersebut bisa menyebabkan adonan bakso

kurang terjaga kebersihannya dan dapat tercemar baik dari tangan penjamah maupun

dari peralatan yang digunakan.

Pengolahan bakso bakar dirumah hanya berupa proses membulati bakso,

memasaknya sampai mendidih dan menusuknya dengan tusuk sate. Dari 6 penjamah

bakso, terdapat 16% penjamah makanan (penjamah V) yang tidak menggunakan

peralatan yang telah dibersihkan terlebih dahulu dengan sabun. Alasannya karena

peralatan yang digunakan nampaknya tidak terlalu kotor sehingga terkadang hanya

dibilas dengan air saja agar cepat. 16% peralatan yang digunakan tidak langsung

dibersihkan (penjamah I) alasannya juga karena nampaknya peralatan yang telah siap

digunakan tidak terlalu kotor karena hanya digunakan sebagai tempat bakso yang

telah dimasak sebelum ditusuk dengan tusuk sate. Setelah siap ditusuk, peralatan

tersebut lagsung disimpan diatas meja tanpa terlebih dahulu dibersihkan. Selain itu,

sering sekali pedagang buru-buru pergi ke sekolah untuk menjajakan bakso bakarnya

karena jam istirahat SD mulai jam 9 lewat sehinga mereka tidak sempat langsung

membersihkan peralatannya. Semua peralatan yang digunakan untuk mengolah bakso

dalam keadaan baik,tidak cacat dan mudah dibersihkan.

Semua penjamah telah menggunakan air bersih dalam mengolah bakso. Hal

ini disebabkan karena ditiap-tiap rumah telah tersedia sarana air bersih. Pengolah

makanan juga tidak ada yang menderita penyakit menular seperti batuk,

Universitas Sumatera Utara


pilek,influenza,diare ataupun penyakit perut lainnya. Namun ketika ditanyakan, jika

masih dapat ditahankan mereka tetap akan mengolah baksonya jika suatu saat mereka

sakit. Karena sangat sayang bagi mereka jika 1 hari tidak berjualan bakso bakar.

Menurut asumsi peneliti, hal yang demikian memungkinkan terjadinya kontaminasi

oleh bakteri pada bakso bakarnya.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, 100% badan penjamah tidak bersih.

Hal ini disebabkan karena penjamah makanan biasanya telah pergi ke pajak jam 5

pagi untuk mengggilingkan baksonya dan sesudah itu langsung diolah di rumah tanpa

terlebih dahulu mandi. Pakaian yang digunakan pun adalah pakaian yang dipakai

tidur. Terdapat 16% penjamah menggunakan pakaian yang nampaknya kurang bersih

(penjamah II). Keadaan tersebut bisa mengakibatkan pencemaran dari tubuh

pedagang dan memberikan penampilan yang tidak enak dilihat. Hanya 34% yang

mempunyai kuku yang pendek dan bersih (penjamah I, penjamah V). Kuku tidak

pendek dan tidak bersih disebabkan oleh karena penjamahnya kurang memperhatikan

kebersihan kukunya, jarang memotong dan tidak terlebih dahulu cuci tangan pakai

sabun. Selain itu juga disebabkan kurangnya kesadaran dari penjamah dalam menjaga

kebersihan kukunya. Hygiene pribadi penjamah masih kurang. Menurut asumsi

peneliti, kuku yang tidak bersih dan tidak mencuci tangan dapat menyebabkan

kontaminasi dari kuku penjamah kedalam bakso bakar. Sebab di dalam kuku dan

tangan yang tidak bersih kemungkinan banyak terdapat bakteri.

Semua penjamah tidak menggunakan celemek dan penutup kepala. Hal ini

disebabkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran penjamah tentang untuk apa

menggunakan celemek ataupun penutup kepala tersebut. Semua penjamah tidak

Universitas Sumatera Utara


mencuci tangan sebelum membulati bakso disebabkan mereka kurang mempunyai

kesadaran untuk mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum mengolah makanan.

Tidak ada penjamah yang mengunakan sarung tangan. Menurut mereka mengolah

bakso bakar dengan menggunakan sarung tangan akan memperlambat kinerja

mereka. Hal itu dapat menyebabkan kontaminasi dari tangan penjamah ke bakso yang

telah dibulati. 100% pedagang telah mencuci tangan sesudah mengolah makanan, hal

ini disebabkan karena setelah membulati bakso bakar, tangan mereka dalam keadaan

kotor sehingga perlu dibersihkan.

Hanya 16% penjamah yang tidak sambil merokok (penjamah V). Mereka

biasanya merokok pada saat bakso dalam proses di masak. Sambil menunggu

baksonya mendidih, mereka bisa merokok. Padahal ketika hendak menusuk bakso

dengan tusuk sate, mereka tidak terlebih dahulu mencuci tangannya sehingga bakso

tersebut bisa tercemar dari tangan penjamah. Hal itu disebabkan karena semua

penjamah adalah laki-laki, kurang kesadaran dan mereka kurang memperhatikan

kebersihannya sendiri. Semua penjamah tidak sambil menggaruk anggota badan

selama proses pengolahan bakso bakar.

Semua lantai yang digunakan dalam proses pengolahan bakso bakar telah

mudah dibersihkan,tidak licin dan kedap air. Lantai terbuat dari semen namun ada

sebagian semennya yang telah rusak (retak) sehingga nampak kurang bersih dan debu

dari retakan semen tersebut dapat mencemari makanan karena para penjamah

biasanya menjamah baksonya di atas lantai.

Cara pengolahan bahan baku sangat menentukan kualitas makanan jadi.

Kebersihan peralatan yang digunakan dalam pengolahan juga sangat penting. Begitu

Universitas Sumatera Utara


juga status kesehatan pengolah makanan serta cara kerjanya, yang tentunya

menentukan terjadinya kontaminasi dari pekerja ke makanan. Pekerja ini diharuskan

mempunyai sertifikasi kesehatan yang berlaku enam bulan, sehingga dapat dicegah

penularan penyakit lewat makanan. Pengolah makanan tidak boleh sakit kulit,

tenggorokan, dan bukan carrier penyakit tertentu (Soemirat, 2002).

Berdasarkan Kepmenkes RI No.942/Menkes/SK/VII/2003, syarat-syarat

penjamah dalam menangani makanan jajanan antara lain tidak menderita penyakit

mudah menular, menutup luka (pada luka terbuka/bisul), menjaga kebersihan tangan,

kuku dan pakaian, memakai celemek dan tutup kepala, mencuci tangan setiap kali

hendak menangani makanan, menjamah makanan harus memakai alas tangan, tidak

sambil merokok, tidak sambil menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut dan

bagian lainnya), tidak batuk/bersin dihadapan makanan jajanan dan menutup hidung/

mulut.

5.2.4. Penyimpanan Makanan Jadi

Berdasarkan hasil penelitian pada prinsip penyimpanan bakso bakar, didapat

bahwa secara keseluruhan penyimpanan makanan jadi belum memenuhi syarat

kesehatan. Namun 84% pedagang telah memenuhi syarat. Semua pedagang telah

mempunyai tempat khusus penyimpanan bakso bakar yang dalam keadaan tertutup.

Tempat berupa etalase atau box yang langsung diangkut untuk dijajakan. Hal itu

dapat mencegah masuknya pencemar kedalam bakso bakar.

Bakso bakar yang disimpan juga dalam keadaan tidak busuk dan tidak basi.

Hal ini disebabkan oleh karena bakso yang disimpan di etalase tersebut adalah bakso

yang baru siap diolah dan yang akan langsung diangkut untuk dijajakan. 16%

Universitas Sumatera Utara


Pedagang tidak membersihkan tempat penyimpanan bakso bakar tersebut setiap hari

yaitu pedagang VI. Pedagang terkadang hanya mengelap etalase tersebut dengan kain

dengan alasan agak sedikit susah apabila dibersihkan dengan air dan sabun karena

etalasenya cukup berat dan terbuat dari kaca.

Penyimpanan makanan jadi perlu dilakukan supaya makanan terlindung dari

debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lainnya (Mukono, 2006).

Makanan yang telah diolah disimpan di tempat yang memenuhi persyaratan sanitasi

seperti dalam lemari, rak atau alat pendingin (Chandra, 2006).

5.2.5. Pengangkutan Bakso Bakar

Berdasarkan hasil penelitian pada prinsip pengangkutan makanan bakso

bakar, didapat bahwa secara keseluruhan belum memenuhi syarat kesehatan. 1 orang

pedagang (pedagang VI) tidak menggunakan prinsip pengangkutan bakso bakar

karena bakso bakar dijual oleh pihak kantin sekolah. Jadi pengolahan sampai

penyajian bakso bakar berlangsung dikantin tersebut.

Semua pedagang yang menggunakan prinsip pengangkutan bakso bakar telah

mempunyai tempat untuk mengangkut bakso bakar yang dalam keadaan tertutup. Hal

itu dapat mencegah kontaminasi dari luar selama proses pengangkutan. Namun

tempat pengangkutan bakso bakar tersebut ada yang digunakan sebagai tempat jualan

makanan lainnya seperti jualan tahu bakar, gorengan ataupun kue basah lainnya. 1%

tempat pengangkutan bakso tidak dalam keadaan bersih (pedagang II ). Hal ini

disebabkan karena pedagang tidak membersihkannya setiap hari. Pedagang biasanya

hanya mengelap tempat tersebut dengan kain karena agak susah untuk dibersihkan

dengan air dan sabun.

Universitas Sumatera Utara


Bakso bakar diangkut dengan menggunakan sepeda ataupun sepeda motor.

Terdapat 60% kendaraan yang digunakan (pedagang I, pedagang III, pedagang IV)

untuk mengangkut bakso bakar dalam keadaan tidak bersih dan terdapat debu. Hal itu

dikarenakan para pedagang biasanya selesai menjajakan baksonya sampai sore hari

dan dalam keadaan capek/lelah sehingga mereka jarang membersihkan kendaraannya

secara rutin. Hal tersebut dapat menyebabkan pencemaran dari kendaraan kedalam

bakso bakar yang akan dikonsumsi. Sering juga dijumpai saos, kecap yang digunakan

oleh pedagang bakso bakar tidak tertutup rapi dan tempatnya nampaknya tidak bersih.

Tempat saos biasanya dibuat di dalam kaleng-kaleng ataupun tempat bontot. Hal

tersebut dapat menyebabkan pencemaran dari saos atau kecap yang nantinya akan

diolesi ke bakso bakar.

Makanan yang berasal dari tempat pengolahan akan mengalami pengotoran

sepanjang pengangkutan bila cara pengangkutannya kurang tepat dan alat angkutnya

kurang baik dari segi kualitasnya. Oleh karena itu perlu memperhatikan kondisi alat

pengangkut serta kondisi tenaga pengangkut apakah tidak berpenyakit menular dan

mempunyai personal hygiene yang baik. Pengangkutan makanan harus menghindari

daerah-daerah atau tempat-tempat yang kotor dan mudah mengontaminasi makanan

dan cara pengangkutan makanan harus dilakukan dengan mengambil jalan yang

singkat, pendek dan paling terdekat (Depkes RI, 2004).

Cara pengangkutan makanan juga harus memenuhi persyaratan sanitasi,

misalnya apakah sarana pengangkutan memiliki tutup aga makanan tidak tercemar

dari sumber kontaminan dan tidak rusak (Chandra, 2006).

5.2.6. Penyajian Bakso Bakar

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil penelitian pada prinsip penyajian bakso bakar, pedagang

bakso bakar belum memenuhi syarat kesehatan. 16% tangan penyaji (pedagang II)

kontak langsung dengan bakso bakar. Hal itu terjadi pada saat mengambil bakso

bakar untuk dibakar. Tanpa sadar tangan penyaji mengenai bakso bakar yang akan

diambilnya. Semua penyaji tidak ada yang bersin, batuk ataupun menggaruk anggota

badannya pada saat menyajikan makanan. 84% penyaji (pedagang I, pedagang

III,pedagang IV, pedagang V, pedagang VI) telah berpakaian bersih dan berbadan

bersih dikarenakan sebelum pergi menjajakan makanan, mereka terlebih dahulu

mandi, namun pedagang II tampak tidak menggunakan pakaian yang bersih. Hal

tersebut dapat menyebabkan pencemaran dari penyaji ke bakso bakar tersebut. Dari 6

pedagang, hanya 34% yang memiliki kuku pendek dan bersih (pedagang I, Pedagang

V). Kuku tidak pendek dan tidak bersih disebabkan oleh karena pedagang tesebut

kurang memperhatikan kebersihan kukunya, jarang memotongnya dan kurangnya

kesadaran dari pedagang dalam menjaga kebersihan kukunya.

Semua pedagang merokok ketika menyajikan makanannya, disebabkan

mereka sering menunggu siswa datang membeli bakso bakar. Mereka akhirnya

menghabiskan waktu dengan merokok ataupun bercakap-cakap. Terkadang pada saat

siswa datang membeli, rokok mereka belum habis dan mereka tetap menyajikan

bakso bakarnya sambil merokok.

Para pedagang bakso memiliki alat khusus untuk membakar baksonya, namun

tempat pembakaran bakso tersebut dalam keadaan kotor, hitam dan jarang

dibersihkan. Terlihat bekas abu arang, bekas saus ataupun kecap yang digunakan

ketika membakar bakso. Pedagang juga biasanya mengipas baksonya ketika

Universitas Sumatera Utara


membakar sehingga sering sekali abu dari arang tersebut beterbangan mengenai

bakso bakar. Selain itu bakso yang dibakar juga memiliki resiko tercemar dari udara

luar ataupun debu. Hal tersebut menyebabkan bakso bakar yang dikonsumsi dalam

keadaan kurang bersih dan telah tercemar dari tempat pembakaran bakso, abu ataupun

debu.

Semua bakso bakar disajikan dalam keadaan terbungkus atau tertutup karena

mereka membuat wadah khusus sebagai tempat bakso bakar yang akan disajikan yaitu

plastik putih. Namun apabila bakso bakar yang dibeli hanya 1, terkadang pedagang

tidak menyajikannya dalam plastik tersebut karena si siswa langsung memakannya.

Penyajian makanan harus memenuhi persyaratan sanitasi, yaitu bebas dari

kontaminasi, bersih, tertutup serta dapat memenuhi selera makan pembeli (Chandra,

2006). Semua kegiatan pengolahan makanan juga harus terlindungi dari kontak

langsung dengan tubuh (Mukono, 2006).

Menurut Kepmenkes RI No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman

Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, persyaratan untuk penyajian

makanan adalah sebagai berikut:

i. Makanan jajanan yang disajikan harus dengan tempat/alat perlengkapan yang

bersih, dan aman bagi kesehatan.

j. Makanan jajanan yang dijajakan harus dalam keadaan terbungkus dan atau

tertutup.

k. Pembungkus yang digunakan dan atau tutup makanan jajanan harus dalam

keadaan bersih dan tidak mencemari makanan.

l. Pembungkus makanan tersebut dilarang ditiup.

Universitas Sumatera Utara


m. Pada waktu menjajakan makanan harus terlindungi dari debu dan pencemaran.

5.2.7. Gambaran Hygiene Sanitasi Bakso Bakar yang dijual disekitar SD di

Kecamatan Medan Baru Kota Medan

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 942 tahun 2003 tentang

higiene sanitasi makanan minuman jajanan, suatu penjualan makanan minuman

dikatakan memenuhi syarat, jika semua variabel dalam penilaian higiene sanitasi

memenuhi syarat yang ditentukan. Hygiene sanitasi pengolahan bakso bakar yang

dijual disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan secara umum tidak

memenuhi syarat kesehatan karena semua pedagang bakso bakar belum menerapkan

prinsip hygiene sanitasi pengolahan makanan secara keseluruhan, mulai dari tahap

pemilihan bahan baku hingga penyajian makanan yang sesuai dengan Kepmenkes RI

No. 942 tahun 2003 tersebut.

Dari 6 pedagang, 16% telah melaksanakan penerapan higiene sanitasi

makanan jajanan yang memenuhi syarat pada lebih dari 75% dari keseluruhan

variabel yang disyaratkan. Pedagang lain, yaitu 84% pedagang, memenuhi syarat

higiene sanitasi makanan jajanan pada kisaran 51% sampai 74% dari total variabel

yang dinilai.

Berdasarkan hasil observasi dengan kriteria yang disesuaikan peneliti, hanya

pada tahap pemilihan bahan baku semua produsen melaksanakannya dengan baik.

Pada tahap penyimpanan bahan baku dan pengolahan makanan, semua pedagang

bakso bakar tidak memenuhi syarat kesehatan. Pada tahap penyimpanan bakso bakar,

84% (pedagang I, pedagang II, pedagang III, pedagang IV, pedagang V) telah

memenuhi syarat kesehatan. Pada tahap pengangkutan bakso bakar, hanya 20%

Universitas Sumatera Utara


(pedagang V) yang memenuhi syarat kesehatan. Pedagang yang lainnya belum

memenuhi syarat kesehatan karena sebagian besar kendaraan yang mereka gunakan

dalam mengangkut bakso bakar tidak dalam keadaan bersih. Kendaraan yang

digunakan berdebu dan jarang dibersihkan. Hal itu disebabkan pedagang bakso sering

sekali selesai menjajakan baksonya hingga pada sore hari dengan kondisi tubuh yang

capek sehingga mereka kurang memiliki waktu untuk membersihkan kendaraannya

secara rutin. 50% pedagang menggunakan tempat pengangkutan bakso bakar untuk

berjualan makanan lainnya seperti menjual tahu bakar,gorengan ataupun kue-kue

lainnya. Dalam menyajikan bakso bakar juga semua pedagang masih belum

memenuhi syarat kesehatan. Mereka masih belum memperhatikan kebersihan badan

terlihat dari kuku yang pendek dan bersih hanya 16% (pedagang V). Semua pedagang

juga merokok ketika sedang menyajikan bakso bakar.

Pengumpulan data melalui kuesioner disertai wawancara dilakukan untuk

lebih mengetahui lebih rinci lagi tentang hygiene sanitasi pedagang bakso tersebut.

Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan, didapat bahwa semua bahan baku

diperoleh dari pasar tradisional dengan alasan lebih murah dan mudah dijangkau.

Semuanya bahan baku diletakkan diatas lantai padahal seharusnya bahan baku

tersebut disimpan dalam rak khusus untuk mencegah dari kemungkinan kontaminasi

dan gangguan dari serangga/tikus. Bahan baku makanan yang telah dibeli 33.3%

kadang-kadang langsung habis dipakai dan 66.7% tidak habis dipakai sehingga bahan

baku tersebut seharusnya memiliki tempat penyimpanan khusus untuk mencegah

pencemaran, gangguan dari serangga/tikus dan kerusakan bahan baku.

Universitas Sumatera Utara


Menurut pengakuan pedagang, apabila mereka menderita penyakit menular

16.7% akan tetap berjualan dengan menutup mulut/hidung dan 83.3% berjualan tanpa

menutup mulut/hidung. Hal ini dapat menyebabkan kontaminasi dari pedagang

tersebut ke dalam bakso bakar. Seharusnya apabila sakit, pedagang harus menutup

mulut/hidungnya atau beristirahat (tidak berjualan) untuk mencegah kontaminasi dari

pedagang tersebut. 33.3% pedagang membersihkan dapurnya sebelum dan setelah

mengolah makanan. Hal itu dapat mencegah pencemaran dari dapur kedalam bakso

bakar yang akan diolah. Dari 83,3% pedagang mengaku biasanya membersihkan

tempat bakso bakar 1 kali sehari. Namun mereka hanya membersihkannya dengan

kain lap. Pedagang juga mengaku bakso bakar yang mereka jual biasanya habis dalam

1 hari.

Secara umum didapat bahwa hygiene sanitasi pedagang bakso bakar dapat

dikategorikan kedalam kondisi sedang. Dari 6 pedagang, hanya 1 orang (16,7%) yang

memiliki hygiene sanitasi baik yaitu pedagang V. Selebihnya(83,3%) memiliki

hygiene sanitasi yang sedang. Menurut asumsi peneliti, hal tersebut dapat disebabkan

karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran padagang dalam menjaga kebersihan

pribadinya.

Berdasarkan hasil wawancara kepada pedagang, mereka mengaku belum

pernah mendapatkan pelatihan ataupun penyuluhan tentang hygiene sanitasi makanan.

1 orang pedagang mengatakan baksonya pernah diambil sampelnya untuk periksa.

Namun tidak ada tindakan selanjutnya.

5.3. Kandungan Boraks pada Bakso Bakar

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan

Tambahan Makanan, dikatakan bahwa boraks merupakan bahan tambahan makanan

yang dilarang. Boraks dilarang digunakan dalam makanan disebabkan bahan ini

bersifat toksik atau beracun untuk manusia.

Boraks biasanya digunakan sebagai pengawet ataupun pengenyal pada bakso.

Pemakaian berulang atau absorbs berlebihan dapat mengakibatkan toksik (keracunan)

(Cahyadi, 2008).

Kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual disekitar sekolah dasar di

Kecamatan Medan Baru Kota Medan diharapkan memenuhi standar yang mengacu

kepada Permenkes No. 1168/MENKES/PER/X/1999 yaitu bakso bakar tidak

mengandung boraks. Berdasarkan hasil pemeriksaan di Laboratorium Kesehatan

Daerah Medan terhadap kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual disekitar SD

di Kecamatan Medan Baru, dari 12 sampel yang diambil semuanya tidak

mengandung boraks.

Umumnya para pedagang bakso mengolah baksonya setiap hari dan dalam

skala kecil. Bakso yang dijajakan juga langung habis terjual dalam satu hari sehingga

menurut asumsi peneliti, mereka tidak membutuhkan bahan pengawet untuk

mengawetkan bakso mereka. Semua pedagang juga semua meggilingkan baksonya ke

tempat penggilingan bakso, sehingga tidak memungkinkan untuk mencampurkan

boraks di tempat penggilingan tersebut karena kemungkinan besar pencampuran

boraks pada bakso berada pada saat membuat adonan bakso (pencampuran

daging/ikan dengan tepung). Selain itu, daging/ikan, tepung dan bumbu-bumbu

Universitas Sumatera Utara


seperti bawang atau daun sop juga langsung didapatkan di pajak pada hari mereka

akan menggilingkan bakso sehingga semua bahan dalam keadaan baru.

Setiap pedagang biasanya mempunyai SD yang tetap sebagai tempat mereka

menjajakan bakso bakarnya sehingga anak-anak SD tersebut telah mengenal

pedagang bakso itu. Menurut asumsi peneliti, hal tersebut kemungkinan bisa menjadi

alasan bagi si pedagang untuk tidak menggunakan boraks pada baksonya. Ada 1

pedagang yang memang menjajakan baksonya di dalam kantin sekolah (pedagang VI)

sehingga apa yang dijual pedagang tersebut tidak boleh sembarangan dan pedagang

tersebut mempunyai tangggung jawab dalam menjajakan makanan jajanannya.

Berdasarkan hasil wawancara juga, para pedagang bakso mengaku kurang mengerti

secara mendalam tentang bahan-bahan pengawet seperti boraks yang sering dibuat

dalam bakso. Mereka memang pernah mendengar kasus boraks tersebut namun

mereka mengaku tidak berani membuat dalam bakso mereka.

Dalam mengolah bakso bakar, para pedagang memang masih kurang

memperhatikan kebersihannya. Hygine pribadi pedagang masih tergolong kurang.

Namun menurut asumsi peneliti, itu bukan menjadi alasan bagi pedagang untuk

membuat pengawet boraks pada bakso bakarnya. Karena memang pedagang tidak

membutuhkan pengawet untuk baksonya. Lama berjualan pedagang juga bukan

menjadi alasan bagi pedagang untuk dapat membuat pengawet boraks pada bakso

bakarnya. Semakin lama berjualan bakso bakar bukan berarti pedagang semakin

berani membuat pengawet boraks pada dagangannya. Hal itu dapat dilihat dari

pedagang yang telah berjualan selama 5 tahun pun tidak menggunakan boraks pada

bakso bakarnya.

Universitas Sumatera Utara


Jika dibandingkan dengan hasil penelitian (Labora,2010) tentang Pemeriksaan

dan Penetapan Kadar Boraks dalam Bakso di Kota Madya Medan, didapat dari 10

sampel yang diperiksa ternyata 8 sampel menunjukkan hasil yang positif

mengandung boraks. Hal itu mungkin terjadi karena bakso yang diperiksa merupakan

bakso yang diproduksi dalam jumlah besar sehingga membutuhkan boraks sebagai

pengawet. Maka diperoleh bahwa belum terjadi praktek penggunaan boraks untuk

tujuan pengawetan ataupun pengenyal pada bakso bakar yang dijual disekitar SD di

Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi hygiene sanitasi dan pemeriksaan boraks pada

bakso bakar yang dijual disekitar sekolah dasar di Kecamatan Medan Baru Kota

Medan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemilihan bahan baku bakso bakar yang dijual disekitar SD di Kecamatan

Medan Baru Kota Medan Tahun 2012 memenuhi syarat kesehatan.

2. Penyimpanan bahan baku, pengolahan bakso bakar, penyimpanan bakso

bakar, pengangkutan bakso bakar dan penyajian bakso bakar yang

dijajakan disekitar SD di Kecamatan Medan Baru Kota Medan tahun 2012

tidak memenuhi syarat kesehatan.

3. Tidak ada pedagang yang memenuhi syarat kesehatan secara keseluruhan

dalam melaksanakan enam prinsip higiene sanitasi makanan jajanan.

4. Kondisi hygiene sanitasi pedagang bakso bakar disekitar SD dikecamatan

Medan Baru Kota Medan Tahun 2012 berada dalam kategori sedang.

5. Kandungan boraks pada bakso bakar yang dijual disekitar sekolah dasar di

Kecamatan Medan Baru Kota Medan telah memenuhi syarat kesehatan

menurut permenkes No.1168/MENKES/PER/X/1999, yaitu tidak

mengandung boraks.

Universitas Sumatera Utara


6.2. Saran

1. Diharapkan para pedagang bakso bakar lebih memperhatikan hygiene

sanitasi seperti menjaga kebersihan tangan dan tubuh, juga kebersihan

peralatan yang digunakan.

2. Diharapkan kepada para penggiling bakso agar lebih memperhatikan

kebersihan pada saat menggiling bakso. Baik kebersihan diri maupun

kebersihan tempat penggilingan tersebut.

3. Bagi pihak SD agar lebih memperhatikan berbagai jenis makanan jajanan

yang beredar disekitar sekolah dasarnya demi keamanan siswa/siswi.

4. Untuk orang tua siswa agar senantiasa mendidik anaknya dan

mengajarinya tentang cara memilih makanan yang sehat dan aman.

5. Dinas Kesehatan Kota Medan bekerja sama dengan BPOM perlu

melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara periodik terhadap

makanan jajanan yang beredar di Kota Medan, khususnya disekitar

Sekolah –sekolah Dasar

6. Perlu memberikan pelatihan dan penyuluhan secara periodik kepada

pedagang makanan jajanan untuk meningkatkan pengetahuan tentang

hygiene sanitasi makanan.

7. Untuk peneliti lain agar dapat meneliti tentang keluhan kesehatan siswa

SD terhadap makanan jajanan bakso bakar ataupun makanan jajanan

lainnya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Adiwisatra A, 1995. Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya.


Angkasa Bandung, Bandung

Ariens E.J, dkk. 1985. Toksikologi Umum. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta

Baliwati Y.F, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Swadaya,Bogor

BPOM RI. 2004. Food Watch, Sistem Keamanan Pangan Terpadu,Bahan


Tambahan Ilegal-Boraks, Formalin dan Rhodamin B.
http://www.pom.go.id/surv/events/foodwatch%201st%20edition.pdf. Diakses
tanggal 28 Maret 2012.

Cahyadi W, 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan,


edisi kedua. Bumi aksara, Jakarta

Chandra B, 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC. Jakarta


Desrosier N.W, 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press, Jakarta

Depertemen Kesehatan RI. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI


No.1168/Menkes/X/1999 tentang Perubahan atas Permenkes RI
No.722/Menkes/IX/1998 tentang Bahan Tambahan Makanan, Jakarta

. 2003.Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 942/MENKES/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan
Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, Jakarta

. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No. 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Hygiene Sanitasi Jasaboga,
Jakarta

Ester M, 2002. Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia dan


Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Hardinsyah, Rimbawan, 2001. Analisis Bahaya dan Pencegahan Keracunan


Pangan. PERGIZI PANGAN, Jakarta

Hasan W, 2011. Hand Out Matakuliah Manajemen Penyehatan Makanan


dan Minuman. Medan

Lu F.C, 1995. Toksikologi Dasar. UI Press, Jakarta

Universitas Sumatera Utara


Moehyi S, 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga.
Bhratara, Jakarta

Mubarak W.I, Chayatin N, 2009. Kesehatan Masyarakat : Teori dan


Aplikasi. Salemba Medika, Jakarta

Mukono, 2004. Hygiene Sanitasi Hotel dan Restoran. Airlangga University Press.
Surabaya
Nasution A, 2009. Analisa Kandungan Boraks pada Lontong
di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan. Skripsi FKM USU, Medan

Oliveoile, 2008. Formalin dan Boraks.


http://oliveoile.wordpress.com/2008/01/07/formalin-boraks/.Diakses tanggal
31 Maret 2012.

Panjaitan L, 2010. Pemeriksaan dan Penetapan Kadar Boraks


dalam Bakso di Kota Madya Medan. Skripsi Fakultas Farmasi USU, Medan

Soemirat J, 2005. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta

Soemirat J, 2002. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta
Sumantri A, 2010. Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam.Kencana Prenada

Tanti F, 2011. Resep: Bakso bakar.Waspada Online. http://waspada.co.id/index.php?


option=com_content&view=article&id=19239 0:resep-bakso-
bakar&catid=67:kuliner&Itemid=99. Diakses tanggal 16 Januari 2012

Usmiati S, 2009. Bakso Sehat.


http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr316098.pdf. Diakses tanggal
14 januari 2012

Widyaningsih T.D, Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada


Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya

Yuliarti N, 2007. Awas Bahaya dibalik Lezatnya Makanan. ANDY


Yogyakarta, Yogyakarta

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai