OLEH:
YANSLIEN P. LULAN
1507010090
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
tuntunan-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
usulan penelitian ini dengan judul “Gambaran Tingkat Kejadian Stunting Anak
Baduta di Wilayah Puskesmas Kota Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah
Utara”. Keberhasilan usulan penelitian ini tidak akan terwujud tanpa adanya
bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Apris A.Adu, S.Pt., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Nusa Cendana Kupang.
2. Ibu Dr. Luh Putu Ruliati, S.KM., M.Kes selaku Ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa
Cendana Kupang.
3. Ibu Deviarbi S. Tira, S.KM., M.Kes selaku pembimbing I yang selalu sabar
dan tulus membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
4. Ibu Amelya B. Sir, SKM., M.Kes selaku pembimbing II yang juga dengan
sabar dan tulus membimbing penulis hingga menyelesaikan tulisan ini.
5. Ibu Dra. Engelina Nabuasa, MS selaku penguji yang telah bersedia
memberikan masukan serta arahan untuk perbaikan penyusunan usulan
penelitian ini.
6. Ibu Afrona E. L. Takaeb, SKM., M.HID selaku dosen pembimbing
akademik yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang bekerja sama dengan
Fakultas Kesehatan Masyarakat dan serta beberapa Lembaga Kesehatan
Terkait yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk berpartisipasi
dalam kegiatan Pelaksanaan Pendampingan Program Pencegahan Stunting
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Nusa Tenggara Timur.
8. Ayah, Ibu, Kakak, Adik dan seluruh keluarga atas dorongan, doa, pengertian
dan kesabarannya dalam mendampingi sejak mulai studi hingga selesainya
usulan penelitian ini.
9. Sahabat Inna leokoy Andriz, Aziza, Ester, Deksi, Foni, Fenizia, Naden,
Renty, Irna
10. Teman-teman jurusan Epidemiologi yang selalu memberi motivasi kepada
penulis agar mampu menyelesaikan usulan penelitian ini.
11. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa
Cendana Angkatan 2015 atas bantuan dan kerja samanya.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan usulan penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala usul, kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada penulis sangat diharapkan demi kesempurnaan usulan
penelitian ini. Semoga usulan penelitian ini dapat penulis lanjutkan penelitiannya
untuk mendapatkan hasil hingga skripsi nanti.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Daftar Isi.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
2.1 Stunting.........................................................................................................6
2.3 Aplikasi Pengolah Data...............................................................................13
2.4 Kerangka Teori ...........................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
di NTT tersebut terdiri dari baduta dengan kategori sangat pendek 17,4% dan
pendek 18,5%.
Jumlah Kasus stunting di Kabupaten TTU masih cukup tinggi ini terlihat
dari data 3 tahun terakhir kejadian stunting pada baduta dimana pada tahun 2016
sebesar 51,9% (Dinkes Kabupaten TTU, 2017), dan mengalami penurunan
sebesar 48,3% di tahun 2017 (Dinkes Kabupaten TTU, 2018) , lalu meningkat
menjadi 55% di tahun 2018 (Dinkes Kabupaten TTU, 2019).Kejadian stunting di
Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2018 dari 26 puskesmas persentase
kasus terbanyak di Puskesmas Tamis sebesar 8,54% sedangkan Puskesmas
Kecamatan Kota Kefamenanu tahun 2018 sebesar 2,66% .(Dinkes Kabupaten
TTU, 2019)
Stunting disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung,
penyebab langsung berupa tinggi badan ibu, riwayat penyakit infeksi dan berat
badan lahir rendah sedangkan penyebab tidak langsung yaitu Pendidikan ibu,
pekerjaan ibu dan jumlah anggota keluarga di dalam rumah.
Pendidikan ibu di kabupaten TTU didominasi oleh ibu yang memiliki
tingkat pendidikan rendah (SD hingga SMP) daripada Pendidikan tinggi (SMA
dan Perguruan Tinggi), pada tahun 2018 ibu yang memiliki tingkat pendidikan
rendah sebesar 60,98% sedangkan pendidikan tinggi sebesar 39,20%.(Badan
Pusat Statistik, 2018) Ibu yang memiliki pendidikan yang rendah tidak dapat
mengurus asupan makanan pada saat hamil sehingga mengakibatkan bayi yang
dilahirkan memiliki berat badan yang rendah. Kejadian Berat Bayi Lahir Rendah
yang terjadi di Puskesmas Sasi tahun 2016 sebanyak 121 kasus ,tahun 2017
sebanyak 72 kasus, tahun 2018 sebanyak 9 kasus, meskipun kasus BBLR
mengalami penurunan secara signifikan tetapi kasus BBLR di puskesmas Sasi
pada tahun 2016 dan 2017 merupakan kasus BBLR terbanyak jika dibandingkan
puskesmas-puskesmas yang lain di kabupaten TTU.(Dinkes Kabupaten TTU,
2019)
Bayi yang memiliki berat lahir rendah akan lebih mudah terserang
berbagai penyakit infeksi seperti diare dan pneumonia. Kasus diare pada baduta
v
di puskesmas Kecamatan/Kota Kefamenanu pada tahun 2018 sebanyak 203
kasus dan ini merupakan jumlah kasus tertinggi diantara seluruh puskesmas di
TTU(Dinkes Kabupaten TTU, 2019). Penderita pneumonia balita yang
ditemukan dan ditangani di Puskesmas Sasi tahun 2016 sebanyak 2 kasus tahun
2017 sebanyak 6 kasus tahun 2018 sebanyak 0 kasus. (Dinkes Kabupaten TTU,
2019)
vi
Kelurahan Tubuhe, Kelurahan Kefamenanu Selatan, Kelurahan Benpasi,
Kelurahan Bansone, Kelurahan Kefamenanu Tengah, Kelurahan Aplasi,
Kelurahan Kefamenanu Utara.
vii
6. Mengetahui gambaran BBLR dengan kejadian stunting di wilayah
Puskesmas Kota Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah Utara.
viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
Stunting merupakan suatu keadaan gangguan pertumbuhan pada anak
yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Stunting merupakan kondisi serius yang terjadi saat seseorang tidak
mendapatkan asupan bergizi dalam jumlah yang tepat dalam waktu yang lama
atau kronik (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2019). Stunting atau
tubuh pendek merupakan akibat kekurangan gizi kronis atau kegagalan
pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk
gizi kurang pada anak (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Baduta pendek (stunting) dapat diketahui bila baduta sudah dapat diukur
panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar baku WHO-
MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005 dan didapatkan hasil
nilai z-score <-2 SD, sedangkan dikatakan sangat pendek apabila hasil z-score <-
3 SD (Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Tinggi badan menurut umur (TB/U) dapat digunakan untuk menilai status
gizi masa lampau, ukuran panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah
di bawah sedangkan kelemahannya adalah tinggi badan tidak cepat naik sehingga
kurang sensitif terhadap masalah gizi dalam jangka pendek, perlu ketelitian data
umur, memerlukan 2 (dua) orang untuk mengukur anak (Mardewi, 2014).
ix
2.1.1 Penyebab Stunting Terbagi Menjadi Dua Bagian Yaitu Penyebab
Langsung Dan Tidak Langsung.
2.1.1.1 Penyebab Langsung
1) Perawakan Ibu Pendek
Tinggi badan orangtua sendiri sebenarnya juga dipengaruhi banyak
faktor yaitu faktor internal seperti faktor genetik dan faktor eksternal
seperti faktor penyakit dan asupan gizi sejak usia dini. Faktor genetik
adalah faktor yang. tidak dapat diubah sedangkan faktor eksternal
adalah faktor yang dapat diubah. Hal ini berarti jika orangtua pendek
karena gen-gen yang ada pada kromosomnya memang membawa
sifat pendek dan gen-gen ini diwariskan pada keturunannya (Candra,
2020). Penelitian yang dilakukan oleh (Larasati, 2018) menunjukkan
bahwa hasil analisis hubungan antara tinggi badan ibu dan kejadian
stunting didapatkan bahwa baduta stunting dan memiliki ibu dengan
tinggi badan berisiko yaitu sebesar 18,4%. Baduta yang tidak
stunting dan memiliki ibu dengan tinggi badan berisiko yaitu sebesar
2,6%. Hasil uji statistik didapatkan p-value 0,004 berarti dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara tinggi badan ibu dengan
Kejadian Stunting. Stunting berpeluang 8,355 kali (95% CI 1,828-
38,182) pada baduta yang lahir dari ibu dengan tinggi badan kurang
dari 145cm dibanding baduta yang lahir dari ibu dengan tinggi lebih
dari 145cm.
2) Infeksi
Infeksi enterik: diare, enteropati, lingkungan, cacingan
a) Diare
Penyakit infeksi merupakan faktor risiko stunting pada penelitian
ini. Diare dan ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang
sering diderita oleh anak. Penyakit infeksi memberikan dampak
negatif terhadap status gizi anak dalam hal mengurangi nafsu
x
makan dan penyerapan zat gizi dalam usus, terjadi peningkatan
katabolisme sehingga cadangan zat gizi yang tersedia tidak cukup
untuk pembentukan jaringan tubuh dan pertumbuhan.Penilaian
dilakukan berdasarkan apakah pernah menderita diare dan ISPA
dalam 2 bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Anak yang menderita diare dalam 2 bulan terakhir memiliki risiko
sebesar 5,04 kali untuk menjadi stunting dibandingkan dengan
anak yang tidak pernah diare dalam 2 bulan terakhir.(Lestari et
al., 2014)
b) ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu
penyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi.
Penyakit ISPA didefinisikan sebagai suatu penyakit infeksi pada
hidung, telinga, tenggorokan (pharynx), trachea, bronchioli dan
paru-paru yang kurang dari dua minggu (14 hari) dengan tanda
dan gejala dapat berupa batuk dan atau pilek dan atau batuk pilek
dan atau sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa
demam, batasan waktu 14 hari diambil menunjukkan
berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit yang
dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari
14 hari . (Agustia et al., 2018). Data world health statistic
menunjukan bahwa lebih dari 70% kematian baduta disebabkan
oleh penyakit infeksi (diare, pneumonia, campak) dan
malnutrisi. UNICEF mengatakan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab utama kematian dari 9 juta kematian pada
baduta per tahun di dunia, lebih dari 2 juta di antaranya
meninggal akibat penyakit ISPA diadaptasi dari (Andriyani &
Sartono, 2017)
c) Malaria
Ada hubungan antara baduta yang memiliki riwayat penyakit
malaria dan baduta yang tidak memiliki riwayat malaria dengan
xi
status gizi baduta stunting (p = 0,000). Welasasih dkk menyatakan
bahwa Stunting atau kurang gizi kronis menggambarkan adanya
gangguan pertumbuhan tinggi badan dalam kurun waktu cukup
lama. Status gizi menurut tinggi badan dan umur ini merupakan
status gizi masa lampau yang menggambar kondisi anak pada
masa lalu. Stunting tidak hanya karena kekurangan makanan
dalam kurun waktu cukup lama tetapi dapat karena penyakit
berulang seperti malaria .(Wurisastuti & Suryaningtyas, 2017).
3) Berat Lahir
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu rendah dan
normal. Disebut dengan berat lahir rendah (BBLR) jika berat
lahirnya < 2500 gram . Dampak BBLR akan berlangsung antar
generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR kelak juga akan
mengalami deficit pertumbuhan (ukuran antropometri yang kurang)
di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir BBLR, besar
risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi ibu yang stunted
sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti dirinya pula.
Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali menjadi
perempuan dewasa yang juga stunted, dan begitu seterusnya,
sehingga balita yang terlahir dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) memiliki risiko mengalami stunting (Rahayu et al., 2018)
xii
perkembangannya (Candra, 2020). Faktor risiko kejadian stunting
pada anak umur 6-24 bulan di Kecamatan Penanggalan Kota
Subulussalam yaitu rendahnya pendapatan keluarga, menderita
diare, menderita ISPA, rendahnya tingkat kecukupan energi,
rendahnya tingkat kecukupan protein, salah satu orang tua pendek,
berat bayi lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, MP-ASI terlalu
dini, dan pola asuh yang kurang baik. (Lestari et al., 2014)
b) Pekerjaan Ibu
Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada umumnya 6-8 jam
(sisa 16- 18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga,
masyarakat, istirahat, tidur, dan lain- lain. Dalam seminggu,
seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama 40-50 jam.
Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan
pasal 12 ayat 1 Undang-undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.
Peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan
pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam
usaha perbaikan gizi keluarga terutama untuk meningkatkan status
gizi bayi dan anak. Para ibu yang setelah melahirkan bayinya
kemudian langsung bekerja dan harus meninggalkan bayinya dari
pagi sampai sore akan membuat bayi tersebut tidak mendapatkan
ASI sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya sehingga dapat
menyebabkan stunting (Rahayu et al., 2018). Kejadian stunting
berhubungan signifikan dengan pekerjaan ibu Pekerjaan ibu
diketahui mempunyai korelasi positif dengan kejadian stunting
pada anak, dengan demikian, dapat diartikan bahwa anak yang
ibunya bekerja berisiko untuk menderita stunting 2,4 kali lebih
besar dibandingkan anak yang ibunya tidak bekerja. (Wahdah et
al., 2015)
2) Rendahnya Pendidikan Pengasuh
xiii
Tingkat pendidikan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan
anak balita. Tingkat Pendidikan ibu yang rendah dapat menyebabkan
rendahnya pemahaman ibu terhadap apa yang dibutuhkan demi
perkembangan optimal anak. Ibu dengan tingkat pendidikan yang
rendah akan mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan
dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang
gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi
mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan, semakin
tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima
informasi- informasi gizi. Orang yang memiliki pendidikan yang
lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik
dalam kualitas maupun kuantitas (Rahayu et al., 2018). Hasil analisis
hubungan antara tingkat pendidikan ibu dan kejadian stunting
didapatkan bahwa baduta yang mengalami stunting dan memiliki ibu
dengan tingkat pendidikan rendah yaitu sebesar 61,8%. Baduta yang
tidak mengalami stunting dan memiliki ibu dengan tingkat
pendidikan rendah yaitu sebesar 36,8%. Hasil uji statistik didapatkan
p-value 0,003 berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara
tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting. Stunting berpeluang
2,778 kali (95% CI 1,441-5,358) pada baduta yang lahir dari ibu
dengan tingkat pendidikan rendah dibanding baduta yang lahir dari
ibu dengan tingkat pendidikan tinggi. (Larasati, 2018)
3) Rumah Padat Penghuni
Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya bertempat
tinggal disuatu keluarga, baik berada di rumah pada saat pencacahan
maupun sementara tidak ada. Anggota keluarga yang telah bepergian
6 bulan atau lebih, dan anggota keluarga yang bepergian kurang dari
6 bulan tetapi bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6
bulan atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang yang telah
tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di
suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di keluarga
xiv
tersebut, dianggap sebagai anggota keluarga (Rahayu et al., 2018).
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa keluarga dengan
jumlah anggota keluarga banyak (lebih dari 4 orang) cenderung
memiliki baduta stunting 10,8 kali lebih besar jika dibandingkan
dengan jumlah anggota keluarga sedikit, setelah variabel lain
dikontrol. Jumlah anggota keluarga menentukan ketersediaan pangan
dalam keluarga. Jumlah anggota keluarga yang bertambah
menyebabkan pangan untuk setiap anak menjadi berkurang dan
distribusi makanan tidak merata sehingga dapat menyebabkan baduta
menderita kurang gizi dan mengalami stunting. (Rahmawati et al.,
2020)
4) Tanda dan Gejala Stunting
Baduta pendek atau stunting bisa diketahui bila seorang baduta sudah
diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar dan hasil pengukurannya ini berada pada kisaran normal,
dengan ciri-ciri lain seperti:
a) Pertumbuhan melambat
b) Wajah tampak lebih mudah dari baduta seusianya
c) Pertumbuhan gigi terlambat
d) Usia 8-10 tahun nanti anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak
melakukan kontak mata terhadap orang di sekitarnya
e) Tanda pubertas terlambat
f) Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.
(Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2019)
5) Dampak Stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi dalam
jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan
berkurang, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme
dalam tubuh.(Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2019) .
xv
Masalah kurang gizi termasuk stunting dapat menyebabkan kerusakan
permanen. Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan berbagai zat
gizi yang penting untuk tumbuh kembangnya, kekebalan tubuh, dan
perkembangan otak yang optimum. Anak yang mengalami gizi kurang
akan menjadi kurang berprestasi di sekolah dan kurang produktif pada
saat dewasa (AL KAHFI, 2015).
Dampak stunting dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme tubuh (Kemenkes RI 2016). Dampak
berkepanjangan akibat stunting yaitu kesehatan yang buruk,
meningkatnya risiko terkena penyakit tidak menular, buruknya
kognitif dan prestasi pendidikan yang dicapai pada masa kanak-kanak
(Bappenas and UNICEF 2017). Risiko tinggi munculnya penyakit dan
disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif
yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kementerian
Kesehatan RI 2016) diadaptasi dari (Dwiwardani, 2017).
xvi
2.3 Kerangka Teori
STUNTING
Tingkat
Berat Badan Riwayat Jumlah
Tinggi Pendidikan Pekerjaan
Lahir Rendah Penyakit Anggota
Badan Ibu Ibu Ibu
Infeksi Keluarga
Gambar 2.1 Kerangka Kejadian Stunting modifikasi dari UNICEF (1990) dalam
(UNICEF, 2015) dan (Anisa, 2012))
Ada dua penyebab utama seorang anak menjadi stunting yaitu berat bayi lahir
rendah dan riwayat penyakit infeksi , dimana penyebab utama ini saling
berhubungan satu dengan lainnya. Bayi yang mengalami BBLR akan
menyebabkan bayi mudah terserang berbagai penyakit.
Dua penyebab utama stunting tersebut merupakan akar masalah kejadian
stunting pada tingkat rumah tangga. Pendapatan keluarga yang rendah
berhubungan dengan asupan makanan yang kurang. Keluarga dengan jumlah
anggota keluarga yang besar berhubungan dengan kejadian berat lahir rendah.
Ibu yang selalu bekerja seringkali tidak memperhatian konsumsi bayi sehingga
bayi mungkin mengalami BBLR sehingga rawan terkena penyakit.
Setiap masalah yang terdapat pada tingkat rumah tangga (keluarga)
berhubungan dengan masalah yang ada pada tingkat masyarakat. Faktor
ekonomi, sistem pendidikan, sistem kesehatan, berpengaruh terhadap kejadian
stunting .
14
2.4 Kerangka Hubungan Antara Variabel
Kerangka konsep merupakan pedoman untuk penelitian dan menunjukan
gambaran antara variable Independent dan Dependent, dimana masing variable
tersebut sudah dapat di operasional dan di ukur oleh peneliti. Kerangka konsep
yang di gunakan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting anak baduta di wilayah Puskesmas Kota Kefamenanu
Kabupaten Timor Tengah Utara.
BBLR
Pekerjaan Ibu
Keterangan :
: Variabel Penyebab Langsung Independent yang diteliti
: Variabel Penyebab Tidak Langsung Independent yang diteliti
: Variabel Dependent yang diteliti
: Garis koordinasi antar Variabel
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
16
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
17
Tabel 3.2 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
No Nama Definisi Cara Hasil ukur Skala
Variable operasional pengukuran Data
1. Stunting Stunting atau Pengambilan 1. Sangat pendek : Nominal
tubuh pendek Data <-3 SD
merupakan Sekunder
akibat 2. Pendek : - 3 SD
kekurangan sd <- 2 SD
gizi kronis atau
kegagalan
pertumbuhan di
masa lalu dan
digunakan
sebagai
indikator
jangka panjang
untuk gizi
kurang pada
anak
2. Riwayat Status anak Pengambilan 1. Ada Penyakit Nominal
Penyakit Infeksi bawah dua Data Infeksi
tahun (baduta) Sekunder
terhadap 2. Tidak ada
penyakit Penyakit
infeksi (diare, Infeksi
malaria, Ispa)
yang terjadi 6
bulan terakhir
3. Tingkat Tingkat Pengambilan 1. Rendah jika Nominal
pendidikan Data tidak sekolah,
18
Pendidikan tertinggi yang Sekunder tamat SD,
Ibu pernah dicapai tamat SMP ke
oleh ibu baduta bawah
2. Tinggi jika
tamat SMA ,
tamat
Perguruan
Tinggi
19
3.4 Data dan Jenis Data Penelitian
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan langsung namun tanpa instrumen
namun menggunakan catatan pentunjuk kebutuhan pendukung hasil penelitian
dimaksud dari sumber terkait seperti instansi pemerintah (puskesmas, kantor
desa, posyandu, dan lain-lain) serta data pendukung dari instansi swasta seperti
LSM dan atau LPM wilayah Kabupaten TTU. Jenis data tersebut adalah data
yang diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan stunting di wilayah
Puskesmas Kecamatan Kota Kabupaten TTU.
20
3.5 Teknik Pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data
Konsep Pelaksanaan Penelitian
Persiapan
Studi Literatur
Data Dasar
Konsep Kerja
Survey Lapangan
Pengambilan Data Sekunder
Koordinasi Dinas Terkait
Dokumentasi
Olah Data
Pengelompokkan Data(Variabel)
Input Data Di Excel Dan Spss
Analisis Data
Hubungan Antara Variabel Dependen Dan Independen
Penyajian Data Di Spss Dan Arcgis
Penyajian Data
Penyebaran Stunting Di Lokasi
Penelitian
Tampilan Data Di Arcgis
Pelaporan/Dipresentasikan
21
3.5.1 Pengolahan Data
1) Mengkode Data (Coding)
Coding merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka dan bilangan. Coding atau pemberian
kode ini sangat berguna dalam memasukkan data (data entry).
Pengkodean ini dilakukan pada masing-masing data yang ada .
2) Memasukkan Data (Entry) atau Processing
Langkah selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah
dientri dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan mengentri
data ke paket program aplikasi/komputer menggunakan excel,spss dan
arcgis.
3) Membersihkan Data (Cleaning)
Cleaning data adalah proses pengecekan data untuk konsistensi dan
treatmen yang hilang, pengecekan konsistensi. Data yang telah dientri
dilakukan pengecekan kembali untuk memastikan data tersebut bersih
dari setiap kesalahan, seperti yang dijelaskan di atas dan siap untuk di
analisis. (Putra, 2016).
22
3.5.2 Penyajian Data
Data yang telah dianalisis selanjutnya akan diinterpretasikan lalu disajikan dalam
bentuk narasi, table distribusi frekuensi, grafik menggunakan excel dan spss
serta peta sebaran menggunakan aplikasi arcgis. GIS dapat diartikan sebagai
”suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data
geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja secara bersama efektif untuk
menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui mengelola,
memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam
suatu informasi berbasis geografis.
Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, trend,
pola, dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem
informasi lainnya. Jadi secara umum, SIG memiliki empat kemampuan
utama dalam menangani data, yakni :
a. memasukan data (Input Data).
b. mengeluarkan data / informasi.
c. Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data).
d. Analisis dan manipulasi data. (Gamma, 2014)
23
DAFTAR PUSTAKA
Agustia, R., Rahman, N., & Hermiyanty. (2018). Faktor Resiko Kejadian
Stunting pada Balita Usia 12-59 bulan di Wilayah Tambang Poboya, Kota
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/ghidza/article/view/11258 diakses
AL KAHFI. (2015). Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting Usia 13-24
Andriyani, L., & Sartono, A. (2017). Lama Pemberian ASI , Eksklusifitas ASI
dan Umur Awal Pemberian MP-ASI Sebagai Faktor Resiko Stunting pada
Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Utara. (2019). Kecamatan Kota
12 Januari 2021
Dinkes Kabupaten TTU. (2019). Profil Kesehatan Kabupaten TTU Tahun 2018.
10 Januari 2021
Kemenkes RI. (2018). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan : Situasi
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/18102500001/situasi-balita-
Analisis Gizi. In Kemenkes RI, Pusat data dan informasi (pp. 1–7).
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/16061400002/situasi-gizi-di-
Tahun 2017.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-tahun-2017.pdf diakses
2018. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
http://www.indonesiabaik.id/public/uploads/post/3444/Booklet-Stunting-
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1719/1/SKRIPSI%20NADIA.pdf diakses
https://studylibid.com/doc/1101200/kadar-seng-serum-rendah-sebagai-
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-content/uploads/2018/09/
2021
Nabuasa, C. D., Juffrie, M., & Huriyati, E. (2016). Riwayat pola asuh, pola
makan, asupan zat gizi berhubungan dengan stunting pada anak 24–59
bulan di Biboki Utara, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Jurnal
https://ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/article/view/274/0 diakses
Oktarina, Z., & Sudiarti, T. (2014). Faktor Risiko Stunting Pada Balita (24—59
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/download/7977/6259/
diakses pada tanggal 1 Februari 2021
Putra, O. (2016). Pengaruh Bblr Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia
Rahayu, A., Yulidasari, F., Octaviana, A., & Anggaini, L. (2018). STUDY
Kesehatan Mayarakat.
http://kesmas.ulm.ac.id/id/wp-content/uploads/2019/02/BUKU-
23 Januari 2021
Rahmawati, N. F., Fajar, N. A., & Idris, H. (2020). Faktor sosial, ekonomi, dan
Januari 2021
http://www.tnp2k.go.id/filemanager/files/Rakornis%202018/Sesi
Wahdah, S., Juffrie, M., & Huriyati, E. (2015). Faktor risiko kejadian stunting
pada anak umur 6-36 bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu,