Anda di halaman 1dari 6

Nama: Nedi Aswadi

Nim : po 71.33.0.12.31

Hukum Transfusi Darah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz Dr. Setiawan Budi Utomo semoga diberkati dan dimuliakan Allah. Saya bekerja di
kantor Palang Merah Indonesia (PMI). Dalam menjalani tugas dan profesi, saya sering
menemukan hal-hal yang perlu pengarahan dan landasan syariah sehingga dapat saya jalani
dengan hati yang mantap tanpa keraguan. Masalah yang saya tanyakan adalah:

1. Bagimanakah pandangan Islam terhadap usaha dan pelayanan kemanusiaan yang


dilakukan Palang Merah serta hukum memakainya sebagai simbol? Sebab ini sama
artinya dengan Salib Merah. Bagimanakah hukum bekerja padanya.
2. Apa hukum transfusi darah dan bagaimanakah hubungan antara resipien dan donor
darah dari segi syariah?
3. Bolehkah seseorang menjual darahnya, dan bagaimana status hukum imbalan ataupun
penghargaan materi yang diterima oleh donor?
4. Bila seorang pasien membutuhkan darah, maka PMI menjualnya melalui Rumah Sakit
kepada pasien tersebut, bolehkah hal ini secara syariah?

Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas penjelasan dan jawabannya dan mohon maaf
telah menyita waktu ustadz.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat mulia dalam pandangan umat manusia
secara universal dan terpuji dalam pandangan agama, termasuk dalam hal ini adalah kegiatan
dan misi kemanusiaan Palang Merah Indonesia. Rasulullah saw menyatakan bahwa sebaik-
baik manusia adalah yang paling banyak manfaat (jasanya) bagi umat manusia. Hal itu
tentunya terlepas dari makna filosofis dan religius simbolis dari pemakaian nama organisasi.
Memang pemakaian lambang palang merah atau salib merah (red cross) untuk organisasi ini
adalah meniru Barat yang pada mulanya sangat erat hubungannya dengan semangat
religiusitas Nasrani/Kristiani dan menggunakannya sebagai simbol misi kemanusiaan
sekaligus misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani.

Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas bangsa
Indonesia kehilangan identitas keislamannya sampai dalam masalah simbol dan lambang
sosial, dan cenderung meniru dan mengambil simbol Barat yang notabene sarat dengan
semangat misi kristiani. Padahal Islam memiliki simbol religi sosial tersendiri yakni bulan
sabit yang menandakan siklus bulan hijriyah sebagai perjalanan syiar Islam dan oleh
karenanya Dunia Arab dan Negara-Negara Islam lebih cenderung menggunakan lambang
Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar/ Red Crescent) untuk organisasi sosial kemanusiaan
semacam Palang Merah. Nabi saw selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki
identitas independen dan menghindari mental imitator yang suka meniru dan taklid buta
kepada simbol umat lain apalagi yang berbau ritual dan syiar keagamaan. Sabda Nabi saw.:
“Berbedalah kalian dari umat Yahudi dan Nasrani” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Al-Nasa’I dan Ibnu Majah) dan sabdanya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (umat
lain) maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)
Dengan demikian kewajiban umat Islam baik pemerintah maupun masyakat pada umumnya
adalah menyadari hal ini dan berusaha untuk mendekatkan lembaga dan simbol sosial sesuai
dengan aspirasi akidah dan syiar Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Adapun
hukum bekerja padanya selama membawa misi kemanusiaan adalah merupakan amal yang
terpuji sebagai ibadah sosial apalagi dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi
kewajiban setiap muslim.

Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk
menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah
menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik darahnya
disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya, misalnya untuk anggota
keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau bank darah untuk disimpan
sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.

Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai
agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah
termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab
dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia
semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).

Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan
sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah
sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana
firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-
Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.

Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan transfusi darah tanpa mengenal
batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang berbunyi: “Al-
Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi” (bahwasanya pada
prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sahih,
melarang transfusi darah, maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu
ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa
sesama manusia.
Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas positif) dan menghindari mafsadah
(bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu
transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan
keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari penyakit
menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah, suntikan
narkoba, dll.

Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis,
bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah
fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya
bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu
Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya
seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak
boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya
yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat
kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang
pria yang terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang
masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat
membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik,
Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas dan Ubadah bin Shamit.

Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak
membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab
faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam
sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab.
Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena
adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau
anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya
hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah
menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.

Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang
tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan
kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan
kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor
dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.

Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjualbelikan darah
sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah
termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir,
kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk
keperluan rabuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang
najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini
membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa
sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/109,
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III/130)

Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis
disamping bukan termasuk barang yang diboelhkan untuk diperjual belikan karena termasuk
bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena
bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata,
guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia
itu dilarang, karena bertentangan dengan moral agama dan norma kemanusiaan.

Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau
penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu
diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk
membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan
kebijakan dalam hal ini seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat
dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau
bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga
masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan
benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain sehingga terjalin
hubungan yang simbiosis mutualis.

Dengan demikian praktik


Menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat dihindarkan
karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi
silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaiman
dilarang Syariat Islam dan bertentangan dengan perikemanusiaan, sehingga setiap individu
tanpa dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan
darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa
menamam kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran kebaikannya.

Anda mungkin juga menyukai