Anda di halaman 1dari 3

Mengenal Konsep Ad-Din Kita

Oleh: Mayang Restu

Agama. Agama dianggap ilusi oleh Immanuel Kant dan disebut fiktif oleh Agust Comte. Men
urutnya pula kepercayaan pada agama merupakan ciri keterbelakangan masyarakat. Karl Mar
x mengatakan bahwa agama merupakan keluhan dari makhluk yang tertekan serta dianggap s
ebagai candu rakyat. Tak hanya sampai di situ, Lugwig Feurbach mengatakan bahwa agama a
dalah mimpi akal manusia. Agama dianggap tidak sesuai dengan realitas dunia, satu-satunya
yang membimbing ke arah ilmu pengetahuan hanya karya ilmiah bukan agama jika menurut
Sigmund Freud. Tokoh lain seperti Friedrich Nietzsche yang mengatakan bahwa tuhan sudah
mati dan John Lennon mengungkapkan bahwa the beatles lebih terkenal dibandingkan tuhan.

Salah satu kasus yang sempat viral di jagat media nasional Indonesia pada bulan September 2
014, mengenai video yang kurang lebih berdurasi 5 menit, yang berisi statement para “pentol
an” di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung
Djati Bandung dalam agenda ospek mahasiswa baru. Beberapa statement yang disampaikan
antara lain:
1. “Selamat bergabung di area bebas Tuhan”.
2. “Mahasiswa sosiologi agama adalah insan kreatif, inovatif yang sosialis-demokratis. Beri
kesempatan kepada teman-teman kami yang senantiasa mencari Tuhan,”
3. “Kami tidak ingin punya Tuhan yang takut pada akal manusia.”
4. “Kebenaran itu tidak hanya bisa didapatkan dalam satu agama saja. Kita tidak bisa meng
klaim bahwa Islam itu yang (ter)benar karena pada dasarnya semua agama itu mempunya
i kebenaran.”
5. “Sebagai mahasiswa Tafsir Hadits, mari kita sama-sama menafsirkan Tuhan. Kita perlu
mengkaji ulang penafsiran-penafsiran tentang Tuhan.”
6. “Kita berzikir bersama, Anjinghu Akbar”

Kasus serupa juga terjadi dalam kegiatan Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAA
R) tahun 2014, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan meng
ambil sebuah tajuk, “Tuhan Membusuk”. Dengan percaya dirinya mereka menyuarakan hal te
rsebut. Mungkin bisa jadi adalah hal yang sebenarnya mereka tidak pahami maksudnya apa d
an dampak dari sikap tersebut bagaimana. Sangat jelas bahwa statement yang mereka sampai
kan sangat melanggar aqidah dan syariat Islam, bahkan mereka telah menghujat agama yang
mereka anut sendiri.

Bagaimana pendapatmu? miriskah melihatnya? Atau justru kamu setuju? Tuhan dihina, agam
a dilecehkan, agama dianggap ilusi dan suatu hal yang bisa dikonstruksi oleh hawa nafsu dan
pikiran manusia.

Mereka yang menghina Tuhan (Allah) sungguh sangat tersesat dan telah melampaui batas. Al
lah telah menjelaskan di dalam firman-Nya bahwa manusia-manusia seperti ini tidak ubahnya
binatang ternak bahkan jauh lebih rendah daripada binatang. Allah telah berfirman: “Dan ses
ungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mere
ka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan me
reka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ay
at-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka it
ulah orang-orang yang lalai” (QS. Al A’raaf, 7 : 179).

Dalam kitab suci umat Islam sudah sangat jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman ;
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS. Ali Imran, 3: 19). Allah juga berfirma
n; “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di ak
hirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran, 3: 85).

Konsepsi dasar beragama bagi seorang muslim dan non muslim jelas berbeda. Agama bukan
hanya berarti menjauhkan diri dari kekacauan hidup (a+gama : tidak kacau), tapi agama meru
pakan konsekuensi kesadaran makhluk kepada khaliq atas perasaan keberhutangan kepada dz
at yang menguasainya. Islam menyebut agama sebagai Ad-Din. Menurut SMN al Attas kata a
d-din mengandung makna agama, kepercayaan, tauhid, hari pembalasan, tunduk, dan patuh.

Penanda Din, menurut Al-Attas, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1) keb
erhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alam
iah (fitrah). Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kata kerja “dana” yang diturunkan dari dīn men
gandung makna sedang berhutang, termasuk berbagai makna lain yang berhubungan dengan
hutang. Dalam kondisi dimana seseorang sedang berhutang, mengindikasikan bahwa seorang
“da’in” (pemberi hutang) menyertai diri orang yang berhutang. Dalam kasus ini, maka ditemu
kan ada pihak yang memerintah orang berhutang tersebut, yaitu dalam kepatuhannya pada hu
kum dan peraturan dalam hutang-piutang. Selain itu, dalam ilustrasi tersebut juga ditemukan f
akta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau “dainun” (kewajiban me
mbayar hutang).

Berada dalam kondisi sedang berhutang dan di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan p
engadilan (dainunah), dan kesaksian (idanah). Semua penanda di atas—termasuk lawan mere
ka—yang inheren dalam “dana”, hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir
yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjukkan dengan kata “m
udun” atau “mada’in”. Sebuah kota atau kota besar, “madīnah”, memiliki hakim, pengatur, at
au pengelola, yaitu seorang “dayyan”.

Kemudian kita melihat di depan mata pikiran kita sebuah gambar kehidupan yang beradab da
lam kehidupan sosial, hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas. Hal tersebut, secara konseptual,
setidaknya terhubung secara intim dengan kata kerja lain yaitu “maddana” yang berarti memb
angun atau mendirikan kota yang berperadaban, bisa juga bermakna memperbaiki dan mema
nusiakan. Dari situ, kemudian diturunkan istilah lain yaitu “tamaddun”, yang bermakna perad
aban dan perbaikan kebudayaan sosial.

Al-Attas juga mengelaborasi tentang bagaimana seseorang secara alamiah akhirnya menyadar
i bahwa ia sedang berhutang kepada Tuhan. Hutang tersebut termasuk dirinya atau eksistensi
nya. Hutang itu dikembalikan kepada Tuhan, dengan dirinya sebagai alat bayar hutang itu. M
anusia yang membayar hutang tersebut akan menjadikan dirinya sebagai pelayan Tuhan yang
seharusnya rela melakukan apa saja, yakni membayar hutang pada Allah dengan amal. Amar
ma’ruf dan Amal Ma’ruf. Hal yang berat dan menjadi tantangan bagi kita adalah menghadirk
an perasaan kebutuhan pada Allah. Keberhutangan pada Allah. Dzat yang Maha Pengasih lag
i Maha Penyayang bagi semua Hamba yang dikehendakiNya.

Anda mungkin juga menyukai