Anda di halaman 1dari 9

SPIRITUAL HEALING MENURUT ABU YAZID AL-BUSTAMI

Nurindah Sari

Program Studi Aqidah Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin


Universitas Darussalam Gontor
Sarinurindah332@gmail.com
Abstrak
Abu Yazid Al-Bustami seorang sufi yang memiliki thariqaat sufi yaitu menyatu
atau mendekatkan diri pada Allah yang menciptakan seluruh alam raya termasuk
manusia di dalamnya. Tingkatan ini merupakan tingkatan tertinggi ketika seorang
hamba telah merasakan esensi menyatu dengan tuhannya yang Maha
Menciptakan. Untuk itu thariqaat sufi Abu Yazid Al-Busthami memiliki
hubungan terhadap Kesehatan manusia. Manusia yang sakit bersumber dari akal
manusia yang sakit. Untuk itu mengembalikan segala hal kepada sang Pencipta
merupakan salah satu cara dalam spiritual healing yang berhubungan dengan
thariqaat sufi Abu Yazid Al-Bustami.
Kata Kunci: Sufi Abu Yazid Al-Bustami, Penyakit Hati, Spiritual Healing

Pendahuluan

Secara biologis manusia adalah makhluk yang sempurna, yang Allah


ciptakan dengan memiliki hak dalam menentukan hal-hal yang akan dilakukan.
Hak khusus yang diberikan Allah SWT hanya untuk manusia semata. Manulia
merupakan hasil akhir dari proses evolusi penciptaan alam semesta. 1 Hal tersebut
yang menjadikan manusia memiliki unsur materi dalam dirinya, yaitu tanah (thin),
dan menjadikannya makhluk fisik, di samping itu hal yang menjadi unsur dalam
diri manusia adalah ruh atau jiwa yang menjadikan manusia sebagai makhluk
spiritual.
Dalam dunia psikologi barat unsur manusia yaitu ruh atau jiwa adalah hal
yang dinafikan oleh disiplin ilmu tersebut. Karena barat sama seklai tidak percaya
dan mengakui ada hal lain selain apa yang dapat digapai oleh manusia. Akan
tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa para psikolog modern telah berhasil
menjelaskan Sebagian realitas manusia, tetapi yang perlu dicatat adalah apa yang
mereka upayakan itu tidak mampu menjelaskan esensi manusia yang
sesungguhnya yaitu ruh atau jiwa.2
Hal ini menjadi sebuah kecacatan bagi disiplin ilmu pada Barat, aliran
psikologi yang di bangun tidaklah mendasar, Baarat tidak mampu mnejelaskan
realitas manusia yang sesungguhnya yaitu ruh dan jiwa. 3 Padahal patut diketahui

1
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia,
(Jakarta: Penerbit Erlangga ,2007) hal, 12
2
Jarman Arroisi,” Spiritual Healing dalam Tradisi Sufi” Tsaqafah Jurnal Peradaban
Islam, Vol. 14, No. 2, (November 2018), hal. 325
3
Jarman Arroisi,” Spiritual Healing dalam Tradisi Sufi, … hal, 327

1
bahwa masalah yang mendasar dari cacatnya jiwa Kesehatan psikis manusia ada
pada kerusakan hati, juga jiwa dan ruh yang bermasalah.
Biografi Singkat Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-
Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) pada tahun 874-947 M. 4 Nama kecil Abu
Yazid al-Bustami ialah Thaifur dan kakeknya Bernama Surusyan, yang
sebelumnya penganut paham agama Zoroaster sebagai seorang majusi, lalu
kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Ia adalah seorang anak
yang sangat patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya.
Yang menarik dari kisah orang tuanya adalah ketika mereka menikah.
Setelah menikah ayah Abu Yazid tidaklah menggauli bahkan tidak menyentuh
istrinya hingga empat puluh malam agar seluruh makanan dan bekas makanan
yang ada di perut istrinya yang dimakannya sewaktu di rumah orang tuanya hilang
seluruhnya. Setelah berlalu empat puluh malam, barulah ayah Abu Yazid
menggauli istrinya itu dan dari hubungan itu lahirlah anak yang kemudian kita
kenal dengan nama Taifur bin Isa dan memiliki julukan Abu Yazid al-Busthami. 5
Hal demikian dilakukan ayah Abu Yazid agar anak yang kelak lahir dari
hubungan itu tidak memiliki unsur-unsur syubhat apalagi haram karena perut
ibunya telah bersih dari makanan-makanan yang dimakan di rumah orang tuanya
sebelum menikah dengannya
Perjalanan Abu Yazid al-Bustami untuk menjadi seorang sufi memakan
waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia
terlebih dahulu menjadi seorang Faqih dari madzhab Hanafi.6 Guru Abu Yazid al-
Bustami yang paling terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu
tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu yang lain. Jalan Abu Yazid al-Bustami dalam
menjadi sufi tidak terdapat di buku, dalam menjalankan kehidupan zuhud selama
13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di daerah Syam, hanya
dengan tidur, makan dan minum yang sedikit sekali.
Kesufian dan kezuhudan Abu Yazid bisa dikatakan telah dibentuk sejak
dari sebelum ia dilahirkan. Kesalehan, kezuhudan, dan kewarakannya merupakan
warisan dari kedua orang tuanya. Ayahnya Isa bin Adam adalah seorang ahli
ibadah, zahid, dan manusia yang warak. Syeikh Abdul Halim Mahmud
menggambarkan ayah Abu Yazid adalah seorang saleh yang hanya mencari ridha
Allah di setiap urusannya dan tidak makan memakan makanan kecuali makanan
yang dipastikan halal, tidak mengenakan pakaian kecuali pakaian yang dipastikan
halal, dan tidak tinggal di tempat yang dipastikan telah halal baginya. 7 Bahkan
sifat warak ayah Abu Yazid juga sudah melekat sejak kecil yang mana gaya
hidupnya telah dihiasi sifat takwa dan berdasarkan pada kaidah-kaidah agama
yang baik.

4
Imam Bahroni, Mutiara Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2018)
hal, 16
5
Fariduddin al-Aththar, Warisan Para Auliya, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka,
1983), hal, 129.
6
A. Asnawi, Abu Yazid Al- Bisthami, (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) hal, 66
7
Abdul Halim Mahmud, Shulthân al- ‘Ârifîn Abû Yazîd al-Busthâmi, (Kairo: Dar al-
Ma’arif, tanpa tahun), hal. 12-17.

2
Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Busthami adalah seorang sufi yang memiliki tempat yang
sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ajaran-ajarannya memberikan banyak
pengaruh bagi kaum sufi secara khusus dan khazanah tasawuf Islam secara umum.
ide-idenya membawa warna baru di dunia asketisme dan mistisme Islam. 8 Bahkan
ia sering dijadikan tokoh yang menjadi batas antara asketisme yang praktis di
abad pertama dan kedua Hijriah dengan tasawuf yang lebih teoritis, sistematis,
dan metodologis.
Aboebakar Atjeh mengungkapkan, juga bahwa hingga akhir abad kedua
Hijriah ajaran sufi merupakan kezuhudan (asketisme), dan pada abad ketiga
orang-orang mulai meningkat kepada wushûl dan ittihâd (mistisme). Orang-orang
sudah ramai membicarakan kelenyapan dalam kecintaan (fanâ` fî al-mahabbah),
bersatu dengan kecintaan (ittihâd fî al-mahabbah), dan menjadi satu dengan
Tuhan (‘ain al-jama’) sebagaimana yang diucapkan oleh Abu Yazid al-Busthami.
1. Fana dan Baqa’
Dari segi bahasa, fana’ yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah
tasawuf, fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. 9 Dalam
definisi yang lain dikatakan bahwa fana adalah hilangnya semua keinginan hawa
nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia
kehilangan segala perasaan dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia
telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Seperti kita ketahui bersama, para peneliti Sufi dalam Sufisme Ketiga masih
menganggap hukum Islam sebagai standar hidup mereka. Sekte kedua, Sufi,
terpesona oleh negara, sering mengatakan beberapa kata atau frasa aneh, yang
seolah-olah bertentangan dengan hukum Islam. Abu Yazid al-Busthami dianggap
oleh banyak Sufi sebagai wakil dari kelompok tasawuf kedua.
Fana` dan baqa’ adalah istilah Sufi dan hanya dikenal di kalangan Sufi
dalam penanggalan Hijriah abad ketiga. Dikatakan bahwa Abu Yazid al-Busthami
adalah pencetus doktrin ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa fanâ` dan baqâ`
merupakan ajaran terpenting Abu Yazid. Dan pemikiran Sufi Abu Yazid di
kemudian hari berakar pada ide-ide fana` dan baqa-nya. Arberry menyebutkan
bahwa Abu Yazid adalah sufi pertama yang benar-benar tenggelam dalam
ajarannya. Perbincangan tentang fana` juga tidak bisa lepas dari perbincangan
tentang baqa’, karena kedua hal ini memang saling melengkapi. Nicholson
bahkan mengungkapkan:
“The complement and comsummation of death to self (fana`) is everlasting
life in God (baqa`).10
Asmaran As mengungkapkan pandangan yang sama bahwa hilangnya diri
(fanâ`) dalam khazanah tasawuf selalu disertai dengan baqâ. 36 Pembahasan
Fana` dalam tasawuf tidak muncul sampai Hijriah pada abad ketiga dan keempat.
8
Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf (Solo: Ramadhani, 1984), hal,
259.
9
Imam Bahroni, Mutiara Pendidikan…hal, 17
10
Rahmawati, “Memahami Ajaran Fana, Baqa, dan Ittihad Dalam Tasawuf”, Jurnal Al
Munzir, IAIN Kendari, Vol. 7, no. 2, November 2014, hal. 74.

3
Oleh karena itu, pembahasan tentang mata pelajaran dimulai dengan definisi sufi
tentang mata pelajaran pada abad ketiga atau keempat Hijriah. Fanâ secara
linguistik berasal dari kata "faniya", yang berarti sesuatu seperti menghancurkan
atau menghilang.
Dan baqa adalah abadi atau permanen dalam bahasa. Jika kita telaah lebih
jauh tentang makna Fanâ dari sudut pandang tasawuf, ketika tasawuf muncul
dalam khazanah tasawuf, Fanâ akan memiliki banyak makna dan makna. Fanâ`
terkadang diartikan sebagai keadaan moral yang mulia. Ath-Thusi mengartikan
Fana sebagai penghancuran esensi jiwa.11 Al-Qusyairi mengatakan bahwa, oleh
karena itu, jika seorang sufi berhasil menghilangkan sifat tercelanya sendiri, ia
akan memiliki sifat terpuji. Atau dengan kata lain, jika seseorang berhasil
menghilangkan perilaku dan kekotoran akhlaknya, maka Allah akan memberinya
akhlak yang terpuji. Jika Sophie berhasil menjadi penggemar "di luar kualitas
tercela", maka sebenarnya dia akan menjadi "baq" (abadi).12
Meski begitu, menurut Alqusari, bahwa seorang hamba tidak haus dengan
tiga hal, yaitu; harta, moral dan Ahwal (keadaan). Tindakan dilakukan berdasarkan
pemilihan. Moral berdasarkan karakter, tetapi karakter ini dapat berubah dengan
mengubah kebiasaan, yang berarti bahwa seseorang yang ingin memiliki
perubahan yang baik harus mengubah kebiasaan buruk bagi yang baik. Dan
Ahwal adalah keadaan manusia, sehingga pembersihan Ahwal sedang
membersihkan tulisan suci. Bahkan moral kebersihan perlu lepas dari pengaruh
dunia dan semua orgasme. Jika seorang sufi berhasil membersihkan moral dan
melarikan diri dari pengaruh dunia dan ke organissme yang berarti bahwa ia
memiliki penggemar Khalq (makhluk) dan Khuluq (moralitas buruk).13 Saat itulah
menjadi kekal baq’ dalam sifat Al-haqq. Dia telah dikendalikan oleh otoritas
(Tuhan) dan tidak dapat lagi melihat dunia ini, baik penting dan pengaruh,
Jika suffi mengatakan itu adalah penggemar, dari dirinya sendiri dan
makhluk, yang sebenarnya ada di sana. Jadi dia benar-benar tahu lebih banyak, dia
merasakan dan memperhatikan keberadaannya dan makhluk sekitarnya.
Pengetahuan, perasaan, dan perhatiannya hanya pergi kepada Tuhan, tanpa
meninggalkannya untuk orang lain. Inilah yang disebut baq'.
2. Ittihad
Pada dasarnya konsep Ittihâd merupakan hasil dari konsep Fana` dan Baqâ`.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Fana` dan Baqâ`
merupakan awal dari penyatuan antara hamba dan tuannya (ittihâd), sehingga
setelah sufi “menghilangkan” ego, kepribadian, dan kepribadiannya, ia abadi
(baqâ`) Dengan kekuatan yang paling otentik (al-Haqq).14 Dia juga mengalami
keterpesonaan dengan keberadaan Tuhan, dan ketertarikan ini mengalahkannya.
Ketika Sophie kehilangan semua pengetahuan, perasaan, dan kepeduliannya
terhadap dirinya sendiri, dia akan mengalami "penyatuan" dengan Tuhan.

11
Rahmawati, “Memahami Ajaran…hal, 77
12
Mahmud Al-Qusyairi, Ar-Risâlat al-Qusyairiyah (Kairo: Mathâbi’ Muassasat Dâr asy-
Sya’b, 1989), hal. 148-149
13
Mahmud Al-Qusyairi, Ar-Risâlat…hal, 150
14
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1995), hal 234.

4
Seperti ditunjukkan dalam diskusi kipas 'dan Baqâ', seorang sufi dapat
mencapai tingkatan ittihad, jika mampu menghilangkan hati nuraninya. Itu tidak
dapat lagi mengenali bentuk tubuh kasar dan keberadaan alam sekitarnya. Tetapi
menurut Nicholson dalam memahami, kehilangan kesadaran dan tidak dapat
mengenali dan sifat di sekitarnya sebenarnya adalah awal sebelum memasuki
tingkat ittihad.15 Meskipun dia benar-benar meraih dengan kesadaran diri sebagai
Tuhan. Situasi ini adalah situasi ini disebut kelangsungan hidup setelah
kehancuran (permanen setelah bagian, Albaq. Ba`da. Dan hilangnya kesadaran
(fan`), yang merupakan awal dari memasuki pintu, Ittihad adalah karunia Allah
dalam menderita. Jadi itu tidak sesederhana baq ', dan ittihâd bukan kehendak
pribadi dari sufi. Tapi itu adalah hadiah dari Tuhan yang aku ingin sufi akan
ditangguhkan bersamanya setelah sufi berhasil memurnikannya dari Despicable
moralitas, dunia. Bahkan setelah para sufi tinggal.
Di antara beberapa amalan tasawuf Abu Yazid selain yang sudah disebutkan
di awal adalah, “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah
aku.” Dikatakannya pula, “Betapa Sucinya Aku, dan betapa Besarnya Aku.” Dan
katanya, “Aku keluar dari Abu Yazid ku, seperti halnya ular keluar dari kulitnya,
dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pencinta, Yang Dicinta, dan
cinta adalah satu. Sebab, manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.”16
Apa yang dikatakan oleh Abu Yazid Al-Busthami merupakan representasi
apa yang telah dirasakan olehnya. Perasaan yang sangat dalam terhadap Sang
Pencipta, hingga merasa bahwa ia adalah Allah, Sang Pencipta yang sangat
dicintainya dan benar-benar merasa menyatu.
Urgensi Spiritual Healing
Tidak dapat dipungkiri bahwa psikolog modern telah mencapai untuk
menjelaskan realitas manusia, tetapi apa yang harus didaftarkan adalah apa yang
mereka coba tidak dapat menjelaskan esensi manusia sejati, yaitu jiwa mereka. 17
Selanjutnya, teori jiwa yang dibangun tidak dapat menghilangkan sebagian besar
masalah kehidupan manusia. Teori William James (1824-1910), yang saat ini
merupakan referensi berharga untuk studi psikologis modern, faktanya tidak dapat
menguraikan masalah kejiwaan yaitu serta teori jiwanya Sigmund Freud (1856-
1939), Abraham Maslow (1908-1970) dan lainnya. Di antara teori dengan orang
lain yang mengklaim menegaskan lainnya, umpan balik bahkan membenarkan
kebenaran bersama-sama. Setiap keluhan dan pembenaran, tetapi dapat dikatakan
bahwa fakta ditunjukkan oleh aliran psikologi Barat modern, tidak ada yang bisa
menjelaskan realitas manusia secara keseluruhan.
Terapi yang dilakukan oleh psikolog modern adalah berbeda dengan
pengalaman sufi Penyembuhan (pemulihan) kesehatan mental. Untuk pemulihan
jiwa, kisaran pertama para ahli memiliki alasan yang menarik dan unik. Menarik,
karena tingkat bukan wajah, mereka juga cenderung bebas. Satu-satunya, karena
Sufi sangat bangga jika pasien bersedia sepenuhnya menyadari bekerja dan

15
Mustafa Zahri, Kunci Memahami…hal, 254
16
Ahmad Mukhlasin, “Ajaran Tsawuf Abu Yazzid Al-Busthami”, (Institut Agama Islam
Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, 2020) hal, 55
17
Jarman Arroisi, “Spiritual Healing dalam Tradisi Sufi”, Tsaqafah Jurnal Peradaban
Islam, Vol. 14, No. 2, (November 2018), hal. 325

5
meningkatkan kualitas spiritualnya an-nafs dan al Wa’iyyah adalah media deteksi
awal yang umumnya dijalankan dari sufi untuk mengobati gangguan psikiatris.
Melalui. Metode Analitik Kritis, dokumen ini mencoba melacak, belajar dan
menyajikan kembali terapi psikologis Sufi pada yang memberikan jawaban atas
masalah kejiwaan yang ada. Semua hal yang ditemukan di belakang Sufi
membuat penyembuhan spiritual, strategi dan metode mereka yang digunakan
dengan menarik untuk diamati.
Spiritual Healing Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami seorang sufi yang memiliki perhatian besar
terhadap upaya mujahadah al-Nafs untuk mendisiplinkan dan membersihkan diri
agar menjadi pribadi yang sehat. Jika seseorang telah mampu mengenal dirinya
sendiri dan mampu menguasai jiwanya, maka pada saat itu ia telah menjadi
pribadi yang kuat dan sehat.18 Dengan demikian, orang yang telah mengenal
dirinya sesungguhnya ia telah memiliki kemampuan untuk melakukan apa saja
termasuk penyembuhan terhadap diri sendiri.
Jiwa tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya badan.
Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi badan.
Ibnu Sina mengibaratkan Nahkoda begitu memasuki memasuki kapal menjadi
penggerak, pengatur, dan potensi bagi kapal. Jika jiwa tidak ada, maka tubuh pun
tidak ada, karena jiwa adalah sumber kehidupannya, yang mengatur baik urusan
maupun potensi-potensinya.19 Jika tubuh tidak ada maka jiwa tidak ada. Karena
untuk menerima jiwa, tubuh adalah syarat bagi adanya jiwa itu sendiri.
Kekhususan tubuh terhadap jiwa adalah prinsip kesatuan dan kemerdekaannya.
Karena itu tidak mungkin ada jiwa kecuali materi tubuh yang mempersiapkannya
pun harus ada, karena sejak permulaannya jiwa butuh kepada tubuh, dan
diciptakan untuk tubuh. Jiwa dalam melaksanakan banyak fungsinya,
menggunakan dan memerlukan tubuh. Dengan demikian bisa diketahui bahwa
berfikir adalah fungsi khas jiwa karena ia tidak akan sempurna kecuali jika ia
ditolong oleh indera melalui pengaruh-pengaruhnya.
Penyembuhan rohani menggunakan energi ilahi untuk penyembuhan.
Sumber utama dari energi penyembuhan spiritual yang berasal dari Allah yang
adalah sumber dari semua kehidupan.20 Bentuk energi spiritual sangat ampuh dan
dapat menyembuhkan banyak penyakit. Energi Penyembuhan spiritual atau energi
penyembuhan ilahi kemudian jiwa dan tubuh  dari penyembuh. Penyembuh
kemudian dapat energi spiritual untuk pasien jiwa dan fisik tubuh
Kesehatan manusia tergantung pada diri manusia itu sendri, Ketika
keburukan telah menguasai diri, maka hendaknya segera meninggalkan sifat yang
buruk itu dan berupaya mengubahnya menjadi yang lebih baik. Kondisi itu bisa
dicapai apabila selalu bersedia mengingat Tuhan dan menghadirkan-Nya dalam

18
Jarman Arroisi,” Spiritual Healing dalam tradisi Sufi” Tsaqafah Jurnal Peradaban
Islam, Vol. 14, No. 2, November 2018, hal, 337
19
Jarman Arroisi dan Rahmat Ardi Nur Rifa Da’I, “Psikologi Islam Ibnu Sina (Studi
Analisis Kritis Tentang Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina), Prosiding Konferensi Integrasi
Interkoneksi Islam dan Sains, Vol. 02 Maret 2020, hal, 203
20
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Cet V; Jakarta: UI
Press, 1986), hal. 85.

6
dirinya. Dengan kesediaan diri secara terus menerus untuk menghadirkan Tuhan
dalam ingatannya, maka seseorang akan mendapatkan cinta-Nya.
Nafsu selalu melihat kepentingan dunia dan ruh atau jiwa selalu melihat
ganjaran, sedangkan ma’rifat selalu melihat pada Tuhannya. Maka orang-orang
yang mampu mengalahkan nafsu dan mampu memusatkan diri pada Tuhan maka
ia adalah orang-orang yang bertaqwa. Memosisikan diri sebagai hamba Allah
yang bersih dan sehat.
Menurutnya, ketika jiwa yang buruk telah mampu dikendalikan, maka
yang ada hanyalah jiwa yang tenang, itulah jiwanya orang-orang yang telah
sampai pada tingkat al-muqarrabûn. Mereka yang sampai pada tingkatan al-
muqarabûn adalah mereka yang telah mengenal Allah (makrifatullah).
Menurutnya, jika seseorang telah mengenal dirinya sendiri (ma‘rifat al-nafs) dan
mampu menguasai jiwanya, maka pada saat itu ia telah menjadi pribadi yang kuat
dan sehat21 kekuatan pikiran atau jiwa yang merupakan bagian jiwa-mempunyai
pengaruh yang luar biasa terhadap fisik. Berdasarkan pengalaman medisnya, Ibnu
Sina menyatakan bahwa sebenarnya secara fisik orang-orang sakit, hanya dengan
kekuatan kemauannyalah dapat menjadi sembuh. Begitu juga orang yang sehat,
dapat benar-benar menjadi sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit.
Demikian pula, jika sepotong kayu diletakkan melintang di atas jalan sejengkal,
orang dapat berjalan di atas kayu tersebut dengan baik. Akan tetapi jika kayu
diletakkan sebagai jembatan yang di bawahnya terdapat jurang yang dalam, orang
hampir tidak dapat melintas di atasnya, tanpa benar-benar jatuh.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina, bahwa eksistensi jiwa
merupakan substansi ruhaniah yang suci dan terpisah, dengan empat dalil yang
diberikan oleh Ibnu Sina, natural psychology (alam kejiwaan), continuity
(Istimrar, kesinambungan), mansia terbang dan dalil ke-Aku an dan penyatuan
gejala kejiwaan.22 Apa yang disampaikan oleh Ibnu Sina berkesinambungan
dengan konsep Abu Yazid Al-Bustami fana’ dan baqa’ juga konsep ittihad.
Bahwa seseorang harus mengosongkan dirinya terlebih dahulu hingga dapat
merasakan konsep ke-Aku-an atau esensi tuhan yang telah menyatu pada diri.
Setelah mengetahui definisi jiwa sebagai “Kesempurnaan awal bagi
badan” belum dapat memberikan kepada kita suatu pengertian tentang hakikat
jiwa. Dalam hal ini, menurut Ibnu Sina hakikat jiwa esensinya berbeda dengan
badan dan wujudnya tak berbentuk.23
Ibnu Sina juga mengatakan sama dengan konsep yang diutarakan oleh Abu
Yazid Al-Busthami bahwa ada hubungan atau keterkaitan antara Kesehatan badan
juga Kesehatan jiwa, Menurut Ibnu Sina antara badan dan jiwa memiliki
hubungan erat dan saling bekerjasama secara terus menerus. Jiwa tidak akan
pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya badan. Begitu tahap ini dicapai ia
menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi badan. Ibnu Sina mengibaratkan
Nahkoda begitu memasuki memasuki kapal menjadi penggerak, pengatur, dan

21
Jarman Arroisi,” Spiritual Healing…hal, 337
22
Jarman Arroisi dan Rahmat Ardi Nur Rifa Da’I, “Konsep Jiwa Perspektif Ibn Sina”
ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman Volume 13, Nomor 2, (Maret 2019), hal, 332-333
23
Jarman Arroisi dan Rahmat Ardi Nur Rifa Da’I, “Psikologi Islam Ibnu Sina… hal, 201

7
potensi bagi kapal. Jika jiwa tidak ada, maka tubuh pun tidak ada 24 hal ini
berkesinambungan denga napa yang dikatakan oleh Abu Yazid Al-Busthami
untuk menjadikan diri sebagai fana’ dan baq’ selanjutnya memasuki tahap ittihad,
bahwa jiwa yang sudah menyatu dengan tuhan akan berpengaruh terhadap kondisi
fisik seseorang.
Ibnu Thufail juga dengan prinsip Tazkiyah an-Nafs berhubungan dengan
Kesehatan Mental seseorang.25 Dengan mencapai pengetahuan tentang tuhan atau
ma’rifatullah seseorang akan menciptakan ketenangan pada jiwanya. Dengan
tazkiyya al-nafs yang dilakukan secara konsisten seseorang akan sampai pada apa
yang disebut musyahadatullah atau ma’rifah billah.
Kesimpulan
Dengan demikian, orang yang telah mengenal jiwanya, sejatinyaia telah
memiliki kemampuan yang kuat untuk melakukan apa sajadan hal itu sangat
tergantung pada kecenderungan dirinya. Jikakecenderungan melakukan hal yang
positif lebih kuat maka ia menjadilebih baik, tetapi sebaliknya, jika
kecenderungan melakukan hal yang negatif lebih kuat maka ia menjadi lebih
buruk. Ketika keburukantelah menguasai diri, maka hendaknya segera
meninggalkan sifatyang buruk itu dan berupaya mengubahnya menjadi yang lebih
baik.Kondisi itu bisa dicapai apabila selalu brsedia mengingat Tuhan dan
menghadirkan-Nya dalam dirinya. Dengan kesediaan diri secara terus menerus
untuk menghadirkan Tuhan dalam ingatannya, maka seseorang akan mendapatkan
cinta-Nya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh al-Bustami sendiri bahwa hakikat
cinta adalah ittihad.
Menurutnya, ketika jiwa yang buruk telah mampu dikendalikan, maka
yang ada hanyalah jiwa yang tenang, itulah jiwanya orang-orang yang telah
sampai pada tingkat al-muqarrabûn. Mereka yang sampai pada tingkatan al-
muqarabûn adalah mereka yang telah mengenal Allah (makrifatullah). Dalam
padangan al-Bustami, ahli makrifat adalah mereka yang aslinya telah berkumpul
dalam mengetahui yang Esa,
Jadi, menurut al-Bustami, seseorang yang telah sampai padatingkatan
makrifatullah, berarti ia telah berhasil menyingkapkanhatinya dari kepentingan-
kepentingan yang bersifat materi. Merekaadalah orang-orang telah mampu
mengalahkan hawa nafsunya, telah mengalahkan rohaninya, dan mereka adalah
orang-orangyang bertakwa. Yaitu, yang selalu menjalankan perintah-Nya
danmenjahui segala larangan-Nya. Ketika seseorang telah mampu melakukan
keseimbangan atau keadilan pada dirinya, maka ia telahmenempatkan sesuatu
pada tempatnya yang tepat. Ia telah berhasilmemosisikan dirinya sebagai hamba
Allah yang bersih dan sehat, baik dan benar, sehingga mereka pun pantas
mendapatkan kemuliaan dankebahagiaan hidup.

24
Jarman Arroisi dan Rahmat Ardi Nur Rifa Da’I, “Psikologi Islam…hal, 203
25
Jarman Arroisi dan Erva Dewi Arqomi Puspita, “Soul Restoration in Islamic Tradition
(Ibn Tufail’s Perspective of Tazkiyya an-Nafs Model) Jurnal Ushuluddin Vol. 28 No. 2, (July-
December 2020)” hal, 172

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Aththar, Fariduddin Warisan Para Auliya, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung:


Pustaka, 1983)
Al-Qusyairi, Mahmud, Ar-Risalat al-Qusyairiyah (Kairo: Mathabi’ Muassasat
Dar asy-Sya’b, 1989),
Arroisi, Jarman dan Erva Dewi Arqomi Puspita, “Soul Restoration in Islamic
Tradition (Ibn Tufail’s Perspective of Tazkiyya an-Nafs Model”
Arroisi, Jarman dan Rahmat Ardi Nur Rifa Da’I, “Konsep Jiwa Perspektif Ibn
Sina” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman Volume 13, Nomor 2, Maret
2019,
Arroisi, Jarman dan Rahmat Ardi Nur Rifa Da’I, “Psikologi Islam Ibnu Sina
(Studi Analisis Kritis Tentang Konsep Jiwa Perspektif Ibnu Sina),
Prosiding Konferensi Integrasi Interkoneksi Islam dan Sains, Vol. 02
Maret 2020,
Arroisi, Jarman” Spiritual Healing dalam Tradisi Sufi” Tsaqafah Jurnal
Peradaban Islam, Vol. 14, No. 2, (November 2018),
Atjeh, Aboebakar Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf (Solo: Ramadhani,
1984),
Bahroni, Imam Mutiara Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,
2018)
Kartanegara, Mulyadhi, Nalar Religius Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan
Manusia, (Jakarta: Penerbit Erlangga ,2007)
Mahmud, Abdul Halim Shulthân al- ‘Ârifîn Abû Yazîd al-Busthâmi, (Kairo: Dar al
Ma’ârif,)
Mukhlasin, Ahmad “Ajaran Tsawuf Abu Yazzid Al-Busthami”, (Institut Agama
Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap, 2020)
Nasution, Harun Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Cet V; Jakarta:
UI Press, 1986),
Rahmawati, “Memahami Ajaran Fana, Baqa, dan Ittihad Dalam Tasawuf”, Jurnal
Al-Munzir, IAIN Kendari, Vol. 7, no. 2, November 2014.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1995),

Anda mungkin juga menyukai