BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada awalnya sufi hanyalah kegiatan tanpa sebutan dan nama, kemudian pada
awal abad ke kedua hijriyah, mulailah muncul istilah sufi. Ajaran tasawuf
Hasan Al-Bashri, menurut Abu Na’im Al-Ashbaharu, menekakan pada takut
(khauf) dan pengharapan (raja’). Dengan memiliki kedua hal itu, menurutnya,
manusia tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur
senang karena selalu mengingat Allah. Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah
Mahabbah (cinta) adalah cinta yang luhur, suci, dan tanpa syarat adalah hanya
kepada Allah. Pencapaian cinta ini mengubah Murid dari “orang yang
menginginkan Allah” menjadi Murad, “orang yang diinginkan Allah.” Tak
ada sesuatu yang lebih besar dari ini. Imam Ahmad bin Hanbal menyebut
Sufyan sebagai ahli fiqh. Meskipun begitu hebat ilmunya, Sufyan al-Tsauri
sangat berhati-hati mengeluarkan fatwa. Tidak jarang orang menunggu
berhari-hari karena Sang Imam sedang menelaah ulang catatannya sebelum
mengeluarkan fatwa atau meriwayatkan hadis. Sayangnya kitab fiqh yang
ditulisnya tidak sampai ke generasi selanjutnya. Mazhab Tsauri pun punah
tidak lagi ada pengikutnya.
1.2 Rumusan Masalah
a) Bagaimana Pemikiran dan Ajaran Hasan Al-Basri
b) Bagaimana Kisah Pemikiran dan Ajaran Rabial Al-Adawiyah
c) Bagaimanan Pemikiran dan Ajaran Sufyan Ats-Altsauri
1.1 Tujuan Penelitian
Untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai ajaran dan pemikiran para
toko sufi, agar dapat memahami setiap ajarannya tentang kecintaan terhadap
Allah SWT.
1.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini, adalah penulis berharap agar setiap ajaran dan
pemikiran para toko sufi kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
cara mengamalkan Al-Qur’an dan Al-sunah.
2
BAB II PENGERTIAN
1
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2014, hal. 106.
4
menyatakan bahwa kepada Ali ibn Abi Thalib r.a. diperlihatkan sebagian ilmu
pengetahuan maka beliau pun begitu terpesona melihat pengetahuan itu. Hasan
Al-Bashri dapat rnenyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman bin
Affan dan beberapa kejadian politis lainnya yang terjadi di Madinah, yang
memorak-morandakan umat Islam. Tanpa dihetahui secara pasti motifnya, beliau
sekeluarga pindah ke Bashrah. Di kota ini, Beliau membuka pengajian karena
keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah
terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses kemakmuran ekonomi yang
dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menjadikan Hasan
Al-Bashri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan
kehidupan sufi Bashrah. Di antara ajarannya yang terpenting adalah al-zuhud serta
al-khauf dan raja' . beliau dikenal sebagai pendiri madrasah zuhud di kota
Bashrah.
Ketika ditanya tentang rahasia kesedihannya, Hasan Al-Bashri menjawab,
"Sungguh, bagi seorang mukmin, tidak ada jalan lain, kecuali harus bersedih,
karena ia selalu berada di antara dua ketakutan, yakni dosa yang telah lalu dan
perlakuan Allah kelak. Keduanya adalah "ajal" (saat) yang sudah pasti, tidak
seorang pun tahu, musibah apa yang akan diterimanya dalam ajal itu. Jelaslah,
kesedihan Hasan Al-Bashri sebagaimana tersebut, dimotivasi oleh kezuhudannya
dan rasa takut (khauf) akan dosa serta mengharapkan (raja') ampunan Allah atas
segala dosa yang diperbuat. Hasan Al-Bashri merupakan salah satu contoh tokoh
tasawuf dalam mengekspresikan ajaran tasawufnya, yang dilandasi oleh aspek
sosial-kultural lingkungannya, ketika terjadi krisis moralitas, terutama di kalangan
penguasa. Hasan Al-Bashri merupakan sufi pertama penyeru gerakan moral
tasawuf yang wujud melalui mega proyeknya zuhud, khauf, dan raja' yang lahir
dari kekacauan suasana sosial politik pada zaman Dinasti Umayyah, yang sangat
penting untuk dikaji.
Secara umum, ekspresi zuhud dan perjalanan spiritual Hasan Al-Bashri,
tampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian
memberikan gambaran tentang tipe gerakannya yang muncul.Pertama, karena
corak kehidupan lyang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat
6
Islam, terutama para pembesar negeri dan para hzartawan. Aspek ini, merupakan
motivasi yang paling deras mendorong Hasan Al-Bashri untuk melakukan protes
tersamar lewat pendalaman kehidupan spiritual (zuhud) dengan motivasi etika.
Tampaknya, gerakan ini beliau orbitkan sebagai gerakan sektarian yang
introversionis, pemisahan dari tren kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian
dalam upaya penyucian diri tanpa memedulikan alam sekitar. Kedua, timbulnya
sikap apatis sebagai reaksi maksimal pada radikalisme kaum Khawarij dan
polarisasi politik pada masa itu. menyebabkan Hasan Al-Bashri terpaksa
mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai, kemudian menyepi dan
sekaligus menghindari diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik,
untuk mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah. Apabila diukur dari
kriteria sosiologi, tampaknya gerakan Hasan Al-Bashri ini dapat dikategorikan
sebagai gerakan "sempalan", satu gerakan yang sengaja mengambil sikap 'uzlah
yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis,
sepertinya merupakan pelarian, atau upaya mencari kompensasi untuk menang
dalam perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering
dari siraman cinta sesama, Hasan Al-Bashri mencoba membangun dunia baru,
realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang
penuh dengan salju cinta. Ketiga, adalah corak kodifikasi hukum Islam dan
perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etika yang
menyebabkan kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana tanpa isi atau
semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin
kering dan menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi
langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptaannya.Karena
kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi
moral dalam agama, Hasan Al-Bashri tergugah untuk mencurahkan perhatian
terhadap moralitas. Dari historis pengembaraan spiritual Hasan Al-Bashri, aspek
social tasawufnya pada prinsipnya didasarkan atas nilai-nilai Islam sebagai
landasannya yang diekspresikan dalam bentuk kezuhudannya. Tidak hanya
terhadap hal-hal yang halal. Menurut Hasan Al-Bashri, zuhud terhadap perkara
7
yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara halal
adalah suatu keutamaan. Zuhud pada masanya merupakan bentuk protes. Bentuk
protes ini tidak sekadar lari dari realitas sosial yang dihadapi dengan menyendiri
beribadah, tetapi juga gencar melakukan kritikan dan perbaikan kehidupan
masyarakat, terutama ditujukan terhadap penguasa yang zalim.
Zuhud: Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme
dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman
dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan.
Penindasan politik para penguasa pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat
terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan protes sosial, politik.
Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu
itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam.
Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin
teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem
politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi.
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan
tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau
pada mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser
dan berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem
tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan,
"perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali
tidak membangun apa-apa di atasnya.”
Menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak
memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah
zuhud terhadap dunia, menolak kemegahannya, semata menuju kepadaAllah,
tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut kepada
Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya,
tetapi mengharap karunia-Nya.
Jadi, Hasan Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia
tidak melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan
8
selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang
dikehendaki Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari zuhud.
Karena khauf tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan Al-Bashri. Khauf
senantiasa meliputi perasaan Hasan Al-Bashri. Apabila duduk, ia seperti tawanan
perang yang menjalani sanksi dipukul pundaknya, dan jika disebutkan kepadanya
tentang neraka, ia merasa bahwa sepertinya neraka itu diciptakan untuknya.
Perasaan al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah hal (kondisi) dari beberapa
ilmu. Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah
bagi seorang yang 'arif billah.
Raja' dan Optimisme
Raja' berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan
nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Setelah tertanam
dalam hati, perasaan khauf harus dibarengi dengan pengharapan (raja').
KarenaAllah Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, seorang hamba yang
taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh
pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti
rahmat dan kasih sayang Allah, karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan
optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi
terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha
Pengasih lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri semula aktif memberikan fatwa dan dialog dengan
penguasa (pada masa Umar bin Abdul Aziz) tentang kebijaksanaan pemerintahan
dan ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dengan mengajarkan hukum syariat,
mengajak serta mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sasaran
dakwah Hasan Al-Bashri menjangkau lapisan atas dan bawah, kiprahnya beliau
memberikan nuansa tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ketika
nilai-nilai spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi, namun setelah habis
masa pemerintahan umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap penguasa, tidak
mendekat pada penguasa yang zalim.
10
2
Sri Suhandjati Sukri, Ensiklopedi Islam dan Perempuan: dari Aborsi hingga Misogini, (Bandung:
Penerbit NUANSA, 2009) hlm,325.
3
Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi Perempuan, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993)
hlm,15.
11
Cinta Rabi’ah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan.
Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang
dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering
tak terkendali tersebut, lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berhujar:
Tuhanku,
Sekiranya aku Beribadah kepada-Mu
Karena takut neraka-Mu
Biarlah diriku terbakar api jahanam
Dan sekiranya aku beribadah Kepada-Mu
Karena mengharapmu surga-Mu
Jauhkan aku darinya
Tapi sekiranya aku beribadah kepada-Mu
Janganlah engkau halangi aku melihat
Keindahan-Mu yang abadi 4
takut. Dimana harapan dan rasa takut memiliki hubungan yang sangat erat dengan
cinta tanpa pamrihnya kepada Allah swt.
Tampak jelas bahwa dalam ajarannya yang telah dikutip diatas bahwa ia
memiliki alasan, bahwa rasa takut akan hukuman atau harapan penghargaan
(pahala) menjadi sama-sama tidak akan berharga bagi kaum sufi. Lagi pula
Rabi’ah berpendapat adalah seorang hamba yang bodoh dalam beribadat kepada
Allah selalu dilandasi pemikiran untuk melepaskan diri dari hukuman dan untuk
meraih penghargaan (pahala). Baginya hanya Allah saja yang perlu ditakuti
dengan penuh ta’zim dikarenakan Kesucian-Nya, dan sama bagi dirinya, harapan
hanya kepada Allah sendiri semata, dalam bayang-banyang keindahan-Nya.
Menurut Al-Hujriwi bahwa harapan dan rasa takut yang benar sangat
penting bagi manusia di dunia, dan menganggapnya bagaikan dua pilar keimanan.
Mereka yang merasa takut, akan beribadat kepada Allah seakan-akan takut
terpishkan dari-Nya, dan bagi mereka yang memiliki harapan, beribadat kepada
Allah dengan penuh harapan akan dapat menyatu dengan-Nya.5
Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti dijelaskan di atas? Para
ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia.
Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis Islam mengatakan, bahwa
alat untuk memperoleh Ma’rifah oleh sufi disebut dengan mengutip pendapat al-
Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat
yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb/hati
sanubari, sebagai alat untuk mengetahi sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat
untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus
dari pada roh, dan roh lebih halus dari pada qalb. Kelihatannya sir bertempat di
roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat iluminasi dari Allah,
kalau qalb dan roh telah suci secu-sucinya dan sekosong-kosongnya, tidak berisi
apapun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai
Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta
5
Margareth Smith, Rabi’ah (Pergulatan Spiritual Perempuan), (Surabaya: Risalah Hati, 1997) hlm, 79
13
dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh
cinta kepada Tuhan. Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah
dianugrahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan
ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya
telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang
mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
Artinya: “dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit".6
Selanjutnya di dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu
diberikan roh olrh Tuhan, pada saat manusia berusia empat bulan di dalam
kandungan. Hadis tersebut berbunyi:
“sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan
ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpah darah),
kemudian menjadi alaqah (segumpul daging yang menempel) pada waktu yang
juga 40 hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah
berbentuk) pada yang juga empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat
untuk menghembuskan roh kepadanya”. (HR. Bukhari-Muslim) Dari kedua dalil
diatas selain menginformasikan bahwa manusia dianugrahi roh oleh Tuhan, juga
menunjukan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada
Tuhan. Roh, yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk
mencintai Tuhan.
6
(QS. Al-Isra’: 85)
14
sendiri yaitu Al-Tsauri. Dalam bidang tafsir, siapa saja yang membaca tafsir
klasik semisal tafsir al-Thabari akan menemui banyaknya kutipan dari Sufyan al-
Tsauri.
Lahir di Kufah, dari keluarga ulama, semula ia belajar pada Ja’far As-Shadiq.
Diriwayatkan pada mulanya Sufyan bermazhab Syi’ah namun setelah ia pindah ke
kota Basrah, ia mengikuti paham ahlus sunnah wal jama’ah.
Imam Ahmad bin Hanbal menyebut Sufyan sebagai ahli fiqh. Meskipun
begitu hebat ilmunya, Sufyan al-Tsauri sangat berhati-hati mengeluarkan fatwa.
Tidak jarang orang menunggu berhari-hari karena Sang Imam sedang menelaah
ulang catatannya sebelum mengeluarkan fatwa atau meriwayatkan hadis.
Sayangnya kitab fiqh yang ditulisnya tidak sampai ke generasi selanjutnya.
Mazhab Tsauri pun punah tidak lagi ada pengikutnya. Kenapa? Salah satu
sebabnya karena ia hidup bersembunyi dari kejaran penguasa, yaitu Khalifah
Mansyur (754-775) dan Khalifah al-Mahdi (775-785) dari dinasti abbasiyah.
Ulama besar ini menolak hadiah dari khalifah karena menganggap harta khalifah
itu syubhat alias tidak jelas halal-haramnya. Khalifah al-Mahdi pernah memanggil
Sufyan dan mengangkatnya sebagai Gubernur Mekkah. Surat pengangkatan
diterima Sufyan tapi sesampainya ia di sungai dajlah, surat itu dibuangnya, dan ia
melarikan diri tidak sudi mengabdi pada seorang Tiran meski pakai embel-embel
khalifah. Sampai wafatnya ia hidup dalam pelarian. Itulah salah satu sebab
mazhabnya tidak berkembang.
Beberapa pendapat fiqhnya seperti diriwayatkan Ibn Rusyd dalam Bidayatul
Mujtahid sebagai berikut:
1. Dalam cuaca dingin, berwudhu dengan mengusap sepatu sebagai ganti
membasuh kaki hukumnya sah.
2. Berwudhu secara tertib sesuai urutan itu hanya sunnah, bukan kewajiban.
Jadi boleh memulai wudhu dengan membasuh kepala atau tangan terlebih
dahulu.
3. Apabila ada ahli fiqh dan ada qari’ maka yang didahulukan menjadi imam
adalah yang qari’.
15
Ada pemikiran Sofyan Ats-Tsauri yang tercatat dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid
wa Nihayah al-Muqtasid yang sangat terkenal dan menjadi pegangan dalam ilmu
fiqih hingga kini, yaitu air yang tergenang tanpa perubahan pada salah satu
sifatnya ( rasa, bau dan warna ) hukumnya suci dan menyucikan. Dalam keadaan
dingin, berwudhu dengan mengusap sepatu sebagai ganti membasuh kaki, adalah
sah.
Beliau juga berpendapat, tertib dalam berwudhu sebagaimana tertera dalam
ayat Al-qur’an adalah sunah, bukan Wajib. Selain itu, beliau juga berpendapat,
mengqadha puasa tidak wajib bagi mereka yang makan dan minum karena lupa
dan dipaksa. Jika terdapat seorang faqih dan qari dalam sebuah jema’ah, yang
berwenang menjadi imam ialah Qari. Zakat harta hamba sahaya adalah
tanggungan tuannya.
Tapi dibelakang hari, Madzhab Ats-Tsauriyah ternyata tidak begitu dikenal.
Sebabnya, barangkali karena kurang gigihnya para murid Ats-Tsauriyah dan
mensosialisasikan. Namun yang jelas, kehidupan dan perjalanan ke ilmuan Ats-
Tsauri dapat menjadi teladan.
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
16
SARAN
17
Demikian makalah ini penulis susun, penulis menyadari dalam pembuatan karya
tulis ini masih kekuarangan dalam penyusunannya. Maka dari itu, kritik dan saran
yang membangun sangat berguna bagi pemakalah supaya dalam penulisan karya
tulis selanjutnya menjadi lebih baik
18
DAFTRA PUSTAKA