Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna
memperoleh kebahagiaan yang optimal. Dengan kata lain tasawuf akhlaqi
adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi
pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah
dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh
ulama ’ulama sufi.
Tasawuf merupakan alternatif untuk memenuhi dahaga rohani dan
mengatasi krisis kerohanian manusia modern, sehingga tidak mengenal jati
diri, arti dan tujuan kehidupan. Maka, “mata air” tasawuf yang sejuk mampu
menyegarkan dan menyelamatkan manusia yang (merasa) terasing. Ada yang
bilang tasawuf adalah salah satu cara untuk melarikan diri (eskapisme) dari
kesulitan menghadapi kehidupan. Tasawuf merupakan keniscayaan seorang
hamba Allah SWT. Sesungguhnyalah, kehidupan di dunia tidaklah mungkin
terelakkan sebagai rumah sekaligus kuburan manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tentang Akhlaqi dalam Tasawuf?
2. Bagaimana tentang Hasan al-bashri dalam tasawuf?
3. Bagaimana tentang Al-muhasibi dalam Tasawuf?
4. Bagaimana tentang Al-qusyairi dalam Tasawuf?
5. Bagaimana tentang Al-ghazali dalam Tasawuf?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui tentang Akhlaqi dalam Tasawuf
2. Mengetahui tentang Hasan al-bashri dalam tasawuf
3. Mengetahui tentang Al-muhasibi dalam Tasawuf

1
4. Mengetahui tentang Al-qusyairi dalam Tasawuf
5. Mengetahui tentang Al-ghazali dalam Tasawuf

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Akhlaqi
Taswuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan
akhlak. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf
bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak
yang tercela (Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji
(Mahmudah) didalam diri para sufi.1
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi
sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek
lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan
tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian
yang cukup berat tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa
nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama
sekali. Oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap, sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh
seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan
akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak
menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan
kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-
akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat
eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah

1
Hamka, tasawuf perkembangan dan pemurniannya, pustaka panjimas, Jakarta, 1986,
hlm 76

3
kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dan
lain-lain. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan,
ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada
fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase
tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang
telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-
butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan
yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih
lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa
rindu kepada-Nya.

B. Hasan Al-Bashri
1. Riwayat Hidup
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin
Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia
dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis
bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 H). Ia dilahirkan dua malam
sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat. Ia dikabarkan bertemu
dengan 70 sahabat yang menyaksikan peperangan badar dan 300 sahabat
lainnya.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk
memperbincangkan ilmu-ilmu kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha
mensucikan jiwa di Masjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang
kerohaniawan senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Karir kependidikan
hasan Al-Bashri dumulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh
ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat
yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak
keilmuannya ia peroleh disana.

4
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam.
Tak heran kalau ia menjadi imam di bashrah khususnya dan daerah-daerah
lainnya. Di samping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang
tang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Diantara karya
tulisnya, ada yang berisi kecaman terhadapa aliran kalam Qadariyah dan
tafsir-tafsir Al-Qur’an.
2. Ajaran-ajaran Tasawufnya
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf
Hasan Al-Bashri sebagai berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’)
tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang
karena mengingat Allah”. Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran
kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak
mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh
larangan-Nya. Lebih jauh Hamkah mengemukakan sebagian ajaran tasawuf
Hasan Al-Bashri seperti ini:
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada
rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut .
b. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia
dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh
faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan
rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan
berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya
c. Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakannya
d. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuak dan beberapa
kali ditinggalkan matyi suaminya
e. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore
hari karena berada diantara dua perasaan takut: takut mengenang dosa
yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta
bahaya yang akan mengancam.

5
f. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya
g. Banyak duka cita di dunia memperteguh seemangat amal sholeh.
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad
Mustafa, guru besar Filsafat Islam, menyataka kemungkinan bahwa
tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam
neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti ternyata bukan perasaan
takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran
jiwanya akan berkuran dan kelalaian dirinya mendasari tasawufnya itu.
Sikapnya itusenada dengan sabda Nabi yang berbunyui, “Orang
beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya
adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang
senatiasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”

C. Al-Muhasibi
1. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits Bin Asad Al-
Muhasibi,tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia
dilahirkan di Basrah, Irak tahun 165 H atau 781 M dan meninggal di
Negara yang sama pada tahun 243 H atau 857 M. Ia adalah sufi dan ulama
besar yang menguasai tasawuf, hadis dan fiqh. Al-Muhasibi menulis
sejumlah buku. Menurut Abd. Al Mun’im Al-Hifni seorang ahli tasawuf
dari Mesir Al-Muhasibi menulis kurang lebih 200 buku. Diantar buku-
bukunya adalah Ar-Ri’ayah Li Hukuqillah (pemeliharaan terhadap hak-hak
Allah) Al-Washaya (wasia-wasiat) dan Al-Masa’il fie Amal Al-qulub Wa
Al-Jawahir (berbagai masalah mengenai perbuatan hati dan anggota badan
Beliau menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari
keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-mazdhab yang
dianut umat Islam, Al-Muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Di
antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan,

6
namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah
orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi
keduniawian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat
ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-
kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Menurut Al-Muhasibi,
tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seseorang akan diberi
petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqih dan tasawuf. Ia akan
meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.
1. Pandangan Al-Muhasibi Tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi mengatakan ma’rifat harus ditempuh melalui jalan
tasawuf yang berdasarkan pada kitab dan sunnah. Selaras dengan hadis
Rasulullah yang berbunyi, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan
jangan coba-coba memikirkan tentang dzat Allah sebab kalian akan
tersesat karenanya”. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan
ma’rifat sebagai berikut :
a. Taat : awal kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret
ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat
dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan
keciitaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebaguian orang.
Mengekpresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-
ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang
memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c. Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah
keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh
kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang
selama ini disimpan Allah
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi
dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.

7
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’
(pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang
membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika,
keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’,
seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya.
Pangkal wara’, menurutnya adalah ketakwaan; pangkal ketakwaan
adalah introspeksi diri (musabat Al-nafs); pangkal introspekasi diri
adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan
tentang janji dan ancaman Allah; pangkal pengetahuan tentang
keduanya adalah perenungan. 2
Khauf dan raja’. Menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan
sempurna bila berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal
ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan janji serta ancaman
Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Qur’an jelasa
berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Al-Qur’an jelas
pula berbicara tentang surga dan neraka. Ia kemudian mengutip ayat-
ayat yang berikut yang artinya
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam taman-taman
(surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa apa yang
diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka
sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka
sedikit sekali tidur diwaktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka
memohon ampun (kepada Allah).” (Q.S. Adz-Dzariyyat, :5).

Raja’dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal


shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal shaleh, berhak
mengharap pahala dari Allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin
sejati dan para sahabat nabi sebagaimana digambarkan oleh ayat yang
artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah
dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah,

2
Umar Farukh, tarikh Al-Fikr Al-‘Arabi, Dar Al-‘lmi li Al-malayin, Bairut, 1983, hlm.
26

8
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Baqarah,:
218)

D. Al-Qusyairi
1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin hawazin lahir
pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu
pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah ia bertemu dengan
gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu
menghadiri mejelis gurunya dan dari gurunyalah Al-Qusyairi menempuh
jalan tasawuf. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan
mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih pada
seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat
tahun 405 H), da mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr
bin Farouq (wafat tahun 406 H). selain ityu ia pun menjadi murid Abu
Ishaq Al-Isfarayani (wafat tahun 418 H) dan menelaah karya-karya Al-
Baqillani. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji
secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung
mengembalilkan tasawuf keatas landasan doktrin ahlus sunnah,
sebagaimana pernyataannya :3
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina
prinsip-prinsip trasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin
mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat
dengan tauhid kaum salaf maupun ahlus-sunnah, yang tak tertandingi dan
tak mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa
mewujudkan sifat ssuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu
tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatkan bahwa tauhid adalah pemisah hal
yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun

3
Ibid., hlm.77-78

9
didasarkan pada dalil-dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Abu
Muhammad Al-Jariri mengatakan bahwa barang siapa tidak mendasarkan
ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya kakinya tergelincir
kedalam jurang kehancurannya”.
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada
masanya yang gemar mempergunakan pakaian orang-orang miskin,
sedangkan tindakan mereka bertentangan dengan pakaian mereka. Ia
menekankan bahwa kesehatan bathin, dengan berpegang teguh pada Al-
Qur’an dan As-sunnah, lebih penting dibandingkan dengan pakaian
lahiriyah.
Karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia menulis
risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika ia melihat hal-hal
yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah
seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada
penyimpangan sebagian penyerunya. Risalahnya itu menurutnya, hanya
sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawuf pada
masanya. Dari uraian ini tampak jelasbahwa pengembalian arah tasawuf,
menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya pada doktrin
ahlus sunnah wal jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad
ketiga dan keempat hijriyah sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-
Risalah.

D. Al-Ghazali
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali atau Abu
Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah,
sutu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H / 1058 M, tiga tahun setelah
kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Ayah Al-Ghazali
adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama, dan
aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya,

10
ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada
seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu, seraya berkata
dalam wasiatnya :
“Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar menulis, aku berharap
untuk mendapatkan apa yang tidak kuperoleh itu melalui kedua putraku
ini”.
Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya sampai suatu hari harta
titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan keduanya.
Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada
pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka.
Di madrasah inilah Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin
Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi
Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia belajar kepada Imam Haramain
hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu kalam, fiqih-ushul fiqih, tasawuf, dan
retorika perdebatan.
Setelah Imam Haramain wafat (478 H / 1086 M), Al-Ghazali pergi
ke Baghdad, yaitu kota tempat berkuasanya Nizham Al-Muluk. Kota ini
merupakan tempat berkumpul sekaligus tempak diselenggarakannya
perdebatan antar ulama-ulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai
retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-
perdeeebatan itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama, sehingga
mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali.
Kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran menimbulkan
pergolakan dalam diri Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan
kepuasan bathinnya. Ia pun memutuskan melepaskan jabatannya dan
meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekkah
untuk mencari kebenaran . Setelah menemukan kebenaran hakiki pada
akhir hidupnya, maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya
yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau pada
hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah dengan banyak
meninggalkan karya tulisnya

11
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlus
sunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua
kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte
Ismailiyah, aliran syiah, Ikhwan As-Shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan
tasawufnya dari faham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan
penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali
benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang
mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam kerya-
karyanya, seperti Ihya’ Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin a, Ayyuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan
cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari
moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segalasesuatu selain Allah
dan selalu mengingat Allah. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat.
Ia menganggap bahwa syathahat mempunyai dua kelemahan. Pertama,
kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata
yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan
menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan
hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan itihad. Untuk itu, ia
menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada
Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Ma’rifat
menurut versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu
diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-
tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Oleh karena itu, Al-Ghazali
mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu memadukan

12
antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu kalam,
ytang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.4
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution,
ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat
bersandar pada sir, qalb, dan roh. Di dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Din,
Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada
Tuhan bagi orang awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat
perumpamaan tentang keyakinan bahwa si Fulan adan di dalam rumah.
Keyakinan orang awam di bangun atas dasar taklid, yaitu hanya
mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di dalam rumah, tanpa
menyelidikinya lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si Fulan di rumah
di bangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang
terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif
tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding.
Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan
mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.5
Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab, sebagaimana ia
melihat si Fulan ada dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat
menurut orang awam maupun ma’rifat ulama/mutakallim, tetapi
ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzaug rohani dan kasyf Illahi.
Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawas auliya’ tanpa
melalui perantara atau langsung dari Allah sebagaimana ilmu kenabian
yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu
ini, berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui
perantara malaikat, sdangkan wali mendapat ilmu melalui ilham.
Namun keduanya sama-sama memperoleh ilmu melalui Allah.

4
Al-Ghazali, kimiya’ As-Sa’dah, Al-Maktabah Asy-Syi’biyah, Beirut, t.t,. hlm 130-132
5
M. Sholihin, Tokoh-tokoh sufi lintas zaman. Pustaka Setia. Bandung, 2003 hlm. 48

13
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-sa’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi
dan melihat Allah. Di dalam kitab kimiya nya ‘As’adah, ia menjelaskan
bahwa As-Sa’adah atau (kebahagian) itu sesuai dengan watak (tabiat).
Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaan-Nya; nikmatnya mata
terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya telinga
terlatak pada mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh
anggota tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika
melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan agung yang tiada
taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu,
kenikmatannya melebihi kenikmatan lainnya. Kelezatan dan kenikmatan
dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati,
sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb
dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb
tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari
kegelapan menuju cahaya yang terang.

14
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna
memperoleh kebahagiaan yang optimal. Dengan kata lain tasawuf akhlaqi
adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi
pekerti atau perbaikan akhlaq.
Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar,
adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab
tanggal 10 tahun 110 H (728 H).
Al-Muhasibi nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits Bin Asad
Al-Muhasibi,tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia
dilahirkan di Basrah, Irak tahun 165 H atau 781 M dan meninggal di Negara
yang sama pada tahun 243 H atau 857 M.Al-Qusyairi nama lengkapny adalah
‘Abdul Karim bin hawazin lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan Nishafur
yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah ia
bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal.
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali atau
Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah,
sutu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H / 1058 M, tiga tahun setelah
kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad

B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam
penjelasanmaupun dalam penulisan kami mohon maaf . kami mengharap kritik
dan saranyang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga
menjadika apa yang kami buat ini lebih baik di masa mendatang. Semoga
makalah ini dapatbermanfaat bagi kita semua. Amiin..

15
16

Anda mungkin juga menyukai