PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. ( Bandung: Pustaka Setia. 2009), hal. 34
2
Ibid., hal.35
2
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah
wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan
sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan
penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan
berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan
argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada
ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk
menjelaskannya.
Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti
kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf
akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di
sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam
hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita
lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang
paling tinggi.
3
tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Al-Adawiyyah dan
menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
Setelah dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri
menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa
hidupnya hanya dengan beribadah untuk mendekatan diri kepada Allah sekaligus
kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya.
Bahkan dalam do’anya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya,
sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi . untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi
penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan
yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat
Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah
kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam
menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.
4
2. Dzu An-Nun Al-Mishri
Biografi Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri
Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang
tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-
Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada
tahun 180 H/ 796M. dan meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu An-
Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang
Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari
perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak
tersebut.5
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai
seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir,
mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan
Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh
pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah
ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga
dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti
pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits,
dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-
Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran
Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik
dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia
adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia
pun merupakan orang pertama di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan
Maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan
pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis
menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
5
Arifin.,Op.Cit., hal. 13
5
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada awal
pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki
kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya
menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan
tuduhan zindiq. Akibatnya, ia pernah di panggil menghadap Khalifah Al-
Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh
penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia
meninggalkan dunia yang fana ini.
6
Musthofa, Akhmad., op.cit.hal.25
6
balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimilki
para ahli Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah
dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan
untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
- Makrifat yang sebanarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya makrifat yang murni seperti matahari tak dapat di lihat kecuali
dengan cahayanya. Senantiasa seorang hamba mendekat kepada Allah
sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka
merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah
mereka, mereka melihat demgan penglihatan Allah, mereka berbuat
dengan perbuatan Allah.
7
kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun
demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Mishri lebih
sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis
sesudahnya.
Menurut Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat
khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam
ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai
kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang ini mirip
dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau
melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat
tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju
kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.
Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam
bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang
yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk
cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”.
Orang sakit itu kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang
merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini merupakan sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua
tangan dan haknya di belenggu sambil di bawa ke hadapan penguasa dengan
disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata , “Ini adalah salah satu pemberian
Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan
kebaikan.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya
sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.
Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak
memiliki kekuatan.
Ketika di tanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha
adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qanad, yakni ar-ridha adalah
ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada
8
dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada
pemilihan kata Al-Mishri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati,
sedangkan Al-Qanad memilih kata sukun al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada
Tuhan” sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang
tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti
kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad saw, dalam hal akhlak, perbuatan, segala
perintah dan sunnahnya.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
11