Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut
dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-
akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah
sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan
tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya
adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba
canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan
spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa
sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan
akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha
Memiliki dan Maha Absolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan
memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa
senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.

B. Rumusan Masalah

       Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian tasawuf irfani?


2. Siapa tokoh dan pemikirannya dalam paham tasawuf irfani?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah:

1. Mengetahui pengertian tasawuf irfani.


2. Mengetahui tokoh-tokoh dan paham dari aliran tasawuf irfani.

1
BAB II
 PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Irfani


Secara etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata
‘arafa’ (mengenal/pengenalan).1 Adapun secara terminologis, ‘irfan
diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfat/ makrifat kepada
Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf
(ketersingkapan).2 Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang
kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri
seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah), dan menjadi hal baginya. Dalam
konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh
penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu
(ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir al-wudjani
(penangkapan langsung secara emosional), bukan penagkapan langsung secara
rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi dimulai sekitar
abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol membicarakannya adalah
Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara Al-Ghazali diposisikan
sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara intens.
Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan
aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan
penaggungjwaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu
praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa
suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh
rohani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid,
harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya
secara berturutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang
perjalanannya tersebut.

1
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. ( Bandung: Pustaka Setia. 2009), hal. 34
2
Ibid., hal.35

2
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah
wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan
sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan
penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan
berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan
argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada
ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk
menjelaskannya.
Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti
kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf
akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di
sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam
hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita
lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang
paling tinggi.

B. Tokoh-Tokoh Sufi yang Termasuk dalam Aliran Tasawuf Irfani


            Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya
sebagai berikut:3
1. Rabi’ah Al-Adawiyah
 Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-
Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di
sebuah perkampungan di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada
tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat
miskin. Karena ia putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang
tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana
perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga atik dari suku
Qais Banu Adwah. Dari sini, ia di kenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyyah.
Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena
3
Arifin, Tokoh-Tokoh Shufi. ( Surabaya: Karya Utama), hal. 11

3
tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Al-Adawiyyah dan
menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
Setelah dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri
menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa
hidupnya hanya dengan beribadah untuk mendekatan diri kepada Allah sekaligus
kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya.
Bahkan dalam do’anya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya,
sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi . untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi
penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan
yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat
Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah
kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam
menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.

 Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah


Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.4 Sementara
generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut
dan penharagaan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan
pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari
Allah.
Sikap dan pandangan Rabi’ah ‘Al-Adawiyyah tentag cinta dipahami dari
kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-
Qusyairi meriwayatkan bahwa katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya,
“Tuhanku, akan Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu?” Tiba-tiba terdengar suara,
”Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada
Kami.”
4
Musthofa, Akhmad., Akhlaq Tasawuf, ( Bandung : Pustaka Setia, 2008), hal. 22

4
2. Dzu An-Nun Al-Mishri
 Biografi Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri
Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang
tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-
Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada
tahun 180 H/ 796M. dan meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu An-
Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang
Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari
perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak
tersebut.5
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai
seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir,
mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan
Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh
pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah
ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga
dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti
pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits,
dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-
Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran
Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik
dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia
adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia
pun merupakan orang pertama di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan
Maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan
pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis
menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.

5
Arifin.,Op.Cit., hal. 13

5
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada awal
pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki
kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya
menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan
tuduhan zindiq. Akibatnya, ia pernah di panggil menghadap Khalifah Al-
Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh
penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia
meninggalkan dunia yang fana ini.

 Ajaran-ajaran Tasawuf Dzu An-Nun Al-Mishri


 Makrifat
Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat
karena berdasarkan riwayat Al-Qathi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis
Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah As-Sufiah fi Al-Islam, Al-Mishri
berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme
Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat sufiah” dengan “makrifat aqliyah”. Bila
yang pertama menggunakan pendapat qalb yang biasa digunakan para sufi, yang
kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua,
menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah
(penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak
azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri menyerupai gnosisme ala-Platonik.
Teori-teorinya itu kemudian di anggapa sebagai jembatan menuju teori-teori
wahdat asy-syuhud dan ittihad.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang makrifat pada umumnya sulit di
terima kalangan teolog sehingga di anggap sebagai seorang zindiq. Karena itu
pula, di tangkap Khalifah kemudian dibebaskan. Berikut beberapa pandangannya
tentang makrifat:6
- Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan
Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula
ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para hakim, mutakalimin dan ahli

6
Musthofa, Akhmad., op.cit.hal.25

6
balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimilki
para ahli Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah
dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan
untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
- Makrifat yang sebanarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya makrifat yang murni seperti matahari tak dapat di lihat kecuali
dengan cahayanya. Senantiasa seorang hamba mendekat kepada Allah
sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka
merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah
mereka, mereka melihat demgan penglihatan Allah, mereka berbuat
dengan perbuatan Allah.

Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada


Allah tidak dapat di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-
pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati
manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia
ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia
perlahan-lahanterangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur
seperti yang dimiliki Tuhan, samapai akhirnya, ia sepenuhnya di dalam-Nya dan
lewat diri-Nya.
Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh Muslim
2. Pengetahuan khusus untuk filosof dan ulama dan
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.

 Maqamat dan Ahwal


Pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal
saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-
Ma’rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan berasala dari Al-Mishri yang
menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai

7
kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun
demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Mishri lebih
sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis
sesudahnya.
Menurut Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat
khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam
ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai
kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang ini mirip
dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau
melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat
tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju
kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.
Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam
bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang
yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk
cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”.
Orang sakit itu kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang
merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini merupakan sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua
tangan dan haknya di belenggu sambil di bawa ke hadapan penguasa dengan
disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata , “Ini adalah salah satu pemberian 
Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan  merupakan nikmat dan
kebaikan.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya
sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.
Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak
memiliki kekuatan.
Ketika di tanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha
adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qanad, yakni ar-ridha adalah
ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada

8
dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada
pemilihan kata Al-Mishri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati,
sedangkan Al-Qanad memilih kata sukun al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada
Tuhan” sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang
tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti
kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad saw, dalam hal akhlak, perbuatan, segala
perintah dan sunnahnya.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, di samping ada


tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan
perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf
irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia,
tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.

Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya


Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme Islam
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu
An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-
Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu
Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul
dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud
(kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arifin. Tokoh-tokoh Shufi. Surabaya: Karya Utama

Rosihon Anwar. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Akhmad Musthofa. 2008. Akhlaq Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia.

11

Anda mungkin juga menyukai