Anda di halaman 1dari 4

RESUME/PAPER AKHLAK TASAWUF

MATERI VIII
TASAWUF IRFANI

Nama : Machallafri Iskandar


NIM : E20151001

A. Hakikat ‘Irfan
Secara etimologi, kata ‘irfan merupakan kata jadian (mashdar) dari kata ‘arafa’ (mengenal
atau pengenalan). Adapun secara terminologis ‘irfan di identikan dengan ma’rifat sufistik. Orang
yang ‘irfan atau makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq
dan kasyuf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah orang yang berminat kepada Allah. Arif adalah
seseorang yang memperoleh penampakan tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi
hati tertentu (ahwal).
‘Irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah
bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggung jawaban manusia terhadap dirinya, dunia,
dan tuhan. Bagian ini menyerupai etika.praktis juga dapat di sebut sayr wa suluk (perjalanan
rohani).
‘Irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi) , mendiskusikan
manusia, tuhan serta alam semesta.
Bagian ini menyerupai teosafi (filsafah ilahi) yang juga memberikan penjelasan tentang
wujud.
‘Irfan mendasarkan diri dari ketersibakan mistik yang kemudian di terjemahkan kedalam
bahasa rasional untuk menjelaskannya.

B. Tokoh-Tokoh Tasawuf ‘Irfani


1. Rabi’ah Al-adawiah ( 95-185 H )
a. Biografi Singkat
Nama lengkap rabi’ah adalah Rabi’ah binti Ismail Al-adawiah Al-bashriah Al-
qaishiah ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M. atau 99 H/717 M, di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185H/801M.
ia dilahirkan sebagai putri ke empar dari keluarga yang sangat miskin. Kedua orang
tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Saat terjadinya bencana perang di Basyrah ia
dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qois Banu Adwah. Pada
keluarga pula inilah ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya
melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan
rumah pada saat ia dengan beribadah.
b. Ajaran Tasawuf: Mahabah (Cinta)
Rabi’ah Al-Adawiah tercatat sebagai peletak dasar Tasawuf berdasarkan cinta
kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran Asketisme dalam Islam
berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah.
Rabi’ah pula yang pertama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta
yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Untuk memperjelas pengertian Al-Hubb yang diajukan Rabi’ah yaitu Hubb Al-
Hawa dan Hubb Anta Ahl Lahu, perlu di kutip tafsiran beberapa tokoh berikut: Abu
Talib Al-Makiy dan Qut Al-Qulub bahwa makna Hubb Al-Hawa adalah rasa cinta yang
timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan kepada Allah. Adapun Al-
Hubb Anta Ahl Lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi di
dorong zat yang dicinta.
Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban
yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada zat yang dicintai.
2. Dzu An-Nun At-Mishri (180-246H)
a. Biografi Singkat
Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di
sekitar pertangahan abad ke tiga hijrah. Nama Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia di
lahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180H/796M dan meninggal pada
tahun 246H/856 M.
Asal mula Al-Mishri tidak banyak di ketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang
sufi banyak diutarakan. Al Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu
tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi
Bait Al-Magdis, Maqdad, Mekah, Hijas, Syiria. Hal ini menyebabkan ia memperoleh
pengalaman yang banyak dan mendalam.
b. Ajaran-Ajaran Tasawuf
1) Makrifat
Al-Mishri adalah pelopor faham makrifat. Makrifat sebenarnya adalah
musyahadah qalbiah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati
manusia sejak azali.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang Ma’rifat pada mulanya sulit diterima
kalangan teolog sehingga ia dianggap sebagai seorang Zindiq.
a) Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan tuhan dan
bukanlah ilmu nazar milik para hakim, tetapi makrifat terhadap keesaan tuhan
yang khusus dimiliki para wali. Sebab mereka adalah orang yang menyaksikan
Allah dengan hatinya.
b) Makrifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
makrfat seperti matahari tak dapat dilihat, kecuali dengan cahaya.
Kedua pandangan Al-Mishri diatas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah
tidak dapat di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian tetapi dengan jalan
makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari
ketercemasan.
Adapun tanda-tanda seorang ‘arif, menurut Al-Mishri adalah sebagai berikut:
a) Cahaya makrifat tidak memadamkan cahaya kewaraannya
b) Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir
c) Banyaknya nikmat tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai
larangan Tuhan
2) Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al-Mishri tentang maqamat di kemukakan pada beberapa hal saja,
yaitu At-Taubat, Ash-Shab, At-Tawakal, dan Ar-Ridho.
Lebih lanjut, Al-Mishri membagi tobat menjadi 3 tingkatan yaitu:
a) Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya
b) Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan
c) Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya
3. Abu Yazid Al-Bustami (874 – 947 M)
a. Biografi Singkat
Nama lengkap adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir
di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adlaah
Taifur, perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang Sufi membutuhkan waktu puluhan
tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah
menjadi seorang fakih dari mazhab hanafi. 
b. Ajaran Tasawuf
1) Fana’ dan Baqa’
Ajaran Tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana’ dan Baqa’. Dari segi
bahasa, Fana’ berasal dari bahasa Faniya yang berarti Musnah atau lenyap. Dalam
istilah Tasawuf menurut Abu Bakar Al-Kalabiadzi Fana’ adalah: hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, sehingga ia kehilangan segalanya perasaannya
dan dapat membedakan sesuatu secara sadar.
Adapun Baqa’ berasal dari kata Baqiyah dari segi bahasa adalah tetap.
Sedangkan menurut istilah berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.
2) Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami oleh seorang sufi setelah
melalui tahap Fana’ dan Baqa’.
Dalam tahapan Ittihad seorang sufi bersatu dengan Allah, antara yang
mencintai dan yang di cintai menyatu baik substansi maupun perbuatannya. Dalam
paparan Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan dimana seorang sufi telah
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan dimana yang mencintai dan
dicintai telah menjadi satu. Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang
satu lagi dengan kata-kata.
4. Abu Manshur Al-Hallaj (855-922 M)
a. Biografi Singkat
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Mansur bin
Muhammad Al-Bardhawi lahir di baida, sebuah kota kecil diwilayah Persia. Pada tahun
244H/855M ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baqhdad pada usia 16 tahun ia
belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah At-Tusturi di
Basrah dan berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pad atahun 878
M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi
mengembara dari satu neeri kenegeri lain menambah pengetahuan dan pengalaman
dalam ilmu Tasawuf.
Dalam semua perjalanan dan pengembaraannya keberbagai pengawasan Islam
seperti Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan dan Makkah. Al-Hallaj telah banyak
memperoleh pengikut, ia kemudian kembali kebaghdad pada tahun (296 H/909 M) di
Baqhdad pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecamannya terhadap
kebobrokan-kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu.
Al-Haliaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan
dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewenangan-penyelewengan yang terjadi.
b. Ajaran Tasawuf : Hulul dan Wahdat asy-Syuhud
Diantara ajaran tasawuf al-hallaj yang paling terkenal adalah Al-Hulul dan Wahdat
asy syuhlia yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) kata
al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun
menurut istilah al-hulul ini berarti paham yang mengatakan bahwa tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Halaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat
ketuhanan, ia manakwilkan.

Anda mungkin juga menyukai