Anda di halaman 1dari 17

TAREKAT TIJANIYAH DAN MASUK BERKEMBANGNYA DI INDONESIA

A. SEJARAH TAREKAT TIJANIYAH


1. Biografi Pendiri
Tarerkat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bi Muhammad bin al-Mukhtar
at-Tijani atau yang lebih dikenal Syekh Ahmad al-Tijani (150-1230/1815) beliau lahir
pada Kamis 13 Shaffar 1150 H/1730 M di  Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal
dalam usia 80 tahun di Fez, Maroko. Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal
tahun 1230 H. Menurut pengakuan Syaikh Ahmad Tijani memiliki nasab sampai kepada
Nabi Muhammad SAW. Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai
kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn
Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-
`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal
Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan
al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri
Rasuluullah saw.
Sebelum diangkat secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah dikatakan
sejak usia 7 tahun telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau mendalami
berbagai cabang ilmu seperti : Ilmu Usul, ilmu Furu’ dan ilmu Adab. Kemudian mulai usia
21 tahun sampai 31 tahun beliau mendalami teori-teori ilmu tasawuf dan mengamalkan
ajaran-ajaran sufi dan dari usia 31 tahun sampai 46 tahun beliau melakukan disiplin ibadah
membersihkan jiwa tenggelam mengamalkan amalan wali-wali.
Untuk memperjelas informasi tentang biografi syekh Ahmad At-Tijani, maka dapat
dilihat dalam beberapa fase ;
a. Fase menuntut Ilmu,
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak
kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh, dan
sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai dengan
mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20 tahun beliau
telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke
kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni
ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib Ibn

1
Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali berkata
bahwa Ahmad Al-Tijani akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam al-
Syazili”” . Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi al-Andusia, dan
dia berkata Allah akan membimbingmu, kata itu diulang sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat
bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad al-
Tijani untuk berkhalwat dan berzikir sampai Allah memberi keterbukaan . Kemudian
ia mengatakan bahwa ia akan memperoleh kedudukan yang agung .
b. Fase Pengembangan Dakwah,
Di Maroko, Syekh Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (penguasa Maroko)
bekerjasama dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan,
dan kemalasan, sampai beliau dilantik sebagai anggota “Dewan Ulama”. Pada
umumnya masyarakat pada waktu itu melakukan ziarah kepada wali-wali Allah
hanyalah untuk tujuan yang rusak (agrad fasidat) yakni hanya untuk mengharapkan
kesenangan dan syahwat duniawi. Dalam posisi inilah Syekh Ahmad al-Tijani
menetapkan batasan yang sangat ketat kepada murid-muridnya dalam melakukan
ziarah kepada wali-wali Allah swt., hal ini dimaksudkan untuk memelihara kemurnian
akidah dan kelurusan ibadah. Upaya Syekh Ahmad al-Tijani dalam melakukan
dakwah-dakwah Islam, selain melaksanakan kerjasama dengan Maulay Sulaiman,
beliau juga aktif memimpin Zawiyah di kota Fez Maroko. Di Kota ini beliau sering
dikunjungi orang-orang dari seluruh Maroko ataupun negara-negara tetangganya, dan
membina orang yang berminat mendalami ajarannya, sampai melantiknya sebagai
pemuka Thariqat Tijaniyah (muqaddam) di daerah masing-masing.
2. Proses Kelahiran Toriqah Tijaniyah
Kelahiran Thariqat Tijaniyah berkait erat dengan kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani
sebagai wali al-Quthb al-Maktum, al-Khatm al-Muhammadiyyil Ma’lum; sebagai telah
dikatakan dicapai melalui proses panjang dalam penempaan derajat kewalian. Sebelum
diangkat secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah dikatakan sejak usia 7 tahun
telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau mendalami berbagai cabang
ilmu seperti : Ilmu Usul, ilmu Furu’ dan ilmu Adab. Kemudian mulai usia 21 tahun sampai
31 tahun beliau mendalami teori-teori ilmu tasawuf dan mengamalkan ajaran-ajaran sufi
dan dari usia 31 tahun sampai 46 tahun beliau melakukan disiplin ibadah membersihkan
jiwa tenggelam mengamalkan amalan wali-wali. Dibarengi kunjungan kepada para wali
besar di berbagai belahan daerah di Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez, dan

2
Abi Samgun. Kunjungan kepada wali besar itu dalam upaya silaturrahmi dan mencari
ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas. Pada saat itu pula para wali besar, sebagaimana telah
dikatakan melihat dan mengakui bahwa Syekh Ahmad al-Tijani adalah wali besar bahkan
lebih besar derajatnya dari yang lain. Ungkapan kesaksian demikian bisa terjadi, karena di
dunia sufi diakui bahwa seorang wali bisa melihat wali, derajat kewalian hanya bisa
diketahui oleh sesama wali, yang Hakekatnya berasal dari Allah swt. Derajat wali semata
karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah,
apabila seorang wali dengan ilmu ma’rifahnya dan atas anugerahnya bisa mengetahui
derajat sesama wali.
Pada tahun 1196 H., beliau pergi ke Sahara tempat Abu Samgun. Di tempat inilah
beliau mendapatkan anugerah dari Allah, yaitu ‫(“ الفتح األكبر‬pembukaan besar)”. Pada saat
al-Fath al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mengaku, berjumpa dengan Rasulullah saw.,
danpada saat itu bukan dalam keadaan bermimpi. Saat itu beliau mendapat talqin
(pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah saw secara berangsur., berupa Istighfar
100 kali, dan Shalawat 100 kali. Lalu Empat tahun kemudian (pada tahun 1200 H.) wirid
itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah saw., dengan La Ilaha Illa Allah 100 kali. Semua
hal itu otoritas sebagai Shahib al-Thariqah bagi Syekh Ahmad al-Tijani.
Rasulullah juga menjelaskan bahwa wirid itu tingkat tinggi, jadi Syekh Ahmad al-
Tijani diperintahkan berkonsentrasi pada wiridnya dan meninggalkan wirid yang lainnya..
Pada tahun 1186 H [1772-1773 M], dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan
meneruskan belajar di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak
memfokuskan diri untuk berguru kepada banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan
ajarannya. Di antara tarekat yang dipelajarinya adalah, Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah,
dan Sammaniyah
Di Madinah dia belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin
Abdul Karim as-Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah yang mengajarinya ilmu-ilmu
rahasia bathin. Pada tahun 1196 H [1781-1782 M], atas saran dari seorang syekh sufi yang
baru dikenalnya, dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan Tarekat sendiri yang
independen. Di sana at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak
dengan masyarakat sampai mendapatkan ilham [kasyf]. Dalam kasyf-nya, dia mengaku
bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Pada saat itu nabi berkata bahwa beliau tidak
berhutang budi pada tarekat mana saja, karena pada hakikatnya Nabi-lah yang
membimbingnya selama ini. Selanjutnya Nabi memerintahkan pada beliau unutk

3
meninggalkan segala tentang tarekat yang ia pelajari dan diperbolehkan mendirikan tarekat
dengan wirid yang telah Nabi beri.
Pada tahun 1213 H/ 1798 M, pindah ke Maroko untuk memulai menjalankan misi
yang lebih luas lagi, dari kota Fez. Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi
muqaddam Khalwatiyah [at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah], tetapi pada
perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat dan keras,
dia kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas izin Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit
banyaknya berbeda dengan tarekat-tarekat lain terutama soal silsilahnya. Misalnya dari
Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, melintas
jarak waktu 12 abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk
memberikan bai'at 'ahad kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali
lain dan dirinya serta wali-wali dari tarekatnya.
3. Pengakuan Syekh Ahmad Attijani
Pengakuan al- Tijani sebagai khatim al- auliya (penutup para wali) pengikut antara
Nabi Muhammad dan semua wali, baik yang telah lalu maupun yang akan datang, dan
jaminan bagi para pengikutnya dengan derajat spiritual yang lebih tinggi serta dijanjikan
masuk surga tanpa harus menyerahkan harta benda mereka pada Syeikh, sepanjang mereka
mentaati ajaran islam sesuai dengan kemampuan mereka, menarik para pendatang kaya dan
penjahat senior di Al-Jazair berbondong-bondong masuk Tarekat Tijaniyah. Perkembagan
yang cukup mencolok dalam Tarekat Tijaniyah ternyata dinilai dapat menyaingi otoritas
Utsmaniyah, sehingga Al- Tijani dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Al- Jazair.
Kemudian Al- Tijani pindah ke Fez tahun 1798, dan hidup disana hingga wafat.

B. PERKEMBANGAN TAREKAT TIJANIYAH


Perkembangan tarekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dari
penguasa Maroko, Maulay Sulaiman, yang mempunyai kepentingan mendekati al-Tijani
untuk menghadapi persaingan dengan zawiyah-zawiyah para syarif yang dinilai dapat
mendorong kekuasaannya. Kemudian pada abad ke-20, Tarekat ini berkembang di Negara
Afrika lainnya seperti Senegal, Mauritania, Genia, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai
masuk ke Arab Saudi dan Indonesia. Walaupun dengan kekhususan bahkan mungkin
keganjilannya tarekat ini pernah mengalami reaksi dan tantangan keras. Namun dewasa ini
tarekat Tijaniyah di Indonesia telah menjadi tarekat yang mapan di Indonesia. Tarekat ini

4
datang di Indonesia tahun 1920 yang dibawa oleh Syekh Ali bin Abdullah at-Thayib al-
Madani al-Azhari dan Syekh Abdul Hamid al-Futi.
Masuknya Tarekat Tijaniyah ke Indonesia tidak diketahui secara pasti. Tapi ada dua
fenomena yang menunjukan awal gerakan Tarekat Tijaniyah, yaitu kehadiran Syaikh ‘Ali bin
‘Abd Allah al-tayyib, dan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon.
Dengan kehadiran Syeikh ‘Ali ibn’Abd Allah at-Tayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat
Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M atau antara 1918 dan
1921. Menurut Pijper, Tarekat Tijaniyah datang pertama kali ke Tasikmalaya untuk
menyebarkan Tarekat Tijaniyah. Akan tetapi sebelum tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum
mempunyai pengikut di pulau jawa. Pijper juga menjelaskan, pertama diketahui adanya
gerakan Tarekat Tijaniyah ini di Cirebon.
Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Cirebon berpusat di Pesantren Buntet di Desa
Mertapada Kulon. Peasantren ini di pimpin oleh lima bersaudara. Dari Buntet, Tarekat
Tijaniyah menyebar ke daerah-daerah di pulau Jawa secara meluas melalui murid-murid
pesantren ini. Beberapa tahun kemudian, Tarekat ini menyebar ke daerah-daerah lain di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sementara melalui Syekh Ali al-Thayib (anak Syekh Ali bin Abdullah) tarekat
Tijaniyah berkembang di Jawa Barat, sedang Syekh Abdul Hamid al-Futi merupakan
pembuka utama tarekat ini ke Jawa Timur antara lain ke Surabaya dan Madura. Pada
akhirnya para muqaddam tarekat Tijaniyah sepeti Kyai Abbas dan Kyai Anas Buntet telah
menjadikan Tijaniyah berkembang menjadi tarekat yang besar melalui muqaddam baru. Di
antara muqaddam itu yang istimewa ialah Kyai Hawi yang mengahasilkan tujuh muqaddam
yang tersebar di berbagai daerah. Mereka adalah Kyai Abdullah Syifa (Buntet), Kyai Fahim
Hawi (Buntet), Kyai Junaedi putera Kyai Anas (Sidamulya), Kyai Muhammad Yusuf
(Surabaya), Kyai Muhammad Basamalah (Brebes), Kyai Baidhawi (Sumenep) dan Kyai
Rasyid (Pesawahan Cirebon). Kyai Fahim Hawi membariat ustadz Maufur (Klayan Cirebon
Utara), Kyai Abdul Mursyid (Kesepuhan) dan Kyai Imam Subki (Kuningan). Di Jawa Timur
Kyai Muhammad Yusuf Surabaya membaiat Kyai Badri Masduki (Probolinggo) dan kyai
fauzan Fathullah. Sedang Kyai Baidhawi (Sumenep) membaiat Habib Luqman (Bogor), Kyai
Mahfudz (Kesepuhan) dan Nyai Hammad (Kuningan).
Di Cirebon, kegiatan tarekat Tijaniyah mulai muncul sejak 1928 M di bawah pimpinan
Kyai Buntet yakni Kyai Abbas dan Kyai Anas. Banyak murid-muridnya yang berdatangan
dari Tasikmalaya, Brebes, Tegal dan Banyumas yang kemudian dapat menyebarkan tarekat

5
Tijaniyah ke pelosok Jawa Tengah. Di Jawa Tengah ini kemudian tarekat Tijaniyah dapat
berkembang di Tegal tepatnya di Desa Pener Kecamatan Pangkah.
Tarekat Tijaniyah yang ada di Desa Pener pertama kali dibawa oleh almarhum H. Rofi’i
murid dari Syekh Ali Basalamah, yang tidak lain ayah dari Kyai Muhammad Basalamah,
Muqaddam tarekat Tijaniyah di Brebes pada tahun 1970. Mula-mula berdirinya hanya ada 4
orang pengikutnya, mereka adalah Bapak Abdul Wahib, Bapak Fathrur, Bapak Rahmat dan
Bapak Wamat.
Kemudian sekitar tahun 1993 tarekat Tijaniyah di Desa Pener dapat berkembang pesat
di bawah pimpinan Ustadz Bunyani. Sebelumnya Ustadz Bunyani menghubungi KH. Syekh
Muhammad yang merupakan Muqaddam tarekat Tijaniyah di Brebes untuk bisa menjadi
santrinya. Ustadz Bunyani mengutarakan keinginannya untuk menjadi santri untuk belajar
dan mendalami tarekat Tijaniyah dengan tujuan meminta keselamatan dunia akherat.
Kemudian Syekh Muhammad memberikan amalan-amalan tarekat Tijaniyah kepada Ustadz
Bunyani dan membai’atnya menjadi pengikut tarekat Tijaniyah. Setelah Ustadz Bunyani
mendapat ijazah sebagai pengikut tarekat Tijaniyah, maka atas dukungan Syekh Muhammad,
Ustadz Bunyani dipercayakan untuk menyebarkan dan mengajarkan tarekat Tijaniyah di Desa
Pener. Bersama teman-temannya yaitu H. Khaeroni, Nasukha, Suratno, Sarno, Dakrun dan
Radi, Ustadz Bunyani kemudian mendirikan tarekat Tijaniyah di desa Pener untuk
meneruskan pemimpin pendahulunya H. Rofi’i. Dan sekarang jumlah pengikut tarekat
Tijaniyah di Desa Pener sudah mencapai kurang lebih 120 orang. Tarekat Tijaniyah di Desa
Pener merupakan cabang dari tarekat Tijaniyah yang pusatnya di Pondok Pesantren
Darussalam Jatibarang Brebes yang dipimpin oleh Syekh Muhammad bin Ali Basalamah.

C. TAREKAT EKSLUSIF DAN KONTROVERSIAL


Tarekat Tijaniyah menimbulkan kontroversi sejak dari tempat kelahirannya, Al-Jazair
dikalangan tokoh Tarekat lain. Hal in dipicu dengan pengakuan al- Tijani sendiri sebagai
khatim al-auliya yang menerima talqin secara yaqzah langsung dari Rasulullah Saw, dan sikap
eksklusif Tarekat ini, yang melarang murid-muridnya mengunjungi Syeikh- syeikh Tarekat dan
merangkap menjadi anggota Tarekat lainnya.
Di Indonesia antara tahun 1928-1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet- pamflet
yang berisikan tuduhan-tudduhan para penentang Tijaniyah. Sementara itu, tahun 1930 terjadi
pula perselisihan antara pesantren Buntet dengan pesantren Benda Kerep yang anti Tijaniyah
walaupun keduanya masih mempunyai hubungan keluarga. pada tahun yang sama, Syeikh

6
Ahmad Ghanaim, guru dari Mesir datang ke Jawa Timur dan menyerang Tarekat Tijaniah
dengan alasan bahwa penyebar Tijaniyah menjamin para pengikutnya masuk surga.
Beberapa hal yang menyebabkan polemik dalam tarekat Tijaniyah ini adalah sebagai
beriku; Talqin sebagai wali terakhir (khotmul Auliya ), Keistimewaan Tijaniyah dan
pengamalnya yang bila mengamalkan tarekat ini tidak akan masuk neraka selamanya, semua
anak-anaknya, kedua orang tua dan istrinya turut bersama masuk surga., Membaca shalawat
Fatih, sama dengan membaca Al-Qur’an. Masalah yang terpenting dalam beberapa sanggahan
terhadap Thariqat Tijaniyah adalah tentang : keunggulan maqam kewalian Syekh Ahmad al-
Tijani, keistimewaan Thariqat Tijaniyah, dan keistimewaan pengamal Tijaniyah
Dalam melihat tiga hal di atas, ada beberapa kelemahan dari para penentang Thariqat
Tijaniyah Kelemahan dimaksud adalah : (1) Tidak tuntasnya mereka dalam membaca dan
memahami ungkapan-ungkapan Syekh Ahmad al-Tijani dan ajaran Tijaniyah, (2)
Pemahaman mereka terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-tijani lebih bersifat
tekstual, sedangkan kalimat-kalimat ungkapan Syekh Ahmad al-Tijani banyak yang harus
difahami berdasarkan pendekatan kontekstual, dan (3) mereka penentang Tijaniyah tidak
mempelajari langsung dari guru-guru Tijaniyah, tetapi mereka mempelajarinya melalui
pemahamannya sendiri sehingga penafsiran pemikiran mereka yang dominan lebih cenderung
kurang relevan, menjadi subjektif dan bias. Tiga kelemahan para penentang dalam melihat
Thariqat Tijaniyah sebagaimana disebutkan, memunculkan polemik. Sampai sekarang
pertentangan dalam Thariqat Tijaniyah belum berakhir terutama melalui buku-buku yang
diterbitkan dari Kerajaan Saudi Arabia, yang diikuti oleh majalah al-Risalah yang terbit di
Solo.
Penyelesaian Polemik Untuk dapat mengikuti dan atau memahami dengan baik dan
benar mengenai persoalan tadi, ada tahapan-tahapan pemikiran yang harus dilalui.
Tahapan pertama, pemahaman tentang al-Haqiqat al-Muhammadiyah atau masyrab al-
Nabawi yang melekat dalam diri Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sebagai
sumber kenabian seluruh para nabi.
Tahapan berikutnya, memahami dan meyakini tentang khatm al-Wilayah atau masyrab
kewalian yang melekat dalam diri seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm,
sebagai sumber kewalian seluruh wali-wali Allah. Seluruh wali-wali Allah sejak Nabi Adam
hingga akhir zaman mengambil cahaya kewalian dari wali khatm ini, oleh karena itu seluruh
wali hanya melakukan peran kewalian seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm;
yang menurut Ibn Arabi “… wa kadzalika khatm al-Awliya kana waliyyan wa Adamu bain
al-Mai’ wa al-Thin”. Tahapan pemikiran ini merupakan hal yang sangat mendasar untuk bisa

7
memasuki dan memahami pernyataan-pernyataan seorang wali yang memperoleh maqam
wali khatm. Apabila pada dataran ini belum dipahami, maka sangat sulit untuk bisa
memahami pemikiran dan pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali yang mengaku
memperoleh maqam wali khatm. Sebab pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani yang
terkait dengan keunggulan dirinya muncul dalam kapasitasnya sebagai wali khatm.
Keunggulan yang melekat dan dimiliki syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali khatm
mengantarkan pada keunggulan ajaran thariqatnya, yakni Thariqat Tijaniyah. Keunggulan
ajaran Thariqat Tijaniyah yang diajarkan wali khatm mengantarkan keunggulan ummat Islam
yang mengikuti ajarannya.1 Dengan demikian pemahaman dan penerimaan terhadap
pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani tentang maqam kewaliannya merupakan syarat mutlak
untuk bisa memahami terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani, baik tentang
dirinya, ajaran thariqat dan pengikutnya. Oleh karena itu sepanjang teori kewalian khususnya
teori wali khatm belum diterima, terlebih pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani terhadap maqam
ini, selama itu pula Thariqat Tijaniyah akan terus dipermasalahkan dan tidak akan ada
ujungnya. Namun apabila ada kelompok ummat Islam yang memahami wali khatm sekaligus
menerima dan meyakini terhadap pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani terhadap maqam wali
ini, hemat saya tidak ada yang perlu dipersoalkan, karena persoalan tersebut merupakan hak
intelektual seseorang dalam mengimani masalah kewalian sebagai mana paparan al-Qur’an
dan hadis.
Sungguhpun demikian dalam penyelesaian polemik tentang Thariqat Tijaniyah tidak
sederhana, sebab pembahasan al-Haqiqat al-Muhammadiyah dan Khatm al-Wilayah termasuk
pada wilayah pemikiran dan ummat Islam khususnya kaum tarekat yang mempunyai
kemauan dan kemampuan memasuki wilayah ini sangat terbatas, keterbatasan ummat Islam
khususnya pengikut tarekat wali Allah dalam memahami wali ini akan melihat bahwa
pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm dianggap asing dan akan semakin
mengagetkan apabila dihadapkan dengan pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani, yakni tentang
keunggulan dirinya, thariqat dan muridnya dan akan muncul kebingungan ketika lebih banyak
melihat pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani. Oleh karena itu sepanjang ummat Islam
khususnya kaum tarekat belum mamahami apalagi menerima dan taslim terhadap penagakuan
Syekh Ahmad al-Tijani, sebagai wali khatm, selamanya akan terus bertabrakan dan atau
bersebrangan dengan pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm. Dan mereka

1
A.Sinqhithi Jamaludin, kunci Rahmat Ilahi, (pustaka Tijaniyah, tt), edisi revisi, ha.117

8
akan menganggap sebuah hal yang aneh, kelompok ini tidak akan aman dari mengkritik
terhadap Syekh Ahmad al-Tijani.2
Hal ini diharapkan untuk lebih bisa menyelesaikan masalah Thariqat Tijaniyah secara
bertahap, khususnya yang berkembang di Indonesia. Sebab penyelesaian masalah Thariqat
Tijaniyah, mesti dilakukan melalui pendekatan ilmiyah, melalui kajian tasawuf terutama teori
kenabian dan kewalian. Sebab ada hal yang menarik dari Syekh Ahmad al-Tijani, beliau
menggabungkan dua sisi dari tasawuf yang berkembang dalam sejarah Pemikiran Islam yakni
tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Sungguhpun secara amaliyah, Thariqat Tijaniyah dengan
wirid istighfar, shalawat, dan dzikirnya merupakan hal yang disepakati oleh seluruh ummat
Islam bahwa wirid tersebut merupakan amalan yang diperintahkan oleh Qur’an dan hadis.
Persoalan ajaran Thariqat Tijaniyah tidak hanya sampai disitu melainkan menembus
memasuki wilayah tasawuf falsafi terutama menyangkut hakekat nabi Muhammad saw., dan
wali khatm. Hal ini hanya akan bisa diselesaikan melalui pendalaman tentang teori kenabian
dan kewalian. Polemik tentang Tarekat Tijaniyah ini pernah di bahas dalam muktamar NU
dan seminar Tarekat Tijaniyah di Cirebon. 3
Tarekat tijaniyah yang dalam wadah NU dihebohkan keabsahannya oleh sebagian besar
anggotanya, tetap memperingati iedul khotmi syekh Ahmad Tijani ra di Blado Wetan, Sekitar
15 ribu orang membanjiri komplek pesantren Nahdlatut Thalibin di Blado Wetan, Kelurahan
Banyuanyar, Kecamatan Kraksan, Probolinggo.4
2
Disarankan kepada intelektual Thariqat Tijaniyah yang menggeluti dunia keilmuan untuk lebih banyak mengkaji
dan mensosialisasikan teori wali Khatm. Hal ini bisa dilakukan melalui hal-hal berikut : pertama memasukan teori
kewalian menjadi Silabi Mata Kuliah Tasawuf; kedua, menyelenggarakan seminar tentang teori kenabian dan teori
kewalian diluar kalangan ahli Tijaniyah, terutama dikalangan Perguruan Tinggi; ketiga mengembangkan pusat kajian
tasawuf yang berkedudukan di Jakarta.
3
NU pernah membahas Tarekat Tijaniyah dalam dua kali mukhtamar, mukhtamar III dan VI. Kedua
mukhtamar itu melahirkan beberapa keputusan, antara lain : Tarekat Tijaniyah memiliki sanad Muttashil pada
Rasulullah bersama Ba’iah barzakhiyahnya, Taekat Tijaniyah dianggap sebagai Tarekat yang sah dalam Islam, Semua
Tarekat mukhtabarah tidak ada perbedaan antara satu sama lain.
4
Ini bukan acara unjuk gigi. Tapi kebetulan pada hari itu, 18 Safar, memang hari peringatan iedul khotmi
Syekh Ahmad Tijani ra yang kebetulan dipusatkan di situ. Umat dengan khidmat mendengarkan ceramah tentang
riwayat Syekh Ahmad Tijani dan keutamaan Tarekatnya, pembicara nya adalah K.H. Ismail Qamaruz Zaman dari
Garut, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Muhdlar dari Bondowoso (simpatisan, bukan orang Tijani), dan K.H. Muhlas,
pimpinan pondok Nahdlatut Thalibin. Yang terakhir ini adalah tuan rumah dan pimpinan Tijani Jawa Timur.
Namun tidak seperti haul yang biasanya, Acara yang diselenggarakan di tempat kediaman K.H. Muhlas, kali
ini dimanfaatkan pula untuk membicarakan kritik-kritik tersebut. para muqaddam Tijani se-Jawa dan Madura
diundang. Kritik paling formal dilontarkan oleh majalah Risalah NU Jawa Timur, yang menulis sebuah artikel di
rubrik Aqidah Syan’ah mengenai keabsahan Tarekat Tijaniyah. Penulisnya K.H. Anas Thahir Syamsuddin,
penanggung jawab majalah itu, mengupas segi-segi negatif Tijaniyah dalam tulisan yang berjudul : “Meninjau
kembali Keabsahan Tarekat Tijaniyah”.
Diantara pernyataan syekh Ahmad Tijani ra yang dikritik oleh Risalah NU antara lain : Syekh Ahmad Tijani
menyatakan, “Dua tapak kakiku di atas leher semua wali, sejak nabi Adam sampai ditiupnya sangkakala (kiamat).”
Juga, menurut Syekh Ahmad Tijani, “Umur semua umat manusia tidak berarti sama sekali, kecuali bila mereka mau

9
D. AJARAN DAN METODE TAREKAT TIJANIYAH
Karena tidak ada Kreteria umum dan patokan baku tentang kemuktabaran tarekat yang
disepakati oleh para ahli tarekat, maka sangat wajar terjadi perselisihan dalam menilai
kemuktabaran tarekat, demikian halnya dalam kasus polemic kemuktabaran tarekat tijaniyah,
secara umum, amalan zikir dalam tarekat tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu istigfar,
shalawat, dan haillah. Inti ajaran zikir dalam tarekat tijaniyah adalah sebagai upaya
mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadapa Allah dan mengisinya secara terus menerus
dengan menghadirkan jiwa kepada Allah melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hokum-hukum
perbuatan allah. Zikir tersebut mencakup dua bentuk, zikir bi al-lisan dan zikir bi al-qalb.
Semua ajaran tarekat, menurut syaikh al-sya’rani, harus berlandaskan kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah serta berasal dari metode suluk yang dipraktikan oleh rasulullah. Karena itu,

mengamalkan sholawat al-Fatih lima ughliqo.” Atau “Semua zikir, doa, shalawat yang pernah dibaca oleh semua
orang, jika diamalkan selama seratus tahun dan setiap harinya dibaca seratus kali, kemudian pahalanya dikumpulkan,
semuanya tak bisa menandingi pahala satu kali saja membaca shalawat al-Fatih lima ughliqo.” Dan “Sekali saja
membaca sholawat al-Fatih lima ughiiqo, pahalanya bisa menandingi 6,000 kali khatam Quran.” Karena itulah layak
bila, “Kelak di hari kiamat Allah taala tidak akan menghisab (menghitung amalan dan dosa) pengamal tarekat Tijani,
bahkan mereka langsung dimasukkan ke dalam surga”.
Dalam tulisannya, K.H. Anas Thahir Syamsuddin, murid K.H. Ali Maksum itu, menggunakan berbagai kitab
rujukan tarekat Tijani. Tentu saja, persoalan menjadi hangat. Para pengikut Tijani yang kebetulan berlangganan
majalah NU JaTim yang beroplah 7.000 itu terlihat gelisah. Seorang tokoh Tijani dari Probolinggo, KH. Ahmad
Fauzan Fathullah, malah menulis sebuah diktat 17 halaman, berisi sanggahan, yang kemudian di sebarluaskan. Heboh
Tijani semakin santer. “Tapi yang untung justru kita,” kata K.H. Mukhlas sambil tersenyum, “Sebab, orang banyak
jadi ingin tahu tentang tarekat Tijani.”
Tentang doktrin “masuk surga tanpa hisab”, menurut KH Muhlas. “Nabi sendiri menjamin, siapa saja yang
di akhir hayatnya mengucap ‘la ilaha illallah’, akan masuk surga.” Nabi juga bersabda,” sepertiga umatku akan masuk
surga tanpa hisab.” Tentu saja, Nabi tak pernah mengatakan bahwa mereka itu pengamal tarekat Tijani.
Ada lagi tentang shalawat al-Fatih. “Kita tahu,” kata KH Muhlas, “Membaca shalawat tidak banyak risiko
sebagai mana halnya membaca Al-quran, yang harus tahu tajwid, makhraj, dan sebagainya. Padahal, pahala membaca
shalawat itu dijamin pasti dapat.” Jadi, persoalannya bukan shalawat itu lebih utama dari Alquran.
Tapi yang terpenting dalam hal ini ialah masalah sanad sebuah tarekat “dengan Nabi”, sebagaimana yang
dipercayai oleh kalangan Tijaniyin. Menurut KH Mukhlas, Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani, yang lahir di
‘Ain Madli, Aljazair, 1150 H, dan meninggal di Fez, Marokko, 1230 H (tokoh peralihan abad 18-19 M), mendapat
talkin tarekat dari Nabi Muhammad sendiri ( bukan talkin dalam mimpi ), seperti yang dituduhkan orang. “Ini talkin
‘iyaanan yaqzhotan” (terang-terangan dan dalam keadaan terjaga), atau disebut juga talkin barzakhi. Jadi, kata KH
Muhlas, sanad Tijani asli dari Nabi, tidak terputus. Masalah Anda tidak percaya, itu soal lain.
Akhirnya, KH Mukhlas berharap kepada para ulama NU atau para ahli tarekat mu’tabar NU agar tidak usah
mengungkit-ungkit persoalan yang sudah disahkan oleh para ulama pendahulu NU. “Sebab, ilmu ulama kini masih
belum sebanding dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama terdahulu seperti K.H. Hasyim Asy’ari.” Itulah pula
sebabnya, dalam pertemuan tertutup di antara para muqaddam Tijani, dibicarakan perlunya mengirim surat kepada
PBNU untuk segera menyelesaikan masalah itu. Dan selain itu, dirasa perlu memberikan kitab-kitab Tijani kepada
para ulama yang belum tahu betul tentang ajaran ini. Tapi ketika hal itu dikonfirmasikan kepada K.H. Muhlas, ia
menjawab. “Memang, ada pemikiran ke arah itu. Tapi selalu saya tolak,” Mengapa? “Saya takut suul adab terhadap
ulama yang lainnya. Kalau NU yang memanggil kami, ya, kami akan patuh dan datang.” Lihat
http://4binajwa.wordpress.com/khazanah-tijaniyah/perkembangan-tarekat-tijani-di-indonesia

10
unsure sanad (silsilah), urutan-urutan guru secara berkesinambungan sampai kepada
rasulullah, sangat penting dalam tarekat. Setiap guru dalam sanad bertemu langsung dengan
guru diatasnya dan seterusnya sampai sumber utama Rasulullah Saw. Tarekat tijaniyah
memiliki aturan-aturan yang harus ditegakkan oleh setiap para peganutnya. Aturan-aturan
dalam tarekat tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tata krama (sopan santun) terhadap guru,
sesama ikhwan, dan terhadap dirinya sendiri.
Syarat-syarat dalam tarekat tijaniyah terbagi dalam dua bentuk : Pertama; syarat
kamaliyah (syarat penyempurnaan) dan kedua; syarat lazimah (syarat pokok). Syarat
kamaliah yang berhubungan dengan wirid. Syarat lazimah juga terbagi dalam dua bagian
yaitu; syarat lazimah yang berhubungan dengan pribadi murid, dan syarat lazimah yang
berhubungan dengan wirid. Sedangkan tata krama yang harus ditegakkan oleh murid
tijaniyah terdiri dari tiga bagian; tata krama terhadap diri sendiri, Tata krama terhadapa
syaikh, dan tatak armater pada ikhwan.
Adapun syarat kamaliah yang berhubungan dengan wirid; duduk dan membaca wirid
dengan sopan dan khusyuk, menghadap kiblat ketika membaca wirid lazimah, menghadirkan
wajah syaikh (Ahmad Tijani) pada saat membaca wirid, dan sangat ditekankan selalu
berjmaah dalam wirid wazhifah dan hailalah jika ada kawanya yang lain, kecuali jika ada
unsure syar’i.
Syarat-syarat lazimah; tidak boleh berziarah kepada para wali lainnya, baik yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal, kecuali pada para nabi, sahabat, atau wali ikhwan ahli
tarekat tijaniyah, harus kosong dari (tidak memiliki) wirid-wirid yang berasal dari guru yng
lain, jika ia sebelumnya telah memiliki wirid dari guru lain, maka wirid dari guru itu harus
ditinggalkan, dan tidak boleh melepaskan wirid tijaniyah setelah mengambil ijazah.
Syarat lazimah yang berhubungan dengan wirid; bersih dari hadas, bersih dari najis,
secara keseluruhan badan dan pakaian, menutup aurat, tidak boleh sambil berbicara,
mengucapkan niat pada awal memulai wirid, dan bersuci dengan air untuk membaca salawat.

E. HAKIKAT KENABIAN MENURUT SYEKH AHMAD ATTIJANI


Ibn Arabi, menjelaskan bahwa semua Nabi as., semenjak Nabi Adam as., sampai Nabi
Isa ibn Maryam as., semuanya mengambil al-Nubuwwah (ke-Nabian) dari tempat cahaya
Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sekalipun wujud jasmaninya di akhir.
Sebab pada Hakekatnya Khatm al-Nabiyyin telah wujud. Hal ini sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw. :
‫ت نَبِيًا َوآ َد َم بَ ْينَ ال َما ِء َوالطِّ ْي ِن‬
ُ ‫ُك ْن‬

11
“Aku telah menjadi Nabi Ketika Adam as., masih berada antara air dan tanah”.
Dalam memahami sabda Nabi saw., ini, Ibn Arabi menegaskan bahwa Nabi
Muhammad saw., telah diangkat jadi Nabi sebelum lahirnya jasad Beliau di dunia ini, dan
Beliau mengetahui ke-Nabiannya, dengan demikian secara Hakekat bahwa Nabi Muhammad
saw., sejak di Alam arwah telah berfungsi sebagai Rasul kepada ummat manusia sejak awal
manusia melalui para nabi dan Rasul-rasul Allah. Tentang Maqam Nabi Muhammad tersebut,
dalam Surat Saba ayat 84 Allah Berfirman :
ِ َّ‫اس بَ ِش ْيرًا َونَ ِذ ْيرًا وَّل ِك َّن اَ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس الَيَ ْعلَ ُموْ ن‬ َ ‫َو َما اَرْ َس ْلنَا‬
ِ َّ‫ك ِإالَّ َكافَّةً لِّلن‬
Artinya : “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pembawa peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kenabian para nabi dan kerasulan para rasul
merupakan pelaku yang dipilih Allah untuk menjalankan roda kenabian dan kerasulan Nabi
Muhammad saw. Sebab secara fisik Nabi Muhammad Saw., lahir diakhir. Oleh karena itu,
secara syari’at, Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi ketika turunnya Lima Ayat dari surat
al-‘Alaq di Gua Hira yakni pada hari Senin 17 Ramadhan atau tanggal 6 Agustus tahun 600
M., ketika itu Beliau berumur 40 tahun Komariyah 6 Bulan 8 Hari kemudian 3 tahun
kemudian diangkat menjadi Rasul terakhir melalui turunnya Surat al-Mudatstsir sedangkan
selain Khatm al-Nabiyyin, mereka tidak diangkat menjadi Nabi, dan tidak tahu pada ke-
Nabiannya kecuali pada waktu ia diutus setelah Wujud dengan unsur Badaniyahnya dan
sesudah sempurna syarat-syarat ke-Nabiannya.
Menurut Syekh Ahmad al-Tijani pada dasarnya ruh Sayyidina Muhammad adalah awal
segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan melalui perantara ruh inilah terjadi seluruh Alam.
Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa Nur Nabi Muhammad saw.,
telah wujud sebelum makhluk lain ada, bahkan Nur ini merupakan sumber semua Nabi
sebelum Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Nur
Nabi Muhammad saw., menurut Syekh Ahmad al-Tijani adalah al-Haqiqat al-
Muhammadiyah. Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak seorangpun dalam
martabat al-Haqiqat al-Muhammadiyah bisa mengetahuinya secara utuh. Pengetahuan orang
shalih (Wali, Sufi) terhadap al-Haqiqat al-Muhammadiyah ini berbeda-beda sesuai dengan
maqamnya masing-masing. Dalam hal ini Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan :
.... ‫طائفة غاية ادراكهم نفسه صلى هللا عليه وسلم وطائفة غاية ادراكهم قلبه صلى هللا عليه وسلم وطائفة غاية‬
‫اداكهم عقله صلى هللا عليه وسلم وطائفة وهم االعلون بلغوا الغاية القصوى فى االدراك فادركوا مقام روحه صلى هللا عليه‬
‫وسلم‬.

12
“Diantara wali Allah ada yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja,
ada juga yang sampai pada tingkat hatinya (al-Qalb), ada juga yang sampai pada
tingkat akalnya (al-Aql), dan maqam yang tertinggi adalah wali yang bisa
sampai mengetahui tingkat ruhnya; tingkat ini merupakan tingkat penghabisan
(al-Ghayat al-Quswa).”
Rumusan mengenai Nur Muhammad atau haqiqat al-Muhammadiyyah ditegaskan
melalui dua shalawat yang dikembangkan dalam wirid thariqat tijaniyah yakni shalawat fatih
dan shalawat Jauharat al-Kamal :
1. Shalawat Fatih
Diantara rukun wirid wadzifah adalah membaca shalawat fatih sebanyak 50 kali.
Berikut teks bacaan shalawat fatih :
‫ص َرا ِطك َْال ُم ْستَقِيْم‬
ِ ‫ق َو ْالهَا ِدى اِلَى‬
ِّ ‫ق‍ بِ ْال َح‬
ِّ ‫ص ِر ْال َح‬ َ َ‫ق َو ْال َخاتِ ِم ِل َما َسب‬
ِ ‫ق نَا‬ ِ ِ‫ص ِّل َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ِد ِن ْالفَات‬
َ ِ‫ح لِ َمااُ ْغل‬ َ ‫اللَّهُ َّم‬
‫َار ِه ْال َع ِظي ِْم‬
ِ ‫ق قَ ْد ِر ِه َو ِم ْقد‬
َّ ‫ َو َعلَى اَلِ ِه َح‬.
Artinya : “Yaa Allah limpahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad
saw., dia yang telah membukakan sesuatu yang terkunci (tertutup), dia yang
menjadi penutup para Nabi dan Rasul yang terdahulu, dia yang membela agama
Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dan dia yang memberi petunjuk kepada jalan
agama-Mu. Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada keluarganya yaitu rahmat
yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad saw”.
Syarah kandungan shalawat Fatih, walaupun shalawatnya diakui dari Nabi Muhammad
saw; mencerminkan pemikiran faham tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani serta pengaruh
tasawuf Filsafat terhadap pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani.
 Makna al-Fatih li ma Ughliq pada intinya adalah :
1. Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan segala yang
maujud di alam.
2. Nabi muhammad sebagai pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah bagi
para makhluk di alam.
3. Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik.
 Sedangkan makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah
1. Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan.
2. Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan.
3. tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.
Pemikiran-pemikiran tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani terkandung dalam penafsirannya
tentang makna al-Fatih li ma Ughliq dan al-Khatim li ma Sabaq. Syekh Ahmad al-Tijani

13
mengatakan bahwa al-Fatih li ma Ughliq mempunyai makna bahwa Nabi Muhammad
merupakan pembuka segala ketertutupan al-Maujud yang ada di alam. Alam pada mulanya
terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin (hujbaniyat al-Buthun). Wujud Muhammad
menjadi “sebab” atas terbukanya seluruh belenggu ketertutupan alam dan menjadi “sebab”
atas terwujudnya alam dari “tiada” menjadi “ada”. Karena wujud Muhammad alam keluar
dari “tiada” menjadi “ada”, dari ketertutupan sifat-sifat batin menuju terbukanya eksistensi
diri alam (nafs al-Akwan) di alam nyata (lahir). Jika tanpa wujud Muhammad, Allah tidak
akan mencipta segala sesuatu yang wujud, tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi
“ada”. Syekh Ahmad al-Tijani juga mengatakan bahwa awal segala yang maujud (awal
maujud) yang diciptakan oleh Allah dari eksistensi al-Ghaib adalah Ruh Muhammad {nur
Muhammad}.
Nur Muhammad telah diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw., ketika tiu Jabir bin
Abdullah bertanya kepada Nabi Muhammad saw., tentang apkah yang paling awal diciptakan
oleh Allah Swt., Nabi menjawab :
•‫ياجابر ان هللا اتعالى خلق قبل االشياء نور نبيك‬
“Wahai Jabir, sesungguhnya Allah swt., sebelum menciptakan sesuatu
terlebih dahulu menciptakan nabimu {nur Muhammad}.”
Selain istilah nur Muhammad digunakan juga istilah lain sebagai penegas
keberadaannya, yaitu ruh Muhhamad, nur, al-‘Aqju awwal dan al-Haba. Dari ruh Muhammad
ini kemudian Allah mengalirkan ruh kepada ruh-ruh alam. ruh alam berasal dari ruh
Muhammad, ruh berarti kaifiyah. Melalui kaifiyah ini terwujudlah materi kehidupan. al-
Haqiqat al-Muhammadiyyah adalah awal dari segala yang maujud yang diciptakan Allah dari
¬hadarah al-Ghaib (eksistensi keGhaiban). Di sisi Allah, tidak ada sesuatu yang maujud yang
diciptakan dari makhluk Allah sebelum al-Haqiqat al-Muhammadiyyah ini tidak diketahui
oleh siapapun dan apa pun. Di samping sebagai pembuka, Nabi Muhammad juga sekaligus
sebagai penutup kenabian dan risalah. Oleh karena itu, tidak ada lagi risalah bagi orang
sesudah Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga sebagai penutup bentuk-bentuk
panampakan sifat-sifat Ilahiyyah (al-Tajaliyyah al-Ilahiyyah), yang menampakan sifa-sifat
Tuhan di alam nyata ini.
2. Shalawat Jauharat al-Kamal 5

َ ‫ب ْا‬ َ ‫ان ْال ُمتَ َك َّونَ ِة ْاأل َد ِم ِّي‬


ِ ‫َز ْالفُهُوْ ِم َو ْال َم َعانِى َونُوْ ِر ْاالَ ْك َو‬
ِ ‫صلِّ َو َسلِّ ْم َعلَى َعي ِْن الرَّحْ َم ِة ال َّربَّانِيَّ ِة َو ْاليَقُوْ تَ ِة ْال ُمت ََحقِّقَ ِة ْال َحاِئطَ ِة بِ َمرْ ك‬ َ ‫اَللَّهُ َّم‬
5
ِّ ‫لح‬
‫ق‬ ِ ‫اح‬ِ ‫ص‬
َ ‫لحاِئطَ ِبَأ ْم ِكنَ ِة ْال َمكاَنِى اَللّهُ َّم‬
‫صلِّ َو َسلِّ ْم‬ َ ‫ض ِمنَ ْالبُحُوْ ِر َواَْأل َوانِى َونُوْ ِركَ الالَّ ِم ِع الَّ ِذيْ َمْألتَ ِبه َكوْ نَكَ ْا‬ ٍ ِّ‫اح ْال َمالَِئ ِة لِ ُكلِّ ُمتَ َعر‬ ِ َ‫ق اَْأل ْسطَ ِع ِب ُم ُز َو ِن اَْألرْ ب‬ِ ْ‫ْال َّربَّانِى ْالبَر‬
َ‫اض ِتك‬َ َ‫ق ْال َك ْن ِز اَْأل ْعظَ ِم ِإف‬ ْ ‫ق ِب‬
ِّ ‫اال َح‬ َ ‫ط ْل َع ِة ْا‬
ِّ ‫لح‬ َ ‫صلِّ َو َسلِّ ْم عَلى‬ َ ‫اطكَ التَّآ ِّم ْاالَ ْسقَ ِم اللّهُ َّم‬ِ ‫ص َر‬ ِ ‫ف اَْأل ْق َو ِم‬ ِ ْ‫ق َعي ِْن ْال َم َعار‬ ِ ‫لحقَاِئ‬ َ ‫ق الَّ ِتى تَت ََجلّى ِم ْنهَا ُعرُوْ شُ ْا‬ َ ‫عَلى َعي ِْن ْا‬
ِّ ‫لح‬
َ ‫ِم ْنكَ اِلَيْكَ ِإ َحاطَ ِة النُّوْ ِر ْال ُمطَ ْل َس ِم‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َوعَلى آ ِل ِه‬
ُ‫صالَةًتُ َعرِّ فُنَا• بِهَا ِإيَّاه‬

14
Bacaan Shalawat Jauharat al-Kamal ini, tampaknya lebih menjelaskan atau menafsirkan
kalimat yang terdapat dalam shalawat fatih yakni kalimat alfatih lima ughliq, Misalnya,
shalawat tersebut mengungkapkan sifat-sifat Nabi Muhammad saw., sebagai Hakekat rahmat
dari sifat-sifat Tuhan, yang merupakan pusat pengetahuan. Kemudian dikatakan bahwa Nabi
Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah yang memiliki sifat Tuhan, yang
mengalir dan menyinari keseluruh alam. Selanjutnya dikatakan bahwa Nabi Muhammad
saw., sebagai wujud yang paling sempurna. Ungkapan sifat-sifat Nabi Muhammad di atas,
menunjukan bahwa Syekh Ahmad Al-Tijani merumuskan maqam Nabi Muhammad sebagai
mana telah dikemukakan sufi-sufi terdahulu, terutama dalam mensifati pemahaman mereka
terhadap haqiqat (Hakekat) Muhammad, tidak dapat dibantah bahwa ia sependapat, bahkan ia
menjelaskan konsep dasar tersebut.
Hal ini, menunjukan bahwa dari aspek pemikiran, Syekh Ahmad al-Tijani menganut
tasawuf falsafi sedangkan konsep-konsep dasar tasawufnya : nur Muhammad, Ruh
Muhammad, al-Haqiqat al-Muhammadiyyah. Dengan demikian, bahwa corak (paham)
tasawuf yang digunakan oleh Syekh Ahmad al-Tijani adalah corak (paham) tasawuf yang
dikembangkan oleh ‘Abd al-Karim al-Jili dengan konsep dasar al-Insan al-Kamil, yang
berasal dari Ibn Arabi dengan konsep Haqiqat al-Muhammadiyah. Terlepas apakah Syekh
Ahmad al-Tijani terpengaruh oleh pemikiran filosofis Abd. Karim al-Jili yang berasal dari
Ibn. ‘Arabi atau tidak, corak pemikiran tasawuf demikian dikembangkan oleh dua sufi
tersebut. Sekali lagi, pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani menggabungkan dan menyatukan
kembali dua corak {faham} tasawuf yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang telah
“bercerai” sejak abad ketiga Hijriyah sehingga masing-masing mempunyai metodologi
tersendiri. Inilah yang dimaksud bahwa Thariqat Tijani merupakan thariqat yang terakhir dan
seluruh thariqat akan mausk kedalam lingkup ajarannya, dalam arti seluruh amalan sufi
{wali} dan seluruh corak pemikiran para sufi terakomodir dalan ajaran thariqat yang

Artinya : “Ya Allah ! limpahkanlah rahmat dan keselamatan-Mu kepada Nabi Muhammad. Ia adalah
haqiqat rahmat sifat-sifat Tuhan, ia bagaikan mutiara yang yang mengetahui semua nama-nama (asma) dan sifat-
sifat Allah, ia yang menjadi pusat pengetahuan yang mencakup seluruh pengetahuan yang diberikan kepada
makhluk, ia yang menjadi penerang (cahaya) segala sesuatu yang ada termasuk manusia, ia yang membawa
(mempunyai) agama Allah, ia adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyyah (Hakekat Muhammad, Nur Muhammad) yang
bagaikan kilat bahkan lebih dari kilat yang dibuktikan dengan mengalirnya rahmat Tuhan kepada setiap orang yang
menghadap-Nya., seperti halnya para nabi dan para wali, ia yang menjadi cahaya Tuhan yang menerangi seluruh
makhluk di setiap tempat. Ya Allah ! limpahkanlah rahmat dan keselamatan-Mu kepada Nabi Muhammad yang
menjadi ‘ain al-Haqq (wujud keadilan, pemilik kebenaran)., telah tampak dari padanya seluruh. Hakekat keadilan
yang seperti ‘arsy (gudang) sebagi sumber seluruh ilmu, yaitu ilmu agama Allah yang adil, sempurna dan istiqamah.
Ya Allah ! limpahkanlah rahmat dan keselamtan-Mu kepada Nabi Muhammad yang merupakan mazhar (manifestasi)
dan tajalli (penampakan lahir)-Mu, ia yang menjadi gudang (tempat penyimpanan) ilmu dan rahmat-Mu Yang Maha
Besar, ia tempat datangnya kasih-Mu, ia yang meliputi seluruh cahaya yang tersimpan. Semoga Allah memberikan
rahmat kepadanya dan kepada keluarganya, yang dengan sebab rahmat tersebut kami bisa mengetahui haqiqat
(Hakekat) sesungguhnya Nabi Muhammad”.

15
dikembangkannya, hal ini bisa dimengerti karena cahaya maqam wali khatm merupakan
sumber seluruh cahaya kewalian. Sebagai perbandingan seluruh syari’at para nabi
terakomodir kedalam syari’at Nabi Muhammad Saw, karena syari’at para nabi yang
bersumber dari cahaya Khatman – Nabiyyin.

F. KEKHALIFAHAN
Khalifah berarti pengganti Syekh Ahmad at-Tijani dan atau orang yang diangkat dan
diberi otoritas oleh Syekh Ahmad at-Tijani dalam mengembangkan tarekatnya. Ada tiga
tingkatan murid Syekh Ahmad at-Tijani : 1. Khalifah 2. Muqaddam dan 3. Murid. “Khalifah”
adalah murid Syekh Ahmad at-Tijani yang diberi kewenangan mengalirkan karomah, barokah
dan madad-nya, sedangkan “muqaddam” adalah orang yang ditugaskan oleh khalifah untuk
memberikan talqin wirid Tarekat Tijaniyah kepada semua umat Islam yang berminat,
sedangkan “murid” adalah setiap umat Islam yang berjanji mengamalkan amalan Tarekat
Tijaniyah melalui talqin/ijazah/idzin dari muqaddam. Dengan demikian otoritas kewalian
syekh Ahmad at-Tijani dialirkan melalui segara kekhalifahan

G. KARYA TULIS TAREKAH TIJANIYAH


Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam
tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam buku-buku karya murid-
muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani,
Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab dan as-Sirr al-Abhar fi-Aurad
Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan
dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam tarekat
Tijaniyah pada abad ke-19.

H. PENUTUP DAN KESIMPULAN


1. Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad At-Tijani mempunyai ciri khas
trsendiri dari tarekat tarekat yang ada khususnya dalam silsilahnya.
2. Tarekat ini diterima oleh Syekh Ahmad At-Tijani langsung dari Rasulullah Saw dalam
keadaan Jaga.
3. Tarekat Tijaniyah merupakan tarekat yang lahir pada masa masa terakhir
4. Tarekat At-tijaniyah mulai datang ke Indonesia pertama di pesantren Buntet, Cirebon
5. Shalawat Alfatih adalah shalwat khusus tarekat ini yang diberikan langsung Rasulullah
Saw kepada Syekh Ahmad At-Tijani.

16
6. Dalam shalawat Al-Fatih, menunjukan bahwa tarekat ini merupakan ajaran taswuf yang
dibarengi landasannya selain nash juga dengan akal pikiran (taswuf Falsafi).

17

Anda mungkin juga menyukai