Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Lahirnya Tarekat Tijaniyah

Pada umumnya nama tarekat dinisbatkan kepada pendirinya, sebagaimana nama-


nama yang sudah ada terlebih dahulu. Misalnya Tarekat Qadiriyah yang mengambil nama
pendirinya yaitu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang wafat pada tahun 561/1166, Tarekat
Naqsabandiyah yang mengambil nama pendirinya yaitu Baha‟ al-Din Naqsaband yang wafat
pada tahun 1389. Maka nama Tarekat Tijaniyah juga diambil dari nama pendirinya yaitu Abu
al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani. Beliau juga merupakan seorang
tokoh dari gerakan NeoSufisme.
Asal usul Tarekat Tijani Tijaniyah berasal dari nama sebuah suku asli di „Ayn Madi
yang terletak di Algeria Selatan. Penyandang suku al-Tijani tersebut adalah ibunya Abu al-
Abbas Ahmad. Beliau adalah seorang wanita yang berketurunan kulit hitam, yang bernama
Sayyid „Aisyah binti Abdullah al-Sanusi al-Tijani. Sementara ayahnya yaitu Muhammad bin
Mukhtar adalah seorang „alim dan merupakan keturunan ke- 22 dari Nabi Muhammad
Sallallahu `Alaihi Wasallam.
Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah
saw. Silsilah lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn
Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn
Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn
Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah alKamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-
Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw. Abu al-
Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani merupakan tokoh sentral bagi lahirnya
Tarekat Tijaniyah yang lahir pada tahun 1150 H di „Ayn Madi, sebuah desa yang berada di
Maghrib al-Aqso (Maroqo).
Beliau dibesarkan pada keluarga yang taat beragama oleh orang tuanya, sejak kecil
beliau juga sudah dibekali berbagai macam ilmu agama terutama yang berkaitan dengan
masalah Ubudiyah dan Akhlaq al-Karimah. Keistimewaan al-Tijani sudah tampak sejak
usianya masih anakanak, salah satunya adalah kemahiran al-Tijani dalam Qira’at Nafi yang
menjadikannya seorang hafidz pada usia tujuh tahun. Pada usia 7 tahun Ahmad al-Tijani telah
menghafal al-Qur‟an dalam qira‟at Imam Nafi‟ dengan baik dalam bimbingan gurunya,
Sayyid Muhammad bin Hamawi at-Tijani, seorang yang alim dan terkenal kesholehan dan
kewaliannya. Dengan kecerdasannya al-Tijani cepat dapat menguasai beberapa ilmu dengan
sempurna. Tahun 1166, orang tuanya meninggal pada hari yang sedang gencar dengan wabah
toun, yaitu ketika Syekh Ahmad berusia 16 tahun. Sejak itu Syekh Tijani tetap aktif dalam
aktifitas keilmuannya yaitu mengajar, menulis dan memberi fatwa. Pada tahun 1171 H Syekh
Tijani mulai menekuni dunia Tasawuf setelah mendalami syariah. Syekh Tijani masuk dalam
dunia Tasawuf berdasarkan pemikiran dan pengetahuan yang dikehendakinya dan kemudian
memantapkannya.
Pengausaan berbagai macam ilmu pengetahuan agamanya terutama terhadap ajaran-
ajaran Maliki, Hadits, Kalam Asy‟ari dan Tasawuf, merupakan keistimewaan lain yang
dimilikinya sehingga menjadikannya menduduki posisi puncak karirnya dengan menjadi
seorang mufti di usia 20 tahun. Semasa hidupnya Syekh al-Tijani melakukan banyak
perjalanan untuk mendapatkan ilmu tasawuf, dan perlu proses panjang untuk mencapai
kewaliannya. Sebelum diangkat sebagai wali besar,pada usia 21 tahun Syekh Tijani sudah
bergaul dengan orang-orang sufi pada usia 31 tahun Syekh Tijani mulai mengamalkan
ilmuilmu kesufian dan kewalian. Sejak usia 46 tahun ia menenggelamkan diri dalam amalan-
amalan para wali dengan mengunjungi para wali besar di berbagai negara seperti Tunis,
Mesir, Makkah, Madinah, Maroko, Fez dan Abi Samghum. Kunjungan yang al-Tijani
lakukan selain sebagai ajang silaturahmi juga sebagai pencarian ilmuilmu kewalian secara
lebih luas, sehingga ia mendapat derajat kewalian yang sangat tinggi.
Melihat guru-guru tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, tampaknya beliau lebih banyak
mendalami ajaran tasawuf dari tokoh-tokoh Tarekat Khalwatiyah, seperti Sayyid Ahmad Ibn
Abdurrahman al-Azhari, Syekh Mahmud al-Kurdi, dan Syekh Muhammad Ibn Abd al-Karim
al-Saman. Hal ini dikarenakan tarekat terakhir yang beliau amalkan adalah Tarekat
Khalwatiyah. Pencarian Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar al-Tijani
terhadap wali besar dan syekh tasawuf dimulai ketika beliau berumur 21 tahun.
Fez adalah kota yang pertama kali disinggahi, di kota ini beliau mulai belajar ilmu
hadits, disamping itu juga beliau memasuki sekaligus tiga tarekat, yaitu: Qadariyah,
Nashiriyah dan Tarekat Ahmad bin al-Habib Muhammad. Pada tahun 1196 H/1781-1782 M,
al-Tijani pergi ke Tilimsan untuk menambah ilmu pengetahuannya pada Abu Samghun.
Disinilah mulai terbukalah pandangan batinnya, bukan dalam tidur tetapi dalam penjagaan
dan kesadaran.
Konon al-Tijani bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan kepadanya
beberapa amalan seperti Wirid, Istighfar, dan sholawat yang masing-masing harus diucapkan
sebanyak seratus kali dalam semalam, selain memerintahkan al-Tijani untuk mengamalkan
juga menyuruh untuk mengajarkannya kepada seluruh umat muslim yang berkenan. Pada
tahun 1200 H/1785-1786 M, Rasulullah datang dan mengajarkan hailalah (laa ilaaha illallaah)
sebanyak seratus kali setiap malam sebagai tambahan wiridnya, Atas jaminan-jaminan
demikian, mulailah Syekh Ahmad al-Tijani mengajarkan tarekatnya kepada setiap ummat
Islam yang berminat. Keabsahan seorang syekh tarekat juga dapat dinilai melalui kasyaf atau
ilham, dan kasyaf itu dapat terjadi melalui mimpi maupun dalam keadaan terjaga.

Berikut ini adalah perjalanan singkat dari al-Tijani, dalam perjalanannya beliau mendapatkan
gelar Quthb al-Udwa, yaitu:
 Fase Menuntut Ilmu Syariat Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah
hafal al-Qur‟an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti
ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad alTijani telah
menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia
dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah
agama. Dalam al-A’lam dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani adalah seorang ahli
fiqih (faqih) Mazhab Maliki yang menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu usul,
fiqh, sastra dan tasawuf.
 Fase Menuntut Teori-teori Ilmu Tasawuf Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun
1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. Tidak diketahui
mengenai motif-motif kepindahannya tersebut, namun ada dugaan yang mengatakan
bahwa kepindahannya adalah untuk memperdalam ilmu Tasawuf, kemudian
sepertinya ilmu ini juga merupakan ilmu yang diminatinya, maka beliau pun terkenal
dengan ilmu Tasawufnya. Ketekunannya dalam ilmu ini terarah dari pembinaan yang
dilakukan orang tua dan guru-guruya, hal ini kemunginan disebabkan kecenderungan
ilmu agama yang berkembang saat itu bercorak sufistik, dan pada waktu itu dibagian
barat dunia Islam, kota Fezz merupakan pusat studi Ilmu Agama yang masyhur dan
tidak kalah harumnya dengan kairo.
 Fase Pengidentifikasian diri Pada usia 31 tahun, al-Tijani mendekatkan diri kepada
Allah (taqarrub ilallaah) melalui beberapa tarekat, diantaranya Tarekat Qadiriyah,
kemudian beralih menjalankan Tarekat Nashiriyah yang diambil dari Abi Abdillah,
setelah itu al-Tijani mengamalkan tarekat Ahmab al-Habib Ibn Muhammad dan
kemudian mengamalkan Tarekat Tawwasiyah. Setelah beberapa tarekat yang beliau
amalkan, kemudian beliau berpindah ke Zawiyah (pesantren Sufi) Syekh Abd al-
Qadir Ibn Muhammad, diduga kepindahannya dari tarekat satu ke tarekat lainnya,
karena dalam tarekattarekat sebelumnya beliau belum merasakan kepuasan terhadap
amalanamalan yang diajarkan dalam tarekat tersebut. Pada tahap ini beliau banyak
mendapatkan pengalaman, maka tahap ini merupakan tahap pengidentifikasian diri.
 Fase Pengembangan Dakwah Pada tahun 1978 al-Tijani pindah ke Fez, dan
kemungkinan ini dilatarbelakangi oleh pengembangan dakwahnya. Di sana, Syekh
Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (1793-1822 M) sebagai penguasa Maroko
bersekutu dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan, dan
kemalasan. Pada saat itu, al-Tijani dan ulama-ulama besar lainnya berpendapat bahwa
keadaan umat Islam saat ini dalam keadaan lemah. Kelemahan ini dilatarbelakangi
oleh kemerosotan bidang akidah dan ibadah serta timbulnya paham-paham sesat,
diantaranya melakukan upacara ziarah kubur dengan tujuan yang tidak sesuai dengan
syari‟at Islam, 35 contohnya ziarah kubur dengan tujuan mengharap kekayaan/syirik.
Pada fase pengembangan dakwahnya, al-Tijani memberikan beberapa wasiat diantaranya
beliau senantiasa aktif memberikan tausiyah dan bimbingan baik secara lisan ataupun tulisan
kepada seluruh ummat Islam, khususnya yang ada di Kota Fez, Maroko dan negara-negara
tetangganya.
Ajaran Tarekat Tijnaiyah
Dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak
tasawuf, yakni Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad al-
Tijani menggabungkan dua corak tasawuf dalam ajaran tarekatnya. Dasar-dasar Tasawuf
Falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad Al-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad
Sallallahu „Alaihi Wasallam, sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah dan rumusan wali
Khatm.
Organisasi tarekat dalam pendiriannya terdapat sebuah pengajaran tertentu, dimana kita
bisa jumpai guru yang bergelar Syaikh, Mursyid atau disebut Muqaddam, adapun wakilnya
disebut dengan Khalifah dan adanya sejumlah pengikut disebut dengan Murid atau Ikhwan
disertai adanya wirid tertentu. Al-Tijani menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari
Rasulullah dalam keadaan terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar,
Sholawat dan Hailalah. Selanjutnya ketiga amalan ini dijadikan wirid sebagai aturan yang
menjadi keharusan (lazim) bagi para Ikhwan Tarekat Tijaniyah. Sebelum kepada ajarannya,
Tarekat Tijaniyah memiliki beberapa struktur yang mengorganisasinya, diantaranya yaitu:
 Muqoddam (syaikh, mursyid) Tarekat Tijaniyah Dalam organisasi Tarekat Tijaniyah,
guru dikenal dengan nama Muqoddam, artinya seorang pemimpin yang ditunjuk
untuk dijadikan sebagai khalifah oleh seorang syaikh ataupun atas izin dari
Muqoddam senior. Seorang Muqoddam dalam Tarekat Tijaniyah ini diibaratkan
seperti seorang ayah yang merawat dan mendidik anak-anaknya, juga seperti seorang
pengembala yang mengembala ternaknya. Syarat-syarat yang harus di milki seorang
Muqoddam Tijaniyah yaitu: Seorang Muqoddam harus bersifat jujur dan sabar dalam
menjalankan dakwahnya. Harus memaafkan segala kesalahan yang dilakukan oleh
seorang murid, dengan syarat murid harus mengakui kekhilafannya dan berjanji tidak
akan mengulanginya lagi. Menyayangi makhluk ciptaan Allah. Menolong terhadap
yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Tidak suka mengadu domba. Tidak suka
mengumpat. Halus budi pekertinya. Lemah lembut perangainya. Jauh dari sifat
menindas dan mempersulit. Adil dalam mengemban amanat.
 Murid (ikhwan) Tarekat Tijaniyah Untuk menjaga hubungan yang begitu penting
antara seorang murid dan guru mursyidnya, maka seorang murid harus memiliki
kriteria-kriteria dan norma-norma serta tata krama seperti yang disebutkan oleh
Syaikh Ahmad Al-Khomisykhonawiy dalam kitab Jami’ul Ushul fil Aulia’, sebagai
berikut:
1. Pertama. Setelah yakin dan mantap dengan seorang Syaikh (mursyid), dia segera
mendatanginya seraya berkata :”Aku datang ke hadapan tuan agar dapat ma’rifat
(mengenal) Allah Swt.” setelah diterima oleh sang mursyid, hendaknya ia
berkhidmah dengan penuh kecondongan dan penuh kecintaan agar dapat
memperoleh penerimaan di hati gurunya itu dengan sempurna.
2. Kedua, tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada
mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.
3. Ketiga, tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh mursyidnya, tidak
meludah dan membuang ingus di majlisnya dan tidak melakukan shalat sunnah di
hadapannya.
4. Keempat, bersegera melakukan apa yang telah diperintahkan oleh mursyidnya
dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum
urusannya selesai.
5. Kelima, tidak menebak-nebak di dalam hatinya terhadap perbuatan-perbuatan
mursyidnya. Selama mampu dia boleh menta’wilkannya, namun jika tidak dia
harus mengakui ketidakfahamannya.
6. Keenam, mau mengungkapkan kepada mursidnya apa–apa yang timbul di hatinya
berupa kebaikan maupun keburukan, sehingga dia dapat mengobatinya. Karena
mursyid itu ibarat dokter, apabila dia melihat ahwal (keadaan) muridnya dia akan
segera memperbaikinya dan menghilangkan penyakitnya.
7. Ketujuh, Ash-Shidqu (bersungguh–sungguh) didalam pencarian ma’rifatnya,
sehingga segala ujian dan cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta
gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur
kepada mursyidnya melebihi cintanyan terhadap diri, harta, dan anaknya, seraya
berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah Swt tidak akan kesampaian tanpa
wasilah (perantara) mursyidnya.
8. Kedelapan, tidak mengikuti segala apa yang biasa diperbuat oleh mursyidnya,
kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya, yang mesti
semuanya diikuti. Karena seorang mursyid itu terkadang melakukan sesuatu
sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya, yang bisa jadi hal itu bagi si murid
adalah racun yang mematikan.
9. Kesembilan, mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh mursyidnya,
berupa dzikir, tawajuh dan muroqqobah. Dan meninggalkan semua wirid dari
yang lainnya sekalipun ma’tsur. Karena firasat seorang mursyid menetapkan
tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah SWT.
10. Kesepuluh, merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan tidak
melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari
tanggungan hak–hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus
dari segala ketergantungannya dari selain Al-Maqshud (Allah SWT).
11. Kesebelas, tidak mengkhianati mursyidnya dalam urusan apapun. Menghormati
dan mengagungkannya sedemikian rupa serta memakmurkan hatinya dengan
dzikir yang telah ditalqinkan padanya.
12. Keduabelas, menjadikan segala keinginannya baik di dunia maupun di akhirat
tidak lain adalah Dzat Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Sebab jika tidak
demikian berarti dia hanya mengejar kesempurnaan dirinya sendiri.
13. Ketigabelas, tidak membantah pembicaraan mursyidnya, sekalipun menurut
dirinya, mursyidnya salah sedang dia benar. Bahkan hendaknya berkeyakinan
bahwa salahnya mursyid itu lebih kuat (benar) dari pada apa yang benar menurut
dirinya. Dan tidak memberi isyarat (keterangan) jika tidak ditanya.
14. Keempatbelas, tunduk dan pasrah terhadap perintah mursyidnya dan orang-orang
yang mendahuluinya berkhidmah, yakni para khalifah (orang–orang kepercayaan
mursyid) dari para muridnya, sekalipun secara lahiriyyah amal ibadah mereka
lebih sedikit dibanding dengan ibadahnya.
15. Kelimabelas, tidak mengadukan hajatnya selain pada mursyidnya. Jika dalam
keadaan darurat sementara mursyid tidak ada, maka hendaklah menyampaikan
pada orang saleh yang dapat dipercaya, dermawan dan taqwa.
16. Keenambelas, tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat
menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Dan meninggalkan perdebatan serta
perbantahan dengan para penuntut ilmu, karena perdebatan itu menyebabkan
ghoflah (kelalaian). Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang
hendaknya segera minta ma‟af kepadanya, dan hendaknya tidak memandang
rendah pada siapapun juga.1

Sejarah singkatnya sampai di Indonesia


Pada abad ke-20, Tarekat ini berkembang di Negara Afrika lainnya seperti Senegal,
Mauritania, Genia, Nigeria, dan Gambia, bahkan sampai masuk ke Arab Saudi dan Indonesia.
Masuknya Tarekat Tijaniyah ke Indonesia tidak diketahui secara pasti. Tapi ada dua
fenomena yang menunjukan awal gerakan Tarekat Tijaniyah, yaitu kehadiran Syaikh ‘Ali bin
‘Abd Allah al-tayyib, dan adanya pengajaran Tarekat Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon.
Dengan kehadiran Syeikh ‘Ali ibn’Abd Allah at-Tayyib ke pulau Jawa, maka Tarekat
Tijaniyah ini diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M atau antara 1918 dan
1921. Menurut Pijper, Tarekat Tijaniyah datang pertama kali ke Tasikmalaya untuk
menyebarkan Tarekat Tijaniyah. Akan tetapi sebelum tahun 1928 Tarekat Tijaniyah belum
mempunyai pengikut di pulau jawa. Pijper juga menjelaskan, pertama diketahui adanya
gerakan Tarekat Tijaniyah ini di Cirebon.Perkembangan Tarekat Tijaniyah di Cirebon
berpusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Peasantren ini di pimpin oleh lima
bersaudara. Dari Buntet, Tarekat Tijaniyah menyebar ke daerah-daerah di pulau Jawa secara
meluas melalui murid-murid pesantren ini. Beberapa tahun kemudian, Tarekat ini menyebar
ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Tarekat Tijaniyah menimbulkan kontroversi sejak dari tempat kelahirannya, Al-Jazair
dikalangan tokoh Tarekat lain. Hal in dipicu dengan pengakuan al- Tijani sendiri sebagai
khatim al-auliya yang menerima talqin secara barzakhi langsung dari Rasulullah, dan sikap
eksklusif Tarekat ini, yang melarang murid-muridnya mengunjungi Syeikh-syeikh Tarekat
dan merangkap menjadi anggota Tarekat lainnya, demikian pula kehadiran tarekat Tijaniyah
di Indonesia menimbulkan pertentangan diantara para ahli tarekat di Indonesia.
Antara tahun 1928-1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet- pamflet yang
berisikan tuduhan-tuduhan para penentang Tijaniyah. Sementara itu, tahun 1930 terjadi pula
perselisihan antara pesantren Buntet denagan pesantren Benda Kerep yang anti Tijaniyah
walaupun keduanya masih mempunyai hubungan keluarga. pada tahun yang sama, Syeikh
1
https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB214103110011.pdf
Ahmad Ghanaim, guru dari Mesir datang ke Jawa Timur dan menyerang Tarekat Tijaniyah
dengan alasan bahwa penyebar Tijaniyah menjamin para pengikutnya masuk surga.
Beberapa hal yang menyebabkan polemik dalam tarekat Tijaniyah ini adalah sebagai berikut:
1)   TalqinSyeikh Ahmad Tijani.
2)    Kedudukan Syeikh Ahmad Tijani sebagai wali terakhir.
Keistimewaan Tijaniyah dan pengamalnya yang bila mengamalkan tarekat ini tidak
akan masuk neraka selamanya, semua anak-anaknya, kedua orang tua dan istrinya turut
bersama masuk surga.
Polemik tentang Tarekat Tijaniyah ini pernah di bahas dalam muktamar NU dan seminar
Tarekat Tijaniyah di Cirebon. NU pernah membahas Tarekat Tijaniyah dalam dua kali
mukhtamar, mukhtamar III dan VI. Kedua mukhtamar itu melahirkan beberapa keputusan,
antara lain :
1. Tarekat Tijaniyah memiliki sanad Muttashil pada Rasulullah bersama Ba’iah
barzakhiyahnya.
2. Tarekat Tijaniyah dianggap sebagai Tarekat yang sah dalam islam.
3. Semua Tarekat mukhtabarah tidak ada perbedaan antara satu sama lain.
Riwayat hidup pendiri tarekat tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad Al-Tijani. Ia dilahirkan pada tahun
1150 H (1737 M) di 'Ain Madi, sebuah desa di Aljazair. Syekh Tijani memiliki nasab sampai
kepada Rasulullah SAW, yakni dari Sayyidah Fatimah Al-Zahra, putri Rasulullah SAW.
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmad
Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi Al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad Al-'Alawi Ibn Ali Ibn
Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn
Muhammad Al-Nafs Al-Zakiyyah Ibn Abdullah Al-Kamil Ibn Hasan Al-Musana Ibn Hasan
Al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib.
Ia meninggal dunia pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal tahun 1230 H, dan
dimakamkan di Kota Fez, Maroko. Sejak kecil, Syekh Ahmad Al-Tijani telah mempelajari
berbagai cabang ilmu, seperti ilmu usul, fikih, dan sastra. Menginjak usia tujuh tahun, ia
sudah hafal Alquran. Dikisahkan, saat usianya masih remaja, Syekh Ahmad Al-Tijani telah
menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam sehingga pada usia di bawah 20
tahun, ia sudah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama. Pada usia 21
tahun, tepatnya di tahun 1171 H, Syekh Ahmad Al-Tijani pindah ke Kota Fez, Maroko, untuk
memperdalam ilmu tasawuf. Selama di kota ini, ia menekuni ilmu tasawuf melalui kitab
Futuhat Al-Makiyyah di bawah bimbingan Al-Tayyib Ibn Muhammad Al-Yamhalidan
Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Wanjali. Al-Wanjali berkata kepada Syekh Tijani, ''Engkau
akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam Al-Syazili (pendiri tarekat
Syadziliyah-Red)”.
Selanjutnya, Syekh Al-Tijani berguru pada Syekh Abdullah Ibn Arabi Al-Andalusia.
Syekh Abdullah berkata padanya, ''Semoga Allah membimbingmu.'' Kata-kata ini diulang
sampai tiga kali. Tak cukup sampai di sini, Syekh Al-Tijani juga berguru kepada Syekh
Ahmad Al-Tawwasi dan mendapat bimbingan untuk persiapan masa lanjut dalam bidang
tasawuf. Ia menyarankan kepada Syekh Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berdzikir,
sampai Allah memberi keterbukaan (futuh). ''Engkau akan memperoleh kedudukan yang
agung (maqam 'azim),'' kata Syekh Tawwasi.Ketika memasuki usia 31 tahun, Syekh Ahmad
Al-Tijani mulai mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah SWT melalui amalan beberapa
tarekat.
Tarekat pertama yang diamalkannya adalah Tarekat Qadiriyah, kemudian Tarekat
Nasiriyah dari Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah. Selanjutnya, ia mengamalkan ajaran
tarekat Ahmad Al-Habib Ibn Muhammadan, Tarekat Tawwasiyah.  Setelah itu, ia pindah ke
zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abdul Qadir Ibn Muhammad Al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H, ia pergi menunaikan ibadah haji. Ketika tiba di Aljazair, saat berjumpa
dengan Sayyid Ahmad Ibn Abdul Rahman Al-Azhari, seorang tokoh Tarekat Khalwatiah, ia
lalu mendalami ajaran tarekat ini. Kemudian, Syekh Tijani berangkat ke Tunisia dan
menjumpai seorang wali bernama Syekh Abdul Samad Al-Rahawi. Di kota ini, ia belajar
tarekat secara lebih intens sambil mengajar taswauf.Isi ajaran tarekat tijaniyah
Tarekat tijaniyah melarang murid-muridnya menunjungi makam Syeikh-syeikh terdekat dan
tidak diperbolehkan merangkap menjadi anggota tarekat lainnya. Selain itu ungkapan Syeikh
Ahmad yang mengatakan “Barang siapa yang mengamalkan tarekat ini tidak akan masuk
neraka selamanya, semua anak-anaknya, kedua orang tuanya serta istrinya turut bersama
masuk surga. Mereka masuk surga secara bersamaaan tanpa melalui hisab dalam golongan
pertama.
Karena tidak ada kriteria umum dan patokan baku tentang kemuktabaran tarekat yang
disepakati oleh para ahli tarekat, maka sangat wajar terjadi perselisihan dalam menilai
kemuktabaran tarekat, demikian halnya dalam kasus polemic kemuktabaran tarekat tijaniyah,
secara umum, amalan zikir dalam tarekat tijaniyah terdiri dari tiga unsure pokok, yaitu
istigfar, shalawat, dan haillah. Inti ajaran zikir dalam tarekat tijaniyah adalah sebagai upaya
mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadapa Allah dan mengisinya secara terus menerus
dengan menghadirkan jiwa kepada Allah melalui zikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum
perbuatan allah. Zikir tersebut mencakup dua bentuk, zikir bil-lisan dan zikir bil-qalb
Metode-metode tarekat tijaniyah Semua ajaran tarekat, menurut syaikh al-sya’rani, harus
berlandaskan berdasarkan kepada al-qur’an dan as-sunnah serta berasal dari metode suluk
yang dipraktikan oleh rasulullah. Karena itu, unsur sanad (silsilah), urutan-urutan guru secara
berkesinambungan sampai kepada rasulullah, sangat penting dalam tarekat. Setiap guru
dalam sanad bertemu langsung dengan guru diatasnya dan seterusnya sampai sumber utama
rasulullah.
Tarekat tijaniyah memiliki aturan-aturan yang harus ditegakkan oleh setiap pengamalan
tarekat tersebut. Aturan-aturan dalam tarekat tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tata
krama (sopan santun) terhadap guru, sesama ikhwan, dan terhadap dirinya sendiri.
Syarat-syarat dalam tarekat tijaniyah terbagi dalam dua bentuk yaitu:
1)    Syarat kamaliyah (syarat penyempurnaan) dan
2)    Syarat lazimah (syarat pokok).
Syarat kamaliah yang berhubungan dengan wirid, syarat lazimah juga terbagi dalam dua
bagian yaitu:
1)    Syarat lazimah yang berhubungan dengan pribadi murid, dan
2)    Syarat lazimah yang berhubungan dengan wirid,
Sedangkan tata krama yang harus ditegakkan oleh murid tijaniyah terdiri dari tiga bagian
yaitu:
1)    Tata krama terhadap diri sendiri, dan
2)    Tata krama terhadapa syaikh, serta
3)    Tata krama terhadap ikhwan.2

2
http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/12/pengertian-sejarah-dan-ajaran-tarekat.html

Anda mungkin juga menyukai