Berikut ini adalah perjalanan singkat dari al-Tijani, dalam perjalanannya beliau mendapatkan
gelar Quthb al-Udwa, yaitu:
Fase Menuntut Ilmu Syariat Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah
hafal al-Qur‟an dan sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti
ilmu Usul, Fiqh, dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad alTijani telah
menguasai dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia
dibawah 20 tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah
agama. Dalam al-A’lam dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani adalah seorang ahli
fiqih (faqih) Mazhab Maliki yang menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu usul,
fiqh, sastra dan tasawuf.
Fase Menuntut Teori-teori Ilmu Tasawuf Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun
1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke kota Fez Maroko. Tidak diketahui
mengenai motif-motif kepindahannya tersebut, namun ada dugaan yang mengatakan
bahwa kepindahannya adalah untuk memperdalam ilmu Tasawuf, kemudian
sepertinya ilmu ini juga merupakan ilmu yang diminatinya, maka beliau pun terkenal
dengan ilmu Tasawufnya. Ketekunannya dalam ilmu ini terarah dari pembinaan yang
dilakukan orang tua dan guru-guruya, hal ini kemunginan disebabkan kecenderungan
ilmu agama yang berkembang saat itu bercorak sufistik, dan pada waktu itu dibagian
barat dunia Islam, kota Fezz merupakan pusat studi Ilmu Agama yang masyhur dan
tidak kalah harumnya dengan kairo.
Fase Pengidentifikasian diri Pada usia 31 tahun, al-Tijani mendekatkan diri kepada
Allah (taqarrub ilallaah) melalui beberapa tarekat, diantaranya Tarekat Qadiriyah,
kemudian beralih menjalankan Tarekat Nashiriyah yang diambil dari Abi Abdillah,
setelah itu al-Tijani mengamalkan tarekat Ahmab al-Habib Ibn Muhammad dan
kemudian mengamalkan Tarekat Tawwasiyah. Setelah beberapa tarekat yang beliau
amalkan, kemudian beliau berpindah ke Zawiyah (pesantren Sufi) Syekh Abd al-
Qadir Ibn Muhammad, diduga kepindahannya dari tarekat satu ke tarekat lainnya,
karena dalam tarekattarekat sebelumnya beliau belum merasakan kepuasan terhadap
amalanamalan yang diajarkan dalam tarekat tersebut. Pada tahap ini beliau banyak
mendapatkan pengalaman, maka tahap ini merupakan tahap pengidentifikasian diri.
Fase Pengembangan Dakwah Pada tahun 1978 al-Tijani pindah ke Fez, dan
kemungkinan ini dilatarbelakangi oleh pengembangan dakwahnya. Di sana, Syekh
Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (1793-1822 M) sebagai penguasa Maroko
bersekutu dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan, dan
kemalasan. Pada saat itu, al-Tijani dan ulama-ulama besar lainnya berpendapat bahwa
keadaan umat Islam saat ini dalam keadaan lemah. Kelemahan ini dilatarbelakangi
oleh kemerosotan bidang akidah dan ibadah serta timbulnya paham-paham sesat,
diantaranya melakukan upacara ziarah kubur dengan tujuan yang tidak sesuai dengan
syari‟at Islam, 35 contohnya ziarah kubur dengan tujuan mengharap kekayaan/syirik.
Pada fase pengembangan dakwahnya, al-Tijani memberikan beberapa wasiat diantaranya
beliau senantiasa aktif memberikan tausiyah dan bimbingan baik secara lisan ataupun tulisan
kepada seluruh ummat Islam, khususnya yang ada di Kota Fez, Maroko dan negara-negara
tetangganya.
Ajaran Tarekat Tijnaiyah
Dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak
tasawuf, yakni Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad al-
Tijani menggabungkan dua corak tasawuf dalam ajaran tarekatnya. Dasar-dasar Tasawuf
Falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad Al-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad
Sallallahu „Alaihi Wasallam, sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah dan rumusan wali
Khatm.
Organisasi tarekat dalam pendiriannya terdapat sebuah pengajaran tertentu, dimana kita
bisa jumpai guru yang bergelar Syaikh, Mursyid atau disebut Muqaddam, adapun wakilnya
disebut dengan Khalifah dan adanya sejumlah pengikut disebut dengan Murid atau Ikhwan
disertai adanya wirid tertentu. Al-Tijani menerima ajaran-ajaran tarekatnya langsung dari
Rasulullah dalam keadaan terjaga, beliau mendapat tiga amalan utama yaitu Istighfar,
Sholawat dan Hailalah. Selanjutnya ketiga amalan ini dijadikan wirid sebagai aturan yang
menjadi keharusan (lazim) bagi para Ikhwan Tarekat Tijaniyah. Sebelum kepada ajarannya,
Tarekat Tijaniyah memiliki beberapa struktur yang mengorganisasinya, diantaranya yaitu:
Muqoddam (syaikh, mursyid) Tarekat Tijaniyah Dalam organisasi Tarekat Tijaniyah,
guru dikenal dengan nama Muqoddam, artinya seorang pemimpin yang ditunjuk
untuk dijadikan sebagai khalifah oleh seorang syaikh ataupun atas izin dari
Muqoddam senior. Seorang Muqoddam dalam Tarekat Tijaniyah ini diibaratkan
seperti seorang ayah yang merawat dan mendidik anak-anaknya, juga seperti seorang
pengembala yang mengembala ternaknya. Syarat-syarat yang harus di milki seorang
Muqoddam Tijaniyah yaitu: Seorang Muqoddam harus bersifat jujur dan sabar dalam
menjalankan dakwahnya. Harus memaafkan segala kesalahan yang dilakukan oleh
seorang murid, dengan syarat murid harus mengakui kekhilafannya dan berjanji tidak
akan mengulanginya lagi. Menyayangi makhluk ciptaan Allah. Menolong terhadap
yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Tidak suka mengadu domba. Tidak suka
mengumpat. Halus budi pekertinya. Lemah lembut perangainya. Jauh dari sifat
menindas dan mempersulit. Adil dalam mengemban amanat.
Murid (ikhwan) Tarekat Tijaniyah Untuk menjaga hubungan yang begitu penting
antara seorang murid dan guru mursyidnya, maka seorang murid harus memiliki
kriteria-kriteria dan norma-norma serta tata krama seperti yang disebutkan oleh
Syaikh Ahmad Al-Khomisykhonawiy dalam kitab Jami’ul Ushul fil Aulia’, sebagai
berikut:
1. Pertama. Setelah yakin dan mantap dengan seorang Syaikh (mursyid), dia segera
mendatanginya seraya berkata :”Aku datang ke hadapan tuan agar dapat ma’rifat
(mengenal) Allah Swt.” setelah diterima oleh sang mursyid, hendaknya ia
berkhidmah dengan penuh kecondongan dan penuh kecintaan agar dapat
memperoleh penerimaan di hati gurunya itu dengan sempurna.
2. Kedua, tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada
mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.
3. Ketiga, tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh mursyidnya, tidak
meludah dan membuang ingus di majlisnya dan tidak melakukan shalat sunnah di
hadapannya.
4. Keempat, bersegera melakukan apa yang telah diperintahkan oleh mursyidnya
dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum
urusannya selesai.
5. Kelima, tidak menebak-nebak di dalam hatinya terhadap perbuatan-perbuatan
mursyidnya. Selama mampu dia boleh menta’wilkannya, namun jika tidak dia
harus mengakui ketidakfahamannya.
6. Keenam, mau mengungkapkan kepada mursidnya apa–apa yang timbul di hatinya
berupa kebaikan maupun keburukan, sehingga dia dapat mengobatinya. Karena
mursyid itu ibarat dokter, apabila dia melihat ahwal (keadaan) muridnya dia akan
segera memperbaikinya dan menghilangkan penyakitnya.
7. Ketujuh, Ash-Shidqu (bersungguh–sungguh) didalam pencarian ma’rifatnya,
sehingga segala ujian dan cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta
gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur
kepada mursyidnya melebihi cintanyan terhadap diri, harta, dan anaknya, seraya
berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah Swt tidak akan kesampaian tanpa
wasilah (perantara) mursyidnya.
8. Kedelapan, tidak mengikuti segala apa yang biasa diperbuat oleh mursyidnya,
kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya, yang mesti
semuanya diikuti. Karena seorang mursyid itu terkadang melakukan sesuatu
sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya, yang bisa jadi hal itu bagi si murid
adalah racun yang mematikan.
9. Kesembilan, mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh mursyidnya,
berupa dzikir, tawajuh dan muroqqobah. Dan meninggalkan semua wirid dari
yang lainnya sekalipun ma’tsur. Karena firasat seorang mursyid menetapkan
tertentunya hal itu, merupakan nur dari Allah SWT.
10. Kesepuluh, merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk, dan tidak
melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari
tanggungan hak–hak pihak lain dengan menunaikan kewajibannya. Dan memutus
dari segala ketergantungannya dari selain Al-Maqshud (Allah SWT).
11. Kesebelas, tidak mengkhianati mursyidnya dalam urusan apapun. Menghormati
dan mengagungkannya sedemikian rupa serta memakmurkan hatinya dengan
dzikir yang telah ditalqinkan padanya.
12. Keduabelas, menjadikan segala keinginannya baik di dunia maupun di akhirat
tidak lain adalah Dzat Yang Maha Tunggal, Allah SWT. Sebab jika tidak
demikian berarti dia hanya mengejar kesempurnaan dirinya sendiri.
13. Ketigabelas, tidak membantah pembicaraan mursyidnya, sekalipun menurut
dirinya, mursyidnya salah sedang dia benar. Bahkan hendaknya berkeyakinan
bahwa salahnya mursyid itu lebih kuat (benar) dari pada apa yang benar menurut
dirinya. Dan tidak memberi isyarat (keterangan) jika tidak ditanya.
14. Keempatbelas, tunduk dan pasrah terhadap perintah mursyidnya dan orang-orang
yang mendahuluinya berkhidmah, yakni para khalifah (orang–orang kepercayaan
mursyid) dari para muridnya, sekalipun secara lahiriyyah amal ibadah mereka
lebih sedikit dibanding dengan ibadahnya.
15. Kelimabelas, tidak mengadukan hajatnya selain pada mursyidnya. Jika dalam
keadaan darurat sementara mursyid tidak ada, maka hendaklah menyampaikan
pada orang saleh yang dapat dipercaya, dermawan dan taqwa.
16. Keenambelas, tidak suka marah kepada siapapun, karena marah itu dapat
menghilangkan nur (cahaya) dzikir. Dan meninggalkan perdebatan serta
perbantahan dengan para penuntut ilmu, karena perdebatan itu menyebabkan
ghoflah (kelalaian). Jika muncul pada dirinya rasa marah kepada seseorang
hendaknya segera minta ma‟af kepadanya, dan hendaknya tidak memandang
rendah pada siapapun juga.1
2
http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/12/pengertian-sejarah-dan-ajaran-tarekat.html