Jika ada sebuah pertanyaan perihal apakah genre musik paling populer di Indonesia
mutakhir? Jelas—dengan ketetapan hati—jawaban paling layak akan disematkan pada dangdut.
Sebuah aliran musik yang telah menjadi ruh selama beberapa dekade, hilir mudik didengarkan
oleh rakyat Indonesia. Dangdut telah menjadi musik paling populer di Indonesia, menjadi musik
yang paling sering didendangkan elemen masyarakat. Mulai dari pengamen, kuli bangunan,
pedagang kaki lima, dan petani, bahkan para pegawai berseragam necis tak sungkan
melagukannya. Semuanya mendendangkan musik dengan sub-genre yang sangat beragam ini,
diikuti dengan jogetan syahdu yang menuntut terlontarnya ucapan, aseeeek!!!
Dangdut Academy (beberapa waktu lalu) turut pula menjadi tayangan yang paling
digandrungi (dengan rating tertinggi) di layar kaca tanah air. Tayangan ini memiliki tampilan
format lewat adanya beberapa peserta yang bernyanyi (tentunya dengan membawakan lagu
dangdut), dihadapan para juri seperti Inul Daratista, Benigno, Rita Sugiharto, dan Iis Dahlia.
Nampaknya, tayangan ini tak semata-mata menarik rating lewat keahlian mencengkok nada khas
dangdut semata, namun diselipi humor hingga hal berbau sentimentil. Jelas hal ini dimuat
sebagai bumbu penyedap guna peningkatan raihan jumlah penonton. Tayangan Dangdut
Academy juga digadang-gadang sebagai kelanjutan program sejenis yang beberapa waktu lalu
masif ditayangkan oleh TPI (sekarang berubah wajah menjadi MNC TV), yakni KDI dengan
berbagai serinya. Target pasar yang coba diraih dari program-program ini sudah jelas, yaitu
masyarakat pecinta dangdut seantero negeri. Masuknya dangdut dalam ranah media seperti TV,
juga telah melebarkan sayap dangdut kepada berbagai aspek kelas sosial. Dangdut tidak lagi
dianggap sebagai musiknya orang desa ataupun musiknya orang tak berpunya, namun tak dapat
dicari batas-batas konkret yang memisahkan para penikmat musik tertentu (dangdut khususnya)
—sebagai pembeda—secara kelas sosial.
Dalam suasana Dirgahayu Kemerdekaan, yang bertepatan juga ketika saya sedang
menjalankan program bertajuk “pengabdian”, beberapa desa mengadakan berbagai agenda demi
menyemarakkan hari ulang tahun negeri tercinta, Indonesia. Desa yang menjadi lokasi perayaan
adalah Desa Klampoklor (Lokasi KKN kelompok saya), sebuah desa dengan basis masyarakat
petani didalamnya. Semarak—adalah kata yang paling akurat dalam menggambarkan suasana
peringatan HUT RI ke-72 di Desa Klampoklor. Berbagai parade lomba dengan kegembiraan
yang menyertainya, telah membaurkan kita semua. Satu hal yang menarik dari prosesi KKN
yang kurang lebih telah berjalan tiga mingguan ini adalah, tak bisa rasanya telinga ini dilepaskan
dari dendangan lagu dangdut khas pantura yang ndilalah secara bertubi-tubi dilontarkan baik
oleh teman maupun para penduduk desa.
Dalam malam puncak penyerahan hadiah lomba, dangdut lagi-lagi menjadi hiburan.
Walaupun sebatas pemain organ tunggal dengan dibantu penepuk ketipung, toh rasa dangdut
tetap tersaji di telinga. Dengan para biduwanita yang cantik jelita yang mendendangkan lagu
Jaran Goyang, para penonton mencoba menikmatinya dengan berjoget bak mabuk ditelan nada.
Lagu-lagu yang tersaji kebanyakan adalah lagu-lagu baru dengan genre dangdut paling populer
rakyat pantura, yaitu dangdut koplo. Tentunya, fenomena ini akan lebih seru lagi jika disisipi
pembahasan hibriditas dalam sejarah musik dangdut. Namun, hal itu akan kita bahas di lain
kesempatan. Yang jelas, dangdut telah mengalami banyak perkembangan lewat berbagai
percampurannya dengan genre musik lain.
Sebagian kalangan yang mengatasnamakan dirinya paling tahu soal musik, menganggap
dangdut sebagai musik yang hanya dinikmati oleh kalangan rendahan. Dari segi lirik maupun
barisan nada yang tercipta, juga menunjukkan unsur-unsur kesederhanaan. Tak ayal, dangdut
(koplo khususnya) dianggap sebagai musik yang tidak terlalu memperhatikan esensi dan
cenderung rendah kualitas. Kalangan ini menganggap musik yang bagus adalah musik yang
rumit dengan barisan nada yang pelik untuk dimainkan. Jazz dianggap sebagai lantunan nada bak
negeri impian, sedangkan musik populer dangdut dinilai sebagai musik sampah yang rendah
seni. Namun, bukankah penilaian ini sangat subjektif.
Sampai titik ini barulah akan nampak bahwa tak selamanya musik-yang-merakyat,
dipandang sebelah mata. Bahkan nuansa “penuh warna” yang sangat seru, muncul ditengah-
tengah pergulatan budaya populer lewat musik dangdut. Hal ini memiliki arti penting dalam
artian bahwa, dangdut kini kian warna-warni dengan beragam tampilan yang tak lagi ndeso.
Berbagai videoklip dangdut koplo yang terbilang berkualitas, membanjiri channel Youtube
dengan jumlah tayangan yang terhitung tidak sedikit, dengan artis paling ngetop yakni Via
Vallen dan Nela Kharisma. Penampilan “trendi” juga bisa dibilang menggantikan penampilan
“seksi” para biduan dangdut, meskipun tidak secara merata ada kecenderungan ini. Namun
paling tidak, figur-figur “ratu”—dangdut koplo telah bertranformasi kedalamnya. Kemeriahan
dangdut juga tak bisa dilepaskan dari segi musikalitas dangdut sendiri yang kian meriah.
Berbagai jenis musik dari berbagai genre, nyatanya tetap enak didengar jika dicampur dengan
dangdut. Malahan, hal ini makin memperkaya dangdut dengan variannya yang beranekarupa.
Dicampurkannya genre dangdut dengan hip-hop, Reggae, Pop, dll seperti yang
dicontohkan NDX aka Familia, Sera, New Pallapa, Sagita, dan berbagai orkes dangdut (koplo)
lainnya, juga telah menunjukkan aspek keterbukaan musik dangdut terhadap genre lain. Tak
hanya sebatas genre, berbagai lagu-lagu impor pun tetap enak didengar dengan aransemen
dangdut. Contoh terbaru adalah lagu Despacito dengan lirik khas Amerika Latin yang
diaransemen ulang oleh Via Vallen dengan Sera-nya dalam berbagai kesempatan. Belum lagi
adanya fenomena baru seperti Alif Rizky di Youtube, yang banyak mengcover ulang lagu-lagu
dunia yang sedang hits dengan musik dangdut, dengan keunikan bahasa Jawa yang
menggantikan lirik aslinya.
Keberagaman dangdut juga sangat erat berkaitan dengan jiwa rakyat Indonesia—yang
dalam sejarah panjangnya—begitu terbuka terhadap pengaruh budaya luar. Keterbukaan bangsa
Indonesia terhadap bangsa lain secara apik dapat dilihat dalam opus magnum-nya Denys
Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya. Dalam jilid pertama buku ini, secara sekilas dijelaskan
bahwa musik yang silih berganti didendangkan di Indonesia memiliki dinamikanya tersendiri.
Meskipun keterbukaan bangsa Indonesia tak dapat dicegah, namun tak selamanya terjalin suatu
kondisi ketika masyarakat menyerbu musik asing, dan meninggalkan musik lokal semacam
gamelan. Barangkali hal ini turut pula berlaku di dalam dangdut. Ketika sampai hari inipun
dangdut masih saja eksis dan tetap terdengar cengkok, suling, ataupun gendangnya. Jelas, bahwa
situasi ini tak menghapus identitas dangdut ditengah globalisasi yang ada.
Ditengah pasang surutnya musik dangdut di Indonesia, tak dapat dipungkiri masih
banyaknya nada nyinyir terhadap dangdut. Lirik yang terkadang menjerumus kepada perbuatan
nista yang tak mempertimbangkan aspek pendengar dangdut di segala usia, telah menimbulkan
rasa antipati terhadap dangdut yang merusak moral generasi bangsa. Dalih sebagai
penggambaran kehidupan sehari-hari yang terdapat dalam lirik-lirik lagu semacam Nyidam
Pentol ataupun Perawan atau Janda, jelas tak cukup kuat untuk dijadikan alasan, mengingat
tujuan sesungguhnya yakni sukses secara komersial. Bahkan terkadang munculnya sebuah lagu
dilandasi terhadap isu-isu yang lagi hits di dunia sosial. Jelas nampak strategi pasar telah
merasuki industri dangdut dengan paradigma “tak apalah karya jelek yang penting laris”.
Namun kerisauan terhadap musik dangdut yang nir-makna, mulai disegarkan lewat masih
setianya para seniman dangdut yang tetap berkarya dengan kualitas yang tak kalah ciamik. Sebut
saja Didi Kempot yang mendendangkan Suket Teki, sebuah lagu yang kurang lebih berisi
kegundahan hati dalam kehidupan berumah tangga. Belum lagi ada lagu yang sarat makna
seperti Kelayung-layung. dalam penggalan liriknya, “ditumpakke kreta jawa, rodane roda
menungsa” secara gamblang menggambarkan prosesi kematian sebagai tahapan yang pasti
terjadi dalam siklus kehidupan manusia. Penggalan lirik sarat makna lain juga terdapat dalam
lagu Ngamen II (diantara seri lagu Ngamen lainnya yang mencapai total belasan). Kira-kira
begini liriknya, “eling-eling manungso bakale mati, yen wis mati dikubur sanak famili, dipendem
jero diapit bumi”. Belum lagi ratusan lagu dakwah yang disampaikan Bang Haji Rhoma Irama,
yang sejak Soneta masih bergelora muda hingga sekarang yang telah beranak cucu dan
mengalami pemutakhiran personel, tetap setia mengisi hiburan dangdut Tanah Air.
Dangdut, sebagai musik yang barangkali telah didaku sebagai musiknya orang Indonesia,
kini jelas telah mengalami perkembangan yang beragam. Baik dalam segi musiknya, penampilan
yang mewarnainya, ataupun berbagai makna yang terkandung didalam lirik-liriknya. Kalau kita
kembali ke era Orde Baru, ada seorang Rhoma Irama yang tak hanya memanfaatkan dangdut
sebagai karya seni, namun juga sebagai media dakwah yang mengangkatnya untuk turut pula
sebagai pendakwah, disamping penyanyi dangdut. Lewat dangdut pula, Rhoma banyak
mengkritik isu-isu sosial yang terjadi dengan tetap menyelipkan materi dakwah Islamiyah, meski
hal inipun berkaitan erat dengan parpol yang menaunginya kala itu. Andrew N. Weintraub
(2010) yang meneliti musik dangdut dalam bukunya Dangdut Stories a Social and Musical
History of Indonesia’s Most Popular Music, menjelaskan bahwa sejak tahun 1960-an sampai
tahun 2000-an, terdapat beberapa kelompok besar dalam sub-genre dangdut. Periode 1960-1975
dikenal dengan istilah dangdut klasik, dengan beberapa artis pendukung seperti Chandralela,
Sinar Kemala, Klana Ria, Pancaran Muda, Soneta, Elvy Sukaesih, Muchsin, ataupun Mansyur.
Percabangan dangdut dengan genre lain juga mulai nampak seperti perpaduan dangdut dengan
musik rock, sebagaimana yang dicontohkan Rhoma Irama, Mara Karma, juga Nano Romansyah.
Belum lagi Camelia Malik, Vetty Vera, dan Itje Tresnawati yang memadukan dangdut dengan
pop. Menjelang akhir abad ke-20, perpaduan dangdut makin beragam ditengah membuncahnya
teknologi yang kian maju. Mulailah banyak subgenre baru dari dangdut seperti disco dangdut,
dangdut daerah, dangdut mandarin, dsb[iii]. Kini, dengan makin berkembangnya zaman yang
makin dipercepat dengan arus informasi, jelas keberagaman dangdut kian masif sebagaimana
yang dapat kita nikmati sekarang.
Kembali ke KKN, dalam suasana silaturahmi dengan warga, telah menggiring kami ke
berbagai obrolan ngetan-ngulon—ngalor-ngidul. Yang jelas, banyak pelajaran yang didapat dari
masyarakat di lokasi KKN kami, yang dapat dibilang begitu guyub rukun. Obrolan menarik juga,
lagi-lagi soal dangdut. Bahwa di Klampoklor (juga di beberapa desa sebelah), hampir secara
rutin mengadakan pertunjukan dangdut. Dan hampir segala usia—kenal dan menyukai— musik
dangdut. Hal ini nampak dalam perayaan memperingati HUT RI di Klampoklor, tua muda hafal
lagu-lagu dangdut dan mereka tak sungkan berjoget ria dengan ritual khas orkes dangdut, yakni
saweran. Dari berbagai obrolan ini juga, muncul bebarapa kondisi sosial yang muncul ketika ada
pertunjukan dangdut. Berbagai tawuran antar pemuda desa, kerap mewarnai acara dangdutan.
Barangkali disebabkan oleh kondisi mabuk, ataupun memang kesengajaan untuk berbuat rusuh,
kerap mewarnai obrolan kami. Kondisi ini jelas adalah realita masyarakat petani yang bisa
dibilang jarang melihat kesejahteraan selayak-layaknya. Dan lewat momen nonton dangdutlah,
mereka melepas segala penat mengurusi kebutuhan hidup.
Dangdut telah mewariskan banyak pergulatan budaya didalamnya. Elemen-elemen
penghias pertunjukan dangdut juga makin membuat seru pembahasan dari padanya. Tapi
sungguh tidak sopan anggapan nyinyir pada penikmatnya. Apalagi nulis dangdut tanpa
mengoleksi lagunya. Untuk itu, aku mau mengunduh lagu dangdut dulu ya… Salam!
Analisis artikel berdasarkan istilah-istilah yang berkaitan dalam Filsafat Ilmu
4. Tayangan ini memiliki tampilan Variable atau Kalimat dihadapan para juri seperti
format lewat adanya beberapa variasi Inul Daratista, Benigno, Rita
peserta yang bernyanyi (tentunya Sugiharto, dan Iis Dahlia
dengan membawakan lagu merupakan pedangdut Indonesia
dangdut), dihadapan para juri dengan segala kelebihannya, jadi
seperti Inul Daratista, Benigno, kelebihan yang dimiliki oleh para
Rita Sugiharto, dan Iis Dahlia. juri tersebut merupakan variasinya
atau variable.
19. Ketika sampai hari inipun dangdut Variable atau Yang menjadi variable atau variasi
masih saja eksis dan tetap variasi, Fakta dalam pernyataan tersebut yaitu,
terdengar cengkok, suling, cengkok, suling, dan gendang. Hal
ataupun gendangnya. tersebut merupakan berbagai
variasi alat dalam menciptakan
nada dan irama dangdut. Dan
faktanya dangdut masih bersinar
dengan namanya di Indonesia saat
ini.
22. Kalau kita kembali ke era Orde Memang benar Rhoma Irama,
Fakta
Baru, ada seorang Rhoma Irama disamping dia penyanyi, dia juga
yang tak hanya memanfaatkan seorang pendakwah tetapi metode
dangdut sebagai karya seni, dalam menyebarkannya tersebut
namun juga sebagai media melalui syair yang dibuatnya dan
dakwah yang mengangkatnya dirubah ke dalam bentuk sebuah
untuk turut pula sebagai nyanyian.
pendakwah, disamping penyanyi
dangdut.
24. Periode 1960-1975 dikenal Fakta dan Faktanya pada tahun 1960-1975
dengan istilah dangdut klasik, Variable atau memang benar dapat disebut
dengan beberapa artis pendukung variasi dengan dangdut klasik. Dimana
seperti Chandralela, Sinar zaman dahulu perkembangan
Kemala, Klana Ria, Pancaran teknologi masih kurang sehingga
Muda, Soneta, Elvy Sukaesih, menyebabkan dangdut masih
Muchsin, ataupun Mansyur. sederhana dan tidak berlebihan.
Sedangkan Chandralela, Sinar
Kemala, Klana Ria, Pancaran
Muda, Soneta, Elvy Sukaesih,
Muchsin, ataupun Mansyur
merupakan berbagai variasi
penyanyi dangdut sesuai dengan
ciri khasnya.
26. Belum lagi Camelia Malik, Vetty Bukan hanya Rhoma Irama dan
Vera, dan Itje Tresnawati yang yang lainnya saja yang memadukan
memadukan dangdut dengan pop. Variable atau dangdut dengan musik rock,
variasi Camelia Malik, Vetty Vera, dan
Itje Tresnawati juga memadukan
dangdut dengan musik pop.
30. Kondisi ini jelas adalah realita Konsep merupakan abstraksi yang
masyarakat petani yang bisa mewakili obyek, sifat-sifat atau
dibilang jarang melihat fenomena-fenomena tertentu.
kesejahteraan selayak-layaknya. Dalam pernyataan tersebut
Konsep merupakan sebuah konsep yang
melibatkan obyek, yaitu
masyarakat petani dan fenomena-
fenomena yang terjadi yaitu pada
saat melihat pertunjukan dangdut.
32. Dangdut telah mewariskan banyak Fakta dan Dangdut memang banyak
pergulatan budaya didalamnya. Teori mewariskan perjuangan
Elemen-elemen penghias kebenaran menorehkan segala pengalaman
pertunjukan dangdut juga makin korespodensi yang terjadi semasa
membuat seru pembahasan dari atau The perkembangannya dan pernyataan
padanya. Corresponde tersebut juga tidak dipungkiri
nce Theory of bahwa pernyataan tersebut sesuai
Truth dengan kenyataan atau fakta.