SKRIPSI
Oleh:
Nindyo Budi Kumoro
07/254923/SA/14108
JURUSAN ANTROPOLOGI BUDAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
Dangdut Koplo
Resistances of the Peripheral Society
i
Skripsi ini telah diterima oleh
Padatanggal: .......
l^(
qY>
Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono. M.A
Pembimbing/ Anggota
KATA PENGANTAR
iii
segalanya menjadi lebih mudah. Melalui bimbingan dan motivasinya lah skripsi ini
dapat selesai. Maturnuwun juga kepada Dr. Lono L. Simatupang M.A yang sedikit
banyak membantu dalam tulisan ini. Begitu pula dengan staf pengajar jurusan
Antropologi Budaya FIB UGM lain yang telah mentransfer ilmu-ilmunya dengan
hebat. Juga kepada Mas Sarwo yang memberi saya keleluasaan dalam mengakses
buku-buku di perpustakaan Antropologi, dan Mbak Win atas bantuan pengurusan
administrasi.
Terimakasih dan penghargaan juga saya berikan kepada teman-teman atas
saran diskusinya; Rio Heykal B., Dian Lintang S., F. Apriwan, Resha Zulfikri,
Wendy Lesmana, Ratna Puspita I., Titis Intan P., Dian Sekar A.A., Bilowo Sinu P.,
dan Rizki Andi S., di Spektrum Space Literacy dan teman-teman Antropologi UGM;
Robert B. Alvano, C. Larastiti, Dewi W., Gaffari R., Michel H.B., Manggala I.,
Ardana K., dan tentunya kepada Annarizky Putri, serta lainnya yang sulit saya
sebukan satu-satu. Selain itu kepada Mas Dalijo yang telah meminjamkan bukunya
yang sangat bermanfaat.
Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada segenap manajemen Purawisata
serta para musisi dan penyanyi yang menyuguhkan pertunjukan yang memukau. Juga
kepada kakak saya Probo Pramudito, dan saudara saya yang lain.
Bagi saya, skripsi ini tak sekedar sebuah tumpukan kertas berisi kata-kata
ngalor-ngidul. Lebih dari itu, didalamnya terdapat tanggung jawab, hutang budi,
penantian, dan rasa terimakasih paling besar, yang terbungkus rapi oleh kertas dan
pita kado warna-warni. Sebuah kado yang saya persembahkan kepada bapak dan ibu
saya.
iv
DAFTAR ISI
JUDUL………………………………………………………………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….…………iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..iv
INTISARI…………………………………………………………………………….vi
ABSTRACT…………………………………………………………………………vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….viii
BAB I.
PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..12
C. Kerangka Pemikiran……………………………………………………..12
D. Metode Penelitian………………………………………………………..18
iii
2. Karakteristik Musik………………………………………………….60
B. Purawisata, Barometer Dangdut Yogyakarta……………………………66
1. Sekilas Sejarah Dangdut Purawisata………………………………...68
2. Dangdut Purawisata Saat Ini…………………………………………71
BAB V. KESIMPULAN…………………………………………………………...102
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………108
LAMPIRAN………………………………………………………………………..114
1. Genealogi Aliran (Genre) dalam Dangdut……………………………..114
iv
INTISARI
Dangdut, sebuah musik yang lahir dari proses dialektis berbagai unsur
budaya. Kemunculannya ditujukan sebagai sebuah kesenian populer ‘asli’ pribumi
untuk menandingi bentuk-bentuk kesenian luar. Pengaruh politik, sosial, ekonomi dan
teknologi di Indonesia berperan besar membentuk musik ini. Dalam pergaulan musik
Indonesia selanjutnya, dangdut selalu terletak pada posisi inferior jika dibandingkan
dengan musik populer lainnya. Sedikit banyak ini dikarenakan basis sosial
penggemar dangdut adalah masyarakat menengah ke bawah dan membedakan diri
dengan musik-musik populer yang mempunyai penggemar kalangan menengah ke
atas. Sebagai musik yang tersubordinasi, dangdut menyuarakan hal-hal yang dapat
dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi musik atau kelas sosial di
atasnya. Perlawanan ini bisa dilihat dari berbagai macam bentuk, mulai dari repertoar
sampai penampilan panggungnya. Walaupun begitu, dangdut yang dianggap sebagai
musik masyarakat pinggiran ini ternyata juga mempunyai kelas bawahnya sendiri.
Tidak lain ia adalah aliran dangdut pinggiran, di mana bisa dibedakan dengan aliran
dangdut golongan atas atau arus ‘nasional’ yang dikenal masyarakat luas melalui
media massa dan televisi. Salah satu dangdut pinggiran dengan efek penyebaran
begitu luas di masyarakat ialah dangdut koplo, yang menjadi fokus pada tulisan ini.
Dangdut koplo mempunyai bentuk revolusioner pada musik maupun
penampilannya. Tidak seperti dangdut konvensional yang terkesan lamban dan
mendayu-dayu, musik ini menawarkan beat yang lebih cepat, hentakkan gendang
khas koplo, dan tak ketinggalan atraksi erotis penyanyinya. Sehingga dangdut ini
tidak lagi menjual kesyahduan nada cengkok maupun ritme chalte, namun juga
keseksian tubuh penyanyi yang bergoyang enerjik mengikuti irama koplo. Jika
sebelumnya dikatakan bahwa dangdut adalah musik perlawanan terhadap dominasi
lain, maka perombakan aspek musikal dan visual pada dangdut koplo ini dapat dilihat
sebagai bentuk resistensi terhadap dangdut mainstream yang telah mapan secara
nasional. Tak hanya itu, dangdut koplo juga berupaya meleburkan batas-batas antara
pusat-pinggiran dengan cara-cara mereka sendiri.
Bagaimanakah fenomena itu terjadi dalam sebuah panggung pertunjukan
dangdut Purawisata Yogyakarta? Bagaimana musik ini mewakili bentuk kesenian
masyarakat pinggiran?
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah sejak lama jika mendengar kata „dangdut‟, yang ada di kepala ini
adalah seni murahan, jelata, monoton, dan cengeng. Mendengar musiknya, memaksa
saya terbawa ke suasana sumuk, layaknya berada di pasar, warteg, mantenan, atau bis
kota di mana ia sering diputar. Kesan-kesan itu menempel di benak saya dan
beranggapan bahwa dangdut bukan suatu hal yang menarik, bahkan untuk dituliskan.
Anggapan ini sedikit berubah tatkala hampir dua minggu saya terus-menerus dicekoki
2009, di mana orang-orang sana hobi sekali menyetel lagu dangdut tiap hari. Kuping
saya „terpaksa‟ mendengar dangdut dan melihat goyangan penyanyinya yang diputar
keras-keras lewat VCD. Namun perlahan-lahan saya bisa menikmati musik ini, bukan
karena „ternyata asik juga‟, tapi lebih ke kekaguman tentang pembawaan musikal
Selain mendengarnya tiap hari, saya pun sempat memainkan dangdut (nge-
jam) bersama pemuda-pemuda setempat di studio musik sederhana yang ada di sana.
Tak langsung bisa, ternyata memainkannya sulit; mulai dari gitar yang penuh melody,
bass yang dipetik dengan sarat variasi, sampai permainan gendang yang rancak (“tak
2
tung deng dang duut”). Belum lagi suara cengkok vokalnya. Intinya selain harus
memiliki skill bermusik, orang yang memainkan pun harus punya sense of dangdut.
Di luar semua itu, hal yang membuat saya lebih tertarik kepada musik ini
ialah munculnya dangdut dalam bentuknya yang „masa kini‟. Masih di Petung,
dangdut yang saya saksikan di VCD bukanlah dangdut yang monoton dan medayu-
dayu ala Meggy Z atau Iis Dahlia, namun dangdut yang unik, enerjik, atraktif dan
juga, sensual. Dangdut gaya ini musiknya bertempo cepat, penuh semangat, yang
berpadu dengan pop, rock, disco, juga unsur lokal seperti jathilan. Sebagaimana
kebanyakan pemuda perkotaan yang lebih kenal lagu-lagu pop dan rock, saya pun
tersebut. Persenyawaan musik dangdut gaya baru ini bukan dalam gaya Soneta-nya
Rhoma Irama yang hanya mengambil unsur rock dengan ragu-ragu, namun bahkan
Di samping itu, irama dangdut genre ini mempunyai ciri yang sangat khas.
Pembawaan musik dalam sebuah lagu merombak tatanan sebelumnya, yaitu ritme
2010: 216). Jika anda pernah mendengar sebuah lagu dangdut yang gendangnya mirip
dengan pukulan Jathilan atau Jaipongan, dan di sana-sini ada irama yang mandeg-
mlaku, disusul dengan „senggakan‟ “hokya-hokya, joss!”, itulah musik yang saya
maksudkan.
Bukan hanya itu, karakteristik yang sangat lekat dengan dangdut ini adalah
menonjolkan paha, pinggul, dada serta bergoyang sangat enerjik. Dari goyang kepala,
goyang dada, goyang pantat sampai goyang kaki. Kadang-kadang si penyanyi wanita
Dangdut koplo ini berkembang di daerah Jawa Timur dan mempunyai karakteristik
musik dangdut yang bercampur baur dengan musik pop maupun tradisional. Ciri khas
lagu, juga selalu menampilkan penyanyi „seksi‟ dengan goyangan yang sangat
enerjik.
kelas menengah-ke bawah, dangdut ini telah berkembang pesat di masyarakat luas.
Begitu mudah menemukan VCD dangdut koplo bajakan di pedagang kaki lima
pinggir jalan dengan sampul penyanyi wanita berpenampilan „hot‟. Begitu juga jika
searching melalui situs youtube.com atau google.com, terdapat ribuan video maupun
lagu dangdut dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan di lingkungan kampus pun
kini sering terdengar alunan lagu dangdut koplo dari handphone para mahasiswa.
4
Fenomena ini sedikit banyak menunjukkan bahwa dangdut „kelas bawah‟ kembali
Meskipun telah beredar luas dangdut ini tetap disebut „pinggiran‟ karena
hajatan kampung-kampung. Selain itu, jika pun saat ini kita menyaksikan
Tetap terdapat sensor atau perapian sendiri agar dianggap „pantas‟ masuk ke dalam
dunia hiburan skala nasional. Jadi walaupun dangdut koplo ini telah dinikmati
masyarakat banyak, tidak lantas ia menjadi mainstream karena masih ada represi
Dari sini kita dapat membedakan antara dangdut pinggiran seperti koplo di
atas dengan dangdut pada level „nasional‟ dengan artis-artis seperti Rhoma Irama,
Ikke Nurjanah, Camelia Malik, sampai Ayu Ting-ting, yang mendayu-dayu dan
„sopan‟. Perbedaan keduanya paling tidak mencakup aspek produksi dan distribusi,
sorotan media, musikalitas, repertoar lagu, dan visualisasi di atas panggung. Dari
1
Ketenaran dangdut koplo ini tidak sebatas di Jawa atau di Indonesia saja namun sudah sampai luar
negeri. TvOne dalam program “Bukan Jalan-jalan Biasa” 5 Agustus 2011 menayangkan komunitas
dangdut koplo yang ada di Jepang. Mereka orang-orang asli Jepang yang diantaranya pernah ke
Indonesia. Komunitas ini secara rutin memainkan dangdut koplo di studio yang dibuka untuk umum.
Pertunjukan ini dinamai “Dangdut Koplo Surabaya”, seperti yang tertera pada tiketnya, dengan grup
bernama OM Hatikumi. Musik dan penampilan mereka sangat persis dengan dangdut koplo di
Indonesia, seperti musik „patah-patah‟, „senggakan, plus dengan penyanyi wanita yang berpenampilan
seksi berikut goyangannya. Hanya saja lagu-lagu seperti Goyang Dombret dinyanyikan dengan kaku
karena menggunakan lafal Jepang dan penyanyi pun tak tahu arti liriknya.
5
aspek sosiologis yang melatarbelakangi kedua arus dangdut itu nyatanya juga
berbeda.
pinggiran ini secara riil berbeda dalam banyak hal, namun keduanya masih dianggap
sebagai sesuatu yang sama atau sering dicampur adukan. Paling tidak dari tulisan-
tulisan atau penelitian mengenai dangdut yang ada, tak banyak yang membedakan
Frederick (1982) dalam esai panjangnya yang bertajuk “Gaya Dangdut Rhoma
memaparkan tentang perkembangan dangdut dari awal sekali, yaitu ketika permulaan
kolonialisasi di bumi Nusantara di mana pada masa itu paduan antara alat musik
Indonesia, Arab, dan Barat dimainkan bersama-sama dalam tanjidor (Frederick, 1982:
serangkaian proses pergolakan sosial, politik dan budaya (sejarah tentang dangdut
akan dipaparkan pada bab II). Namun tulisan ini pada intinya fokus terhadap Rhoma
Irama sebagai founding father dari musik ini, sehingga tidak terlalu menekankan
bagaimana perkembangan dangdut daerah. Selain itu, esai ini diterbitkan pada tahun
1982 di mana dangdut daerah seperti halnya koplo belum menunjukkan wajahnya
secara luas.
Dalam tulisan Martin Hatch (1985) bertajuk Popular Music in Indonesia dan
and Langgam Jawa telah sedikit menyinggung tentang perbedaan antara model musik
dinyanyikan dalam bahasa nasional, (2) elemen musik (instrumen, timbre, melodi,
ritme, dan organisasi formal) berdasarkan pada model Barat, (3) perekaman musik
diproduksi di Jakarta oleh suatu kelompok produser sentral dan disirkulasikan dalam
jaringan media nasional. Sedangkan musik lokal populer dikarakteristikan dengan (1)
dinyanyikan dalam bahasa lokal, (2) mempunyai elemen musik tradisional, (3)
diproduksi dalam studio rekaman lokal dan untuk pasar lokal. Di sini, dangdut masuk
pada kategori yang pertama karena dapat bereksistensi secara nasional. Padahal jika
pada dangdut lokal khususnya koplo. Atas dasar itu, pengamatan dangdut pinggiran
secara tekstual mestinya harus dilihat terlepas dari sekat-sekat tajam antara instrumen
Perhatian terhadap dangdut pinggiran ini paling tidak kembali menguat ketika
fenomena goyang ngebor Inul mengemuka pada awal 2000-an. Inul yang menjadi
dangdut level bawah ini juga terangkat. Sorotan tak hanya dari media massa dan
televisi, namun juga dari berbagai tulisan dan buku. Salah satunya adalah dari F.X
Rudy Gunawan (2003) dalam bukunya Mengebor Kemunafikan; INUL, Seks dan
Kekuasaan. Buku kecil ini menguak tentang kontroversi sosok Inul di tengah
berbagai persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, moral, agama dan
persoalan lain yang melanda masyarakat Indonesia pada waktu itu (Gunawan, 2003:
7
iii) melalui analisis wacana-wacana yang tersebar di media massa. Di dalamnya kita
dapat melihat bahwa dangdut pinggiran ini sebenarnya telah mekar sejak sekitar dua-
menampilkan goyangan penyanyi yang erotis dan berani (Gunawan, 2003: 6).
Pada tahun yang sama tulisan yang hampir mirip muncul yaitu pada karya
Faruk dan Aprinus Salam (2003) berjudul Hanya Inul. Di dalamnya mereka
musikal dan lirikal pertunjukan dangdut dengan aspek visualnya (Faruk dan Salam,
2003: 121). Ini berarti bahwa segi penampilan, goyangan, dan keseksian penyanyi
menjadi hal yang terpenting pertunjukan dangdut dalam skup nasional. Di sisi lain,
moralis. Ini berujung pada perang wacana di media massa antara rezim Rhoma Irama
dan pihak Inul, yang jika di lihat dari sisi lain juga merupakan pertarungan antara
lebar yaitu Dangdut Stories karya Andrew N. Weintraub (2010). Buku ini diklaim
„nasional‟ dan dangdut „lokal‟. Paling tidak hal ini telah tersimbolkan dari kutipan
menyatakan, ”Dangdut membuat kita lebih empati satu sama lain.” Di sisi lain buku
ini juga mengutip Emha Ainun Nadjib pada awal 2000-an menyatakan, ”Pantat Inul
adalah wajah kita semua.” Moerdiono mewakili pandangan dari ”atas” (negara) yang
mengidealkan peran dangdut dalam budaya nasional. Emha mewakili pandang dari
genre ini merebak setelah kepopuleran dari Inul Daratista. Selain itu kepopuleran
dangdut ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi cam-corder dan VCD yang
mixture antara bahasa nasional maupun Jawa. Begitu pun dengan irama musiknya
yang penuh campuran unsur-unsur lokal. Tak ketinggalan aksi para penyanyinya yang
erotis.
merupakan efek situasi pasca reformasi dan perkembangan teknologi pada saat itu.
unsur daerah antara lain dangdut saluang (Minang), pong-dut (Sunda), tarling
(Cirebon), dangdut banjar (Banjarmasin) dan koplo (Jawa) sendiri termasuk salah
satunya (Ibid, 2010: 201). Namun jika dicermati aliran dangdut daerah ini sebenarnya
9
sudah ada sejak lama, hanya saja melalui Inul Daratista dangdut koplo seakan baru
lahir ke permukaan.
Selain itu, kurang tepat jika dikatakan bahwa efek dari situasi tersebut
2010: 203). Kenyataannya, dangdut koplo-nya Inul ini yang tersebarkan ke berbagai
Para musisi lokal pun bukannya mensintesiskan dangdut dengan unsur daerahnya
sendiri, tapi beramai-ramai mengadopsi dangdut koplo. Seperti yang akan saya
musiknya berirama gamelan Jogja, namun memainkan dangdut dengan musik yang
kental cengkok koplo Jawa Timuran. Tak hanya itu, jika kita lebih cermat ternyata
panggung hiburan dengan skup nasional pun mengadopsi dangdut koplo, antara lain
program Opera Van Java di Trans7 yang artisnya sering menyanyikan “Iwak Peyek”
di mana sebelumnya dipopulerkan oleh OM Sagita Jawa Timur. Hal ini berarti
pongdut, atau dangdut banjar, ternyata hanya dangdut koplo-lah yang mempunyai
kekuatan sebagai representasi dangdut saat ini, bahkan tak hanya di Jawa Timur.
budaya, ekonomi, politik, dan ideologis (Ibid, 2010: 13). Usaha tersebut sulit
dilakukan jika masih melihat dangdut kelas atas dengan indikator irama chalte,
cengeng, mendayu-dayu yang tak lagi menempel pada repertoar dangdut saat ini.
10
nationality tersebut dapat dilihat sebagai bentuk interaksi antara nasional dan daerah,
dengan kata lain merupakan relasi pusat-pinggiran; kelas atas-kelas bawah; atau
budaya aduiluhung-budaya jelata. Robert Redfield (1989) dalam bukunya The Little
Community, Peasant Society and Culture membagi dua budaya dalam masyarakat
Hubungan antara kedua jenis budaya tersebut saling melihat satu sama lain, di dalam
sambungan engsel suatu masyarakat dan memiliki sikap satu sama lain (1989: 47).
pengaruh budaya atas-bawah ini secara paradigmatik dapat kita gunakan dalam
melihat fenomena dangdut ini. Tarik menarik antara kekuatan pusat dan daerah dalam
dangdut mewujud katakanlah pada fenomena Inul atau lagu Iwak Peyek yang
mendangdutkan lagu pop nasional populer, bahkan lagu penyanyi pop internasional
seperti Justin Bieber, Adele, Evanesence, atau Queen mereka „hajar‟ menjadi
ditunjukkan bahwa sejak kemunculan musik ini pun telah menggelorakan perlawanan
Dalam bentuk yang sekarang, perlawanan ini bukan lagi membedakan diri secara
tajam dengan seni yang dianggap pusat, namun dengan „mencuri‟ produk seni global
bahwa dangdut khususnya koplo lebih dari sebuah nasionalitas yang terdaerahkan
seperti kata Weintraub, namun bisa juga sebagai „bentuk internasional/global yang
didaerahkan‟.
Lebih lanjut yang meski digaris bawahi adalah 'perlawanan' dalam dangdut
koplo ini cukup berbeda jika kita bandingkan dengan genre musik lain yang dikenal
membawa semangat subkultur, katakanlah seperti reggae, punk, atau rock. Pada
repertoar musik maupun gaya hidup penganut genre tersebut. Terdapat juga ideologi
untuk melawan suatu kekuasaan atau dominasi tertentu yang biasanya seputar
kapitalisme, feodalisme, atau lainnya. Ideologi budaya tanding ini disebarkan oleh
icon-icon subkultur yang mereka anut, katakanlah Bob Marley, Jim Morrison, Sid
Fenomena 'perlawanan' seperti itulah yang tidak kita temukan pada dangdut
koplo. Kita tidak menemui repertoar atau ideologi dangdut koplo yang secara eksplisit
menggelorakan perlawanan kepada suatu pihak. Perlawanan dalam konteks ini dapat
dimaknai sebagai sebuah „strategi‟ (Foucault, 1974) ataupun „siasat‟ (Laksono, 1996)
untuk menolak atau tidak menjalankan tatanan yang diberikan oleh titik kekuasaan
tertentu. Titik kekuasaan di sini bisa jadi rezim moral (norma masyarakat, negara,
MUI, dll) atau juga rezim dangdut sendiri (Rhoma Irama). Kedua otoritas tersebut
tampak tidak merestui penampilan dangdut koplo karena dianggap merusak moral
dan musik dangdut sendiri. Pelarangan Inul yang membawakan gaya dangdut koplo
oleh kedua pihak tersebut dapat menjadi contoh. Sehingga, „perlawanan‟ dalam
12
konteks ini merupakan kapasitas para musisi dan penyanyi untuk tidak tunduk pada
yang sudah sejak lama rutin dan konsisten menggelar acara pertunjukan dangdut.
Pertunjukan dangdut Purawisata digelar empat kali satu minggu (Senin, Rabu, Kamis,
dan Sabtu) setiap jam delapan malam. Pertunjukan dangdut Purawisata ini juga
mempunyai ciri khas musik dan penyanyi yang „sensual‟ seperti dangut koplo pada
umumnya. Sebagai panggung hiburan kelas „rakyat‟, hampir setiap kali pertunjukan
dangdut digelar selalu dipenuhi oleh masyarakat yang ingin bergoyang ataupun
Dengan demikian hadirnya dangdut beraliran koplo ini memberi suasana baru
bagi musisi, penyanyi maupun penikmat dangdut. Begitu juga pada pertunjukan
dangdut yang digelar di Purawisata yang mengalami perubahan sejak dangdut koplo
ini mulai merebak. Adaptasi para musisi dan penyanyi dangdut tentang gaya koplo
terhadap gaya dangdut yang sedang trend agar menarik minat para penonton. Begitu
juga dengan efek yang muncul bagi THR Purawisata dan penonton dangdut di
B. Rumusan Masalah
sebagai berikut;
Indonesia?
C. Kerangka Pemikiran
adalah suatu media yang mampu “berbicara” secara tepat, nyata, dan umum tentang
etnomusikologi. Sedangkan konsep kebudayaan yang dipakai dalam tulisan ini adalah
kebudayaan sebagai jaring-jaring makna (Geertz, 1992: 5). Sesuatu yang bermakna
bagi kita tidak dapat begitu saja dibiarkan dalam arti murni. Kita dapat
bentuk-bentuk, persepsi, fungsi sosial. Kita dapat menggolongkan seni sebagai suatu
14
bahasa, struktur sistem, tindakan, simbol, pola pikir yang kemudian kita bisa
mendapatkan kiasan secara ilmiah, kiasan spiritual, kiasan teknologi dan politik (Ibid,
1983: 95). Dari definisi Geertz ini dapat diketahui bahwa budaya merupakan sesuatu
yang ingin diungkapkan oleh seniman (OM & Penyanyi) mengenai peristiwa yang
Purawisata.
Penelitian ini memandang dangdut sebagai suatu aliran musik, maka dari itu
tulisan ini bisa juga kita sebut sebagai sebuah studi tentang genre musik (Holt, 2007).
Kualitas stilistika dan karakteristik yang terdapat pada genre-genre tertentu penting
teknik, skill, dan penampilannya. Genre musik memainkan peran besar dalam norma-
norma, hierarki kultural dan kebijakan tentang sensor maupun dukungan dari
pemerintah (Weintraub, 2010: 12). Hal-hal yang demikian yang juga sangat
Sebagai aliran musik yang mempunyai basis sosial tersendiri, dangdut selalu
saja dipersepsikan dengan kesenian kelas bawah. Sedikit banyak ini disebabkan
Atas dasar ini tentu sangat mudah untuk mengaitkannya dengan pertunjukan
dangdut koplo dengan seni „rakyat‟ karena pertunjukan terebut dibungkus dengan ala-
kadarnya. Selain tanpa patokan-patokan pasti seperti seni istana, seni pertunjukan
rakyat biasanya diidentikan dengan penonton yang berasal dari kalangan bawah
(Soedarsono, 2003). Namun menurut Ismangoen (1991: 73), jenis musik ini dapat
disebut sebagai musik rakyat, tetapi bukan dalam arti identik dengan musik tradisi.
Musik rakyat merupakan musik yang seringkali dikenal sebagai musik dari
ataupun masyarakat pedesaan. Meski banyak musisinya yang terlatih dan memiliki
kemampuan bermusik yang baik, namun musik rakyat seringkali memiliki gaya yang
lebih sederhana dibandingkan musik klasik ataupun musik seni lainnya (Nettl, 2004).
Dalam perihal dangdut, ia disebut sebagai musik rakyat karena hidup dan
masyarakat tingkat bawah dan menengah. Golongan ini, biasanya menginginkan jenis
musik yang mudah dicerna dan mudah ditampilkan. Musik dangdut-lah yang sesuai
dengan mereka ini karena liriknya biasa menggunakan kata-kata yang sederhana dan
Dari segi penonton, Mack Dieter (2007: 585) juga berpendapat bahwa
sebagian besar penonton Orkes Melayu ini berasal dari kalangan bawah. Namun
dangdut saat ini membuat kaum menengah terdidik juga berminat pada dangdut. Ini
karena pada beberapa perbincangan mutakhir, seni pertunjukan rakyat sebagai bagian
dari budaya rakyat oleh beberapa ilmuwan sosial hampir disamakan dengan budaya
massa saat ini yang tak hanya terbatas dengan kalangan bawah, namun juga kelas
menengah, bahkan elite (Budiman, 2002). Begitu juga dengan dangdut koplo, yang
seperti kita lihat nanti bahwa pengunjung pertunjukan dangdut Purawisata pun
sekelompok pelaku (performer) yang ditujukan kepada penonton (Bauman, 1986 via
Schieffelin, 1998: 195; Cook, 2003: 204). Walaupun dangdut koplo telah lama
dimainkan oleh para pemusik dangdut di Jawa Timur, namun ketika musik ini beserta
mereka telah melakukan inovasi dalam bermusik. „Inovasi‟ sendiri adalah gagasan,
tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang (Rogers dan Shoemaker:
1981).
Sebagai salah satu unsur kebudayaan, maka kesenian akan mengalami hidup statis
yang diliputi oleh suasana tradisionalistik. Sebaliknya kesenian akan selalu berperan
dan berkembang apabila kebudayaan juga bersikap terbuka terhadap perubahan dan
inovasi. Ini relevan dengan munculnya dangdut koplo yang selaras dengan
internet yang berperan menyebarkan musik ini. Pendapat ini diperkuat oleh Mack
Proses adopsi musik dangdut koplo oleh para penyanyi dan personil OM ini
banyak yang melalui video-video atau lagu rekaman pertunjukan yang terdapat di
VCD, televisi, radio, maupun internet. Melalui media tersebut mereka dapat
yang dihadirkan dalam sebuah acara musik secara live (2008: 68). Selain itu Ahimsa-
Putra juga menjelaskan bahwa pembiasan seseorang terhadap jenis musik tertentu
dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas dari pemilikan (penggunaan) sarana
dimaksudkan sebagai sebuah siasat kaum pinggiran untuk menandingi seni yang
tinggi dan terpusat. Budi Susanto SJ dalam Laksono (1996) menggambarkan siasat
semacam ini sebagai perlawanan wacana di luar wacana resmi, di luar hierarki
komunitas dangdut koplo ini lebih menggunakan musik ini sebagai budaya tandingan
Michel Foucault (1974). Kuasa simbolik memiliki legitimasi untuk menentukan yang
benar dan yang salah, yang tabu dan yang pantas. Namun dalam setiap relasi
diberikan kepadanya, mengingat pada saat yang sama ia juga dapat melaksanakan
kekuatan yang dapat diakses dari dalam dan sekitar dirinya, sehingga ia juga
berpengaruh pada pihak yang memaksanya. Relasi kekuasaan di sini tentu saja antara
rezim moral dan otoritas dangdut dengan pendukung kebudayaan dangdut koplo, di
mana dangdut koplo mempunyai kekuatan untuk tidak mengindahkan aturan dari
berpendapat bahwa analisis seni dapat difokuskan pada dua kajian, yakni: (a) tekstual,
yaitu memandang fenomena kesenian (musik, tari, sastra, sastra lisan, dan
sebagainya) sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri dan; (b) kontekstual, kajian
yang menempatkan fenomena tersebut dalam konteks yang luas, yaitu konteks sosial-
budaya masyarakat tempat fenomena seni itu muncul atau hidup (2000: 400). Pada
sejarah dangdut dan perkembangan dangdut koplo sampai ke bentuknya saat ini, saya
19
menggunakan alat analisis yang kedua. Konteks sosial, politik, ekonomi, budaya dan
memakai analisis tekstual untuk mencermati aspek-aspek apa saja yang muncul pada
E. Metode Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini didapat dari dua sumber.
Pertama, sumber data yang langsung diambil dari pengamatan secara langsung dari
untuk menunjang data tentang sejarah, perkembangan, dan informasi musik dangdut.
Data lapangan ini diambil dari lokasi penelitian, di yaitu Pusat Seni dan
Hiburan Purawisata, yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta yang
dilakukan selama kurang lebih tujuh bulan, yaitu dari Juli 2011 sampai Januari 2012.
suguhan pertunjukan dangdut, saya mengamati aktivitas dan kesan apa saja yang
muncul pada sebuah pertunjukan dangdut. Dari sanalah terlihat kebiasaan perilaku
yang tampak dari para musisi, penyanyi maupun penonton pada saat pertunjukan
20
tersebut digelar. Tak jarang saat melakukan penelitian ini saya terlibat obrolan
dengan penonton maupun musisi yang beberapa telah saya kenal. Melalui obrolan
tersebut cukup banyak informasi yang diperoleh untuk menunjang data penelitian ini.
Selain itu perlu juga dilakukan wawancara mendalam terhadap penyanyi, manajer,
tukang parkir, serta manajemen Purawisata untuk mendapatkan informasi yang lebih
mengarah pada tujuan penelitian ini. Dari pengamatan, obrolan dan wawancara
tersebut saya catat dalam buku harian untuk dijadikan data sebagai bahan penulisan.
Sedangkan penelitian studi kepustakaan saya dapatkan antara lain dari: buku,
artikel koran, artikel jurnal, artikel yang diunduh dari internet, dan ensiklopedi. Dari
perkembangan dangdut serta untuk menjelaskan dinamika apa saja yang terjadi
sampai pada bentuknya yang saya temui di Purawisata ini. Maka dari kedua data di
atas diolah dan ditafsirkan untuk menjadi sebuah tulisan skripsi ini.
21
BAB II
Jika kita bangun tidur dan tiba-tiba berada pada masa akhir 60‟an,
dan kebetulan di sekeliling kita terdengar musik bersuara gendang
suling berirama India, lantas kita bertanya pada seseorang: “dari
mana suara dangdut itu?”, orang yang ditanya akan heran:
“dangdut? Oh bukan, itu namanya Orkes Melayu”. Lalu tiba-tiba
kita tertidur lagi dan bangun pada zaman pra-revolusi, lantas
bertanya kepada seseorang, “seperti apakah Orkes Melayu?” Maka
orang akan menjawab dengan tegas: “keroncong”. Setelah terantar
kembali pada masa kini, dengan pertanyaan yang sama orang akan
bilang: “Orkes Melayu itu dangdut koplo!”2
zaman. Kita tidak akan menemukan musik dangdut dengan irama Melayu atau India-
nya jika datang ke sebuah pertunjukan dangdut; yang ada malah yang terdiri dari
rock, disco, pop, dengan campuran tradisional, yang ditambah gendang dan seruling.
Itulah yang dinamakan musik dangdut saat ini, yang selalu diiringi group sejenis OM
Memang kini tak mudah membedakan dangdut yang lebih orisinil (baca:
irama Melayu) atau yang bukan. Begitu banyak aliran (genre) dangdut yang lahir
dikarenakan interaksi dengan musik-musik lainnya dan tuntutan inovasi para musisi
agar musik dangdut terasa lebih segar. Kita kenal saat ini ada rock-dut (rock
2
Mengambil metafora dari Suka Harjana (2004) dalam Musik Antara Kritik dan Apresiasi ketika
menjelaskan musik jazz kini yang sangat berbeda dengan karakteristik jazz pada saat awal
kemunculannya.
22
dangdut), pop-dut (pop dangdut), disco dangdut; ada juga yang bernuansa kedaerahan
sosial masyarakat khususnya politik. Seperti telah menjadi sesuatu yang umum ketika
dangdut digunakan sebagai alat kampanye parpol, misalnya. Lebih penting lagi
adalah dinamika politik di Indonesia berperan besar hingga membawa dangdut dalam
bentuk yang sekarang. Mulai dari kebijakan Orde Lama yang mengakibatkan
“dangdut” hingga dijadikan sebagai musik „nasional‟; sampai geger reformasi yang
sedikit banyak memicu munculnya bentuk dangdut „daerah‟ seperti saat ini.
merepresentasikan kalangan menengah ke bawah. Berbeda dengan pop atau jazz yang
pinggiran yang „murah‟, sederhana, dan penuh keringat. Kesederhanaan ini yang
semata-mata menampilkan musik tetapi juga keseksian tubuh penyanyinya, juga lirik-
liriknya yang terkesan cabul dan murahan. Inilah yang selalu memunculkan
kontroversi; di satu sisi merupakan ungkapan „jujur‟ masyarakat kecil, dan di sisi lain
Melihat persoalan di atas, pada bab ini akan dipaparkan progresivitas dangdut
sampai pada saat ini. Perkembangannya dari periode ke periode untuk melihat
bagaimana stigma-stigma dangdut sebagai musik kelas bawah melekat. Tentunya alur
merupakan „arus utama‟3 yang tertangkap sejarah. Pada akhir bab ini akan dijelaskan
literatur. Wlliam H. Frederick menulis, istilah „dangdut‟ baru muncul pada tahun
1972-1973. Sebelum tahun-tahun itu masyarakat menyebut musik jenis ini sebagai
„Orkes Melayu‟. Baik semangat sosial maupun instrumennya berawal dari periode
awal kolonial, ketika paduan alat-alat musik Indonesia, Arab dan Barat dimainkan
pengaruh lain diserap. Menjelang 1820-an, ansambel Cina Betawi yang dikenal
dengan nama Gambang Kromong muncul, yang memadukan alat musik dan melodi
3
„Arus Utama‟ (mainstream) dangdut ini merupakan alur sejarah yang mengikuti musisi-musisi
terkenal, mulai dari Ellya Khadam, Rhoma sampai pada Inul Daratista. Padahal bisa saja karakteristik
musik dangdut „arus utama‟ ini sangat berbeda dengan yang ada di daerah-daerah.
4
Istilah yang digunakan Andrew Weintraub dalam Dangdut Stories (2010) terhadap genre dangdut
yang bernuansa tradisional (dangdut regional) seperti dangdut Koplo.
24
Cina, Sunda, Maluku dan Portugis. Nantinya, sebagian besar unsur-unsur musik yang
yang pada saat itu eksis di masyarakat mendapat tanggapan yang baik dari pribumi.
Namun oleh kalangan elit kolonial musik ini dipandang sebagai musik rendahan dan
„pribumi‟.
Sekitar tahun 1930-an terjadi transisi penting dalam musik keroncong ketika
muncul radio, piringan hitam dan film. Titik tolaknya pada kemunculan film
keroncong membuat musik ini semakin digemari. Melihat fenomena ini, seorang
sebagai musik Nasional (Ibid). Aktivis Partai Serikat Islam Indonesia dan Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo) ini lantas menyebut keroncong sebagai “Orkes Melayu”.
membangkitkan kesadaran nasional lewat sebuah kesenian yang saat itu dipenuhi
istilah “Orkes Melayu” sebagai penyetara sekaligus pembeda dari „Orkes Barat‟ milik
kolonial. Pada masa 1940-an, istilah “Orkes Melayu” mencakup musik populer di
kalangan penduduk pribumi perkotaan, yaitu Keroncong dan musik irama Melayu.
Selanjutnya jika kata ‟orkes‟ dianggap sebagai penyetara, maka penggunaan kata
25
“Melayu” digunakan sebagai pembeda dari orkes lain pada waktu itu. (Simatupang,
2008).
pada tahun-tahun pasca revolusi. Perubahan terjadi pada sekitar tahun 1960-an yang
sebagian dipengaruhi faktor politis yaitu pada era Demokrasi Terpimpin. Keroncong
modern dirasa lebih bersifat borjuis, dipengaruhi unsur asing dan tidak menunjukkan
kemerduan dan bersifat kontemporer. Para musisi pun mulai mencari sesuatu yang
lebih menunjukkan sifat keaslian dan yang lebih pantas menggunakan istilah “Orkes
Melayu” (Frederick, 1982). Di sisi lain, musik irama Melayu semakin berkembang di
masyarakat pribumi dan belum tersentuh oleh ekses-ekses politik. Musik Melayu ini
dikembangkan di daerah yang jauh dari ibu kota dan para kritikus musik, terutama di
sekitar Padang dan Medan (Ibid). Musik yang disebut musik Melayu Deli ini semakin
mewakili unsur dalam Orkes Melayu setelah Keroncong memisahkan diri dan
Istilah Melayu-Deli merujuk pada satu jenis musik yang berkembang di pantai
daerah bekas Kesultanan Deli yang mempunyai interaksi sosio-kultural yang cukup
5
Sebenarnya pada waktu ini ada orkes lain yaitu Orkes Harmonium dan Orkes Gambus. Orkes
Harmonium menggunakan Harmonium (sejenis organ) sebagai instrumen utama. Sedangkan Orkes
Gambus menggunakan Gambus yang berkiblat pada musik Timur Tengah. Namun semakin lama
kedua orkes ini tak terdengar karena terdesak oleh Orkes Melayu dan Keroncong (Simatupang, 2008).
26
menghasilkan bentuk kesenian yang mirip seperti digunakannya alat musik kemung6
dan rebana untuk mengiringi nyanyian di kedua daerah tersebut. Begitu juga
menggunakan alat musik rebana (Melayu), mandolin (Amerika Latin) dan tabla
(India) dicampur dengan alat musik barat seperti piano, biola dan saksopon. Musik
campuran semacam itulah yang disebut sebagai Melayu-Deli, yang pada tahun 1940-
Indonesia setelah beredar film yang membawakan lagu bernuansa Melayu yaitu
Djuwita (1952) yang dibintangi P. Ramlee, disusul Serodja (1958) dengan artisnya
Said Effendi. Pada masa inilah musisi-musisi Orkes Melayu bermunculan, seperti
OM Sinar Kemala, Melayu Purnama, dan Chandralela, dan Sinar Medan. Artis-
artinya seperti A. Chalik, Husein Bawafie, Husnah Thahar, Munif Bahasuan serta
dibanjiri oleh film-film India, yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap dunia
seni di Tanah Air. Masuknya pengaruh kesenian India dalam masyarakat Indonesia
sedikit banyak disebabkan oleh sikap politik pemerintah Orde Lama Soekarno yang
sedang menggalakan kebijakan anti budaya barat karena dirasa merusak jiwa
6
Sejenis gong berukuran kecil
7
Kesenian ini berasal dari Penang, Malaysia Utara. Sejenis teater yang menampilkan lakon wayang
Parsi ada akhir abad ke-19. Begitu populernya, sehingga berkembang sampai daerah pantai Sumatra
Utara dan Timur.
27
revolusioner masyarakat Indonesia. Atas represi budaya tersebut, film dan musik
India yang dianggap bukan pengancam budaya membanjiri industri film dan musik di
Indonesia. Pengaruh musik dan goyang ala India yang paling jelas seperti terlihat
dalam hits Boneka Cantik Dari India yang dibawakan Ellya Khadam pada tahun
1956. Dalam lagu tersebut tampak irama dan tekstur bunyi yang baru (khususnya dari
bunyi gendang Indonesia, Arab, dan India, Suling dan Siter) juga dalam pembawaan
lagu yang terdapat unsur sensualitas dan dinamis (Frederick, 1982). Irama ini dikenal
dengan chalte, yang mengacu pada gendang yang berbunyi “dang”, “du-ut” dan
“dut”. Irama ini juga mempunyai kemiripan pola ritme Inang yang digunakan dalam
Gambar 2.1. Penampilan Ellya Khadam yang kental dengan gaya India (rasikafm.co.id)
(lihat gambar 1) dan bergoyang ala India. Karena pengaruh India seperti yang
ditampilkan oleh Ellya Khadam tersebut, Orkes Melayu pun tidak lagi seperti musik
28
pengiring dalam tari Serampang Dua Belas, melainkan bergeser ke arah musik dan
tarian ekspresif yang terdapat di Film-film India8. Namun pada fase inilah unsur
„goyang‟ masuk ke dalam Orkes Melayu yang kelak menjadi unsur penting dalam
dangdut.
Melayu. Geger politik tahun 1965 dan disusul oleh tumbangnya pemerintah Orde
Lama Soekarno memberi perubahan dalam dunia seni di Indonesia. Pemerintah Orde
Baru Soeharto yang bersikap pro-globalisasi dan kapitalisme membuka kran sebesar-
dalam kegiatan ekonomi, ia lebih dulu terbuka terhadap musik rock Inggris dan
harmonika, suling bambu dan gitar memberi jalan musik Barat modern yang
menyebut gejala ini sebagai periode elektrisasi dan segera disusul dengan
idiom musik pop-Barat ke dalam „Orkes Melayu‟. Bintang itu adalah Rhoma Irama,
Si Raja Dangdut.
8
Walaupun unsur India lebih dominan dibanding Melayu-Deli, toh tetap saja disebut “Orkes Melayu”
(Lihat makalah “Kisah Sebuah Nama” Lono Simatupang (2008))
29
B. Kemunculan “Dangdut”
Efek dari elektrisasi dan industrialisasi dalam musik Indonesia ini membentuk
kiblat baru yaitu musik Barat. Sebelumnya muncul band-band yang terpengaruh oleh
artis barat yang terkenal pada saat itu seperti The Beatles, Everly Brothers, Elvis
Presley, Deep Purple, Andy Williams, yang menawarkan irama pop, jazz, dan rock.
Musik ini membentuk kelas yang berstatus tinggi karena konsumen musik-musik
Dengan adanya kiblat baru musik pop yang berorientasi ke Barat, Orkes Melayu
semakin terstigma menjadi musik kelas rendahan. Pendukung musik ini adalah
mereka yang tinggal di kampung-kampung pinggiran kota besar, tidak terdidik atau
sedikit terdidik, dan lebih dianggap sebagai kelas bawah diukur dari tingkat
Pada moment ini Rhoma Irama9 muncul untuk mencari sintesis atas dua
musik dan penggemar yang bertolak belakang tersebut, yaitu awal 1970-an. Dengan
basic popnya, musik yang dihasilkan harus menunjukkan keterkaitan gaya Barat dan
tidak semata-mata meniru gaya Melayu-Deli, Arab dan India (Frederick, 1982).
Unsur rock harus bersanding dengan irama Melayu, dengan dimasukannya gitar
listrik, efek distorsi, drum, saksopon ke dalam sebuah Orkes Melayu. Penampilan
9
Ia bernama kecil Oma Irama. Setelah sukses dengan Sonetanya dan sempat naik haji, ia
menambahkan gelar “raden” dan “haji” menjadi Rhoma Irama. Sebelum di Soneta, ia adalah pemain
band pop yang mengekor musik Barat. Tahun 1968 ia bergabung dengan OM Purnama dan di sini ia
bertemu dengan Elvy Sukaesih (Frederick, 1982: 7)
30
juga diubah menjadi atraktif, trendy10, liriknya tak lagi melankolis mendayu-dayu
(Orkes Melayu) “Soneta” pada tahun 1971, dan seketika meraih popularitas di
masyarakat. Walaupun menggunakan nama 'Orkes Melayu', namun grup ini berniat
untuk mendobrak pola Orkes Melayu melalui cincin kontemporernya (Ibid). Lagu-
lagu melayu kembali populer karena dinyanyikan dengan cara dan generasi yang baru
dan lebih segar. Keberhasilan OM Soneta yang "nge-rock" ini dengan cepat diikuti
oleh kelompok-kelompok Orkes Melayu gaya baru yang lainnya. Artis-artis baru
bermunculan antara lain Elvy Sukaesih dengan gaya India-nya, A. Rafiq dengan
OM Tarantula-nya, Ida Laila, Rita Sugiarto dan banyak lagi (Trilaksono, 2009). Hal
ini terjadi bukan hanya karena musik baru ini menarik minat penggemar irama
Melayu di perkotaan, tetapi juga disebabkan oleh adanya dukungan industri musik
yang berkembang pesat di Indonesia, sejak masuknya teknologi rekam suara pita
kaset yang massal dan murah berperan besar menyebarkan fanatisme idola secara luas
Namun, Orkes Melayu yang booming berkat Soneta ini pada waktu itu
mengundang banyak kritikan dan cemoohan publik, baik dari musisi maupun
pengamat musik yang condong ke pop atau Barat. Orkes Melayu dicemooh karena
10
Di era 70‟an, kegemaran semua anak muda berambut gondrong, bercelana ketat, suka bermain gitar
listrik (Kompasiana.com, 10 Juni 2011)
31
tak lantas mundur tapi justru memungut istilah "Dangdut"11 menjadi penamaan dari
Juni 2011).
Perlawanan yang dilakukan Rhoma Irama terhadap para pembenci musik ini
tidak hanya tecermin pada penamaan dangdut saja, namun juga termanifestasikan
Melalui lirik lagu di atas seakan-akan Rhoma Irama ingin menegaskan kepada
masyarakat luas, bahkan pada dunia, bahwa dangdut (musik melayu) pantas dihargai
11
Istilah Dangdut merupakan onomatophea (penyebutan kata mengikuti bunyi yang keluar dari obyek)
dari suara tabla/gendang. Istilah ini diucapkan pertama kali oleh Putu Wijaya dalam Tempo 27 Mei
1972 saat mengkritik “Boneka dari India” bersuara “dang-ding-dut” India (Wikipedia Bahasa
Indonesia, 14 Juli 2011)
12
“Sulingnya suling bambu, gendangnya kulit lembu.. Dangdut suara gendang, rasa ingin
berdendang..”
32
dan „duduk sama tinggi‟ dengan musik lain seperti pop dan klasik. Jika para
penggemar musik pop tidak suka dengan dangdut, maka mereka “boleh minggir asal
tidak mengganggu” seperti Rhoma katakan, karena ia merasa “lain kepala lain pula
kesenangannya pada musik”. Dengan kata lain lewat lagu ini ia sedang
semakin tajam. Bagi mereka kalangan menengah ke atas perkotaan mulai risih
sepanjang tahun 1970-an marak film dangdut dibintangi Rhoma Irama maupun Elvy
Sukaesih yang menjadi box office. Persaingan ini memunculkan serangan kritik dan
cemoohan yang lebih sinis, seperti dangdut adalah musik rongsokan, lirik yang
seorang fanatikus Mark Farner menyebut dangdut “tai anjing” (Remy Sylado dalam
Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996). Tahun 1970-an menjadi ajang „pertempuran‟
merebut pasar musik Indonesia ini hingga berujung konser „duel‟ antara Soneta dan
God Bless13. Selain itu perseteruan ini dapat juga ditandai sebagai penerusan „tradisi‟
13
“Islah” dangdut dengan rock terjadi setelah dangdut terbukti diterima masyarakat luas pada saat itu,
dengan band-band pop-rock yang membawa unsur dangdut ke dalam musiknya, seperti God Bless
dengan “Zakia”. Band lain seperti Koes Plus, D‟lloyd dan lainnya juga mengikuti. (Wikipedia Bahasa
Indonesia, 14 Juli 2011)
33
ke atas dengan pop-rocknya dan dangdut sebagai musik kelas “rakyat” 14. Kedekatan
dengan “rakyat” ini dimanfaatkan oleh Rhoma Irama yang membuat dangdut menjadi
alat kampanye politik dan sarana dakwah, sehingga lagu-lagunya menjadi banyak
yang berisikan pesan moral keagamaan. Kesuksesan Rhoma dalam industri hiburan
bintang baru dan ekspansi dangdut dalam Industri (Weintraub, 2010: 110).
C. „Nasionalisasi‟ Dangdut
pesat disebabkan oleh industrialisasi musik dan kapitalisme media yang sedang
melanda. Hal ini ditandai dengan menjamurnya dapur rekaman, panggung serta acara
musik televisi dan radio15. Industrialisasi dangdut dan kapitalisme media memaksa
produser, musisi, dan penyanyi dangdut berinovasi untuk menarik lebih banyak
audiens. Karena sebab itu dan juga interaksinya dengan musik lain, lahirlah berbagai
yang muncul seperti Camelia Malik, Mansyur S., Rita Sugiarto; grup-grup seperti
OM Tarantula, Radesa, Ken Dedes; juga grup dangdut mahasiswa PSP dan PMR 16.
14
Selama 1970‟an, berbagai media cetak menulis bahwa penikmat dangdut adalah rakyat kecil, rakyat
jelata, golongan bawah, pinggiran, kaum marginal dan menengah-ke bawah (Weintraub, 2010: 82)
15
Di era 1980 sampai 1990-an, industri radio melakukan perubahan dengan menerapkan berbagai
format siaran dan musik sebagai menu utamanya (Abdul Firman Ashaf dalam Sikap Politik
Pemerintah dalam Pewacanaan Musik Populer 80‟an dan 90‟an, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
3 Maret 2006)
16
Pancaran Sinar Petromaks (PSP) merupakan pelopor grup musik dangdut di kalangan mahasiswa
(UI), dengan lirik-lirik kritis dan humoris. Ini merupakan „perlawanan‟ terhadap kelas gedongan dan
34
Pada periode ini juga muncul gaya dangdut yang mengedepankan sisi
sensualitas. Salah satu pelopor gaya ini adalah Elvy Sukaesih dengan penampilan
yang berbeda dengan penyanyi dangdut yang lain seperti Camelia Malik atau
pendahulunya yaitu Ellya Khadam. Ia menawarkan gaya yang mewarisi tarian India,
namun dengan penampilan yang lebih „seksi‟, sepeti baju yang lebih „terbuka‟ dan
ketat (lihat foto 2). Selain itu lirik-lirik lagunya pun lebih multiinterpretatif, yang
seringkali dapat berkonotasi sensual. Antara lain seperti lirik lagu “Mandi Madu”
dibawah ini:
Lagu ini tidak akan berarti apa-apa jika yang menyanyikan tak terlalu
ekspresif. Namun menjadi multiinterpretatif pada saat dibawakan oleh Elvy, dengan
goyangan khasnya yang menekankan pada goyang pinggul dan lirikan mata, yang ia
ambil dari gaya tarian film India, ditambah dengan suara bernyanyinya yang genit.
musik baratnya, dengan menggunakan dangdut sebagai musik pinggiran yang digunakan untuk
memainkan lagu-lagu barat. Lagu-lagu trend seperti My Bonnie, Oh Carol, Bye Bye Love
„didangdutkan‟ menjadi hits yang digandrungi massa.
35
Bisa saja orang membayangkan Elvy Sukaesih benar-benar “mandi madu” dengan
Gambar 2.2. Sampul Album Dangdut Elvy Sukaesih tahun 1980‟an dengan penampilan yang „seksi‟
(dangdutsonata.blogspot.com)
Lebih penting adalah dangdut juga mulai bersenyawa dengan irama musik
tradisonal yang muncul ke masyarakat luas seperti lagu “Goyang Dombret dan “Duh
Engkang” dengan irama kental jaipongan. Perpaduan dengan unsur tradisional ini
sendiri (Ibid). Berkembangnya dangdut di daerah yang tidak disorot oleh publik
secara nasional, membuat unsur sensualitas pada dangdut lebih mengental pada
periode ini. Musisi atau penyanyi daerah lebih bebas untuk meniru goyangan tubuh
gaya India dan juga referensi tarian tradisional seperti ronggeng, jaipong atau tayub.
Pengaruh Elvy Sukaesih yang mendapat ketenaran dari media nasional juga berperan
36
besar membentuk gaya dangdut „seksi‟ ini. Gerakan tubuh yaitu goyang (joged)
Gaya yang menonjolkan fisik penyanyi wanita menjadi trend dangdut pada
berisikan 6-12 penyani wanita (Ibid). Media cetak juga turut membangun wacana
alkohol, prostitusi, dan tempat hiburan malam dimana dangdut sering dimainkan
mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan begitu dangdut dirasa cukup potensial untuk
dimanfaatkan sebagai alat politik rezim Orde Baru. Karena hal itulah pada era
meliputi (1) orientasi profit, (2) diatur melalui sensor pemerintah, (3) Jakarta-sentris
dan skup internasional, (4) citra yang glamour, dan (5) dapat diterima oleh kalangan
Pendidikan Indonesia) milik penguasa Orde Baru yang mengklaim sebagai “televisi
37
waktu itu, Moerdiono, yang mengklaim dirinya sebagai „Bapak Dangdut Indonesia‟.
Gubernur Jakarta waktu itu yakni Basofi Soedirman sempat menjadi penyanyi
dangdut (Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996). Nasionalisasi dangdut yang terpusat ini
menuntut citra yang lebih baik, level yang lebih tinggi, menyensor unsur-unsur
sensualitas18, dan dapat diterima semua kalangan. Alhasil dangdut secara nasional
tergolong artis papan atas Indonesia; siapa yang tak kenal Jaja Miharja, Ikke
Nurjanah, Iis Dahlia, Cucu Cahyati, Cici Paramida, Evie Tamala. Namun di lain
pihak, dangdut di daerah-daerah (artis, musisi, lagu dan gayanya) hampir tak
terdengar.
masuk era 2000-an. Momentumnya ketika muncul fenomena goyang ngebor Inul
Daratista yang merubah penampilan dangdut menjadi lebih menonjolkan sisi tubuh
teknologi rekam audio-visual dan cara baru pendistribusiannya; kedua, efek krisis
17
Sikap Orde Baru untuk “menguasai” dangdut sebenarnya merupakan langkah politik Golkar
membuat link terhadap media dan budaya, disamping massa dangdut yang besar (Wenitraub, 2010:
151)
18
Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, melarang lirik-lirik dangdut yang cengeng dan penampilan
vulgar, karena dianggap menghambat semangat „pembangunan‟ (Ibid)
38
keempat, iklim demokrasi dan membanjirnya media massa yang lebih „bebas‟ pada
era reformasi.
Pada akhir tahun 1990-an, perkembangan alat digital seperti kamera dan
handycam yang terjangkau cukup marak, hal ini memungkinkan sebuah pertunjukan
dengan format VCD (video compact disc). VCD ini dapat diperbanyak dan
dangdut yang diproduksi oleh sang musisi sendiri. Ini ditambah krisis ekonomi 1998
yang juga turut mempengaruhi industri dangdut. Mahalnya proses produksi di pusat
(Jakarta) dan pasar yang lesu membuat para musisi memproduksi rekaman-rekaman
sendiri yang diedarkan untuk pasar daerah atau lokal. Ini dapat menjadi alternatif
ekonomi ataupun peluang baru bagi para pedangdut sebagai promosi untuk disewa
lebih bebas berekspresi karena tidak ada standarisasi musik dangdut yang ditetapkan
pusat. Kemajuan teknologi informasi membuat distribusi yang pada mulanya bersifat
Ekspresi musik dari musisi daerah ini memberi nuansa etnik pada dangdutnya,
selain orientasi pasar ke daerah sendiri, juga bertujuan „melokalkan‟ dangdut dengan
bahasa, ritme, dan instrumen daerah. Repertoar yang dimainkan cenderung bersifat
sepele, sederhana19 dan tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, atau dapat diterima
dengan akrab oleh semua kalangan. Mereka juga membuat sintesis dengan kesenian
tradisional yang telah eksis sebelumnya. Sepintas, tampak bahwa perkembangan ini
Barat (dangdut saluang), Jawa Barat (dangdut jaipongan), Cirebon (dangdut tarling),
Namun kita bisa lihat bahwa pergerakan dangdut lokal yang tampak paling
kuat adalah gaya koplo dari Jawa Timur. Hal ini tak bisa dilepaskan dari munculnya
fenomena Inul dengan dangdut koplonya yang diangkat ke permukaan oleh media
massa. Kejatuhan Soeharto membawa ekspansi televisi dan media cetak populer,
2010: 175). Inul yang telah populer di daerahnya (Jawa Timur) ditarik oleh televisi
19
Tema-tema lagu tak jauh dari cinta jenaka seperti Waru Doyong (Sunda) Bojo Loro, Angge Orong-
orong (Jawa)
40
nasional dan mendapat perhatian publik, lantas tak henti-hentinya televisi dan media
cetak meliput Inul dan goyangannya. Bentuk dangdut koplo yang dibawakan
menekankan tempo yang cepat dan goyangan tubuh mengikuti irama atau dikenal
dengan goyang ngebor. Peran kameramen juga sentral dalam menggulirkan wacana
ini dengan intens menyorot gerakan tubuh penyanyi 21. Segera saja dangdut gaya Inul
seperti Anissa Bahar, Uut Permatasari, Dewi Persik, Nita Thalia, Mela Barbie, Trio
bulan Februari 2003 mengeluarkan fatwa melawan pornografi melihat goyangan Inul.
Rhoma Irama atas nama PAMMI (Persatuan Artis Musisi Melayu Indonesia)
mengecam Inul yang dinilai merusak martabat dangdut. Rhoma juga meminta
2003). Mengambil sudut pandang lain, peristiwa ini dapat dilihat sebagai konfrontasi
Atas kecaman ini Inul justru mendapat simpati, namanya serta dangdut sendiri
kian melejit. Tetapi bagaimanapun juga tekanan ini lama-kelamaan membuat dangdut
20
Saat itu adalah Trans TV yang melihat kepopuleran Inul di Jawa Timur, dan memberinya tawaran
untuk tampil dalam salah satu program konser dangdut di televisi tersebut yang ditayangkan secara
nasional (Weintraub, 2010)
21
Penjelasan Lono Simatupang dalam wawancara TvOne tentang dangdut, 2011.
41
hilang dari televisi, karena media melakukan pembatasan sendiri agar tak muncul
kecaman yang lebih besar. Gaya dangdut Inul pada tahun 2007 sangat berkurang
dibandingkan tahun 2003 dalam program televisi nasional (Weintraub, 2010: 230).
gaya Inul merebak luas di daerah-daerah. Setelah era Inul, hampir seluruh grup
dangdut mempunyai penyanyi “seksi” yang tampil di acara pernikahan atau sunatan
(Ibid, 2010: 230). Grup-grup dangdut atau OM (Orkes Melayu) yang vulgar ini
pertunjukan dangdut di Sekaten tahun 1990‟an serta penelitian yang dilakukan P.M
Laksono (1996) tentang dangdut Purawisata tahun 1996 yang penuh dengan
sensualitas. Selain di kedua tempat tersebut, dangdut semacam ini juga terdapat di
Taman Remaja Surabaya dan Ancol Jakarta (Gunawan, 2003: 7). Belum lagi
terpublikasi. Namun sejak era dangdut Inul, penerimaan masyarakat meningkat dan
penyebaran dangdut daerah lebih meluas dengan adanya teknologi produksi dan
distribusi yang mendukung. Promosi ini semakin terbantu dengan adanya jejaring
video youtube.com yang nampaknya telah digunakan secara efektif oleh grup-grup
dangdut daerah22.
22
Sudah banyak sekali OM (Orkes Melayu) yang posting video ke youtube.com terutama dari Jawa
Timur, yang menampikan dangdut dengan gaya sangat vulgar (coba cek OM Sera, OM Monata atau
penyanyi Via Vallen atau Mela Barbie) yang dikenal masyarakat luas. Bahkan tempointeraktif.com
merilis seorang penyanyi dangdut gaya jaipongan yaitu Mela Barbie yang videopost-nya sudah dilihat
oleh lebih dari 2 juta viewers.
42
Gambar 2.4. Penampilan „sensual‟ penyanyi dangdut „daerah‟ di atas panggung (vustv.com)
dengan Melayu dan India pada 1970-an, lalu „dinasionalkan‟ pada 1980-an dan 1990-
an, dan berkembang ke dalam “etnik” dan “kedaerahan” pada era 2000-an.
sebagai obyek utama dapat ditelusuri pada berbagai pertunjukan seni tradisional di
mengumbar sensualitas dan merusak moral sehingga mendapat pelarangan tampil dari
otoritas politik yang berkuasa; seperti ronggeng, tayuban, sinden, jaipongan yang
diasosiasikan sebagai bentuk lain prostitusi (Weintraub, 2010: 191). Namun seperti
kata Foucault, bahwa di mana ada kekuasaan pasti ada perlawanan. Begitu juga
ketika seni seperti dangdut direpresi maka di daerah-daerah yang jauh dari sensor
mengapa pada akhirnya dangdut kelas bawah yang bertahan? Padahal kita tahu bahwa
musik ini sempat mencapai popularitas di segala kalangan pada era 90-an. Tapi
sekarang ini kita jarang melihat geliat dangdut di panggung spektakuler atau di
televisi tak seperti dekade-dekade lalu. Jauh sebelum fenomena dangdut pinggiran ini
mencuat, Rhoma Irama telah menyadari bahwa musik ini memang tersegmen pada
Jika memang kita menyetujui diskursus yang terus beredar bahwa dangdut adalah
musik rakyat, pinggiran, kelas bawah, jelata, sebenarnya apa yang membuat dangdut
masyarakat yang tersingkir dari laju pembangunan kota. Mereka juga sering
dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan
dan kejiwaan (Suparlan, 1993). Kelompok sosial ini dapat dipertentangkan dengan
masyarakat menengah ke atas atau perkotaan yang cenderung mapan secara ekonomi,
44
intelek atau terdidik, dan mempunyai preferensi seni budaya tinggi. Maka dalam
konteks hiburan pun kedua kelompok tersebut dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan
akan lebih mudah mencerna lirik dan nada lagu “Begadang” milik Rhoma Irama
daripada misal harus bersusah payah merenungkan makna lagu “Ayah” dari Ebiet G.
Orkes melayu yang pada era kemunculannya lekat dengan kalangan pribumi
ini tercermin dari lirik-liriknya yang terbilang „unik‟. Lagu-lagu orkes melayu
terdahulu mempunyai pola yang seragam dengan dengan pantun yaitu selalu berisi
"sampiran" dan "isi", berirama AB-AB, serta mempunyai birama yang genap. Atas
dasar ini nampak bahwa lagu-lagu orkes melayu merupakan kelanjutan dari seni
merupakan musikalisasi seni pantun tersebut. Namun dalam pantun bermusik23 ini
interyeksi seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, dan lain-lainnya, di
tempat-tempat awal, tengah, atau akhir baris (Piah, 1989). Tentu saja sisipan ini agar
pantun selaras dengan musiknya, seperti tercermin pada lagu “Kuala Deli” yang
dinyanyikan Hasnah Tahar yang diiringi OM Bukit Siguntang pada tahun 1952 di
bawah ini:
23
Biasanya dalam kesenian ronggeng pantun Melayu
45
Kata yang dicetak tebal di atas merupakan interyeksi agar kalimat harmonis
dengan irama yang diberikan. Akan tetapi dengan berpedoman pada pola ini, kalimat-
kalimat dalam lirik lagu orkes melayu mungkin bisa dikatakan mengesampingkan
kaidah-kaidah berbahasa, atau, paling tidak bukan merupakan struktur bahasa formal.
„Pemaksaan‟ tersebut mungkin sulit dijumpai dalam seni kategori tinggi atau
Dari penjelasan di atas mungkin dapat menjadi salah satu asumsi bahwa orkes melayu
sebagai akar musik dangdut memang dekat dengan jiwa-jiwa kesenian „rakyat‟.
musik yang dikonsumsi oleh golongan menengah ke atas. Dari awal kelahirannya saja
orkes melayu telah menjadi antitesis bagi orkes Barat kolonial yang dianggap
mempunyai strata lebih tinggi. Semakin waktu bergulir, kedua kutub musik beda latar
belakang sosial ini konsisten pada posisinya; musik pop rock Indonesia yang bisa
disebut ahli waris dari orkes Barat melanjutkan dominasinya dibanding dangdut.
Konser duel antara rock-nya God Bless dan dangdut Rhoma Irama pada tahun 1970-
an menjadi saksi dari konfrontasi kedua kiblat ini. Memang perbedaan basis sosial
46
antara musik pop-rock dan dangdut bukan hanya pada tingkat wacana saja, tapi paling
“Semut Hitam” oleh God Bless “Gali Lobang Tutup Lobang” oleh Rhoma Irama
Lagu “Semut Hitam” dari God Bless tersebut mewakili musik rock dengan
basis sosialnya golongan menengah ke atas. Sifatnya yang „intelek‟ tampak dari tema
lagu yang menyuarakan kritik sosial, kira-kira tentang hilangnya rasa toleransi pada
sesama manusia yang tidak lebih tinggi dari gerombolan semut. Selain itu, lagu ini
setengah awal lagu mungkin pendengar mengira semut ini adalah personifikasi
manusia, dengan kata-kata “semut hitam berjalan melintasi rintangan” atau “semut
yang senada nyanyikan hymne makan bersama”. Namun pada akhir lagu, lirik ini
menyiratkan “semut hitam” dalam arti literer, yang dibandingkan atau menjadi saksi
47
tingkah laku manusia yang sering “halalkan segala cara” atau “menipu soal biasa”.
Lagu yang menuntut kejelian interpretasi seperti ini merupakan ciri khas lagu pop-
Berbeda dengan lagu dangdut semacam “Gali Lobang Tutup Lobang” milik
Rhoma Irama di atas. Susunan katanya lugas, tanpa banyak metafor, dan tak membuat
Mungkin dengan repertoar dangdut tersebut oleh penggemarnya dirasa lebih realistis
dan akrab dengan pengalaman dan emosional sehari-hari. Tampak juga aroma
inferioritas seperti pada lirik “walau gajinya pas-pasan, walau hidupnya pas-pasan”,
yang mencerminkan ketidak berdayaan secara sosial dan ekonomi. Selain itu yang
identik dengan lagu-lagu dangdut ialah ciri nasehat moral seperti pada lirik “walau
serba sederhana, asal sehat jiwa raga, dan juga hutang tak punya, itulah orang yang
kaya”. Tersirat penanaman nilai kepada pendengarnya bahwa orang „kaya‟ bukanlah
secara materi, namun sehat jiwa raga dan tak punya utang. Ini menjadi ciri khas
penyanyi dangdut, khususnya Rhoma Irama yang biasanya memposisikan diri sebagai
pihak „serba tahu‟, memberikan nasehat atau pengarahan kepada massa pendengarnya
yang dianggap „serba tidak tahu‟, bodoh, liar dan perlu ditertibkan.
Dangdut mendapat peran sebagai musik kaum marjinal karena demikian yang diminta
oleh struktur yang melingkupinya. Relasi dan oposisi dalam struktur tersebut dapat
kita lukiskan sebagai berikut; pop – dangdut; kota – desa; berpendidikan – bodoh;
48
pendengarnya, seperti pada lirik lagu Rhoma Irama di atas. Analisis kedua lirik lagu
di atas menunjukkan bahwa dangdut memang memposisikan diri sebagai musik yang
Di samping itu, telaah musik dangdut sebagai musik pinggiran juga bisa
dilakukan dari segi musikalitas mereka. Dangdut merupakan musik yang menitik
beratkan instrumen drum (pukul), yaitu pada gendang. Gendang inilah yang
dangdut. Musik ini menjadi lebih mudah diterima sebagian masyarakat karena
gendang (pada kategori umum) dapat ditemukan dalam instrumen berbagai kesenian
etnik lainnya. Selain itu karena instrumen pukul berperan sentral dalam membentuk
musik ini, maka dangdut mudah ditirukan, dipelajari dan dinikmati oleh berbagai
kalangan. Berbeda dengan jazz misalnya, yang musiknya menitik beratkan pada
instrumen piano, gitar, biola yang dimainkan penuh dengan nada-nada blues, swing
24
http://andinadwifatma.blogspot.com/2010/10/dangdut-bahasa-kaum-marjinal.html
49
Nada yang dipilih biasanya mengikuti gaya umum yaitu mayor kalau tidak minor.
Yang terakhir ini lebih banyak digunakan karena menyesuaikan lagu-lagu yang
bertema sedih atau melankolis. Sebagaimana ciri khas lagu dangdut yaitu seringnya
mengambil nada ke 6½ (misalnya jika do: C maka ia adalah Bb). Efek dari nada
sisipan tersebut yang saya rasakan seolah-olah memberi kesan melankolis, beraura
cengeng sebagaimana lagu India. Walau begitu, susunan musik tersebut masih dapat
dibilang sederhana. Tak terlalu banyak bermain-main dengan struktur bait, chord dan
oktaf misalnya. Hal ini juga berhubungan dengan penikmat dangdut yang enggan
berpusing-pusing dengan stuktur rumit bangunan lagu, yang penting enak aja
didengarkan.
Bandingkan dengan pop atau rock misalnya yang terdapat ruang kreativitas
begitu lebar. Secara umum struktur lagu pop rock dengan komposisi 32 birama dalam
bentuk lagu Amerika (A-A-B-A), yang sangat berbeda dengan komposisi lagu
dangdut (Weintraub, 2010: 108). Banyak kreativitas dan improvisasi nada yang
dilakukan, antara lain seperti penggunaan pentatonic blues25 atau overtone26 dalam
sebuah lagu. Kita lihat bahwa eksplorasi musikal apapun yang dilakukan musisi pop
25
Tangga nada yang terdiri dari 5 nada, jika menggunakan tangga nada diatonis, unsur 4 (fa) dan 7 (si)
dihilangkan. Perbedaannya dengan nada pentatonis seperti gamelan, tangga nada ini dimainkan pada
nada dasar berbeda dari lagu, yaitu diturunkan 1½. Misalnya lagu dengan do: C, ia bermain pada do:
A. Efek dari nada ini akan menghasilkan suasana blues.
26
Sebuah bangunan lagu yang ditengahnya berpindah nada dasar.
50
rock tetap dapat diterima audiensnya, yang notabene lebih kritis akan perkembangan
musik.
Di luar stilistika lirik dan musik antara pop dan dangdut, nampaknya perlu
kita lihat kembali bagaimana persinggungan kedua musik tersebut hingga akhirnya
muncul dangdut koplo sebagai suatu sintesis. Setelah pertarungan pop dan dangdut
pada era 1970-an, industri rekaman dan media lebih banyak melahirkan artis-artis pop
rock dari pada dangdut. Perkembangan selanjutnya musik dangdut selalu dibawah
seperti Slank, Dewa 19, Padi atau Jamrud. Ditambah keterbukaan media memasok
artis-artis luar negeri katakan Guns n‟ Roses, Bon Jovi dan Metallica yang menjadi
euforia baru bagi penikmat musik Indonesia yang menyingkirkan dangdut semakin
terjerembab ke pinggiran.
mereka hidup dalam dunianya sendiri. Berkombinasi dengan unsur tradisional dan
mencomot disko, rock, pop, hingga muncul dipermukaan pada saat fenomena Inul.
Dangdut yang tersaji saat ini, dengan demikian, cukup berbeda dengan gaya-gaya
konservatif seperti yang diuraikan sebelumnya. Lirik dan musik yang dimainkan
Progresivitas ini bisa dilihat sebagai sebuah upaya untuk membuat dangdut menjadi
lebih diterima secara umum. Kemunculan dangdut koplo paling tidak juga
mempunyai label „kelas atas‟ maupun yang telah dibungkus oleh patokan-patokan
Penutup
dangdut dari awal kemunculan yaitu: periode sebelum 1970-an adalah pencarian
unsur-unsur musik Orkes Melayu mulai dari Keroncong sampai Melayu-Deli; periode
setelah 1970-an yaitu menjadi „dangdut‟, musik yang disintesiskan Rhoma Irama
antara Orkes Melayu dengan instrumen dan gaya musik Barat. Periode 1980-an,
sebagai tempat ekspresi ngoko27 masyarakat kelas bawah. Periode 1990-an muncul
semakin terpinggirkan. Periode 2000-an, dangdut „daerah‟ dan kelas bawah yang
fenomena Inul. Kemunculannya juga akibat dari berkembangnya teknologi dan iklim
demokrasi yang meningkat. Namun tak berapa lama, datang perlawanan dari kaum
agamawan dan moralis yang membuat dangdut meredup di kancah (media) nasional.
Dan kini gema dangdut kembali lagi ke panggung-panggung daerah. Toh teknologi
27
Dalam tulisan P.M Laksono (1996) tentang Purawisata, bagaimana penoton dangdut di sana seperti
komunitas ngoko (J.Siegel) yang melawan tata karma masyarakat Jogja yang lebih luas. Perilaku
mereka dalam rangka menyiasati tekanan kultural, tapi terlokalisasi dalam sebuah ruang.
52
fenomena Inul ini tumbuh subur di daerah-daerah. Salah satunya adalah dangdut
koplo yang berasal dari Jawa Timur ini. Dangdut aliran koplo saat ini sangat marak di
dangdut purba, yaitu musik bertalu cepat dengan goyangan yang erotis para penyanyi
teknologi juga media massa. Sebagai musik orang pinggiran, dangdut terlihat dapat
menjadi alat politik, komoditi para kapitalis, kambing hitam penguasa moral, maupun
pelarian bagi rakyat kecil. Jika pada akhirnya adalah dangdut beraroma pinggiran
yang tetap bertahan, seperti dangdut koplo misalnya, hal ini karena sejak awal
tentang lirik dan musik kita tahu bahwa ternyata musik dangdut memang
dapat menandai tatkala kemunculan orkes Melayu diposisikan secara politik sebagai
budaya tanding orkes-orkes barat. Setelah itu konfrontasi antara dangdut dan pop-
rock tahun 1970-an yang mewakili basis sosial level bawah versus level atas.
Momentum besar terakhir ketika dangdut koplo Inul menjadi budaya tandingan
terhadap dangdut Rhoma Irama yang menjelma sebagai dangdut elit. Di luar
peristiwa-peristiwa sejarah tersebut tentu tak terhitung lagi sikap perlawanan yang
53
dilakukan oleh para musisi dangdut daerah yang membingkai musiknya sebagai
„tandingan‟ terhadap dangdut versi elit atau musik populer umumnya. Inilah sejarah
Pada bab selanjutnya, akan diulas lebih lanjut tentang dangdut koplo,
BAB III
sampai perkembangan yang paling terkini. Perkembangan dangdut saat ini yang
mengacu pada aliran mainstream dengan irama melayu campur pop yang dipelopori
Sumatera Barat, dangdut jaipongan Jawa Barat, dangdut campursari Jawa Tengah,
dangdut tarling Cirebon, dangdut banjar Kalimantan, juga dangdut koplo Jawa
Timur. Dari berbagai jenis dangdut daerah tersebut, dangdut koplo merupakan aliran
yang paling berkembang di masyarakat. Paling tidak, dangdut koplo ini sering
regional saja.
28
Dangdut Regional (dangdut daerah) Istilah yang digunakan Andrew Weintraub untuk menunjuk
genre dangdut dengan nuansa kedaerahan. Sedangkan komposer Ukat. S (1947) menyebut aliran ini
sebagai “dangdut etnik” (Weintraub, 2010: 201)
29
TvOne pernah menayangkan tiga program dokumenter yang berbeda-beda tentang dangdut koplo.
Kompas beberapa kali memuat artikel atau berita tentang dangdut koplo. Di Internet sudah tak
terhitung lagi contain tentang dangdut koplo.
55
Apapun faktor yang melatarbelakanginya, yang jelas saat ini dangdut aliran
kota; di event-event promosi produk; pada kampanye parpol; di penjual VCD bajakan
pinggir jalan; di youtube dan google; di handphone anak muda sekeliling kita.
Panggung dangdut koplo rutin dapat ditemui seperti di Taman Remaja Surabaya,
Ancol Jakarta, Purawisata Yogyakarta atau café-café dangdut yang tersebar di kota-
kota. Inilah dangdut koplo yang menjadi trend dangdut saat ini.
A. Dangdut Koplo
Bukanlah hal yang mudah untuk menulusuri siapa yang pertama kali memberi
nama koplo pada musik ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri
pun tidak terdapat kosa kata koplo, yang berarti belum menjadi kata baku Bahasa
Indonesia. Kata koplo jelas mempunyai referensi pada kata “pil koplo” yang telah ada
sebelumnya. Kata ini mengacu pada sebuah narkotika sintetis yang populer di
kalangan remaja sebagai “pil koplo”, karena dosisnya yang tinggi dapat
Entah ada hubungan langsung antara musik dengan narkotika tersebut atau
tidak, namun sepertinya memang dangdut koplo ini mempunyai efek seperti
masyarakat tapi jarang terungkap ke permukaan; juga mempunyai efek “candu” yang
56
Gaya dangdut yang menonjolkan aspek fisik atau tubuh penyanyi sebenarnya
sudah menjadi bagian pertunjukan masyarakat sejak lama, bahkan jauh sebelum
adanya fenomena Inul. Sebelumnya pertunjukan dangdut seperti ini tidak beredar luas
sensual tak mungkin diterima publik secara luas dan dapat memicu kontroversi. Hal
ini seperti pada pelarangan pertunjukan dangdut di perayaan Sekaten pada tahun
rekam dan distribusi secara pribadi pada waktu itu. Rekaman audio-visual hanya
dapat dilakukan oleh perusahaan rekaman besar yang tentunya sangat selektif
memilih musik dan musisi untuk orientasi profit. Namun setelah era reformasi,
dangdut gaya pinggiran ini tampak meruak di masyarakat. Ini karena sebelumnya
terjadi perkembangan teknologi lebih lanjut, seperti kamera maupun handycam dapat
diperoleh dengan mudah. Pertunjukan dangdut koplo bisa direkam secara pribadi dan
dilakukan dengan bebas, antara lain memfokuskan angle kamera pada visual tubuh
penyanyi. Para penyanyi yang sadar dengan hal itu pun akan berinisiatif
30
Pertunjukan dangdut yang „menjual‟ goyangan penyanyi wanita seksi waktu itu hanya mengisi
panggung-panggung hiburan rakyat, hajatan-hajatan warga, dan jarang ter-ekspose media. Hal ini
dikarenakan dangdut „nasional‟ mempunyai standar kesopanan sendiri.
31
Dengan keywords „koplo‟ pada Youtube maupun Google maka akan muncul ribuan lagu, lirik,
artikel, foto, video live pertujukan dangdut koplo dari berbagai daerah
57
berpakaian yang seksi32. Semakin lama, penampilan erotis ini menjadi kewajaran bagi
pertunjukan dangdut koplo yang direkam maupun tak direkam. Inilah salah satu aspek
munculnya dangdut yang “seksi”, yang masuk pada genre dangdut daerah – alasan
Dangdut koplo mulai tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada sekitar
pertengahan tahun 1990-an dan meledak setelah era kejatuhan Soeharto. Dangdut ini
memperoleh popularitas setelah adanya fenomena Inul. Inul yang telah lebih dulu
populer di daerahnya (Pasuruan, Jawa Timur) ditarik oleh stasiun televisi untuk
diorbitkan pada level nasional, dan melalui tayangan secara nasional tersebut dangdut
„Inul‟ ini dikembalikan lagi ke daerahnya. Ini berarti mediasi nasional terhadap
memperkuat gaya lokal lain dalam industri setempat (Weintraub, 2010: 217). Pola ini
mempengaruhi bentuk dari “tradisi besar” (atas/pusat), dan setelah itu kembali lagi ke
bawah untuk dijelmakan sebagai kebudayaan yang baru (Redfield, 1989: 58).
Meskipun telah menjadi mainstream dangdut saat ini, namun ia tetap menjadi
hiburan masyarakat kelas bawah dengan “citarasa” kedaerahan yang terjaga. Salah
satu contohnya adalah sampai saat ini belum ada televisi yang menayangkan kembali
32
Tidak jarang penyanyi wanita dangdut koplo memamerkan goyang yang meniru gerakan senggama
(sexual intercourse) dengan pakaian yang menonjolkan dada dan paha atau sering memamerkan celana
dalam (cek di youtube.com, misalnya OM RGS Jawa Timur atau penyanyi Mela Barbie)
58
daerah saat ini. Hal itu menunjukkan belum ada maksud untuk membuat dangdut
Grup-grup yang malang melintang di dunia dangdut koplo dan telah dikenal
Dewa (Tuban), Trio Macan (Lamongan). Ada juga penyanyi-penyanyi yang tak kalah
tenar seperti Via Vallen, Ratna Antika, Mela Anjani, Lina Geboy, Lilin Herlina dan
masih banyak lagi. Mungkin mereka tidak pernah muncul dalam media-media massa
nasional, tetapi dalam dunia dangdut daerah khususnya Jawa, musisi-musisi ini cukup
populer.
Banyak yang berpendapat bahwa musik ini terpengaruh dari electronic remix
(disco) yang karakteristiknya cepat dengan perkusi yang aktif. Diluar pendapat
tersebut, ada yang telah mencoba menelusuri unsur tradisional manakah yang
bersemayam dalam ritme koplo. Terdapat beberapa pendapat tentang asal mula ritme
musik ini, salah satunya dari komposer Malik BZ yang mengaku bahwa ialah yang
mengambil ritme koplo dari reog Ponorogo ke dalam musik populer pada tahun
1970‟an. Pendapat yang lebih jelas datang dari Yadi, pemain keyboard asal Bandung
yang berteori bahwa ritme utama gendang koplo diambil dari motif pukulan yang
terpotong-potong (mincid) dari musik jaipongan. Pendapat ini dibenarkan oleh musisi
59
melanda Jawa Timur, dan setelahnya musik ini dileburkan ke dalam berbagai bentuk
musik setempat. Jika dicermati, ritme ketukan jaipongan juga menggunakan ritme
merupakan khas dari tari rongeng Jawa dan musiknya terpengaruh dari berbagai
aliran; metal, pop, disco, house, jaipongan, dan dangdut (Ibid, 2010: 216).
Di samping itu, ada berbagai pendapat lain tentang unsur musik dalam
musik tradisional kendang kempul Banyuwangi dalam irama dangdut koplo. Musik
tradisional Banyuwangi ini telah dipadukan dengan musik dangdut oleh musisi-
musisi Banyuwangi sejak awal 1990-an, dan inovasi ini ditiru oleh grup-grup dangdut
Musik Penampilan
- Jaipongan
- Metal
- Pop dangdut Koplo - Gaya ROnggeng
- Disco-House
- Dangdut
Gambar 3.1. Analisis Andrew Weintraub (2010) atas unsur yang mempengaruhi dangdut koplo.
33
Artikel “Kendang Kempul, Musik Asli Banyuwangi dan Dinamikanya” oleh Agung Haryadi.
Kompasiana.com
60
irama gendangnya dari musik kotekan (musik untuk membangunkan warga untuk
sahur saat bulan puasa). Lantas irama ini diadopsi oleh OM-OM yang banyak
Saya sendiri lebih setuju dengan pendapat yang diungkapkan oleh Iwan Gilas,
mengakatakan bahwa ritme gendang dangdut koplo banyak terpengaruh dari musik
reog Jawa Timur. Hal ini disertai penjelasan bahwa ritme gendang tersebut sangat
mirip dengan ritme gendang dangdut koplo. Ritme itu disebut dengan “asholole”34,
yang bertalu cepat dengan pola pukulan //: duk tung tak tung dang tung tak tung//.
Seperti yang diungkapkan Iwan, bahwa jika di sekitar Yogyakarta, pola pukulan ini
dapat ditemui pada kesenian jathilan dengan sebutan “ala-ala oshe”. Tak hanya itu,
“senggakan” seperti “hok ya-hok ya” pun ia yakini berasal dari kesenian tersebut.
Tentunya tidak mudah untuk mengetahui dari mana saja unsur yang
yang sangat terbuka dengan adanya percampuran dengan musik-musik yang lain,
seperti telah kita ketahui pada bab sebelumnya. Walaupun musik dangdut koplo
34
Kata “asholole!” saat ini sering sekali diteriakan oleh penyanyi-penyanyi dangdut koplo di atas
panggung.
35
Wawancara 20 Oktober 2011
61
mempunyai gaya dan irama yang khas, grup dangdut koplo satu dengan yang lain pun
2. Karekteristik Musik
yang umumnya terdiri dari sembilan (9) personel, yaitu: satu gitaris; satu bassis, satu
drumer; dua keyboardis; satu pemain gendang berkepala (membran) dua besar-kecil;
satu pemain seruling; satu pemain tamborin dan simbal; satu lagi pembawa acara
gendang inilah yang memunculkan sisi yang khas dari OM dangdut koplo dan
memukul simbal, tetapi dalam dangdut koplo peranannya cukup penting. Selain
„senggakan‟ atau teriakan pada bagian tertentu lagu, seperti “hok ya-hok ya!” atau
“joss-joss!” dan disertai dengan memukul simbal. Ini membuat lagu apapun yang
Gambar 3.2. Pemain tamborin dan simbal di Purawisata (Nindyo BK, Oktober 2011)
pertama seperti bunyi gendang jathilan yang berpola //: duk tung tak tung dang tung
tak tung//. Pola yang kedua menggunakan ritme gendang dangdut sebelumnya yakni
//: duk tak tak tung tak dang duuut:// (Simatupang, 2004) namun dimainkan dengan
tempo yang lebih cepat36. Bunyi “dang”, “duk”, dan “duut” lahir dari kepala gendang
yang besar yang dimainkan dengan tangan kiri. “Dang” terproduksi dengan
memukulkan pergelangan tangan kiri pada membran dan mengetuk sisi tengahnya
dengan telunjuk; “duk” dibunyikan dengan memukul sisi samping membran besar
dengan jari-jari; dan “duut” dibunyikan dengan memukul kepala gendang besar
dan “tung” terproduksi dari kepala gendang yang kecil yang dimainkan dengan
tangan kanan. Bunyi “tak” dihasilkan dengan cara menampar (slapping) bibir dalam
36
Rata-rata sebuah lagu koplo mempunyai ketukan lebih dari MM 80 (1 menit 80 ketukan dengan not
¼)
63
(dampened); dan bunyi “tung” muncul dengan cara yang hampir sama, tapi
Karakteristik khas dangdut koplo yaitu pola ritme gendang tidak monoton,
tapi pada bagian tertentu diisi improvisasi dengan pola pukulan terputus-putus.
Improvisasi ini biasanya dilakukan dalam setiap delapan birama dengan pukulan
gendang yang umumnya berpola: //: tak_ _tak duk_ _tak ___duut//. Pukulan duut
yang terakhir ini diikuti oleh pukulan simbal dan bass drum, sehingga berbunyi
potong (mincid). Improvisasi tersebut biasanya lebih dominan pada saat refrain, tapi
tak menutup kemungkinan dilakukan di bagian lagu yang lain. Jadi orang yang
pertama kali mendengar lagu irama koplo ini akan terdengar aneh, karena terkesan
Tak jelas dari mana dan apa makna kata “joss!” pada „senggakan‟ di atas.
Yang sering terdengar dalam pertunjukan dangdut, lengkapnya teriakan ini adalah
“bukak sithik, joss!” (“buka sedikit, joss!”). Jika boleh mengambil konotasi sensual,
maka ini adalah permintaan penonton kepada penyanyi agar membuka sedikit rok-
37
Berdasarkan wawancara terhadap Wawan, penggemar dangdut koplo, 3 Oktober 2011.
64
tank-top dan rok mini menggoda para penonton dengan goyangan-goyangan erotis
Pada lagu-lagu yang dibawakan, sifat kedaerahan dangdut koplo ini tampak
sederhana, jenaka, dan tetap mempunyai konotasi seksual seperti “Bokong Semok”,
Perawan randha padha wae mas Perawan janda sama saja mas
Senajan ompong enak rasane Biarpun ompong enak rasanya
terasa. Tema lagunya sederhana, menceritakan keluhan seorang lelaki saat menikahi
wanita yang ternyata janda dan mempunyai anak banyak. Sifat kedaerahannya
65
tampak dengan menggunakan lirik Bahasa “Jawatimuran”, seperti kata „melok‟ dan
„bisa‟ yang jika dalam Bahasa Jawa gaya Jogja atau Solo dilafalkan „melu‟ (ikut) dan
„isa‟ (bisa). Ini sedikit banyak menunjukkan tumbuh kembangnya musik ini tak jauh-
jauh dari Jawa Timur. Dari Konotasi sensual tampak seperti bait “nanging aku sik
bisa, diwolak-walik kaya nggoreng tela” (tapi aku masih bisa dibolak-balik seperti
menggoreng ketela), yaitu mengartikan bahwa walaupun sudah janda berumur tua
tapi masih bisa diajak berhubungan seksual dengan baik, tubuhnya bisa dibolak-balik
seperti ketika „menggoreng ketela‟. Pada lirik “sing penting mbokne enak rasane”
(yang penting ibunya enak rasanya) mengartikan walaupun menikah dengan janda
yang mempunyai anak banyak, tapi tidak masalah karena tubuh ibunya masih
seksual seperti lagu di atas merupakan ciri khas lagu-lagu dangdut koplo pada
umumnya.
Dalam perkembangan saat ini, dangdut koplo tidak hanya menyanyikan lagu
dangdut atau atau lagu daerah saja. Lagu-lagu pop yang sedang menjadi hits di tanah
air tak lepas dari sasaran untuk „di-koplo-kan‟. Sudah menjadi kebiasaan grup
dangdut koplo yang mengaransemen lagu-lagu yang bukan dangdut untuk dimainkan,
bahkan juga lagu kenangan dan lagu Barat. Lagu-lagu remaking yang sering
dibawakan OM-OM dangdut koplo ini seperti yang tertera pada tabel berikut:
66
Lagu-lagu yang sedang populer yang sering dibawakan grup dangdut koplo:
Ada bangunan musik yang berbeda antara lagu pop yang diaransemen koplo
dengan lagu dangdut „pure‟ (murni/konservatif) saat dibawakan grup dangdut koplo.
Pada lagu dangdut pure, irama koplo dimainkan dari awal sampai selesai. Sedangkan
pada lagu pop setengah lagu berirama seperti musik aslinya, dan setengah lagi
berirama koplo. Irama koplo biasanya dimainkan pada sesudah refrain yang pertama
sampai lagu selesai (Lihat gambar 3.3). Durasi lagu juga lebih panjang dari lagu
aslinya. Ada nuansa yang unik saat permainan gendang koplo masuk menggantikan
Intro Verse Line 1 Refrain 1 Intro Verse Line 2 Refrain 2 Solo/Interlude Seterusnya
Dalam sebuah petunjukkan dangdut koplo saat ini malah lebih banyak lagu
pop yang digubah menjadi koplo dibandingkan membawakan lagu dangdut sendiri.
Dengan meng-cover lagu pop menjadi koplo, membuat dangdut lebih mudah diterima
oleh masyarakat luas. Irama koplo yang cepat, mengentak, dan memberikan kejutan
tempo yang lambat, maupun lirik yang cengeng. Lagu-lagunya pun akrab ditelinga
karena memainkan hits yang dibuat koplo. Inovasi-inovasi ini semakin membuat
membicarakan Purawisata, karena tempat hiburan rakyat ini sudah sejak dari tahun
Palms Café, Bamboo Café, Montana Café, Takashimura, juga pada even-even
Gambar 3.4. Purawisata tampak dari depan sebelum pertunjukan dangdut dimulai
(Nindyo BK, Oktober 2011)
Pada perkembangannya saat ini, genre koplo yang sedang menjadi trend di
dangdut atau OM (Orkes Melayu) yang pentas di sana selalu membawakan lagu-lagu
dangdut koplo populer dengan aransemen yang sama seperti grup dangdut koplo di
tempat lain. Penampilan para penyanyinya pun tak jauh beda dengan penyanyi-
kota-kota lain seperti di Taman Remaja Surabaya dan Taman Hiburan Jaya Ancol
Jakarta yang mempunyai ciri khas yang sama, yaitu menawarkan pertujukkan
dangdut dengan tiket yang murah, serta penyanyi-penyanyi dangdut kelas yang
ini akan dibatasi tentang hal yang berkaitan dengan pertunjukan dangdutnya saja,
mengingat akan terlalu luas jika membahas tentang segala aspek di dalam Purawisata.
Pusat Seni dan Budaya Purawisata atau yang lebih sering disebut dengan
tengah kota, yaitu Jl. Brigjend Katamso Yogyakarta sekitar satu kilometer dari
Malioboro. Purawisata yang bediri pada tahun 1989 ini pada awalnya ditujukan
sebagai tempat untuk pementasan Sendratari Ramayana. Selain itu juga dilengkapi
dengan Taman Ria sebagai tempat arena bermain anak-anak dan rekreasi keluarga
menggelar pertunjukan kesenian Kethoprak dan Orkes Melayu. Tetapi sejak tahun
secara reguler dengan nama “Panggung Terbuka Dangdut Live Music”. Hal ini
dangdut di panggung terbuka setiap hari. Karena minat masyarakat yang semakin
70
meningkat, pada tahun 1999 pertunjukan dangdut ini menjadi hiburan utama
berkembang dan bisa dikatakan menjadi barometer pertunjukan dangdut DIY dan
Jateng, sehingga banyak OM dan penyanyi dari berbagai daerah yang tampil di sini 38.
Pada masa ini pun Purawisata juga dikenal dengan pertunjukan dangdutnya yang
panggung. Adanya penampilan penyanyi yang seperti inilah yang menyedot banyak
pengunjung pria untuk datang menonton. Namun penampilan yang sensual tersebut
mengundang kecaman dari berbagai pihak, salah satunya adalah DPRD DIY yang
merasa hal tersebut dapat merusak citra Purawisata dan juga bagi Yogyakarta
Atas adanya tekanan ini, pada tahun 2001 diberlakukan peraturan bagi OM
dan penyanyi untuk lebih „sopan‟ pada saat tampil di Purawisata. Beberapa poin
sensualitas penyanyi dangdut seperti Kostum artis wajib sopan (pakaian panjang
mengubah syair lagu dengan kata-kata yang jorok; dan melakukan komunikasi
38
Sebagai tempat yang telah lama menggelar pertunjukan dangdut secara rutin dan digemari
masyarakat luas , Purawisata menjadi ajang bagi OM ataupun penyanyi mempromosikan diri untuk
disewa dalam event yang lebih besar. Sebab penghasilan yang didapatkan dari pentas di Purawisata
sangat minim dan tidak sesuai dengan biaya penampilan mereka. Keterangan selengkapnya lihat
Christy dalam Dangdut Purawisata: Kajian Fungsi Elemen dan Interaksi Antar-Elemen dalam
Pertunjukan Dangdut di Purawisata (2008).
71
dengan pengunjung dengan bahasa yang sopan39. Dengan adanya peraturan ini
diharapkan untuk mengurangi kesan negatif yang melekat. Walaupun pada awalnya
peraturan ini berefek pada turunnya jumlah pengunjung, namun kondisi ini tak
peraturan tersebut.
belaka karena lambat laun para OM maupun penyanyi semakin mengabaikan aturan-
aturan yang telah ditetapkan. Seperti dalam penelitian Christy mengenai Purawisata
tetap berpenampilan seksi, misalnya mengenakan rok mini dipadu dengan celana tipis
ketat (legging) atau hotpants dengan pakaian atasan tanpa lengan. Terlebih dalam
soal atraksi, mereka sepertinya telah 'lupa' peraturan menjaga kesopanan di atas
visualisasi di atas panggung yang cukup mudah untuk dianggap vulgar oleh
pelarangan atau apapun (Ibid). Penampilan para penyanyi dangdut Purawisata yang
39
Ada empat poin peraturan yang lain, tapi hanya sekedar peraturan normatif seperti kedisiplinan
dalam kehadiran dan juga ketertiban saat tampil. Pada tahun 2004 ditambah dua poin peraturan lagi
yaitu (1) Batas minimal usia penyanyi adalah SMP dan (2) Penyanyi wajib mengenakan celana
panjang. Ada peraturan yang tak tertulis lainnya seperti seleksi yang lebih ketat bagi para OM dan
penyanyi untuk menghindari kesan vulgar. ibid
72
kembali vulgar inilah yang bertahan sampai saat ini, bahkan lebih vulgar dari
Rabu, Kamis, dan Sabtu) setiap pukul 20.00 sampai pukul 23.30. Dalam spanduk
promosinya, pertunjukan hari Senin berjudul In-Dangdut, hari Rabu Dangdut Never
Dies, hari Kamis Dangdut Kita, dan hari Sabtu Dendang Sabtu Malam. Walaupun
mempunyai judul sendiri pada setiap hari pertunjukannya, namun tidak ada yang
reguler lain seperti Beatles Nite, Tembang Abadi Koes-plus dan Kethoprak Mataram
yaitu OM Latansa setiap hari Senin, OM New Satria setiap hari Rabu dan OM OBB
setiap hari Kamis. Untuk malam Minggu (Dendang Sabtu Malam) grup dangdut yang
tampil digilir, yaitu OM Latansa setiap minggu pertama, OM New Satria untuk
minggu kedua, OM Nurkrista untuk minggu ketiga, dan OM OBB untuk minggu
penyanyi wanita yang dibawa setiap OM. Setiap pertunjukan dangdut, OM membawa
„rombongan‟ sebanyak enam sampai sepuluh penyanyi wanita. Para penyanyi ini
tidak terikat dengan satu OM tertentu dan diperkenankan tampil untuk untuk setiap
OM. Misalnya dalam spanduk di atas, penyanyi dangdut Selly Arnelita, Dede Selvia
dapat bernyanyi untuk OM Latansa dan OM Nurkrista. Bahkan penyanyi Dwi Anisa
tampil dengan OM Latansa, OM New Satria dan OM Nurkrista sekaligus. Bisa juga
asalkan ada kesepakatan antara ia dan OM yang tampil. Ini disebabkan tidak ada
Gambar 3.6. Foto para penyanyi dangdut yang terpampang pada spanduk di atas loket penjualan tiket
Purawisata (Nindyo BK, Oktober 2011)
Harga tiket masuk pertunjukan dangdut Purawisata untuk hari Senin, Rabu
dan Kamis seharga Rp. 8000, sedangkan khusus hari Sabtu tiket masuk seharga Rp.
15.000. Perbedaan harga ini merupakan strategi untuk menarik pengunjung pada hari-
hari selain Sabtu, karena biasanya diluar akhir pekan antusiasme pengunjung rendah.
Walaupun begitu, dari pengamatan penulis melihat bahwa pada setiap pertunjukan
Dendang Sabtu Malam jumlah penonton tetap lebih banyak daripada pertunjukan
dangdut di hari lain. Jika hari Sabtu pengunjung yang datang sekitar 200-300 orang,
pada hari Senin, Rabu dan Kamis hanya berjumlah sekitar 150-200 orang40.
seringnya suasana masih sepi pengunjung. Para personil OM juga baru melakukan
checksound pada jam segitu. Pengunjung mulai berdatangan jika sudah mendekati
pukul 21.00, maka pada waktu itu pula pembawa acara atau MC (Master of
40
Pengamatan bulan September-Oktober 2011
75
Ceremony)41 membuka acara dengan kata-kata sambutan. Jika suasana masih belum
ramai juga maka biasanya MC akan memberitahukan kepada pengunjung agar segera
jumlah penyanyi sering belum komplit walaupun acara sudah dibuka oleh MC. Maka
Rata-rata dalam setiap petunjukkan acara dimulai sekitar pukul 21.00. Maka
MC akan memanggil penyanyi yang mendapat giliran pertama untuk tampil. Setiap
penyanyi yang naik ke panggung akan diiringi musik instrumental dari OM sebagai
intro saja. Yang selalu terjadi adalah ketika penyanyi yang berpenampilan „seksi‟
sudah berada di atas panggung, penonton yang tadinya masih duduk-duduk di kursi
per satu penyanyi tampil bergiliran pada sesi pertama. Banyaknya lagu yang
dibawakan tiap penyanyi tergantung oleh jumlah penyanyi yang dibawa OM, jika
yang dibawa hanya lima sampai tujuh penyanyi maka setiap peyanyi menyanyikan
dua lagu dalam satu sesi, tapi jika lebih dari itu panyanyi hanya akan menyanyikan
satu lagu saja. Setiap lagu yang dibawakan adalah lagu yang di-request penonton.
Penyanyi selalu menawarkan lagu kepada penonton pada saat naik panggung. Irama
41
MC bukan dari pihak Purawisata. Setiap OM membawa MC sendiri yang sekaligus menjadi
penyanyi laki-laki jika ada lagu yang menghauskan duet penyanyi laki-laki dan perempuan.
76
dangdut koplo atau aura „kedaerahan‟ sangat kental dilihat dari lagu-lagu yang
dibawakan.
Pertunjukan ini dibagi dalam dua sesi. Penjelasan di atas adalah sesi pertama
yaitu dari awal dimulai pertunjukan sampai pukul 22.00. Setelah itu adalah waktu
istirahat sekitar 30 menit. Lampu panggung dimatikan dan diputarkan lagu dari
operator, uniknya yang sering diputar adalah lagu Hip-hop. Hal yang sering dilakukan
pada saat jeda ini adalah: para personel OM maupun penyanyi mendatangi kolega
yang umumnya laki-laki di tempat duduk; penonton ada yang tetap di tempat
dimulai lagi, ada juga yang keluar dari arena Purawisata untuk bersantai sejenak di
Angkringan. Pada jeda inilah pengunjung biasanya memesan lagu kepada personil
Sesi kedua dimulai tepat pada pukul 22.30. Sesi ini memutar giliran penyanyi
lagi seperti pada sesi pertama, tentunya dengan lagu-lagu yang berbeda. Lagu-lagu
yang dimainkan pada awal sesi ini biasanya lagu yang di-request oleh pengunjung
Penutup
Pada bab ini telah dijelaskan seluk beluk dangdut koplo yang mencakup arti
kata, kemunculan, asal-usul ritme dan karakter musiknya. Dari penjelasan di atas kita
tahu bahwa karakteristik musikalitas dangdut koplo ini begitu berbeda dengan
dangdut sebelumnya. Ada kesan aliran ini berupaya untuk merombak dan
77
Perombakan dilakukan pada ritme dilakukan antara lain ciri khas gendang yang
senggakan yang dimainkan oleh pemain tamborin dan simbal. Banyak pendapat yang
muncul tentang asal mula ritme ini, antara lain berasal dari pukulan gendang reog
yang dikombinasikan dengan unsur pop, rock, metal, atau disko. Ini menunjukkan
bahwa dangdut koplo sebagai dangdut 'daerah' yang bersenyawa dengan musik-musik
populer lainnya. Musik ini dapat dilihat sebagai sintesis antara dangdut dan pop
menjadi koplo. Di samping itu, sebagai musik pinggiran, dangdut koplo tetap
koplo di Purawisata dan kondisinya saat ini. Informasi di atas dapat menjadi landasan
koplo di Purawisata secara lebih detail. Penekanan dilakukan pada musik yang
Purawisata.
78
BAB IV
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana aliran koplo menjadi trend
musik dangdut saat ini. Begitu juga dalam pertunjukan dangdut Purawisata, dangdut
jenis ini lebih dominan dimainkan dibandingkan musik dangdut yang lebih orisinal
layaknya Orkes Melayu. Malahan yang lebih sering terdengar ialah alunan musik
berirama pop, rock, disco, ataupun etnik. Akan tetapi karena ini merupakan
asosiasikan sebagai musik dangdut, seperti adanya alat musik gendang ketipung,
seruling, sedikit suara cengkok, penampilan „seksi‟ penyanyi sampai atraksi goyangan
penyanyinya. Para penonton pun bernyanyi dan berjoged seperti umumnya konser-
konser dangdut.
walaupun musik koplo telah begitu berbeda dari karakteristik musik dangdut
sebelumnya, namun toh ia dianggap sebagai apa yang disebut „dangdut‟ dengan
segala atribut yang dibawanya. Oleh sebab itu, pada bab ini saya akan memaparkan
tentang bagaimana musik dangdut koplo dimainkan oleh OM dan para penyanyi di
pertunjukan dangdut Purawisata. Ini mencakup proses adopsi aliran koplo dari para
dalam melihat acara ini. Pendeskripsian ini bertujuan untuk melihat bagaimana
pengaruh dangdut koplo Jawa Timur mulai merebak. Dangdut ini memperoleh
Purawisata pun mengadopsi aliran ini. Sebenarnya para musisi dan penyanyi dangdut
Purawisata lebih condong ke musik dangdut pure42 karena lebih dapat menuangkan
jiwa „dangdut‟ mereka. Selain itu adanya dangdut koplo pun menyebabkan
penyanyi di Jawa Timur, dan menyebabkan Purawisata mendapat citra negatif dari
42
Genre dangdut yang lebih otentik dan mengacu pada lagu-lagu dangdut lama yang lebih pelan,
mendayu-dayu, dan cengkok yang kental. Berdasarkan penjelasan Bento, personil OM Latansa.
80
mengembalikan musik mereka ke dangdut pure lagi, dan pihak manajemen membuat
peraturan tentang kesopanan penyanyi. Namun yang terjadi adalah pengunjung yang
“Ada dangdut Koplo itu memang dangdut jadi tambah disukai orang mas,
naiknya cepet, orang pada hafal lagu-lagunya. Itu juga bikin goyang
penyanyi-penyanyinya tambah vulgar. Tapi saya mikir kalau naiknya cepet,
turunnya pasti juga cepet, kayak trend kan sekarang gitu. Juga banyak
pihak yang „teriak‟ dengan penampilan kayak gitu. Karena itu kami dan
musisi mengembalikan lagi ke „dangdut klasik‟ dan kami buat peraturan
tentang kesopanan penyanyi. Tapi habis itu ternyata penonton sepi mas,
Purawisata mau hancur. Ya kami kembalikan lagi ke dangdut koplo itu”
(Dewo P.L.O, 23 Oktober 2011)
pengunjung datang lagi. Peraturan yang semula ditetapkan dengan ketat diberikan
walaupun tetap tidak boleh terlalu „erotis‟ 43. Semakin lama musik dan penampilan
antara grup dangdut koplo Jawa Timur dan Purawisata tak bisa dibedakan lagi, dan
inilah yang bertahan sampai saat ini. Dewo mengaku belum ada teguran atau kritik
Diakui Dewo bahwa pengunjung yang datang saat ini semakin ramai dan
berasal dari berbagai kalangan. Tak hanya masyarakat menengah ke bawah saja,
eksekutif, mahasiswa, dan turis domestik maupun asing. Hal yang mendukung
43
„Tidak terlalu erotis‟ ini hanya peraturan tak tertulis saja, batasan-batasannya pun tak terlalu jelas.
Menurut Dewo seperti jangan bergoyang seperti adegan persetubuhan, tetapi pada kenyataannya
atraksi tersebut kerap kali tampak, seperti menggoyangkan pinggul maju mundur sambil bergelayut di
badan personil OM.
81
pendapat ini seperti banyaknya pengunjung yang menggunakan mobil, juga tempat
duduk yang dipenuhi pengunjung yang memesan bir atau minuman lain yang
dalam dunia dangdut Purawisata ini sebagian besar dipengaruhi oleh trend yang
sedang naik dan juga karena permintaan pasar. Hal senada diungkapkan Bento, begitu
memasukkan permainan koplo sekitar lima tahun yang lalu, sejak aliran ini populer di
Jawa Tengah. Alasan grup dangdutnya mengadopsi genre koplo karena menuruti
pangsa pasar, karena merasa itulah musik yang sedang populer dan banyak peminat.
Bento sendiri mengaku lebih suka musik dangdut yang lebih kental irama melayunya
dari pada koplo. Namun ia harus berkompromi dengan keadaan yang memaksanya
untuk lebih banyak memainkan dangdut koplo seperti dalam penggalan wawancara di
bawah ini:
“Kalau saya sendiri sih nggak terlalu suka koplo mas, saya lebih suka yang
piur. Itu terus terang nggak kayak musik dangdut sebelumnya, sulit
dirasain. Tapi ya gimana lagi, lha wong sekarang orang mintanya itu..”
(Bento Latansa, 16 Oktober 2011)
idealisme musiknya bahkan „menyetir‟ selera musik penggemarnya. Maka itu wajar
jika seorang Bento menekan sisi idealisnya untuk tidak memainkan lagu dangdut
pure, agar ia dan grup dangdutnya tetap laku dan digemari pengunjung pertunjukan
dangdut Purawisata. Di luar faktor tersebut, memang seperti yang telah dijelaskan
dalam bab-bab sebelumnya bahwa dangdut koplo telah muncul menjadi trend
dangdut pada era ini. Sehingga sedikit banyak para pendukung kebudayaan dangdut
Purawisata, hal menarik lain yaitu upaya dan siasat para musisi OM dan penyanyi
dangdut koplo ini mekar di Jawa Timur. Lagu-lagu dangdut koplo yang populer di
daerah itu pun banyak ditiru dalam pertunjukan dangdut di daerah lain, begitu juga
dengan aransemen musik dan atraksi di atas panggung. Pun lagu-lagu dan penampilan
di atas panggung juga diadopsi oleh para musisi OM dan penyanyi di pertunjukan
dangdut Purawisata.
Banyak cara dilakukan para OM dan penyanyi untuk meniru genre dangdut
4444
Tidak hanya di panggung dangdut daerah saja, namun jika kita mencermati saat ini musik koplo
telah sering dimainkan dalam panggung musik yang disiarkan televisi, misalnya Opera Van Java,
konser dangdut Indosiar ataupun TPI. Hanya saja kemasannya lebih „diperhalus‟ dari panggung
dangdut daerah; kevulgaran dan goyangan erotis dihilangkan serta komposisi musik dibuat secara
orkestra. Walaupun begitu ciri-ciri seperti senggakan dan pola musik mincid dapat terlihat jelas.
83
mengamati lagu apa saja yang sedang populer. Informasi lagu populer bisa datang
dari radio, televisi, atau VCD. Tak jarang mereka mengakses google atau youtube
untuk melihat perkembangan apa yang sedang terjadi pada OM-OM besar di Jawa
Timur seperti OM Sera, OM Palapa, atau OM Sagita. Musik dan video rekaman
dalam media tersebut digunakan OM dan penyanyi untuk menangkap apa yang
dihadirkan dalam pertunjukan dangdut koplo yang sebenarnya (Turino, 2008: 68).
Poin penting lain yaitu mereka selalu mempertimbangkan request lagu penonton di
setiap pentas, info-info lagu dari kerabat, ataupun ketika kontak dengan grup-grup
dangdut lain.
Hal yang sama juga terjadi pada OM OBB. Untuk mendapatkan referensi lagu
yang akan dibawakan, OM OBB biasanya melihat lagu apa yang sedang populer dan
sering di-request penonton. Selain itu mereka sering melihat mengakses internet
untuk melihat lagu-lagu apa saja yang dibawakan oleh grup-grup tenar Jawa Timur
Begitu juga yang dilakukan oleh Selly Arnelita, penyanyi dangdut Purawisata
yang masih duduk di kelas dua SMA ini. Selain itu ia juga mengamati dari persebaran
Mp3 teman-temannya maupun download lagu sendiri. Lagu-lagu yang ia pelajari pun
biasanya dari lagu dangdut koplo, baik itu dangdut pure atau pop yang dikoplo yang
telah dipopulerkan oleh OM-OM tenar. Hal ini seperti pendapat Ahimsa-Putra (2000)
84
bahwa pembiasan seseorang terhadap aliran musik tertentu tak lepas dari penggunaan
media-media komunikasi, seperti halnya radio, TV, Mp3 dan internet tersebut.
Dari penjelasan di atas jika boleh digolongkan, terdapat dua sumber dimana
OM dan penyanyi memperoleh informasi yang tak hanya lagu, namun juga
dibawah ini:
•Radio
•Televisi
Media •Internet
•VCD
dangdut saja, tetapi juga bisa lagu pop atau rock yang „enak‟ untuk diaransemen
dangdut koplo. Proses aransemen pun menjadi hal menarik ketika mereka menggubah
suatu lagu menjadi berirama koplo. Seperti yang diungkapkan oleh Bento Latansa:
Hal yang mirip diungkapkan manajer OM OBB 45, Iwan Gilas. Ia berkata
bahwa proses aransemen musik diserahkan kepada personil OBB, namun ia tetap
ditekankan, karena menurut Iwan kalau meniru persis dengan aslinya dianggap
kurang menarik:
“Saya sih terserah anak-anak (personil) mbawain lagunya mas, tapi yang
penting jangan ngaset (persis seperti lagu aslinya -pen), soalnya itu nggak
laku. Sekarang kan jaman koplo, jadi kalau mengaransemen lagu pop ya
dibuat koplo. Itu anak-anak sudah tahu caranya, tapi tetap saya dampingi.
Kalau nggak, suka pada berantem” (Iwan Gilas, 20 Oktober 2011)
peranan sentral dalam proses aransemen lagu menjadi irama dangdut koplo46. Seperti
dan bagaimana peran personil yang lain mengikuti improvisasi tersebut. Misalnya
apakah sebuah lagu pop akan dibuat irama koplo seluruhnya atau setengah saja;
model „patahan‟ pukulan gendang akan diikuti semua personil, atau beberapa saja;
45
Perlu diketahui bahwa OM ini cukup berbeda dengan OM lain. Semua personil muda, berumur
sekitar 20 tahunan. Gaya penampilan mereka cukup nyentrik, bergaya punk, rambut disemir, keyboard
dimiringkan, dan berlari kesana-kemari layaknya band rock. Mereka juga sering memasukkan unsur
rock dalam lagu-lagu yang dibawakan.
46
Pentingnya peran pemain gendang dalam mengawal sebuah lagu dangdut koplo dapat kita lihat
antara lain seperti ketika OM pentas, mata semua personel mengarah ke pemain gendang pada saat
lagu masuk pada improvisasi atau perpindahan bait yang sulit.
86
Memang hal ini memakan waktu lebih lama dibanding membawakan lagu
dangdut koplo populer dimana lagu sudah diaransemen oleh grup-grup yang
menyebarkannya. Maka seperti yang dikatakan Iwan Gilas, jika waktu pentas cukup
padat mereka hanya membawakan lagu-lagu dangdut koplo yang telah populer atau
yang banyak di-request saja, dan tidak perlu diaransemen kembali. Selain itu
lagu, karena para penyanyi yang tidak tetap membuat mereka tidak selalu dapat
berlatih bersama.
Arnelita. Ia mengaku tidak setiap tampil dengan suatu OM harus selalu latihan dulu,
padahal ia bernyanyi untuk beberapa OM. Jarangnya latihan dengan setiap OM tidak
terlalu dipermasalahkan karena lagu-lagu dan polanya pada setiap OM hampir sama.
penyanyi yang tidak hanya terikat pada satu OM saja. Sehingga yang terjadi adalah
pola lagu-lagu yang dibawakan dan penampilan para OM dan penyanyi sangat mirip
satu sama lain, bahkan persis dengan OM-OM tenar Jawa Timur yang videonya
C. Performance
lagu, performance penyanyi, interaksi dengan penonton, dan respon penonton sendiri
mempunyai tiga grup dangdut yang tampil reguler setiap minggunya, yaitu OM OBB,
OM New Satria dan OM Latansa serta satu OM non-reguler untuk mengisi pada hari
sabtu malam, minggu ketiga setiap bulannya. OM non-reguler ini biasanya berasal
Walaupun setiap minggunya grup yang tampil berganti-ganti, namun tak ada
penulis, kesamaan setiap OM antara lain seperti (1) formasi personelnya, (2) lagu
yang dibawakan, (3) aransemen dan improvisasi (4) atraksi di atas panggung, (5)
interaksi personel dengan penyanyi. Sehingga di sini penulis tidak secara khusus
Dari segi formasi personel, OM yang tampil di Purawisata seperti halnya OM-
pengamatan, formasi dan posisi panggung para personel selalu tetap. Susunan
3 3 4 4
6 6
2 2 9 9 5 5 6 7
6 6 6 6 6
1 X 8
1 8
6 6
Posisi ini sedikit banyak menentukan gaya mereka di panggung dan interaksinya
dengan penyanyi maupun penonton, seperti yang akan dijelaskan dibawah. Formasi
dan posisi panggung seperti pada gambar di atas inilah yang merupakan keadaan
Pada segi lagu yang dibawakan, ada kecenderungan OM-OM yang tampil
membawakan komposisi lagu yang sama. Dari lagu-lagu yang dimainkan saya
mencoba membedakan antara yang jenis lagu yang berirama dangdut melayu
(pure/piur) dengan lagu dangdut atau pop yang diaransemen koplo. Dari sekitar 20
lagu yang dibawakan dalam satu malam, kurang lebih 75 persen adalah lagu dangdut
atau pop yang berirama koplo, misalnya saja “ABG tua”, “Bukan Bang Thoyib” atau
“Angge Orong-orong”. Sedangkan sisanya adalah lagu dangdut lawas yang masih
kuat corak melayunya seperti “aduh nyai”, “sebotol minuman”, dan “cukup sekali”.
89
Hal ini menunjukkan bahwa lagu-lagu berirama koplo lebih digemari dan menggeser
Dalam aransemen dan improvisasi, secara umum penjelasan ini tak jauh
berbeda dengan yang dipaparkan sub-bab sebelumnya, bahwa corak musikal OM-OM
di pertunjukan dangdut Purawisata tak berbeda jauh dengan OM-OM dangdut koplo
„suasana‟ koplo seperti yang dijelaskan dalam bab 3. Namun ada hal menarik seperti
ketika OM OBB yang berisikan anak muda memasukan lebih banyak unsur rock
dalam lagu-lagu yang dibawakan. Ternyata tanggapan penonton atas aransemen dan
improvisasi tersebut tak terlalu positif. Banyak penonton yang diam dan hanya
menonton saja karena mungkin irama „rock-dangdut‟ tersebut tak terlalu enak untuk
joged. Hal yang berbeda terjadi OM membawakan lagu dangdut koplo, maka crowd
penonton akan meningkat dan banyak yang berjoged mengikuti alunan lagu. Ini
sambil memainkan alat musiknya, kecuali pemain tamborin dan MC. Selain
penyanyi, aksi pemain tamborin ini paling menyita perhatian penonton karena
gerakannya yang atraktif. Hampir setiap pemain tamborin suatu OM selalu bergerak
Gambar 4.4. Aksi Pemain Tamborin dan MC dengan Penyanyi di Atas Panggung (Nindyo B.K)
Interaksi dengan penyanyi ini menjadi aspek teatrikal personel OM yang juga
satunya karena struktur formasi OM dangdut koplo. Pemain tamborin yang notabene
tak terlalu „sibuk‟ dan tempatnya yang leluasa dapat bergerak bebas. Aksi seperti ini
juga sering dilakukan MC jika ia mendapat jatah duet menyanyi dengan penyanyi
seperti gambar di atas. Sikap personel yang atraktif inilah yang menjadi ciri khas
pertunjukan dangdut koplo seperti yang mudah kita dapati di pertunjukan dangdut
koplo lainnya, dan yang dapat membedakan dengan pertunjukan dangdut melayu
sebelumnya.
47
Seringkali penyanyi dan pemain tamborin bergoyang dengan gerakan yang mudah diasosiasikan
dengan adegan senggama, seperti penyanyi menjengking dan pinggul pemain tamborin maju-mundur
ke arah pantat penyanyi.
91
2. Penyanyi
Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa dalam semalam
yang semuanya wanita. Selain suaranya yang dijual sebagai tugas seorang „penyanyi‟,
tak kalah penting adalah penampilan dan atraksi mereka di atas panggung. Seperti
tampak sebagai keharusan untuk menarik minat penonton. “Penonton mana yang gak
senang lihat penyanyi seksi?” Seperti kata salah satu penyanyi Purawisata Endang
Karisma48. Maka terlihat bahwa semua penyanyi ini tidak ada yang tak tampil seksi.
Paling tidak mereka berusaha untuk tampil seseksi mungkin, dalam hal pakaian
maupun goyangan.
Dari segi pakaian yang dikenakan dapat berupa rok mini, gaun, hotpants,
setelan atas you can see atau yang lain. Tetapi yang pasti hampir semua penyanyi
memamerkan pahanya, belahan dada, bahkan tak sedikit yang membiarkan celana
dalamnya49 terlihat (lihat gambar 4.5). Tentang keseksian tubuh ini seringkali
Yona Santika! Penyanyi seksi dengan tubuh aduhai dan goyangan hot yang akan
48
Christy, Des, Dangdut Purawisata: Kajian Fungsi Elemen dan Interaksi Antar-Elemen dalam
Pertunjukan Dangdut di Purawisata (2008: 48)
49
Celana dalam yang terlihat ini mungkin bukan cawat tapi semacam short hitam ketat yang fit dengan
pangkal paha.
92
menghibur anda semua!”50. Ini memperlihatkan bahwa yang „dijual‟ bukan hanya
atraksi (goyang) di atas panggung untuk menonjolkan penampilan yang „hot‟. Atraksi
goyang penyanyi di atas panggung ini memperlihatkan pola-pola seragam, antara lain
menungging dan menggoyangkan pantatnya; (3) mengangkat satu kaki saat masuk
„patahan‟ (mincid) lagu; (4) menggoyangkan pantat di pinggul personel OM; atau (5)
goyang pinggul tepat di atas penonton (di bibir panggung). Atraksi yang terakhir ini
Gambar 4.5. Aksi Para Penyanyi dengan Penampilan Seksi di Purawisata (Nindyo B.K)
menyanyikan judul pilihannya sendiri. Lagu yang mereka nyanyikan lebih banyak
50
Pengamatan 14 September 2011 dengan grup yang tampil OM New Satria.
93
request dari penonton atau „titipan‟ dari kerabat OM atau penyanyi 51. Setiap kali
penyanyi naik panggung mereka akan memberi salam dengan genit dan menawari
penonton mau dinyanyikan lagu apa. “Enaknya nyanyi lagu apa inii?? Apa, Ngamen
menanggapi teriakan-teriakan request lagu dari penonton yang bersiap joged di dance
floor. Jelas, dalam hal ini semua penyanyi harus hafal lagu-lagu mana saja yang
Begitu musik dimainkan OM, langsung saja para biduan ini bernyanyi
penyanyi di sini yang berdiri anteng ketika menyanyi, tingkah laku mereka selalu
atraktif. Tentunya perilaku atraktif penyanyi ini sedikit banyak dibentuk oleh irama
musik koplo, karena gerak penyanyi akan selalu menyesuaikan ketukan gendang yang
bertalu cepat. Hal ini diakui oleh salah satu penyanyi Selly Arnelita seperti dalam
penuturan berikut:
“ Dangdut sekarang sama dangdut dulu (melayu) beda mas. Kalau dulu kan
slow-slow gitu. Udah gitu lagunya kebanyakan yang sedih-sedih. Kalau
sekarang malah banyak lagu-lagu pop yang dikoplo, iramanya cepet.
Makanya sekarang goyangnya (penyanyi) di panggung nya juga tambah
keringetan mas..hehe (Selly Arnelita, 23 Oktober 2011)
yang mengikuti irama inilah dapat menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan-
gerakan yang dicap seksi, vulgar atau seronok di atas panggung dangdut koplo.
51
Pada saat sesi rehat, penyanyi dan OM biasanya berkumpul dengan kenalan atau kerabatnya di café
Calipso. Saat sesi kedua dimulai, MC dan OM seringkali mendapat permintaan lagu dari teman
mereka.
94
Kesesuaian antara aspek musikal dan aspek visual itulah yang kurang didapatkan
pada pertunjukan dangdut sebelum era koplo52. Dari sudut pandang ini, kemunculan
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa penyanyi dangdut koplo
juga kemampuan mereka untuk mengumbar sensualitas. Bahkan kualitas vokal pun
banyak suara nyanyian mereka tidak stabil –terputus-putus atau tak sampai pada nada
yang tinggi. Meskipun judulnya adalah „pertunjukan dangdut‟, tapi jangan harap
mendengarkan cengkok suara yang merdu. Apalagi yang dimainkan lebih banyak lagu
pop yang dikoplo dari pada lagu dangdut melayu yang syahdu.
3. Penonton
52
Aprinus salam dan Faruk dalam bukunya Hanya Inul (2003) menulis bahwa era dangdut sebelum
Inul banyak terjadi ketidaksesuaian antara aspek musikal/tekstual dengan aspek visual. Contohnya saja
penyanyi Vetty Verra tampil dengan tarian yang amat lincah dan dinamik ketika membawakan lagu
“sedang-sedang saja”. Padahal tarian tersebut tidak sinkron dengan musik maupun lirik lagunya.
53
Pada wawancara Inul Daratista di tayangan dokumenter TvOne tentang dangdut koplo 2011, Inul
menceritakan suatu ketika ia protes kepada para pemain OM-nya lantaran lagu-lagu dangdut yang
dimainkan terlalu pelan dan tak dapat mengakomodasi goyang ngebornya. Maka, dalam setiap
penampilannya Inul meminta semua lagu untuk dikoplo.
95
pemaknaan akan tanda atau suatu pesan bisa berbeda-beda antar individu atau
kelompok, karena ruang pemaknaan bisa terbuka lebar. Begitu pun yang terjadi pada
koplo Purawisata ini secara umum bisa dikategorikan menjadi (1) penonton duduk,
OM dan penyanyi sembari duduk-duduk di kursi café Calipso yang ada di belakang
dance floor54. Penonton yang masuk kategori ini bisa diperkirakan sebagai kelas
menengah ke atas. Ini bisa dilihat dari penampilan mereka yang rapi dan kasual serta
menikmati bir dan makanan café yang harganya lumayan mahal 55. Sikap mereka
menikmati pertunjukan dangdut tampak santai, tenang, tidak berapi-api, atau duduk
sambil berbincang dengan temannya, seperti ketika menikmati konser musik jazz atau
orkestra56. Dalam keadaan menonton seperti ini, respon mereka terhadap suguhan
musik dan juga penampilan di atas panggung tidak terwujud melalui tingkah laku
54
Kategori Penonton duduk ini berbeda dengan penonton yang juga duduk-duduk di tepi dance floor
sambil mendongak ke panggung menikmati goyangan penyanyi.
55
Mobil-mobil yang berderet di parkiran mungkin saja milik penonton dari kategori ini.
56
Ada kalanya mereka ikut berjoged di dance floor ketika dirasa musik atau penampilan penyanyinya
menarik. Tapi ini tidak lama, sebentar saja mereka lantas kembali ke tempat duduk.
96
Kedua adalah penonton joged, yaitu para pengunjung yang berjubel di dance
floor sambil berjoged di depan panggung. Penonton di sini kebanyakan anak muda
laki-laki, tapi tak sedikit pula „bapak-bapak‟, „ibu-ibu‟ bahkan kadang juga waria.
menengah ke bawah. Bau alkohol mudah tercium jika masuk kerumunan ini.
dari mereka tidak lagi menatap panggung, tapi segera berjoged dengan setengah
mengetahui liriknya. Golongan penonton inilah yang lebih menikmati aspek musikal
dari pada suguhan performance lain seperti goyangan penyanyi misalnya. Sikap ini
terlihat jelas ketika „ibu-ibu‟ dan penonton langganan lain memilih membelakangi
Gambar 4.6. Aksi para penonton; penonton wanita yang njoged membelakangi panggung
dan seorang penonton yang mabuk (Nindyo B.K)
97
berkerumun mepet di bibir panggung. Karakteristik sosial penonton ini tak jauh
berbeda dengan penonton joged, mungkin yang menguatkan ciri mereka antara lain
semuanya laki-laki, anak muda, dan kebanyakan mabuk. Seperti namanya, tujuan
mereka berada di depan panggung yaitu untuk mempelototin atraksi penyanyi dan
nginjeni kathok (celana) penyanyi. Ini bisa dilihat ketika OM baru tampil dan
memainkan lagu pembuka yang hanya dinyanyikan MC, panggung hanya diisi oleh
pengunjung yang berjoged di dance floor. Namun pada saat si penyanyi seksi naik ke
panggung, mereka langsung saja merapat ke bibir panggung dan suasana pertunjukan
pun menjadi semarak. Penonton kathok ini juga sering berinteraksi dengan sang
penyanyi, tapi bukan untuk request lagu melainkan nylekopi „mengejek sekenanya‟
Pada saat lagu dimainkan mereka tidak berjoged atau bernyanyi. Penonton
golongan ini memilih sikap diam sambil menikmati sensualitas yang diatraksikan
oleh penyanyi dari dekat. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang merekamnya
gambar dari bawah terlihat jelas bahwa mereka ingin mendapatkan visualisasi kathok
penyanyi. Melihat perilaku penonton ini ada penyanyi pernah menanggapi, “nyoh,
ketok ora? Aku nganggo kathok ki lho!” (nih, kelihatan nggak? Aku pakai celana ni
lho!). Penyanyi lain menanggapinya dengan genit, “wis gek direkam sing suwe mas,
ben kanggo sangu turu kana” (Direkam yang lama mas, biar untuk bekal tidur sana).
57
Istilah ini diperoleh dari Lono L. Simatupang ketika memberikan kuliah.
98
Menariknya tingkah laku intip-mengintip ini sudah bukan lagi hal yang tabu, seperti
Penyanyi sendiri sepertinya tidak kelihatan risih diperlakukan seperti itu, malahan
Gambar 4.7. Penonton Kathok yang Merekam Aksi Penyanyi Dengan HP (Nindyo B.K)
terlalu peduli dengan bagaimana musiknya dan lagu apa yang dibawakan, yang
penting penyanyi tampil seksi dan bergoyang sensual. Di sinilah peran aliran koplo
yang khas.
pengunjung yang menonton sambil menikmati minuman café, lantas turun lantai dan
Di luar respon yang beragam, aspek musikal dan visual ini oleh penonton
dipandang sebagai daya tarik yang terkandung dalam dangdut koplo. Karena ini pula
mereka yang menjadi alasan mereka mengunjungi pertunjukan dangdut koplo seperti
penonton:
“Saya nggak milih-milih OM mana yang main mas, kalau lagi pingin
nonton asal ada uang ya berangkat aja, yang penting musiknya asik, kayak
koplo gitu. Soalnya musiknya lebih seru gitu, penyanyinya juga seksi-seksi,
hahaha”58
Dimas yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang sablon ini tidak terlalu
memilih-milih salah satu grup musik yang tampil, baginya semua sama saja.
dipengaruhi oleh dangdut koplo yang dibawakan oleh grup-grup dangdut Purawisata.
juga hanya melihat penyanyi yang tampil. Penyanyi-penyanyi yang tampil seksi
menonton pertunjukan dangdut, terbukti dari aroma alkohol yang tercium dari
mulutnya. Hal yang sama juga diakui seorang penonton yaitu Rio yang mengatakan
58
Wawancara 22 Oktober 2011
100
hidup sehari-hari. Maka dari itu ia cenderung tidak menyukai OM yang terlalu
banyak membawakan lagu dangdut pure yang terkesan sedih dan mendayu-dayu.
Penutup
Pertunjukan dangdut Purawisata mau tidak mau juga harus mengikuti trend
yang sedang berubah, yaitu dangdut koplo yang sedang populer saat ini. Adopsi
musik koplo di Purawisata juga tak lepas dari faktor ekonomis untuk mendatangkan
kembali pengunjung karena musik itulah yang sedang banyak digemari masyarakat.
Proses adopsi musik koplo oleh OM dan penyanyi dari episentrumnya di Jawa Timur
melalui berbagai cara, antara lain menggunakan sarana media seperti VCD, televisi
Kekompakan permainan OM dan penyanyi menjadi hal penting karena dangdut koplo
Di bab ini disampaikan juga sub-bab performance yaitu untuk melihat apa
Purawisata. Pada lagu yang dimainkan OM kita tahu bahwa lagu pop yang dikoplo
lebih merajai dari pada lagu dangdut otentik sendiri. Penonton juga lebih menyukai
lagu koplo daripada lagu dangdut yang mendayu-dayu. Selain itu, lagu-lagu koplo ini
lebih sensual. Sensualitas di atas panggung ini menjadi satu paket bagi sebuah
pertunjukan dangdut koplo. Karena itu pada kasus Purawisata para penonton ini
101
terbagi atas mereka yang menikmati musik atau yang menikmati penampilan sensual
penyanyi.
Jika boleh menarik ke pembahasan yang lebih luas, apa yang diperlihatkan
bentuk resistensi oleh masyarakat pendukungnya. Paling tidak ada dua, pertama
perlawanan terhadap industri hiburan kelas atas seperti televisi, showbiz ataupun
kesenian tingkat tinggi di mana aspek musikal, tekstual maupun visual seperti di atas
tidak dengan mudah dapat diterima. Namun pada panggung seperti Purawisata
mereka dapat dengan bebas memainkannya. Hal ini seperti pendapat Hatib Abdul
Kadir (2008) bahwa pertunjukan Orkes Melayu menjadi arena untuk memberontak
dari tatanan yang ada untuk membuktikan resistensi. Penilaian yang sama dilontarkan
F.X Rudy Gunawan (2003: 7-14) bahwa pusaran pantat penyani dangdut daerah
Yogyakarta Dulu dan Kini (1996), ungkapan seksual yang terbuka lebar di
pertunjukan dangdut koplo ini merupakan ekspresi ngoko untuk melawan hierarki
di acara seperti pertunjukan dangdut Purawisata saja. Setelah acara selesai, mereka
pun kembali masuk pada struktur hierarki masyarakat yang tak bisa dengan mudah
misalnya.
102
koplo lainnya.
103
BAB V
KESIMPULAN
merupakan salah satu musik yang paling populer (Simatupang, 1996: 62). Ia lahir dari
proses dialektis berbagai unsur budaya, yang ditujukan sebagai sebuah kesenian
pengaruh politik, sosial, ekonomi dan teknologi di Indonesia berperan besar dalam
Indonesia lainnya yang juga mempunyai penggemar cukup besar. Walaupun begitu,
basis sosial penggemarnya sulit untuk kita sejajarkan dengan pop, rock, jazz, atau
musik Barat lain. Dangdut terkesan inferior di dalam pergaulan sosial budaya musik
Indonesia.
percaturan sosial budaya musik Indonesia? Dari awal kemunculannya sampai saat
ini, dangdut selalu terletak pada posisi subordinat jika dibandingkan musik yang
berafiliasi dengan musik barat, seperti pop, rock atau orkestra. Munculnya Orkes
sekaligus membedakan kesenian pribumi terhadap orkes Barat yang lekat pada
bentuk kesenian kolonial. Namun asosiasinya dengan „pribumi‟ pun malah menjadi
linier dengan „rakyat‟,‟ jelata‟, yang berkonotasi kesenian rendahan. Pada era Rhoma
Irama dan setelahnya, stigma dangdut sebagai musik rendahan menguat karena
104
seni rendahan tersebut bukan hanya pada tingkat wacana saja, namun dari
kaum pinggiran. Melalui analisis lirik dan bangunan musiknya tampak bahwa
ini kita dapat melihat bahwa dangdut terbedakan antara kelas atas (nasional) dan
kelas bawah (pinggiran). Dangdut kelas atas ini berawal dari gerak arus dangdut
Rhoma Irama ke arah „nasional‟ dengan jasa industri, kapitalisme, media, politik dan
penampilan yang telah „ditertibkan‟ oleh pemerintah, dan musiknya berkiblat pada
pop-melayu. Sedangkan pada arus yang lain, dangdut pinggiran seperti halnya
dangdut tersebut bersifat politis. Relasi kekuasaan yang didalamnya dangdut kelas
atas tidak hanya menempatkan diri sebagai patron atas dangdut pinggiran, namun
juga berposisi sebagai sumber legitimasi bagi pengakuan terhadap dangdut kelas
bawah itu. Pelarangan dan pencekalan Rhoma Irama terhadap Inul yang
105
membawakan dangdut koplo menunjukkan pola tersebut. Seperti yang telah diuraikan
pada bab 2, pelarangan dari rezim dangdut terhadap dangdut koplo karena dianggap
merusak moral bangsa dan musik dangdut sendiri, yang membuat lembaga politik,
agama, dan media massa turut mencekalnya. Konfrontasi antara kedua aliran dangdut
ini membuat dangdut koplo tidak lebih lanjut terangkat ke dunia hiburan nasional,
tidak ada aturan ketat yang mengekangnya. Hal ini menunjukkan bahwa jika dulunya
Barat, maka saat ini dangdut kelas atasnya-lah yang bersikap otoritatif terhadap
dangdut pinggiran.
menerima keadaannya begitu saja? Tentu tidak. Ada berbagai bentuk perlawanan
yang diungkapkan oleh pertunjukan dangdut koplo. Pada musik yang dibawakan
dangdut koplo membongkar tatanan musik dangdut kelas atas. Seperti yang
didetailkan pada bab 3, unsur yang lekat dengan dangdut konservatif seperti cengkok,
irama chalte, nada syahdu dan lirik yang mendayu-dayu dihilangkan untuk digantikan
dengan ritme yang cepat bertalu, pukulan gendang yang terpotong-potong (mincid),
lirik yang cabul, dan mencampur adukan unsur pop, rock, disco, dan seni lokal. Lagu
yang dibawakan malah lebih banyak lagu pop rock populer nasional bahkan
internasional untuk diiramakan menjadi koplo. Hal ini dapat dilihat bukan hanya
sebagai bentuk regionalized nationality seperti kata Weintraub, namun sudah pada
taraf „regionalized globality‟. Unsur budaya pusat yang ditarik masuk ke pinggiran
106
bukan hanya pada taraf nasional saja, bahkan telah pada skup global. Dengan kata
lain hubungan pusat-pinggiran telah dilenturkan di dalam musik dangdut koplo ini.
dangdut kelas atas sepeti yang kita saksikan di layar kaca. Seperti yang terungkap
di atas panggung menjadi unsur penting dalam pertunjukan dangdut koplo. Bahkan
lebih lanjut ditengarai bahwa musik koplo ini dimainkan agar mendukung penyanyi
untuk tampil atraktif dan sensual. Dengan kata lain, musik dangdut koplo dapat lebih
dangdut koplo ini terbagi antara yang menikmati aspek musikal pertunjukan dan juga
Apa yang ditampilkan dalam pertunjukan dangdut koplo tersebut tentu saja
sangat bertolak belakang dengan himbauan Rhoma Irama agar dangdut tampil lebih
tertib dan sopan59. Pertunjukan dangdut koplo ini bukan saja melawan hegemoni
dangdut adiluhung, namun juga bisa dipandang sebagai perlawanan terhadap rezim
moral dan politik yang membatasi dan mengatur perilaku masyarakat pada kehidupan
sehari-hari. Penampilan penyanyi yang mengumbar aurat dan goyangan „saru‟ serta
penonton yang bisa „dengan bebas‟ nginjeni penyanyi tampaknya sulit ditemui pada
59
Berdasarkan wawancara pada majalah Gatra, No. 15/II 24 Februari 1996
107
dangdut koplo paling tidak memberi ruang bagi para musisi dan penyanyi untuk
mengeksplorasi kreativitas musik dan penampilan mereka. Dangdut tidak lagi berdiri
dalam mengemas musik ini terbukti malah lebih digemari oleh masyarakat. Dengan
adanya perkembangan teknologi seperti internet dan VCD, dangdut koplo saat ini
malah lebih tersebar luas dibanding dangdut kelas atas yang jarang tampil sudah di
tidak hanya dari kalangan bawah seperti anggapan penonton dangdut biasanya,
namun tak sedikit dari kalangan menengah bahkan atas. Hal ini menunjukkan bahwa
dangdut pinggiran tidak lagi di bawah bayang-bayang dangdut kelas atas sebagai
tandingan, sebuah oase dari rakyat kecil di tengah kehidupan yang penuh rezimentasi
kapital, politik, dan budaya, di tengah hiburan-hiburan massa yang mahal dan
eksklusif. Akan tidak adil ketika seni seperti ini dilarang karena dianggap liar atau
60
Kemunculan Ayu Ting-ting sebagai ujung tombak dangdut nasional saat ini pada medio 2011
sebenarnya pengaruh dari dangdut daerah yang sebelumnya populer. Ini bisa dilihat bahwa
kemunculannya secara nasional hampir bersamaan dengan Mela Barbie yang membawa pong-dut atau
Ratna Antika dengan dangdut koplonya. Namun ketika ternyata hanya Ayu Ting-ting yang dapat
bertahan lama di industri hiburan nasional, ia malah menghilangkan unsur musik dangdut dalam
pertunjukannya dan digantikan dengan pop-disco atau house.
108
merusak moral, sementara hiburan lain yang sama permisifnya dibiarkan terbuka
hanya karena mempunyai basis sosial ekonomi yang berbeda. Maka pembatasan dan
larangan terhadap bentuk-bentuk kesenian seperti ini sama saja dengan pengekangan
hasrat seperti yang dulu dilawan oleh Rhoma Irama. Hasrat dari apa? Tentunya dari
fantasi dan aspirasi golongan masyarakat yang jujur, medok, dan apa adanya, di mana
Biarkan ia tetap menjadi „bahasa‟ pinggiran. Ke mana lagi „rakyat‟ mencari hiburan
Barthes, Roland
2004 “Mitologi”. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Budiman, Hikmat
2002 Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Christy, Des
2008 “Dangdut Purawisata: Kajian Fungsi Elemen dan Interaksi Antar-Elemen
dalam Pertunjukan Dangdut di Purawisata.” Skripsi Jurusan Antropologi
FIB UGM
Cook, Nicholas
2003 “Music as Peformance”, dalam Martin Clavton, Trevor H., dan Richard M.
(peny.) The Cultural Study of Music. New York: Routledge. Hlm. 204-214
Frederick, William H.
1982 “Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian
Popular Culture.” Indonesia 34: 102-130
Foucault, Michel
2000 Seks dan Kekuasaan, S. H. Rahayu (Penterj.) Jakarta: Gramedia
Geertz, Clifford
1992 “Art as a Cultural Knowledge” dalam “Local Knowledge”. New York: Basic
Book Inc.
Gunawan, Rudy FX
2003 Mengebor Kemunafikan: INUL, Seks, dan Kemunafikan. Yogyakarta: Galang
Press.
Hardjana, Suka
2004 Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Kompas.
2004 Esai & Kritik Musik. Yogyakarta: Galang Press.
Harsojo
1967 Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta
Hatch, Martin
1985 “Popular Music in Indonesia” dalam Popular Music Perspectives 2. D. Horn
(ed) Goteborg, Exeter: IASPM
Hebdige, Dick
1999 Subculture; The Meaning of Style. London dan New York: Routledge
Hefner, Robert
1987 The Politics of Popular Art Tayuban Dance and Culture Change in East Java.
Indonesia 43: 75-94
Holt, Claire
1967 Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ithaca-New York: Cornel
University Press
Holt, Fabian
2007 Genre in Popular Music. Chicago: University Chicago Press
Ismangoen, Soerjanto
1991 “Musik Pop Dangdut: Sebuah Kenyataan yang Patut Diperhatikan” dalam
Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita, Soedarso SP. (ed).
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta
Kleden, Ignas
1988 Paham Kebudayaan Clifford Geertz dalam “Rencana Monografi” The Society
for Political and Economic (SPES) dan LP3ES dalam kerjasama dengan
Friedrich Naumann Stiftung (FNS)
Koentjaraningrat
1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: P.T. Rineka Cipta
Laksono, P. M.
1997 “Budaya Yogyakarta Dulu dan Kini” dalam Koentjaraningrat dan
Antropologi di Indonesia, Masinambow (ed). Jakarta: YOI dan IKAPI Jakarta.
2011 Memahami Kebudayaan (Indonesia) Dari Perspektif Antropologi. (Bahan
untuk pembahasan RUU Kebudayaan dari Pendamping Ahli Komisi X DPR
untuk pembahasan RUU Kebudayaan).
Mack, Dieter
2007 Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi
Merriam, Alan P.
1964 The Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press
Nakagawa, Shin
1999 Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Nettl, Bruno
2004 Folk Music. Microsoft Encarta Encyclopedia.
Pasaribu, Amir
1986. Analisis Musik Indonesia. cetakan I. Jakarta: P.T. Pantja Simpati
Redfield, Robert
1953 The Primitive World and Its Transformations. Ithaca New York: Cornell
University Press
1989 The Little Community, Peasant Society and Culture. Chicago: The University
of Chicago Press
Rusbiantoro, Dadang
2008 Generasi MTV. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra
Schieffelin, Edward L.
1998 “Problematizing Performance”, dalam Felicia Hughes-Freeland (peny.)
Ritual, Performance, Media. New York: Routledge. Hlm. 194-207
Soedarsono, R.M.
2002 Seni Pertunjukan: Dari Perpektif Politik, Sosial dan Ekonomi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Soemardjan, Selo
1980 “Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan”, dalam Analisis Kebudayaan.
Jakarta: Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 19-26
Shepherd, John
1993 “The Analysis of Popular Music” dalam The Polity Reader in Cultural
Theory. Oxford: Blackwell Publisher
Storey, John
2002 Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam
Supanggah, Rahayu,
1995 Etnomusikologi (Ed). Yogyakarta Yayasan Bentang Budaya
.
Suparlan, Parsudi
1993 “Kemiskinan di Perkotaan”. Jakarta: Yayasan Obor
Taryanto, H.S
2010 Genre Musik Dangdut dalam Perubahan. Diakses dalam
hstaryanto.wordpress.com pada 18 Mei 2011.
Trilaksono, Wahyu
2009 Goyang atau Joged Sebagai Sebuah Seni Pertunjukan dalam Musik Dangdut.
Jakarta: Kuliah Sejarah Kesenian Universitas Indonesia
Turino, Thomas
2008 Music as Social Life: The Politics of Participation. Chicago Studies in
Ethnomusicology: Paperback.
Weintraub, Andrew N.
2010 Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular
Music. New York: Oxford University Press Inc.
Wicaksana, Inu
1996 Aspek Psikiatrik Penyalahgunaan Ekstasi dalam Makalah Semiloka “Peran
Keluarga dan Sekolah dalam Penangulangan Narkoba, Miras, dan Ekstasi”
Fak. Psikologi UST 5 Desember 1996
Yampolsky, Philip
1991 “Indonesian Popular Music: Kroncong, Dangdut and Langgam Jawa”.
Washington, DC: Smithsonian Folkways
Laman Terkait
http://www.cemetz.mywapblog.com/2010/01/sejarah/dangdut/koplo
http://www.forum.kompas.com/2011/08/sekilas/sejarah/dangdut/koplo
http://www.jelajahbudaya.com/2010/05/dangdut/ koplo/predator/musik/populer
http://www.kompasiana.com/2011/01/kendang/kempul/musik/asli/banyuwangi
http://www.keyboardiz.com/2010/05/ sejarah/musik/dangdut/koplo /indonesia
http://www.rileks.com/2007/07/dokumentasi/musik/indonesia
http://www.rizafahlevi.blogspot.com/2009/09/ketika/dangdut/tak/lagi/melayu
GENEALOGI ALIRAN (GENRE) DALAM DANGDUT
Orkes Melayu
1950an (OM Chandraleka, OM Pancaran Muda, Ellya Khadam)
Pop-Rock Amerika
Film India
Unsur Tradisional
Musik
Kesenian Pop-Rock
Tradisional Populer