Anda di halaman 1dari 125

Dangdut Koplo

Perlawanan Kaum Pinggiran

SKRIPSI
Oleh:
Nindyo Budi Kumoro

07/254923/SA/14108
JURUSAN ANTROPOLOGI BUDAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
Dangdut Koplo
Resistances of the Peripheral Society

Nindyo Budi Kumoro


07/254923/SA/14108

DEPARTEMENT OF CULTURAL ANTHROPOLOGY


FACULTY OF CULTURAL SCIENCE
GADJAH MADA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2012
F
r
t
t

i
Skripsi ini telah diterima oleh

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Padatanggal: .......

Penguji Utamal Anggota

l^(
qY>
Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono. M.A

Pembimbing/ Anggota
KATA PENGANTAR

Mengapa dangdut? Pertanyaan yang sering muncul dari orang-orang di


sekeliling, bahkan di benak saya sendiri. Mungkin ada anggapan umum kalau
penelitian itu mbok yang berbobot, yang kedengaran ilmiah apa gimana. Apa menulis
dangdut mempunyai bobot? Entahlah, tapi itu yang sekuat tenaga saya upayakan
dalam tulisan ini. Juga, karena pada dasarnya saya suka musik. Hanya sekedar suka,
tak berharap/mampu jadi musisi atau penyanyi. Jika saat ini saya mendapati hidup
dalam dunia antropologi, maka dengan itulah saya luapkan rasa cinta terhadap musik.
Terdengar melankolis memang, ‘meluapkan rasa cinta’. Baiklah, tapi kenapa harus
dangdut? Mungkin paling mudah menjawabnya ia adalah musik yang berada dalam
dunianya wong cilik, dunia yang hangat, yang penuh perjuangan untuk hidup, dan
dunia yang saya tempati saat ini.
Alih-alih saya memikirkan apa kata orang tentang dangdut. Anggapan umum
bahwa dangdut musik comberan sangat tidak berarti dalam kerangka ilmu
pengetahuan. Telah banyak tulisan mengenai dangdut yang secara ilmiah mempunyai
level yang sangat terhormat, baik ditulis oleh ilmuwan Indonesia maupun luar negeri,
yang dapat ‘berbicara’ dalam skup nasional dan internasional. Tapi lantas bukan
berarti juga saya gegeden rumangsa berniat menjadikan tulisan ini mempunyai
‘bunyi’ seperti para ahli itu. Tujuan saya sederhana saja; menyelesaikan kewajiban
saya sebagai mahasiswa S1, menerapkan ilmu etnografi dengan (berupaya) sebaik
mungkin, dan sekali lagi, meluapkan rasa cinta terhadap antropologi. Maka dengan
alasan-alasan itulah skripsi ini ditulis.
Jika dalam proses penulisan ini saya mendapati jalan yang cukup rumit, maka
itu karena semata-mata keterbatasan pada kemampuan saya. Untuk itu pertama-tama
izinkanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Pujo
Semedi Hargo Yuwono M.A atau Mas Pujo begitu saya memanggil, yang membuat

iii
segalanya menjadi lebih mudah. Melalui bimbingan dan motivasinya lah skripsi ini
dapat selesai. Maturnuwun juga kepada Dr. Lono L. Simatupang M.A yang sedikit
banyak membantu dalam tulisan ini. Begitu pula dengan staf pengajar jurusan
Antropologi Budaya FIB UGM lain yang telah mentransfer ilmu-ilmunya dengan
hebat. Juga kepada Mas Sarwo yang memberi saya keleluasaan dalam mengakses
buku-buku di perpustakaan Antropologi, dan Mbak Win atas bantuan pengurusan
administrasi.
Terimakasih dan penghargaan juga saya berikan kepada teman-teman atas
saran diskusinya; Rio Heykal B., Dian Lintang S., F. Apriwan, Resha Zulfikri,
Wendy Lesmana, Ratna Puspita I., Titis Intan P., Dian Sekar A.A., Bilowo Sinu P.,
dan Rizki Andi S., di Spektrum Space Literacy dan teman-teman Antropologi UGM;
Robert B. Alvano, C. Larastiti, Dewi W., Gaffari R., Michel H.B., Manggala I.,
Ardana K., dan tentunya kepada Annarizky Putri, serta lainnya yang sulit saya
sebukan satu-satu. Selain itu kepada Mas Dalijo yang telah meminjamkan bukunya
yang sangat bermanfaat.
Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada segenap manajemen Purawisata
serta para musisi dan penyanyi yang menyuguhkan pertunjukan yang memukau. Juga
kepada kakak saya Probo Pramudito, dan saudara saya yang lain.
Bagi saya, skripsi ini tak sekedar sebuah tumpukan kertas berisi kata-kata
ngalor-ngidul. Lebih dari itu, didalamnya terdapat tanggung jawab, hutang budi,
penantian, dan rasa terimakasih paling besar, yang terbungkus rapi oleh kertas dan
pita kado warna-warni. Sebuah kado yang saya persembahkan kepada bapak dan ibu
saya.

Nindyo Budi Kumoro


26 Maret 2012

iv
DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….…………iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..iv
INTISARI…………………………………………………………………………….vi
ABSTRACT…………………………………………………………………………vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….viii

BAB I.
PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..12
C. Kerangka Pemikiran……………………………………………………..12
D. Metode Penelitian………………………………………………………..18

BAB II. SEJARAH DAN PROGRESIVITAS DANGDUT……………………….20


A. Awal Mula Orkes Melayu....…………………………………………….22
B. Kemunculan “Dangdut”………………………………………………….28
C. „Nasionalisasi‟ Dangdut………………………………………………….32
D. Kembalinya Dangdut „Kelas Bawah‟……………………………………36
E. Dangdut Sebagai Musik Pinggiran………………………………………42

BAB III. DANGDUT KOPLO, WAJAH DANGDUT SAAT INI…………………53


A. Dangdut Koplo…………………………………………………………...54
1. Asal Usul Ritme koplo……………………………………………….57

iii
2. Karakteristik Musik………………………………………………….60
B. Purawisata, Barometer Dangdut Yogyakarta……………………………66
1. Sekilas Sejarah Dangdut Purawisata………………………………...68
2. Dangdut Purawisata Saat Ini…………………………………………71

BAB IV. MUSIK KOPLO DALAM PERTUNJUKKAN DANGDUT


PURAWISATA……………………………………………………..........77
A. Mengapa Dangdut Koplo Dimainkan?......................................................78
B. Proses Adopsi Genre Dangdut Koplo........................................................81
C. Performance……………………………………………………………..85
1. Grup Dangdut (O.M)………………………………………………...86
2. Penyanyi……………………………………………………………..90
3. Penonton……………………………………………………………..93

BAB V. KESIMPULAN…………………………………………………………...102

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………108
LAMPIRAN………………………………………………………………………..114
1. Genealogi Aliran (Genre) dalam Dangdut……………………………..114

iv
INTISARI

Dangdut, sebuah musik yang lahir dari proses dialektis berbagai unsur
budaya. Kemunculannya ditujukan sebagai sebuah kesenian populer ‘asli’ pribumi
untuk menandingi bentuk-bentuk kesenian luar. Pengaruh politik, sosial, ekonomi dan
teknologi di Indonesia berperan besar membentuk musik ini. Dalam pergaulan musik
Indonesia selanjutnya, dangdut selalu terletak pada posisi inferior jika dibandingkan
dengan musik populer lainnya. Sedikit banyak ini dikarenakan basis sosial
penggemar dangdut adalah masyarakat menengah ke bawah dan membedakan diri
dengan musik-musik populer yang mempunyai penggemar kalangan menengah ke
atas. Sebagai musik yang tersubordinasi, dangdut menyuarakan hal-hal yang dapat
dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi musik atau kelas sosial di
atasnya. Perlawanan ini bisa dilihat dari berbagai macam bentuk, mulai dari repertoar
sampai penampilan panggungnya. Walaupun begitu, dangdut yang dianggap sebagai
musik masyarakat pinggiran ini ternyata juga mempunyai kelas bawahnya sendiri.
Tidak lain ia adalah aliran dangdut pinggiran, di mana bisa dibedakan dengan aliran
dangdut golongan atas atau arus ‘nasional’ yang dikenal masyarakat luas melalui
media massa dan televisi. Salah satu dangdut pinggiran dengan efek penyebaran
begitu luas di masyarakat ialah dangdut koplo, yang menjadi fokus pada tulisan ini.
Dangdut koplo mempunyai bentuk revolusioner pada musik maupun
penampilannya. Tidak seperti dangdut konvensional yang terkesan lamban dan
mendayu-dayu, musik ini menawarkan beat yang lebih cepat, hentakkan gendang
khas koplo, dan tak ketinggalan atraksi erotis penyanyinya. Sehingga dangdut ini
tidak lagi menjual kesyahduan nada cengkok maupun ritme chalte, namun juga
keseksian tubuh penyanyi yang bergoyang enerjik mengikuti irama koplo. Jika
sebelumnya dikatakan bahwa dangdut adalah musik perlawanan terhadap dominasi
lain, maka perombakan aspek musikal dan visual pada dangdut koplo ini dapat dilihat
sebagai bentuk resistensi terhadap dangdut mainstream yang telah mapan secara
nasional. Tak hanya itu, dangdut koplo juga berupaya meleburkan batas-batas antara
pusat-pinggiran dengan cara-cara mereka sendiri.
Bagaimanakah fenomena itu terjadi dalam sebuah panggung pertunjukan
dangdut Purawisata Yogyakarta? Bagaimana musik ini mewakili bentuk kesenian
masyarakat pinggiran?

Kata Kunci: Dangdut koplo, pinggiran, nasional, musik, penampilan, perlawanan


ABSTRACT

Dangdut, a music that was born from a dialectical process of cultural


elements. Its emergence intended as a indigenous native popular art to counterbalance
towards Western art forms. Political, social, economic and technological dynamics
that occurred in Indonesia played a major role in shaping this music. In the realm of
Indonesian music subsequently, dangdut is always located in the inferior position
compared to other popular music. In the some extent this is caused the social base of
dangdut fans are the lower middle and distinguish themselves with the other popular
music which has middle-upper class fans. As the subordinate music, dangdut voicing
the matters that can be viewed as a forms of resistance against domination of music
and social class on it. This resistance can be seen from a variety of forms, ranging
from the repertoire up to its stage performances. Nevertheless, dangdut which is
considered as a suburb music also has its own lower classes. It could be called as
dangdut pinggiran, which could be distinguished from the mainstream of this genre
(“dangdut national”) that is widely known through the mass media and television.
One of dangdut pinggiran with vast effects in society is namely dangdut koplo,
which became the focus in this paper.
Dangdut koplo has a revolutionary forms in its music and performances.
Unlike the conventional dangdut which has slow tempos and lilting, dangdut koplo
offers a faster rhythm, koplo typical drum beat, and also singer's erotic attraction.
Thus, this music are no longer sells cengkok tones and chalte rhythms like early
dangdut, but also sexiness of the singer's body swaying (bergoyang) follows the
rhythm of koplo. If previously dangdut known as resistance against other domination,
then the reform of musical and visual aspects in dangdut koplo can be seen as a form
of resistance to mainstream dangdut which nationally popular. Furthermore, dangdut
koplo also attempts to dissolving the boundaries between the center-periphery with
their own ways.
In looking at the progression of dangdut, how is the phenomenon occurred in
the stage of dangdut show Purawisata Yogyakarta? How does this music represents
an art forms of peripheral communities?

Keywords: Melayu Orchestra, dangdut koplo, periphery, national, music, resistants


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah sejak lama jika mendengar kata „dangdut‟, yang ada di kepala ini

adalah seni murahan, jelata, monoton, dan cengeng. Mendengar musiknya, memaksa

saya terbawa ke suasana sumuk, layaknya berada di pasar, warteg, mantenan, atau bis

kota di mana ia sering diputar. Kesan-kesan itu menempel di benak saya dan

beranggapan bahwa dangdut bukan suatu hal yang menarik, bahkan untuk dituliskan.

Anggapan ini sedikit berubah tatkala hampir dua minggu saya terus-menerus dicekoki

dangdut. Tepatnya ketika melakukan penelitian lapangan di Petungkriyono tahun

2009, di mana orang-orang sana hobi sekali menyetel lagu dangdut tiap hari. Kuping

saya „terpaksa‟ mendengar dangdut dan melihat goyangan penyanyinya yang diputar

keras-keras lewat VCD. Namun perlahan-lahan saya bisa menikmati musik ini, bukan

karena „ternyata asik juga‟, tapi lebih ke kekaguman tentang pembawaan musikal

yang menurut saya sangat kreatif.

Selain mendengarnya tiap hari, saya pun sempat memainkan dangdut (nge-

jam) bersama pemuda-pemuda setempat di studio musik sederhana yang ada di sana.

Tak langsung bisa, ternyata memainkannya sulit; mulai dari gitar yang penuh melody,

bass yang dipetik dengan sarat variasi, sampai permainan gendang yang rancak (“tak
2

tung deng dang duut”). Belum lagi suara cengkok vokalnya. Intinya selain harus

memiliki skill bermusik, orang yang memainkan pun harus punya sense of dangdut.

Di luar semua itu, hal yang membuat saya lebih tertarik kepada musik ini

ialah munculnya dangdut dalam bentuknya yang „masa kini‟. Masih di Petung,

dangdut yang saya saksikan di VCD bukanlah dangdut yang monoton dan medayu-

dayu ala Meggy Z atau Iis Dahlia, namun dangdut yang unik, enerjik, atraktif dan

juga, sensual. Dangdut gaya ini musiknya bertempo cepat, penuh semangat, yang

berpadu dengan pop, rock, disco, juga unsur lokal seperti jathilan. Sebagaimana

kebanyakan pemuda perkotaan yang lebih kenal lagu-lagu pop dan rock, saya pun

menjadi tertarik ketika dangdut dikolaborasikan dengan musik-musik populer

tersebut. Persenyawaan musik dangdut gaya baru ini bukan dalam gaya Soneta-nya

Rhoma Irama yang hanya mengambil unsur rock dengan ragu-ragu, namun bahkan

mengambil lagu pop, rock, reagge, house, diiramakan menjadi dangdut.

Di samping itu, irama dangdut genre ini mempunyai ciri yang sangat khas.

Pembawaan musik dalam sebuah lagu merombak tatanan sebelumnya, yaitu ritme

gendang dimainkan dengan pola irama „terpotong-potong‟ (mincid) (Weintraub,

2010: 216). Jika anda pernah mendengar sebuah lagu dangdut yang gendangnya mirip

dengan pukulan Jathilan atau Jaipongan, dan di sana-sini ada irama yang mandeg-

mlaku, disusul dengan „senggakan‟ “hokya-hokya, joss!”, itulah musik yang saya

maksudkan.

Bukan hanya itu, karakteristik yang sangat lekat dengan dangdut ini adalah

penampilan panggung para penyanyi wanita yang sensual. Penyanyi kebanyakan


3

wanita dengan menggunakan pakaian menyala, norak, sekaligus minim yang

menonjolkan paha, pinggul, dada serta bergoyang sangat enerjik. Dari goyang kepala,

goyang dada, goyang pantat sampai goyang kaki. Kadang-kadang si penyanyi wanita

ini „menggoda‟ laki-laki pasangan bernyanyinya atau para personel OM (Orkes

Melayu) dengan menggerakkan pinggulnya maju-mundur layaknya adegan

senggama, plus dengan desahan yang mudah diasosiasikan ke ranah seksualitas.

Sayup-sayup terdengar bahwa dangdut model inilah disebut dengan koplo.

Dangdut koplo ini berkembang di daerah Jawa Timur dan mempunyai karakteristik

musik dangdut yang bercampur baur dengan musik pop maupun tradisional. Ciri khas

musik koplo adalah improvisasi ketukan gendang yang „mengagetkan‟ sepanjang

lagu, juga selalu menampilkan penyanyi „seksi‟ dengan goyangan yang sangat

enerjik.

Dengan karakter seperti di atas, mudah kita untuk mengatakan bahwa ia

merupakan dangdut kelas pinggiran. Ya walaupun bisa dibilang merupakan hiburan

kelas menengah-ke bawah, dangdut ini telah berkembang pesat di masyarakat luas.

Begitu mudah menemukan VCD dangdut koplo bajakan di pedagang kaki lima

pinggir jalan dengan sampul penyanyi wanita berpenampilan „hot‟. Begitu juga jika

searching melalui situs youtube.com atau google.com, terdapat ribuan video maupun

lagu dangdut dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan di lingkungan kampus pun

kini sering terdengar alunan lagu dangdut koplo dari handphone para mahasiswa.
4

Fenomena ini sedikit banyak menunjukkan bahwa dangdut „kelas bawah‟ kembali

menjadi trend di masyarakat1.

Meskipun telah beredar luas dangdut ini tetap disebut „pinggiran‟ karena

pertunjukan tersebut marak digelar di panggung-panggung kelas „rakyat‟, di pesta

hajatan kampung-kampung. Selain itu, jika pun saat ini kita menyaksikan

pertunjukkan dangdut koplo di televisi sulit rasanya untuk menemui sensualitas

penyanyi atau gubahan musik layaknya pertunjukkan dangdut koplo di daerah-daerah.

Tetap terdapat sensor atau perapian sendiri agar dianggap „pantas‟ masuk ke dalam

dunia hiburan skala nasional. Jadi walaupun dangdut koplo ini telah dinikmati

masyarakat banyak, tidak lantas ia menjadi mainstream karena masih ada represi

untuk menunjukkan bentuk aslinya.

Dari sini kita dapat membedakan antara dangdut pinggiran seperti koplo di

atas dengan dangdut pada level „nasional‟ dengan artis-artis seperti Rhoma Irama,

Ikke Nurjanah, Camelia Malik, sampai Ayu Ting-ting, yang mendayu-dayu dan

„sopan‟. Perbedaan keduanya paling tidak mencakup aspek produksi dan distribusi,

sorotan media, musikalitas, repertoar lagu, dan visualisasi di atas panggung. Dari

1
Ketenaran dangdut koplo ini tidak sebatas di Jawa atau di Indonesia saja namun sudah sampai luar
negeri. TvOne dalam program “Bukan Jalan-jalan Biasa” 5 Agustus 2011 menayangkan komunitas
dangdut koplo yang ada di Jepang. Mereka orang-orang asli Jepang yang diantaranya pernah ke
Indonesia. Komunitas ini secara rutin memainkan dangdut koplo di studio yang dibuka untuk umum.
Pertunjukan ini dinamai “Dangdut Koplo Surabaya”, seperti yang tertera pada tiketnya, dengan grup
bernama OM Hatikumi. Musik dan penampilan mereka sangat persis dengan dangdut koplo di
Indonesia, seperti musik „patah-patah‟, „senggakan, plus dengan penyanyi wanita yang berpenampilan
seksi berikut goyangannya. Hanya saja lagu-lagu seperti Goyang Dombret dinyanyikan dengan kaku
karena menggunakan lafal Jepang dan penyanyi pun tak tahu arti liriknya.
5

aspek sosiologis yang melatarbelakangi kedua arus dangdut itu nyatanya juga

berbeda.

Akan tetapi walaupun dangdut level „nasional‟ (mainstream) dan dangdut

pinggiran ini secara riil berbeda dalam banyak hal, namun keduanya masih dianggap

sebagai sesuatu yang sama atau sering dicampur adukan. Paling tidak dari tulisan-

tulisan atau penelitian mengenai dangdut yang ada, tak banyak yang membedakan

keduanya secara khusus.

Tulisan mengenai dangdut dalam skala umum antara lain William H.

Frederick (1982) dalam esai panjangnya yang bertajuk “Gaya Dangdut Rhoma

Irama: Aspek-aspek Kebudayaan Pop Indonesia Kontemporer”. Di dalamnya ia

memaparkan tentang perkembangan dangdut dari awal sekali, yaitu ketika permulaan

kolonialisasi di bumi Nusantara di mana pada masa itu paduan antara alat musik

Indonesia, Arab, dan Barat dimainkan bersama-sama dalam tanjidor (Frederick, 1982:

4). Lantas ia menjelaskan bagaimana musik ini terbentuk dengan melewati

serangkaian proses pergolakan sosial, politik dan budaya (sejarah tentang dangdut

akan dipaparkan pada bab II). Namun tulisan ini pada intinya fokus terhadap Rhoma

Irama sebagai founding father dari musik ini, sehingga tidak terlalu menekankan

bagaimana perkembangan dangdut daerah. Selain itu, esai ini diterbitkan pada tahun

1982 di mana dangdut daerah seperti halnya koplo belum menunjukkan wajahnya

secara luas.

Dalam tulisan Martin Hatch (1985) bertajuk Popular Music in Indonesia dan

Philip Yampolsky (1991) berjudul Indonesian Popular Music: Kroncong, Dangdut,


6

and Langgam Jawa telah sedikit menyinggung tentang perbedaan antara model musik

daerah dan nasional-populer. Musik populer Indonesia dikarakteristikkan (1)

dinyanyikan dalam bahasa nasional, (2) elemen musik (instrumen, timbre, melodi,

ritme, dan organisasi formal) berdasarkan pada model Barat, (3) perekaman musik

diproduksi di Jakarta oleh suatu kelompok produser sentral dan disirkulasikan dalam

jaringan media nasional. Sedangkan musik lokal populer dikarakteristikan dengan (1)

dinyanyikan dalam bahasa lokal, (2) mempunyai elemen musik tradisional, (3)

diproduksi dalam studio rekaman lokal dan untuk pasar lokal. Di sini, dangdut masuk

pada kategori yang pertama karena dapat bereksistensi secara nasional. Padahal jika

melihat fenomena sekarang kedua karakter lokal-nasional tersebut bercampur-baur

pada dangdut lokal khususnya koplo. Atas dasar itu, pengamatan dangdut pinggiran

secara tekstual mestinya harus dilihat terlepas dari sekat-sekat tajam antara instrumen

daerah maupun nasional.

Perhatian terhadap dangdut pinggiran ini paling tidak kembali menguat ketika

fenomena goyang ngebor Inul mengemuka pada awal 2000-an. Inul yang menjadi

besar karena membawa atribut-atribut dangdut pinggiran sehingga secara otomatis

dangdut level bawah ini juga terangkat. Sorotan tak hanya dari media massa dan

televisi, namun juga dari berbagai tulisan dan buku. Salah satunya adalah dari F.X

Rudy Gunawan (2003) dalam bukunya Mengebor Kemunafikan; INUL, Seks dan

Kekuasaan. Buku kecil ini menguak tentang kontroversi sosok Inul di tengah

berbagai persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, moral, agama dan

persoalan lain yang melanda masyarakat Indonesia pada waktu itu (Gunawan, 2003:
7

iii) melalui analisis wacana-wacana yang tersebar di media massa. Di dalamnya kita

dapat melihat bahwa dangdut pinggiran ini sebenarnya telah mekar sejak sekitar dua-

tiga dekade lalu. Panggung-panggung dangdut di pelosok-pelosok telah sejak lama

menampilkan goyangan penyanyi yang erotis dan berani (Gunawan, 2003: 6).

Pada tahun yang sama tulisan yang hampir mirip muncul yaitu pada karya

Faruk dan Aprinus Salam (2003) berjudul Hanya Inul. Di dalamnya mereka

mengatakan bahwa perkembangan dangdut gaya Inul (pinggiran) mencuat ke

permukaan karena teknologi video recording yang berpengaruh menggantikan aspek

musikal dan lirikal pertunjukan dangdut dengan aspek visualnya (Faruk dan Salam,

2003: 121). Ini berarti bahwa segi penampilan, goyangan, dan keseksian penyanyi

menjadi hal yang terpenting pertunjukan dangdut dalam skup nasional. Di sisi lain,

perkembangan ini ditentang oleh otoritas dangdut „nasional‟ yang bersikeras

mempertahankan dangdut konservatif dengan gaya sok sopan, dan mendayu-dayu,

moralis. Ini berujung pada perang wacana di media massa antara rezim Rhoma Irama

dan pihak Inul, yang jika di lihat dari sisi lain juga merupakan pertarungan antara

dangdut kelas atas versus dangdut kelas bawah.

Tulisan lain yang menceritakan perkembangan musik ini dengan panjang

lebar yaitu Dangdut Stories karya Andrew N. Weintraub (2010). Buku ini diklaim

sebagai kajian musikologis pertama yang menganalisis perkembangan stilistika musik

dangdut. Di dalamnya sedikit banyak telah menyinggung perbedaan dangdut

„nasional‟ dan dangdut „lokal‟. Paling tidak hal ini telah tersimbolkan dari kutipan

pernyataan mantan Mensesneg Mooerdiono pada pertengahan 1990-an yang


8

menyatakan, ”Dangdut membuat kita lebih empati satu sama lain.” Di sisi lain buku

ini juga mengutip Emha Ainun Nadjib pada awal 2000-an menyatakan, ”Pantat Inul

adalah wajah kita semua.” Moerdiono mewakili pandangan dari ”atas” (negara) yang

mengidealkan peran dangdut dalam budaya nasional. Emha mewakili pandang dari

”bawah” (rakyat) mencermati realitas sosial yang tercermin lewat dangdut

(Weintraub, 2010: 154).

Di samping itu, dalam buku ini Weintraub memaparkan tentang

perkembangan dangdut lokal yang salah satunya melahirkan koplo. Menurutnya,

genre ini merebak setelah kepopuleran dari Inul Daratista. Selain itu kepopuleran

dangdut ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi cam-corder dan VCD yang

dapat didistribusikan secara pribadi. Lagu-lagu dalam dangdut koplo merupakan

mixture antara bahasa nasional maupun Jawa. Begitu pun dengan irama musiknya

yang penuh campuran unsur-unsur lokal. Tak ketinggalan aksi para penyanyinya yang

erotis.

Selanjutnya, kemunculan dangdut daerah seperti koplo ini disebut Weintraub

sebagai fenomena „nasionalitas yang terdaerahkan‟ (regionalized nationality), yang

merupakan efek situasi pasca reformasi dan perkembangan teknologi pada saat itu.

Katanya, pada momen itulah dangdut beramai-ramai mulai dikombinasikan dengan

unsur daerah antara lain dangdut saluang (Minang), pong-dut (Sunda), tarling

(Cirebon), dangdut banjar (Banjarmasin) dan koplo (Jawa) sendiri termasuk salah

satunya (Ibid, 2010: 201). Namun jika dicermati aliran dangdut daerah ini sebenarnya
9

sudah ada sejak lama, hanya saja melalui Inul Daratista dangdut koplo seakan baru

lahir ke permukaan.

Selain itu, kurang tepat jika dikatakan bahwa efek dari situasi tersebut

membuat berbagai daerah di Indonesia beramai-ramai „melokalkan‟ dangdut (Ibid,

2010: 203). Kenyataannya, dangdut koplo-nya Inul ini yang tersebarkan ke berbagai

daerah dan menjadi kegemaran orang seperti halnya di Petungkriyono Pekalongan.

Para musisi lokal pun bukannya mensintesiskan dangdut dengan unsur daerahnya

sendiri, tapi beramai-ramai mengadopsi dangdut koplo. Seperti yang akan saya

tunjukan di bab-bab berikutnya, musisi dangdut di Yogyakarta pun tidak membuat

musiknya berirama gamelan Jogja, namun memainkan dangdut dengan musik yang

kental cengkok koplo Jawa Timuran. Tak hanya itu, jika kita lebih cermat ternyata

panggung hiburan dengan skup nasional pun mengadopsi dangdut koplo, antara lain

program Opera Van Java di Trans7 yang artisnya sering menyanyikan “Iwak Peyek”

di mana sebelumnya dipopulerkan oleh OM Sagita Jawa Timur. Hal ini berarti

bukannya setiap daerah lantas melokalkan dangdutnya, namun dibanding tarling,

pongdut, atau dangdut banjar, ternyata hanya dangdut koplo-lah yang mempunyai

kekuatan sebagai representasi dangdut saat ini, bahkan tak hanya di Jawa Timur.

Penjelasan ini mempunyai implikasi bagi pendapat Weintraub yang ingin

menjelaskan dangdut sebagai prisma untuk melihat masyarakat Indonesia secara

budaya, ekonomi, politik, dan ideologis (Ibid, 2010: 13). Usaha tersebut sulit

dilakukan jika masih melihat dangdut kelas atas dengan indikator irama chalte,

cengeng, mendayu-dayu yang tak lagi menempel pada repertoar dangdut saat ini.
10

Bagaimanapun, fenomena yang dijelaskan Weintraub sebagai regionalized

nationality tersebut dapat dilihat sebagai bentuk interaksi antara nasional dan daerah,

dengan kata lain merupakan relasi pusat-pinggiran; kelas atas-kelas bawah; atau

budaya aduiluhung-budaya jelata. Robert Redfield (1989) dalam bukunya The Little

Community, Peasant Society and Culture membagi dua budaya dalam masyarakat

pertanian, yaitu kebudayaan jelata (pinggiran) dan kebudayaan tinggi (sentral).

Hubungan antara kedua jenis budaya tersebut saling melihat satu sama lain, di dalam

sambungan engsel suatu masyarakat dan memiliki sikap satu sama lain (1989: 47).

Walaupun penjelasan tersebut dalam konteks komunitas pertanian, namun silang

pengaruh budaya atas-bawah ini secara paradigmatik dapat kita gunakan dalam

melihat fenomena dangdut ini. Tarik menarik antara kekuatan pusat dan daerah dalam

dangdut mewujud katakanlah pada fenomena Inul atau lagu Iwak Peyek yang

ternasionalkan. Atau sebaliknya, ketika OM-OM daerah beramai-ramai

mendangdutkan lagu pop nasional populer, bahkan lagu penyanyi pop internasional

seperti Justin Bieber, Adele, Evanesence, atau Queen mereka „hajar‟ menjadi

dangdut. Di sinilah yang saya maksudkan sebagai perlawanan budaya pinggiran

terhadap simbol-simbol pusat. Mengapa tidak? Dalam bab-bab selanjutnya akan

ditunjukkan bahwa sejak kemunculan musik ini pun telah menggelorakan perlawanan

tatkala orkes melayu digunakan untuk menandingi bentuk-bentuk kesenian Barat.

Dalam bentuk yang sekarang, perlawanan ini bukan lagi membedakan diri secara

tajam dengan seni yang dianggap pusat, namun dengan „mencuri‟ produk seni global

tersebut untuk dibungkus secara lokal. Penjelasan tersebut sekaligus menunjukkan


11

bahwa dangdut khususnya koplo lebih dari sebuah nasionalitas yang terdaerahkan

seperti kata Weintraub, namun bisa juga sebagai „bentuk internasional/global yang

didaerahkan‟.

Lebih lanjut yang meski digaris bawahi adalah 'perlawanan' dalam dangdut

koplo ini cukup berbeda jika kita bandingkan dengan genre musik lain yang dikenal

membawa semangat subkultur, katakanlah seperti reggae, punk, atau rock. Pada

perlawanan musik subkultur, semangat tersebut muncul secara eksplisit dalam

repertoar musik maupun gaya hidup penganut genre tersebut. Terdapat juga ideologi

untuk melawan suatu kekuasaan atau dominasi tertentu yang biasanya seputar

kapitalisme, feodalisme, atau lainnya. Ideologi budaya tanding ini disebarkan oleh

icon-icon subkultur yang mereka anut, katakanlah Bob Marley, Jim Morrison, Sid

Vicious atau lainnya.

Fenomena 'perlawanan' seperti itulah yang tidak kita temukan pada dangdut

koplo. Kita tidak menemui repertoar atau ideologi dangdut koplo yang secara eksplisit

menggelorakan perlawanan kepada suatu pihak. Perlawanan dalam konteks ini dapat

dimaknai sebagai sebuah „strategi‟ (Foucault, 1974) ataupun „siasat‟ (Laksono, 1996)

untuk menolak atau tidak menjalankan tatanan yang diberikan oleh titik kekuasaan

tertentu. Titik kekuasaan di sini bisa jadi rezim moral (norma masyarakat, negara,

MUI, dll) atau juga rezim dangdut sendiri (Rhoma Irama). Kedua otoritas tersebut

tampak tidak merestui penampilan dangdut koplo karena dianggap merusak moral

dan musik dangdut sendiri. Pelarangan Inul yang membawakan gaya dangdut koplo

oleh kedua pihak tersebut dapat menjadi contoh. Sehingga, „perlawanan‟ dalam
12

konteks ini merupakan kapasitas para musisi dan penyanyi untuk tidak tunduk pada

tatanan tersebut. Sebuah strategi berkelit untuk mempertahankan eksistensi dan

mengekspresikan seni yang mereka inginkan.

Di Yogyakarta, fenomena dangdut koplo paling mudah ditemui yakni di

Taman Hiburan Rakyat (THR) Purawisata. Memang selain Purawisata, pertunjukan

dangdut kadang-kadang digelar pada acara-acara tertentu. Tetapi hanya Purawisata

yang sudah sejak lama rutin dan konsisten menggelar acara pertunjukan dangdut.

Pertunjukan dangdut Purawisata digelar empat kali satu minggu (Senin, Rabu, Kamis,

dan Sabtu) setiap jam delapan malam. Pertunjukan dangdut Purawisata ini juga

mempunyai ciri khas musik dan penyanyi yang „sensual‟ seperti dangut koplo pada

umumnya. Sebagai panggung hiburan kelas „rakyat‟, hampir setiap kali pertunjukan

dangdut digelar selalu dipenuhi oleh masyarakat yang ingin bergoyang ataupun

menikmati goyangan „tubuh‟ penyanyi yang sedang tampil.

Dengan demikian hadirnya dangdut beraliran koplo ini memberi suasana baru

bagi musisi, penyanyi maupun penikmat dangdut. Begitu juga pada pertunjukan

dangdut yang digelar di Purawisata yang mengalami perubahan sejak dangdut koplo

ini mulai merebak. Adaptasi para musisi dan penyanyi dangdut tentang gaya koplo

merupakan hal yang menarik untuk diamati karena menunjukkan penyesuaian

terhadap gaya dangdut yang sedang trend agar menarik minat para penonton. Begitu

juga dengan efek yang muncul bagi THR Purawisata dan penonton dangdut di

Yogyakarta dengan adanya gaya dangdut baru ini.


13

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang permasalahan di atas, maka diajukan pertanyaan

sebagai berikut;

1. Bagaimana posisi musik dangdut dalam percaturan sosial budaya musik

Indonesia?

2. Bagaimana relasi antara dangdut pinggiran terhadap dangdut level atas?

3. Sebagai musik pinggiran, apakah dangdut koplo menerima keadaannya begitu

saja atau melawan? Jika melawan, bagaimana bentuk perlawanannya dan

seperti apakah hasilnya?

C. Kerangka Pemikiran

Seperti halnya dangdut koplo, “musik” dalam pandangan John Shepherd

adalah suatu media yang mampu “berbicara” secara tepat, nyata, dan umum tentang

pengalaman duniawi oleh individu-individu yang berbeda (1994: 235). Musik di

dalam antropologi dipandang sebagai aktivitas budaya. Konsep-konsep dan teori-teori

tentang antropologi sosial dan budaya digunakan dalam hubungannya dengan

etnomusikologi. Sedangkan konsep kebudayaan yang dipakai dalam tulisan ini adalah

kebudayaan sebagai jaring-jaring makna (Geertz, 1992: 5). Sesuatu yang bermakna

bagi kita tidak dapat begitu saja dibiarkan dalam arti murni. Kita dapat

mendeskripsikan, menganalisis, membandingkan, menilai, mengkritik serta

mengelompokannya. Kita juga dapat membangun teori-teori mengenai kreativitas,

bentuk-bentuk, persepsi, fungsi sosial. Kita dapat menggolongkan seni sebagai suatu
14

bahasa, struktur sistem, tindakan, simbol, pola pikir yang kemudian kita bisa

mendapatkan kiasan secara ilmiah, kiasan spiritual, kiasan teknologi dan politik (Ibid,

1983: 95). Dari definisi Geertz ini dapat diketahui bahwa budaya merupakan sesuatu

yang ingin diungkapkan oleh seniman (OM & Penyanyi) mengenai peristiwa yang

ada dalam kehidupannya. Maka dengan itu kita dapat mendeskripsikannya,

menganalisis atau menstrukturkannya seperti halnya pertunjukan dangdut koplo di

Purawisata.

Penelitian ini memandang dangdut sebagai suatu aliran musik, maka dari itu

tulisan ini bisa juga kita sebut sebagai sebuah studi tentang genre musik (Holt, 2007).

Kualitas stilistika dan karakteristik yang terdapat pada genre-genre tertentu penting

untuk dianalisis karena dapat mengungkap sebuah kesatuan teks, perbendaharaan

kata, dan cara-cara spesifik dalam penyampaiannya. Genre musik merepresentasikan

kesinambungan sejarah, kestabilan, dan ciri bersama dalam bermain, berestetika,

teknik, skill, dan penampilannya. Genre musik memainkan peran besar dalam norma-

norma, hierarki kultural dan kebijakan tentang sensor maupun dukungan dari

pemerintah (Weintraub, 2010: 12). Hal-hal yang demikian yang juga sangat

mempengaruhi dalam dunia musik dangdut.

Sebagai aliran musik yang mempunyai basis sosial tersendiri, dangdut selalu

saja dipersepsikan dengan kesenian kelas bawah. Sedikit banyak ini disebabkan

karena konsep-konsep yang mendikotomikan antara seni „rakyat‟ dan seni

„adiluhung‟. Seperti halnya Soedarsono yang berpendapat bahwa:


15

Perspektif tentang seni pertunjukan rakyat biasanya berkebalikan


dengan seni istana yang adiluhung serta penuh dengan patokan-
patokan. Untuk itu, seni pertunjukan rakyat sering dilihat sebagai
seni yang sederhana dan tak terikat oleh aturan-aturan ketat seperti
seni pertunjukan istana (Soedarsono, 2003).

Atas dasar ini tentu sangat mudah untuk mengaitkannya dengan pertunjukan

dangdut koplo dengan seni „rakyat‟ karena pertunjukan terebut dibungkus dengan ala-

kadarnya. Selain tanpa patokan-patokan pasti seperti seni istana, seni pertunjukan

rakyat biasanya diidentikan dengan penonton yang berasal dari kalangan bawah

(Soedarsono, 2003). Namun menurut Ismangoen (1991: 73), jenis musik ini dapat

disebut sebagai musik rakyat, tetapi bukan dalam arti identik dengan musik tradisi.

Musik rakyat merupakan musik yang seringkali dikenal sebagai musik dari

masyarakat yang secara sosial-ekonomi, berasal dari kelas menengah ke bawah

ataupun masyarakat pedesaan. Meski banyak musisinya yang terlatih dan memiliki

kemampuan bermusik yang baik, namun musik rakyat seringkali memiliki gaya yang

lebih sederhana dibandingkan musik klasik ataupun musik seni lainnya (Nettl, 2004).

Dalam perihal dangdut, ia disebut sebagai musik rakyat karena hidup dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat yang sebagian besar merupakan

masyarakat tingkat bawah dan menengah. Golongan ini, biasanya menginginkan jenis

musik yang mudah dicerna dan mudah ditampilkan. Musik dangdut-lah yang sesuai

dengan mereka ini karena liriknya biasa menggunakan kata-kata yang sederhana dan

polos, bahkan sering tidak memperhatikan persajakan (Ismangoen, 1990: 73).


16

Dari segi penonton, Mack Dieter (2007: 585) juga berpendapat bahwa

sebagian besar penonton Orkes Melayu ini berasal dari kalangan bawah. Namun

pendapat yang berbeda diungkapkan Abdul Kadir (2008) bahwa perkembangan

dangdut saat ini membuat kaum menengah terdidik juga berminat pada dangdut. Ini

karena pada beberapa perbincangan mutakhir, seni pertunjukan rakyat sebagai bagian

dari budaya rakyat oleh beberapa ilmuwan sosial hampir disamakan dengan budaya

massa saat ini yang tak hanya terbatas dengan kalangan bawah, namun juga kelas

menengah, bahkan elite (Budiman, 2002). Begitu juga dengan dangdut koplo, yang

seperti kita lihat nanti bahwa pengunjung pertunjukan dangdut Purawisata pun

berasal dari berbagai kalangan.

Sebuah pertunjukan, seperti halnya dangdut koplo, merupakan usaha untuk

memperlihatkan atau menontonkan teknik-teknik ekspresif oleh seorang atau

sekelompok pelaku (performer) yang ditujukan kepada penonton (Bauman, 1986 via

Schieffelin, 1998: 195; Cook, 2003: 204). Walaupun dangdut koplo telah lama

dimainkan oleh para pemusik dangdut di Jawa Timur, namun ketika musik ini beserta

segala atributnya dimainkan oleh pedangdut Yogyakarta khususnya Purawisata,

mereka telah melakukan inovasi dalam bermusik. „Inovasi‟ sendiri adalah gagasan,

tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang (Rogers dan Shoemaker:

1981).

Berkaitan dengan „inovasi‟ atau perkembangan dalam berkesenian ini, Selo

Soemardjan (1980: 21) mengatakan bahwa perkembangan kesenian pada umumnya

mengikuti proses perubahan yang terjadi dalam kebudayaan suatu masyarakat.


17

Sebagai salah satu unsur kebudayaan, maka kesenian akan mengalami hidup statis

yang diliputi oleh suasana tradisionalistik. Sebaliknya kesenian akan selalu berperan

dan berkembang apabila kebudayaan juga bersikap terbuka terhadap perubahan dan

inovasi. Ini relevan dengan munculnya dangdut koplo yang selaras dengan

perkembangan teknologi di masyarakat, antara lain alat rekam, VCD, maupun

internet yang berperan menyebarkan musik ini. Pendapat ini diperkuat oleh Mack

yang mendefinisikan „populer‟ sebagai jenis musik yang berkembangan sejajar

dengan perkembangan media audio-visual (1995: 20).

Proses adopsi musik dangdut koplo oleh para penyanyi dan personil OM ini

banyak yang melalui video-video atau lagu rekaman pertunjukan yang terdapat di

VCD, televisi, radio, maupun internet. Melalui media tersebut mereka dapat

mengimplementasikan pengalaman dangdut secara riil karena seperti pendapat

Thomas Turino, rekaman-rekaman video live performance dapat menangkap apa

yang dihadirkan dalam sebuah acara musik secara live (2008: 68). Selain itu Ahimsa-

Putra juga menjelaskan bahwa pembiasan seseorang terhadap jenis musik tertentu

dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas dari pemilikan (penggunaan) sarana

radio komunikasi (2000: 26).

Dalam memandang dangdut koplo selaku bentuk perlawanan di sini lebih

dimaksudkan sebagai sebuah siasat kaum pinggiran untuk menandingi seni yang

tinggi dan terpusat. Budi Susanto SJ dalam Laksono (1996) menggambarkan siasat

semacam ini sebagai perlawanan wacana di luar wacana resmi, di luar hierarki

mapan, dalam rangka menyiasati “kebijakan” kekuasaan, sehingga rakyat mempunyai


18

identitas yang relevan dengan dirinya. Dengan demikian, orang-orang dalam

komunitas dangdut koplo ini lebih menggunakan musik ini sebagai budaya tandingan

(counterculture) dan alat pembebasan hasrat kerakyatan mereka ditengah himpitan

kekuatan ekonomi, politik, media, dan budaya.

Selain itu, perlawanan di sini juga mengambil konsep kekuasaan menurut

Michel Foucault (1974). Kuasa simbolik memiliki legitimasi untuk menentukan yang

benar dan yang salah, yang tabu dan yang pantas. Namun dalam setiap relasi

kekuasaan selalu terdapat perlawanan (resistensi). Resistensi sebenarnya juga dapat

dilihat apakah ia menolak, menerima atau terpaksa menerima pengaruh yang

diberikan kepadanya, mengingat pada saat yang sama ia juga dapat melaksanakan

kekuatan yang dapat diakses dari dalam dan sekitar dirinya, sehingga ia juga

berpengaruh pada pihak yang memaksanya. Relasi kekuasaan di sini tentu saja antara

rezim moral dan otoritas dangdut dengan pendukung kebudayaan dangdut koplo, di

mana dangdut koplo mempunyai kekuatan untuk tidak mengindahkan aturan dari

rezim moral-otoritas dangdut.

Berkenaan dengan paradigma kesenian secara antropologis, Ahimsa-Putra

berpendapat bahwa analisis seni dapat difokuskan pada dua kajian, yakni: (a) tekstual,

yaitu memandang fenomena kesenian (musik, tari, sastra, sastra lisan, dan

sebagainya) sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri dan; (b) kontekstual, kajian

yang menempatkan fenomena tersebut dalam konteks yang luas, yaitu konteks sosial-

budaya masyarakat tempat fenomena seni itu muncul atau hidup (2000: 400). Pada

sejarah dangdut dan perkembangan dangdut koplo sampai ke bentuknya saat ini, saya
19

menggunakan alat analisis yang kedua. Konteks sosial, politik, ekonomi, budaya dan

teknologi sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran musik tersebut. Sedangkan

dalam rangka menangkap fenomena pertunjukan dangdut di Purawisata, saya

memakai analisis tekstual untuk mencermati aspek-aspek apa saja yang muncul pada

panggung dangdut koplo.

E. Metode Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini didapat dari dua sumber.

Pertama, sumber data yang langsung diambil dari pengamatan secara langsung dari

informan di lapangan. Kedua, sumber yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan

untuk menunjang data tentang sejarah, perkembangan, dan informasi musik dangdut.

Data lapangan ini diambil dari lokasi penelitian, di yaitu Pusat Seni dan

Hiburan Purawisata, yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta yang

dilakukan selama kurang lebih tujuh bulan, yaitu dari Juli 2011 sampai Januari 2012.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, melalui observasi partisipasi dan

serangkaian wawancara pada setiap kali mengunjungi pertunjukan dangdut

Purawisata. Observasi partisipasi dilakukan dengan bersama-sama menjadi penonton

dan penjoged dangdut koplo di Purawisata sekaligus melakukan interaksi informal

dengan orang-orang yang hadir dalam pertunjukan tersebut. Sembari menikmati

suguhan pertunjukan dangdut, saya mengamati aktivitas dan kesan apa saja yang

muncul pada sebuah pertunjukan dangdut. Dari sanalah terlihat kebiasaan perilaku

yang tampak dari para musisi, penyanyi maupun penonton pada saat pertunjukan
20

tersebut digelar. Tak jarang saat melakukan penelitian ini saya terlibat obrolan

dengan penonton maupun musisi yang beberapa telah saya kenal. Melalui obrolan

tersebut cukup banyak informasi yang diperoleh untuk menunjang data penelitian ini.

Selain itu perlu juga dilakukan wawancara mendalam terhadap penyanyi, manajer,

tukang parkir, serta manajemen Purawisata untuk mendapatkan informasi yang lebih

mengarah pada tujuan penelitian ini. Dari pengamatan, obrolan dan wawancara

tersebut saya catat dalam buku harian untuk dijadikan data sebagai bahan penulisan.

Sedangkan penelitian studi kepustakaan saya dapatkan antara lain dari: buku,

artikel koran, artikel jurnal, artikel yang diunduh dari internet, dan ensiklopedi. Dari

sumber-sumber tersebut diperoleh data yang dapat digunakan untuk merekonstruksi

perkembangan dangdut serta untuk menjelaskan dinamika apa saja yang terjadi

sampai pada bentuknya yang saya temui di Purawisata ini. Maka dari kedua data di

atas diolah dan ditafsirkan untuk menjadi sebuah tulisan skripsi ini.
21

BAB II

SEJARAH DAN PROGRESIVITAS DANGDUT

Jika kita bangun tidur dan tiba-tiba berada pada masa akhir 60‟an,
dan kebetulan di sekeliling kita terdengar musik bersuara gendang
suling berirama India, lantas kita bertanya pada seseorang: “dari
mana suara dangdut itu?”, orang yang ditanya akan heran:
“dangdut? Oh bukan, itu namanya Orkes Melayu”. Lalu tiba-tiba
kita tertidur lagi dan bangun pada zaman pra-revolusi, lantas
bertanya kepada seseorang, “seperti apakah Orkes Melayu?” Maka
orang akan menjawab dengan tegas: “keroncong”. Setelah terantar
kembali pada masa kini, dengan pertanyaan yang sama orang akan
bilang: “Orkes Melayu itu dangdut koplo!”2

Seperti apakah dangdut sebenarnya? Sedikit sulit mungkin menjawabnya.

Karena setiap waktu, dangdut senantiasa berubah-ubah mengikuti perkembangan

zaman. Kita tidak akan menemukan musik dangdut dengan irama Melayu atau India-

nya jika datang ke sebuah pertunjukan dangdut; yang ada malah yang terdiri dari

rock, disco, pop, dengan campuran tradisional, yang ditambah gendang dan seruling.

Itulah yang dinamakan musik dangdut saat ini, yang selalu diiringi group sejenis OM

(Orkes “Melayu”), walaupun tak ada unsur Melayu-nya sama sekali.

Memang kini tak mudah membedakan dangdut yang lebih orisinil (baca:

irama Melayu) atau yang bukan. Begitu banyak aliran (genre) dangdut yang lahir

dikarenakan interaksi dengan musik-musik lainnya dan tuntutan inovasi para musisi

agar musik dangdut terasa lebih segar. Kita kenal saat ini ada rock-dut (rock

2
Mengambil metafora dari Suka Harjana (2004) dalam Musik Antara Kritik dan Apresiasi ketika
menjelaskan musik jazz kini yang sangat berbeda dengan karakteristik jazz pada saat awal
kemunculannya.
22

dangdut), pop-dut (pop dangdut), disco dangdut; ada juga yang bernuansa kedaerahan

seperti dangdut campursari, dangdut jaipongan, atau dangdut koplo.

Bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi? Sebagai musik populer

masyarakat Indonesia, perubahan-perubahan dangdut sangat dipenguruhi oleh kondisi

sosial masyarakat khususnya politik. Seperti telah menjadi sesuatu yang umum ketika

dangdut digunakan sebagai alat kampanye parpol, misalnya. Lebih penting lagi

adalah dinamika politik di Indonesia berperan besar hingga membawa dangdut dalam

bentuk yang sekarang. Mulai dari kebijakan Orde Lama yang mengakibatkan

masuknya unsur-unsur dangdut, lalu kebijakan Orde Baru berakibat munculnya

“dangdut” hingga dijadikan sebagai musik „nasional‟; sampai geger reformasi yang

sedikit banyak memicu munculnya bentuk dangdut „daerah‟ seperti saat ini.

Di samping itu banyak kalangan menilai dangdut merupakan musik yang

merepresentasikan kalangan menengah ke bawah. Berbeda dengan pop atau jazz yang

„mahal‟, sopan, intelek, eksklusif; dangdut lebih banyak mengisi panggung-panggung

pinggiran yang „murah‟, sederhana, dan penuh keringat. Kesederhanaan ini yang

melekatkan dangdut dengan masyarakat bawah. Apalagi dangdut acap kali

disandingkan dengan wacana seksualitas. Memang pertunjukan dangdut bukan

semata-mata menampilkan musik tetapi juga keseksian tubuh penyanyinya, juga lirik-

liriknya yang terkesan cabul dan murahan. Inilah yang selalu memunculkan

kontroversi; di satu sisi merupakan ungkapan „jujur‟ masyarakat kecil, dan di sisi lain

dianggap perusak moral dan pembodohan.


23

Melihat persoalan di atas, pada bab ini akan dipaparkan progresivitas dangdut

sampai pada saat ini. Perkembangannya dari periode ke periode untuk melihat

bagaimana kondisi sosial politik masyarakat mempengaruhi bentuk dangdut; serta

bagaimana stigma-stigma dangdut sebagai musik kelas bawah melekat. Tentunya alur

perkembangan dangdut ini mengikuti literatur-literatur yang tersedia, di mana

merupakan „arus utama‟3 yang tertangkap sejarah. Pada akhir bab ini akan dijelaskan

bagaimana dangdut daerah4 menjadi trend dangdut di Indonesia setelah sebelumnya

tak terdengar gaungnya. Tak ketinggalan penguraian mengenai pertanyaan mengapa

dangdut dicap sebagai musik orang „pinggiran‟.

A. Awal Mula Orkes Melayu

Dangdut mempunyai sejarah panjang seperti yang tertulis dalam berbagai

literatur. Wlliam H. Frederick menulis, istilah „dangdut‟ baru muncul pada tahun

1972-1973. Sebelum tahun-tahun itu masyarakat menyebut musik jenis ini sebagai

„Orkes Melayu‟. Baik semangat sosial maupun instrumennya berawal dari periode

awal kolonial, ketika paduan alat-alat musik Indonesia, Arab dan Barat dimainkan

bersama-sama dalam tanjidor (Frederick, 1982). Sepanjang abad ke-19, pengaruh-

pengaruh lain diserap. Menjelang 1820-an, ansambel Cina Betawi yang dikenal

dengan nama Gambang Kromong muncul, yang memadukan alat musik dan melodi
3
„Arus Utama‟ (mainstream) dangdut ini merupakan alur sejarah yang mengikuti musisi-musisi
terkenal, mulai dari Ellya Khadam, Rhoma sampai pada Inul Daratista. Padahal bisa saja karakteristik
musik dangdut „arus utama‟ ini sangat berbeda dengan yang ada di daerah-daerah.
4
Istilah yang digunakan Andrew Weintraub dalam Dangdut Stories (2010) terhadap genre dangdut
yang bernuansa tradisional (dangdut regional) seperti dangdut Koplo.
24

Cina, Sunda, Maluku dan Portugis. Nantinya, sebagian besar unsur-unsur musik yang

dimainkan bersama-sama itu dikenal sebagai keroncong (Ibid). Musik keroncong

yang pada saat itu eksis di masyarakat mendapat tanggapan yang baik dari pribumi.

Namun oleh kalangan elit kolonial musik ini dipandang sebagai musik rendahan dan

kampungan, karena sebagai representasi kesenian masyarakat kelas bawah atau

„pribumi‟.

Sekitar tahun 1930-an terjadi transisi penting dalam musik keroncong ketika

muncul radio, piringan hitam dan film. Titik tolaknya pada kemunculan film

Indonesia berjudul Terang Boelan (1937) yang soundtrack-nya menggunakan musik

keroncong membuat musik ini semakin digemari. Melihat fenomena ini, seorang

tokoh nasionalis, Dr. A.K Gani berinisiatif menyelenggarakan festival keroncong

dalam rangka memperingati 10 tahun sumpah pemuda dan mengangkat keroncong

sebagai musik Nasional (Ibid). Aktivis Partai Serikat Islam Indonesia dan Gerakan

Rakyat Indonesia (Gerindo) ini lantas menyebut keroncong sebagai “Orkes Melayu”.

Penamaan “Orkes Melayu” ini mempunyai tujuan politis sebagai perjuangan

membangkitkan kesadaran nasional lewat sebuah kesenian yang saat itu dipenuhi

oleh bentuk-bentuk kesenian asing. Semangat nasionalisme itulah yang membidani

istilah “Orkes Melayu” sebagai penyetara sekaligus pembeda dari „Orkes Barat‟ milik

kolonial. Pada masa 1940-an, istilah “Orkes Melayu” mencakup musik populer di

kalangan penduduk pribumi perkotaan, yaitu Keroncong dan musik irama Melayu.

Selanjutnya jika kata ‟orkes‟ dianggap sebagai penyetara, maka penggunaan kata
25

“Melayu” digunakan sebagai pembeda dari orkes lain pada waktu itu. (Simatupang,

2008).

Penggunaan istilah “Orkes Melayu” pada keroncong tetap bertahan sampai

pada tahun-tahun pasca revolusi. Perubahan terjadi pada sekitar tahun 1960-an yang

sebagian dipengaruhi faktor politis yaitu pada era Demokrasi Terpimpin. Keroncong

modern dirasa lebih bersifat borjuis, dipengaruhi unsur asing dan tidak menunjukkan

kemerduan dan bersifat kontemporer. Para musisi pun mulai mencari sesuatu yang

lebih menunjukkan sifat keaslian dan yang lebih pantas menggunakan istilah “Orkes

Melayu” (Frederick, 1982). Di sisi lain, musik irama Melayu semakin berkembang di

masyarakat pribumi dan belum tersentuh oleh ekses-ekses politik. Musik Melayu ini

dikembangkan di daerah yang jauh dari ibu kota dan para kritikus musik, terutama di

sekitar Padang dan Medan (Ibid). Musik yang disebut musik Melayu Deli ini semakin

mewakili unsur dalam Orkes Melayu setelah Keroncong memisahkan diri dan

menggunakan identitas „Orkes Keroncong Asli‟ 5 (Simatupang, 2008). Musik Melayu

Deli inilah yang disebut sebagai cikal bakal dangdut.

Istilah Melayu-Deli merujuk pada satu jenis musik yang berkembang di pantai

Sumatra Timur, khususnya di daerah Deli. Musik ini dikembangkan masyarakat di

daerah bekas Kesultanan Deli yang mempunyai interaksi sosio-kultural yang cukup

intensif dengan orang Melayu di Semenanjung Malaya. Interaksi kebudayaan ini

5
Sebenarnya pada waktu ini ada orkes lain yaitu Orkes Harmonium dan Orkes Gambus. Orkes
Harmonium menggunakan Harmonium (sejenis organ) sebagai instrumen utama. Sedangkan Orkes
Gambus menggunakan Gambus yang berkiblat pada musik Timur Tengah. Namun semakin lama
kedua orkes ini tak terdengar karena terdesak oleh Orkes Melayu dan Keroncong (Simatupang, 2008).
26

menghasilkan bentuk kesenian yang mirip seperti digunakannya alat musik kemung6

dan rebana untuk mengiringi nyanyian di kedua daerah tersebut. Begitu juga

kesamaan pada kesenian Bangsawan7. Teater ini pada bagian musiknya

menggunakan alat musik rebana (Melayu), mandolin (Amerika Latin) dan tabla

(India) dicampur dengan alat musik barat seperti piano, biola dan saksopon. Musik

campuran semacam itulah yang disebut sebagai Melayu-Deli, yang pada tahun 1940-

an memperoleh gelar baru: „Orkes Melayu‟ (Ibid).

Orkes Melayu dengan Melayu-Deli-nya ini semakin meluas ke masyarakat

Indonesia setelah beredar film yang membawakan lagu bernuansa Melayu yaitu

Djuwita (1952) yang dibintangi P. Ramlee, disusul Serodja (1958) dengan artisnya

Said Effendi. Pada masa inilah musisi-musisi Orkes Melayu bermunculan, seperti

OM Sinar Kemala, Melayu Purnama, dan Chandralela, dan Sinar Medan. Artis-

artinya seperti A. Chalik, Husein Bawafie, Husnah Thahar, Munif Bahasuan serta

Ellya Khadam dengan gaya India-nya.

Periode 1950-an ini merupakan periode di mana industri film Indonesia

dibanjiri oleh film-film India, yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap dunia

seni di Tanah Air. Masuknya pengaruh kesenian India dalam masyarakat Indonesia

sedikit banyak disebabkan oleh sikap politik pemerintah Orde Lama Soekarno yang

sedang menggalakan kebijakan anti budaya barat karena dirasa merusak jiwa

6
Sejenis gong berukuran kecil
7
Kesenian ini berasal dari Penang, Malaysia Utara. Sejenis teater yang menampilkan lakon wayang
Parsi ada akhir abad ke-19. Begitu populernya, sehingga berkembang sampai daerah pantai Sumatra
Utara dan Timur.
27

revolusioner masyarakat Indonesia. Atas represi budaya tersebut, film dan musik

India yang dianggap bukan pengancam budaya membanjiri industri film dan musik di

Indonesia. Pengaruh musik dan goyang ala India yang paling jelas seperti terlihat

dalam hits Boneka Cantik Dari India yang dibawakan Ellya Khadam pada tahun

1956. Dalam lagu tersebut tampak irama dan tekstur bunyi yang baru (khususnya dari

bunyi gendang Indonesia, Arab, dan India, Suling dan Siter) juga dalam pembawaan

lagu yang terdapat unsur sensualitas dan dinamis (Frederick, 1982). Irama ini dikenal

dengan chalte, yang mengacu pada gendang yang berbunyi “dang”, “du-ut” dan

“dut”. Irama ini juga mempunyai kemiripan pola ritme Inang yang digunakan dalam

musik Bangsawan Melayu (Simatupang, 2008).

Gambar 2.1. Penampilan Ellya Khadam yang kental dengan gaya India (rasikafm.co.id)

Dalam membawakan lagunya, Ellya juga berpenampilan dengan gaya India

(lihat gambar 1) dan bergoyang ala India. Karena pengaruh India seperti yang

ditampilkan oleh Ellya Khadam tersebut, Orkes Melayu pun tidak lagi seperti musik
28

pengiring dalam tari Serampang Dua Belas, melainkan bergeser ke arah musik dan

tarian ekspresif yang terdapat di Film-film India8. Namun pada fase inilah unsur

„goyang‟ masuk ke dalam Orkes Melayu yang kelak menjadi unsur penting dalam

dangdut.

Kondisi politik Indonesia kembali berperan bagi perkembangan Orkes

Melayu. Geger politik tahun 1965 dan disusul oleh tumbangnya pemerintah Orde

Lama Soekarno memberi perubahan dalam dunia seni di Indonesia. Pemerintah Orde

Baru Soeharto yang bersikap pro-globalisasi dan kapitalisme membuka kran sebesar-

besarnya bagi masuknya unsur-unsur Barat. Bahkan sebelum Indonesia terbuka

dalam kegiatan ekonomi, ia lebih dulu terbuka terhadap musik rock Inggris dan

Amerika. Paduan khas bunyi-bunyian yang dihasilkan gendang, gambus, bas,

harmonika, suling bambu dan gitar memberi jalan musik Barat modern yang

menggunakan alat musik listrik (Frederick, 1982). Lono Simatupang (2008: 4)

menyebut gejala ini sebagai periode elektrisasi dan segera disusul dengan

industrialisasi. Periode inilah muncul bintang pembaharu yang memasukkan idiom-

idiom musik pop-Barat ke dalam „Orkes Melayu‟. Bintang itu adalah Rhoma Irama,

Si Raja Dangdut.

8
Walaupun unsur India lebih dominan dibanding Melayu-Deli, toh tetap saja disebut “Orkes Melayu”
(Lihat makalah “Kisah Sebuah Nama” Lono Simatupang (2008))
29

B. Kemunculan “Dangdut”

Efek dari elektrisasi dan industrialisasi dalam musik Indonesia ini membentuk

kiblat baru yaitu musik Barat. Sebelumnya muncul band-band yang terpengaruh oleh

artis barat yang terkenal pada saat itu seperti The Beatles, Everly Brothers, Elvis

Presley, Deep Purple, Andy Williams, yang menawarkan irama pop, jazz, dan rock.

Musik ini membentuk kelas yang berstatus tinggi karena konsumen musik-musik

tersebut mayoritas adalah kalangan perkotaan dan golongan menengah ke atas.

Dengan adanya kiblat baru musik pop yang berorientasi ke Barat, Orkes Melayu

semakin terstigma menjadi musik kelas rendahan. Pendukung musik ini adalah

mereka yang tinggal di kampung-kampung pinggiran kota besar, tidak terdidik atau

sedikit terdidik, dan lebih dianggap sebagai kelas bawah diukur dari tingkat

pendapatan (Taryanto, 2010).

Pada moment ini Rhoma Irama9 muncul untuk mencari sintesis atas dua

musik dan penggemar yang bertolak belakang tersebut, yaitu awal 1970-an. Dengan

basic popnya, musik yang dihasilkan harus menunjukkan keterkaitan gaya Barat dan

tidak semata-mata meniru gaya Melayu-Deli, Arab dan India (Frederick, 1982).

Unsur rock harus bersanding dengan irama Melayu, dengan dimasukannya gitar

listrik, efek distorsi, drum, saksopon ke dalam sebuah Orkes Melayu. Penampilan

9
Ia bernama kecil Oma Irama. Setelah sukses dengan Sonetanya dan sempat naik haji, ia
menambahkan gelar “raden” dan “haji” menjadi Rhoma Irama. Sebelum di Soneta, ia adalah pemain
band pop yang mengekor musik Barat. Tahun 1968 ia bergabung dengan OM Purnama dan di sini ia
bertemu dengan Elvy Sukaesih (Frederick, 1982: 7)
30

juga diubah menjadi atraktif, trendy10, liriknya tak lagi melankolis mendayu-dayu

seperti Orkes Melayu konvensional. Rhoma pun mendirikan kelompoknya yaitu OM

(Orkes Melayu) “Soneta” pada tahun 1971, dan seketika meraih popularitas di

masyarakat. Walaupun menggunakan nama 'Orkes Melayu', namun grup ini berniat

untuk mendobrak pola Orkes Melayu melalui cincin kontemporernya (Ibid). Lagu-

lagu melayu kembali populer karena dinyanyikan dengan cara dan generasi yang baru

dan lebih segar. Keberhasilan OM Soneta yang "nge-rock" ini dengan cepat diikuti

oleh kelompok-kelompok Orkes Melayu gaya baru yang lainnya. Artis-artis baru

bermunculan antara lain Elvy Sukaesih dengan gaya India-nya, A. Rafiq dengan

Elvis-nya, Camelia Malik dengan tari tradisionalnya, Reynold Panggabean dengan

OM Tarantula-nya, Ida Laila, Rita Sugiarto dan banyak lagi (Trilaksono, 2009). Hal

ini terjadi bukan hanya karena musik baru ini menarik minat penggemar irama

Melayu di perkotaan, tetapi juga disebabkan oleh adanya dukungan industri musik

yang berkembang pesat di Indonesia, sejak masuknya teknologi rekam suara pita

kaset menggantikan piringan hitam dan gramaphone (Simatupang, 2008). Teknologi

kaset yang massal dan murah berperan besar menyebarkan fanatisme idola secara luas

di masyarakat seperti terhadap Rhoma dan Soneta-nya.

Namun, Orkes Melayu yang booming berkat Soneta ini pada waktu itu

mengundang banyak kritikan dan cemoohan publik, baik dari musisi maupun

pengamat musik yang condong ke pop atau Barat. Orkes Melayu dicemooh karena

10
Di era 70‟an, kegemaran semua anak muda berambut gondrong, bercelana ketat, suka bermain gitar
listrik (Kompasiana.com, 10 Juni 2011)
31

suara gendangnya yang monoton (“dang-duut”) dan syairnya yang dianggap

kekanak-kanakan (Frederick, 1982). Dalam menghadapi cemoohan ini, Rhoma Irama

tak lantas mundur tapi justru memungut istilah "Dangdut"11 menjadi penamaan dari

Orkes Melayu. Ia bahkan menegaskan lagi dalam lagunya berjudul "Terajana"12

sebagai perlawanan terhadap cercaan. Pada perkembangan selanjutnya, musik

maupun Orkes Melayu lebih sering disebut dengan Dangdut (kompasiana.com, 10

Juni 2011).

Perlawanan yang dilakukan Rhoma Irama terhadap para pembenci musik ini

tidak hanya tecermin pada penamaan dangdut saja, namun juga termanifestasikan

pada karya-karyanya antara lain seperti lagu dibawah ini:

“Musik” oleh Rhoma Irama

Aku mau bicara soal musik Bagi pemusik yang anti-Melayu


Tentu bagi penggemar musik Boleh benci jangan mengganggu
Di mana-mana di atas dunia Biarkan kami mendendangkan lagu
Banyak orang bermain musik Lagu kami lagu Melayu
Bermacam-macam itu jenis musik Lain kepala lain pula
Dari yang pop sampai klasik Kesenangannya pada musik
Musik yang kami perdengarkan Dari itu mainlah musik
Musik yang berirama Melayu Asalkan jangan saling mengusik
Siapa suka mari dengarkan Memang dengan adanya musik
Yang tak suka dunia ramai jadi berisik
[boleh berlalu | heh, minggir!] tapi kalau tak ada musik
dunia sepi kurang asik

Melalui lirik lagu di atas seakan-akan Rhoma Irama ingin menegaskan kepada

masyarakat luas, bahkan pada dunia, bahwa dangdut (musik melayu) pantas dihargai

11
Istilah Dangdut merupakan onomatophea (penyebutan kata mengikuti bunyi yang keluar dari obyek)
dari suara tabla/gendang. Istilah ini diucapkan pertama kali oleh Putu Wijaya dalam Tempo 27 Mei
1972 saat mengkritik “Boneka dari India” bersuara “dang-ding-dut” India (Wikipedia Bahasa
Indonesia, 14 Juli 2011)
12
“Sulingnya suling bambu, gendangnya kulit lembu.. Dangdut suara gendang, rasa ingin
berdendang..”
32

dan „duduk sama tinggi‟ dengan musik lain seperti pop dan klasik. Jika para

penggemar musik pop tidak suka dengan dangdut, maka mereka “boleh minggir asal

tidak mengganggu” seperti Rhoma katakan, karena ia merasa “lain kepala lain pula

kesenangannya pada musik”. Dengan kata lain lewat lagu ini ia sedang

memperjuangkan demokrasi dalam bermusik.

Tapi bagaimanapun konflik ideologi penggemar musik barat dengan dangdut

semakin tajam. Bagi mereka kalangan menengah ke atas perkotaan mulai risih

dengan munculnya dangdut yang semakin berkibar di permusikan Indonesia. Bahkan

sepanjang tahun 1970-an marak film dangdut dibintangi Rhoma Irama maupun Elvy

Sukaesih yang menjadi box office. Persaingan ini memunculkan serangan kritik dan

cemoohan yang lebih sinis, seperti dangdut adalah musik rongsokan, lirik yang

murahan, kandungan Islamnya Rhoma, dan busana noraknya; bahkan di Bandung,

seorang fanatikus Mark Farner menyebut dangdut “tai anjing” (Remy Sylado dalam

Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996). Tahun 1970-an menjadi ajang „pertempuran‟

merebut pasar musik Indonesia ini hingga berujung konser „duel‟ antara Soneta dan

God Bless13. Selain itu perseteruan ini dapat juga ditandai sebagai penerusan „tradisi‟

perlawanan dangdut (orkes Melayu) terhadap dominasi musik-musik barat.

Perseteruan tersebut semakin mempolarisasi masyarakat di mana kalangan menengah

13
“Islah” dangdut dengan rock terjadi setelah dangdut terbukti diterima masyarakat luas pada saat itu,
dengan band-band pop-rock yang membawa unsur dangdut ke dalam musiknya, seperti God Bless
dengan “Zakia”. Band lain seperti Koes Plus, D‟lloyd dan lainnya juga mengikuti. (Wikipedia Bahasa
Indonesia, 14 Juli 2011)
33

ke atas dengan pop-rocknya dan dangdut sebagai musik kelas “rakyat” 14. Kedekatan

dengan “rakyat” ini dimanfaatkan oleh Rhoma Irama yang membuat dangdut menjadi

alat kampanye politik dan sarana dakwah, sehingga lagu-lagunya menjadi banyak

yang berisikan pesan moral keagamaan. Kesuksesan Rhoma dalam industri hiburan

memicu tumbuhnya bentuk-bentuk musik baru pada dangdut, munculnya bintang-

bintang baru dan ekspansi dangdut dalam Industri (Weintraub, 2010: 110).

C. „Nasionalisasi‟ Dangdut

Memasuki tahun 1980-an perkembangan musik Indonesia tumbuh dengan

pesat disebabkan oleh industrialisasi musik dan kapitalisme media yang sedang

melanda. Hal ini ditandai dengan menjamurnya dapur rekaman, panggung serta acara

musik televisi dan radio15. Industrialisasi dangdut dan kapitalisme media memaksa

produser, musisi, dan penyanyi dangdut berinovasi untuk menarik lebih banyak

audiens. Karena sebab itu dan juga interaksinya dengan musik lain, lahirlah berbagai

sub-aliran baru seperti “pop-dangdut”, “rock-dangdut”, “disco-dangdut”. Artis-artis

yang muncul seperti Camelia Malik, Mansyur S., Rita Sugiarto; grup-grup seperti

OM Tarantula, Radesa, Ken Dedes; juga grup dangdut mahasiswa PSP dan PMR 16.

14
Selama 1970‟an, berbagai media cetak menulis bahwa penikmat dangdut adalah rakyat kecil, rakyat
jelata, golongan bawah, pinggiran, kaum marginal dan menengah-ke bawah (Weintraub, 2010: 82)
15
Di era 1980 sampai 1990-an, industri radio melakukan perubahan dengan menerapkan berbagai
format siaran dan musik sebagai menu utamanya (Abdul Firman Ashaf dalam Sikap Politik
Pemerintah dalam Pewacanaan Musik Populer 80‟an dan 90‟an, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
3 Maret 2006)
16
Pancaran Sinar Petromaks (PSP) merupakan pelopor grup musik dangdut di kalangan mahasiswa
(UI), dengan lirik-lirik kritis dan humoris. Ini merupakan „perlawanan‟ terhadap kelas gedongan dan
34

Pada periode ini juga muncul gaya dangdut yang mengedepankan sisi

sensualitas. Salah satu pelopor gaya ini adalah Elvy Sukaesih dengan penampilan

yang berbeda dengan penyanyi dangdut yang lain seperti Camelia Malik atau

pendahulunya yaitu Ellya Khadam. Ia menawarkan gaya yang mewarisi tarian India,

namun dengan penampilan yang lebih „seksi‟, sepeti baju yang lebih „terbuka‟ dan

ketat (lihat foto 2). Selain itu lirik-lirik lagunya pun lebih multiinterpretatif, yang

seringkali dapat berkonotasi sensual. Antara lain seperti lirik lagu “Mandi Madu”

dibawah ini:

“Mandi Madu” oleh Elvy Sukaesih

Basah, basah, basah seluruh tubuhku..


Ah, ah, aah, menyentuh kalbu
Manis, manis, manis semanis madu
Ah, ah, aah, menyentuh syahdu

Basah diri ini basah hati ini,


Kasih dan sayangmu,
Menyirami hidupku,
Bagaikan Mandi Madu
Ah, ah, aah mandi madu

Lagu ini tidak akan berarti apa-apa jika yang menyanyikan tak terlalu

ekspresif. Namun menjadi multiinterpretatif pada saat dibawakan oleh Elvy, dengan

goyangan khasnya yang menekankan pada goyang pinggul dan lirikan mata, yang ia

ambil dari gaya tarian film India, ditambah dengan suara bernyanyinya yang genit.

musik baratnya, dengan menggunakan dangdut sebagai musik pinggiran yang digunakan untuk
memainkan lagu-lagu barat. Lagu-lagu trend seperti My Bonnie, Oh Carol, Bye Bye Love
„didangdutkan‟ menjadi hits yang digandrungi massa.
35

Bisa saja orang membayangkan Elvy Sukaesih benar-benar “mandi madu” dengan

cara bernyanyi seperti itu.

Gambar 2.2. Sampul Album Dangdut Elvy Sukaesih tahun 1980‟an dengan penampilan yang „seksi‟
(dangdutsonata.blogspot.com)

Lebih penting adalah dangdut juga mulai bersenyawa dengan irama musik

tradisional seperti gamelan, tayuban, jaipongan, ronggeng dan lainnya. Dangdut

tradisonal yang muncul ke masyarakat luas seperti lagu “Goyang Dombret dan “Duh

Engkang” dengan irama kental jaipongan. Perpaduan dengan unsur tradisional ini

mengindikasikan bahwa dangdut berkembang di daerah-daerah dengan gaya mereka

sendiri (Ibid). Berkembangnya dangdut di daerah yang tidak disorot oleh publik

secara nasional, membuat unsur sensualitas pada dangdut lebih mengental pada

periode ini. Musisi atau penyanyi daerah lebih bebas untuk meniru goyangan tubuh

gaya India dan juga referensi tarian tradisional seperti ronggeng, jaipong atau tayub.

Pengaruh Elvy Sukaesih yang mendapat ketenaran dari media nasional juga berperan
36

besar membentuk gaya dangdut „seksi‟ ini. Gerakan tubuh yaitu goyang (joged)

menjadi hal yang tak terpisahkan dari dangdut.

Gaya yang menonjolkan fisik penyanyi wanita menjadi trend dangdut pada

saat itu. Pertunjukan-pertunjukan dangdut di daerah menjadi lebih bernuansa vulgar.

Di Jawa Timur, diskotek-diskotek mengkhususkan sebagai tempat hiburan dangdut.

Di Surabaya, kompleks prostitusi Dolly membentuk sepuluh grup dangdut yang

berisikan 6-12 penyani wanita (Ibid). Media cetak juga turut membangun wacana

hubungan dangdut dengan “dunia gemerlap” yang dikarakteristikkan penuh dengan

alkohol, prostitusi, dan tempat hiburan malam dimana dangdut sering dimainkan

sehingga membangun hubungan antara seks dan dangdut (Mandayun dalam

Weintraub, 2010: 143).

Bagaimanapun citra negatifnya, dangdut merupakan musik yang diterima oleh

mayoritas masyarakat Indonesia. Dengan begitu dangdut dirasa cukup potensial untuk

dimanfaatkan sebagai alat politik rezim Orde Baru. Karena hal itulah pada era

1990‟an muncul sikap pemerintah Orde Baru untuk „menasionalisasi‟ dangdut.

Dalam buku Dangdut Stories (2010), Weintraub menjelaskan „nasionalisasi‟ itu

meliputi (1) orientasi profit, (2) diatur melalui sensor pemerintah, (3) Jakarta-sentris

dan skup internasional, (4) citra yang glamour, dan (5) dapat diterima oleh kalangan

menengah ke atas (Weintraub, 2010: 150). Atas kebijakan ini, membanjirlah

tayangan-tayangan dangdut di televisi, bahkan muncul stasiun TPI (Televisi

Pendidikan Indonesia) milik penguasa Orde Baru yang mengklaim sebagai “televisi
37

dangdut”17. Dukungan pemerintah terhadap dangdut dilakukan oleh Mensesneg pada

waktu itu, Moerdiono, yang mengklaim dirinya sebagai „Bapak Dangdut Indonesia‟.

Pada sebuah kesempatan ia mengatakan dangdut is very very Indonesia. Bahkan

Gubernur Jakarta waktu itu yakni Basofi Soedirman sempat menjadi penyanyi

dangdut (Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996). Nasionalisasi dangdut yang terpusat ini

menuntut citra yang lebih baik, level yang lebih tinggi, menyensor unsur-unsur

sensualitas18, dan dapat diterima semua kalangan. Alhasil dangdut secara nasional

menjadi tampak berpenampilan sopan dengan musik pop-Melayu. Para penyanyinya

tergolong artis papan atas Indonesia; siapa yang tak kenal Jaja Miharja, Ikke

Nurjanah, Iis Dahlia, Cucu Cahyati, Cici Paramida, Evie Tamala. Namun di lain

pihak, dangdut di daerah-daerah (artis, musisi, lagu dan gayanya) hampir tak

terdengar.

D. Kembalinya Dangdut „Kelas Bawah‟

Perubahan besar terjadi pada aliran dangdut mainstream (nasional) setelah

masuk era 2000-an. Momentumnya ketika muncul fenomena goyang ngebor Inul

Daratista yang merubah penampilan dangdut menjadi lebih menonjolkan sisi tubuh

penyanyi. Kemunculan ini disebabkan beberapa alasan. Pertama, berkembangnya

teknologi rekam audio-visual dan cara baru pendistribusiannya; kedua, efek krisis
17
Sikap Orde Baru untuk “menguasai” dangdut sebenarnya merupakan langkah politik Golkar
membuat link terhadap media dan budaya, disamping massa dangdut yang besar (Wenitraub, 2010:
151)
18
Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, melarang lirik-lirik dangdut yang cengeng dan penampilan
vulgar, karena dianggap menghambat semangat „pembangunan‟ (Ibid)
38

ekonomi yang melanda sebelumnya; ketiga, berkembangnya semangat kedaerahan;

keempat, iklim demokrasi dan membanjirnya media massa yang lebih „bebas‟ pada

era reformasi.

Gambar 2.3. Gaya Inul ngebor di atas panggung (vivanews.com)

Pada akhir tahun 1990-an, perkembangan alat digital seperti kamera dan

handycam yang terjangkau cukup marak, hal ini memungkinkan sebuah pertunjukan

untuk direkam secara pribadi. Begitu juga pertunjukan-pertunjukan dangdut di

kampung-kampung dapat direkam dan didistribusikan sendiri oleh pemilik acara

dengan format VCD (video compact disc). VCD ini dapat diperbanyak dan

disebarkan ke masyarakat luas. Maka setelah itu bermunculan rekaman audio-visual

dangdut yang diproduksi oleh sang musisi sendiri. Ini ditambah krisis ekonomi 1998

yang juga turut mempengaruhi industri dangdut. Mahalnya proses produksi di pusat

(Jakarta) dan pasar yang lesu membuat para musisi memproduksi rekaman-rekaman

sendiri yang diedarkan untuk pasar daerah atau lokal. Ini dapat menjadi alternatif

ekonomi ataupun peluang baru bagi para pedangdut sebagai promosi untuk disewa

bermain di panggung-panggung daerah. Selain itu musisi dangdut daerah menjadi


39

lebih bebas berekspresi karena tidak ada standarisasi musik dangdut yang ditetapkan

pusat. Kemajuan teknologi informasi membuat distribusi yang pada mulanya bersifat

lokal tidak menutup kemungkinan untuk merambah daerah-daerah lainnya.

Ekspresi musik dari musisi daerah ini memberi nuansa etnik pada dangdutnya,

selain orientasi pasar ke daerah sendiri, juga bertujuan „melokalkan‟ dangdut dengan

bahasa, ritme, dan instrumen daerah. Repertoar yang dimainkan cenderung bersifat

sepele, sederhana19 dan tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, atau dapat diterima

dengan akrab oleh semua kalangan. Mereka juga membuat sintesis dengan kesenian

tradisional yang telah eksis sebelumnya. Sepintas, tampak bahwa perkembangan ini

memicu munculnya berbagai dangdut daerah ke permukaan, seperti gaya Sumatera

Barat (dangdut saluang), Jawa Barat (dangdut jaipongan), Cirebon (dangdut tarling),

Jawa Tengah (dangdut campursari), Banjarmasin (dangdut banjar).

Namun kita bisa lihat bahwa pergerakan dangdut lokal yang tampak paling

kuat adalah gaya koplo dari Jawa Timur. Hal ini tak bisa dilepaskan dari munculnya

fenomena Inul dengan dangdut koplonya yang diangkat ke permukaan oleh media

massa. Kejatuhan Soeharto membawa ekspansi televisi dan media cetak populer,

disebabkan longgarnya negara dalam mengontrol media (Widodo dalam Weintraub,

2010: 175). Inul yang telah populer di daerahnya (Jawa Timur) ditarik oleh televisi

19
Tema-tema lagu tak jauh dari cinta jenaka seperti Waru Doyong (Sunda) Bojo Loro, Angge Orong-
orong (Jawa)
40

nasional ke Jakarta untuk ditayangkan secara nasional20. Setelah muncul di media

nasional dan mendapat perhatian publik, lantas tak henti-hentinya televisi dan media

cetak meliput Inul dan goyangannya. Bentuk dangdut koplo yang dibawakan

menekankan tempo yang cepat dan goyangan tubuh mengikuti irama atau dikenal

dengan goyang ngebor. Peran kameramen juga sentral dalam menggulirkan wacana

ini dengan intens menyorot gerakan tubuh penyanyi 21. Segera saja dangdut gaya Inul

ini menjadi mainstream dangdut nasional. Lahir penyanyi-penyanyi seksi serupa

seperti Anissa Bahar, Uut Permatasari, Dewi Persik, Nita Thalia, Mela Barbie, Trio

Macan dan lainnya yang menonjolkan sensualitas dalam bernyanyi.

Fenomena Inul yang dianggap penuh dengan sensualitas mengundang

kontroversi besar di masyarakat Indonesia. MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada

bulan Februari 2003 mengeluarkan fatwa melawan pornografi melihat goyangan Inul.

Rhoma Irama atas nama PAMMI (Persatuan Artis Musisi Melayu Indonesia)

mengecam Inul yang dinilai merusak martabat dangdut. Rhoma juga meminta

tayangan “Duet Maut” di SCTV yang menampilkan Inul dihentikan (Gunawan,

2003). Mengambil sudut pandang lain, peristiwa ini dapat dilihat sebagai konfrontasi

antara dangdut level atas dan dangdut level bawah.

Atas kecaman ini Inul justru mendapat simpati, namanya serta dangdut sendiri

kian melejit. Tetapi bagaimanapun juga tekanan ini lama-kelamaan membuat dangdut

20
Saat itu adalah Trans TV yang melihat kepopuleran Inul di Jawa Timur, dan memberinya tawaran
untuk tampil dalam salah satu program konser dangdut di televisi tersebut yang ditayangkan secara
nasional (Weintraub, 2010)
21
Penjelasan Lono Simatupang dalam wawancara TvOne tentang dangdut, 2011.
41

hilang dari televisi, karena media melakukan pembatasan sendiri agar tak muncul

kecaman yang lebih besar. Gaya dangdut Inul pada tahun 2007 sangat berkurang

dibandingkan tahun 2003 dalam program televisi nasional (Weintraub, 2010: 230).

Walaupun demikian, hilangnya dangdut di permukaan nasional membuat dangdut

gaya Inul merebak luas di daerah-daerah. Setelah era Inul, hampir seluruh grup

dangdut mempunyai penyanyi “seksi” yang tampil di acara pernikahan atau sunatan

(Ibid, 2010: 230). Grup-grup dangdut atau OM (Orkes Melayu) yang vulgar ini

sebenarnya telah lama eksis di daerah. Seperti jika mencermati pelarangan

pertunjukan dangdut di Sekaten tahun 1990‟an serta penelitian yang dilakukan P.M

Laksono (1996) tentang dangdut Purawisata tahun 1996 yang penuh dengan

sensualitas. Selain di kedua tempat tersebut, dangdut semacam ini juga terdapat di

Taman Remaja Surabaya dan Ancol Jakarta (Gunawan, 2003: 7). Belum lagi

pertunjukan-pertunjukan dangdut di daerah-daerah yang telah lama eksis tapi tak

terpublikasi. Namun sejak era dangdut Inul, penerimaan masyarakat meningkat dan

penyebaran dangdut daerah lebih meluas dengan adanya teknologi produksi dan

distribusi yang mendukung. Promosi ini semakin terbantu dengan adanya jejaring

video youtube.com yang nampaknya telah digunakan secara efektif oleh grup-grup

dangdut daerah22.

22
Sudah banyak sekali OM (Orkes Melayu) yang posting video ke youtube.com terutama dari Jawa
Timur, yang menampikan dangdut dengan gaya sangat vulgar (coba cek OM Sera, OM Monata atau
penyanyi Via Vallen atau Mela Barbie) yang dikenal masyarakat luas. Bahkan tempointeraktif.com
merilis seorang penyanyi dangdut gaya jaipongan yaitu Mela Barbie yang videopost-nya sudah dilihat
oleh lebih dari 2 juta viewers.
42

Gambar 2.4. Penampilan „sensual‟ penyanyi dangdut „daerah‟ di atas panggung (vustv.com)

Weintraub menyebutkan fenomena ini sebagai “going local” atau kembalinya

dangdut ke daerah. Hal ini mencermati perkembangan dangdut yang diasosiasi

dengan Melayu dan India pada 1970-an, lalu „dinasionalkan‟ pada 1980-an dan 1990-

an, dan berkembang ke dalam “etnik” dan “kedaerahan” pada era 2000-an.

Sebenarnya jika mengacu terhadap kesenian daerah yang menampilkan wanita

sebagai obyek utama dapat ditelusuri pada berbagai pertunjukan seni tradisional di

Nusantara. Seperti halnya dangdut, beberapa kesenian tersebut mendapat anggapan

mengumbar sensualitas dan merusak moral sehingga mendapat pelarangan tampil dari

otoritas politik yang berkuasa; seperti ronggeng, tayuban, sinden, jaipongan yang

diasosiasikan sebagai bentuk lain prostitusi (Weintraub, 2010: 191). Namun seperti

kata Foucault, bahwa di mana ada kekuasaan pasti ada perlawanan. Begitu juga

ketika seni seperti dangdut direpresi maka di daerah-daerah yang jauh dari sensor

pusat dangdut seperti koplo ini tumbuh dengan suburnya.


43

E. Dangdut Sebagai Musik Pinggiran

Dari sejarah panjang dangdut di atas mungkin masih terbesit pertanyaan,

mengapa pada akhirnya dangdut kelas bawah yang bertahan? Padahal kita tahu bahwa

musik ini sempat mencapai popularitas di segala kalangan pada era 90-an. Tapi

sekarang ini kita jarang melihat geliat dangdut di panggung spektakuler atau di

televisi tak seperti dekade-dekade lalu. Jauh sebelum fenomena dangdut pinggiran ini

mencuat, Rhoma Irama telah menyadari bahwa musik ini memang tersegmen pada

masyarakat marjinal, seperti kutipan wawancaranya di sebuah majalah tahun 1996:

Saya tidak melihat masuknya musik dangdut ke Hotel Indonesia sebagai


indikasi bahwa musik dangdut menjadi musik kalangan elite. Kalaupun
mereka menikmati musik dangdut, itu ibaratnya, kalau biasanya makan
dengan sayur lodeh, sesekali makan sayur asam. Atau biasanya makan steak,
kemudian mereka ingin makan ikan asin. Itu saja. Lagi pula itu bukan sense
of music mereka (Rhoma Irama dalam interview di majalah Gatra, No. 15/II,
24 Februari 1996)

Jika memang kita menyetujui diskursus yang terus beredar bahwa dangdut adalah

musik rakyat, pinggiran, kelas bawah, jelata, sebenarnya apa yang membuat dangdut

lekat dengan kelompok-kelompok sosial tersebut?

Masyarakat “pinggiran” sendiri sering dipersepsikan sebagai kelompok

masyarakat yang tersingkir dari laju pembangunan kota. Mereka juga sering

diidentikkan dengan kemiskinan. Kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan

dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan

dan kejiwaan (Suparlan, 1993). Kelompok sosial ini dapat dipertentangkan dengan

masyarakat menengah ke atas atau perkotaan yang cenderung mapan secara ekonomi,
44

intelek atau terdidik, dan mempunyai preferensi seni budaya tinggi. Maka dalam

konteks hiburan pun kedua kelompok tersebut dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan

intelektualitas masing-masing. Seorang yang hanya mampu sekolah sampai SD tentu

akan lebih mudah mencerna lirik dan nada lagu “Begadang” milik Rhoma Irama

daripada misal harus bersusah payah merenungkan makna lagu “Ayah” dari Ebiet G.

Ade (Taryanto, 2010).

Orkes melayu yang pada era kemunculannya lekat dengan kalangan pribumi

pun sebenarnya telah menyuarakan kebersahajaan dalam lagu-lagunya. Paling tidak

ini tercermin dari lirik-liriknya yang terbilang „unik‟. Lagu-lagu orkes melayu

terdahulu mempunyai pola yang seragam dengan dengan pantun yaitu selalu berisi

"sampiran" dan "isi", berirama AB-AB, serta mempunyai birama yang genap. Atas

dasar ini nampak bahwa lagu-lagu orkes melayu merupakan kelanjutan dari seni

verbal-tekstual masyarakat pendukungnya, atau dengan kata lain orkes melayu

merupakan musikalisasi seni pantun tersebut. Namun dalam pantun bermusik23 ini

mempunyai kaidah-kaidah tersendiri, antara lain dapat disisipi oleh kata-kata

interyeksi seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, dan lain-lainnya, di

tempat-tempat awal, tengah, atau akhir baris (Piah, 1989). Tentu saja sisipan ini agar

pantun selaras dengan musiknya, seperti tercermin pada lagu “Kuala Deli” yang

dinyanyikan Hasnah Tahar yang diiringi OM Bukit Siguntang pada tahun 1952 di

bawah ini:

23
Biasanya dalam kesenian ronggeng pantun Melayu
45

“Kuala Deli” oleh Hasnah Tahar

A: Kuala Deli airnya pun jernih


Tempat mandi si anak lah dara.

B: Tanah Deli tanahku yang asli,


Tanah tempat hai tumpah lah darah

A’: Tanjung katun airnya pun biru


Tempat orang mencuci lah muka

B’: Sedang sekampung lagi pun merindu


Pondok pulang jauh lah di mata

Kata yang dicetak tebal di atas merupakan interyeksi agar kalimat harmonis

dengan irama yang diberikan. Akan tetapi dengan berpedoman pada pola ini, kalimat-

kalimat dalam lirik lagu orkes melayu mungkin bisa dikatakan mengesampingkan

kaidah-kaidah berbahasa, atau, paling tidak bukan merupakan struktur bahasa formal.

„Pemaksaan‟ tersebut mungkin sulit dijumpai dalam seni kategori tinggi atau

adhiluhung, yang penuh dengan patokan-patokan dan kerapian (Soedarsono, 2003).

Dari penjelasan di atas mungkin dapat menjadi salah satu asumsi bahwa orkes melayu

sebagai akar musik dangdut memang dekat dengan jiwa-jiwa kesenian „rakyat‟.

Pada perkembangannya, musik ini selalu saja terkesan inferior dibandingkan

musik yang dikonsumsi oleh golongan menengah ke atas. Dari awal kelahirannya saja

orkes melayu telah menjadi antitesis bagi orkes Barat kolonial yang dianggap

mempunyai strata lebih tinggi. Semakin waktu bergulir, kedua kutub musik beda latar

belakang sosial ini konsisten pada posisinya; musik pop rock Indonesia yang bisa

disebut ahli waris dari orkes Barat melanjutkan dominasinya dibanding dangdut.

Konser duel antara rock-nya God Bless dan dangdut Rhoma Irama pada tahun 1970-

an menjadi saksi dari konfrontasi kedua kiblat ini. Memang perbedaan basis sosial
46

antara musik pop-rock dan dangdut bukan hanya pada tingkat wacana saja, tapi paling

tidak dapat diamati dari lirik kedua lagu dibawah ini:

“Semut Hitam” oleh God Bless “Gali Lobang Tutup Lobang” oleh Rhoma Irama

Semut-semut hitam yang berjalan Gali-gali-gali-gali-gali lobang


Melintasi segala rintangan Lobang digali menggali lobang
Satu semboyan di dalam tujuan Untuk menutup lobang
Cari makan lalu pulang Tertutup sudah lobang yang lama
Yok.. Ikut langkah yang terdepan Lobang baru terbuka
Yok.. Ikut ke kiri ke kanan Pinjam uang bayar hutang
Semut-semut seirama Walau makan sederhana
Semut-semut yang senada (Makan nasi sambal lalap)
Nyanyikan hymne makan bersama Walau baju sederhana
Makan! Makan! Makan! (Asal menutup aurat)
Semut hitam 2x Maju Jalan.. Walau serba sederhana
Semut-semut bagai sisa-sisa Asal sehat jiwa raga
Toleransi peradaban dunia Dan juga hutang tak punya…
Sementara yang katanya manusia Itulah orang yang kaya (hi-hu…)
Mahkluk paling bijaksana Walau gajinya pas-pasan
Oh.. Halalkan segala cara (Enggak lebih engga kurang)
Oh.. Menipu soal biasa Walau hidupnya pas-pasan
Semut-semut menyaksikan (Asal cukup kebutuhan)
Semut-semut mendengarkan Hidup ?kan merasa terang
Teriakan jerit makian Asal tak dikejar hutang…
Gila! Gila! Gila! Enak tidur enak makan (hi-hu…)

Lagu “Semut Hitam” dari God Bless tersebut mewakili musik rock dengan

basis sosialnya golongan menengah ke atas. Sifatnya yang „intelek‟ tampak dari tema

lagu yang menyuarakan kritik sosial, kira-kira tentang hilangnya rasa toleransi pada

sesama manusia yang tidak lebih tinggi dari gerombolan semut. Selain itu, lagu ini

tampak „sulit‟ dengan adanya berbagai metafora di dalamnya. Misalnya pada

setengah awal lagu mungkin pendengar mengira semut ini adalah personifikasi

manusia, dengan kata-kata “semut hitam berjalan melintasi rintangan” atau “semut

yang senada nyanyikan hymne makan bersama”. Namun pada akhir lagu, lirik ini

menyiratkan “semut hitam” dalam arti literer, yang dibandingkan atau menjadi saksi
47

tingkah laku manusia yang sering “halalkan segala cara” atau “menipu soal biasa”.

Lagu yang menuntut kejelian interpretasi seperti ini merupakan ciri khas lagu pop-

rock dengan konsumen terdidik yang tentunya dapat mencerna liriknya.

Berbeda dengan lagu dangdut semacam “Gali Lobang Tutup Lobang” milik

Rhoma Irama di atas. Susunan katanya lugas, tanpa banyak metafor, dan tak membuat

„jidat berkerut‟. Tema liriknya tampak menegaskan posisi marjinal kaum

penggemarnya, yang terkungkung dalam hutang hanya untuk bertahan hidup.

Mungkin dengan repertoar dangdut tersebut oleh penggemarnya dirasa lebih realistis

dan akrab dengan pengalaman dan emosional sehari-hari. Tampak juga aroma

inferioritas seperti pada lirik “walau gajinya pas-pasan, walau hidupnya pas-pasan”,

yang mencerminkan ketidak berdayaan secara sosial dan ekonomi. Selain itu yang

identik dengan lagu-lagu dangdut ialah ciri nasehat moral seperti pada lirik “walau

serba sederhana, asal sehat jiwa raga, dan juga hutang tak punya, itulah orang yang

kaya”. Tersirat penanaman nilai kepada pendengarnya bahwa orang „kaya‟ bukanlah

secara materi, namun sehat jiwa raga dan tak punya utang. Ini menjadi ciri khas

penyanyi dangdut, khususnya Rhoma Irama yang biasanya memposisikan diri sebagai

pihak „serba tahu‟, memberikan nasehat atau pengarahan kepada massa pendengarnya

yang dianggap „serba tidak tahu‟, bodoh, liar dan perlu ditertibkan.

Seperti kebanyakan lagu dangdut di mana struktur sangat memainkan peran.

Dangdut mendapat peran sebagai musik kaum marjinal karena demikian yang diminta

oleh struktur yang melingkupinya. Relasi dan oposisi dalam struktur tersebut dapat

kita lukiskan sebagai berikut; pop – dangdut; kota – desa; berpendidikan – bodoh;
48

kaya – miskin; modern – kampungan24. Karena struktur yang melingkupinya inilah,

lirik lagu dangdut kemudian menyesuaikan dengan „kapasitas‟ dan kondisi

pendengarnya, seperti pada lirik lagu Rhoma Irama di atas. Analisis kedua lirik lagu

di atas menunjukkan bahwa dangdut memang memposisikan diri sebagai musik yang

memilih konstituen masyarakat ekonomi menengah ke bawah, kurang berpendidikan,

dan menjadi antitesis dengan musik pop atau rock.

Di samping itu, telaah musik dangdut sebagai musik pinggiran juga bisa

dilakukan dari segi musikalitas mereka. Dangdut merupakan musik yang menitik

beratkan instrumen drum (pukul), yaitu pada gendang. Gendang inilah yang

memproduksi irama chalte (tak-dang-duut) yang menjadi karakteristik musik

dangdut. Musik ini menjadi lebih mudah diterima sebagian masyarakat karena

gendang (pada kategori umum) dapat ditemukan dalam instrumen berbagai kesenian

etnik lainnya. Selain itu karena instrumen pukul berperan sentral dalam membentuk

musik ini, maka dangdut mudah ditirukan, dipelajari dan dinikmati oleh berbagai

kalangan. Berbeda dengan jazz misalnya, yang musiknya menitik beratkan pada

instrumen piano, gitar, biola yang dimainkan penuh dengan nada-nada blues, swing

dan sinkop. Alih-alih memainkan, mungkin hanya orang-orang yang mengenal

struktur musik barat dengan baik yang dapat menikmatinya.

Selain itu, mayoritas lagu dangdut menggunakan bangunan lagu konservatif

yang secara umum memiliki urutan:

24
http://andinadwifatma.blogspot.com/2010/10/dangdut-bahasa-kaum-marjinal.html
49

intro – A (verse) – A – interlude – B (refrain) – A – interlude – B – A


[Satuan 8 birama 4/4]

Nada yang dipilih biasanya mengikuti gaya umum yaitu mayor kalau tidak minor.

Yang terakhir ini lebih banyak digunakan karena menyesuaikan lagu-lagu yang

bertema sedih atau melankolis. Sebagaimana ciri khas lagu dangdut yaitu seringnya

mengambil nada ke 6½ (misalnya jika do: C maka ia adalah Bb). Efek dari nada

sisipan tersebut yang saya rasakan seolah-olah memberi kesan melankolis, beraura

cengeng sebagaimana lagu India. Walau begitu, susunan musik tersebut masih dapat

dibilang sederhana. Tak terlalu banyak bermain-main dengan struktur bait, chord dan

oktaf misalnya. Hal ini juga berhubungan dengan penikmat dangdut yang enggan

berpusing-pusing dengan stuktur rumit bangunan lagu, yang penting enak aja

didengarkan.

Bandingkan dengan pop atau rock misalnya yang terdapat ruang kreativitas

begitu lebar. Secara umum struktur lagu pop rock dengan komposisi 32 birama dalam

bentuk lagu Amerika (A-A-B-A), yang sangat berbeda dengan komposisi lagu

dangdut (Weintraub, 2010: 108). Banyak kreativitas dan improvisasi nada yang

dilakukan, antara lain seperti penggunaan pentatonic blues25 atau overtone26 dalam

sebuah lagu. Kita lihat bahwa eksplorasi musikal apapun yang dilakukan musisi pop

25
Tangga nada yang terdiri dari 5 nada, jika menggunakan tangga nada diatonis, unsur 4 (fa) dan 7 (si)
dihilangkan. Perbedaannya dengan nada pentatonis seperti gamelan, tangga nada ini dimainkan pada
nada dasar berbeda dari lagu, yaitu diturunkan 1½. Misalnya lagu dengan do: C, ia bermain pada do:
A. Efek dari nada ini akan menghasilkan suasana blues.
26
Sebuah bangunan lagu yang ditengahnya berpindah nada dasar.
50

rock tetap dapat diterima audiensnya, yang notabene lebih kritis akan perkembangan

musik.

Di luar stilistika lirik dan musik antara pop dan dangdut, nampaknya perlu

kita lihat kembali bagaimana persinggungan kedua musik tersebut hingga akhirnya

muncul dangdut koplo sebagai suatu sintesis. Setelah pertarungan pop dan dangdut

pada era 1970-an, industri rekaman dan media lebih banyak melahirkan artis-artis pop

rock dari pada dangdut. Perkembangan selanjutnya musik dangdut selalu dibawah

bayang-bayang pop rock, dengan munculnya band-band bermassa segala kalangan

seperti Slank, Dewa 19, Padi atau Jamrud. Ditambah keterbukaan media memasok

artis-artis luar negeri katakan Guns n‟ Roses, Bon Jovi dan Metallica yang menjadi

euforia baru bagi penikmat musik Indonesia yang menyingkirkan dangdut semakin

terjerembab ke pinggiran.

Keberadaan dangdut di pinggiran ini seperti yang telah dijelaskan di atas,

mereka hidup dalam dunianya sendiri. Berkombinasi dengan unsur tradisional dan

mencomot disko, rock, pop, hingga muncul dipermukaan pada saat fenomena Inul.

Dangdut yang tersaji saat ini, dengan demikian, cukup berbeda dengan gaya-gaya

konservatif seperti yang diuraikan sebelumnya. Lirik dan musik yang dimainkan

dalam dangdut koplo merombak „kekolotan‟ dangdut mainstream dengan kerumitan-

kerumitan tertentu, seperti mengaransemen lagu pop rock menjadi koplo.

Progresivitas ini bisa dilihat sebagai sebuah upaya untuk membuat dangdut menjadi

lebih diterima secara umum. Kemunculan dangdut koplo paling tidak juga

membuktikan bahwa bagaimanapun dangdut merupakan kelas musik „rakyat‟ yang


51

selalu mewujudkan aspirasi masyarakat pinggiran. Bagi musik dangdut yang

mempunyai label „kelas atas‟ maupun yang telah dibungkus oleh patokan-patokan

tertentu terbukti sulit bertahan lama dalam industri hiburan nasional.

Penutup

Secara umum dapat digambarkan dengan singkat bahwa pola perkembangan

dangdut dari awal kemunculan yaitu: periode sebelum 1970-an adalah pencarian

unsur-unsur musik Orkes Melayu mulai dari Keroncong sampai Melayu-Deli; periode

setelah 1970-an yaitu menjadi „dangdut‟, musik yang disintesiskan Rhoma Irama

antara Orkes Melayu dengan instrumen dan gaya musik Barat. Periode 1980-an,

dangdut mulai berkembang sensual dengan lirik-lirik yang vulgar, menunjukkan

sebagai tempat ekspresi ngoko27 masyarakat kelas bawah. Periode 1990-an muncul

sikap pemerintah untuk „menasionalisasi‟ dangdut, yang membuat dangdut „daerah‟

semakin terpinggirkan. Periode 2000-an, dangdut „daerah‟ dan kelas bawah yang

terkesan „menjual‟ visual tubuh penyanyi muncul ke permukaan setelah adanya

fenomena Inul. Kemunculannya juga akibat dari berkembangnya teknologi dan iklim

demokrasi yang meningkat. Namun tak berapa lama, datang perlawanan dari kaum

agamawan dan moralis yang membuat dangdut meredup di kancah (media) nasional.

Dan kini gema dangdut kembali lagi ke panggung-panggung daerah. Toh teknologi

digital yang berkembang memungkinkan dangdut „daerah‟ yang terangkat oleh

27
Dalam tulisan P.M Laksono (1996) tentang Purawisata, bagaimana penoton dangdut di sana seperti
komunitas ngoko (J.Siegel) yang melawan tata karma masyarakat Jogja yang lebih luas. Perilaku
mereka dalam rangka menyiasati tekanan kultural, tapi terlokalisasi dalam sebuah ruang.
52

fenomena Inul ini tumbuh subur di daerah-daerah. Salah satunya adalah dangdut

koplo yang berasal dari Jawa Timur ini. Dangdut aliran koplo saat ini sangat marak di

kota-kota besar juga di pelosok-pelosok terpencil. Dengan membangkitkan lagi gaya

dangdut purba, yaitu musik bertalu cepat dengan goyangan yang erotis para penyanyi

seksi yang siap membuat para penonton mabuk koplo.

Dari sejarah panjang di atas memperlihatkan bahwa kemunculan dangdut

„daerah‟ secara kontekstual sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik, sosial,

teknologi juga media massa. Sebagai musik orang pinggiran, dangdut terlihat dapat

menjadi alat politik, komoditi para kapitalis, kambing hitam penguasa moral, maupun

pelarian bagi rakyat kecil. Jika pada akhirnya adalah dangdut beraroma pinggiran

yang tetap bertahan, seperti dangdut koplo misalnya, hal ini karena sejak awal

memang diperuntukkan bagi masyarakat menegah ke bawah. Dari penelusuran

tentang lirik dan musik kita tahu bahwa ternyata musik dangdut memang

merepresentasikan golongan masyarakat yang lemah ekonomi maupun sosial.

Melalui penjelasan di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa gejolak-

gejolak perlawanan selalu mengiringi dalam perkembangan musik dangdut. Kita

dapat menandai tatkala kemunculan orkes Melayu diposisikan secara politik sebagai

budaya tanding orkes-orkes barat. Setelah itu konfrontasi antara dangdut dan pop-

rock tahun 1970-an yang mewakili basis sosial level bawah versus level atas.

Momentum besar terakhir ketika dangdut koplo Inul menjadi budaya tandingan

terhadap dangdut Rhoma Irama yang menjelma sebagai dangdut elit. Di luar

peristiwa-peristiwa sejarah tersebut tentu tak terhitung lagi sikap perlawanan yang
53

dilakukan oleh para musisi dangdut daerah yang membingkai musiknya sebagai

„tandingan‟ terhadap dangdut versi elit atau musik populer umumnya. Inilah sejarah

panjang dangdut yang merangkum musik ini sebagai seni counterculture.

Pada bab selanjutnya, akan diulas lebih lanjut tentang dangdut koplo,

mencakup „keunikan-keunikan‟ di dalamnya yang membuat dangdut ini mempunyai

berbeda dengan dangdut lawas.


54

BAB III

DANGDUT KOPLO, WAJAH DANGDUT SAAT INI

Pada bab II sudah dijelaskan bagaimana kemunculan dangdut pada awalnya

sampai perkembangan yang paling terkini. Perkembangan dangdut saat ini yang

cenderung “kembali ke daerah” melahirkan genre yang berpadu dengan unsur

tradisional, atau disebut sebagai dengan “dangdut daerah28”. Dangdut ini

menggunakan skala, melodi, ritme dan instrumen-instrumen yang dapat diasosiasikan

dengan suatu kelompok etnik di Indonesia. Sebelumnya dangdut secara „nasional‟

mengacu pada aliran mainstream dengan irama melayu campur pop yang dipelopori

oleh Rhoma Irama.

Dangdut daerah yang dikenal oleh masyarakat seperti dangdut saluang

Sumatera Barat, dangdut jaipongan Jawa Barat, dangdut campursari Jawa Tengah,

dangdut tarling Cirebon, dangdut banjar Kalimantan, juga dangdut koplo Jawa

Timur. Dari berbagai jenis dangdut daerah tersebut, dangdut koplo merupakan aliran

yang paling berkembang di masyarakat. Paling tidak, dangdut koplo ini sering

mendapat ekspose media massa29, walaupun peredarannya tetap dalam tataran

regional saja.

28
Dangdut Regional (dangdut daerah) Istilah yang digunakan Andrew Weintraub untuk menunjuk
genre dangdut dengan nuansa kedaerahan. Sedangkan komposer Ukat. S (1947) menyebut aliran ini
sebagai “dangdut etnik” (Weintraub, 2010: 201)
29
TvOne pernah menayangkan tiga program dokumenter yang berbeda-beda tentang dangdut koplo.
Kompas beberapa kali memuat artikel atau berita tentang dangdut koplo. Di Internet sudah tak
terhitung lagi contain tentang dangdut koplo.
55

Apapun faktor yang melatarbelakanginya, yang jelas saat ini dangdut aliran

koplo menjadi marak di mana-mana: di panggung-panggung kampung; di alun-alun

kota; di event-event promosi produk; pada kampanye parpol; di penjual VCD bajakan

pinggir jalan; di youtube dan google; di handphone anak muda sekeliling kita.

Panggung dangdut koplo rutin dapat ditemui seperti di Taman Remaja Surabaya,

Ancol Jakarta, Purawisata Yogyakarta atau café-café dangdut yang tersebar di kota-

kota. Inilah dangdut koplo yang menjadi trend dangdut saat ini.

A. Dangdut Koplo

Bukanlah hal yang mudah untuk menulusuri siapa yang pertama kali memberi

nama koplo pada musik ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri

pun tidak terdapat kosa kata koplo, yang berarti belum menjadi kata baku Bahasa

Indonesia. Kata koplo jelas mempunyai referensi pada kata “pil koplo” yang telah ada

sebelumnya. Kata ini mengacu pada sebuah narkotika sintetis yang populer di

kalangan remaja sebagai “pil koplo”, karena dosisnya yang tinggi dapat

menyebabkan penurunan kewaspadaan dan penampilan kognitif, sehingga tampak

bengong, kosong dan bodoh (koplo) (Wicaksana, 1996: 2).

Entah ada hubungan langsung antara musik dengan narkotika tersebut atau

tidak, namun sepertinya memang dangdut koplo ini mempunyai efek seperti

narkotika: selain dapat membuat bergoyang hingga “koplo”; peredaran luas di

masyarakat tapi jarang terungkap ke permukaan; juga mempunyai efek “candu” yang
56

membuat penggemarnya ketagihan. Gendang yang dimainkan bertalu-talu sepanjang

lagu bisa jadi dapat membuat orang mabuk koplo.

Gaya dangdut yang menonjolkan aspek fisik atau tubuh penyanyi sebenarnya

sudah menjadi bagian pertunjukan masyarakat sejak lama, bahkan jauh sebelum

adanya fenomena Inul. Sebelumnya pertunjukan dangdut seperti ini tidak beredar luas

dan hanya beredar di panggung-panggung masyarakat pinggiran30. Gayanya yang

sensual tak mungkin diterima publik secara luas dan dapat memicu kontroversi. Hal

ini seperti pada pelarangan pertunjukan dangdut di perayaan Sekaten pada tahun

1980‟an karena dicap erotis.

Faktor lain yang cukup penting adalah dikarenakan minimnya teknologi

rekam dan distribusi secara pribadi pada waktu itu. Rekaman audio-visual hanya

dapat dilakukan oleh perusahaan rekaman besar yang tentunya sangat selektif

memilih musik dan musisi untuk orientasi profit. Namun setelah era reformasi,

dangdut gaya pinggiran ini tampak meruak di masyarakat. Ini karena sebelumnya

terjadi perkembangan teknologi lebih lanjut, seperti kamera maupun handycam dapat

diperoleh dengan mudah. Pertunjukan dangdut koplo bisa direkam secara pribadi dan

disebarkan melalui VCD maupun internet (youtube)31. Perekaman pertunjukan dapat

dilakukan dengan bebas, antara lain memfokuskan angle kamera pada visual tubuh

penyanyi. Para penyanyi yang sadar dengan hal itu pun akan berinisiatif

30
Pertunjukan dangdut yang „menjual‟ goyangan penyanyi wanita seksi waktu itu hanya mengisi
panggung-panggung hiburan rakyat, hajatan-hajatan warga, dan jarang ter-ekspose media. Hal ini
dikarenakan dangdut „nasional‟ mempunyai standar kesopanan sendiri.
31
Dengan keywords „koplo‟ pada Youtube maupun Google maka akan muncul ribuan lagu, lirik,
artikel, foto, video live pertujukan dangdut koplo dari berbagai daerah
57

untuk„menjual‟ tubuh mereka dengan melakukan goyangan yang erotis dan

berpakaian yang seksi32. Semakin lama, penampilan erotis ini menjadi kewajaran bagi

pertunjukan dangdut koplo yang direkam maupun tak direkam. Inilah salah satu aspek

munculnya dangdut yang “seksi”, yang masuk pada genre dangdut daerah – alasan

lebih lengkap tentang kemunculannya telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Dangdut koplo mulai tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada sekitar

pertengahan tahun 1990-an dan meledak setelah era kejatuhan Soeharto. Dangdut ini

memperoleh popularitas setelah adanya fenomena Inul. Inul yang telah lebih dulu

populer di daerahnya (Pasuruan, Jawa Timur) ditarik oleh stasiun televisi untuk

diorbitkan pada level nasional, dan melalui tayangan secara nasional tersebut dangdut

„Inul‟ ini dikembalikan lagi ke daerahnya. Ini berarti mediasi nasional terhadap

dangdut membawa gaya “lokal” kembali ke daerahnya, yang melebur dan

memperkuat gaya lokal lain dalam industri setempat (Weintraub, 2010: 217). Pola ini

sejalan dengan yang diungkapkan Redfield bahwa “tradisi kecil” (bawah/pinggiran)

mempengaruhi bentuk dari “tradisi besar” (atas/pusat), dan setelah itu kembali lagi ke

bawah untuk dijelmakan sebagai kebudayaan yang baru (Redfield, 1989: 58).

Meskipun telah menjadi mainstream dangdut saat ini, namun ia tetap menjadi

hiburan masyarakat kelas bawah dengan “citarasa” kedaerahan yang terjaga. Salah

satu contohnya adalah sampai saat ini belum ada televisi yang menayangkan kembali

pertunjukan dangdut koplo secara nasional –yang dikemas seperti di pertunjukan

32
Tidak jarang penyanyi wanita dangdut koplo memamerkan goyang yang meniru gerakan senggama
(sexual intercourse) dengan pakaian yang menonjolkan dada dan paha atau sering memamerkan celana
dalam (cek di youtube.com, misalnya OM RGS Jawa Timur atau penyanyi Mela Barbie)
58

daerah saat ini. Hal itu menunjukkan belum ada maksud untuk membuat dangdut

koplo tampil pada level nasional kembali.

Grup-grup yang malang melintang di dunia dangdut koplo dan telah dikenal

oleh masyarakat seperti OM (Okes Melayu) Monata (Mojokerto), OM Sera (Gresik),

OM Avita (Gresik), OM Sanjaya (Blora), OM Sakatto (Probolinggo), OM Putra

Dewa (Tuban), Trio Macan (Lamongan). Ada juga penyanyi-penyanyi yang tak kalah

tenar seperti Via Vallen, Ratna Antika, Mela Anjani, Lina Geboy, Lilin Herlina dan

masih banyak lagi. Mungkin mereka tidak pernah muncul dalam media-media massa

nasional, tetapi dalam dunia dangdut daerah khususnya Jawa, musisi-musisi ini cukup

populer.

1. Asal Usul Ritme Koplo

Banyak yang berpendapat bahwa musik ini terpengaruh dari electronic remix

(disco) yang karakteristiknya cepat dengan perkusi yang aktif. Diluar pendapat

tersebut, ada yang telah mencoba menelusuri unsur tradisional manakah yang

bersemayam dalam ritme koplo. Terdapat beberapa pendapat tentang asal mula ritme

musik ini, salah satunya dari komposer Malik BZ yang mengaku bahwa ialah yang

mengambil ritme koplo dari reog Ponorogo ke dalam musik populer pada tahun

1970‟an. Pendapat yang lebih jelas datang dari Yadi, pemain keyboard asal Bandung

yang berteori bahwa ritme utama gendang koplo diambil dari motif pukulan yang

terpotong-potong (mincid) dari musik jaipongan. Pendapat ini dibenarkan oleh musisi
59

Surabaya dan Banyuwangi. Pada tahun 1980‟an, jaipongan serta kaset-kasetnya

melanda Jawa Timur, dan setelahnya musik ini dileburkan ke dalam berbagai bentuk

musik setempat. Jika dicermati, ritme ketukan jaipongan juga menggunakan ritme

dangdut sebelumnya. Oleh musisi Sunda, jaipongan sendiri dibawakan dengan

instrumen modern dalam bentuk dangdut sehingga menghasilkan ritme koplo.

Weintraub menambahkan bahwa penampilan dalam pertunjukan dangdut koplo

merupakan khas dari tari rongeng Jawa dan musiknya terpengaruh dari berbagai

aliran; metal, pop, disco, house, jaipongan, dan dangdut (Ibid, 2010: 216).

Di samping itu, ada berbagai pendapat lain tentang unsur musik dalam

dangdut koplo. Sebuah artikel di kompasiana.com mengemukakan adanya unsur

musik tradisional kendang kempul Banyuwangi dalam irama dangdut koplo. Musik

tradisional Banyuwangi ini telah dipadukan dengan musik dangdut oleh musisi-

musisi Banyuwangi sejak awal 1990-an, dan inovasi ini ditiru oleh grup-grup dangdut

populer seperti OM Monata dan OM Palapa33.

Musik Penampilan

- Jaipongan
- Metal
- Pop dangdut Koplo - Gaya ROnggeng
- Disco-House
- Dangdut

Gambar 3.1. Analisis Andrew Weintraub (2010) atas unsur yang mempengaruhi dangdut koplo.

33
Artikel “Kendang Kempul, Musik Asli Banyuwangi dan Dinamikanya” oleh Agung Haryadi.
Kompasiana.com
60

Artikel lainnya mengungkapkan bahwa dangdut koplo pertama kali dimainkan

di komunitas dangdut kecil di pinggiran Surabaya awal 1990-an, yang mengambil

irama gendangnya dari musik kotekan (musik untuk membangunkan warga untuk

sahur saat bulan puasa). Lantas irama ini diadopsi oleh OM-OM yang banyak

bermunculan dari Surabaya. (keyboardiz.com).

Saya sendiri lebih setuju dengan pendapat yang diungkapkan oleh Iwan Gilas,

manajer OM OBB, salah satu OM di pertunjukan dangdut Purawisata yang

mengakatakan bahwa ritme gendang dangdut koplo banyak terpengaruh dari musik

reog Jawa Timur. Hal ini disertai penjelasan bahwa ritme gendang tersebut sangat

mirip dengan ritme gendang dangdut koplo. Ritme itu disebut dengan “asholole”34,

yang bertalu cepat dengan pola pukulan //: duk tung tak tung dang tung tak tung//.

Seperti yang diungkapkan Iwan, bahwa jika di sekitar Yogyakarta, pola pukulan ini

dapat ditemui pada kesenian jathilan dengan sebutan “ala-ala oshe”. Tak hanya itu,

“senggakan” seperti “hok ya-hok ya” pun ia yakini berasal dari kesenian tersebut.

Unsur-unsur itu dileburkan dalam dangdut dan menjadi irama koplo35.

Tentunya tidak mudah untuk mengetahui dari mana saja unsur yang

membangun musik dangdut koplo, ada berbagai pihak yang mengeklaim

kemunculannya secara berbeda-beda. Selain itu dangdut sendiri merupakan musik

yang sangat terbuka dengan adanya percampuran dengan musik-musik yang lain,

seperti telah kita ketahui pada bab sebelumnya. Walaupun musik dangdut koplo

34
Kata “asholole!” saat ini sering sekali diteriakan oleh penyanyi-penyanyi dangdut koplo di atas
panggung.
35
Wawancara 20 Oktober 2011
61

mempunyai gaya dan irama yang khas, grup dangdut koplo satu dengan yang lain pun

mempunyai perbedaan-perbedaan tertentu dalam aransemen musiknya karena

tergantung proses aransemen musisi dalam setiap grup dangdut.

2. Karekteristik Musik

Dalam pertunjukan dangdut koplo selalu diiringi oleh OM (Orkes Melayu)

yang umumnya terdiri dari sembilan (9) personel, yaitu: satu gitaris; satu bassis, satu

drumer; dua keyboardis; satu pemain gendang berkepala (membran) dua besar-kecil;

satu pemain seruling; satu pemain tamborin dan simbal; satu lagi pembawa acara

laki-laki yang kadang-kadang ikut bernyanyi. Permainan tamborin/simbal dan

gendang inilah yang memunculkan sisi yang khas dari OM dangdut koplo dan

menjadi pembeda dengan dangdut yang lainnya.

Sepertinya aneh melihat personil yang hanya „mengocok‟ tamborin dan

memukul simbal, tetapi dalam dangdut koplo peranannya cukup penting. Selain

memainkan tamborin dan simbal, ia dibekali mic (microphone) untuk memberi

„senggakan‟ atau teriakan pada bagian tertentu lagu, seperti “hok ya-hok ya!” atau

“joss-joss!” dan disertai dengan memukul simbal. Ini membuat lagu apapun yang

dimainkan lebih semarak dan kental „citarasa‟ koplo-nya.


62

Gambar 3.2. Pemain tamborin dan simbal di Purawisata (Nindyo BK, Oktober 2011)

Pada permainan gendang koplo terdapat beberapa ritme pukulan, yang

pertama seperti bunyi gendang jathilan yang berpola //: duk tung tak tung dang tung

tak tung//. Pola yang kedua menggunakan ritme gendang dangdut sebelumnya yakni

//: duk tak tak tung tak dang duuut:// (Simatupang, 2004) namun dimainkan dengan

tempo yang lebih cepat36. Bunyi “dang”, “duk”, dan “duut” lahir dari kepala gendang

yang besar yang dimainkan dengan tangan kiri. “Dang” terproduksi dengan

memukulkan pergelangan tangan kiri pada membran dan mengetuk sisi tengahnya

dengan telunjuk; “duk” dibunyikan dengan memukul sisi samping membran besar

dengan jari-jari; dan “duut” dibunyikan dengan memukul kepala gendang besar

menggunakan pergelangan tangan kiri sembari menekannya maju. Sedangkan “tak”

dan “tung” terproduksi dari kepala gendang yang kecil yang dimainkan dengan

tangan kanan. Bunyi “tak” dihasilkan dengan cara menampar (slapping) bibir dalam

36
Rata-rata sebuah lagu koplo mempunyai ketukan lebih dari MM 80 (1 menit 80 ketukan dengan not
¼)
63

membran kecil menggunakan telunjuk sembari permukaan membran ditahan

(dampened); dan bunyi “tung” muncul dengan cara yang hampir sama, tapi

permukaan membran dibiarkan terbuka.

Karakteristik khas dangdut koplo yaitu pola ritme gendang tidak monoton,

tapi pada bagian tertentu diisi improvisasi dengan pola pukulan terputus-putus.

Improvisasi ini biasanya dilakukan dalam setiap delapan birama dengan pukulan

gendang yang umumnya berpola: //: tak_ _tak duk_ _tak ___duut//. Pukulan duut

yang terakhir ini diikuti oleh pukulan simbal dan bass drum, sehingga berbunyi

“dhess”. Pada saat itulah sang pemain tamborin/simbal meneriakan „senggakan‟

“hokya-hokya joss!”. Ritme gendang tersebut kadang-kadang juga diikuti oleh

seluruh instrumen kecuali suara vokal, sehingga musiknya terdengar terpotong-

potong (mincid). Improvisasi tersebut biasanya lebih dominan pada saat refrain, tapi

tak menutup kemungkinan dilakukan di bagian lagu yang lain. Jadi orang yang

pertama kali mendengar lagu irama koplo ini akan terdengar aneh, karena terkesan

terputus-putus tak seperti ritme lagu pada umumnya.

Tak jelas dari mana dan apa makna kata “joss!” pada „senggakan‟ di atas.

Yang sering terdengar dalam pertunjukan dangdut, lengkapnya teriakan ini adalah

“bukak sithik, joss!” (“buka sedikit, joss!”). Jika boleh mengambil konotasi sensual,

maka ini adalah permintaan penonton kepada penyanyi agar membuka sedikit rok-

nya37. Penyanyi-penyanyi dangdut koplo yang umumnya berpenampilan seksi dengan

37
Berdasarkan wawancara terhadap Wawan, penggemar dangdut koplo, 3 Oktober 2011.
64

tank-top dan rok mini menggoda para penonton dengan goyangan-goyangan erotis

yang dihadapkan pada penonton.

Pada lagu-lagu yang dibawakan, sifat kedaerahan dangdut koplo ini tampak

seperti lirik-lirik lagu yang dinyanyikan menggunakan Bahasa Jawa, Bahasa

Indonesia, atau campuran keduanya. Lagu-lagu yang dibawakan biasanya bertema

sederhana, jenaka, dan tetap mempunyai konotasi seksual seperti “Bokong Semok”,

“Angge Orong-orong”, “Bojoku Nakal”,”Mendem Wedokan” “Hamil Duluan”,

“Tali Kutang” dan lainnya.

Lirik lagu Angge-angge Orong-orong

Netes banyune mata Menetes air mata


Aku nangis ketiban andha Aku nangis kejatuhan tangga
Randha tak kira perawan Janda dikira perawan
Bareng wis kawin anak e sak kandhang Setelah dikawin anaknya sekandang

Pancen aku wis randha Memang aku sudah janda


Randha tuwa anak e lima Janda tua anaknya lima
Nanging aku sik bisa Tapi aku masih bisa
Diwolak-walik kaya nggoreng tela Dibolak-balik seperti menggoreng ketela
Sapi manak larang regane Sapi beranak mahal harganya
Anak lima bedha bapak e Anak lima beda bapaknya

Angge-angge orong-orong Angge-angge orong-orong


Ora melok nggawe melok momong Tak ikut membuat ikut momong
Oleh randha anake lima Dapat janda anaknya lima
Ngumpul bareng turu nang klasa Kumpul bersama tidur di tikar
Anak lima akeh mangane Anak lima banyak makannya
Sing penting mbokne enak rasane Yang penting ibunya enak rasanya

Perawan randha padha wae mas Perawan janda sama saja mas
Senajan ompong enak rasane Biarpun ompong enak rasanya

“Angge-angge Orong-orong” yang merupakan salah satu lagu dangdut koplo

populer dapat memperlihatkan bahwa unsur „pinggiran‟ dan kedaerahannya sangat

terasa. Tema lagunya sederhana, menceritakan keluhan seorang lelaki saat menikahi

wanita yang ternyata janda dan mempunyai anak banyak. Sifat kedaerahannya
65

tampak dengan menggunakan lirik Bahasa “Jawatimuran”, seperti kata „melok‟ dan

„bisa‟ yang jika dalam Bahasa Jawa gaya Jogja atau Solo dilafalkan „melu‟ (ikut) dan

„isa‟ (bisa). Ini sedikit banyak menunjukkan tumbuh kembangnya musik ini tak jauh-

jauh dari Jawa Timur. Dari Konotasi sensual tampak seperti bait “nanging aku sik

bisa, diwolak-walik kaya nggoreng tela” (tapi aku masih bisa dibolak-balik seperti

menggoreng ketela), yaitu mengartikan bahwa walaupun sudah janda berumur tua

tapi masih bisa diajak berhubungan seksual dengan baik, tubuhnya bisa dibolak-balik

seperti ketika „menggoreng ketela‟. Pada lirik “sing penting mbokne enak rasane”

(yang penting ibunya enak rasanya) mengartikan walaupun menikah dengan janda

yang mempunyai anak banyak, tapi tidak masalah karena tubuh ibunya masih

„nikmat‟ untuk berhubungan seksual. Sifat kedaerahan, kejenakaan, dan berkonotasi

seksual seperti lagu di atas merupakan ciri khas lagu-lagu dangdut koplo pada

umumnya.

Dalam perkembangan saat ini, dangdut koplo tidak hanya menyanyikan lagu

dangdut atau atau lagu daerah saja. Lagu-lagu pop yang sedang menjadi hits di tanah

air tak lepas dari sasaran untuk „di-koplo-kan‟. Sudah menjadi kebiasaan grup

dangdut koplo yang mengaransemen lagu-lagu yang bukan dangdut untuk dimainkan,

bahkan juga lagu kenangan dan lagu Barat. Lagu-lagu remaking yang sering

dibawakan OM-OM dangdut koplo ini seperti yang tertera pada tabel berikut:
66

Lagu-lagu yang sedang populer yang sering dibawakan grup dangdut koplo:

Judul Lagu Penyanyi Asli


Baby Justin Bieber
Pelan-pelan Saja Kotak Band
Kisah Kasih di Sekolah Chrisye
Garuda di Dadaku Netral
Aku Terjatuh ST12
Jaga Selalu Hatimu Seventeen Band
Bukan Bang Thoyib Wali Band
Bring Me To Life Evanescence
Cinta Terlarang The Virgin
I Want to Break Free Queen

Ada bangunan musik yang berbeda antara lagu pop yang diaransemen koplo

dengan lagu dangdut „pure‟ (murni/konservatif) saat dibawakan grup dangdut koplo.

Pada lagu dangdut pure, irama koplo dimainkan dari awal sampai selesai. Sedangkan

pada lagu pop setengah lagu berirama seperti musik aslinya, dan setengah lagi

berirama koplo. Irama koplo biasanya dimainkan pada sesudah refrain yang pertama

sampai lagu selesai (Lihat gambar 3.3). Durasi lagu juga lebih panjang dari lagu

aslinya. Ada nuansa yang unik saat permainan gendang koplo masuk menggantikan

irama pop pada lagu aslinya.

Intro Verse Line 1 Refrain 1 Intro Verse Line 2 Refrain 2 Solo/Interlude Seterusnya

: Irama Musik Pop Aslinya

: Irama Aransemen Dangdut Koplo

Gambar 3.3. Bangunan Lagu pop yang diaransemen dangdut koplo


67

Dalam sebuah petunjukkan dangdut koplo saat ini malah lebih banyak lagu

pop yang digubah menjadi koplo dibandingkan membawakan lagu dangdut sendiri.

Dengan meng-cover lagu pop menjadi koplo, membuat dangdut lebih mudah diterima

oleh masyarakat luas. Irama koplo yang cepat, mengentak, dan memberikan kejutan

dengan ritme pukulan gendangnya, merubah anggapan dangdut yang mendayu-dayu,

tempo yang lambat, maupun lirik yang cengeng. Lagu-lagunya pun akrab ditelinga

karena memainkan hits yang dibuat koplo. Inovasi-inovasi ini semakin membuat

dangdut koplo lebih familiar di masyarakat.

B. Purawisata, Barometer Dangdut Yogyakarta

Bagi masyarakat Yogyakarta, membicarakan pertunjukan dangdut pastilah

membicarakan Purawisata, karena tempat hiburan rakyat ini sudah sejak dari tahun

1990-an menggelar pertunjukan dangdut. Sebenarnya ada beberapa tempat lain di

Yogyakarta yang sering menggelar pertunjukan dangdut, seperti Gembira Loka,

Palms Café, Bamboo Café, Montana Café, Takashimura, juga pada even-even

tertentu yang menggelar pertunjukan dangdut di alun-alun atau lapangan-lapangan

lainnya. Tapi dibanding tempat-tempat tersebut, hanya Purawisata yang secara

konsisten dan rutin menggelar pertunjukan dangdut.


68

Gambar 3.4. Purawisata tampak dari depan sebelum pertunjukan dangdut dimulai
(Nindyo BK, Oktober 2011)

Pada perkembangannya saat ini, genre koplo yang sedang menjadi trend di

masyarakat juga mempangaruhi dangdut yang digelar di Purawisata. Grup-grup

dangdut atau OM (Orkes Melayu) yang pentas di sana selalu membawakan lagu-lagu

dangdut koplo populer dengan aransemen yang sama seperti grup dangdut koplo di

tempat lain. Penampilan para penyanyinya pun tak jauh beda dengan penyanyi-

penyanyi „seksi‟ dangdut koplo Jawa Timur atau di berbagai daerah.

Pertunjukan dangdut di Purawisata ini seperti halnya pertunjukan dangdut di

kota-kota lain seperti di Taman Remaja Surabaya dan Taman Hiburan Jaya Ancol

Jakarta yang mempunyai ciri khas yang sama, yaitu menawarkan pertujukkan

dangdut dengan tiket yang murah, serta penyanyi-penyanyi dangdut kelas yang

bergaya erotis dan „berani‟. Hiburan Panggung-panggung dangdut tersebut

mencerminkan hiburan kelas „rakyat‟ (Gunawan, 2003: 7-9).


69

Di bawah ini akan dipaparkan mengenai Purawisata Yogyakarta. Pemaparan

ini akan dibatasi tentang hal yang berkaitan dengan pertunjukan dangdutnya saja,

mengingat akan terlalu luas jika membahas tentang segala aspek di dalam Purawisata.

1. Sekilas Sejarah Dangdut Purawisata

Pusat Seni dan Budaya Purawisata atau yang lebih sering disebut dengan

Purawisata salah satu tempat rekreasi di Yogyakarta yang dikelola dibawah

manajemen PT Ganesha Dwipaya Bhakti. Terletak di lokasi yang cukup strategis di

tengah kota, yaitu Jl. Brigjend Katamso Yogyakarta sekitar satu kilometer dari

Malioboro. Purawisata yang bediri pada tahun 1989 ini pada awalnya ditujukan

sebagai tempat untuk pementasan Sendratari Ramayana. Selain itu juga dilengkapi

dengan Taman Ria sebagai tempat arena bermain anak-anak dan rekreasi keluarga

serta panggung hiburan yang menyajikan pertunjukan musik dan pementasan

kethoprak (Christy, 2008: 22-24).

Panggung hiburan berukuran 22 m x 8 m ini pada awalnya hanya untuk

menggelar pertunjukan kesenian Kethoprak dan Orkes Melayu. Tetapi sejak tahun

1993 panggung tersebut dijadikan arena untuk menampilkan pertunjukan dangdut

secara reguler dengan nama “Panggung Terbuka Dangdut Live Music”. Hal ini

disebabkan karena antusias masyarakat terhadap pertunjukan dangdut, juga karena

manajemen melihat belum adanya tempat di Yogyakarta yang menyajikan hiburan

dangdut di panggung terbuka setiap hari. Karena minat masyarakat yang semakin
70

meningkat, pada tahun 1999 pertunjukan dangdut ini menjadi hiburan utama

menggeser Sendratari Ramayana yang semakin sepi peminat.

Memasuki tahun 2000-an pertunjukan dangdut di Purawisata semakin

berkembang dan bisa dikatakan menjadi barometer pertunjukan dangdut DIY dan

Jateng, sehingga banyak OM dan penyanyi dari berbagai daerah yang tampil di sini 38.

Pada masa ini pun Purawisata juga dikenal dengan pertunjukan dangdutnya yang

“panas”. Penyanyi-penyanyi dangdut yang tampil (yang semuanya perempuan) di

Purawisata terkenal dengan keseksian dan “kenakalannya” saat beratraksi di atas

panggung. Adanya penampilan penyanyi yang seperti inilah yang menyedot banyak

pengunjung pria untuk datang menonton. Namun penampilan yang sensual tersebut

mengundang kecaman dari berbagai pihak, salah satunya adalah DPRD DIY yang

merasa hal tersebut dapat merusak citra Purawisata dan juga bagi Yogyakarta

(Christy, 2008: 28-32).

Atas adanya tekanan ini, pada tahun 2001 diberlakukan peraturan bagi OM

dan penyanyi untuk lebih „sopan‟ pada saat tampil di Purawisata. Beberapa poin

peraturan tersebut yang secara terang-terangan dimaksudkan untuk mengurangi

sensualitas penyanyi dangdut seperti Kostum artis wajib sopan (pakaian panjang

dengan belahan di bawah lutut); bergoyang sewajarnya, tidak seronok; dilarang

mengubah syair lagu dengan kata-kata yang jorok; dan melakukan komunikasi
38
Sebagai tempat yang telah lama menggelar pertunjukan dangdut secara rutin dan digemari
masyarakat luas , Purawisata menjadi ajang bagi OM ataupun penyanyi mempromosikan diri untuk
disewa dalam event yang lebih besar. Sebab penghasilan yang didapatkan dari pentas di Purawisata
sangat minim dan tidak sesuai dengan biaya penampilan mereka. Keterangan selengkapnya lihat
Christy dalam Dangdut Purawisata: Kajian Fungsi Elemen dan Interaksi Antar-Elemen dalam
Pertunjukan Dangdut di Purawisata (2008).
71

dengan pengunjung dengan bahasa yang sopan39. Dengan adanya peraturan ini

diharapkan untuk mengurangi kesan negatif yang melekat. Walaupun pada awalnya

peraturan ini berefek pada turunnya jumlah pengunjung, namun kondisi ini tak

bertahan lama dengan kembalinya antusiasme pengunjung yang „pasrah‟ atas

peraturan tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, peraturan tersebut hanya menjadi formalitas

belaka karena lambat laun para OM maupun penyanyi semakin mengabaikan aturan-

aturan yang telah ditetapkan. Seperti dalam penelitian Christy mengenai Purawisata

tahun 2007 mengungkapkan para penyanyi 'mengakali' peraturan dengan keinginan

tetap berpenampilan seksi, misalnya mengenakan rok mini dipadu dengan celana tipis

ketat (legging) atau hotpants dengan pakaian atasan tanpa lengan. Terlebih dalam

soal atraksi, mereka sepertinya telah 'lupa' peraturan menjaga kesopanan di atas

panggung dengan kembali bergoyang seronok, katakanlah pinggul 'maju-mundur'

atau bergaya kayang. Rangkaian gerak tubuh penyanyi tersebut menghasilkan

visualisasi di atas panggung yang cukup mudah untuk dianggap vulgar oleh

masyarakat umum. Menariknya adalah pihak manajemen Purawisata terkesan

membiarkan dengan adanya pelanggaran peraturan ini dengan tidak melakukan

pelarangan atau apapun (Ibid). Penampilan para penyanyi dangdut Purawisata yang

39
Ada empat poin peraturan yang lain, tapi hanya sekedar peraturan normatif seperti kedisiplinan
dalam kehadiran dan juga ketertiban saat tampil. Pada tahun 2004 ditambah dua poin peraturan lagi
yaitu (1) Batas minimal usia penyanyi adalah SMP dan (2) Penyanyi wajib mengenakan celana
panjang. Ada peraturan yang tak tertulis lainnya seperti seleksi yang lebih ketat bagi para OM dan
penyanyi untuk menghindari kesan vulgar. ibid
72

kembali vulgar inilah yang bertahan sampai saat ini, bahkan lebih vulgar dari

sebelumnya seakan peraturan pembatasan sudah tidak berlaku lagi.

2. Dangdut Purawisata Saat Ini

Pertunjukan dangdut Purawisata digelar empat kali dalam seminggu (Senin,

Rabu, Kamis, dan Sabtu) setiap pukul 20.00 sampai pukul 23.30. Dalam spanduk

promosinya, pertunjukan hari Senin berjudul In-Dangdut, hari Rabu Dangdut Never

Dies, hari Kamis Dangdut Kita, dan hari Sabtu Dendang Sabtu Malam. Walaupun

mempunyai judul sendiri pada setiap hari pertunjukannya, namun tidak ada yang

berbeda dalam kemasan acaranya. Selain pertunjukan dangdut, ada pertunjukan

reguler lain seperti Beatles Nite, Tembang Abadi Koes-plus dan Kethoprak Mataram

di hari Selasa, Jumat dan Minggu.

Gambar 3.4. Spanduk Promosi Pertunjukan Dangdut Purawisata


(Nindyo BK, Oktober 2011)
73

Dalam bulan September-Oktober 2011, ada empat grup dangdut atau OM

(Orkes Melayu) yang tampil reguler di Purawisata. Mereka adalah OM Latansa, OM

New Satria, OM OBB, dan OM Nurkrista. Setiap OM mempunyai jadwal sendiri

yaitu OM Latansa setiap hari Senin, OM New Satria setiap hari Rabu dan OM OBB

setiap hari Kamis. Untuk malam Minggu (Dendang Sabtu Malam) grup dangdut yang

tampil digilir, yaitu OM Latansa setiap minggu pertama, OM New Satria untuk

minggu kedua, OM Nurkrista untuk minggu ketiga, dan OM OBB untuk minggu

terakhir dalam setiap bulannya.

Dalam spanduk promosi juga selalu disertai dengan deretan nama-nama

penyanyi wanita yang dibawa setiap OM. Setiap pertunjukan dangdut, OM membawa

„rombongan‟ sebanyak enam sampai sepuluh penyanyi wanita. Para penyanyi ini

tidak terikat dengan satu OM tertentu dan diperkenankan tampil untuk untuk setiap

OM. Misalnya dalam spanduk di atas, penyanyi dangdut Selly Arnelita, Dede Selvia

dapat bernyanyi untuk OM Latansa dan OM Nurkrista. Bahkan penyanyi Dwi Anisa

tampil dengan OM Latansa, OM New Satria dan OM Nurkrista sekaligus. Bisa juga

seorang penyanyi dapat tampil dalam setiap pertunjukan dangdut di Purawisata

asalkan ada kesepakatan antara ia dan OM yang tampil. Ini disebabkan tidak ada

keterikatan secara manajerial antara penyanyi dan OM.


74

Gambar 3.6. Foto para penyanyi dangdut yang terpampang pada spanduk di atas loket penjualan tiket
Purawisata (Nindyo BK, Oktober 2011)

Harga tiket masuk pertunjukan dangdut Purawisata untuk hari Senin, Rabu

dan Kamis seharga Rp. 8000, sedangkan khusus hari Sabtu tiket masuk seharga Rp.

15.000. Perbedaan harga ini merupakan strategi untuk menarik pengunjung pada hari-

hari selain Sabtu, karena biasanya diluar akhir pekan antusiasme pengunjung rendah.

Walaupun begitu, dari pengamatan penulis melihat bahwa pada setiap pertunjukan

Dendang Sabtu Malam jumlah penonton tetap lebih banyak daripada pertunjukan

dangdut di hari lain. Jika hari Sabtu pengunjung yang datang sekitar 200-300 orang,

pada hari Senin, Rabu dan Kamis hanya berjumlah sekitar 150-200 orang40.

Walaupun di spanduk tertera pertunjukan dimulai pada pukul 20.00, namun

seringnya suasana masih sepi pengunjung. Para personil OM juga baru melakukan

checksound pada jam segitu. Pengunjung mulai berdatangan jika sudah mendekati

pukul 21.00, maka pada waktu itu pula pembawa acara atau MC (Master of

40
Pengamatan bulan September-Oktober 2011
75

Ceremony)41 membuka acara dengan kata-kata sambutan. Jika suasana masih belum

ramai juga maka biasanya MC akan memberitahukan kepada pengunjung agar segera

masuk ke arena pertunjukan, karena seringnya pengunjung menunggu dimulainya

pertunjukan dengan duduk-duduk di parkiran. Ketidaktepatan waktu lainnya adalah

jumlah penyanyi sering belum komplit walaupun acara sudah dibuka oleh MC. Maka

sembari menunggu kedatangan dan kesiapan para penyanyi, OM memainkan dua-tiga

lagu dangdut dan MC bertindak sebagai penyanyinya.

Rata-rata dalam setiap petunjukkan acara dimulai sekitar pukul 21.00. Maka

MC akan memanggil penyanyi yang mendapat giliran pertama untuk tampil. Setiap

penyanyi yang naik ke panggung akan diiringi musik instrumental dari OM sebagai

intro saja. Yang selalu terjadi adalah ketika penyanyi yang berpenampilan „seksi‟

sudah berada di atas panggung, penonton yang tadinya masih duduk-duduk di kursi

seketika merangsek ke bibir panggung atau memenuhi dancefloor. Selanjutnya satu

per satu penyanyi tampil bergiliran pada sesi pertama. Banyaknya lagu yang

dibawakan tiap penyanyi tergantung oleh jumlah penyanyi yang dibawa OM, jika

yang dibawa hanya lima sampai tujuh penyanyi maka setiap peyanyi menyanyikan

dua lagu dalam satu sesi, tapi jika lebih dari itu panyanyi hanya akan menyanyikan

satu lagu saja. Setiap lagu yang dibawakan adalah lagu yang di-request penonton.

Penyanyi selalu menawarkan lagu kepada penonton pada saat naik panggung. Irama

41
MC bukan dari pihak Purawisata. Setiap OM membawa MC sendiri yang sekaligus menjadi
penyanyi laki-laki jika ada lagu yang menghauskan duet penyanyi laki-laki dan perempuan.
76

dangdut koplo atau aura „kedaerahan‟ sangat kental dilihat dari lagu-lagu yang

dibawakan.

Pertunjukan ini dibagi dalam dua sesi. Penjelasan di atas adalah sesi pertama

yaitu dari awal dimulai pertunjukan sampai pukul 22.00. Setelah itu adalah waktu

istirahat sekitar 30 menit. Lampu panggung dimatikan dan diputarkan lagu dari

operator, uniknya yang sering diputar adalah lagu Hip-hop. Hal yang sering dilakukan

pada saat jeda ini adalah: para personel OM maupun penyanyi mendatangi kolega

yang umumnya laki-laki di tempat duduk; penonton ada yang tetap di tempat

duduknya maupun duduk-duduk di dancefloor sembari menunggu pertunjukan

dimulai lagi, ada juga yang keluar dari arena Purawisata untuk bersantai sejenak di

Angkringan. Pada jeda inilah pengunjung biasanya memesan lagu kepada personil

OM untuk dibawakan pada sesi kedua.

Sesi kedua dimulai tepat pada pukul 22.30. Sesi ini memutar giliran penyanyi

lagi seperti pada sesi pertama, tentunya dengan lagu-lagu yang berbeda. Lagu-lagu

yang dimainkan pada awal sesi ini biasanya lagu yang di-request oleh pengunjung

saat istirahat. Akhirnya pertunjukan ini selesai pada pukul 23.30.

Penutup

Pada bab ini telah dijelaskan seluk beluk dangdut koplo yang mencakup arti

kata, kemunculan, asal-usul ritme dan karakter musiknya. Dari penjelasan di atas kita

tahu bahwa karakteristik musikalitas dangdut koplo ini begitu berbeda dengan

dangdut sebelumnya. Ada kesan aliran ini berupaya untuk merombak dan
77

mereformasi tatanan dangut konvensional dengan karakter yang lebih segar.

Perombakan dilakukan pada ritme dilakukan antara lain ciri khas gendang yang

bertalu cepat, hentakan yang terpotong-potong, juga dengan adanya senggakan-

senggakan yang dimainkan oleh pemain tamborin dan simbal. Banyak pendapat yang

muncul tentang asal mula ritme ini, antara lain berasal dari pukulan gendang reog

yang dikombinasikan dengan unsur pop, rock, metal, atau disko. Ini menunjukkan

bahwa dangdut koplo sebagai dangdut 'daerah' yang bersenyawa dengan musik-musik

populer lainnya. Musik ini dapat dilihat sebagai sintesis antara dangdut dan pop

ketika kebanyakan lagunya mengaransemen lagu-lagu populer untuk diiramakan

menjadi koplo. Di samping itu, sebagai musik pinggiran, dangdut koplo tetap

mempunyai repertoar lagu yang sederhana, jenaka maupun berkonotasi sensual.

Pada bab ini juga dipaparkan tentang perkembangan pertunjukan dangdut

koplo di Purawisata dan kondisinya saat ini. Informasi di atas dapat menjadi landasan

untuk memahami bab selanjutnya, yaitu penjelasan tentang pertunjukan dangdut

koplo di Purawisata secara lebih detail. Penekanan dilakukan pada musik yang

dimainkan serta tentang OM, penyanyi, dan penonton di pertunjukan dangdut

Purawisata.
78

BAB IV

MUSIK KOPLO DALAM PERTUNJUKAN DANGDUT PURAWISATA

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana aliran koplo menjadi trend

musik dangdut saat ini. Begitu juga dalam pertunjukan dangdut Purawisata, dangdut

jenis ini lebih dominan dimainkan dibandingkan musik dangdut yang lebih orisinal

(pure). Grup-grup OM di sana jarang membawakan lagu-lagu dangdut mendayu-dayu

layaknya Orkes Melayu. Malahan yang lebih sering terdengar ialah alunan musik

berirama pop, rock, disco, ataupun etnik. Akan tetapi karena ini merupakan

„pertunjukan dangdut‟, terdapat simbol-simbol yang dapat dengan mudah kita

asosiasikan sebagai musik dangdut, seperti adanya alat musik gendang ketipung,

seruling, sedikit suara cengkok, penampilan „seksi‟ penyanyi sampai atraksi goyangan

penyanyinya. Para penonton pun bernyanyi dan berjoged seperti umumnya konser-

konser dangdut.

Visualisasi pertunjukan dangdut Purawisata ini membuktikan bahwa

walaupun musik koplo telah begitu berbeda dari karakteristik musik dangdut

sebelumnya, namun toh ia dianggap sebagai apa yang disebut „dangdut‟ dengan

segala atribut yang dibawanya. Oleh sebab itu, pada bab ini saya akan memaparkan

tentang bagaimana musik dangdut koplo dimainkan oleh OM dan para penyanyi di

pertunjukan dangdut Purawisata. Ini mencakup proses adopsi aliran koplo dari para

OM dan penyanyinya. Tak ketinggalan juga pemaparan tentang respon penonton


79

dalam melihat acara ini. Pendeskripsian ini bertujuan untuk melihat bagaimana

sebuah musik pinggiran menampilkan wajahnya.

Gambar 4.1. Pertunjukan Dangdut Purawisata (Nindyo B.K)

A. Mengapa Dangdut Koplo Dimainkan?

Menurut Manajer pertunjukan dangdut Purawisata, Dewo P.L.O, secara

musikalitas pertunjukan dangdut Purawisata memang mengalami perubahan sejak

pengaruh dangdut koplo Jawa Timur mulai merebak. Dangdut ini memperoleh

popularitas cukup besar di masyarakat, sehingga mendorong OM-OM yang tampil di

Purawisata pun mengadopsi aliran ini. Sebenarnya para musisi dan penyanyi dangdut

Purawisata lebih condong ke musik dangdut pure42 karena lebih dapat menuangkan

jiwa „dangdut‟ mereka. Selain itu adanya dangdut koplo pun menyebabkan

penampilan penyanyi tambah vulgar karena mengadopsi gaya penampilan penyanyi-

penyanyi di Jawa Timur, dan menyebabkan Purawisata mendapat citra negatif dari

masyarakat. Atas keresahan inilah beberapa waktu lalu musisi Purawisata

42
Genre dangdut yang lebih otentik dan mengacu pada lagu-lagu dangdut lama yang lebih pelan,
mendayu-dayu, dan cengkok yang kental. Berdasarkan penjelasan Bento, personil OM Latansa.
80

mengembalikan musik mereka ke dangdut pure lagi, dan pihak manajemen membuat

peraturan tentang kesopanan penyanyi. Namun yang terjadi adalah pengunjung yang

datang berkurang drastis. Seperti apa yang dikatakan Dewo P.L.O:

“Ada dangdut Koplo itu memang dangdut jadi tambah disukai orang mas,
naiknya cepet, orang pada hafal lagu-lagunya. Itu juga bikin goyang
penyanyi-penyanyinya tambah vulgar. Tapi saya mikir kalau naiknya cepet,
turunnya pasti juga cepet, kayak trend kan sekarang gitu. Juga banyak
pihak yang „teriak‟ dengan penampilan kayak gitu. Karena itu kami dan
musisi mengembalikan lagi ke „dangdut klasik‟ dan kami buat peraturan
tentang kesopanan penyanyi. Tapi habis itu ternyata penonton sepi mas,
Purawisata mau hancur. Ya kami kembalikan lagi ke dangdut koplo itu”
(Dewo P.L.O, 23 Oktober 2011)

Dengan kembalinya „menganut‟ aliran dangdut koplo lambat laun membuat

pengunjung datang lagi. Peraturan yang semula ditetapkan dengan ketat diberikan

kelonggaran, penyanyi-penyanyi dapat berpenampilan dan beratraksi dengan vulgar,

walaupun tetap tidak boleh terlalu „erotis‟ 43. Semakin lama musik dan penampilan

antara grup dangdut koplo Jawa Timur dan Purawisata tak bisa dibedakan lagi, dan

inilah yang bertahan sampai saat ini. Dewo mengaku belum ada teguran atau kritik

dari pihak lain atas penampilan dalam pertunjukan dangdut Purawisata.

Diakui Dewo bahwa pengunjung yang datang saat ini semakin ramai dan

berasal dari berbagai kalangan. Tak hanya masyarakat menengah ke bawah saja,

namun juga terdapat pengunjung berlatar belakang menengah ke atas seperti

eksekutif, mahasiswa, dan turis domestik maupun asing. Hal yang mendukung

43
„Tidak terlalu erotis‟ ini hanya peraturan tak tertulis saja, batasan-batasannya pun tak terlalu jelas.
Menurut Dewo seperti jangan bergoyang seperti adegan persetubuhan, tetapi pada kenyataannya
atraksi tersebut kerap kali tampak, seperti menggoyangkan pinggul maju mundur sambil bergelayut di
badan personil OM.
81

pendapat ini seperti banyaknya pengunjung yang menggunakan mobil, juga tempat

duduk yang dipenuhi pengunjung yang memesan bir atau minuman lain yang

harganya lebih dari lima puluh ribu.

Penjelasan Dewo di atas menunjukkan bahwa masuknya aliran koplo ke

dalam dunia dangdut Purawisata ini sebagian besar dipengaruhi oleh trend yang

sedang naik dan juga karena permintaan pasar. Hal senada diungkapkan Bento, begitu

ia minta dipanggil, seorang MC OM Latansa. Menurutnya OM Latansa mulai

memasukkan permainan koplo sekitar lima tahun yang lalu, sejak aliran ini populer di

Jawa Tengah. Alasan grup dangdutnya mengadopsi genre koplo karena menuruti

pangsa pasar, karena merasa itulah musik yang sedang populer dan banyak peminat.

Bento sendiri mengaku lebih suka musik dangdut yang lebih kental irama melayunya

dari pada koplo. Namun ia harus berkompromi dengan keadaan yang memaksanya

untuk lebih banyak memainkan dangdut koplo seperti dalam penggalan wawancara di

bawah ini:

“Kalau saya sendiri sih nggak terlalu suka koplo mas, saya lebih suka yang
piur. Itu terus terang nggak kayak musik dangdut sebelumnya, sulit
dirasain. Tapi ya gimana lagi, lha wong sekarang orang mintanya itu..”
(Bento Latansa, 16 Oktober 2011)

Bagi industri musik skala kecil seperti di dangdut Purawisata, permintaan

pasar (baca: pengunjung) memang menjadi pertimbangan utama. Karena hanya

dengan menyesuaikan selera musik masyarakat kebanyakan, mereka dapat bertahan

untuk menjadikan panggung dangdut sebagai pegangan hidup. Berbeda dengan

„panggung-pangung spektakuler‟ di mana musisi yang justru dapat mempertahankan


82

idealisme musiknya bahkan „menyetir‟ selera musik penggemarnya. Maka itu wajar

jika seorang Bento menekan sisi idealisnya untuk tidak memainkan lagu dangdut

pure, agar ia dan grup dangdutnya tetap laku dan digemari pengunjung pertunjukan

dangdut Purawisata. Di luar faktor tersebut, memang seperti yang telah dijelaskan

dalam bab-bab sebelumnya bahwa dangdut koplo telah muncul menjadi trend

dangdut pada era ini. Sehingga sedikit banyak para pendukung kebudayaan dangdut

terpengaruh oleh gaungnya 44.

B. Proses Adopsi Genre Dangdut Koplo

Di samping faktor yang melatar belakangi munculnya dangdut koplo di

Purawisata, hal menarik lain yaitu upaya dan siasat para musisi OM dan penyanyi

untuk menyuguhkan pertunjukan dangdut koplo. Sebelumnya kita tahu bahwa

dangdut koplo ini mekar di Jawa Timur. Lagu-lagu dangdut koplo yang populer di

daerah itu pun banyak ditiru dalam pertunjukan dangdut di daerah lain, begitu juga

dengan aransemen musik dan atraksi di atas panggung. Pun lagu-lagu dan penampilan

di atas panggung juga diadopsi oleh para musisi OM dan penyanyi di pertunjukan

dangdut Purawisata.

Banyak cara dilakukan para OM dan penyanyi untuk meniru genre dangdut

koplo yang sedang menjadi trend di masyarakat. OM Latansa misalnya selalu

4444
Tidak hanya di panggung dangdut daerah saja, namun jika kita mencermati saat ini musik koplo
telah sering dimainkan dalam panggung musik yang disiarkan televisi, misalnya Opera Van Java,
konser dangdut Indosiar ataupun TPI. Hanya saja kemasannya lebih „diperhalus‟ dari panggung
dangdut daerah; kevulgaran dan goyangan erotis dihilangkan serta komposisi musik dibuat secara
orkestra. Walaupun begitu ciri-ciri seperti senggakan dan pola musik mincid dapat terlihat jelas.
83

mengamati lagu apa saja yang sedang populer. Informasi lagu populer bisa datang

dari radio, televisi, atau VCD. Tak jarang mereka mengakses google atau youtube

untuk melihat perkembangan apa yang sedang terjadi pada OM-OM besar di Jawa

Timur seperti OM Sera, OM Palapa, atau OM Sagita. Musik dan video rekaman

dalam media tersebut digunakan OM dan penyanyi untuk menangkap apa yang

dihadirkan dalam pertunjukan dangdut koplo yang sebenarnya (Turino, 2008: 68).

Poin penting lain yaitu mereka selalu mempertimbangkan request lagu penonton di

setiap pentas, info-info lagu dari kerabat, ataupun ketika kontak dengan grup-grup

dangdut lain.

Hal yang sama juga terjadi pada OM OBB. Untuk mendapatkan referensi lagu

yang akan dibawakan, OM OBB biasanya melihat lagu apa yang sedang populer dan

sering di-request penonton. Selain itu mereka sering melihat mengakses internet

untuk melihat lagu-lagu apa saja yang dibawakan oleh grup-grup tenar Jawa Timur

seperti OM Sera, OM Monata dan OM Palapa. Setelah mempunyai referensi lagu,

dalam latihan mereka mengaransemen kembali lagu-lagu tersebut sesuai dengan

keinginan para personilnya.

Begitu juga yang dilakukan oleh Selly Arnelita, penyanyi dangdut Purawisata

yang masih duduk di kelas dua SMA ini. Selain itu ia juga mengamati dari persebaran

Mp3 teman-temannya maupun download lagu sendiri. Lagu-lagu yang ia pelajari pun

biasanya dari lagu dangdut koplo, baik itu dangdut pure atau pop yang dikoplo yang

telah dipopulerkan oleh OM-OM tenar. Hal ini seperti pendapat Ahimsa-Putra (2000)
84

bahwa pembiasan seseorang terhadap aliran musik tertentu tak lepas dari penggunaan

media-media komunikasi, seperti halnya radio, TV, Mp3 dan internet tersebut.

Dari penjelasan di atas jika boleh digolongkan, terdapat dua sumber dimana

OM dan penyanyi memperoleh informasi yang tak hanya lagu, namun juga

mempengaruhi penampilan di atas panggung; pertama melalui media, dan yang

kedua interaksi orang-orang disekelilingya. Mudahnya seperti ditunjukkan pada tabel

dibawah ini:

•Radio
•Televisi
Media •Internet
•VCD

•Request dari Penonton


Interaksi dengan •Pertemuan dengan Musisi
Orang Lain Lain

Gambar 4.2. Sumber-sumber untuk mendapatkan informasi dangdut koplo


oleh para penyanyi dan OM

Dalam memilih lagu, mereka tak hanya mempertimbangkan lagu populer

dangdut saja, tetapi juga bisa lagu pop atau rock yang „enak‟ untuk diaransemen

dangdut koplo. Proses aransemen pun menjadi hal menarik ketika mereka menggubah

suatu lagu menjadi berirama koplo. Seperti yang diungkapkan oleh Bento Latansa:

“Aransemen lagu kesepakatan bersama. Melihat-lihat lagu mana yang enak


di koplo mana yang enggak, tergantung karakter lagunya. Senggakan atau
"jab jab" nya tergantung naluri saja. Juga melihat variasi lagu, jika lagunya
cocok kita bisa sampai lima variasi, kalau nggak ya cuma dua variasi..”
(Bento Latansa, 16 Oktober 2011)
85

Hal yang mirip diungkapkan manajer OM OBB 45, Iwan Gilas. Ia berkata

bahwa proses aransemen musik diserahkan kepada personil OBB, namun ia tetap

mendampingi didalam studio latihan. Improvisasi dalam membawakan lagu cukup

ditekankan, karena menurut Iwan kalau meniru persis dengan aslinya dianggap

kurang menarik:

“Saya sih terserah anak-anak (personil) mbawain lagunya mas, tapi yang
penting jangan ngaset (persis seperti lagu aslinya -pen), soalnya itu nggak
laku. Sekarang kan jaman koplo, jadi kalau mengaransemen lagu pop ya
dibuat koplo. Itu anak-anak sudah tahu caranya, tapi tetap saya dampingi.
Kalau nggak, suka pada berantem” (Iwan Gilas, 20 Oktober 2011)

Berdasarkan penuturan Bento maupun Iwan, pemain gendang memegang

peranan sentral dalam proses aransemen lagu menjadi irama dangdut koplo46. Seperti

umumnya lagu dangdut koplo, masuknya irama koplo, „patahan-patahan‟ (jab-jab),

dan „senggakan-senggakan‟ yang dimunculkan akan mengikuti pola permainan

gendang. Dibutuhkan diskusi di mana saja improvisasi-improvisasi akan diberikan

dan bagaimana peran personil yang lain mengikuti improvisasi tersebut. Misalnya

apakah sebuah lagu pop akan dibuat irama koplo seluruhnya atau setengah saja;

model „patahan‟ pukulan gendang akan diikuti semua personil, atau beberapa saja;

refrain akan diulangi berapa kali; dan sebagainya.

45
Perlu diketahui bahwa OM ini cukup berbeda dengan OM lain. Semua personil muda, berumur
sekitar 20 tahunan. Gaya penampilan mereka cukup nyentrik, bergaya punk, rambut disemir, keyboard
dimiringkan, dan berlari kesana-kemari layaknya band rock. Mereka juga sering memasukkan unsur
rock dalam lagu-lagu yang dibawakan.
46
Pentingnya peran pemain gendang dalam mengawal sebuah lagu dangdut koplo dapat kita lihat
antara lain seperti ketika OM pentas, mata semua personel mengarah ke pemain gendang pada saat
lagu masuk pada improvisasi atau perpindahan bait yang sulit.
86

Memang hal ini memakan waktu lebih lama dibanding membawakan lagu

dangdut koplo populer dimana lagu sudah diaransemen oleh grup-grup yang

menyebarkannya. Maka seperti yang dikatakan Iwan Gilas, jika waktu pentas cukup

padat mereka hanya membawakan lagu-lagu dangdut koplo yang telah populer atau

yang banyak di-request saja, dan tidak perlu diaransemen kembali. Selain itu

membawakan lagu yang telah populer memudahkan penyanyi-penyanyi melantunkan

lagu, karena para penyanyi yang tidak tetap membuat mereka tidak selalu dapat

berlatih bersama.

Alasan kepadatan jadwal manggung juga diungkapkan penyanyi Selly

Arnelita. Ia mengaku tidak setiap tampil dengan suatu OM harus selalu latihan dulu,

padahal ia bernyanyi untuk beberapa OM. Jarangnya latihan dengan setiap OM tidak

terlalu dipermasalahkan karena lagu-lagu dan polanya pada setiap OM hampir sama.

Perbedaan aransemen lagu pada setiap OM dihindari karena akan menyulitkan

penyanyi yang tidak hanya terikat pada satu OM saja. Sehingga yang terjadi adalah

pola lagu-lagu yang dibawakan dan penampilan para OM dan penyanyi sangat mirip

satu sama lain, bahkan persis dengan OM-OM tenar Jawa Timur yang videonya

banyak tersebar di penjual VCD maupun di youtube.

C. Performance

Setelah mengetahui bagaimana dangdut koplo diracik dibelakang panggung,

pada sub-bab ini berupaya menggambarkan tentang permainan musik, pemilihan


87

lagu, performance penyanyi, interaksi dengan penonton, dan respon penonton sendiri

dalam menikmati pertunjukan dangdut Purawisata ini.

1. Grup Dangdut (O.M)

Telah disebutkan sebelumnya bahwa saat ini pertunjukan dangdut Purawisata

mempunyai tiga grup dangdut yang tampil reguler setiap minggunya, yaitu OM OBB,

OM New Satria dan OM Latansa serta satu OM non-reguler untuk mengisi pada hari

sabtu malam, minggu ketiga setiap bulannya. OM non-reguler ini biasanya berasal

dari kota-kota sekitar Yogyakarta seperti Solo, Magelang atau Salatiga

Walaupun setiap minggunya grup yang tampil berganti-ganti, namun tak ada

perbedaan yang mencolok antara satu OM dengan lainnya. Berdasarkan pengamatan

penulis, kesamaan setiap OM antara lain seperti (1) formasi personelnya, (2) lagu

yang dibawakan, (3) aransemen dan improvisasi (4) atraksi di atas panggung, (5)

interaksi personel dengan penyanyi. Sehingga di sini penulis tidak secara khusus

mendeskripsikan satu OM saja, namun lebih melihat bagaimana pola-pola seragam

yang ditampilkan oleh para OM pengisi pertunjukan dangdut Purawisata.

Dari segi formasi personel, OM yang tampil di Purawisata seperti halnya OM-

OM di lain tempat yaitu berjumlah sembilan orang personel. Berdasarkan

pengamatan, formasi dan posisi panggung para personel selalu tetap. Susunan

formasinya adalah sebagai berikut:


88

3 3 4 4
6 6

2 2 9 9 5 5 6 7
6 6 6 6 6

1 X 8
1 8
6 6

1. Pemain Tamborin 6. Keyboard 1


2. Bassist 7. Keyboard 2
3. Pemain Gendang 8. Pemain Seruling
4. Drummer 9. MC
5. Gitaris X. Penyanyi

Gambar 4.3. Formasi Personel OM di Panggung Dangdut Purawisata

Posisi ini sedikit banyak menentukan gaya mereka di panggung dan interaksinya

dengan penyanyi maupun penonton, seperti yang akan dijelaskan dibawah. Formasi

dan posisi panggung seperti pada gambar di atas inilah yang merupakan keadaan

ideal bagi grup-grup yang akan membawakan lagu dangdut koplo.

Pada segi lagu yang dibawakan, ada kecenderungan OM-OM yang tampil

membawakan komposisi lagu yang sama. Dari lagu-lagu yang dimainkan saya

mencoba membedakan antara yang jenis lagu yang berirama dangdut melayu

(pure/piur) dengan lagu dangdut atau pop yang diaransemen koplo. Dari sekitar 20

lagu yang dibawakan dalam satu malam, kurang lebih 75 persen adalah lagu dangdut

atau pop yang berirama koplo, misalnya saja “ABG tua”, “Bukan Bang Thoyib” atau

“Angge Orong-orong”. Sedangkan sisanya adalah lagu dangdut lawas yang masih

kuat corak melayunya seperti “aduh nyai”, “sebotol minuman”, dan “cukup sekali”.
89

Hal ini menunjukkan bahwa lagu-lagu berirama koplo lebih digemari dan menggeser

lagu-lagu berirama melayu yang mendayu-dayu.

Dalam aransemen dan improvisasi, secara umum penjelasan ini tak jauh

berbeda dengan yang dipaparkan sub-bab sebelumnya, bahwa corak musikal OM-OM

di pertunjukan dangdut Purawisata tak berbeda jauh dengan OM-OM dangdut koplo

manapun. Sebagaimana pemain tamborin berperan sentral dalam menghidupkan

„suasana‟ koplo seperti yang dijelaskan dalam bab 3. Namun ada hal menarik seperti

ketika OM OBB yang berisikan anak muda memasukan lebih banyak unsur rock

dalam lagu-lagu yang dibawakan. Ternyata tanggapan penonton atas aransemen dan

improvisasi tersebut tak terlalu positif. Banyak penonton yang diam dan hanya

menonton saja karena mungkin irama „rock-dangdut‟ tersebut tak terlalu enak untuk

joged. Hal yang berbeda terjadi OM membawakan lagu dangdut koplo, maka crowd

penonton akan meningkat dan banyak yang berjoged mengikuti alunan lagu. Ini

menunjukkan bahwa penonton tak terlalu mementingkan bagaimana atau

improvisasinya, namun yang terpenting lagu yang enak buat joged.

Dalam atraksi di atas panggung, para personel OM mayoritas hanya anteng

sambil memainkan alat musiknya, kecuali pemain tamborin dan MC. Selain

penyanyi, aksi pemain tamborin ini paling menyita perhatian penonton karena

gerakannya yang atraktif. Hampir setiap pemain tamborin suatu OM selalu bergerak

kesana-kemari, meneriakan „senggakan‟, atau „duet goyang‟ dengan para penyanyi.


90

Gambar 4.4. Aksi Pemain Tamborin dan MC dengan Penyanyi di Atas Panggung (Nindyo B.K)

Interaksi dengan penyanyi ini menjadi aspek teatrikal personel OM yang juga

dapat menarik perhatian penonton47. Tentunya atraksi-atraksi ini dimungkinkan salah

satunya karena struktur formasi OM dangdut koplo. Pemain tamborin yang notabene

tak terlalu „sibuk‟ dan tempatnya yang leluasa dapat bergerak bebas. Aksi seperti ini

juga sering dilakukan MC jika ia mendapat jatah duet menyanyi dengan penyanyi

seperti gambar di atas. Sikap personel yang atraktif inilah yang menjadi ciri khas

pertunjukan dangdut koplo seperti yang mudah kita dapati di pertunjukan dangdut

koplo lainnya, dan yang dapat membedakan dengan pertunjukan dangdut melayu

sebelumnya.

47
Seringkali penyanyi dan pemain tamborin bergoyang dengan gerakan yang mudah diasosiasikan
dengan adegan senggama, seperti penyanyi menjengking dan pinggul pemain tamborin maju-mundur
ke arah pantat penyanyi.
91

2. Penyanyi

Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa dalam semalam

pertunjukan dangdut di Purawisata terdapat sekitar enam sampai sepuluh penyanyi

yang semuanya wanita. Selain suaranya yang dijual sebagai tugas seorang „penyanyi‟,

tak kalah penting adalah penampilan dan atraksi mereka di atas panggung. Seperti

yang diungkapkan Chrtisty (2008), „keseksian‟ di atas panggung dangdut Purawisata

tampak sebagai keharusan untuk menarik minat penonton. “Penonton mana yang gak

senang lihat penyanyi seksi?” Seperti kata salah satu penyanyi Purawisata Endang

Karisma48. Maka terlihat bahwa semua penyanyi ini tidak ada yang tak tampil seksi.

Paling tidak mereka berusaha untuk tampil seseksi mungkin, dalam hal pakaian

maupun goyangan.

Dari segi pakaian yang dikenakan dapat berupa rok mini, gaun, hotpants,

setelan atas you can see atau yang lain. Tetapi yang pasti hampir semua penyanyi

memamerkan pahanya, belahan dada, bahkan tak sedikit yang membiarkan celana

dalamnya49 terlihat (lihat gambar 4.5). Tentang keseksian tubuh ini seringkali

diwartakan oleh MC kepada sebelum penyanyi naik panggung, misalnya; “sambutlah

Yona Santika! Penyanyi seksi dengan tubuh aduhai dan goyangan hot yang akan

48
Christy, Des, Dangdut Purawisata: Kajian Fungsi Elemen dan Interaksi Antar-Elemen dalam
Pertunjukan Dangdut di Purawisata (2008: 48)
49
Celana dalam yang terlihat ini mungkin bukan cawat tapi semacam short hitam ketat yang fit dengan
pangkal paha.
92

menghibur anda semua!”50. Ini memperlihatkan bahwa yang „dijual‟ bukan hanya

lagu dangdut saja, tapi juga penampilan dari penyanyinya.

Di samping pakaian yang dikenakan, para penyanyi ini juga mengandalkan

atraksi (goyang) di atas panggung untuk menonjolkan penampilan yang „hot‟. Atraksi

goyang penyanyi di atas panggung ini memperlihatkan pola-pola seragam, antara lain

(1) menggerakkan pinggul maju mundur mengikuti pukulan gendang; (2)

menungging dan menggoyangkan pantatnya; (3) mengangkat satu kaki saat masuk

„patahan‟ (mincid) lagu; (4) menggoyangkan pantat di pinggul personel OM; atau (5)

goyang pinggul tepat di atas penonton (di bibir panggung). Atraksi yang terakhir ini

seringkali juga mengumbar celana dalam mereka kepada penonton.

Gambar 4.5. Aksi Para Penyanyi dengan Penampilan Seksi di Purawisata (Nindyo B.K)

Dalam menyanyikan sebuah lagu, jarang sekali para penyanyi berinisiatif

menyanyikan judul pilihannya sendiri. Lagu yang mereka nyanyikan lebih banyak

50
Pengamatan 14 September 2011 dengan grup yang tampil OM New Satria.
93

request dari penonton atau „titipan‟ dari kerabat OM atau penyanyi 51. Setiap kali

penyanyi naik panggung mereka akan memberi salam dengan genit dan menawari

penonton mau dinyanyikan lagu apa. “Enaknya nyanyi lagu apa inii?? Apa, Ngamen

5? Ya sudah, langsung saja digeber.. Ngamen Limaa!!”, begitu kira-kira penyanyi

menanggapi teriakan-teriakan request lagu dari penonton yang bersiap joged di dance

floor. Jelas, dalam hal ini semua penyanyi harus hafal lagu-lagu mana saja yang

sedang banyak digemari penonton. Begitu pun para personel OM nya.

Begitu musik dimainkan OM, langsung saja para biduan ini bernyanyi

sembari unjuk keseksian dengan goyangan-goyangan seperti di atas. Jarang ada

penyanyi di sini yang berdiri anteng ketika menyanyi, tingkah laku mereka selalu

atraktif. Tentunya perilaku atraktif penyanyi ini sedikit banyak dibentuk oleh irama

musik koplo, karena gerak penyanyi akan selalu menyesuaikan ketukan gendang yang

bertalu cepat. Hal ini diakui oleh salah satu penyanyi Selly Arnelita seperti dalam

penuturan berikut:

“ Dangdut sekarang sama dangdut dulu (melayu) beda mas. Kalau dulu kan
slow-slow gitu. Udah gitu lagunya kebanyakan yang sedih-sedih. Kalau
sekarang malah banyak lagu-lagu pop yang dikoplo, iramanya cepet.
Makanya sekarang goyangnya (penyanyi) di panggung nya juga tambah
keringetan mas..hehe (Selly Arnelita, 23 Oktober 2011)

Harmonisasi antara musik koplo bertempo cepat dengan gerak-gerik penyanyi

yang mengikuti irama inilah dapat menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan-

gerakan yang dicap seksi, vulgar atau seronok di atas panggung dangdut koplo.
51
Pada saat sesi rehat, penyanyi dan OM biasanya berkumpul dengan kenalan atau kerabatnya di café
Calipso. Saat sesi kedua dimulai, MC dan OM seringkali mendapat permintaan lagu dari teman
mereka.
94

Kesesuaian antara aspek musikal dan aspek visual itulah yang kurang didapatkan

pada pertunjukan dangdut sebelum era koplo52. Dari sudut pandang ini, kemunculan

dangdut koplo bisa saja dilihat sebagai bentuk musik untuk

mengakomodasi/menambah aspek visual di atas panggung, yaitu agar penyanyi lebih

dapat menonjolkan sensualitas tubuhnya53.

Dari penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa penyanyi dangdut koplo

khususnya di Purawisata tak hanya menampilkan kemampuan menyanyi saja, tapi

juga kemampuan mereka untuk mengumbar sensualitas. Bahkan kualitas vokal pun

sepertinya dinomor-duakan; goyangan yang atraktif sambil menyanyi membuat

banyak suara nyanyian mereka tidak stabil –terputus-putus atau tak sampai pada nada

yang tinggi. Meskipun judulnya adalah „pertunjukan dangdut‟, tapi jangan harap

mendengarkan cengkok suara yang merdu. Apalagi yang dimainkan lebih banyak lagu

pop yang dikoplo dari pada lagu dangdut melayu yang syahdu.

3. Penonton

Seperti yang diungkapkan oleh etnomusikolog Shin Nakagawa (1999), pada

dasarnya „pertunjukan‟ adalah proses penyampaian pesan (message) dari performer

52
Aprinus salam dan Faruk dalam bukunya Hanya Inul (2003) menulis bahwa era dangdut sebelum
Inul banyak terjadi ketidaksesuaian antara aspek musikal/tekstual dengan aspek visual. Contohnya saja
penyanyi Vetty Verra tampil dengan tarian yang amat lincah dan dinamik ketika membawakan lagu
“sedang-sedang saja”. Padahal tarian tersebut tidak sinkron dengan musik maupun lirik lagunya.
53
Pada wawancara Inul Daratista di tayangan dokumenter TvOne tentang dangdut koplo 2011, Inul
menceritakan suatu ketika ia protes kepada para pemain OM-nya lantaran lagu-lagu dangdut yang
dimainkan terlalu pelan dan tak dapat mengakomodasi goyang ngebornya. Maka, dalam setiap
penampilannya Inul meminta semua lagu untuk dikoplo.
95

kepada audience. Padahal, kata Roland Barthes (1983) dalam semiotikanya,

pemaknaan akan tanda atau suatu pesan bisa berbeda-beda antar individu atau

kelompok, karena ruang pemaknaan bisa terbuka lebar. Begitu pun yang terjadi pada

pertunjukan dangdut Purawisata ketika penonton (audience) memaknai „pesan‟ yang

ditampilkan oleh OM maupun penyanyi (performer) dan termanifestasikan secara

berbeda-beda. Perbedaan sikap dan respon penonton melihat performance dangdut

koplo Purawisata ini secara umum bisa dikategorikan menjadi (1) penonton duduk,

(2) penonton joged, dan (3) penonton kathok.

Penonton duduk dikonsepkan sebagai penonton yang menikmati penampilan

OM dan penyanyi sembari duduk-duduk di kursi café Calipso yang ada di belakang

dance floor54. Penonton yang masuk kategori ini bisa diperkirakan sebagai kelas

menengah ke atas. Ini bisa dilihat dari penampilan mereka yang rapi dan kasual serta

menikmati bir dan makanan café yang harganya lumayan mahal 55. Sikap mereka

menikmati pertunjukan dangdut tampak santai, tenang, tidak berapi-api, atau duduk

sambil berbincang dengan temannya, seperti ketika menikmati konser musik jazz atau

orkestra56. Dalam keadaan menonton seperti ini, respon mereka terhadap suguhan

musik dan juga penampilan di atas panggung tidak terwujud melalui tingkah laku

atau gerakan fisik yang jelas.

54
Kategori Penonton duduk ini berbeda dengan penonton yang juga duduk-duduk di tepi dance floor
sambil mendongak ke panggung menikmati goyangan penyanyi.
55
Mobil-mobil yang berderet di parkiran mungkin saja milik penonton dari kategori ini.
56
Ada kalanya mereka ikut berjoged di dance floor ketika dirasa musik atau penampilan penyanyinya
menarik. Tapi ini tidak lama, sebentar saja mereka lantas kembali ke tempat duduk.
96

Kedua adalah penonton joged, yaitu para pengunjung yang berjubel di dance

floor sambil berjoged di depan panggung. Penonton di sini kebanyakan anak muda

laki-laki, tapi tak sedikit pula „bapak-bapak‟, „ibu-ibu‟ bahkan kadang juga waria.

Dari penampilannya yang ala-kadarnya mudah disimpulkan mereka golongan

menengah ke bawah. Bau alkohol mudah tercium jika masuk kerumunan ini.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, kategori penonton inilah yang sering

melontarkan permintaan lagu kepada penyanyi. Setelah lagu dimainkan, kebanyakan

dari mereka tidak lagi menatap panggung, tapi segera berjoged dengan setengah

terpejam, menunduk, serta menggoyangkan badan dan tangan mengikuti alunan

musik. Kadang-kadang mereka ikut menyanyikan/meneriakkan penggalan lagu jika

mengetahui liriknya. Golongan penonton inilah yang lebih menikmati aspek musikal

dari pada suguhan performance lain seperti goyangan penyanyi misalnya. Sikap ini

terlihat jelas ketika „ibu-ibu‟ dan penonton langganan lain memilih membelakangi

panggung dan acuh terhadap atraksi penyanyi pada saat berjoged.

Gambar 4.6. Aksi para penonton; penonton wanita yang njoged membelakangi panggung
dan seorang penonton yang mabuk (Nindyo B.K)
97

Kategori ketiga adalah penonton kathok57, yaitu para pengunjung yang

berkerumun mepet di bibir panggung. Karakteristik sosial penonton ini tak jauh

berbeda dengan penonton joged, mungkin yang menguatkan ciri mereka antara lain

semuanya laki-laki, anak muda, dan kebanyakan mabuk. Seperti namanya, tujuan

mereka berada di depan panggung yaitu untuk mempelototin atraksi penyanyi dan

nginjeni kathok (celana) penyanyi. Ini bisa dilihat ketika OM baru tampil dan

memainkan lagu pembuka yang hanya dinyanyikan MC, panggung hanya diisi oleh

pengunjung yang berjoged di dance floor. Namun pada saat si penyanyi seksi naik ke

panggung, mereka langsung saja merapat ke bibir panggung dan suasana pertunjukan

pun menjadi semarak. Penonton kathok ini juga sering berinteraksi dengan sang

penyanyi, tapi bukan untuk request lagu melainkan nylekopi „mengejek sekenanya‟

atau hanya ingin bersalaman dengan penyanyi.

Pada saat lagu dimainkan mereka tidak berjoged atau bernyanyi. Penonton

golongan ini memilih sikap diam sambil menikmati sensualitas yang diatraksikan

oleh penyanyi dari dekat. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang merekamnya

menggunakan handphone atau handycam. Dari teknik merekamnya yang mengambil

gambar dari bawah terlihat jelas bahwa mereka ingin mendapatkan visualisasi kathok

penyanyi. Melihat perilaku penonton ini ada penyanyi pernah menanggapi, “nyoh,

ketok ora? Aku nganggo kathok ki lho!” (nih, kelihatan nggak? Aku pakai celana ni

lho!). Penyanyi lain menanggapinya dengan genit, “wis gek direkam sing suwe mas,

ben kanggo sangu turu kana” (Direkam yang lama mas, biar untuk bekal tidur sana).
57
Istilah ini diperoleh dari Lono L. Simatupang ketika memberikan kuliah.
98

Menariknya tingkah laku intip-mengintip ini sudah bukan lagi hal yang tabu, seperti

terlihat banyak penonton yang merekam dan mengintip dengan terang-terangan.

Penyanyi sendiri sepertinya tidak kelihatan risih diperlakukan seperti itu, malahan

tampak mengumbar dan dijadikan sebagai gojekan.

Gambar 4.7. Penonton Kathok yang Merekam Aksi Penyanyi Dengan HP (Nindyo B.K)

Respon dari penonton kathok ini menunjukkan bahwa mereka lebih

mengutamakan aspek visualitas pada pertunjukan dangdut Purawisata. Mereka tidak

terlalu peduli dengan bagaimana musiknya dan lagu apa yang dibawakan, yang

penting penyanyi tampil seksi dan bergoyang sensual. Di sinilah peran aliran koplo

yang mengakomodasi keinginan mereka melalui penampilan atraksi penyanyinya

yang khas.

Pengkategorian penonton di atas memang tidak baku. Bisa saja ada

pengunjung yang menonton sambil menikmati minuman café, lantas turun lantai dan

berjoged, setelah lelah joged ia menikmati atraksi penyanyi sambil iseng-iseng

merekamnya. Penggolongan ini hanya ingin menunjukkan bahwa dalam menikmati


99

pertunjukan dangdut Purawisata terdapat ruang-ruang yang didalamnya satu ruang

punya struktur pemaknaannya sendiri.

Di luar respon yang beragam, aspek musikal dan visual ini oleh penonton

dipandang sebagai daya tarik yang terkandung dalam dangdut koplo. Karena ini pula

mereka yang menjadi alasan mereka mengunjungi pertunjukan dangdut koplo seperti

di Purawisata, seperti dalam penggalan wawancara terhadap Dimas, salah satu

penonton:

“Saya nggak milih-milih OM mana yang main mas, kalau lagi pingin
nonton asal ada uang ya berangkat aja, yang penting musiknya asik, kayak
koplo gitu. Soalnya musiknya lebih seru gitu, penyanyinya juga seksi-seksi,
hahaha”58

Dimas yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang sablon ini tidak terlalu

memilih-milih salah satu grup musik yang tampil, baginya semua sama saja.

Ketertarikan Dimas untuk datang ke pertunjukan dangdut Purawisata salah satunya

dipengaruhi oleh dangdut koplo yang dibawakan oleh grup-grup dangdut Purawisata.

Ia menambahkan, dalam melihat pertunjukan dangdut kadang ia berjoged, kadang

juga hanya melihat penyanyi yang tampil. Penyanyi-penyanyi yang tampil seksi

cukup menarik perhatian para pengunjung. Dimas pun seperti kebanyakan

pengunjung lain yang sepertinya telah mengkonsumsi alkohol dahulu sebelum

menonton pertunjukan dangdut, terbukti dari aroma alkohol yang tercium dari

mulutnya. Hal yang sama juga diakui seorang penonton yaitu Rio yang mengatakan

bahwa ketertarikan datang ke Purawisata karena adanya dangdut koplo. Ia mengaku

58
Wawancara 22 Oktober 2011
100

tujuannya datang ke Purawisata untuk mencari hiburan dan melepaskan kepenatan

hidup sehari-hari. Maka dari itu ia cenderung tidak menyukai OM yang terlalu

banyak membawakan lagu dangdut pure yang terkesan sedih dan mendayu-dayu.

Penutup

Pertunjukan dangdut Purawisata mau tidak mau juga harus mengikuti trend

yang sedang berubah, yaitu dangdut koplo yang sedang populer saat ini. Adopsi

musik koplo di Purawisata juga tak lepas dari faktor ekonomis untuk mendatangkan

kembali pengunjung karena musik itulah yang sedang banyak digemari masyarakat.

Proses adopsi musik koplo oleh OM dan penyanyi dari episentrumnya di Jawa Timur

melalui berbagai cara, antara lain menggunakan sarana media seperti VCD, televisi

dan internet juga melalui interaksi kepada penonton maupun kerabatnya.

Kekompakan permainan OM dan penyanyi menjadi hal penting karena dangdut koplo

merupakan musik yang penuh aransemen dan improvisasi.

Di bab ini disampaikan juga sub-bab performance yaitu untuk melihat apa

saja pengaruh musik koplo setelah termanifestasikan dalam pertunjukan dangdut

Purawisata. Pada lagu yang dimainkan OM kita tahu bahwa lagu pop yang dikoplo

lebih merajai dari pada lagu dangdut otentik sendiri. Penonton juga lebih menyukai

lagu koplo daripada lagu dangdut yang mendayu-dayu. Selain itu, lagu-lagu koplo ini

secara tidak langsung menambah penampilan penyanyi di atas panggung menjadi

lebih sensual. Sensualitas di atas panggung ini menjadi satu paket bagi sebuah

pertunjukan dangdut koplo. Karena itu pada kasus Purawisata para penonton ini
101

terbagi atas mereka yang menikmati musik atau yang menikmati penampilan sensual

penyanyi.

Jika boleh menarik ke pembahasan yang lebih luas, apa yang diperlihatkan

oleh pertunjukan dangdut koplo khususnya Purawisata dapat dipandang sebagai

bentuk resistensi oleh masyarakat pendukungnya. Paling tidak ada dua, pertama

perlawanan terhadap industri hiburan kelas atas seperti televisi, showbiz ataupun

kesenian tingkat tinggi di mana aspek musikal, tekstual maupun visual seperti di atas

tidak dengan mudah dapat diterima. Namun pada panggung seperti Purawisata

mereka dapat dengan bebas memainkannya. Hal ini seperti pendapat Hatib Abdul

Kadir (2008) bahwa pertunjukan Orkes Melayu menjadi arena untuk memberontak

dari tatanan yang ada untuk membuktikan resistensi. Penilaian yang sama dilontarkan

F.X Rudy Gunawan (2003: 7-14) bahwa pusaran pantat penyani dangdut daerah

menyimbolkan kefrustasian masyarakat juga ekspresi tentang kebebasan.

Kedua, seperti yang dikatakan P.M Laksono dalam tulisannya Budaya

Yogyakarta Dulu dan Kini (1996), ungkapan seksual yang terbuka lebar di

pertunjukan dangdut koplo ini merupakan ekspresi ngoko untuk melawan hierarki

masyarakat yang penuh sungkan-sungkanan. Namun ekspresi ini terlokalisasi hanya

di acara seperti pertunjukan dangdut Purawisata saja. Setelah acara selesai, mereka

pun kembali masuk pada struktur hierarki masyarakat yang tak bisa dengan mudah

melakukan hal seperti di arena pertunjukan –seperti mengintip rok penyanyi

misalnya.
102

Pertunjukan dangdut Purawisata hanya sekedar contoh, karena bentuk

perlawanan ini tentunya juga termanifestasikan pada panggung-panggung dangdut

koplo lainnya.
103

BAB V

KESIMPULAN

Musik dangdut merupakan aliran musik Indonesia modern, jika bukan

merupakan salah satu musik yang paling populer (Simatupang, 1996: 62). Ia lahir dari

proses dialektis berbagai unsur budaya, yang ditujukan sebagai sebuah kesenian

populer „asli‟ pribumi untuk menandingi bentuk-bentuk kesenian luar. Pengaruh-

pengaruh politik, sosial, ekonomi dan teknologi di Indonesia berperan besar dalam

membentuk musik ini. Sebagai musik populer, ia bersanding dengan musik-musik

Indonesia lainnya yang juga mempunyai penggemar cukup besar. Walaupun begitu,

basis sosial penggemarnya sulit untuk kita sejajarkan dengan pop, rock, jazz, atau

musik Barat lain. Dangdut terkesan inferior di dalam pergaulan sosial budaya musik

Indonesia.

Lantas muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya posisi dangdut dalam

percaturan sosial budaya musik Indonesia? Dari awal kemunculannya sampai saat

ini, dangdut selalu terletak pada posisi subordinat jika dibandingkan musik yang

berafiliasi dengan musik barat, seperti pop, rock atau orkestra. Munculnya Orkes

Melayu sebagai cikal bakal dangdut sendiri dimaksudkan untuk menyetarakan

sekaligus membedakan kesenian pribumi terhadap orkes Barat yang lekat pada

bentuk kesenian kolonial. Namun asosiasinya dengan „pribumi‟ pun malah menjadi

linier dengan „rakyat‟,‟ jelata‟, yang berkonotasi kesenian rendahan. Pada era Rhoma

Irama dan setelahnya, stigma dangdut sebagai musik rendahan menguat karena
104

bersamaan dengan hadirnya berbagai unsur musik Barat yang mayoritas

penggemarnya dari kalangan menengah ke atas. Anggapan-anggapan dangdut sebagai

seni rendahan tersebut bukan hanya pada tingkat wacana saja, namun dari

repertoarnya dapat diketahui bahwa ia memang merepresentasikan sebagai musik

kaum pinggiran. Melalui analisis lirik dan bangunan musiknya tampak bahwa

dangdut menegaskan posisi marjinal pendengarnya.

Walaupun berstatus sebagai musik kaum marjinal, pada perkembangan musik

ini kita dapat melihat bahwa dangdut terbedakan antara kelas atas (nasional) dan

kelas bawah (pinggiran). Dangdut kelas atas ini berawal dari gerak arus dangdut

Rhoma Irama ke arah „nasional‟ dengan jasa industri, kapitalisme, media, politik dan

kekuatan pusat. Dibelakangnya mengekor artis-artis tenar dengan musik dan

penampilan yang telah „ditertibkan‟ oleh pemerintah, dan musiknya berkiblat pada

pop-melayu. Sedangkan pada arus yang lain, dangdut pinggiran seperti halnya

dangdut koplo terus berkembang di pelosok-pelosok dengan mewarisi gaya seksi

Ellya Khadam, Elvy Sukaesih serta dipadukan dengan kesenian tradisional.

Melihat dualisme aliran dalam dangdut tersebut, maka diajukan pertanyaan

bagaimana relasi antara dangdut pinggiran dengan dangdut kelas atas?

Sebagaimana relasi sosial yang membingkainya, relasi antara kedua kebudayaan

dangdut tersebut bersifat politis. Relasi kekuasaan yang didalamnya dangdut kelas

atas tidak hanya menempatkan diri sebagai patron atas dangdut pinggiran, namun

juga berposisi sebagai sumber legitimasi bagi pengakuan terhadap dangdut kelas

bawah itu. Pelarangan dan pencekalan Rhoma Irama terhadap Inul yang
105

membawakan dangdut koplo menunjukkan pola tersebut. Seperti yang telah diuraikan

pada bab 2, pelarangan dari rezim dangdut terhadap dangdut koplo karena dianggap

merusak moral bangsa dan musik dangdut sendiri, yang membuat lembaga politik,

agama, dan media massa turut mencekalnya. Konfrontasi antara kedua aliran dangdut

ini membuat dangdut koplo tidak lebih lanjut terangkat ke dunia hiburan nasional,

melainkan membuatnya kembali merebak ke panggung-panggung daerah di mana

tidak ada aturan ketat yang mengekangnya. Hal ini menunjukkan bahwa jika dulunya

Rhoma Irama mengangkat dangdut sebagai perlawanan terhadap dominasi musik

Barat, maka saat ini dangdut kelas atasnya-lah yang bersikap otoritatif terhadap

dangdut pinggiran.

Dengan begitu, apakah dangdut koplo sebagai dangdut pinggiran lantas

menerima keadaannya begitu saja? Tentu tidak. Ada berbagai bentuk perlawanan

yang diungkapkan oleh pertunjukan dangdut koplo. Pada musik yang dibawakan

dangdut koplo membongkar tatanan musik dangdut kelas atas. Seperti yang

didetailkan pada bab 3, unsur yang lekat dengan dangdut konservatif seperti cengkok,

irama chalte, nada syahdu dan lirik yang mendayu-dayu dihilangkan untuk digantikan

dengan ritme yang cepat bertalu, pukulan gendang yang terpotong-potong (mincid),

lirik yang cabul, dan mencampur adukan unsur pop, rock, disco, dan seni lokal. Lagu

yang dibawakan malah lebih banyak lagu pop rock populer nasional bahkan

internasional untuk diiramakan menjadi koplo. Hal ini dapat dilihat bukan hanya

sebagai bentuk regionalized nationality seperti kata Weintraub, namun sudah pada

taraf „regionalized globality‟. Unsur budaya pusat yang ditarik masuk ke pinggiran
106

bukan hanya pada taraf nasional saja, bahkan telah pada skup global. Dengan kata

lain hubungan pusat-pinggiran telah dilenturkan di dalam musik dangdut koplo ini.

Pada aspek penampilannya, dangdut koplo juga sangat berbeda dengan

dangdut kelas atas sepeti yang kita saksikan di layar kaca. Seperti yang terungkap

pada penelitian di pertunjukan dangdut Purawisata, keseksian penampilan penyanyi

di atas panggung menjadi unsur penting dalam pertunjukan dangdut koplo. Bahkan

lebih lanjut ditengarai bahwa musik koplo ini dimainkan agar mendukung penyanyi

untuk tampil atraktif dan sensual. Dengan kata lain, musik dangdut koplo dapat lebih

mengakomodasi (untuk tidak bilang „memunculkan‟) dan memaksimalkan sensualitas

penyanyi di atas panggung. Dari penelitian lapangan terungkap bahwa penonton

dangdut koplo ini terbagi antara yang menikmati aspek musikal pertunjukan dan juga

aspek visual penyanyi di atas panggung.

Apa yang ditampilkan dalam pertunjukan dangdut koplo tersebut tentu saja

sangat bertolak belakang dengan himbauan Rhoma Irama agar dangdut tampil lebih

tertib dan sopan59. Pertunjukan dangdut koplo ini bukan saja melawan hegemoni

dangdut adiluhung, namun juga bisa dipandang sebagai perlawanan terhadap rezim

moral dan politik yang membatasi dan mengatur perilaku masyarakat pada kehidupan

sehari-hari. Penampilan penyanyi yang mengumbar aurat dan goyangan „saru‟ serta

penonton yang bisa „dengan bebas‟ nginjeni penyanyi tampaknya sulit ditemui pada

pertunjukan besar dan terbuka.

59
Berdasarkan wawancara pada majalah Gatra, No. 15/II 24 Februari 1996
107

Lantas apa hasil dari perlawanan ini? Progresivitas yang ditampilkan

dangdut koplo paling tidak memberi ruang bagi para musisi dan penyanyi untuk

mengeksplorasi kreativitas musik dan penampilan mereka. Dangdut tidak lagi berdiri

pada pakem-pakem yang digariskan seperti dangdut konservatif. Adanya kebebasan

dalam mengemas musik ini terbukti malah lebih digemari oleh masyarakat. Dengan

adanya perkembangan teknologi seperti internet dan VCD, dangdut koplo saat ini

malah lebih tersebar luas dibanding dangdut kelas atas yang jarang tampil sudah di

televisi60. Seperti yang terjadi pada pertunjukan dangdut Purawisata, dengan

diadopsinya dangdut koplo pengunjung yang datang semakin ramai. Pengunjung

tidak hanya dari kalangan bawah seperti anggapan penonton dangdut biasanya,

namun tak sedikit dari kalangan menengah bahkan atas. Hal ini menunjukkan bahwa

dangdut pinggiran tidak lagi di bawah bayang-bayang dangdut kelas atas sebagai

patronnya namun dapat mengembangkan diri dengan gayanya sendiri.

Begitulah pertunjukan dangdut koplo, sebuah musik masyarakat pinggiran.

Hiburan yang sederhana, terbuka, tanpa kesungkan-sungkanan, ngoko, dan

„kerakyatan‟. Pertunjukan seperti inilah yang sebenarnya merupakan sebuah ekspresi

tandingan, sebuah oase dari rakyat kecil di tengah kehidupan yang penuh rezimentasi

kapital, politik, dan budaya, di tengah hiburan-hiburan massa yang mahal dan

eksklusif. Akan tidak adil ketika seni seperti ini dilarang karena dianggap liar atau
60
Kemunculan Ayu Ting-ting sebagai ujung tombak dangdut nasional saat ini pada medio 2011
sebenarnya pengaruh dari dangdut daerah yang sebelumnya populer. Ini bisa dilihat bahwa
kemunculannya secara nasional hampir bersamaan dengan Mela Barbie yang membawa pong-dut atau
Ratna Antika dengan dangdut koplonya. Namun ketika ternyata hanya Ayu Ting-ting yang dapat
bertahan lama di industri hiburan nasional, ia malah menghilangkan unsur musik dangdut dalam
pertunjukannya dan digantikan dengan pop-disco atau house.
108

merusak moral, sementara hiburan lain yang sama permisifnya dibiarkan terbuka

hanya karena mempunyai basis sosial ekonomi yang berbeda. Maka pembatasan dan

larangan terhadap bentuk-bentuk kesenian seperti ini sama saja dengan pengekangan

hasrat seperti yang dulu dilawan oleh Rhoma Irama. Hasrat dari apa? Tentunya dari

fantasi dan aspirasi golongan masyarakat yang jujur, medok, dan apa adanya, di mana

dangdut seperti koplo-lah yang sanggup mengkomunikasikannya.

Dengan demikian, biarlah dangdut tetap menjadi musik „comberan‟, yang

hangat, dekat, bau, seronok, sebagai tempat membuang keluh-kesah kehidupan.

Biarkan ia tetap menjadi „bahasa‟ pinggiran. Ke mana lagi „rakyat‟ mencari hiburan

jika dangdut dipaksa menjadi seni kelas atas?


DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri


2000 “Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan Post-
Modernitis” dalam Ketika Orang Jawa Nyeni, Ahimsa-Putra (ed).
Yogyakarta: Galang Press.
2005 Paradigma, Teori, dan Metode. Makalah dalam “Workshop Penelitian
Kualitatif” diselenggarakan oleh Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas
Mulawarman. Samarinda 14-17 September.

Ashaf, Abdul Firman


2006 Sikap Politik Pemerintah dalam Perwacanaan Musik Populer Tahun 80-an
dan 90-an dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 9, No. 3 (337-
354)

Barthes, Roland
2004 “Mitologi”. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Budiman, Hikmat
2002 Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Christy, Des
2008 “Dangdut Purawisata: Kajian Fungsi Elemen dan Interaksi Antar-Elemen
dalam Pertunjukan Dangdut di Purawisata.” Skripsi Jurusan Antropologi
FIB UGM

Clayton, Martin (ed)


2002 The Cultural Study of Music: A Critical Introduction. London: Routledge

Cook, Nicholas
2003 “Music as Peformance”, dalam Martin Clavton, Trevor H., dan Richard M.
(peny.) The Cultural Study of Music. New York: Routledge. Hlm. 204-214

Faruk dan Aprinus Salam


2003 Hanya Inul. Yogyakarta: Pustaka Marwa

Frederick, William H.
1982 “Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian
Popular Culture.” Indonesia 34: 102-130
Foucault, Michel
2000 Seks dan Kekuasaan, S. H. Rahayu (Penterj.) Jakarta: Gramedia

Geertz, Clifford
1992 “Art as a Cultural Knowledge” dalam “Local Knowledge”. New York: Basic
Book Inc.

Gunawan, Rudy FX
2003 Mengebor Kemunafikan: INUL, Seks, dan Kemunafikan. Yogyakarta: Galang
Press.

Hardjana, Suka
2004 Musik Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Kompas.
2004 Esai & Kritik Musik. Yogyakarta: Galang Press.

Harsojo
1967 Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta

Hatch, Martin
1985 “Popular Music in Indonesia” dalam Popular Music Perspectives 2. D. Horn
(ed) Goteborg, Exeter: IASPM

Hebdige, Dick
1999 Subculture; The Meaning of Style. London dan New York: Routledge

Hefner, Robert
1987 The Politics of Popular Art Tayuban Dance and Culture Change in East Java.
Indonesia 43: 75-94

Holt, Claire
1967 Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ithaca-New York: Cornel
University Press

Holt, Fabian
2007 Genre in Popular Music. Chicago: University Chicago Press

Ibrahim, Idi Subandi (ed)


1997 Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komunitas Indonesia.
Yogyakarta: Jalasutra

Ismangoen, Soerjanto
1991 “Musik Pop Dangdut: Sebuah Kenyataan yang Patut Diperhatikan” dalam
Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita, Soedarso SP. (ed).
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta

Kadir, Abdul Hatib


2008 “Erotika Tubuh Penyanyi Dangut Pinggiran”. Gong 102 (IX): 28-31

Kleden, Ignas
1988 Paham Kebudayaan Clifford Geertz dalam “Rencana Monografi” The Society
for Political and Economic (SPES) dan LP3ES dalam kerjasama dengan
Friedrich Naumann Stiftung (FNS)

Koentjaraningrat
1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: P.T. Rineka Cipta

Laksono, P. M.
1997 “Budaya Yogyakarta Dulu dan Kini” dalam Koentjaraningrat dan
Antropologi di Indonesia, Masinambow (ed). Jakarta: YOI dan IKAPI Jakarta.
2011 Memahami Kebudayaan (Indonesia) Dari Perspektif Antropologi. (Bahan
untuk pembahasan RUU Kebudayaan dari Pendamping Ahli Komisi X DPR
untuk pembahasan RUU Kebudayaan).

Majalah Gatra, No.15/II 24 Februari 1996, “DANGDUT”


_________________________________, “Berkat Evolusi Sang Raja”
_________________________________, “Semarak Primadona Industri Hiburan”

Mack, Dieter
2007 Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi

Merriam, Alan P.
1964 The Anthropology of Music. Evanston: Northwestern University Press

Murgiyanto, Sal (ed)


2003 “Mencermati Seni Pertunjukan 1: Perspektif Kebudayaan, Ritual Hukum”.
Surakata: The Ford Foundation & STSI

Nakagawa, Shin
1999 Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia

Neate, Patrick and Damian Platt


2006 Culture is Our Weapon: Making Music and Changing Lives in Rio de Janeiro.
New York: Penguin Books

Nettl, Bruno
2004 Folk Music. Microsoft Encarta Encyclopedia.

Pasaribu, Amir
1986. Analisis Musik Indonesia. cetakan I. Jakarta: P.T. Pantja Simpati

Piah, Harun Mat


1989 Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Redfield, Robert
1953 The Primitive World and Its Transformations. Ithaca New York: Cornell
University Press
1989 The Little Community, Peasant Society and Culture. Chicago: The University
of Chicago Press

Rogers, Everet M. dan F. Floyd Shoemaker


1981 Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.

Rusbiantoro, Dadang
2008 Generasi MTV. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra

Schieffelin, Edward L.
1998 “Problematizing Performance”, dalam Felicia Hughes-Freeland (peny.)
Ritual, Performance, Media. New York: Routledge. Hlm. 194-207

Sedyawati, Edi dan Sapardi J. Damono


1991 Beberapa Masalah Perkembangan Kesenian Indonesia Dewasa Ini. Jakarta:
Fakultas Sastra UI.

Simatupang, Lono Lastoro


2008 Kisah Sebuah Nama: “Orkes Melayu” dalam Dangdut. Makalah dalam
diskusi mingguan Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Soedarsono, R.M.
2002 Seni Pertunjukan: Dari Perpektif Politik, Sosial dan Ekonomi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta

Soemardjan, Selo
1980 “Kesenian dalam Perubahan Kebudayaan”, dalam Analisis Kebudayaan.
Jakarta: Departmen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 19-26

Spradley, James dan McCurdy


1975 Cultural Experiences, Ethnography in Complex Society. Chicago: Science
Research Association.

Shepherd, John
1993 “The Analysis of Popular Music” dalam The Polity Reader in Cultural
Theory. Oxford: Blackwell Publisher

Storey, John
2002 Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam

Supanggah, Rahayu,
1995 Etnomusikologi (Ed). Yogyakarta Yayasan Bentang Budaya
.
Suparlan, Parsudi
1993 “Kemiskinan di Perkotaan”. Jakarta: Yayasan Obor

Taryanto, H.S
2010 Genre Musik Dangdut dalam Perubahan. Diakses dalam
hstaryanto.wordpress.com pada 18 Mei 2011.

Trilaksono, Wahyu
2009 Goyang atau Joged Sebagai Sebuah Seni Pertunjukan dalam Musik Dangdut.
Jakarta: Kuliah Sejarah Kesenian Universitas Indonesia

Turino, Thomas
2008 Music as Social Life: The Politics of Participation. Chicago Studies in
Ethnomusicology: Paperback.

Weintraub, Andrew N.
2010 Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular
Music. New York: Oxford University Press Inc.

Wicaksana, Inu
1996 Aspek Psikiatrik Penyalahgunaan Ekstasi dalam Makalah Semiloka “Peran
Keluarga dan Sekolah dalam Penangulangan Narkoba, Miras, dan Ekstasi”
Fak. Psikologi UST 5 Desember 1996

Yampolsky, Philip
1991 “Indonesian Popular Music: Kroncong, Dangdut and Langgam Jawa”.
Washington, DC: Smithsonian Folkways

Laman Terkait

http://www.cemetz.mywapblog.com/2010/01/sejarah/dangdut/koplo
http://www.forum.kompas.com/2011/08/sekilas/sejarah/dangdut/koplo
http://www.jelajahbudaya.com/2010/05/dangdut/ koplo/predator/musik/populer
http://www.kompasiana.com/2011/01/kendang/kempul/musik/asli/banyuwangi
http://www.keyboardiz.com/2010/05/ sejarah/musik/dangdut/koplo /indonesia
http://www.rileks.com/2007/07/dokumentasi/musik/indonesia
http://www.rizafahlevi.blogspot.com/2009/09/ketika/dangdut/tak/lagi/melayu
GENEALOGI ALIRAN (GENRE) DALAM DANGDUT

Musik Melayu-Deli 1930an Orkes Barat, India, Timur Tengah, Latin


(Seni Bangsawan, Ronggeng Melayu)

Orkes Melayu
1950an (OM Chandraleka, OM Pancaran Muda, Ellya Khadam)

Pop-Rock Amerika
Film India

Dangdut Sweet Dangdut Atraktif 1970an Dangdut Pop-Rock


(Mansyur S.) (Elvy Sukaesih) (Rhoma Irama)

Unsur Tradisional

Dangdut Pure/Standar Dangdut Erotis D. Daerah D. Disco D. Pop D. Roc


(Meggy Z./ Iis Dahlia) (Pinggiran: Dolly/Sekaten) (Euis C). (Nini C.) (C. Malik) (Rhoma i
1980-90an

Musik
Kesenian Pop-Rock
Tradisional Populer

2000an - ... Dangdut Koplo


(Inul Daratista, OM-OM Daerah)
Keterangan:

: Garis Keturunan Langsung : Unsur Pengaruh


: Garis Pengaruh ( ) : Representasi Artis

Anda mungkin juga menyukai