Anda di halaman 1dari 15

DINAMIKA KESENIAN ISLAM JEDOR

DESA SENDANGAGUNG KECAMATAN PACIRAN


KABUPATEN LAMONGAN (1970-2019)

Laporan Kuliah Lapangan


Untuk Memenuhi Mata Kuliah
Kepemimpinan Dalam Pemerintahan

Dosen Pengampu :
Imam Fadlli, S.IP., M.Si.

Disusun oleh :
Marselia Junia Koimil Wafa
21072008

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PRODI ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ‘ULUM
LAMONGAN
2023
DAFTAR ISI

Daftar Isi ........................................................................................................................... i


Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 2
Bab II Pembahasan
A. Kesenian Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan ........................................................................................... 3
B. Dinamika Kesenian Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan ........................................................................................... 5
Bab III Penutup
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 11
B. Saran ................................................................................................................... 11
Daftar pustaka ................................................................................................................. 12

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Jedor adalah jenis kesenian rakyat di Desa Sendangagung Kecamatan Paciran


Kabupaten Lamongan. Nama jedor diambil dari salah satu nama instrumen yang terdapat
dalam kesenian tersebut. Kesenian Jedor menggunakan enam alat musik sumber bunyi
dihasilkan dari kulit binatang seperti, kendang ciblon, jedor, trebang, kenengan semacam
alat musik trebang tetapi memiliki ukuran lebih kecil, kethuk dan kempyang. Jedor
menggunakan syair atau lirik lagu yang diambil dari kitab Al-barzanji yang isinya puji-
pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW.
Kesenian-kesenian di nusantara bernafas Islam, pada umumnya menggunakan
instrumen trebang menjadi pendukung utama. Insrtumen trebang sangat berperan dalam
mengatur peralihan irama dan tempo. Kesenian jedor menggunakan instrumen kendang,
pada kesenian Jawa.
kendang berperan sebagai pengatur tempo dan irama, dikesenian jedor instrumen
trebang memiliki peran penuh dalam mengatur tempo dan peralihan lagu. Posisi penting
berikutnya adalah kenengan, pemain memainkan alat musik kenengan bertindak sebagai
engko, salah satu pemain dari kesenian Jedor yang mempunyai peran setelah dalang dan
berperan menyambung lagu saat dalang sudah tidak kuat dengan lagu bernada tinggi.
Jedor dimainkan oleh enam orang laki-laki rata-rata berusia lebih dari lima puluh tahun.
Kesenian Jedor ada yang disebut sebagai dalang, yakni orang yang berwenang mengatur
lagu, biasanya dalang adalah pemain yang memainkan alat musik trebang.
Kesenian musik jedor dulunya dibuat untuk mengiringi seni pencak kuntulan, konon
seni ini sudah ada bahkan sebelum indonesia merdeka yaitu sekitar tahun 1930-an. Pada
saat itu jedor dipesan langsung dari palembang, sumatera selatan. Sampai saat ini jedor
asli palembang yang masih ada disimpan, sedangkan jedor-jedor yang baru saat ini
biasanya di pesan dari bungah gresik. Jedor sendangagung dihidupkan penggiat jedor
pada saat itu oleh carik murib, yaitu sekertaris desa pada masa pimpinan kepala desa tajid.
Beliau adalah orang yang pintar dalam bidang seni dan mampu membuat kesenian jedor
di desa sendangagung menjadi banyak di minati banyak masyarakat setempat.

1
Kesenian musik jedor di desa sendangagung pada masa itu mendatangkan guru
berzanji dari bungah gresik. Adapun pemain kesenian musik jedor sedangagung yang
terkenal sebagai maestro di antaranya yaitu, alm.bapak muslihan dan alm.H. nur hasyim.
Ada beberapa nama grup jedor yang terkenal pada zaman carik murib yaitu RONO JOYO
kemudian muncul grup penerus seperti DALIMAS KUNTUL dan GOLDEN STAR
(jedor modern). Saat ini kesenian musik jedor banyak di minati oleh kaum muda seusia
sekolah yang memiliki grup jedor sendiri dengan nama jedor Al Islah dan jedor Al
muhtadi.
Meskipun musik jedor sudah ada sejak lama, para pemain seni ini terus berinovasi dan
mengembangkan bentuk musiknya, baik dari segi alat musik maupun teknik permainan.
Seni musik jedor juga sering dipertunjukkan dalam berbagai festival seni dan budaya di
indonesia maupun luar negeri.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pembahasan dalam penelitian ini akan
memfokuskan pada beberapa hal, yaitu:
1. Bagaimana monografi Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan?
2. Bagaimana kesenian Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan?
3. Bagaimana dinamika kesenian Islam Jedor Desa Sendangagung Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan (1970 – 2019)?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui monografi Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan.
b. Untuk mengetahui kesenian Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan (1970 – 2019).
c. Untuk mengetahui dinamika kesenian Islam Jedor Desa Sendangagung Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan (1970 –2019).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KESENIAN JEDOR DESA SENDANGAGUNG PACIRAN LAMONGAN


(Awal mula kesenian jedor di desa sendangagung).
Seni musik dalam Islam sungguh tidak lepas dari beberapa kontroversi. Terdapat dua
kubu pada permulaan intelektual Islam yang berpendapat tentang seni musik dalam Islam,
teori dasar musik pertama dipelopori oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina, mereka bersepakat
untuk menyikapi musik sebagai sesuatu yang terpisah dari hal lain termasuk agama,
sedangkan Al-Kindi dan Ikhwan berpendapat bahwa musik dapat dijadikan sarana dan
menggambarkan suatu jalan ke arah kemajuan spiritual yang lebih tinggi. Dalam
bukunya, Sidi Gazalba berpendapat bahwa kurun-kurun besar kesenian dalam sejarah
kebudayaan berlatarbelakang agama yang kuat. Dalam kebudayaan seni itu inheren
dengan agama, bahkan ada teori yang menyatakan, bahwa bermacam cabang seni lahir
dari agama.
Kesenian musik Islam di Indonesia tidak dapat dipastikan kapan perkembangannya.
Berdasarkan pendapat para peneliti, Islam masuk di Indonesia melalui jalur perdagangan
sekitar abad ke 7, sedangkan penyebaran Islam sendiri dimulai pada abad ke dua belas.
Dapat diperkirakan bahwa pembentukan kebudayaan Islam pertama berada di daerah
pusat perdagangan yaitu daerah-daerah pesisir yang pada awalnya adalah daerah
kekuasaan Hindu-Budha. Kuntowijoyo membagi daerah pesisir menjadi tiga yaitu pesisir
bagian Barat, bagian Tengah dan bagian Timur. Bagian Barat meliputi daerah Cirebon,
Tegal dan Pekalongan, bagian Tengah melipiti Kota Kudus, Demak dan daerah di
sekitarnya, dan bagian Timur berpusat di daerah Gresik. Berdasarkan berita Ma Huan,
bahwa di abad ke-15, wilayah pantai Utara Jawa telah dihuni oleh pedagang-pedagang
Islam yang berasal dari Parsi, Gujarat, Benggali,Arab, Melayu dan Cina. Mereka ini
kawin dengan penduduk setempat selain berdagang.
Salah satu kesenian Islam yang berada di wilayah pesisir pulau Jawa adalah Kesenian
Jedor. Penyebutan Kesenian Jedor sangat beragam sesuai dengan kearifan lokal masing-
masing daerah, ada yang menyebutnya dengan terbang jidur dan selawat Jedor.
Sebenarnya istilah Jedor diambil dari alatmusik utama dalam permainan musik ini, yaitu
jidur, namun masyarakat lokal khususnya Desa Sendangagung lebih kental dengan nama
Jedor. Jedor dan tanjidor bukanlah hal yang sama, tanjidor merupakan musik hibrid antara
Betawi dan Portugis. Tanjidor adalah kelompok pemain alat musik pukulan dan tiupan,

3
dalam bahasa Portugis kata tanger artinya memainkan alat musik, dan seorang tangedor
(red: tanjedor) merupakan orang yang memainkan alat musik snaar (tali).
Munculnya Kesenian Jedor di Desa Sendangagung juga tidak dapat dipastikan kapan
dan siapa yang mempelopori, pada masa penjajahan Belanda dan Jepang kesenian ini
sudah digemari oleh masyarakat Desa Sendangagung. Terdapat masyarakat yang
berpendapat bahwa Kesenian Jedor Sendangagung dipelopori oleh Sunan Sendang atau
Raden Nur Rahmat. Raden Nur Rahmat menggunakan seni Jedor sebagai media dakwah
kultural. Sebelum menggunakan Jedor sebagai media dakwah, Sunan Sendang
menggunakan gong untuk menarik masyarakat yang waktu itu masih beragama Hindu
Budha, secara perlahan Sunan Sendang mengganti gong dengan bacaan-bacaan selawat
dengan menggunakan seni hadrah yang kemudian berkembang menjadi Jedor.
Seni hadrah dapat dikatakan sebagai embrio adanya seni Jedor, karena seni hadrah
ada terlebih dahulu sebelum adanya Jedor. Meskipun tidak ada bukti yang konkret seperti
sumber tulisan atau artefak untuk membuktikan bahwa Raden Nur Rahmat merupakan
pelopor adanya seni Jedor, namun masyarakat sangat percaya bahwa kesenian ini berasal
dari Raden Nur Rahmat. Masyarakat memiliki asumsi tersebut dari generasi sebelumnya
yakni turun temurun.
Raden Nur Rahmat atau Sunan Sendang lahir pada tahun 940 Hijriyah atau 1520
Masehi di Desa Sedayu, dari pasangan Abdul Qohar bin Abu Yazid bin Sayyid
Djamaludin Al-Akbar dari Baghdad dan Dewi Sukarsih putri dari Tumenggung Sedayu
yaitu Tumenggung Joyo Sumitro. Sunan Sendang merupakan seorang pendakwah Islam
di wilayah Paciran terutama Desa Sendangagung dan Sendangduwur. Cara penyebaran
Islam yang dilakukan oleh Sunan Sendang hampir sama dengan walisongo pada
umumnya yaitu dengan melakukan akulturasi budaya, atau yang disebut dengan dakwah
kultural.
Beberapa dakwah kultural yang dilakukan Sunan Sendang yaitu melalui pelestarian
batik, Sunan Sendang disebut memperkenalkan batik melalui sesorang dari Yogyakarta
yang bernama Wirokencono, batik yang digambarkan dalam motif batik Sendang
terinspirasi dari keadaan alam sekitar, seperti terdapat motif tumbuhan, binatang, maupun
langit. Sunan Sendang mengajarkan agar dalam lukisan mereka ditambah padu padankan
dengan sulur-sulur tumbuhan sehingga tidak terlalu terlihat bentuk gambarnya. Terdapat
3 warna motif khas dari Batik Sendang yaitu modang, byur dan patinan, ketiga motif ini
melambangkan tiga alam manusia yang dilewati manusia menuju Allah, yaitu putih

4
merupakan lambang dari Garba (kandungan). Warna merah lambang dari Fana (dunia),
dan hitam sebagai lambanga dari alam Baka (akhirat).

B. Dinamika Kesenian Jador Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten


Lamongan (Periodesasi Kesenian Jedor Desa Sendangagung 1970-2019)
Masyarakat dalam menajlani kehidupan pasti mengalami
perkembangan,perkembangan terjadi apabila berturut-turut masyarakatbergerak dimulai
dari bentuk yang sederhana ke dalam bentuk yang lebihsempurna.Perkembangan tersebut
terus berlanjut sehingga menunjukkansebuah perubahan dalam masyarakat dalam kurun
waktu tertentu,waktu atau masa telah ada sejak manusia pertama kali ada sampai masa
sekarang dan memiliki perjalanan yang panjang, sehingga banyak para sejarawan yang
kesulitan untuk memahami masalah dalam kehidupan manusia, untuk memudahkan
memahami suatu kurun waktu maka perludibuat sebuah periodesasi.
Seni Jedor Sendangagung mengalami perjalanan dan perkembangan dalam kurun
waktu tertentu, perjalanan tersebut menimbulkan perubahan unsur-unsur dalam kesenian
Jedor Sendangagung. Perubahan dalam kesenian Jedor tersebut memberikan dinamika
akan warna-warni perjalanan kesenian ini. Perubahan kebudayaan berasal dari perubahan
yang berlangsung dalam masyarakat. Perubahan masyarakat berpangkal dari sesuatu yang
baru. Sesuatu yang baru itu (mungkin barang atau tindakan) adakalanya berbentuk: 1)
Penemuan, penemuan unsur (cita, barang, alat) baru; 2) Pendapatan, kalau kemajuan
diakui, diterima atau diterapkan oleh masyarakat menjadilah ia pendapatan; 3) Inovasi,
proses perubahan kebudayaan yang besar tercipta dalam jangka waktu yang tidak terlalu
lama.
Makin modern suatu kebudayaan makin banyak yang disengaja penemuan-
penemuannya.90 Penulis membagi periodesasi kesenian Jedor Sendangagung menjadi
tiga babakan untuk mempermudah memahami pergerakan atau dinamika dari kesenian
Jedor Sendangagung, melalui ukuran perkembangan teknologi yang berlangsung pada
masa itu,tiga babakan tersebut:
a. Periode Klasik (1970-1986)
Pada tahun 1970an Jedor Desa Sendangagung memiliki peminat yang luar biasa,
masa ini dapat dibilang sebagai masa puncak eksistensi, pada tahun tersebut terdapat
dua aliran kesenian Jedor,yaitu Jedor Kuntulan dan Jedor Terbang, Jedor Kuntulan
merupakan kesenian Jedor yang digunakan untuk mengiringi pencak silat, instrumen

5
musik yang digunakan hanya jidur dan kendang, sehingga jumlah pemain yang
dibutuhkan hanya 5 pemain dengan pembagian 2 sebagai peraga pencak silat, 1
sebagai penabuh jidur, dan 2 penabuh kendang. Eksistensi Seni Jedor Kuntulan hanya
sampai akhir tahun 1970an, sedangkan Jedor Terbang merupakan kesenian Jedor
menggunakan instrumen jidur, kendang dan terbang. Kesenian Jedor terbang inilah
yang memiliki eksistensi sampai sekarang.
Terdapat enam kelompok Jedor yang berdiri di Sendangagung, yaitu Dali,
Kuntul, Manggala, Warna Baru, Merpati Putih dan Golden Star. Pada awal 1970an
kelompok-kelompok ini belum memiliki nama, namun pada tahun 1975 terdapat
kelompok yang berinisiatif untuk memberi nama kelompok mereka, yaitu Jedor
Kuntul. Jedor Kuntul tidak semerta-merta nama karangan yang diciptakan, Bapak
Ihsan pemimpin dari Jedor Kuntul sering mendengar masyarakat memanggil grup
jedornya dengan Jedor Kuntul, karena terdapat kain bergambar hewan kuntul yang
memutari instrumen jidur, dari situlah masyarakat menyebut kelompok tersebut
dengan Jedor Kuntul yangkemudian dijadikan nama resmi oleh Bapak Ihsan,
selanjutnya pemberian nama kelompok disusul grup lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian Jedor yaitu jidur, rebana/terbang
dan kendang tanpa ada penambahan instrumen lain, mulanya jidur yang digunakan
masa itu adalah jidur dengan ukuran kecil sekitar dua kali ukuran kendang, namun
pada masa Desa Sendangagung dipimpin oleh Bapak Kunari yakni pada tahun 1981
memberikan inisiatif untuk mengganti jidur yang digunakan menjad ukuran yang
lebih besar, instrumen-instrumen yang digunakan oleh Jedor Sendangagung dibeli di
Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Lagu-lagu yang dinyanyikan semua
dihafalkan dan hanya mendengar dari mulut ke mulut, mengingat pada masa ini
banyak penduduk yang masih buta aksara, hanya beberapa anggota saja yang dapat
membaca kitab berzanji, selain itu periode ini juga menggunakan lagu dolanan
sebagai lagu penutup, lagu dolanan yang sering digunakan adalah lagu:
Meriem-meriem
Meriem-meriem kembang melati
Anak lanang budal ngaji
Sangune kitab berzanji
Kanggo mbisuk bakale mati.

6
Pada masa tersebut para pemain berumur sekitar 12 sampai 50 tahun, mereka
menghabiskan masa mudanya selain untuk bekerja ke ladang juga untuk mengikuti
kesenian Jedor, karena kesenian menjadi salah satu media hiburan saat itu sebelum
adanya teknologi modern yang masuk ke Desa Sendangagung.
Periode ini seni Jedor ditampilkan dalam acara-acara kerakyatan meliputi:
 Upacara Pernikahan
 Bedah Sendang
 Karnaval kemerdekaan
 Coplok puser
 Kemanten sunat
Sebelum listrik masuk Desa Sendangagung, para pemain Jedor menggunakan
lampu petromaks dalam setiap latihannya, latihan dilaksanakan bergantian di rumah para
anggota, hidangan yang disuguhkan masih berupa hasil-hasil alam seperti singkong, ubi
jalar dan beberapa hasil ladang lainnya. Terdapat dua sesi latihan yang masing-masing
dijeda dengan penyuguhan makanan, sesi pertama para pemain Jedor memainkan
musiknya dengan mulai menyanyikan lagu Assalāmu Alaik dan beberapa lagu lain
kemudian tuan rumah menyediakan minuman berupa kopi atau teh panas serta makanan
ringan. Sesi kedua, pemain berlatih kembali dan dilanjut hidangan berupa makanan nasi,
makanan yang sering disuguhkan adalah nasimuduk khas Desa Sendangagung.

b. Periode Perubahan (1987-2005)


Pada periode 1987-2005 Jedor Sendangagung Jedor Sendangagungmengalami
beberapa perubahan. Jedor Sendangagung yang pada awalnya memiliki dua
klasifikasi yaitu Jedor Kuntulan dan Jedor terbang, padaakhirtahun 1980anjenis Jedor
Kuntulan tidak lagi diminati, para pemain telah berhenti dan beralih bergabung
dengan Jedor Terbang.100 Pada tahun 1987 kelompok Jedor mulai menggunakan
seragam untuk pertunjukan mereka, biaya yang digunakan untuk membeli seragam
merupakan hasil iuran individu.101 Pada tahun ini pula listrik belumsepenuhnya
dapat diakses oleh seluruh warga Desa Sendangagung, sehingga dalam latihan rutin
maupun undangan pertunjukannya para pemain Jedor masih menggunakan lampu
petromaks.

7
Kelompok Jedor yang pertama mempelopori pembelian seragamadalah Jedor
Kuntul, dalam seragamnya Jedor Kuntul memberikan tambahan bordiran gambar
burung Kuntul untuk memberikan ciri khas tersendiri. Pembuatan seragam kemudian
disusul Jedor Merpati Putih dan disusul kelompok lainnya, bahkan Jedor Merpati
Putih membuat pin bagi para anggotanya dengan gambar Merpati Putih di tengahnya.
Jedor Merpati Putih telah mengadakan arisan bagi para anggotannya dan memiliki
struktur ketua yang disebut dengan dragan serta bendahara untuk pengelola keuangan
kelompok.
Sekitar tahun 1993 terdapat kelompok Jedor yang mengalami kemunduran hingga
akhirnya tidak dapat bertahan, hal ini disebabkan karena para anggota sudah mulai lanjut
usia, tidak produktif dan banyak yang meninggal, yaitu Jedor Manggala, Kuntul dan Dali.
Pada tahun tersebut juga terjadi perubahan fungsi penggunaan kesenian Jedor,
Jedor Sendangagung tidak ditampilkan lagi pada upacara pernikahan danbedah
sendang. Masyarakat sudah tidak terikat pada adat sehingga sudahmulai
meninggalkan prosesi pernikahan yang dinilai menyulitkan, Jedorhanya digunakan
ketika malam sebelum hari pernikahan dan setelah akadnikah, sedangkan acara Bedah
Sendang sudah tidak dilaksanakan lagikarena penembokan batu-batu pada dinding
sendang sehingga tidak perlu untuk melakukan pembersihan.
Pada tahun 1996 pimpinan kelompok Jedor Golden Star yaitu Bapak H.
Milkan berkeinginan untuk menambah perangkat gamelan untuk lebih memeriahkan
alunan musik. Tidak semua anggota Jedormenerima usulan tersebut, karena takut
disamakan dengan pertunjukan tayub. Pada akhirnya ada pendapat kuat agar Jedor
ditambah dengan perangkat gamelan, merujuk pada para Walisongo yang juga
menggunakan gamelan sebagai media dakwah.104 Misalnya gamelan Singo Mengkok
yang diciptakan oleh Sunan Drajat. Gamelan ini merupakan peninggalan Sunan Drajat
pada abad 15 yang digunakan untuk berdakwah dan biasanya digunakan
untukmengiringi tembang pangkur.
Kelompok lain yang masih bertahan yakni, Merpati Putih dan Warna Baru
tetap mempertahankan penggunaan instrumen murni (jidur,rebana/terbang dan
kendang). Lagu-lagu yang digunakan Jedor Golden Star juga mengalami penambahan
dengan lagu-lagu campursari dan lagu daerah. Sedangkan Jedor Merpati Putih dan
Warna Baru, menambahkan lagu daerah lagu wajib nasional yang ditampilkan ketika

8
acara karnaval peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Semua kelompok
Jedor tetap menggunakan selawat sebagai pakem utama lagu mereka.
Tahun 2000an menjadi awal kesenian Jedor memberikan tarif harga kepada
orang yang hendak mengundang kelompok mereka, berkisar Rp.500.000 – Rp.
700.000., penarifan harga ini disebabkan karena keperluan kelompok Jedor seperti
pembelian seragam baru, perawatan dan pembelian instrumen. Para pemain Jedor
Sendangagung pada tahun tersebut sudah mulai menua dan belum ada generasi muda
yang mau meneruskan kesenian ini. Kelompok-kelompok Jedor pada periode ini
saling bekerja sama untuk tetap melesterikan kesenian mereka, dengan cara
membantu apabila ada kelompok yang kekurangan anggota dalam pertunjukannya,
sehingga terkadang satu orang pemain tidak hanya bergabung dalam satu kelompok
melainkan berkontribusi juga pada tiga atau kelompok lainnya.

c. Periode Modern (2006-2019)


Tahun 2006 merupakan awal masa teknologi canggih masuk ke Desa
Sendangagung, keberadaan handphone menjadi tolak ukur teknologi yang
berkembang pada masa itu. Adanya teknologi telah mempengaruhi pola kehidupan
masyarakat dan menjadikan masyarakat jauh dari adat istiadat yang sudah lama
mengakar dalam kehidupannya. Keberadaan teknologi ini berdampak positif dan
negatif terhadap kesenian Jedor, dampak positifnya masyarakat akan lebih mudah
mengakses informasi dari luar secara cepat, sedangkan dampak negatifnya para
pemuda yang sudah kecanduan dengan handphone membuat mereka tidak memiliki
rasa kepedulian terhadap kesenian daerah, sehingga dapat menyebabkan kelangkaan
sumber daya manusia yang dapat melestarikan kesenian tersebut.
Peredaran kaset atau VCD berisi video-video gencar dailakukan masyarakat
desa pada sekitar tahun 2006, termasuk adanya video penampilan Jedor
Sendangagung, misalnya video Jedor Golden Star dalam penyambutan kedatangan
Prof. Amien Rais di salah satu pondok pesantren Desa Sendangagung dan video Jedor
Merpati Putih dalam peringatan Maulud Nabi Muhammad di area masjid Sunan
Sendang, peredaran video tersebut menyebabkan eksistensi Jedor Sendangagung
dapat bertahan.
Sekitar tahun 2010, beberapa kelompok Jedor mengalami kemunduran ditandai
dengan berkurangnya personil dan tidak adanya latihan rutinan. Latihan hanya dilakukan

9
ketika ada jadwal pertunjukan, bahkan tidak jarang mereka langsung tampil tanpa adanya
latihan. Kelompok Jedor yang mengalami hal sedemikian rupa yaitu Jedor Merpati Putih,
Golden Star, dan Warna Baru. Bisa dibilang kelompok Jedor tersebut sesuai dengan
peribahasa hidup segan mati tak mau, saling sewa pemain antar kelompok juga tetap
diterapkan karena sangat minimnya anggota kelompok yang mau bergabung dalam
kelompok Jedor. Eksistensi kelompok Jedor juga menurun, Jedor Sendangagung
sudah jarang mendapat undangan dari warga Desa Sendangagung sendiri untuk
sekedar mengisi hiburan pernikahan, coplok puser dan sunatan. Justru Kesenian Jedor
lebih sering diundang ke luar desa, atau luar kabupaten.
Pada tahun 2015 masyarakat Desa Sendangagung sudah mulai mengakses
media sosial secara aktif dengan era smartphone, termasuk digandrungi oleh bapak-
bapak pemain seni Jedor, mereka berusaha memperkenalkan Kesenian Jedor kepada
khalayak dengan mengunggah video penampilan kelompok Jedor di youtube baik saat
menghadiri undangan maupun latihan rutin serta melakukan siaran langsung melalui
media sosial facebook. Adanya media sosial membuat penggunanya mampu
berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama, berbagi dengan pengguna lainnya.110
Begitu pula penampilan kesenian Jedor Sendangagung tidak hanya dapat dinikmati di
panggunya, tetapi dapat diakses di mana saja dan kapan saja. Hal ini merupakan tanda
adanya semangat para pemain Jedor untuk tetap membuat kesenian ini lestari dan
tidak tergerus zaman. Penulisan lirik-lirik lagu dan selawat juga dilakukan, untuk
memudahkan para pemain dalam menghafal, pada periode ini sudah banyak
masyarakat yang bisa membaca dan menulis.
Pada tahun 2018 berdiri kelompok Jedor Roso Buono yang dipimpin oleh
Bapak Beno, pada tahun tersebut Jedor Sendangagung sudah mulai memproduksi
instrumennya sendiri tanpa harus membeli ke Bungah. Jedor Roso Buono menjadi
nafas baru bagi dunia kesenian Jedor Sendangagung, kelompok Jedor ini kembali
memberikan semangat baru dengan menerapkan latihan rutin sebagaimana kelompok
Jedor pada masa perubahan (1986-2006). Pada awalnya Jedor Roso Buono menjaring
anak-anak muda yang sudah memiliki bakat dalam bidang kesenian musik, yang
kemudian merambah kepada pemuda lain yang juga ingin belajar kesenian Jedor.
Instrumen yang digunakan meliputi jidur, kendang, rebana/terbang dan gambang.111
Kemudian pada tahun 2019 juga lahir beberapa kelompok Jedor, yaitu kelompok
Jedor Santri Al-Ishlah dan Jedor Gema Nusa Budaya dengan personil siswa Madrasah

10
Aliyah Almuhtadi.112 Menjamurnya kelompok-kelompok baru ini diharapkan akan
menjadi generasi penerus kesenian Jedor Sendangagung yang sudah jarang diminati
kalangan anak muda.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian dengan judul “Dinamika Kesenian Islam
Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan (1970-2019)”
dari bab pertama sampai bab keempat dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan memiliki
penduduk yang mayoritas beragama Islam, secara tidak langsung desa ini
masuk dalam wilayah pesisir Jawa Timur dan mempunyai topografi yang
berbukit-bukit.
2. Kesenian Jedor Desa Sendangagung digunakan masyarakat untuk
mengekspresikan cinta terhadap Nabi Muhammad. Kesenian Jedor memiliki
tiga instrumen yaitu rebana/terbang, jidur dan kendang. Lagu-lagu yang
dinyanyikan yaitu, selawat, lagu wajib nasional, lagu daerah, campur sari dan
lagu dolanan.
3. Dinamika Jedor Desa Sendangagung mengakibatkan terjadinya beberapa
perkembangan, diantarannya yaitu penambahan instrumen musik, penambahan
lagu-lagu, serta penambahan fungsi seni Jedor dalam masyarakat.

B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang “Dinamika Kesenian Islam Jedor Desa
Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan (1970-2019)” penulis
menyampaikan pesan:
1. Dalam penelitian “Dinamika Kesenian Islam Jedor Desa Sendangagung
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan (1970-2019)” masih memiliki
banyak kekurangan dan belum mencapaikesempurnaan, diharapkan penelitian
ini dapat memberikan konstribusi bagi masyarakat terutama dalam bidang
ilmu pengetahuan.

11
2. Perlunya pelestarian yang lebih intensif terhadap kesenian
JedorSendangagung, terutama bagi para pemuda Desa Sendangagung yang
sudah berkecimpung diharapkan tetap konsisten menjaga kesenian ini agar
tidak hilang termakan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Penerbit


Ombak, 2019.
Banoe, Pono. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Fajrie, Mahfudlah. Budaya Masyarakat Pesisir Wedung Jawa Tengah. Wonosobo:
Mengku Bumi Media, 2016.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990.
_______________. “Masyarakat Pedesaan di Indoensia” dalam Masalah-masalah
Pembangunan: Bunga Rampai Antropolgi Terapan, ed. Koentjoroningrat. Jakarta:
LP3ES, 1982.
Kushandajani. Kewenangan Desa dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
dalam Perspektif UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Semarang: Fisip Undip, 2018.
Leaman, Oliver Estetika Islam Menafsirkan Seni dan Keindahan. Bandung, Mizan,
2005.
Maryani, Dedeh. Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Deepublish, 2019.

12
13

Anda mungkin juga menyukai