Dosen Pengampu :
Imam Fadlli, S.IP., M.Si.
Disusun oleh :
Marselia Junia Koimil Wafa
21072008
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Kesenian musik jedor di desa sendangagung pada masa itu mendatangkan guru
berzanji dari bungah gresik. Adapun pemain kesenian musik jedor sedangagung yang
terkenal sebagai maestro di antaranya yaitu, alm.bapak muslihan dan alm.H. nur hasyim.
Ada beberapa nama grup jedor yang terkenal pada zaman carik murib yaitu RONO JOYO
kemudian muncul grup penerus seperti DALIMAS KUNTUL dan GOLDEN STAR
(jedor modern). Saat ini kesenian musik jedor banyak di minati oleh kaum muda seusia
sekolah yang memiliki grup jedor sendiri dengan nama jedor Al Islah dan jedor Al
muhtadi.
Meskipun musik jedor sudah ada sejak lama, para pemain seni ini terus berinovasi dan
mengembangkan bentuk musiknya, baik dari segi alat musik maupun teknik permainan.
Seni musik jedor juga sering dipertunjukkan dalam berbagai festival seni dan budaya di
indonesia maupun luar negeri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pembahasan dalam penelitian ini akan
memfokuskan pada beberapa hal, yaitu:
1. Bagaimana monografi Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan?
2. Bagaimana kesenian Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan?
3. Bagaimana dinamika kesenian Islam Jedor Desa Sendangagung Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan (1970 – 2019)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui monografi Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan.
b. Untuk mengetahui kesenian Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan (1970 – 2019).
c. Untuk mengetahui dinamika kesenian Islam Jedor Desa Sendangagung Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan (1970 –2019).
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dalam bahasa Portugis kata tanger artinya memainkan alat musik, dan seorang tangedor
(red: tanjedor) merupakan orang yang memainkan alat musik snaar (tali).
Munculnya Kesenian Jedor di Desa Sendangagung juga tidak dapat dipastikan kapan
dan siapa yang mempelopori, pada masa penjajahan Belanda dan Jepang kesenian ini
sudah digemari oleh masyarakat Desa Sendangagung. Terdapat masyarakat yang
berpendapat bahwa Kesenian Jedor Sendangagung dipelopori oleh Sunan Sendang atau
Raden Nur Rahmat. Raden Nur Rahmat menggunakan seni Jedor sebagai media dakwah
kultural. Sebelum menggunakan Jedor sebagai media dakwah, Sunan Sendang
menggunakan gong untuk menarik masyarakat yang waktu itu masih beragama Hindu
Budha, secara perlahan Sunan Sendang mengganti gong dengan bacaan-bacaan selawat
dengan menggunakan seni hadrah yang kemudian berkembang menjadi Jedor.
Seni hadrah dapat dikatakan sebagai embrio adanya seni Jedor, karena seni hadrah
ada terlebih dahulu sebelum adanya Jedor. Meskipun tidak ada bukti yang konkret seperti
sumber tulisan atau artefak untuk membuktikan bahwa Raden Nur Rahmat merupakan
pelopor adanya seni Jedor, namun masyarakat sangat percaya bahwa kesenian ini berasal
dari Raden Nur Rahmat. Masyarakat memiliki asumsi tersebut dari generasi sebelumnya
yakni turun temurun.
Raden Nur Rahmat atau Sunan Sendang lahir pada tahun 940 Hijriyah atau 1520
Masehi di Desa Sedayu, dari pasangan Abdul Qohar bin Abu Yazid bin Sayyid
Djamaludin Al-Akbar dari Baghdad dan Dewi Sukarsih putri dari Tumenggung Sedayu
yaitu Tumenggung Joyo Sumitro. Sunan Sendang merupakan seorang pendakwah Islam
di wilayah Paciran terutama Desa Sendangagung dan Sendangduwur. Cara penyebaran
Islam yang dilakukan oleh Sunan Sendang hampir sama dengan walisongo pada
umumnya yaitu dengan melakukan akulturasi budaya, atau yang disebut dengan dakwah
kultural.
Beberapa dakwah kultural yang dilakukan Sunan Sendang yaitu melalui pelestarian
batik, Sunan Sendang disebut memperkenalkan batik melalui sesorang dari Yogyakarta
yang bernama Wirokencono, batik yang digambarkan dalam motif batik Sendang
terinspirasi dari keadaan alam sekitar, seperti terdapat motif tumbuhan, binatang, maupun
langit. Sunan Sendang mengajarkan agar dalam lukisan mereka ditambah padu padankan
dengan sulur-sulur tumbuhan sehingga tidak terlalu terlihat bentuk gambarnya. Terdapat
3 warna motif khas dari Batik Sendang yaitu modang, byur dan patinan, ketiga motif ini
melambangkan tiga alam manusia yang dilewati manusia menuju Allah, yaitu putih
4
merupakan lambang dari Garba (kandungan). Warna merah lambang dari Fana (dunia),
dan hitam sebagai lambanga dari alam Baka (akhirat).
5
musik yang digunakan hanya jidur dan kendang, sehingga jumlah pemain yang
dibutuhkan hanya 5 pemain dengan pembagian 2 sebagai peraga pencak silat, 1
sebagai penabuh jidur, dan 2 penabuh kendang. Eksistensi Seni Jedor Kuntulan hanya
sampai akhir tahun 1970an, sedangkan Jedor Terbang merupakan kesenian Jedor
menggunakan instrumen jidur, kendang dan terbang. Kesenian Jedor terbang inilah
yang memiliki eksistensi sampai sekarang.
Terdapat enam kelompok Jedor yang berdiri di Sendangagung, yaitu Dali,
Kuntul, Manggala, Warna Baru, Merpati Putih dan Golden Star. Pada awal 1970an
kelompok-kelompok ini belum memiliki nama, namun pada tahun 1975 terdapat
kelompok yang berinisiatif untuk memberi nama kelompok mereka, yaitu Jedor
Kuntul. Jedor Kuntul tidak semerta-merta nama karangan yang diciptakan, Bapak
Ihsan pemimpin dari Jedor Kuntul sering mendengar masyarakat memanggil grup
jedornya dengan Jedor Kuntul, karena terdapat kain bergambar hewan kuntul yang
memutari instrumen jidur, dari situlah masyarakat menyebut kelompok tersebut
dengan Jedor Kuntul yangkemudian dijadikan nama resmi oleh Bapak Ihsan,
selanjutnya pemberian nama kelompok disusul grup lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian Jedor yaitu jidur, rebana/terbang
dan kendang tanpa ada penambahan instrumen lain, mulanya jidur yang digunakan
masa itu adalah jidur dengan ukuran kecil sekitar dua kali ukuran kendang, namun
pada masa Desa Sendangagung dipimpin oleh Bapak Kunari yakni pada tahun 1981
memberikan inisiatif untuk mengganti jidur yang digunakan menjad ukuran yang
lebih besar, instrumen-instrumen yang digunakan oleh Jedor Sendangagung dibeli di
Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Lagu-lagu yang dinyanyikan semua
dihafalkan dan hanya mendengar dari mulut ke mulut, mengingat pada masa ini
banyak penduduk yang masih buta aksara, hanya beberapa anggota saja yang dapat
membaca kitab berzanji, selain itu periode ini juga menggunakan lagu dolanan
sebagai lagu penutup, lagu dolanan yang sering digunakan adalah lagu:
Meriem-meriem
Meriem-meriem kembang melati
Anak lanang budal ngaji
Sangune kitab berzanji
Kanggo mbisuk bakale mati.
6
Pada masa tersebut para pemain berumur sekitar 12 sampai 50 tahun, mereka
menghabiskan masa mudanya selain untuk bekerja ke ladang juga untuk mengikuti
kesenian Jedor, karena kesenian menjadi salah satu media hiburan saat itu sebelum
adanya teknologi modern yang masuk ke Desa Sendangagung.
Periode ini seni Jedor ditampilkan dalam acara-acara kerakyatan meliputi:
Upacara Pernikahan
Bedah Sendang
Karnaval kemerdekaan
Coplok puser
Kemanten sunat
Sebelum listrik masuk Desa Sendangagung, para pemain Jedor menggunakan
lampu petromaks dalam setiap latihannya, latihan dilaksanakan bergantian di rumah para
anggota, hidangan yang disuguhkan masih berupa hasil-hasil alam seperti singkong, ubi
jalar dan beberapa hasil ladang lainnya. Terdapat dua sesi latihan yang masing-masing
dijeda dengan penyuguhan makanan, sesi pertama para pemain Jedor memainkan
musiknya dengan mulai menyanyikan lagu Assalāmu Alaik dan beberapa lagu lain
kemudian tuan rumah menyediakan minuman berupa kopi atau teh panas serta makanan
ringan. Sesi kedua, pemain berlatih kembali dan dilanjut hidangan berupa makanan nasi,
makanan yang sering disuguhkan adalah nasimuduk khas Desa Sendangagung.
7
Kelompok Jedor yang pertama mempelopori pembelian seragamadalah Jedor
Kuntul, dalam seragamnya Jedor Kuntul memberikan tambahan bordiran gambar
burung Kuntul untuk memberikan ciri khas tersendiri. Pembuatan seragam kemudian
disusul Jedor Merpati Putih dan disusul kelompok lainnya, bahkan Jedor Merpati
Putih membuat pin bagi para anggotanya dengan gambar Merpati Putih di tengahnya.
Jedor Merpati Putih telah mengadakan arisan bagi para anggotannya dan memiliki
struktur ketua yang disebut dengan dragan serta bendahara untuk pengelola keuangan
kelompok.
Sekitar tahun 1993 terdapat kelompok Jedor yang mengalami kemunduran hingga
akhirnya tidak dapat bertahan, hal ini disebabkan karena para anggota sudah mulai lanjut
usia, tidak produktif dan banyak yang meninggal, yaitu Jedor Manggala, Kuntul dan Dali.
Pada tahun tersebut juga terjadi perubahan fungsi penggunaan kesenian Jedor,
Jedor Sendangagung tidak ditampilkan lagi pada upacara pernikahan danbedah
sendang. Masyarakat sudah tidak terikat pada adat sehingga sudahmulai
meninggalkan prosesi pernikahan yang dinilai menyulitkan, Jedorhanya digunakan
ketika malam sebelum hari pernikahan dan setelah akadnikah, sedangkan acara Bedah
Sendang sudah tidak dilaksanakan lagikarena penembokan batu-batu pada dinding
sendang sehingga tidak perlu untuk melakukan pembersihan.
Pada tahun 1996 pimpinan kelompok Jedor Golden Star yaitu Bapak H.
Milkan berkeinginan untuk menambah perangkat gamelan untuk lebih memeriahkan
alunan musik. Tidak semua anggota Jedormenerima usulan tersebut, karena takut
disamakan dengan pertunjukan tayub. Pada akhirnya ada pendapat kuat agar Jedor
ditambah dengan perangkat gamelan, merujuk pada para Walisongo yang juga
menggunakan gamelan sebagai media dakwah.104 Misalnya gamelan Singo Mengkok
yang diciptakan oleh Sunan Drajat. Gamelan ini merupakan peninggalan Sunan Drajat
pada abad 15 yang digunakan untuk berdakwah dan biasanya digunakan
untukmengiringi tembang pangkur.
Kelompok lain yang masih bertahan yakni, Merpati Putih dan Warna Baru
tetap mempertahankan penggunaan instrumen murni (jidur,rebana/terbang dan
kendang). Lagu-lagu yang digunakan Jedor Golden Star juga mengalami penambahan
dengan lagu-lagu campursari dan lagu daerah. Sedangkan Jedor Merpati Putih dan
Warna Baru, menambahkan lagu daerah lagu wajib nasional yang ditampilkan ketika
8
acara karnaval peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Semua kelompok
Jedor tetap menggunakan selawat sebagai pakem utama lagu mereka.
Tahun 2000an menjadi awal kesenian Jedor memberikan tarif harga kepada
orang yang hendak mengundang kelompok mereka, berkisar Rp.500.000 – Rp.
700.000., penarifan harga ini disebabkan karena keperluan kelompok Jedor seperti
pembelian seragam baru, perawatan dan pembelian instrumen. Para pemain Jedor
Sendangagung pada tahun tersebut sudah mulai menua dan belum ada generasi muda
yang mau meneruskan kesenian ini. Kelompok-kelompok Jedor pada periode ini
saling bekerja sama untuk tetap melesterikan kesenian mereka, dengan cara
membantu apabila ada kelompok yang kekurangan anggota dalam pertunjukannya,
sehingga terkadang satu orang pemain tidak hanya bergabung dalam satu kelompok
melainkan berkontribusi juga pada tiga atau kelompok lainnya.
9
ketika ada jadwal pertunjukan, bahkan tidak jarang mereka langsung tampil tanpa adanya
latihan. Kelompok Jedor yang mengalami hal sedemikian rupa yaitu Jedor Merpati Putih,
Golden Star, dan Warna Baru. Bisa dibilang kelompok Jedor tersebut sesuai dengan
peribahasa hidup segan mati tak mau, saling sewa pemain antar kelompok juga tetap
diterapkan karena sangat minimnya anggota kelompok yang mau bergabung dalam
kelompok Jedor. Eksistensi kelompok Jedor juga menurun, Jedor Sendangagung
sudah jarang mendapat undangan dari warga Desa Sendangagung sendiri untuk
sekedar mengisi hiburan pernikahan, coplok puser dan sunatan. Justru Kesenian Jedor
lebih sering diundang ke luar desa, atau luar kabupaten.
Pada tahun 2015 masyarakat Desa Sendangagung sudah mulai mengakses
media sosial secara aktif dengan era smartphone, termasuk digandrungi oleh bapak-
bapak pemain seni Jedor, mereka berusaha memperkenalkan Kesenian Jedor kepada
khalayak dengan mengunggah video penampilan kelompok Jedor di youtube baik saat
menghadiri undangan maupun latihan rutin serta melakukan siaran langsung melalui
media sosial facebook. Adanya media sosial membuat penggunanya mampu
berinteraksi, berkomunikasi, bekerjasama, berbagi dengan pengguna lainnya.110
Begitu pula penampilan kesenian Jedor Sendangagung tidak hanya dapat dinikmati di
panggunya, tetapi dapat diakses di mana saja dan kapan saja. Hal ini merupakan tanda
adanya semangat para pemain Jedor untuk tetap membuat kesenian ini lestari dan
tidak tergerus zaman. Penulisan lirik-lirik lagu dan selawat juga dilakukan, untuk
memudahkan para pemain dalam menghafal, pada periode ini sudah banyak
masyarakat yang bisa membaca dan menulis.
Pada tahun 2018 berdiri kelompok Jedor Roso Buono yang dipimpin oleh
Bapak Beno, pada tahun tersebut Jedor Sendangagung sudah mulai memproduksi
instrumennya sendiri tanpa harus membeli ke Bungah. Jedor Roso Buono menjadi
nafas baru bagi dunia kesenian Jedor Sendangagung, kelompok Jedor ini kembali
memberikan semangat baru dengan menerapkan latihan rutin sebagaimana kelompok
Jedor pada masa perubahan (1986-2006). Pada awalnya Jedor Roso Buono menjaring
anak-anak muda yang sudah memiliki bakat dalam bidang kesenian musik, yang
kemudian merambah kepada pemuda lain yang juga ingin belajar kesenian Jedor.
Instrumen yang digunakan meliputi jidur, kendang, rebana/terbang dan gambang.111
Kemudian pada tahun 2019 juga lahir beberapa kelompok Jedor, yaitu kelompok
Jedor Santri Al-Ishlah dan Jedor Gema Nusa Budaya dengan personil siswa Madrasah
10
Aliyah Almuhtadi.112 Menjamurnya kelompok-kelompok baru ini diharapkan akan
menjadi generasi penerus kesenian Jedor Sendangagung yang sudah jarang diminati
kalangan anak muda.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian dengan judul “Dinamika Kesenian Islam
Jedor Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan (1970-2019)”
dari bab pertama sampai bab keempat dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Desa Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan memiliki
penduduk yang mayoritas beragama Islam, secara tidak langsung desa ini
masuk dalam wilayah pesisir Jawa Timur dan mempunyai topografi yang
berbukit-bukit.
2. Kesenian Jedor Desa Sendangagung digunakan masyarakat untuk
mengekspresikan cinta terhadap Nabi Muhammad. Kesenian Jedor memiliki
tiga instrumen yaitu rebana/terbang, jidur dan kendang. Lagu-lagu yang
dinyanyikan yaitu, selawat, lagu wajib nasional, lagu daerah, campur sari dan
lagu dolanan.
3. Dinamika Jedor Desa Sendangagung mengakibatkan terjadinya beberapa
perkembangan, diantarannya yaitu penambahan instrumen musik, penambahan
lagu-lagu, serta penambahan fungsi seni Jedor dalam masyarakat.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang “Dinamika Kesenian Islam Jedor Desa
Sendangagung Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan (1970-2019)” penulis
menyampaikan pesan:
1. Dalam penelitian “Dinamika Kesenian Islam Jedor Desa Sendangagung
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan (1970-2019)” masih memiliki
banyak kekurangan dan belum mencapaikesempurnaan, diharapkan penelitian
ini dapat memberikan konstribusi bagi masyarakat terutama dalam bidang
ilmu pengetahuan.
11
2. Perlunya pelestarian yang lebih intensif terhadap kesenian
JedorSendangagung, terutama bagi para pemuda Desa Sendangagung yang
sudah berkecimpung diharapkan tetap konsisten menjaga kesenian ini agar
tidak hilang termakan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
12
13