Anda di halaman 1dari 18

Permasalah Budaya Tari Jaipong Khas Jawa Barat

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi nilai Tugas Matakulih


ANTROPOLOGI Hukum

Dosen : DR. Hj. EMMA DYSMALA, S.H.,M.H.

Di susun oleh

Tantya Fajarias

NPM : 17.4301.180

Program Studi : Ilmu Hukum

Sekolah Tinggi Hukum Bandung


2020

1
Daftar Isi

Cover

Daftar Isi

1. BAB I ………………………………………………………… 1

- Latar Belakang ………………………………….......... 3

- Identifikasi Masalah …………………………….......... 6

2. BAB II ………………………………………………………… 7

- Pengertian Dan Sejarah Tari jaipong .............…......... 7

- Pendapat Saya Tentang Permasalah Di Tari Jaipong.. 11

3. BAB III ………………………………………………………... 17

- Kesimpulan .................................................................... 17

- Saran .............................................................................. 17

Daftar Pustaka

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Jawa Barat banyak ragam seni tari yang hidup dan berkembang di
masyarakat, di antaranya tari rakyat yang terdapat hampir disetiap daerah
misalnya: di Baduy (Banten Selatan) terdapat Angklung Huma, di daerah Serang
terdapat Ubrug,di daerah Rancakalong terdapat Tarawangsa,di daerah Sumedang
terdapat Bangreng, di Karawang terdapat Banjetdan lain sebagainya.

Bagian latar belakang sebuah makalah berisi hal-hal yang melandasi


perlunya topik dalam karangan ilmiah itu ditulis atau alasan penulisan yang
dikaitkan dengan kenyataan. Bagian ini diharapkan mampu mengantarkan
pembaca pada masalah atau topik yang dibahas dalam karya ilmiah dan
menunjukkan bahwa masalah yang dibahas dalam karya ilmiah itu sangat penting.
Kami tertarik membahas kajian tentang perkembangan seni tari jaipong
karena kita sama-sama tau kalau saat ini kebudayaan Indonesia hampir kurang
diminati oleh masyarakat, khususnya para remaja. Mengingat kemajuan budaya
barat dan globalisasi dengan harapan masyarakat lebih dalam mengetahui tari
jaipong dan akan terus melestarikannya di generasi berikutnya.
Dalam berbagai macam seni diatas terdapat dua macam fungsi seni yang
terkandung di dalamnya. Pertama, seni tari yang bersifat kerohanian, artinya tari
upacara agama dan adat, seperti pada upacara ngaseukdi Baduy dipertunjukan tari
Angklung Huma, dan di Rancakalong pada upacara ngidepdipertunjukan tari
Tarawangsa (Ngekngek). Kedua, tari yang bersifat keduniawian yaitu tari
pergaulan dan tari hiburan, seperti halnya tari Banjet, Ubrug, Bangreng, Ketuk
Tilu, Longser Bajidiran, Pencak Silatdan lain sebagainya.

Ketuk tiluadalah salah satu bentuk tari pergaulan yang termasukpaling


populer dipertunjukan sampai dekade 1970-an. Sebagai perkembangan
selanjutnya antara lain muncul gaya kaleran yang terkenal dengan nama

3
Bajidoran,dan penari wanitanya (Ronggeng)terkenal sangat atraktif dan mampu
mengimbangi penari laki-lakinya yang sering disebut bajidor atau pamogoran.1

Pada perkembangan berikutnya munculah jenis tari baru yang sangat


populer yaitu jaipongan. Rupanya pada awal kemunculan tari jaipongan ini,
krtitikan, hujatan dan tudingan miring bermunculan, namun ternyata tari
jaipongan inilah yang mampu menembus berbagai kalangan, dari kalangan muda
sampai kalngan elite paling atas. Kehadiran jaipongan di arena tari Jawa Barat
tidak bisa di pisahkan dari penciptanya yaitu Gugum Gumbira. Penari yang handal
ini sangat getol menggeluti tari rakyat Jawa Barat, terbukti pada tahun 1970-an
berhasil menciptakan sebuah tari hiburan pribadi yang digalinya dariketuk tilu dan
pencak silatyang diberi nama jaipongan.2

Kehadiran Jaipongan yang terus berkembang pesat dalam waktu yang


relatif singkat didukung oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang pada saat
itu dapat dikatakan ‟kondusif.‟ Terutama dalam bidang pembangunan
ekonomi.Pembangunan di segala bidang sedang digalakkan, termasuk bidang
Kesenian. Peningkatan penghasilan masyarakat sangat mendukung terhadap
peningkatan apresiasi terhadap kesenian. Tampak adanya perkembangan dalam
sektor kebudayaan dan kesenian yang cukup berarti, yaitu dengan adanya
muhibah-muhibah seni ke luar negeri, maupun sebaliknya. 3

Para pelaku seni dan budaya terus berupaya untuk meningkatkan kualitas
seni dan budayanya (Lubis dkk., 2003: 429-430). Pada tahun 1986, Pemerintah
telah bertekad untuk menggalakkan bisnis pariwisata. Penekanan Presiden
mengenai hal itu disampaikan pada pembukaan Rapat Kerja Departemen
Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi pada tanggal 26 September 1986. Promosi
pariwisata keluar negeri terus digalakkan dengan menyajikan berbagai bentuk seni
(Soedarsono, 2003: 234-235) termasuk Jaipongan sebagai materi pertunjukannya.

1
Iyus Rusliana, Penciptaan Tari Sunda gagasan global bersumber nilai lokalbandung, Bandung,Etnoteater
Publisher, hlm. 53-54.
2
Irawati Durban dan Soedarsono Tari Sunda:dulu, kini dan esok, 2005: Bandung P4ST UPI. hlm.
173-174.
3
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, hlm.593-594 .

4
Kehadiran Jaipongan merupakan sebuah realitas yang tidak dapat
dipungkiri. Imaji Gugum dalam menciptakan Jaipongan tidak terlepas dari realitas
sosial di sekelilingnya (Duvignaud, 1967: 47). Di sini, Gugum mampu melihat
dan membaca keadaan masyarakat yang saat itu tengah mengalami perubahan dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Kebutuhan terhadap seni pada
masyarakat tipe ini adalah berbentuk hiburan ringan dalam waktu singkat, glamor,
dan sedikit bernuansa erotis. Pada bentuk seni semacam ini, Gans (1975: 20)
mengkategorikan sebagai seni pop yang mengutamakan profit karena sudah
menjadi seni industri yang konsekuensinya harus mengikuti selera massa. Tarian
wanita lebih ditonjolkan, karena wanita memiliki nilai estetika yang dianggap
dapat bernilai jual. di berbagai kesempatan, khusunya antara orang-orang yang
pro dankontra. Terutama yang menilai tarian ini layak atau tidaknya untuk
dipertontonkan dalam forum-forum “terhormat”.4

Seiring dengan perkembangan seni tari jaipongan, tanggapan dan juga


kritikan bermunculan meraimaikan pergolakan keberadaan seni tari jaipongan ini.
Sehingga dalam konteks ini Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan memberikan
Imbauan agar setidaknya mengurangi gerakan yang erotis dan juga para penari
jaipongan jangan menonjolkan auratnaya. Imbaun Pak Gubernur terhadap
jaipongan ini, rupanya bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya juga pernah
terjadi semasa Gubernur Aang Kunaefi. Pada waktu itu jaipongan sedang marak
di tengah masyarakat. Sikap dan penialai Gubernur seperti Pak Aang Kunaefi
ketika itu tidak bisa membendung dan mencegah minat masyarakat pada
jaipongan.5

Menyikapi kontroversi seputar imbauan Gubernur Jawa Barat tentang seni


tari jaipongan, para seniman sepakat untuk bertemu langsung dengan pak
Gubernur Ahmad Heryawan. Pertemuan itu diperlukan untuk menglarifikasi
duduk persoalan agar tidak berlarut-larut sehingga citra kesenian khas sunda
tersebut tetap terjaga. Menurut Gugum tarian jaipongan saat ini telah mengalami
penggeseran dan cendrung mengeksploitasi gerakan 3G secara berlebihan.
4
Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Dari Ketuk Tilu hingga Jaipongan (1920-an -2000-an).(Disajikan
dalam seminar Sejarah Nasional ke-9, 6 Juli 2010 di Hotel Bidakara Jakarta).
5
Endang Caturwati, 2006, Perempuan dan Ronggeng di Tatar Sunda Telaah Sejarah Budaya,
Bandung:LBPB, hlm.90-95.

5
Namuan, beliau menyangkan penilaian itu hanya ditujukan kepada tari jaipongan
tidak terhadap kesenian lain, misalnya musik dangdut, seni lukis, seni patung dan
lainya.

Setelah mengalami pertemuan antara para seninan Jawa Barat dengan Pak
Gubernur yang banyak menyeret banyak pihak agar ada kejelasan mengenai kasus
ini, akhirnya mendapat sebuah jawaban. Kehadiran Pak Gubernur didampingi
ketua DPRD Jabar H.A.M. Ruslan, Kadispud Jabar H. Herdiwan, Ketua Golkar
Uu Rukmana,dan Tjetje Hidayat di rumah Gugum Gumbira, atas undangan para
seniman untuk meminta kejelasan dan mendengarkan kejelasan langsung seputar
kontroversi pemberitaan sejumlah media cetak dan elektronik perihal tari
jaipongan. Dipertemuanya dengan para senimanini, Pak Gubernur menjelaskan
dan mengkalrifikasi semua hal yang selama ini menjadi permasalahan. Pak
gubernur juga menegaskan bahwa beliau menyukai seni budaya dan tari
jaipongan.

Polemik yang tidak ada habisnya selalu mewarnai perjalanan tari


jaipongan ini, polemik yang selalu menjadi buah bibir ini selalu ramai
dibicarakan. Dari forum seminar di gedung mewah hingga obrolan kecil di
warung kopi tidak bosan membicarakan jaipongan. Reaksi masyarakat terhadap
tari jaipongan sungguh sangat luar biasanya, apalagi polemik ini diramaikan
antara pihak yang mendukung dan juga pihak yang menolak.

Maka dari itu, Pandangan Para Ulama khusnya Ulama di Jawa Barat (MUI
Jabar) sangatlahpenting dalam memberikan pandangannya terhadap seni tari
Jaipongan ini yang bertujuan untuk menarik benang merah antara fenomena
budaya dengan keselarasan agama. Sehingga, nilai estetika sebuah kebudayaan
dalam hal ini, tari jaipongan tetap terpelihara dan tidak bertentangan dengan nilai-
nilai agama Islam.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Pengertian Dan Sejarah Awal Mula Adanya Tari Jaipong?


2. Pendapat Saya tentang Masalah Tari Jaipong?

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.2 Pengertian Dan Sejarah Tari jaipong

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang
seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang
salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul
perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/ Bajidoran
atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam
gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk
mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman
Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat
Jawa Barat (khususnya). Bahkan populer sampai di luar Jawa Barat. Menyebut
Jaipongan sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari
tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul
selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh
pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu
dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian
pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang
sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat

Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang
melatar belakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari
pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan
tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng
dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk
hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki
daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk
Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini
populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya

7
didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab,
kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong.

Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak
yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.Seiring
dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang
berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/ Doger/ Tayub) beralih
perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa
Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan
sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya
mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/ Doger/ Tayub).
Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari,
khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari
tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan
pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan,
pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya
menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari
Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah
Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu
perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan
dari Ketuk Tilu. Jaipongan merupakan karya utama Gugum Gumbira.

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris,


semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin
dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola)
seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak
dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah
ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang.
Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut:
1) Tatalu;
2) Kembang Gadung;
3) Buah Kawung Gopar;

8
4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), yang biasanya dibawakan oleh penari
tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi
melainkan menarikan lagu sinden/ juru kawih);
5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para
penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah
jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan
penonton (bajidor).
Daya tarik tarian tersebut bagi kaum muda selain gerak dari tari yang
dinamis dan tabuhan kendang membawa mereka untuk menggerakan tubuhnya
untuk menari sehingga tari jaipongan sebagai salah satu identitas kesenian Jawa
Barat yang oadasetiap tampil pada acara- acara khusus dan besar samapai
kenegaraan. Pengaruh tarian jaipongan merambah sampai Jawa Tengan dan Timur
, Bali bahkan Sumatra yang dikembangkan para seniman luar Jawa Barat.
    Penari jaipongan terdiri dari Tunggal, rampak / kolosal
1) Rampak sejenis
2) Rampak berpasangan
3) Tunggal laki-laki dan tunggal perempuan
4) Berpasangan laki- laki / perempuan
Karawitan jaipongan terdiri dari karawitan sederhana yang biasa
digunakan pertunjukan ketuk tilu yaitu
1) kendang
2) ketuk
3) rebab
4) goong
5) kecrek
6) sinden
    Untuk karawitan lengkap memakai gamelan yang biasa dipakai pada
karawitan wayang golek seperti
1) kendang
2) sarin I, II
3) bonang
4) rincik

9
5) demung
6) rebab
7) kecrek
8) sinden
9) goong
10) juru alok
Tata busana tari jaipongan untuk kreasi baru biasanya berbeda dengan
busana ketuk tilu untuk yang kreasi  biasanya lebih glamor dengan tetap memakai
pola tradisionalseperti sinjang / celana panjang , kebaya / apok yang busananya
lebih banyak ornamen sehingga terlihat megah tetapi lebih bebas bergerak .
Seiring dengan perkembangan jaman dan tarian tersebut tari jaipongan banyak
ditampilkan pada arena terbuka secara kolosal juga tampil di Hotel  berbintang
dan penyambutan tamu- tamu asing dari berbagai belahan dunia
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari
"Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan
jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul
beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli
Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat
menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar.
Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal
masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI
stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan
frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan
yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang
sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan
oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari
Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat
tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini
dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan

10
nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat,
misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-
an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra
Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan dan tari
Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan
yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani,
Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata dan
Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas
keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang
berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka
disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi
kesenian kemancanegara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari
Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat
Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan,
kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik
dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong.

2.2 Pendapat Saya Tentang Permasalah Di Tari Jaipong

Seni atau kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang


universal. Seni merupakahan keahlian manusia dalam karyanya yang bermutu,
dilihat dari segi kehalusan dan keindahan.9Setiap bangsa, suku bansa, bahkan
setiap diri manusia mempunyai seni. Demikian pula indonesia yang dihuni oleh
ratusan suku bangsa mempunyai kesenian yang tentunya beraneka ragam. Jawa
merupakan salah satu suku yang relatif besar di Indonesia juga memiliki kesenian
dan dialek yang bermacam-macam. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya hasil
karyasuku tersebut yang masih bertahan hingga sekarang.6

Salah satu dari bentuk ekspresi seni yang berkembang di Indonesia adalah
seni tari. Setiap suku di indonesia memiliki seni tari yang spesifik yang

6
Sujarno dkk, 2003, seni pertunjukan tradisional, Nilai, Fungsi dan tantanganya, yogyakarta:
kementrian kebudayaan dan pariwisata. Hlm. 1

11
berkembang pada masing-masing suku. Tari atau tarian merupakan salah satu
jenis ekspresi jiwa seni manusia yang diungkapkan melalui gerak-gerak dan ritme
yang indah. Maksud indah disini adalah bukan hanya berarti bagus, tetapi indah
yang memberikan kepuasan dan kesan yang baik pada orang lain sebagai
penikmat seni. Gerak-gerak dan ritme yang indah itu sebenarnya merupakan
pancaran jiwa manusia dan jiwa itu bisa berupa akal, kehendak dan emosi.

Jaipong merupakan sebuah seni Tari dalam masyarakat Sunda di Jawa


Barat. Jaipong adalah sebuah seni pertunjukan yang lahir dan berkembang di
daerah Jawa Barat, yaitu Bandung, Karawang, Subang, Bekasi, Purwakarta dan
Indramayu. Sebagai sebuah seni pertunjukan, Jaipong mengandung unsur seni
musik dan tari yang berakar dari beberapa seni pertunjukan tradisional Sunda,
seperti Ketuk Tilu, Pencak Silat, Ronggeng, Topeng, Tayub, Bangreng dan
Bajidor.

Jaipong dapat diterima sebagai sebuah kesenian bagi kolektif Sunda secara
emosional. Secara emosional, Jaipong mengalami perubahan ‟kepemilikan‟ dari
milik individu menjadi milik bersama orang Sunda. Bahkan Jaipong telah menjadi
salah satu identitas kesenian Sunda. Castell (2010) mengatakan, bahwa identitas
manusia itu bersumber dari pemaknaan dan pengalaman. Masyarakat Sunda
memaknai Jaipong sebagaisebuah kesenian Sunda. Jaipong menjadi salah satu
identitas mereka. Identitas itu adalah sesuatu yang dibangun atau diciptakan,
misalnya nama, bahasa atau kebudayaan. Identitas mengacu kepada aktor sosial.
Artinya identitas tersebut bersumber dari pemaknaan individu sebagai aktor dan
dibangun melalui sebuah proses yang disebut Castell (2010:6) sebagai individuasi
(individuation).

Penampilan karya seni seperti halnya jaipongan, yang dianggap melanggar


nilai-nilai moralitas dan agama, dimana agama diakui sebagai seperangkat aturan
yang mengatur keberadaan manusia di dunia. Agama mengemukakan aturan-
aturan bagi manusia, baik dalam hal hubungan manusia dalam kehidupan
sosialnya, manusiadengan alam tempat ia hidup, dan manusia dengan Tuhannya
(Zakiyuddin, 2003:28). Adanya konflik tentang penampilan karya seni yang tidak
mengandung nilai-nilai moral bahkan melanggar agama menyebabkan perseteruan

12
yang hebat, sadis, tragis, bahkan saling mencemooh dan menyakiti. Kejadian
tersebut merupakan peristiwa yang menunjukkan bahwa negara kita sedang
menderita krisis nilai dan krisis kesadaran atau distorsi moral dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat.

Krisis nilai, krisis kesadaran dan krisis moral yang terjadi akibat ulah
manusia khususnya dalam menyangkut bidang seni merupakan persoalan yang
menyesakkan dada bagi orang yang beraliran seni. Adanya krisis tersebut seolah-
olah memunculkan argumentasi yang kuat bahwa senilah yang menyebabkan
merosotnya nilai-nilai moralitas dan merosotnya peradaban bangsa dan
masyarakat. Padahal kalau dilihat dari filosofi estetika seni merupakan bentuk
keindahan yang menjadikan manusia aktif dan kreatif. Keindahan seni mampu
memberikan ide yang hampir tak terbatas. Bukan seni yang menyebabkan krisis
nilai, krisis kesadaran, dan krisis moral tetapi manusialah sebagai
pencipta,pengguna, dan pelaku yang menyebabkan dari krisis tersebut.

Demikian juga, Tajfel (1979) mendefenisikan identitas sosial sebagai


pengetahuan individu dimana dia merasa sebagai bagian anggota kelompok yang
memiliki kesamaan emosi serta nilai. Identitas seseorang juga merupakan konsep
diri seseorang sebagai anggota kelompok (Abrams & Hogg, 1990). Identitas bisa
berupa kebangsaan, ras, etnik, kelas, pekerja, agama, umur, gender, suku,
keturunan dan lain-lain. Pendekatan dalam identitas sosial erat kaitannya dengan
hubungan interrelationship, serta kehidupan alamiah masyarakat dan society
(Hogg & Abrams, 1988). Identitas sosial juga dapat dilihat bagaimana kategori
sosial yang ada dalam masyarakat ternyata tidak terbentuk secara sejajar, tetapi
juga menimbulkan status sosial dan kekuasaan.

Sosial yang ada dalam masyarakat ternyata tidak terbentuk secara sejajar,
tetapi juga menimbulkan status sosial dan kekuasaan.Reaksi masyarakat dari
berbagai kalangan mengenai sajian tari Jaipongan sangat luar biasa.Sorotan tertuju
pada masalah ”3G” (gitek, geol, dan goyang) dari para penari wanita yang
dicuatkan oleh pemberitaan mass media. Padahal “3G” ini bukan konsep yang ada
dalam tari Jaipongan, itu hanya asumsi para pemburu berita untuk memunculkan
beritanya agar laku dibaca. Akibatnya, H. Aang Kunaefi yang menjabat sebagai

13
Gubernur Jawa Barat saat itu, sempat mengeluarkan larangan secara lisan untuk
tidak menyajikan Jaipongan dalam forum resmi pemerintah yang digelar di
Pakuan maupun Gubernuran. Merespon masalah ini berbagai forum saresehan
digelar oleh pihak pemerintah maupun swasta sebagai wujud kepedulian
masyarakat terhadap seni tari aipongan. Kejadian serupa terjadi pada tahun 2009
yang melibatkan Gubernur Jabar Ahmad Heryaman karena marak beredar isu
mengenai kritikan Aher terhadap seni tari jaipongan yang menuai tanggapan
serius dari para seniman Sunda. Polemik itu berangsur membaik setelah
diadakanya pertemuan yang melibatkan Pak Gubernur dengan para seniman sunda
di Kediaman Gugum Gumbira.

Hal seperti diatas juga sebenarnya pernah terjadi kepada Tati Saleh dan
Yeti Mamat yang merupakan penari jaipongan era 1980. Mereka bisa tertunduk
diam ketika istri gubernur jawabarat (waktu itu) melarang keduanya ahar tidak
menari secara erotik dan sensual. Bahkan ketika dicekal pun, Tati Saleh masi juga
tidak mengerti apa yang salah pada tarianya sampai-sampai Ny Aang Kunaefi
(istri Gubernur) melarangnya untuk menari jaipongan di depan birokrat.

Bagi mereka sebenarnya goyang pinggul dan tebar pesona merupakan


bagian yang tidak terpisahkan dari olah tarian. Tetapi bagi istri Gubernur hal itu
dianggap telah melecehkan nilai perempuan. Apa boleh buat, kekuasaan lebih
menentukan otoritas dan Tati Saleh maupun Yeti Mamat dipaksa untuk di bawah
otoritas itu. Sebenarnya kemunculan stigma seperti ini berakar dari asumsi mereka
yang melihat gerakan penari jaipongan identik dengan Tarian para ronggeng yang
merupakan penari-penari perempuan seni tradisi yang terkenal denga
sensualitsnya. Citra ronggeng pada penari tradisi, khususnya sinden-penari
jaipongan masih melekat sebagai muatan kuat daya tarik para peminatnya, yaitu
laki-laki (bajidor). Menurut R.M. Soedarsona bahwa selama masih ada laki-laki,
kesenian di Jawa Barat yang melibatkan penari perempuan sebagai penyemarak
hiburan seperti halnya jaipongan ataupun sejenisnya, maka kesenian ini tidak akan
punah.

Eksistensi seks dalam tarian merupakan bagian yang tidak dapat


terpisahkan sejak zaman dahulu kala, khususnya dari masa feodalisme, dimana

14
pada saat itu seksualisme terlegitimasi oleh mitos-mitos. Selain itu dalam sajian
pertunjukan jaipongan, peranan rias dan busana merupakan bagian yang paling
penting bagi para sinden maupun penari untuk dapat mengubah penampilan dan
membangkitkan rasa percaya diri. Mulai dari persoalanwajah, bentuk sanggul,
model dan warna kebaya, serta corak kain yang dipakai sengaja dipasang
sedemikian rupa untuk memikat penonton, khususnya para bajidor yang pada
umunya adalah laki-laki yang tergila-gila oleh kecantikan, goyang pinggul serta
eksploitasi gerakan tubuh sinden. Oleh karenanya bagian-bagian tubuh tertentu
dibentuk dengan khusu agar dapat memberikan kesan seksi dan merangsang

Eksploitasi gerakan tubuh sinden. Oleh karenanya bagian-bagian tubuh


tertentu dibentuk dengan khusu agar dapat memberikan kesan seksi dan
merangsang.13Kejadian diatas bisa saja yang menyebabkan kritikian bermunculan
ternadap pelaku seni jaipongan. Sepeerti banyak ditulis dalam buku pro dan
kontra selalu mewarnai perjalan seni tari pertujukan rakyat ini. Hal ini seolah-olah
Persoalan-persoalan yang muncul dan menjadi kontroversidi dalam kehidupan
umat Islam terutama yang berkaitan dengan hiburan dan seni. Hal ini disebabkan
banyaknya manusia yang sudah terjebak pada kelalaian dan melampaui batas
dalam menyikapi hiburan dan seni yang erat hubunganya dengan perasaan, hati,
akal dan pikiran.Namun pada kenyataanya, hiburan dan seni ini telah
terkontaminasi oleh kemewahan hedonisme daripada sisiestetikayang indah dan
lurus

Maka dari itu, dalam menganalis polemik di atas menganai seni tari
jaipongan, penyusun menggunakan teori tantangan (challenge)dan respon
(response)dari sejarawan arnold j. Toynbee. Tantangan dan respon adalah sebuah
dimensi kausalitas pertarungan ide, wacana, atau gerakan yang lahir dalam satu
kebudayaan atau pemikiran yang satu sama lainya saling terkaitdan kemudian
saling bersifat reaktif. Teori ini memberikan sebuah kerangka pikir, bahwa
munculnya setiap ide, wacana atau suatu gerakan pemikiran memiki relasi yang
saling berkait dengan berbagai faktor-faktor penyebab. Oleh sebab itu, segala
bentuk gerakan dan pemikiran yang kemudian berujung pada munculnya
kebudayaan “baru” akan melahirkan sebuah konsekkuensi logis yang akan

15
mengambil posisi dalam bentuk atau pola respon dan tantangan terhadap situasi
dan kondisi sosial-politik yang mengitarinya

Munculnya kritikan dari berbagai kalangan, dimulai dari kalangan elit


pemerintahan dan elite politik hingga masyarakat biasa terjadi karena Jaipongan
sebagai seni tari pertunjukan rakyat di sajikan dengan etika yang buruk. Apalagi
pelaku jaipongan selalu dikaitkan dengan ronggeng atau perempuan nakal,
sehingga jaipongan ini banyak menimbulkan respon yang beragam baik
masyarkat yang setuju dengan sajian jaipongan ini maupun masyrakat yang
menantang keras adanya sajian jaipongan yang seronok sebagai pembangkit
gairah para lelaki hidung belang

Kalau sudah seperti ini yang menjadi perhatian adalah pendapat para
ulama dalam menggapi hal ini, bisa saja tanggapan para ulama ini pula sebagai
respon dari polemik yang terjadi terhadap seni tari jaipongan di Jawa Barat.

Seperti halnya dengan ungkapaninna al-„ulama waratsa al-anbiya‟


(sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi), menurut Ibn Hajar al-Asqalani
(773-852 H), dalam Fath Al-Bariy, adalah sebagian dari hadits yang ditemukan
dalam beberapa kitab hadits. Diperkuat juga dalam Al-Qur‟an dengan firman
Allah: Kemudian Kami wariskan Al-Kitab kepada yang Kami pilih dari hamba-
hamba Kami(QS 35:32). Juga pada Surat Al-Baqarah ayat 213, yang
berkesimpulan bahwa Tuham mengutus nabi-nabi dan memberikan mereka kitab-
kitab suci agar masing-masing, melalui kitab suci memberikan keputusan atau
pemecah terhadap apa-apa yang diperselisihkan atau dipersoalkan dalam
masyarakat mereka. Berangkat dari kedua ayat tersebut, juga dari ungkapan “para
ulama adalah pewaris para nabi”, dapat dipahami bahwa para ulama melalui
pemahaman, pemaparan, pengamalan kitab suci bertugas memberikan petunjuk
dan bimbingan guna mengatasi perselisihan pendapat, problem-problem sosial
yang hidup dan berkembang dalammasyarakat.

Dari berbagai polemik yang melingkipi kehidupan sosial dalam


masyarakat seharunya ulama mampu menegahi semua aspek sosial ini secara
bujaksana. Sebagimana tugas dan amanahnya sebagai pewaris para nabi seperti

16
halnya MUI sebagai Majelis yang mewakili dan mewadahi semua fatwa dari para
ulama lain seharusnya mampu memberikan tanggapan mengenai hal ini.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tari Jaipong adalah tarian yang berasal dari Jawa Barat yang merupakan
ciptaan Gugum Gumbira, yang gerakannya sangat gemulai dan ayu. Tari jaipong
merupakan identitas kesenian Jawa Barat yang kadang digunakan saat ada acara-
acara penting, upacara, ataupun menyambut orang-orang asing yang datang ke
Indonesia.
Sejarah perkembangan tari jaipong sangat cepat dan mengalami
peningkatan yang signifikan. Tari ini sangat banyak diminati oleh para masyarakat
karena gerakannya yang sangat menarik. Perkembangan tari jaipong bukan hanya
tersebar di Jawa Barat saja tapi juga telah sampai ke luar negeri.

3.2 Saran
Kami berharap agar tari jaipong akan terus mengakar di kebudayaan
Indonesia dan akan tetap dilestarikan oleh generasi muda. Kami juga berharap
agar adanya partisipasi dari para pembaca untuk tetap mengambil peran dalam
pelestarian budaya Indonesia. 

17
DAFTAR PUSTAKA

Iyus Rusliana, Penciptaan Tari Sunda gagasan global bersumber nilai


lokalbandung, Bandung,Etnoteater Publisher, hlm. 53-54.

rawati Durban dan Soedarsono Tari Sunda:dulu, kini dan esok, 2005: Bandung
P4ST UPI. hlm. 173-174.

Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi,


hlm.593-594.

Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Dari Ketuk Tilu hingga Jaipongan (1920-an -2000-
an).(Disajikan dalam seminar Sejarah Nasional ke-9, 6 Juli 2010 di Hotel
Bidakara Jakarta).

Endang Caturwati, 2006, Perempuan dan Ronggeng di Tatar Sunda Telaah


Sejarah Budaya, Bandung:LBPB, hlm.90-95.

Sujarno dkk, 2003, seni pertunjukan tradisional, Nilai, Fungsi dan tantanganya,
yogyakarta: kementrian kebudayaan dan pariwisata. Hlm. 1

18

Anda mungkin juga menyukai