Di susun oleh
Tantya Fajarias
NPM : 17.4301.180
1
Daftar Isi
Cover
Daftar Isi
1. BAB I ………………………………………………………… 1
2. BAB II ………………………………………………………… 7
- Kesimpulan .................................................................... 17
- Saran .............................................................................. 17
Daftar Pustaka
2
BAB I
PENDAHULUAN
Di Jawa Barat banyak ragam seni tari yang hidup dan berkembang di
masyarakat, di antaranya tari rakyat yang terdapat hampir disetiap daerah
misalnya: di Baduy (Banten Selatan) terdapat Angklung Huma, di daerah Serang
terdapat Ubrug,di daerah Rancakalong terdapat Tarawangsa,di daerah Sumedang
terdapat Bangreng, di Karawang terdapat Banjetdan lain sebagainya.
3
Bajidoran,dan penari wanitanya (Ronggeng)terkenal sangat atraktif dan mampu
mengimbangi penari laki-lakinya yang sering disebut bajidor atau pamogoran.1
Para pelaku seni dan budaya terus berupaya untuk meningkatkan kualitas
seni dan budayanya (Lubis dkk., 2003: 429-430). Pada tahun 1986, Pemerintah
telah bertekad untuk menggalakkan bisnis pariwisata. Penekanan Presiden
mengenai hal itu disampaikan pada pembukaan Rapat Kerja Departemen
Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi pada tanggal 26 September 1986. Promosi
pariwisata keluar negeri terus digalakkan dengan menyajikan berbagai bentuk seni
(Soedarsono, 2003: 234-235) termasuk Jaipongan sebagai materi pertunjukannya.
1
Iyus Rusliana, Penciptaan Tari Sunda gagasan global bersumber nilai lokalbandung, Bandung,Etnoteater
Publisher, hlm. 53-54.
2
Irawati Durban dan Soedarsono Tari Sunda:dulu, kini dan esok, 2005: Bandung P4ST UPI. hlm.
173-174.
3
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, hlm.593-594 .
4
Kehadiran Jaipongan merupakan sebuah realitas yang tidak dapat
dipungkiri. Imaji Gugum dalam menciptakan Jaipongan tidak terlepas dari realitas
sosial di sekelilingnya (Duvignaud, 1967: 47). Di sini, Gugum mampu melihat
dan membaca keadaan masyarakat yang saat itu tengah mengalami perubahan dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Kebutuhan terhadap seni pada
masyarakat tipe ini adalah berbentuk hiburan ringan dalam waktu singkat, glamor,
dan sedikit bernuansa erotis. Pada bentuk seni semacam ini, Gans (1975: 20)
mengkategorikan sebagai seni pop yang mengutamakan profit karena sudah
menjadi seni industri yang konsekuensinya harus mengikuti selera massa. Tarian
wanita lebih ditonjolkan, karena wanita memiliki nilai estetika yang dianggap
dapat bernilai jual. di berbagai kesempatan, khusunya antara orang-orang yang
pro dankontra. Terutama yang menilai tarian ini layak atau tidaknya untuk
dipertontonkan dalam forum-forum “terhormat”.4
5
Namuan, beliau menyangkan penilaian itu hanya ditujukan kepada tari jaipongan
tidak terhadap kesenian lain, misalnya musik dangdut, seni lukis, seni patung dan
lainya.
Setelah mengalami pertemuan antara para seninan Jawa Barat dengan Pak
Gubernur yang banyak menyeret banyak pihak agar ada kejelasan mengenai kasus
ini, akhirnya mendapat sebuah jawaban. Kehadiran Pak Gubernur didampingi
ketua DPRD Jabar H.A.M. Ruslan, Kadispud Jabar H. Herdiwan, Ketua Golkar
Uu Rukmana,dan Tjetje Hidayat di rumah Gugum Gumbira, atas undangan para
seniman untuk meminta kejelasan dan mendengarkan kejelasan langsung seputar
kontroversi pemberitaan sejumlah media cetak dan elektronik perihal tari
jaipongan. Dipertemuanya dengan para senimanini, Pak Gubernur menjelaskan
dan mengkalrifikasi semua hal yang selama ini menjadi permasalahan. Pak
gubernur juga menegaskan bahwa beliau menyukai seni budaya dan tari
jaipongan.
Maka dari itu, Pandangan Para Ulama khusnya Ulama di Jawa Barat (MUI
Jabar) sangatlahpenting dalam memberikan pandangannya terhadap seni tari
Jaipongan ini yang bertujuan untuk menarik benang merah antara fenomena
budaya dengan keselarasan agama. Sehingga, nilai estetika sebuah kebudayaan
dalam hal ini, tari jaipongan tetap terpelihara dan tidak bertentangan dengan nilai-
nilai agama Islam.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang
seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang
salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul
perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/ Bajidoran
atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam
gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk
mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman
Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat
Jawa Barat (khususnya). Bahkan populer sampai di luar Jawa Barat. Menyebut
Jaipongan sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari
tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul
selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh
pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu
dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian
pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang
sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang
melatar belakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari
pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan
tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng
dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk
hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki
daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk
Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini
populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya
7
didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab,
kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong.
Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak
yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.Seiring
dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang
berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/ Doger/ Tayub) beralih
perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa
Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan
sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya
mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/ Doger/ Tayub).
Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari,
khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari
tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan
pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan,
pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya
menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari
Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah
Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu
perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan
dari Ketuk Tilu. Jaipongan merupakan karya utama Gugum Gumbira.
8
4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), yang biasanya dibawakan oleh penari
tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi
melainkan menarikan lagu sinden/ juru kawih);
5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para
penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah
jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan
penonton (bajidor).
Daya tarik tarian tersebut bagi kaum muda selain gerak dari tari yang
dinamis dan tabuhan kendang membawa mereka untuk menggerakan tubuhnya
untuk menari sehingga tari jaipongan sebagai salah satu identitas kesenian Jawa
Barat yang oadasetiap tampil pada acara- acara khusus dan besar samapai
kenegaraan. Pengaruh tarian jaipongan merambah sampai Jawa Tengan dan Timur
, Bali bahkan Sumatra yang dikembangkan para seniman luar Jawa Barat.
Penari jaipongan terdiri dari Tunggal, rampak / kolosal
1) Rampak sejenis
2) Rampak berpasangan
3) Tunggal laki-laki dan tunggal perempuan
4) Berpasangan laki- laki / perempuan
Karawitan jaipongan terdiri dari karawitan sederhana yang biasa
digunakan pertunjukan ketuk tilu yaitu
1) kendang
2) ketuk
3) rebab
4) goong
5) kecrek
6) sinden
Untuk karawitan lengkap memakai gamelan yang biasa dipakai pada
karawitan wayang golek seperti
1) kendang
2) sarin I, II
3) bonang
4) rincik
9
5) demung
6) rebab
7) kecrek
8) sinden
9) goong
10) juru alok
Tata busana tari jaipongan untuk kreasi baru biasanya berbeda dengan
busana ketuk tilu untuk yang kreasi biasanya lebih glamor dengan tetap memakai
pola tradisionalseperti sinjang / celana panjang , kebaya / apok yang busananya
lebih banyak ornamen sehingga terlihat megah tetapi lebih bebas bergerak .
Seiring dengan perkembangan jaman dan tarian tersebut tari jaipongan banyak
ditampilkan pada arena terbuka secara kolosal juga tampil di Hotel berbintang
dan penyambutan tamu- tamu asing dari berbagai belahan dunia
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari
"Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan
jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul
beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli
Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat
menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar.
Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal
masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI
stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan
frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan
yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang
sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan
oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari
Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat
tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini
dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan
10
nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat,
misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-
an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra
Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan dan tari
Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan
yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani,
Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata dan
Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas
keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang
berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka
disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi
kesenian kemancanegara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari
Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat
Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan,
kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik
dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong.
Salah satu dari bentuk ekspresi seni yang berkembang di Indonesia adalah
seni tari. Setiap suku di indonesia memiliki seni tari yang spesifik yang
6
Sujarno dkk, 2003, seni pertunjukan tradisional, Nilai, Fungsi dan tantanganya, yogyakarta:
kementrian kebudayaan dan pariwisata. Hlm. 1
11
berkembang pada masing-masing suku. Tari atau tarian merupakan salah satu
jenis ekspresi jiwa seni manusia yang diungkapkan melalui gerak-gerak dan ritme
yang indah. Maksud indah disini adalah bukan hanya berarti bagus, tetapi indah
yang memberikan kepuasan dan kesan yang baik pada orang lain sebagai
penikmat seni. Gerak-gerak dan ritme yang indah itu sebenarnya merupakan
pancaran jiwa manusia dan jiwa itu bisa berupa akal, kehendak dan emosi.
Jaipong dapat diterima sebagai sebuah kesenian bagi kolektif Sunda secara
emosional. Secara emosional, Jaipong mengalami perubahan ‟kepemilikan‟ dari
milik individu menjadi milik bersama orang Sunda. Bahkan Jaipong telah menjadi
salah satu identitas kesenian Sunda. Castell (2010) mengatakan, bahwa identitas
manusia itu bersumber dari pemaknaan dan pengalaman. Masyarakat Sunda
memaknai Jaipong sebagaisebuah kesenian Sunda. Jaipong menjadi salah satu
identitas mereka. Identitas itu adalah sesuatu yang dibangun atau diciptakan,
misalnya nama, bahasa atau kebudayaan. Identitas mengacu kepada aktor sosial.
Artinya identitas tersebut bersumber dari pemaknaan individu sebagai aktor dan
dibangun melalui sebuah proses yang disebut Castell (2010:6) sebagai individuasi
(individuation).
12
yang hebat, sadis, tragis, bahkan saling mencemooh dan menyakiti. Kejadian
tersebut merupakan peristiwa yang menunjukkan bahwa negara kita sedang
menderita krisis nilai dan krisis kesadaran atau distorsi moral dalam kehidupan
berbangsa dan bermasyarakat.
Krisis nilai, krisis kesadaran dan krisis moral yang terjadi akibat ulah
manusia khususnya dalam menyangkut bidang seni merupakan persoalan yang
menyesakkan dada bagi orang yang beraliran seni. Adanya krisis tersebut seolah-
olah memunculkan argumentasi yang kuat bahwa senilah yang menyebabkan
merosotnya nilai-nilai moralitas dan merosotnya peradaban bangsa dan
masyarakat. Padahal kalau dilihat dari filosofi estetika seni merupakan bentuk
keindahan yang menjadikan manusia aktif dan kreatif. Keindahan seni mampu
memberikan ide yang hampir tak terbatas. Bukan seni yang menyebabkan krisis
nilai, krisis kesadaran, dan krisis moral tetapi manusialah sebagai
pencipta,pengguna, dan pelaku yang menyebabkan dari krisis tersebut.
Sosial yang ada dalam masyarakat ternyata tidak terbentuk secara sejajar,
tetapi juga menimbulkan status sosial dan kekuasaan.Reaksi masyarakat dari
berbagai kalangan mengenai sajian tari Jaipongan sangat luar biasa.Sorotan tertuju
pada masalah ”3G” (gitek, geol, dan goyang) dari para penari wanita yang
dicuatkan oleh pemberitaan mass media. Padahal “3G” ini bukan konsep yang ada
dalam tari Jaipongan, itu hanya asumsi para pemburu berita untuk memunculkan
beritanya agar laku dibaca. Akibatnya, H. Aang Kunaefi yang menjabat sebagai
13
Gubernur Jawa Barat saat itu, sempat mengeluarkan larangan secara lisan untuk
tidak menyajikan Jaipongan dalam forum resmi pemerintah yang digelar di
Pakuan maupun Gubernuran. Merespon masalah ini berbagai forum saresehan
digelar oleh pihak pemerintah maupun swasta sebagai wujud kepedulian
masyarakat terhadap seni tari aipongan. Kejadian serupa terjadi pada tahun 2009
yang melibatkan Gubernur Jabar Ahmad Heryaman karena marak beredar isu
mengenai kritikan Aher terhadap seni tari jaipongan yang menuai tanggapan
serius dari para seniman Sunda. Polemik itu berangsur membaik setelah
diadakanya pertemuan yang melibatkan Pak Gubernur dengan para seniman sunda
di Kediaman Gugum Gumbira.
Hal seperti diatas juga sebenarnya pernah terjadi kepada Tati Saleh dan
Yeti Mamat yang merupakan penari jaipongan era 1980. Mereka bisa tertunduk
diam ketika istri gubernur jawabarat (waktu itu) melarang keduanya ahar tidak
menari secara erotik dan sensual. Bahkan ketika dicekal pun, Tati Saleh masi juga
tidak mengerti apa yang salah pada tarianya sampai-sampai Ny Aang Kunaefi
(istri Gubernur) melarangnya untuk menari jaipongan di depan birokrat.
14
pada saat itu seksualisme terlegitimasi oleh mitos-mitos. Selain itu dalam sajian
pertunjukan jaipongan, peranan rias dan busana merupakan bagian yang paling
penting bagi para sinden maupun penari untuk dapat mengubah penampilan dan
membangkitkan rasa percaya diri. Mulai dari persoalanwajah, bentuk sanggul,
model dan warna kebaya, serta corak kain yang dipakai sengaja dipasang
sedemikian rupa untuk memikat penonton, khususnya para bajidor yang pada
umunya adalah laki-laki yang tergila-gila oleh kecantikan, goyang pinggul serta
eksploitasi gerakan tubuh sinden. Oleh karenanya bagian-bagian tubuh tertentu
dibentuk dengan khusu agar dapat memberikan kesan seksi dan merangsang
Maka dari itu, dalam menganalis polemik di atas menganai seni tari
jaipongan, penyusun menggunakan teori tantangan (challenge)dan respon
(response)dari sejarawan arnold j. Toynbee. Tantangan dan respon adalah sebuah
dimensi kausalitas pertarungan ide, wacana, atau gerakan yang lahir dalam satu
kebudayaan atau pemikiran yang satu sama lainya saling terkaitdan kemudian
saling bersifat reaktif. Teori ini memberikan sebuah kerangka pikir, bahwa
munculnya setiap ide, wacana atau suatu gerakan pemikiran memiki relasi yang
saling berkait dengan berbagai faktor-faktor penyebab. Oleh sebab itu, segala
bentuk gerakan dan pemikiran yang kemudian berujung pada munculnya
kebudayaan “baru” akan melahirkan sebuah konsekkuensi logis yang akan
15
mengambil posisi dalam bentuk atau pola respon dan tantangan terhadap situasi
dan kondisi sosial-politik yang mengitarinya
Kalau sudah seperti ini yang menjadi perhatian adalah pendapat para
ulama dalam menggapi hal ini, bisa saja tanggapan para ulama ini pula sebagai
respon dari polemik yang terjadi terhadap seni tari jaipongan di Jawa Barat.
16
halnya MUI sebagai Majelis yang mewakili dan mewadahi semua fatwa dari para
ulama lain seharusnya mampu memberikan tanggapan mengenai hal ini.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tari Jaipong adalah tarian yang berasal dari Jawa Barat yang merupakan
ciptaan Gugum Gumbira, yang gerakannya sangat gemulai dan ayu. Tari jaipong
merupakan identitas kesenian Jawa Barat yang kadang digunakan saat ada acara-
acara penting, upacara, ataupun menyambut orang-orang asing yang datang ke
Indonesia.
Sejarah perkembangan tari jaipong sangat cepat dan mengalami
peningkatan yang signifikan. Tari ini sangat banyak diminati oleh para masyarakat
karena gerakannya yang sangat menarik. Perkembangan tari jaipong bukan hanya
tersebar di Jawa Barat saja tapi juga telah sampai ke luar negeri.
3.2 Saran
Kami berharap agar tari jaipong akan terus mengakar di kebudayaan
Indonesia dan akan tetap dilestarikan oleh generasi muda. Kami juga berharap
agar adanya partisipasi dari para pembaca untuk tetap mengambil peran dalam
pelestarian budaya Indonesia.
17
DAFTAR PUSTAKA
rawati Durban dan Soedarsono Tari Sunda:dulu, kini dan esok, 2005: Bandung
P4ST UPI. hlm. 173-174.
Een Herdiani, S.Sen., M.Hum, Dari Ketuk Tilu hingga Jaipongan (1920-an -2000-
an).(Disajikan dalam seminar Sejarah Nasional ke-9, 6 Juli 2010 di Hotel
Bidakara Jakarta).
Sujarno dkk, 2003, seni pertunjukan tradisional, Nilai, Fungsi dan tantanganya,
yogyakarta: kementrian kebudayaan dan pariwisata. Hlm. 1
18