A. Syarat-Syarat Kontrak
22. Syarat tegas dan syarat tersirat. Para pihak dapat mengungkapkan secara tegas
setiap syarat kontrak yang mereka inginkan. Tingkat kedetilan syarat kontrak tersebut
dapat disesuaikan sesuai keinginan para pihak. Alternatifnya, para pihak dapat
langsung menyepakati tujuan dasar kontrak tersebut sementara detil syarat-syarat
kontrak dapat disimpulkan dari isi kontrak (surrounding circumstances)
Syarat kontrak terdiri atas dua jenis: (a) ketentuan (conditions), yaitu syarat-syarat
utama dan (b) jaminan (warrantie), yaitu syarat subordinat. Penentuan jenis dari suatu
syarat dalam kontrak merupakan persoalan maksud yang harus disimpulkan oleh
pengadilan berdasarkan isi kontrak. Kesalahan dalam penggunaan kata “ketentuan”
atau “jaminan” oleh para pihak tidak dianggap konklusif.
23. Ketentuan. Ketentuan merupakan suatu syarat esensial, yang berkaitan dengan
pokok kontrak. Dengan kata lain, suatu ketentuan dapat merupakan tujuan utama atau
salah satu dari beberapa tujuan utama dari suatu perjanjian.
Pelanggaran terhadap suatu ketentuan memberikan hak kepada pihak yang
dirugikan untuk mengakhiri kontrak (secara sepihak-pent): Behn v. Barness (1863), dan
lihat V, 23-26. (Pihak yang dirugikan juga dapat menganggap pelanggaran tersebut
semata sebagai suatu pelanggaran terhadap jaminan dan menuntut ganti rugi serta
menuntut agar kontrak tetap dijalankan.)
CATATAN: Syarat Fundamental: Syarat tersebut merupakan suatu ketentuan yang
sangat penting sehingga Pengadilan menjadikan/menganggap syarat tersebut sebagai
tujuan dasar dari sebuah kontrak. Ketika terjadi pelanggaran terhadap syarat tersebut
(pelanggaran fundamental), Pengadilan tidak akan melepaskan pihak yang melanggar
kontrak tersebut dari tanggung jawab meskipun pihak tersebut menggunakan klausula
eksempsi yang tegas: Suisses Atlantique Soc. D’Armament Maritime v. Rotterdamsche
Kolen Contrale (1966) H.L (Kasus Suisse Atlantique.)
Misalnya, Pabrik milik A mengalami kebakaran karena B lalai/melakukan
kelalaian dalam melaksanakan kontrak pemasangan mesin yang berisikan klausula
yang membatasi tanggung jawab B atas harga kontrak. Putusan: B telah melakukan
pelanggaran fundamental dan tidak dapat menghindari tanggung jawab dengan
2
menggunakan klausula eksempsi: Harbutt’s Plasticine Ltd. v. Wayne tank & Pump Co.
Ltd. (1970).
26. Jaminan ex post facto. Jika terjadi pelanggaran terhadap suatu ketentuan, pihak yang
dirugikan dapat (a) menganggap kontrak berakhir, atau (b) jika pihak tersebut
berkehendak, ia dapat menganggap pelanggaran tersebut sebagai suatu pelanggaran
terhadap jaminan, dan tetap melanjutkan kontrak tersebut serta menuntut ganti rugi.
Pada kasus tertentu, pihak (yang dirugikan-pent) tersebut harus mengambil
pilihan (b). Contoh: dalam kontrak penjualan barang, ketika pembeli telah menerima
3
barang dalam jumlah besar kemudian ia menemukan adanya pelanggaran terhadap
suatu ketentuan, pembeli tersebut harus menganggap pelanggaran tersebut sebagai
pelanggaran terhadap jaminan: S.G.A., 1983, s. 11 (1).
Menganggap pelanggaran terhadap suatu ketentuan, setelah pelanggaran
tersebut terjadi, seakan-akan merupakan suatu pelanggaran terhadap jaminan disebut
sebagai menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap waranti ex post facto, yaitu
jaminan setelah terjadinya peristiwa.
27. Syarat tersirat. Dalam kontrak terdapat aturan umum yang menyatakan bahwa para
pihak dianggap telah menyatakan maksud mereka secara penuh.
Pengadilan hanya akan menyimpulkan adanya syarat tambahan ketika memang
sangat diperlukan agar Pengadilan dapat mengungkap maksud yang sebenarnya dari
para pihak, atau ketika kebiasaan atau undang-undang mengharuskan hal tersebut
dilakukan: Moorcock (1889), dan lihat 20.
Ketika suatu syarat tegas jelas dan tidak rancu, Pengadilan hanya akan
menyimpulkan adanya suatu syarat jika telah jelas-jelas nyata bahwa para pihak telah
menginginkan hal tersebut sebagai bagian dari kontrak: Trollope & Colls v. N. W.
Metropolitan Regional Hospital Board (1973).
CONTOH: Perusahaan asuransi yang digunakan C menggunakan jasa bengkel X
untuk memperbaiki mobil milik C, yang rusak dalam suatu kecelakaan. Pengadilan
menemukan adanya kontrak tersirat antara C dan X (berbeda dengan klaim C
bahwa ia hanya memiliki kontrak dengan perusahaan asuransi tersebut di atas).
Pada kontrak tersirat tersebut tidak ada syarat/klausula tentang jangka waktu
perbaikan mobil: Bengkel X menyelesaikan perbaikan selama 8 (delapan) minggu
sehingga C menuntut ganti rugi atas keterlambatan tersebut. Putusan: Dengan
pertimbangan efisiensi bisnis, Pengadilan menyimpulkan bahwa perbaikan mobil
tersebut harus diselesaikan dalam waktu normal (yaitu selama lima minggu)
sehingga pengadilan mengabulkan permintaan ganti rugi oleh C: Charnock v.
Liverpool Corporation (1968); Lihat juga Brown & Davis v. Galbraith (1972).
28. Syarat dan Representasi. Seringkali selama proses awal negosiasi salah satu pihak
(contohnya, penjual barang) memberikan sejumlah pernyataan, atau representasi, untuk
membantu pihak tersebut membujuk/meyakinkan pihak lain (mitra-pent) untuk
membuat kontrak dengannya. Persoalan apakah representasi tersebut menjadi syarat
4
dalam kontrak yang dibuat (sehingga mengikat pihak yang membuatnya) bergantung
pada penafsiran oleh Pengadilan terhadap representasi tersebut.
Tes/Uji yang dapat digunakan: Apakah penggugat menganggap respresentasi
tersebut semata-mata sebagai suatu bujukan, atau apakah penggugat bersikukuh bahwa
dia tidak akan menyepakati kontrak tersebut kecuali representasi tersebut dianggap
sebagai suatu ketentuan atau sebagai suatu jaminan yang mengikat?
Aturan-aturan berikut berlaku:
(a) Suatu representasi tidak akan dianggap sebagai sebuah syarat kontrak kecuali
para pihak telah menyepakati hal tersebut secara tegas maupun secara tersirat.
(b) Jika suatu representasi dianggap sebagai sebuah bujukan semata, penggugat
tidak dapat menuntut atas dalil pelanggaran kontrak jika hal tersebut tidak
terbukti. (Meski demikian, penggugat dapat menghindari kontrak dan
memperoleh ganti rugi atas dasar misrepresentasi: Undang-Undang
Misrepresentasi, 1967, lihat IV, 11).
(c) Jika suatu misrepresentasi disetujui oleh para pihak sebagai suatu syarat
kontrak, pemulihan yang akan diterima penggugat akan bergantung pada
putusan Pengadilan tentang sifat dari misrepresentasi tersebut apakah sebagai
suatu ketentuan atau suatu jaminan: Lihat 23 dan 25 di atas, dan V, 25).
29. Penafsiran Kontrak. Dalam menafsirkan syarat-syarat kontrak Pengadilan
menerapkan aturan-aturan berikut:
(a) Bahasa yang digunakan harus ditafsirkan sejauh mungkin dan sedemikian rupa
sehingga dapat menangkap maksud dari para pihak.
(b) Kata-kata yang digunakan harus dianggap memiliki makna literal, kecual hal
yang sebaliknya dapat dibuktikan.
(c) Jika terdapat dua makna, dimana makna yang satu sejalan dengan hukum (legal)
dan makna yang lainnya bertentangan/tidak sesuai dengan hukum (unlawful),
makna yang sejalan dengan hukum akan dipilih agar kontrak dapat
dilaksanakan. (kontrak yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan adalah batal demi hukum: lihat IV, 25).
(d) Kontrak akan harus ditafsirkan secara terbalik terhadap pihak yang
menggagasnya (aturan contra proferentem: lihat 18).
(e) Kontrak akan ditafsirkan berdasarkan hukum yang berlaku, yaitu biasanya
berdasarkan hukum dari negara tempat kontrak tersebut dibuat: lihat 31.
5
(f) Jika maksud yang jelas dari para pihak tidak dinyatakan secara tegas dalam
kontrak, Pengadilan akan membuat koreksi terhadap kontrak tersebut sehingga
kontrak tersebut akan menyatakan secara tegas maksud para pihak tersebut.
6
B. Perbandingan Poin 29 a-f dengan Pasal 1342-1351 KUHPerdata