Anda di halaman 1dari 7

Mengenal Imam Junaid Al-Baghdadi: Sejarah Hidup dan Pendidikan

(Bagian 1)

Para pemikir Islam, khususnya di bidang tasawuf berbeda-beda dalam


mendefinisikan tasawuf, baik sebagai pengalaman spiritual maupun sebagai ilmu
pengetahuan. Tetapi, pengalaman ilahiyah yang mereka rasakan dan tujuan yang
mereka harapkan hanya satu, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal terpenting
dalam tasawuf bukanlah menghafal berbagai definisi tentang tasawuf, yang lebih
utama adalah praktik dan penerapannya dalam kehidupan.

Istilah tasawuf muncul pada awal abad ketiga Hijriah, saat itu para sufi
menggunakan tasawuf untuk merubah moral tercela menjadi moral yang terpuji.
Semua sufi pada abad ini terfokus pada persoalan moral dan metodelogi untuk
meraih akhlak yang mulia, seperti latihan jiwa (riyadhah), maqamat dan ahwal.

Sufi pertama yang membicarakan tasawuf ialah al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, yang
lahir pada tahun 165 H di Bashrah Iraq dan meninggal dunia pada tahun 243 H.
Para sufi pada abad ketiga Hijriyah diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama,
kelompok yang berpegang teguh pada syari’at, yaitu Abu Sa’id al-Kharraz, dan Abu
al-Qasim al-Junaid.

Tulisan ini mengkaji pemikiran salah seorang sufi terbaik pada periode awal
munculnya tasawuf bernama Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhamad bin Al-Junaid al-
Khazzaz al-Qawariri Nihawandi Al-Baghdadi. Artikel ini mencoba mendeskripsikan
tiga teori utama tasawuf dengan Imam Junaid Al-Baghdadi yaitu, mitsaq, fana dan
tauhid.

Nama lengkap beliau adalah Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad al-Khazzaz al-
Qawariri al-Sujj al-Nahawandi. Lahir di Baghdad, di salah satu rumah di bagian barat
Baghdad. Al-Qawariri adalah nisbat yang diberikan dari Imam Hujwiri, Ibn Subki,
dan Ibnu Katsir. Sedangkan, nisbat Al-Baghdadi merupakan nisbat dari tempat
tinggal beliau, pandangan ini dikemukakan oleh Imam Qusyairi. Adapun nisbat
Nihrawandi merupakan nisbat yang jarang sekali muncul di permukaan para penulis
Imam Junaid, karena nisbat Nihawandi disandarkan pada asal nenek moyangnya
yang berasal dari daerah Nihawan (terletak di provinsi Jibal, Persia).
Tahun kelahiran Imam Junaid masih belum bisa ditentukan secara pasti sampai
sekarang. Akan tetapi, Abdul Kader memperkirakan bahwa Imam Junayd lahir
sekitar tahun 210 H. Perkiraan ini muncul dengan menghitung masa muda Imam
Junaid ketika ia belajar hadis dan fikih di bawah bimbingan Abu Tsawr Ibrahim bin
Khalid al-Kalbi al-Baghdad (w. 240 H), di mana pada saat itu diperkirakan Junayd
berumur 20 tahun, sedangkan pendidikannya hanya memakan waktu 3 sampai 5
tahun.

Namun, ada pula yang mengatakan bahwa, Imam Junaid lahir pada tahun 215 H,
pandangan ini adalah pandangan paling banyak sebagaimana dalam pandangan Abu
Qasim an-Nasrabadzi bahwa Imam Junaid lahir dan tumbuh berkembag di Baghdad.

Sejarah Pendidikan Al Junaid Al Baghdadi

Awal pendidikan Imam Junaid dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama dari
pamannya, Imam Sari As Saqati. Beliau adalah murid dari Imam Ma‘ruf al-Karkhi (w.
200 H) dan merupakan salah seorang sufi yang terbilang di kota Baghdad. Paman
Imam Junaid ini merupakan salah satu pedagang bumbu dan rempah-rempah.
Beliau mendapatkan julukan As Saqati karena tabiat beliau yang jarang keluar
rumah kecuali untuk shalat berjamaah dan shalat Jumat.

Imam Sari ini merupakan salah satu tokoh yang amat sangat tekun dalam hal
beribadah serta kewara’annya. Ada sebuah kisah menceritakan bahwa pernah terjadi
kebakaran di pasar tempatnya berjualan, kemudian ada orang yang mengabari
beliau bahwa tokonya mungkin juga ikut terbakar. Beliau pun menjawab, “Dengan
begitu aku tidak perlu mengurusnya lagi.” Namun ternyata setelah api padam, beliau
mendapati bahwa tokonya tidak ikut terbakar.

Itulah salah satu bentuk ke-alim-an dari Imam Sari. Menurutnya, segala sesuatu itu
hanya milik Allah dan akan kembali kepada Allah juga. Kita manusia, hanyalah
makhluk yang ditugaskan untuk beribadah kepadaNya.

Dalam konteks hubungan sebagai guru dan murid, metode yang digunakan Imam
Sari dalam mengajar keponakannya ini berbeda dari metode pengajaran yang lazim
dijumpai dalam sistem klasikal. Imam Sari menggunakan sistem tanya-jawab, persis
seperti orang yang berdiskusi. Hal ini dinyatakan oleh Imam Junaid sendiri, “Bila Sari
(pamannya) menginginkan agar aku dapat memperoleh keuntungan (dari
pelajarannya), maka dia menanyaiku.”

Setelah belajar hadis dan fikih, Imam Junaid beralih menekuni bidang tasawuf.
Walaupun sebenarnya dia sudah mulai mengenal ajaran tasawuf sejak berumur 7
tahun di bawah bimbingan Imam Sari al-Saqati. Kefasihan Imam Junaid dalam
mengungkapkan ajaran-ajaran tasawuf tampaknya juga berasal dari pengaruh
didikan Imam Sari.

Ketika mencapai usia 20 tahun, Junaid mulai belajar hadis dan fikih pada Abū Tsawr
(w. 240 H). Kecerdasan dan analisanya yang tajam ketika mengulas berbagai
masalah yang diajukan gurunya sering kali membuat kagum Abū Tsawr dan rekan-
rekannya. Di bawah bimbingan Abū Tsawr, Imam Junaid tumbuh menjadi seorang
fakih yang cerdas, sehingga dikatakan kalau saja dia tidak menekuni tasawuf, maka
kemungkinan besar Junaid akan menjadi seorang ahli hukum terkemuka.

Oleh: Ghina Mufidah, Mahasiswa Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya

read://https_www.laduni.id/?url=https%3A%2F%2Fwww.laduni.id%2Fpost%2Fread
%2F73778%2Fmengenal-imam-junaid-al-baghdadi-sejarah-hidup-dan-pendidikan-
bagian-1

Mengenal Imam Junaid Al-Baghdadi: Konstruksi Berpikir Ilmu Tasawuf


(Bagian 2)

Imam Junaid dikenal sebagai tokoh yang mensistematisasikan beberapa


kecenderungan tasawuf dan mencoba mengislamisasi istilah-istilah tasawuf dengan
istilah-istilah dari al-Qur’an. Ia digelari Sayyid Al-Taifah dan juga Tawus Al-Ulama
(burung merak para ulama).

Sebagai seorang sufi, Imam Junaid tidak pernah menulis kitab khusus dibidangnya.
Namun beliau menulis pengalaman spiritualnya dan pemikiran tasawufnya dalam
bentuk risalah yang kemudian dibagikan kepada murid yang dipercayanya dan para
sahabatnya.
Seperti, risalah Imam Junaid kepada sahabatnya Yahya bin Mu’adz Ar-Razi (Imam
Abu Al-Qasim Al-Junaid), risalah Imam Junaid kepada Umar bin Usman Al-Makki
(Imam Abu Al-Qasim Al-Junaid), dan risalah Imam Junaid kepada Abi Ya’qub Yusuf
bin Husein Ar-Razi.

Karena luasnya ilmu dan pengamalan spriritualnya maka Imam Junaid dijadikan
sumber rujukan ilmu tasawuf oleh sufi sufi besar. Berikut ini adalah pemikiran
tasawuf yang dikemukakan oleh Imam Junaid al-Baghdadi:

1. Teori Mitsaq

Imam Junaid dalam teori Mitsaq ini mengemukakan bahwa, sebelum raga/jasad
manusia terbentuk, seorang hamba mengalami kebersamaan dengan sang Pencipta
yakni Allah SWT. Imam Junaid mengemukakan hal ini sesuai dengan firman Allah:

‫َوِاْذ َاَخ َذ َر ُّب َك ِم ْۢن َبِنْٓي ٰا َدَم ِم ْن ُظُه ْو ِرِه ْم ُذ ِّرَّيَتُه ْم َوَاْش َهَدُهْم َع ٰٓلى َاْنُف ِس ِه ْۚم َاَلْس ُت ِب َرِّبُك ْۗم َق اُلْو ا‬
‫َبٰل ۛى َش ِه ْد َناۛ َاْن َتُق ْو ُلْو ا َيْوَم اْلِقٰي َم ِة ِاَّنا ُك َّن ا َع ْن ٰه َذا ٰغ ِفِلْي َۙن‬

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang)
anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh
mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul
(Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap
ini.’” (QS. Al-A’raf: 172)

Imam Junaid menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

“Tidak tahukah kau bahwa Allah berfirman ketika Allah mengambil anak Adam dia
mengutip ayat tersebut sampai ayat berikut “Kami menyaksikan”. Dalam ayat ini
Allah menerangkan kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka sewaktu mereka
belum berwujud berada dalam diri-Nya. Keberadaan ini tidaklah sama dengan
keberadaan biasanya diatributkan kepada makhluk-makhluk Tuhan, ini merupakan
jenis keberadaan yang hanya diketahui oleh Allah. Allah mengetahui keberadaan
mereka, meliputi mereka, Dia melihat mereka pada saat mereka tidak berwujud dan
tidak mengetahui bagaimana wujud mereka sendiri di masa yang akan datang
(dunia ini). Keberadaan mereka berada di luar waktu. Ini merupakan wujud ilahiah
dan konsepsi keilahiaan yang hanya terjadi pada-Nya.”

Jika seorang hamba sudah mampu kembali pada keberadaan primordialnya, maka
syahadat bukan lagi penyaksian seorang hamba terhadap Allah, melainkan Allah
sendiri yang menyaksikan ke Maha Esaan-Nya yang diperjalankan melalui diri
hamba-Nya. Kondisi seperti itulah yang diidam-idamkan oleh para sufi, yakni Allah
mengambil alih dirinya dan hanyut dalam suasana ilahiah.

Kesimpulan teori mitsaq ini adalah manusia kembali pada kondisi primordial sebelum
ia diciptakan. Ini berarti dia terpisah dari wujud jasmaniahnya, wujud kemanusiaan
normalnya belum ada, dan karena itu dia berwujud dalam Tuhan dan sepenuhnya
terserap di dalam-Nya. Hal ini merupakan pencapaian seorang hamba terhadap
tauhid sejati. Akan tetapi, selama hamba tidak melepaskan sifat-sifat
kemanusiaannya, maka ia tidak bisa mencapai tingkat tauhid sejati.

2. Fana (peleburan)

Fana secara bahasa artinya rusak atau musnah atau tidak abadi. Secara istilah, Fana
memiliki arti lenyapnya sifat yang tercela. Secara etimologi, al fana merupakan
masdar dari Faniya-yafna-fana’. Perbincangan tentang fana dikalangan sufi baru
muncul di abad ke-3 H dan 4 H. Oleh karena itu, uraian tentang fana hendaknya kita
mengkaji tokoh-tokoh sufi pada abad tersebut, seperti Abu Nashr As-Saraj Ath-
Thusi, Abu Yazid Al-Bustami, Imam Junaid Al-Baghdadi.

Menurut Imam Junaid Al-Baghdadi fana ini terbagi menjadi 3 tingkatan yakni fana
dari siat, etika, dan tabiat. Tahapan yang pertama, fana berhubungan dengan tujuan
hidup manusia. Maksudnya adalah untuk menjadi manusia yang berkualitas maka
dibutuhkan pula tujuan hidup yang baik, dan untuk menjadi seperti itu maka
dibutuhkan usaha yang baik secara konsisten. Karena menjadi manusia yang
berkualitas butuh tahapan dan proses yang berkelanjutan yang istiqomah.

Tahapan yang kedua yakni menjauhkan diri dari kenikmatan dunia dan selalu ingin
merasa dekat dengan Allah SWT, dan ketika beribadah pun harus menghilangkan
rasa ingin dilihat orang lain. Jadi ketika beribadah harus murni niatnya lillahi ta’ala
tanpa ada niatan untuk selain-Nya. Tahapan ini merupakan tahapan fana tingkat
mental.

Tahapan ketiga menunjukkan manusia akan mengalami kehilangan kesadaran


karena sudah mencapai tingkatan tauhid. Inilah kondisi ketika seorang manusia
benar-benar diliputi dan ditenggelamkan oleh Allah. Pada tahapan ini, individualitas
manusia lenyap walaupun wujud jasmaniahnya masih ada.

Berhubung kondisi ini tidak dapat bertahan lama, maka fana terliputi oleh baqa atau
abadi dalam Allah. Fana dan baqa merupakan satu kondisi yang sama dari dua
aspek yang berbeda. Ketika seorang manusia sudah mencapai taraf fana yang
sempurna, maka pada saat itu juga ia kekal dalam Allah. Fana yang sempurna bukan
hanya penghilangan diri, melainkan suatu proses keberlanjutan diri dalam kekekalan
Allah.

3. Tauhid

Tauhid merupakan salah satu ajaran mendasar yang meyakini bahwa sesuatu itu
satu. Dalam ajaran Islam, tauhid membahas tentang sifat keesaan Allah, bahwa
Allah itu satu. Dalam keilmuan tasawuf, tauhid tidak lagi membahas seperti
pembahasan kaum fikih sepeti sifat wajib bagi Allah, sifat mustahil bagi Allah dan
sejenisnya.

Imam junaid memiliki pemahaman tauhid yang bisa dikategorikan sulit dan mudah.
Kategori mudah adalah ketika dapat dipahami oleh orang yang awam karena
pendapatnya yang begitu mudah dipahami dan diterima oeh masyarakat awam, dan
yang kategori sulit adalah tidak dapat dipahami oleh tokoh sufi terkemuka sekalipun.

Imam Junayd mengatkan dalam tulisannya, “Ketauhilah bahwa awal dari ibadah
kepada Allah Azza Wajalla ialah Ma’rifat terhadap-Nya, dasar Ma’rifat adalah tauhid
kepada-Nya. Sistematika tauhid terhadap-Nya ialah meniadakan sifat-sifat diri-Nya,
dari ke-bagaimanaan-Nya, uraian dan ke-dimanaaan-Nya. Dengan membebaskan
(sifat-sifat-Nya dan konsepsi tentang-Nya tersebut) maka seseorang akan
mendapatkan petunjuk tentang-Nya. Sebab petunjuk mencapai diri-Nya adalah
keterhimpunan (yang mampu menerima) Allah. Dengan Taufiq Allah, maka
muncullah tauhid.”

Imam Junaid melanjutkan, penjelasan paling masuk akal dari tauhid pernah
disampaikan oleh Abu Bakar As Siddiq. “Segala puji bagi Allah yang telah
menganugerahi makhluk-Nya ketidakmampuan untuk mempelajari segala sesuatu
tentang-Nya, kecuali melalui ketidakberdayaan mereka untuk meraih pengetahuan
tentang-Nya.”

Tauhid merupakan realitas yang di dalamnya seluruh jejak menghilang dan seluruh
pertanda runtuh, sementara Allah tetap menjadi diri-Nya.

Imam Junaid jika sudah berbicara tentang tauhid maka akan fokus kepada satu poin
yang menurutnya sangat penting, bahwa Allah adalah aktor yang sesungguhnya.
Menurutnya tauhid adalah kesadaran dan pengakuan bahwa Allah-lah maha tunggal
dalam ke-azaliannya, tidak ada yang bersama-Nya dan tidak ada satu pun yang
sama dengan perbuatan Allah.

Bagi kaum para sufi, seorang muwahid atau orang yang iman kepada keesaan Allah
yang sejati adalah bukan yang hanya mengucapkan kalimat syahadat saja, namun
juga harus dibuktikan dengan tindakan.

Adapun tingkatan tauhid menurut Imam Junaid adalah yang pertama, orang yang
menguasai ilmu tauhid tergantung kepada penegasan dalam mengesakan Allah.
Kedua, kebaikan yang datang dari diri kita masih karena takut kepada Allah, bukan
murni berbuat baik lillahitaala. Maksudnya hanya orang-orang piihan yang bisa
masuk ke dalam tauhid tahap kedua ini atau bisa disebut dengan ma’riat. Ketiga
adalah tahapa tauhid ma’rifat.

Oleh: Ghina Mufidah, Mahasiswa Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya

read://https_www.laduni.id/?url=https%3A%2F%2Fwww.laduni.id%2Fpost%2Fread
%2F73779%2Fmengenal-imam-junaid-al-baghdadi-konstruksi-berpikir-ilmu-tasawuf-
bagian-2.html

Anda mungkin juga menyukai