Al-JILI
A.
Biografi Al-Jili
Al-Jili nama lengkap beliau adalah Abdul Karim Bin Ibrahim Al-Jili. Ia menulis Kitab AL-Insan Al-Kamil
(Manusia Paripurna) ia lahir pada Tahun 676 H atau 1365 M, di jailan, wilayah utara iran. Beliau wafat 811 H atau
1409 M, ia mengemukakan pandangan tentang nur Muhammad yang merupakan gagasan yang berkembang dari
Ibnu Arabi.1[1]
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung ke India ini,
Al-jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Muin al-Din alShysyti, W.623H di Asia Tengah),Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di Bagdad),
Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-Naqsyaband, W.791 H.di Bukhara) berkembang denagn pesat.
Sebelum sampai ke India, ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya
Jannat-u al-Maarif wa Ghayat-u Murid wa al-Maarif.
Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam
kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa
kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian, yakni
tahun 803 H al-jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu
banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah
Arbab al-Sama wa Kasyf al Qina an Wujud al-Istima.
Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya
dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota
Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan
sempat bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahun berikutnya gurunya meninggal.
Di ketahui bahwa tahun kunjungannya ke Gazzah merupakan tahun terakhir dari perjalanannya ke luar Zabit.
Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih
tetap terus aktif menulis sampai akhir hayatnya.
B.
Pemikiran Al-Jili
Abdul Karim Al Jily menulis buku Al-Insan Al-Kamil dengan mengakui bahwa ia memperolehnya dari
Allah. Ia mengaku Allah. Ia mengaku, Allah memerintahkannya untuk mengajarkan buku ini kepada manusia, dan
setiap hari isi dari buku ini ia dukung dengan al-Quran dan sunnah. Ia menyatakan kemudian aku meminta dari
1[1] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan Dan Kebatinan, ( Jakarta: P.T. Lentera Basritama, 2004), hal.
198
yang mengkaji buku ini setelah aku mengajarinya bahwa sesungguhnya aku tidak meletakkan sesuatua apapun
dalam kitab ini, kecuali ia terdukung oleh kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Jika tampak bagi seseorang satu
hal dalam ucapanku yang bertentangan dari sisi pemahamannya, bukan maksudku yang untuknya aku menorehkan
kalam, dan ia menghindari pengalamannya, disertai tindakan penyerahan kepada Allah semoga dia membuka
makrifat padanya, dan memperoleh bukti akan hal tersebut dalam kitab Allah dan sunnah Nabinya.
Manfaat dari penyerahan disini adalah agar ia tidak terhalangi untuk mencapai pengetahuan tentang hal
tersebut. Karena, siapa yang mengingkari sesuatu dari ilmu kami ini, maka ia terhalangi untuk mencapainya selama
ia mengingkari.tidak ada cara memperolehn ya, melainkan dikhawatirkan ia terhalang untuk mencapainya secara
mutlak sebab penolakan pada saat pertama. Padahal, tidak ada jalan lain baginya kecuali beriman dan menyerahkan
diri.
Ketahuilah bahwa setiap ilmu yang tidak didukung dengan Al-quran dan sunnah, maka berarti sesat, bukan
karen anda tidak mendapati apa yang mendukungnya. Terkadang suatu ilmu dengan sendirinya terdukung denmgan
Al-Quran dan sunnah. Tetapi, sedikit kesiapan telah menghalangi anda untuk memahami, sehingga anda tidak akan
menerimanya. Anda mengira bahwa ilmu itu tidak terdukung dengan Al-quran dan sunnah. Maka, penyelesaian
masalah ini adalah dengan cara menyerahkan diri, tidak mengamalkan tanpa menolak, hingga Allah menuntun
tanganmu untuk mncapainya.2[2]
C.
Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah
merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan
tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah Allah, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri,
sebutan Allah merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn Arabi
sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).
Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan
sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh
pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini
menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):
a. Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
b. Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
c. Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama),
tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan
2[2] Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf (cet 1). ( Jakarta:
Robbani Press, 2001). Hal. 133
belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas
asma dan sifat, dan dengan kalimat kun (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap
wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena
bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali
pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri
manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan
menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang
Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai
perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-afal),
kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali aldzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
1.
al-Islam, dimana pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub
dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
2.
al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat
Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar.
3.
al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan
harap (raja).
4.
al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian
mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas.
5.
al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya.
6.
al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan
cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:
7.
ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan
al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan
ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian
sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan
oleh yang lainnya.
al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak
tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas.
al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimanapun ia tidak akan
dapat menjadi Tuhan.
BAB II
IBNU MASSARRAH
2.
Akal
3.
Jiwa
4.
Tabiat
5.
Materi kasar
4[4] Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antar Agama dan Filsafat , (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 134140.
BAB III
IBNU SABIIN
pendapatnya
daripada
ibnu
arabi
dalam
menegasikan
pluralitas
dan
5[5] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, (Jakarta : PT.Lentera Basritama, 2004) hal 192
6[6] Prof. Dr. Nur Syam M. Si, Tasawuf Kultural: fenomena shalawat wahidiyah, (Yogjakarta: PT. LKIS
Pelangi Aksara, 2008) hal. 49
Ibnu Sab'in menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan
mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang
lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan
murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sab'in pun, hampir tidak mungkin mendeskripsikan
kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab'in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab
wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan
demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sab'in ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang diinterpretasikan secara filosofis
ataupun khusus. Pemikiran Ibnu Sab'in ini mengambil rujukan Al-Quran Dari, Yang diinterpretasikan
secara filosofis ataupun Khusus. Misalnya firman Allah Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang
dzahir dan yang Batin.(QSAl-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
(QS Al-Qashas :28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di antarnya dengan
hadis Qudsi, Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Misalnya firman Allah "Dia
itulah Yang Awal Akhir Yang murah, Yang dzahir murah Yang Batin." (QSAl-Hadid; 3) Dan firmanNya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah "(QS Al-Qashas: 28). terkadang memperkuat dialog
pahamnya hadis-hadis DENGAN Nabi, di antarnya hadis Qudsi dengan, "Apa Yang Pertama-tama
diciptakan Allah adalah akal budi. Maka firman Allah kepadanya, terimalah! Maka firman Allah
kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya. Ia pun menerimanya ... ". Namun Ibn Taimiyah menolah
menolak dan mengecam keras pendapat Ibn Sab'in tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa
interpretasi Ibn Sab'in terhadap nash-nash agama tidaklah benar. Namun Ibnu Taimiyah menolak menolah
mengecam keras murah Pendapat Ibnu Sab'in tentang kesatuan Mutlak, menjelaskan bahwa Ibnu Sab'in
terhadap interpretasi nash-nash agama tidaklah Benar. Begitu juga dengan hadits qudsi yang digunakan
adalah hadis maudu'.
Paham kesatuan mutlak Ibn Sab'in ini mirip dengan paham hakikat Muhamad ataupun Qutb dari
sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham manusia
Sempurna dari Abdul karim Al-jalili. Paham kesatuan Mutlak Ibnu Sab'in ini mirip dengan paham
"hakikat Muhammad" ataupun "Qutb" Menurut Ibn Sab'in pencapaian kesatuan mutlak adalah individu
yang paling sempurna.
Menurut Ibnu Sab'in pencapaian kesatuan Mutlak adalah Yang Paling Sempurna yang dimiliki
seorang fuqaha, teolog, filosof, maupun sufi. Sempurna Yang dimiliki seorang Fuqaha, teolog, filosof,
maupun sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus, yaitu ilmu
pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru
bersatu dengan nabi, yang mengendalkan semesta; dan segala sesuatu pun didasarkan padanya. Inilah
Pribadi Yang melebihi mereka dengan pengetahuannya Semua Yang Khusus, yaitu ilmu pencapaian Pintu
Gerbang Yang menjadi kenabian, sosok Pribadi Yang Dari Segi hakikat rohaniahnya justru Bersatu
dengan nabi, Yang mengendalkan semesta; murah Segala sesuatu pun didasarkan padanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antar Agama dan Filsafat , Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, Jakarta : PT.Lentera Basritama, 2004.
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan Dan Kebatinan. Jakarta: P.T. Lentera Basritama, 2004,
Prof. Dr. Nur Syam M. Si, Tasawuf Kultural: fenomena shalawat wahidiyah, Yogjakarta: PT. LKIS Pelangi
Aksara, 2008.
Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf (cet 1). Jakarta: Robbani Press,
2001.
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengemabangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jili. Jakarta:
Paramadina, 1997.