Anda di halaman 1dari 4

Epistemologi Irfani

Epistemologi Irfani adalah suatu model untuk mendapatkan pemahaman dalam keilmuan Islam
selain bayani dan burhani. Epistemologi ini digunakan dan dipopulerkan oleh kaum sufi. Secara
bahasa, kata ‘irfan berasal dari kata ‘arafa yang artinya pengetahuan. Pengetahuan dalam hal
ini, memiliki maksud yang sama dengan makrifat dan berbeda dengan pengetahuan yang
dimaksud ‘ilm. Irfan atau makrifat diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh langsung dari
Tuhan melalui ruhani yang dilakukan atas dasar cinta atau kemauan yang kuat (i’adah).
Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui transformasi (naql) dan rasionalitas
(‘aql). Menurut Mehdi Hairi Yazdi, Irfan juga disebut sebagai ‘ilm hudhuri yaitu pengetahuan
yang dihadirkan, sedangkan pengetahuan yang berdasarkan rasionalitas disebut ilm muktasab.1
Dalam perspektif barat seperti yang dikemukakan Henri Bergson, irfan diistilahkan dengan
Knowledge of yaitu pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung dan knowledge about
yaitu pengetahuan diskursif yang diperoleh melalui perantara atau panca indra.
Secara umum, irfan memiliki 2 aspek yaitu:
1. Aspek praktis, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Membahas hubungan antara manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
b. Menuntut adanya tahapan-tahapan untuk mencapai nilai spiritual
c. Memilki unsur spiritualitas yang sangat luas.
2. Aspek teoritis, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Membahas hakikat alam semesta, manusia, dan Tuhan
b. Argumennya berdasarkan visi dan intuisi yang kemudian dikemukakan teori secara
logis
c. Eksistensi Tuhan meliputi semuanya sedangkan segala sesuatu merupakan
manifestasi sifat-Nya
d. Pencapaian tertinggi adalah kembali kepada Tuhan
e. Menggunakan hati dan kesucian jiwa sebagai sarana dan perantara.
Dalam perkembangannya, irfan memilkki lima fase, yaitu:
1. Fase pembibitan, yaitu fase awal irfan yang terjadi pada awal hijriah, dimana spiritualitas
masih mereka dapatkan dari Rasul dan sahabat dan hanya mengikuti tuntunan Al-Qur’an
dan hadis. Pada masa ini, tokoh irfan tidak banyak membicarakan irfan secara terbuka
atas rasa takut terhadap Allah dan hanya mengharapkan pahala (zuhud / askestisme).
2. Fase kelahiran, yang terjadi pada abad kedua hijriah dimana para tokoh irfan sudah mulai
terbuka sehingga pada fase ini muncul beberapa karya tulis diantaranya adalah Ri’ayat
Huquq Allah karya Hasan Basri. Pada masa ini, masih menganut perilaku zuhud namun
dilakukan sebagai ungkapan rasa cinta yang besar kepada Tuhan.
Menurut Reynold A. Nicholson, zuhud atau asketisme pada dua fase ini adalah model
perilaku irfan yang paling awal atau dapat disebut sebagai irfan periode awal.2

1
Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, hlm. 10 (Bandung: Pustaka Hidayah)
2
Rafi Usmani, Sufi dari Zaman ke Zaman; hlm. 89 (Bandung: Pustaka Hidayah)
3. Fase pertumbuhan, yang terjadi pada abad 3-4 hijriah dimana irfan berkembang menjadi
ilmu moral keagamaan (akhlak). Lalu selanjutnya irfan mengkaji tingkah laku dan
peningkatannya, pengenalan intuitif langsung kepada Tuhan, kefanaan dalam realitas
mutlak, dan pencapaian kebahagiaan. Namun, kecenderungan umum pada fase ini masih
pada psiko-moral, belum pada tingkat metafisis. Pada masa ini, muncul para tokoh irfan
dan karyanya tentang pengetahuan irfan seperti Abu Yazid Al-Bustomi, Al-Hallaj dengan
karyanya hulul (imanensi Tuhan dalam manusia), Abu Nasr Sarraj yang menulis al-
Lum’ah fi at-Tashawuf , Junaid al-Baghdadi, dan masih banyak lagi. Menurut Taftazani,
fase ini merupakan awal terbentuknya tarekat-tarekat dalam Islam, dimana murid
mempelajari tata tertib irfan, teori maupun praktiknya dalam suatu majlis. Nicholson
menuturkan bahwa secara teoritis dan praktis, kaum arif fase ini telah merancang suatu
sistem yang sempurna tentang irfan.
4. Fase puncak, yang terjadi pada abad ke-5 hijriah. Dimana irfan mencapai masa
keemasan. Hal ini bukan tanpa alasan, karna pada masa ini banyak pribadi yang lahir dan
menulis tentang irfan antara lain, Sa’id Abu Khair yang menulis Ruba’iyat, Ali bin
Utsman Al-Hujwiri yang menulis Kasyf al-Mahjub, dan Abdullah Al-Anshari yang
menulis Manazil al-Sa’irin yang menjadi salah satu karya terpenting dalam kajian irfan.
Puncak irfan masa ini adalah Al-Ghazali dengan karya fenomenalnya Ihya Ulumuddin,
yang menyeleraskan antara tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Nicholson kembali
menuturkan, melalui perantara Al-Ghazali irfan menjadi jalan yang jelas karakternya
untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
5. Fase spesifikasi, yang terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 hijriah. Dimana irfan menjadi
semakin berkembang karena pengaruh Imam Ghazali yang kemudian berdampak bagi
tokoh sufis untuk mengembangkan tarekat-tarekat dalam mendidik murid mereka.
Diantara tokoh yang terkenal adalah Abd Qadir Al-Jailani, Abu Hasan Al-Syadzili, Ibn
Athailah Al-Sakandari, dan lain sebagainya. Dalam waku yang bersamaan, muncul pula
tokoh-tokoh yang ingin memadukan irfan dengan filsafat, dimana mereka menyebarkan
teori yang bernilai bagi kajian irfan dan filsafat. Kaum irfan masa ini juga memelopori
penulisan mistik yang disebut pengetahuan irfan. Diantara tokoh-tokohnya adalah
Suhrawardi, Ibnu ‘Arabi, Umar bin Farid, dan sebagainya.
6. Fase kemunduran, terjadi pada abad ke-8 hijriah. Pada fase ini, irfan mengalami
kemunduran. Para tokoh fase ini cenderung memberikan kesimpulan dan komentar
terhadap karya pendahulunya. Walaupun irfan berkembang sangat pesat namun tidak
muncul pribadi unggul yang mencapai kedudukan ruhaniah terhormat seperti
pendahulunya.
Sumber Pengetahuan
Seperti yang sudah tertera di awal pembahasan, bahwa irfani hanya dapat diperoleh ketika
hati sebagai sarana telah siap untuk menerima pengetahuan yang berasal langsung dari
Tuhan. Maka dari itu untuk mencapainya perlu menempuh perjalanan spiritual dengan
melalui tahapan-tahapan (maqam) dan kondisi tertentu (hal).
Mengenai tingkatan dalam menempuh tahapan ini, ulama memiliki perbedaan pendapat
namun pendapat yang paling masyhur menyebutkan ada 7 tahapan.

1. Taubat, yaitu meninggalkan segala hal yang dilarang oleh Allah dengan perasaan
menyesal yang mendalam kemudian dibuktikan dengan memperbaikinya, yaitu
melakukan hal terpuji. Menurut Al-Qusyairi dalam karyanya yaitu Al-Risalah, taubat
adalah tahapan paling dini dalam perjalanan spiritual seseorang, jika ia gagal dalam tahap
ini maka sudah dapat dipastikan ia tidak akan mampu melanjutkan ke tahapan
selanjutnya.
2. Wara’, yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat. Dalam tasawuf, wara’
terdiri dari dua tingkatan, yaitu lahir dan bathin. Wara’ lahir berarti tidak melakukan
apapun kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan wara’ bathin adalah
tidak ada siapapun di hatinya kecuali Allah.
3. Zuhud, yaitu tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Zuhud bukan berarti
meninggalkan harta sama sekali. Dikatakan zuhud jika seseorang mempunyai hati yang
tidak disibukan apapun kecuali Tuhan. Meskipun sebenarnya ia memiliki banyak harta
namun tidak mempengaruhi hubungannya dengan Tuhan.
4. Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini maupun
masa yang akan datang, dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan. Sehingga ia tidak
terikat dengan apapun dan tidak mengharapkan apapun. Tingkatan ini merupakan puncak
upaya dari realisasi pensucian hati dari segala sesuatu selain Tuhan (tathhir al-qalbi bi
al-kulliyyah ‘anma’siwa Allah).
5. Sabar, yakni menerima dengan sepenuh hati, segala cobaan atau bencana, tanpa perasaan
marah atau kesal. Menurut Al-Junaidi Al-Baghdadi, sabar berarti rela menanggung
beban, kesulitan, kesempitan, atau sejenisnya hingga semuanya berlalu.
6. Tawakal, percaya atas segala yang ditentukan Tuhan. Orang yang memiliki sifat tawakal
diibaratkan seperti mayat dihadapan orang yang dimandikan. Tawakal berbeda dengan
fatalisme (jabariyah). Tawakal tidak menghalangi seseorang untuk berusaha dan bekerja
mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya, dan apa yang ia kerjakan tidak menafikan
tawakal dalam hatinya. Sehingga ketika ia mendapat kesulitan, ia akan menyadari bahwa
semuanya adalah takdir Allah dan jika mendapat kemudahan berarti atas kehendak-Nya.
7. Rida, tidak memiliki rasa yang tidak senang dalam hatinya, ia hanya merasakan sukacita
dan gembira yang berlimpah terhadap segala sesuatu yang diberikan Tuhan.
Setelah melalui tahapan-tahapan tersebut, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan dari Tuhan secara iluminatif atau noetic yang diistilahkan dengan kasyaf
sehingga akan mencapai musyahadah dan akhirnya ittihad. Menurut Al-Qusyairi, kasyf
adalah kesadaran hati atas segala kebenaran, sedang ittihad adalah penyatuan hati (diri)
dengan kebenaran itu sendiri.
Dalam perspektif epistemologis, pengetahuan irfani tidak dapat dipresentasikan hanya
dengan data maupun panca indra apapun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi
dalam pembentukan gagasan pengetahuan ini. Maka dari itu Mehdi Heiri Hazdi menyebut
pengetahuan ini sebagai ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek atau jika dalam teori bahasa
Wittgenstein, pengetahuan irfani tidak lain merupakan bahasa ‘wujud’ itu sendiri.

Metode Pengungkapan
Pengetahuan irfani bukanlah pengetahuan yang berkaitan dengan konsepsi atau representasi
melainkan terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri
dalam Tuhan, maka pengalaman dekimian tidak semuanya dapat dijelaskan dengan jelas dan
gamblang. Maka dari itu, para pengkaji irfan membaginya menjadi dua tingkatan, yaitu
pengetahuan tak terkatakan dan pengetahuan yang terkatakan.
Pengetahuan yang terkatakan terbagi dalam tiga bagian, yaitu:
1. Pengetahuan irfan yang disampaikan oleh pelaku sendiri,
2. Pengetahuan irfan yang disampaikan oleh orang ketiga yang masih dalam satu tradisi
dengan tokoh irfan yang bersangkutan,
3. Pengetahuan irfan yang disampaikan orang ketiga tapi dari tradisi yang berbeda (tokoh
Islam yang menyampaikan pengalaman dan pengetahuan irfan tokoh non-Muslim atau
sebaliknya).3

Nanti ini bisa buat tambahan KESIMPULAN


Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis, tetapi dari diri
sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri sendiri atau yang biasa disebut dengan kasyf.
Oleh karenanya, irfan tidak dapat diuji berdasarkan validitas korespondensi maupun
koherensi, objeknya hanya bersifat imaterial dan esensial, tetapi sekaligus bersifat
swaobjektif (self-object-knowledge). Sehingga sesuatu yang disebut sebagai objektivitas
objek tersebut bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri.
Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan adalah dengan melewati tahapan-
tahapan spiritual yang disebut riyadhoh, yang dimulai dengan taubat dan berlanjut ke fase-
fase berikutnya hingga puncak. Setelah ia dapat mencapai puncak maka ia akan mendapatkan
limpahan pengetahuan secara intuitif lewat proses pencerahan.

3
Dr. H.A. Khudori Soleh, M. Ag., Filsafat Islam (dari klasik hingga modern) hlm. 209 (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
2016)

Anda mungkin juga menyukai